Anda di halaman 1dari 19

Malpraktek Medis (Medical Malpractice)

MALPRAKTEK MEDIS (MEDICAL MALPRACTICE)1

Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum2

Latar Belakang

Malpraktek medis (medical malpractice) 3 bukanlah masalah yang baru bagi


penegakan hukum di Indonesia. Perkara yang melibatkan tenaga medis (dokter)
yang diajukan ke pengadilan karena didakwa menyebabkan matinya seseorang
karena kelalaiannya sudah sejak lama dikenal di Indonesia, antara lain putusan Raad
van Justitie Medan tanggal 10 Maret 1938, putusan Raad van Justitie Medan tanggal 12
Mei 1923 dan Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta tanggal 2 Maret 1960 No.
1741/1960 atas nama terdakwa Ny. Dr. The Fong Lan. Demikian pula munculnya
kasus mata Muhidin, kasus Andriani yang menjadi cacat fisik dan mental setelah
menjalani operasi mata dan kasus Ny. Sulastri yang meninggal dunia setelah
menjalani operasi estetik di tubuhnya pada awal tahun 1987 dan kasus Ny. Lieani
yang banyak dimuat harian Kompas medio Oktober 1989. 4 Hanya saja akhir-akhir
ini masalah malpraktek medis menarik perhatian banyak pihak, baik dari kalangan
tenaga kesehatan (khususnya dokter), penegak dan praktisi hukum, akademisi,
pejuang hak asasi manusia, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat luas.
Masalah malpraktek medis menjadi perhatian, setidaknya dikarenakan oleh
sejumlah faktor, antara lain : (a). berubahnya paradigma hubungan dokter – pasien
(HDP) dari paradigma tradisional kearah kontemporer, (b). kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi, (c). demoktratisasi dalam kehidupan social, ekonomi dan
pendidikan. (d). meningkatnya kesadaran hukum masyarakat.
Dalam konteks HDP yang tradisional, yang terbangun sejak jaman
Hippocrates (460 – 377 sM), HDP didasarkan pada kedudukan yang tidak sama
antara dokter dan pasien. Dokter lebih dominan dalam hubungan yang paternalistik.
Dalam konteks ini dokter selalu dianggap mengetahui yang terbaik bagi kesehatan
pasien.5 Segala bentuk ”kegagalan” dokter, bahkan yang menimbulkan kerugian
bagi pasien” umumnya diterima masyarakat lebih sebagai ”nasib” atau
”peruntungan” pasien. Pola hubungan ini berpengaruh terhadap regulasi profesi
dokter. Tanggungjawab dokter merupakan tanggungjawab moral dan profesional
etik dan karenanya masalah praktek kedokteran dan segala persoalannya tidak
diatur secara tegas dan komprehensif oleh hukum (perundang-undangan) maupun
oleh otoritas pemerintah.
1
Disampaikan pada Seminar Terbatas, Penelitian dan Pengkajian tentang Aspek Hukum
Medical Malpractice (Malpraktek Medis) yang dilaksanakan oleh Puslitbang Hukum dan Peradilan
Mahkamah Agung RI, Hotel Madani, Medan, 12 – 13 Oktober 2009.
2
Staff Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Program Studi Ilmu
Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3
Tidak ada terminilogi yang baku berdasarkan Undang-undang untuk merepresentasikan
peristiwa malpraktek medis. Sebahagian menggunakan istilah malpraktek medis (medical
malpractice), tetapi juga banyak yang menggunakan istilah kelalaian medis (medical negligence),
praktek kedokteran yang salah, dan lain sebagainya.
4
S. Sutrisno, “Medical Malpractice” dalam Tim Pengkajian Hukum Mahkamah Agung RI,
Bunga Rampai tentang Medical Malpractice : Jilid II A Uraian Teoritis dan Kutipan Kepustakaan
tentang Medical Malpractice, (Jakarta : Mahkamah Agung RI, 1991), hal. 1.
5
Taufik Suryadi, “Malpraktek Medik dalam Pandangan Etika Kedokteran dan Hukum”,
disampaikan pada Seminar “Perlindungan Hukum Bagi pasien dan Dokter dalam Kasus Dugaan
Malpraktik”, (Aceh Justice Resource Center, 19 Mei 2009), tanpa halaman.

1
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)

Seiring dengan perkembangan masyarakat (nasional dan internasional),


maka terjadi sejumlah perubahan nilai. Muncul kesadaran kolektif masyarakat dunia
tentang pentingnya perlindungan terhadap hak asasi manusia. Setiap manusia
berhak menentukan yang terbaik bagi dirinya (the right to self determination) dan
setiap orang tanpa terkecuali wajib menghormati hak tersebut. Perkembangan ini
didorong oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, demoktratisasi dalam
kehidupan masyarakat, ekonomi dan kemajuan pendidikan, yang memungkinkan
setiap orang untuk mengakses informasi praktek kedokteran dan memiliki
kemampuan ekonomi untuk mencari pendapat kedua (second opinion) atas praktek
medis yang dilakukan atau akan dilakukan terhadap dirinya. Paduan serasi antara
faktor-faktor tersebut dengan kesadaran hukum yang semakin meningkat,
menyebabkan sebagian besar masyarakat tidak lagi begitu saja menerima kegagalan
praktek medis (kerugian) sebagai ”nasib” atau ”peruntungan”, dan semakin disadari
bahwa tidak tertutup kemungkinan kegagalan tindakan medis (kerugian) yang
terjadi berasal dari praktek medis yang buruk dari tenaga kesehatan (dokter),
sehingga tuntutan terhadap dokter semakin meningkat.
HDP telah berubah dari pola hubungan tradisional kearah pola hubungan
kontemporer yang lebih kompleks. Hubungan dokter dan pasiennya tidak semata-
mata dilandaskan pada hubungan tanggungjawab moral dan etik seorang tenaga
kesehatan untuk menolong jiwa manusia, tetapi juga meliputi hubungan : (a).
Kepercayaan (fiduciary), (b). Hubungan kebutuhan, (c). Hubungan keprofesian, dan
(d). Hubungan hukum. Dengan demikian tanggungjawab tenaga kesehatan (dokter)
tidak lagi semata-mata merupakan tanggungjawab moral dan etik, tetapi juga
meliputi tanggungjawab profesi dan tanggungjawab hukum.
Perubahan ini bukanlah sama sekali tidak mengandung polemik dalam
hukum. Semata-mata memandang HDP sebagai hubungan moral dan etik dapat
merugikan kepentingan masyarakat dari praktek kedokteran yang buruk. Dokter
muncul seolah-olah sebagai anggota masyarakat yang ”tidak tersentuh hukum”.
Akan tetapi appriori memandang kegagalan praktek medis sebagai melanggar
hukum (karenanya harus dihukum menurut hukum), akan menyebabkan dokter
”tidak nyaman” dalam menjalankan profesinya yang mulia (officium nobel), keadaan
ini juga dapat merugikan kepentingan masyarakat luas. Oleh karena itulah dalam
Konsideran UU No. 24 Tahun 1999 tentang Praktik Kedokteran disebutkan bahwa
perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam pelayanan kesehatan tidak saja
ditujukan kepada masyarakat penerima layanan kesehatan, tetapi juga kepada
dokter dan dokter gigi sebagai pemberi layanan kesehatan.

Dilema Hukum dan Kesulitan dalam Malpraktek Medis

Hukum selalu dihadapkan pada kepentingan-kepentingan yang berbeda dan


hukum berupaya mencari jalan tengah atas perbedaan kepentingan tersebut agar
masyarakat tertib dan aman. Jalan tengah ini diwujudkan dalam bentuk upaya
perlindungan terhadap hak dan kepentingan subjek hukum terkait secara
berkeadilan. Dengan demikian, idealnya tidak ada pihak yang merasa dirugikan
oleh hukum atau merasa kurang terlindungi dibandingkan dengan perlindungan
terhadap pihak lain. Dalam konteks pelayanan medis, hukum secara ideal harus
melindungi secara adil hak-hak dan kepentingan masyarakat penerima layanan
medis dan tenaga kesehatan.
Secara substantif, hukum terkait malpraktek medik menghadapi dilema
pengaturan yang cukup rumit. Di satu sisi, apabila hukum terlalu mudah membawa
tenaga kesehatan (khususnya dokter) ke meja peradilan, maka dokter tidak akan

2
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)

nyaman dalam menjalankan profesinya karena senantiasa dapat dengan mudah


dituntut secara hukum. Keadaan ini juga dapat merugikan kepentingan masyarakat
luas. Namun, tidak berarti hukum menutup mata terhadap kerugian masyarakat
yang timbul dari praktek kedokteran yang buruk. Di sisi lain, jika hukum dan
aparaturnya tidak memiliki perhatian yang cukup terhadap profesi kedokteran,
maka masyarakat juga tidak nyaman dan merasa kurang terlindungi dari praktek
kedokteran yang buruk. Kepastian hukum akan dipertanyakan dan kepercayaan
terhadap hukum akan rendah.
Dilema ini sangat terasa dalam masalah malpraktek medis. Apabila setiap
hasil yang buruk dari praktek kedokteran dapat dikategorikan sebagai malpraktek
dan dapat dihukum, maka akan terjadi goncangan besar dalam profesi kedokteran.
Tidak mudah untuk membawa dokter ke meja pengadilan, selain dibutuhkan kajian
yang cukup mengenai proses tindakan dokter dengan mengacu pada standar profesi
kedokteran, juga dihadapkan pada kendala pembuktian. Tetapi jika hukum tidak
ditegakkan, maka oknum dokter yang tidak bertanggungjawab akan diuntungkan
dan masyarakat tidak terlindungi.
Di samping dilema tersebut, permasalahan malpraktek medis juga
dihadapkan pada berbagai kendala, antara lain :

1. kendala substansi hukum. Tidak ada ketentuan yang jelas dan komprehensif
mengatur tentang malpraktek. UU Praktek Kedokteran hanya menghukum
praktek-praktek kedokteran yang benar-benar secara nyata dapat dipersalahkan,
karena fakta yang tidak terbantah, misalnya praktek tanpa surat ijin praktek,
tanpa kompetensi, tertinggal kain kasa atau peralatan kedokteran pasca operasi,
dll. Demikian pula dalam KUHP, juga mengatur tentang praktek kedokteran
yang nyata-nyata dapat dipersalahkan (umumnya karena kesengajaan), misalnya
aborsi illegal, atau euthanasia. Bagaimana dengan praktek kedokteran yang
menimbulkan akibat buruk terhadap pasien (misalnya kematian, luka berat) ?
Maka terlebih dahulu harus dikaji secara memadai mengenai proses yang telah
dilakukan oleh dokter dalam mengambil tindakan yang demikian. Jika prosedur
yang diambil sudah benar, maka belum tentu dokter yang bersangkutan dapat
dijerat hukum.

2. ilmu kedokteran sebagai basis profesi kedokteran bukanlah 100 % ilmu pasti.
Tidak ada jaminan bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh dokter akan
berakhir pada kesembuhan atau kesuksesan. Ketika seorang dokter selesai
mendiagnosis suatu penyakit, maka dokter akan dihadapkan pada puluhan
bahkan ratusan daftar obat-obatan yang dapat diterapkan pada pasien yang
bersangkutan dan tidak ada jaminan bahwa obat yang dipilih dokter tersebut
pasti akan dapat menyembuhkan penyakit pasien. Dokter harus memiliki
pengetahuan yang cukup untuk memilih jenis obat tersebut dengan
mempertimbangkan berbagai aspek, tidak saja aspek keadaan penyakit pasien,
kondisi tubuh pasien tetapi juga kondisi ekonomi pasien.
3. kendala pembuktian. Dalam penegakan hukum terhadap adanya tuntutan
malpraktek, tentu hakim akan melakukan alur berpikir silogisma dengan
mensinkronkan fakta dengan kaidah hukum positif. Dalam hal ini, selalu
diperlukan keterangan ahli (dokter yang pengetahuannya sederajat) untuk
memberikan keterangan terkait uji pemenuhan standar profesi kedokteran.
Hakim tentu mengalami kesulitan untuk menilai kesesuaian tindakan dokter
dengan standar profesi atau etika profesi kedokteran, karena dalam berbagai hal
masalah ini sangat teknis kedokteran. Sementara keterangan ahli selalu akan

3
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)

diberikan oleh orang seprofesi (dokter) yang selalu dipandang akan kurang
objektif karena adanya pengaruh espirit de corps.

Kendala ini juga akan dirasakan ketika menguji unsur lack of skill pada diri
seorang dokter. Bagaimana hakim bisa dengan mudah menguji bahwa dokter
yang bersangkutan tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk melakukan
tindakan medis yang dipersalahkan kepadanya.

4. sifat perikatan antara dokter dan pasien yang digolongkan pada jenis inspanings
verbintenis berupa usaha untuk melakukan pengobatan sebaik-baiknya sesuai
dengan standar profesi, standar prosedur operasional, kebiasaan umum yang
wajar dalam dunia kedokteran tapi juga memperhatikan kesusilaan dan
kepatutan. Perikatan ini tidak menjanjikan hasil (seperti pada resuultan
verbintenis), sehingga yang harus diuji bukanlah akibat (hasil) perbuatan, tetapi
upaya yang dilakukan apakah telah memenuhi standar profesi, standar prosedur
operasional, dll. Kesulitan pembuktian akan menjadi persoalan kembali.

5. ekspektasi masyarakat yang sangat tinggi selalu dihadapkan pada anggapan


bahwa seorang dokter dianggap menguasi secara sempurna seluruh seluk beluk
penyakit dan karenanya ukuran yang dijadikan untuk menilai adalah hasil dari
tindakan medis yang dilakukan dokter. Juga menimbulkan anggapan bahwa
setiap hasil yang buruk dari praktek dokter adalah malpraktek yang bisa
dipersalahkan. Anggapan ini tidak seluruhnya sesuai dengan doktrin-doktrin
hukum mengenai tanggungjawab dokter dalam tindakan medis. Anggapan yang
seperti ini sering menimbulkan kekecewaan dan berujung pada
ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum.

6. Profesi kedokteran yang dapat dikategorikan sebagai profesi dibidang


kemanusiaan (pekerja kemanusiaan), sehingga dunia profesi ini syarat dengan
nilai-nilai etika, dan etika ini lebih menonjol dari hukum. Sehingga dalam banyak
hal masalah praktek kedokteran harus diselesaikan dalam lingkup kekuasaan
etika profesi kedokteran.

Dokter ”bukan profesi yang kebal hukum”

Meskipun profesi dokter memiliki banyak karakteristik khusus yang berbeda


dengan profesi lain, ditambah dengan dilema dan kendala seperti diuraikan diatas,
profesi kedokteran bukanlah profesi yang tidak tersentuh oleh hukum. Perubahan
paradigma dalam pola hubungan dokter – pasien telah membawa profesi ini pada
ranah pertanggungjawaban hukum. Jika dulu dalam pola hubungan dokter dan
pasien yang tradisional, peraturan hukum hampir tidak menyentuh ranah
kedokteran. Masalah kedokteran sepenuhnya tunduk pada lingkup kekuasaan
traditional ethic yang dibangun diatas asumsi tugas dokter yang mulia dan
hubungan paternalistic dominat dimana dokter dianggap mengetahui yang terbaik
bagi pasien. Dalam konteks ini pertanggungjawaban dokter lebih merupakan
tanggungjawab moral dan profesional ethik. Keadaan tersebut terjadi karena
hubungan dokter dan pasien yang belum kompleks dan hanya didasari pada
hubungan kebutuhan dan kepercayaan. Hubungan terjadi karena pasien lebih
membutuhkan dokter dan mempercayakan sepenuhnya nasibnya kepada dokter.
Pasien dipandang menerima sepenuhnya konsekwensi apapun dari tindakan yang

4
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)

dilakukan oleh dokter. Pola hubungan ini menempatkan dokter sebagai pihak yang
superior dan pasien pada posisi inferior.
Dewasa ini, hubungan dokter pasien sudah sedemikian kompleks baik dari
segi pemaknaannya maupun lingkup hubungannya. Hubungan dokter-pasien tidak
saja didasarkan pada hubungan kepercayaan (dalam pemaknaan tradisional) dan
hubungan kebutuhan (sepihak), tetapi juga sudah meliputi hubungan keprofesian
dan hubungan hukum. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak lagi dapat
mempermasalahkan secara hukum praktek kedokteran yang buruk.
Hubungan kepercayaan tidak saja dimaknai bahwa dokter akan
merahasiakan segala sesuatu tentang diri pasien dan pasrah terhadap tindakan
pasien. Hubungan kepercayaan lebih luas dari pemaknaan tradisional tersebut.
Hubungan kebutuhan tidak lagi dimaknai sepihak (pasien lebih membutuhkan
dokter). Pasien memang membutuhkan dokter, tetapi juga dalam porsi yang sama
dokter membutuhkan pasien sebagai subjek profesinya. Tanpa pasien, tidak ada
makna dokter yang signifikan. Hubungan keprofesian terjadi sebagai bentuk
interaksi antara seorang pemberi jasa profesional dengan pihak yang menerima jasa
profesional tersebut (dalam berbagai peraturan, layanan medis dikategorikan
sebagai ”bidang usaha” (bisnis profesional). Sedangkan hubungan hukum memiliki
makna bahwa hubungan tersebut menimbulkan hak dan kewajiban serta
pertanggungjawaban secara hukum, tidak sekedar pertanggungjawaban moral dan
profesional ethic.

Kewajiban dan Hak Dokter dalam HPD

Dokter yang melakukan praktek kedokteran pada pasiennya adalah dalam


rangka melaksanakan hak dan kewajiban dalam suatu hubungan hukum dokter –
pasien. Sebagai hubungan hukum, maka HPD menimbulkan hak dan kewajiban
dokter dan pasien yang wajib dihormati.

Kewajiban dan Hak Dokter


Kewajiban dan hak dokter ditetapkan dalam beberapa peraturan perundang-
undangan antara lain : UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, dan UU
No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Selain itu, kewajiban dan hak dokter diatur
dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Dalam KODEKI, kewajiban dokter dikelompokkan menjadi 4 kelompok
kewajiban, yakni : (1). Kewajiban umum, (2). Kewajiban terhadap penderita (3).
Kewajiban terhadap teman sejawat, dan (4). Kewajiban terhadap diri sendiri.

(1). Kewajiban Umum, meliputi : (a). Menjunjung tinggi, menghayati, dan


mengamalkan Sumpah Dokter (Pasal 1) ; (b). Senantiasa melakukan profesinya
menurut ukuran tertinggi (Pasal 2) ; (c). Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya
tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi (Pasal 3) ; (d).
Perbuatan yang dipandang bertentangan dengan etik : setiap perbuatan yang
bersifat memuji diri sendiri, menerapkan pengetahuan dan keterampilan baik
bersama maupun sendiri-sendiri tanpa kebebasan profesi, menerima imbalan diluar
kelayakan sesuai dengan jasanya, kecuali dengan keihklasan dan atau kehendak
penderita (Pasal 4) ; (e). Setiap perbuatan atau nasihat yang mungkin melemahkan
daya tahan mahluk insani, baik jasmani maupun rohani, hanya diberikan untuk
kepentingan penderita (Pasal 5) ; (f). Senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan
dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji
kebenaranny (Pasal 6) (g). Hanya memberi keterangan atau pendapat yang dapat

5
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)

dibuktikan kebenarannya (Pasal 7). (h). Mengutamakan kepentingan masyarakat dan


memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif,
uratif dan rehabilitatif), serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat
yang sebenarnya (Pasal 8) ; (i). Bekerjasama dengan para pejabat di bidang
kesehatan dan bidang lain serta masyarakat harus memelihara saling pengertian
secara sebaik-baiknya (Pasal 9).

(2). Kewajiban Dokter terhadap Penderita, terdiri dari : (a). Harus senantiasa
mengingat akan kewajibannya melindungi hidup mahluk insani (Pasal 10) ; (b).
Wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya
untuk kepentingan penderita. Apabila dia tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan, ia wajib merujuk penderita kepada dokter lain yang
mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut (Pasal 11) ; (c). Harus memberikan
kesempatan kepada penderita agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga
dan penasihatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya (Pasal 12) ; (d).
Wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita,
bahkan setelah penderita itu meninggal dunia (Pasal 13) ; (e). Wajib melakukan
pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada
orang lain yang bersedia dan mampu memberikannya (Pasal 14).

(3). Kewajiban Dokter terhadap Teman Sejawat, terdiri dari : (a). Memperlakukan
teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan (Pasal 15) ; (b). Tidak
boleh mengambil alih penderita dari teman sejawatnya tanpa persetujuannya (Pasal
16) ;

(4). Kewajiban Dokter terhadap Diri Sendiri, meliputi : (a). Harus memelihara
kesehatannya supaya dapat bekerja dengan baik ; (b). Baik senantiasa mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan tetap setia.

Tiga kewajiban dokter dalam KODEKI diadopsi kedalam UU No. 29 Tahun


2004, sehingga yang semula merupakan kewajiban moral – profesional etik berubah
menjadi kewajiban hukum yang memiliki sanksi hukum (Pasal 79 jo. 51). Tiga
kewajiban tersebut adalah kewajiban menyimpan rahasia segala sesuatu tentang
pasiennya, kewajiban memberi pertolongan darurat, kewajiban merujuk pasien ke
dokter yang lebih ahli dan mampu.6

Pasal 51

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai


kewajiban :
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan
atau pengobatan;
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin
ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi.

6
Adami Chazawi, Malpraktik Kedokteran : Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum, (Malang :
Bayu Media, 2007), hal. 19 – 22.

6
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)

Pasal 79

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang :
a. dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41 ayat (1);
b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46 ayat (1); atau
c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.

Hak Dokter (Dokter Gigi) diatur secara limitatif dalam Pasal 50 UU No. 29
Tahun 2004 sebagai berikut :
Pasal 50

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :
a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional;
b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional;
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan
d. menerima imbalan jasa.

Pengertian Malpraktek Medis

Hukum sebagai sebuah sistem keilmuan, terdiri dari sejumlah konsep,


defenisi, variabel dan proposisi yang harus dipahami secara benar bagi orang yang
mempelajarinya. Ketidakjelasan definisi akan berpengaruh terhadap penegakan
hukum tersebut. Sebagaimana banyak diterima saat ini bahwa salah satu syarat
hukum (perundang-undangan) yang baik, haruslah memiliki clearity of status and
definition. Hukum, dalam arti yang lebih sempit – perundang-undangan – harus jelas
mengatur tentang status subjek dan definisi sejumlah konsep yang dikandungnya.
Masalahnya dalam malpraktek medis adalah bahwa konsep ”malpraktek medik”
tidak ada tercantum dalam perundang-undangan. Istilah ini lahir dan berkembang
dalam praktek pelayanan medis dan praktek hukum di Common Law, tanpa ada
rujukan pengertian juridis versi perundang-undangan. Oleh karena itu, dapat
dimaklumi munculnya anggapan mengenai rumitnya penegakan hukum dalam
malpraktek medis. Dalam istilah yang lebih ”radikal”, selalu didengar ditengah
masyarakat bahwa ”hukum lebih berpihak kepada tenaga kesehatan (dokter )
daripada kepada masyarakat”. Sepertinya pola hubungan tradisional paternalistik
yang didominasi dokter dengan asumsi dokter selalu mengetahui yang terbaik bagi
pasien masih sangat berpengaruh dalam anggapan masyarakat.
Sepanjang penelusuran yang dilakukan Penulis, tidak ditemukan adanya
kata atau definisi malpraktek medis dalam perundang-undangan di Indonesia. UU
No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dalam Pasal 55 ayat (1) hanya menyebutkan :
”setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan
tenaga kesehatan”. UU ini tidak mendefinisikan atau bahkan tidak menggunakan
kata ”malpraktek medik. Malpraktek medik selalu dipersamakan dengan ”kesalahan
dan kelalaian” tenaga kesehatan. Demikian pula UU No. 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran, tidak juga menggunakan prase hukum ”malpraktek medis”
atau mendefinisikannya. Namun, UU ini secara tegas telah mengkriminalisasi
sejumlah bentuk praktik kedokteran.

7
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)

Istilah malpraktek medis pertama sekali dipergunakan oleh Sir. William


Blackstone pada tahun 1768 dengan menyebutkan bahwa, ”.... that, mala praxis is
great misdemeanour and offence at common law whether it be for curiousity or experiment,
or by neglect ; because it breaks the trust which the party had placed in his physician, and
tends to the patient’ destruction.” 7 Istilah ini lebih mengarah pada adanya kelalaian
medis yang dilakukan oleh dokter dan merupakan pelanggaran hukum karena
tindakan tersebut merusak kepercayaan yang diberikan oleh pasien serta cenderung
mengakibatkan kerusakan pada tubuh pasien. Malpraktek medis adalah suatu
perbuatan yang dapat dicela karena tidak saja merugikan pasien yang bersangkutan
(kerusakan tubuh atau kematian), tetapi juga menimbulkan akibat yang lebih buruk,
yakni dapat menghancurkan kepercayaan (trust) yang mendasari hubungan antara
dokter dan pasien. Rusaknya kepercayaan masyarakat dapat merusak citra
kedokteran sebagai officium nobel.
Pengertian malpraktek medis yang lebih komprehensif dikemukakan dalam
Kongres World Medical Association tahun 1992 yang menyatakan sebagai berikut :

“Medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of


care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in
providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.”8

Dengan demikian, dalam perbuatan malpraktek, terkandung salah satu anasir


sebagai berikut :

(1). Pelanggaran standar secara sengaja atau pelanggaran perilaku profesi.


Pelanggaran secara sengaja ini dapat pula merupakan bentuk tindak pidana
seperti : melakukan aborsi illegal, euthanasia, memberikan keterangan palsu,
membuka rahasia kedokteran tanpa hak, penyerangan seksual atau
pembohongan (fraud).

(2). Dokter yang bersangkutan melakukan tindakan diluar kompetensinya atau


kurang kompetensi yang dimilikinya. Perbuatan ini sering terjadi dan sebagai
penyebab terjadinya kesalahan atau kelalaian. Namun terhadap perbuatan ini,
dalam situasi lokal tertentu dapat diterima, misalnya karena kurangnya tenaga
SDM sehingga dokter yang kurang kompetensinya juga harus melakukan
tindakan terhadap pasien (dokter umum harus melakukan tindakan yang
semestinya dilakukan oleh dokter spesialis tetapi pada keadaan di daerah
tersebut tidak ada dokter spesialis.)

(3). Terdapat kelalaian dalam tindakan medis. Kelalaian ini bukan merupakan
tindakan yang disengaja oleh dokter. Kelalaian lebih dikarenakan dokter tidak
melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan, atau melakukan tindakan
yang seharusnya tidak dilakukan oleh orang-orang yang sekualifikasi pada
situasi dan kondisi yang identik.

(4). Terjadi kerugian pada pasien sebagai kausalitas langsung dari tindakan
kesalahan atau kelalaian yang dilakukan dokter.

Dengan demikian, suatu perbuatan malpraktek madis tidaklah serta merta


dinilai dari hasil atau akibat dari tindakan medis yang dilakukan oleh dokter

7
John Healey, Medical Negligence Common Law Perspectives, (London : Sweet & Maxwell,
1999), hal. 39
8
Dikutip dalam Taufik Suryadi, op.cit, tanpa halaman.

8
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)

terhadap pasien, tetapi lebih ditekankan pada proses tindakan tersebut dilakukan
oleh dokter. Dengan kata lain, hasil tindakan medis yang tidak sesuai dengan
harapan pasien atau menimbulkan keadaan yang lebih buruk dari semula, tidaklah
serta merta dapat dikatakan perbuatan itu adalah malpraktek. Harus terlebih dikaji
secara mendalam, proses tindakan yang dilakukan oleh dokter yang bersangkutan.
Sebab bisa saja akibat tersebut terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaian dokter,
misalnya karena perjalanan penyakit (termasuk komplikasi), atau karena risiko
menejemen medis yang acceptabel (telah diinformasikan dan disetujui) atau risiko
yang tidak terlihat secara medis.
Nampaknya, pada tahap ini timbul permasalahan di tengah masyarakat,
karena meskipun telah terjadi akibat yang buruk bagi pasien, belum tentu pula hal
itu harus dipertanggungjawabkan secara hukum (perdata dan pidana) oleh dokter
yang bersangkutan. Belum lagi kesulitan dalam proses pembuktian di depan hukum.
Maka tidak heran jika ada anggapan yang menyatakan bahwa hukum dan
penegakan hukum di bidang medis lebih berpihak kepada kepentingan tenaga
medis (khususnya dokter). Anggapan yang demikian juga disebabkan oleh tingginya
ekspektasi masyarakat teradap layanan medis (layanan medis harus menghasilkan
kesembuhan dan kesuksesan), setiap dokter dipandang mengerti segala hal
mengenai penyakit dan siap melayani masyarakat, dan anggapan bahwa setiap
layanan medis yang buruk adalah malpraktek.

Mengukur Malpraktek

Berdasarkan pemahaman Penulis terhadap sejumlah pemaknaan malpraktek,


maka dapat disimpulkan bahwa untuk mengukur adanya kesalahan pada perbuatan
malpraktek yang dilakukan oleh tenaga medis (dokter), dapat dilihat dari unsur-
unsur sebagai berikut :

1. Sikap bathin tenaga kesehatan (dokter)


2. tidak terpenuhinya syarat dalam tindakan/ perlakuan medis
3. syarat mengenai akibat tindakan/perlakuan medis.

Ad.1. Sikap bathin tenaga kesehatan (dokter)

Terkait sikap bathin tenaga kesehatan (dokter), yang ingin dilihat adalah
adanya syarat sengaja atau kelalaian dalam tindakan/perlakuan medis yang
dilakukan oleh (tenaga kesehatan). Dalam praktek sangat jarang terjadi dokter
dengan sengaja melakukan perbuatan yang diketahuinya secara jelas bertentangan
dengan hukum, etika, standar profesi kedokteran, dan standar prosedur. Jenis
malpraktek semacam ini misalnya tindakan aborsi, dan euthanasia. Yang sering
terjadi adalah tindakan malpraktek karena adanya kelalaian sebagai sikap bathin
tenaga kesehatan (dokter) yang mengakibatkan luka-luka atau kematian pada
pasien.

Ad.2. Tidak terpenuhinya syarat dalam tindakan/perlakuan medis

Tidak terpenuhinya syarat dalam tindakan/perlakuan medis dari tenaga kesehatan


(dokter), erat kaitannya dengan adanya unsur melawan hukum dari perbuatan
tersebut. Terkait dengan malpraktek pidana, Komariah Emong Sapardjaja
mengatakan :

9
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)

” Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsur sifat melawan hukum. Pada
sebagian kecil tindak pidana, unsur sifat melawan hukum dicantumkan secara tegas
dalam rumusan tindak pidana, tetapi pada sebagian besar tindak pidana tidak
dicantumkan. Oleh karena sifatnya tindak pidana (larangan berbuat), maka secara
pasti bahwa setiap tindak pidana mengandung unsur sifat melawan hukum. Bagi
tindak pidana yang tidak mencantumkan unsur sifat melawan hukum dalam
rumusannya, unsur tersebut terdapat pada unsur-unsur lain, bisa pada unsur
perbuatan, objek perbuatan, akibat perbuatan (yang dilarang), atau unsur keadaan-
keadaan yang menyertainya.”9

Secara umum sifat melawan hukum malpraktek kedokteran terletak pada


dilanggarnya kepercayaan atau amanah pasien dalam kontrak teraupetik.
Kepercayaan atau amanah ini merupakan kewajiban dokter untuk berbuat sesuatu
dengan sebaik-baiknya, secermat-cermatnya, penuh kehati-hatian, tidak berbuat
ceroboh, berbuat yang seharusnya diperbuat, dan tidak berbuat yang seharusnya
tidak diperbuat. Untuk mengukur adanya unsur-unsur tersebut, mengacu kepada
hukum, etika profesi, standar profesi atau standar prosedur medik.
Bila dijabarkan lebih lanjut, maka malawan hukumnya suatu
perbuatan/perlakuan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (dokter), adalah
apabila perbuatan tersebut melanggar :
a. standar profesi kedokteran
b. standar prosedur operasional
c. ketentuan informed consent
d. rahasi kedokteran
e. kewajiban-kewajiban dokter
f. prinsip-prinsip profesional kedokteran atau kebiasaan yang wajar di bidang
kedokteran
g. tidak sesuai dengan kebutuhan medis pasien
h. dilanggarnya hak-hak pasien10

Ad. 3 syarat mengenai akibat tindakan/perlakuan medis


Syarat mengenai akibat tindakan/perlakuan medis adalah timbulnya akibat
yang merugikan kesehatan dan nyawa pasien.
Dengan demikian, tindakan maplraktek medis semata-mata tidak dinilai dari
akibat yang ditimbulkannya, tetapi juga lebih kepada sifat melawan hukumnya dari
perbuatan/ perlakuan medis tersebut dengan mengacu pada hukum, etika profesi,
standar profesi atau standar prosedur medik.

Kelalaian Medis (Medical Negligence)

Telah diuraikan sebelumnya bahwa kelalaian medis adalah salah satu bentuk
perbuatan malpraktek medis. Tetapi tidak semua bentuk kelalaian medis dapat
dikategorikan sebagai kejahatan. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum ” de minimis
non curat lex” (the law does not concern itself with trifles), hukum tidak mencampuri hal-
hal yang sepele. Namun, apabila kelalaian tersebut sudah mencapai suatu tingkatan
tertentu yang tidak memperdulikan jiwa orang lain, maka sifat kelalaian itu berubah
menjadi serius, dan bersifat kriminal. Jika kelalaian itu sampai merugikan atau
mencelakakan orang lain, maka secara hukum dapat dikualifisir sebagai kelalaian

9
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil dalam Hukum Pidana
Indonesia, (Bandung : Alumni, 2002), hal. 23
10
Adami Chazawi, op.cit., hal. 27

10
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)

berat (culpa lata, gross negligence). Hal ini sudah termasuk dalam rumusan pidana
dalam Pasal 359 KUHP.11
Di negara-negara Anglo Saxon terdapat empat unsur sebagai tolok ukur
kelalaian, yakni : (1). Duty ; (2). Dereliction of that duty ; (3). Direct causation ; (4).
Damage.12

Ad.1 duty (kewajiban)

Kewajiban profesi seorang dokter adalah untuk mempergunakan segala ilmu


dan kepandaiannya untuk penyembuhan pasiennya (to cure). Hubungan dokter dan
pasien termasuk inspanningsverbintenis, sehingga dokter itu pun tidak dapat
dipersalahkan jika hasilnya ternyata tidak sebagaimana yang diharapkan, asalkan
tentunya sudah dipenuhi syarat-syarat yang dikemukakan diatas.
Beberapa kewajiban dokter antara lain memenuhi ketentuan informed consent,
wajib simpan rahasia medis, dll. Dalam kewajiban informed consent, dokter wajib
memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya mengenai : (a). Resiko yang
inheren pada tindakan itu (b). Kemungkinan timbulnya efek samping dari suatu
prosedur (c). Pengobatan alternatif lain jika ada (d). Apa yang mungkin terjadi jika
tindakan itu tidak dilakukan.

Ad.2 Dereliction (Breach of Duty)

Jika seorang dokter menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan atau
tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya, maka
dokter itu dapat dipermasalahkan. Namun, arti penyimpangan ini tidak boleh
diartikan secara sempit, karena dalam ilmu kedokteran, terdapat suatu kelonggaran
luas untuk berbeda pendapat. Maka jika seorang dokter berbeda pendapat dengan
kolega lainnya, tidaklah lantas ia telah menyimpang dari kebiasaan.

Ad. 3 dan 4. Direct Causation and Damage

Harus ada kaitan langsung antara penyebab (causa) dengan kerugian yang
diderita oleh karenanya. Dan hal ini harus ada pembuktian yang jelas. Tidak bisa
hanya karena outcome yang negative lantas dipersalahkan langsung kepada
dokternya. Pembuktian ini harus diajukan oleh pasien.
Kasus hkum kedokteran harus diteliti secara kasuistis, karena ada kasus
dimana kesalahan atau kelalaiannya sedemikian jelasnya, sehingga oleh hukum bisa
dianggap adanya suatu praduga bersalah (inference of negligence). Misalnya dokter
ahli bedah melakukan amputasi kaki yang keliru. Hal semacam ini tergolong dalam
ajaran “res ipsa laquitur” (the thing spesks for it self).

Dalam hal beban pembuktian yang dibebankan kepada pasien. Penulis


kurang sependapat. Mengingat hubungan antara dokter dan pasien dilandasi oleh
hubungan kepercayaan atau amanah (fiduciary), dimana dalam hubungan ini dokter
diberikan keleluasaan untuk mengambil tindakan medis sesuai dengan ilmu
pengetahuan yang dimilikinya, semenatara pasien umumnya adalah pihak yang
tidak memiliki pengetahuan untuk hal yang diamanahkannya, maka membebankan

11
J. Guwandi, “Kelalaian dan Malpraktek dalam Bidang Medik” dalam Tim Pengkajian
Hukum Mahkamah Agung RI, Bunga Rampai tentang Medical Malpractice : Jilid II A Uraian Teoritis
dan Kutipan Kepustakaan tentang Medical Malpractice, (Jakarta : Mahkamah Agung RI, 1991), hal.
81.
12
Ibid., hal. 85 - 89

11
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)

pembuktian pada pasien akan menambah beban pasien. Oleh karena itu,
sebaiknyalah beban pembuktian itu dibebankan kepada dokter, untuk membuktikan
bahwa dirinya tidaknya salah atau telah benar dalam mengambil tindakan. Dalam
hal ini dapat diterapkan teori pembuktian berdasarkan keadilan (billijkheidstheorie).

Dalam sejumlah literature dan jurisprudensi, termasuk di common law, kasus


malpraktek medis dianalisis kasus perkasus. Hal ini karena dalam praktek medis,
ada beberapa hal khusus yang perlu diperhatikan para hakim dalam memeriksa
perkara malpraktek medis, meskipun akibat sudah terjadi, antara lain :

1. Risk of Treatment

Dalam keputusan Arrondissementrechtbank, Amsterdam 1895 : pada


penegakan diagnosa dengan aortografi telah timbul komplikasi (infeksi) sehingga
lutut pasien menjadi lumpuh separuh. Karena dokternya telah melakukannya
dengan hati-hati dan sesuai standar, maka dokter tersebut tidak dapat
dipersalahkan.

2. Kecelakaan

Seorang dokter ternama yang melakukan operasi tumor yang agak besar dan
letaknya sulit, yakni pada para-paru sebelah atas dekat pembuluh darah arteri.
Tidak ada alternatif lain, operasi harus dilakukan, jika tidak dalam perhitungan
medis, sipasien akan meninggal dalam waktu 6 bulan.
Operasi yang dilakukan termasuk high risk dan sangat sukar, karena sangat
berdekatan sekali dengan jantung. Pada waktu dilakukan operasi dengan tak sengaja
telah tertusuk 2 pembuluh darah dan pendarahannya tidak berhasil dihentikan.
Seorang saksi ahli bedah jantung pun mengakui, bahwa operasi itu memang sangat
sukar, karena banyak sekali terdapat perlengketan. Bahkan bagi seorang ahli bedah
terpandaipun operasi itu termasuk pekerjaan yang sulit. Pasien meninggalnya,
dokternya tidak dipersalahkan.

3. Non Negligent clinical error of judgement

“Errare humanum est”, kesalahan adalah manusiawi. Seorang dokterpun


manusia dan tidak terhindar dari kesalahan. Dalam kasus “Whitehouse v. Jirdan,
1980, seorang ahli kandungan yang terkenal dipersalahkan karena menarik-narik
terlalu lama dan terlampau keras seorang bayi dalam suatu persalinan yang sangat
sukar. Akibatnya bayi dilahirkan dengan cacat berat pada otaknya. Pertimbangan
dokter pada saat itu : “ mengingat keadaan si ibu, adalah lebih baik kalau bayi bisa
dikeluarkan tanpa operasi daripada harus mengalami operasi Caesar.
Pada pengadilan tingkat pertama dokter itu dipersalahkan, dan pada tingkat
banding dia dimenangkan. Namun yang penting adalah ucapan hakim Lord
Denning yang sangat terkenal yang mengatakan bahwa : ”apabila dokter dianggap
selalu bertanggungjawab apabila terjadi sesuatu atau bila ia tidak berhasil
menyembukan, maka hal ini akan sangat merugikan masyarakat. Pada seorang
profesional, suatu kesalahan dalam pertimbangan (error of judgement) bukanlah
semerta-merta kelalaian. Mungkin pertimbangannya keliru, namun ia atau dokter
lainpun tidak mungkin akan selalu benar.”
Pada tingkat house of lord dikatakan bahwa karena kata ”error” itu bisa
ditafsirkan sangat luas, maka penafsiran kata ”error” itu harus dibatasi dan diteliti

12
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)

lebih dahulu, apakah tindakannya sudah dilakukan berdasarkan standar profesi


medis.

4. Allergic Reactions.

Reaksi tubuh berkelebihan dari seseorang yang tiba-tiba timbul karena alergi,
tidak bisa diketahui atau diperkirakan terlebih dahulu. Maka, jika timbul reaksi
demikian sehingga pasiennya mengalami shock, dokternya tidak dapat
dipersalahkan. Tentunya sesudah timbul, dokter itu harus berusaha mengatasi shock
tersebut dengan memberikan suntikan penawarnya.13

Tanggungjawab Perdata
Wanprestasi

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa hubungan antara dokter dan pasien


tidak semata-mata merupakan hubungan kebutuhan, atau hubungan kepercayaan
atau hubungan profesi, tetapi juga merupakan hubungan hukum. Hubungan hukum
ini dapat masuk dalam lingkup hubungan hukum perdata maupun pidana. Dalam
lingkup hukum perdata, hubungan hukum antara dokter dan pasien lebih
didominasi oleh hubungan perikatan yang dapat menimbulkan tuntutan
wanprestasi dan hubungan berdasarkan kepatutan, dan perundang-undangan yang
dapat menimbulkan tuntutan perbuatan melawan hukum.

1. Wanprestasi

Pasal 39 UU No. 24 Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran, menyatakan :

Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter


atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan,
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan
kesehatan.

Jelas bahwa dalam hubungan dokter dan pasien dalam praktek kedokteran,
didasarkan pada perikatan (kesepakatan) antara dokter dan pasien dalam lingkup
upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan . Perjanjian teraupetik (kesepakatan)
dokter – pasien umumnya tidak tertulis, tetapi tunduk pada ukuran-ukuran
kewajiban dokter berdasarkan stándar profesi, etika kedokteran dan kepatutan.
Tentunya dengan tetap berpedoman pada karakteristik kesepakatan yang tergolong
pada jenis inspanningsverbintenis bukan resultaats verbintenis.
Dalam konteks nspanningsverbintennis, dokter dituntut untuk melakukan
upaya secara sungguh-sungguh untuk memenuhi prestasinya berupa berbuat
sesuatu secara maksimal dengan sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya untuk
kepentingan pasien sesuai dengan ukuran stándar pengetahuan dan stándar-stándar
lain yang diwajibkan lepadanya.14 Jadi, ukuran pelaksanaan kewajiban dokter dalam
hubungan perikatan ini stándar-stándar yang dibebankan kepadanya, bukan lepada
hasil daripada prestasi.
Secara umum, statu pihak dikatakan wanprestasi apabila pihak tersebut : (a).
Tidak memberikan prestasi sama sekali sebagaimana diperjanjikan, (b). Memberikan
13
Ibid., hal. 89
14
Bandingkan Oemar Seno Adji, Profesi Dokter, (Jakarta : Erlangga, 1991), hal. 109.

13
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)

prestasi tidak sebagaimana semestinya, tidak sesuai dengan kualitas dan kuantitas
dengan yang diperjanjikan, (c). Memberikan prestasi tetapi sudah terlambat, tidak
tepat waktu sebagaimana diperjanjikan, (d). Memberikan prestasi lain dari yang
diperjanjikan. 15 Dengan memperhatikan karakteristik inspanningsverbintenis pada
HDP, maka wanprestasi dokter yang paling dekat pada bentuk pelanggaran
kewajiban point (b). Memberikan prestasi tidak sebagaimana semestinya, tidak
sesuai dengan kualitas dan kuantitas dengan yang diperjanjikan, dan (d).
Memberikan prestasi lain dari yang diperjanjikan. 16 Dengan demikian alasan
wanprestasi dokter bukan semata-mata dikarenakan adanya akibat dari perlakuan
medis yang dilakukan dokter, tetapi pada penilaian terhadap upaya yang dilakukan
dokter dengan mengacu pada ukuran-ukuran standar pengetahuan, standar profesi
dan standar prosedur, dan kepatutan.
Wujud kerugian dalam wanprestasi pelayanan dokter harus benar-benar
akibat (causaal verband) dari perlakuan medis yang menyalahi standar profesi
kedokteran atau standar prosedur operasional. Dalam hal ini, ilmu kedokteran
sangat berperan untuk menguji dan mengukur ada tidaknya causaal verband tersebut.
Wujud kerugian akibat wanprestasi adalah hanya berupa kerugian materil yang
dapat diukur dengan nilai uang, terutama biaya perawatan, biaya perjalanan dan
biaya obat-obatan (pengobatan). Selain membuktikan perlakuan dokter yang
menyimpang dari standar profesi medis, juga harus dibuktikan bahwa kerugian itu
merupakan akibat langsung dari perlakuan medis dokter yang menyimpang.17

Perbuatan Melawan Hukum

Apabila dalam HDP dalam perlakuan medis terdapat kesalahan yang


merupakan suatu perbuatan melanggar hukum, dan menimbulkan akibat kerugian,
maka pasien berhak menuntut adanya penggantian kerugian berdasarkan perbuatan
melawan hukum sesuai ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata. Dengan demikian, ada 3
elemen yang harus dibuktikan dalam perbuatan melawan hukum ini, yakni : adanya
perbuatan yang melawan hukum, adanya kesalahan, dan adanya kerugian sebagai
akibat dari perbuatan melawan hukum itu.
Dalam konteks malpraktek medis, kesalahan dokter diukur dari sikap bathin
(untuk melihat kesengajaan dan kelalaian) dan standar-standar yang berlaku dalam
profesi kedokteran dan ketentuan perundang-undangan. Namun, hakim sebaiknya
tetap mempertimbangkan keadaan-keadaan khusus dalam profesi kedokteran
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Dengan demikian, dalam pertanggungjawaban perdata, dokter bisa
mengalami tuntutan dalam bentuk wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.
Kapan perbuatan malpraktek medis itu wanprestasi dan kapan perbuatan itu
merupakan perbuatan melawan hukum ? tentu menimbulkan banyak pertanyaan.
Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa untuk membedakan kedua perbuatan
hukum tersebut dapat dilihat dari jenis perlakuan medis yang dipermasalahkan.
Apabila perlakuan medis tersebut sudah memasuki ranah hukum pidana (misalnya
luka-luka dan kematian), maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan
hukum dan apabila tidak memasuki ranah hukum pidana, maka perbuatan tersebut
merupakan wanprestasi.18 Argumentasi ini dapat diterima, mengingat bahwa
apabila perlakuan medis tersebut sudah memasuki ranah pidana, maka dalam

15
Perhatikan Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermassa, 1985), hal 45
16
Perhatikan Adami Chazawi, op.cit., hal. 49
17
Ibid., hal. 53
18
Ibid., hal. 53

14
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)

perbuatan tersebut jelas mengandung adanya unsur melawan hukum, dan karena
tuntuan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata lebih tepat.

Beban Pembuktian

Dalam pengertian yang dipahami secara umum, beban pembuktian terkait


adanya perbuatan wanprestasi, melawan hukum, dan kesalahan dibebankan kepada
pihak yang menggugat (pasien), baik sebagai kreditur maupun pihak yang
dirugikan. Terkait dengan malpraktek medis, umumnya akan terdapat kesulitan
bagi pasien dalam beban pembuktian, mengingat pembuktian malpraktek memiliki
karakteristik yang rumit dan sangat teknis medis. Sebagai orang awam, pasien akan
menghadapi kesulitan dalam beban pembuktian.
Di Negeri Belanda, sejak 1 April 1988 dalam hukum pembuktian yang baru,
bertalian dengan beban pembuktian didasarkan atas dua ketentuan, yaitu :

1. Didasarkan pada ajaran hukum objektif

Pihak yang menuntut berdasarkan fakta atau hukum memikul beban pembuktian
dari fakta hukum tersebut (Pasal 177 RV Belanda). Dengan kata lain : pada pokoknya
siapapun menuntut, harus membuktikan. Seorang pasien yang menuntut dokter atas
dasar wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, menurut ketentuan ini harus
membuktikan bahwa oleh dokter tersebut dan mungkin oleh orang untuk siapa ia
bertanggungjawab telah dibuat kesalahan.

2. Didasarkan pada teori keadilan (billijkheidstheorie)

Pada teori ini yang didasarkan pada akal yang sehat (redelijkheid) dan keadilan
(billijkheid) hakim untuk setiap peristiwa/kejadian secara terpisah harus membagi
beban pembuktian berdasarkan keadilan.19

Nampaknya, beban pembuktian berdasarkan teori keadilan akan lebih mudah bagi
pasien dibandingkan aturan yang ketat dalam teori pembuktian objektif, mengingat
kedudukan pasien sebagai orang awam dalam bidang medis. Pandangan ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 26 UU Kehakiman yang menugaskan kepada hakim untuk
tidak saja menggali kaidah-kaidah hukum dalam memeriksa dan mengadili suatu
perkara, tetapi juga harus menggali rasa keadilan masyarakat.

Malpraktek Medis yang Bersifat Administratif

Tindakan malparktek medis selain bersentuhan dan aspek hukum perdata


dan pidana, juga meliputi aspek administratif. Beberapa bentuk malpraktek
administratif dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, antara lain :

1. Tidak memiliki persyaratan administratif seperti surat tanda registrasi (STR)


dokter yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran (Pasal 29).
2. dokter lulusan luar negeri yang lulus di Indonesia tidak dilengkapi dengan
syarat lulus evaluasi. Bagi dokter asing selain lulus evaluasi juga harus memiliki
ijin kerja (Pasal 30).
19
Mahkamah Agung RI, Bunga Rampai tentang Medical Malpractice : Jilid I Uraian
Teoritis tentang Medical Malpractice, (Jakarta : MA RI, 1992), hal. 17

15
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)

3. tidak memiliki surat ijin praktek (SIP) yang dikeluarkan pejabat kesehatan yang
berwenang di kabupaten/kota tempat praktik (Pasal 36 jo. Pasal 37).
4. Tidak memenuhi kewajiban pelayanan medis sesuai dengan standar profesi,
standar prosedur operasional dan kebutuhan medis pasien.
5. tidak merujuk pasien kedokter lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan
yang lebih baik.
6. melanggar kewajiban merahasiakan segala sesuatu mengenai pasien (Pasal 14
Kodeki dan PP 26 Tahun 1960)
7. tidak melakukan kewajiban melakukan pertolongan darurat atas dasar
kemanusiaan
8. tidak menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran
9. tidak mengindahkan informed consent (penjelasan kepada pasien sebelum
melakukan tindakan), Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2004.

Pelanggaran Kewajiban administratif tidak selamanya bersanksi administrasi,


seperti pencabutan izin praktek, dll. Beberapa pelanggaran hukum administratif
kedokteran, kini menjadi tindak pidana, berdasarkan ketentuan Pasal 75,76,77, 78
dan 79 UU No. 29 Tahun 2004.

Pasal 75

(1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
(3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).

Pasal 76

Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran
tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk
lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan
adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau
surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 78

16
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah
yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda
registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah).

Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:
a. dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (1);
b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (1);
atau
c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.

Terkait hubungan pelanggaran administrasi dengan malpraktek medis, dapat


dijelaskan bahwa selama pelanggaran hukum administrasi oleh dokter tidak
membawa kerugian kesehatan fisik atau mental atau nyawa pasien, dokter hanya
dapat dipidana berdasarkan Pasal 75-80. Akan tetapi, apabila karena pelanggaran
hukum administratif tersebut, praktik dokter merugikan kesehatan pasien dan atau
nyawa, maka dapat menjadi malpraktek pidana ataupun perdata.20

20
Adami Chazawi, op.cit, hal. 132.

17
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)

DAFTAR BACAAN

Adji, Oemar Seno, Profesi Dokter, Jakarta : Erlangga, 1991.

Chazawi, Adami, Malpraktik Kedokteran : Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum,


Malang : Bayu Media, 2007.

Guwandi, J, “Kelalaian dan Malpraktek dalam Bidang Medik” dalam Tim


Pengkajian Hukum Mahkamah Agung RI, Bunga Rampai tentang
Medical Malpractice : Jilid II A Uraian Teoritis dan Kutipan Kepustakaan
tentang Medical Malpractice, Jakarta : Mahkamah Agung RI, 1991.

Hanafiah, Jusuf, M dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta :
EGC, 1999.

Healey, John, Medical Negligence Common Law Perspectives, London : Sweet &
Maxwell, 1999.

Koeswadji, Hermin Hediati, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, Bandung : Citra
Aditya Bakti, 1992

Republik Indonesia, Mahkamah Agung , Bunga Rampai tentang Medical Malpractice :


Jilid I Uraian Teoritis tentang Medical Malpractice, Jakarta : MA RI, 1992.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik


Kedokteran

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

Sapardjaja, Komariah Emong, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil dalam Hukum
Pidana Indonesia, Bandung : Alumni, 2002.

Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta : Intermassa, 1985.

18
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)

Suryadi, Taufik, “Malpraktek Medik dalam Pandangan Etika Kedokteran dan


Hukum”, disampaikan pada Seminar “Perlindungan Hukum Bagi
pasien dan Dokter dalam Kasus Dugaan Malpraktik”, Aceh Justice
Resource Center, 19 Mei 2009.

Sutrisno, S, “Medical Malpractice” dalam Tim Pengkajian Hukum Mahkamah


Agung RI, Bunga Rampai tentang Medical Malpractice : Jilid II A Uraian
Teoritis dan Kutipan Kepustakaan tentang Medical Malpractice, Jakarta :
Mahkamah Agung RI, 1991.

19

Anda mungkin juga menyukai