Latar Belakang
1
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)
2
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)
1. kendala substansi hukum. Tidak ada ketentuan yang jelas dan komprehensif
mengatur tentang malpraktek. UU Praktek Kedokteran hanya menghukum
praktek-praktek kedokteran yang benar-benar secara nyata dapat dipersalahkan,
karena fakta yang tidak terbantah, misalnya praktek tanpa surat ijin praktek,
tanpa kompetensi, tertinggal kain kasa atau peralatan kedokteran pasca operasi,
dll. Demikian pula dalam KUHP, juga mengatur tentang praktek kedokteran
yang nyata-nyata dapat dipersalahkan (umumnya karena kesengajaan), misalnya
aborsi illegal, atau euthanasia. Bagaimana dengan praktek kedokteran yang
menimbulkan akibat buruk terhadap pasien (misalnya kematian, luka berat) ?
Maka terlebih dahulu harus dikaji secara memadai mengenai proses yang telah
dilakukan oleh dokter dalam mengambil tindakan yang demikian. Jika prosedur
yang diambil sudah benar, maka belum tentu dokter yang bersangkutan dapat
dijerat hukum.
2. ilmu kedokteran sebagai basis profesi kedokteran bukanlah 100 % ilmu pasti.
Tidak ada jaminan bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh dokter akan
berakhir pada kesembuhan atau kesuksesan. Ketika seorang dokter selesai
mendiagnosis suatu penyakit, maka dokter akan dihadapkan pada puluhan
bahkan ratusan daftar obat-obatan yang dapat diterapkan pada pasien yang
bersangkutan dan tidak ada jaminan bahwa obat yang dipilih dokter tersebut
pasti akan dapat menyembuhkan penyakit pasien. Dokter harus memiliki
pengetahuan yang cukup untuk memilih jenis obat tersebut dengan
mempertimbangkan berbagai aspek, tidak saja aspek keadaan penyakit pasien,
kondisi tubuh pasien tetapi juga kondisi ekonomi pasien.
3. kendala pembuktian. Dalam penegakan hukum terhadap adanya tuntutan
malpraktek, tentu hakim akan melakukan alur berpikir silogisma dengan
mensinkronkan fakta dengan kaidah hukum positif. Dalam hal ini, selalu
diperlukan keterangan ahli (dokter yang pengetahuannya sederajat) untuk
memberikan keterangan terkait uji pemenuhan standar profesi kedokteran.
Hakim tentu mengalami kesulitan untuk menilai kesesuaian tindakan dokter
dengan standar profesi atau etika profesi kedokteran, karena dalam berbagai hal
masalah ini sangat teknis kedokteran. Sementara keterangan ahli selalu akan
3
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)
diberikan oleh orang seprofesi (dokter) yang selalu dipandang akan kurang
objektif karena adanya pengaruh espirit de corps.
Kendala ini juga akan dirasakan ketika menguji unsur lack of skill pada diri
seorang dokter. Bagaimana hakim bisa dengan mudah menguji bahwa dokter
yang bersangkutan tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk melakukan
tindakan medis yang dipersalahkan kepadanya.
4. sifat perikatan antara dokter dan pasien yang digolongkan pada jenis inspanings
verbintenis berupa usaha untuk melakukan pengobatan sebaik-baiknya sesuai
dengan standar profesi, standar prosedur operasional, kebiasaan umum yang
wajar dalam dunia kedokteran tapi juga memperhatikan kesusilaan dan
kepatutan. Perikatan ini tidak menjanjikan hasil (seperti pada resuultan
verbintenis), sehingga yang harus diuji bukanlah akibat (hasil) perbuatan, tetapi
upaya yang dilakukan apakah telah memenuhi standar profesi, standar prosedur
operasional, dll. Kesulitan pembuktian akan menjadi persoalan kembali.
4
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)
dilakukan oleh dokter. Pola hubungan ini menempatkan dokter sebagai pihak yang
superior dan pasien pada posisi inferior.
Dewasa ini, hubungan dokter pasien sudah sedemikian kompleks baik dari
segi pemaknaannya maupun lingkup hubungannya. Hubungan dokter-pasien tidak
saja didasarkan pada hubungan kepercayaan (dalam pemaknaan tradisional) dan
hubungan kebutuhan (sepihak), tetapi juga sudah meliputi hubungan keprofesian
dan hubungan hukum. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak lagi dapat
mempermasalahkan secara hukum praktek kedokteran yang buruk.
Hubungan kepercayaan tidak saja dimaknai bahwa dokter akan
merahasiakan segala sesuatu tentang diri pasien dan pasrah terhadap tindakan
pasien. Hubungan kepercayaan lebih luas dari pemaknaan tradisional tersebut.
Hubungan kebutuhan tidak lagi dimaknai sepihak (pasien lebih membutuhkan
dokter). Pasien memang membutuhkan dokter, tetapi juga dalam porsi yang sama
dokter membutuhkan pasien sebagai subjek profesinya. Tanpa pasien, tidak ada
makna dokter yang signifikan. Hubungan keprofesian terjadi sebagai bentuk
interaksi antara seorang pemberi jasa profesional dengan pihak yang menerima jasa
profesional tersebut (dalam berbagai peraturan, layanan medis dikategorikan
sebagai ”bidang usaha” (bisnis profesional). Sedangkan hubungan hukum memiliki
makna bahwa hubungan tersebut menimbulkan hak dan kewajiban serta
pertanggungjawaban secara hukum, tidak sekedar pertanggungjawaban moral dan
profesional ethic.
5
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)
(2). Kewajiban Dokter terhadap Penderita, terdiri dari : (a). Harus senantiasa
mengingat akan kewajibannya melindungi hidup mahluk insani (Pasal 10) ; (b).
Wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya
untuk kepentingan penderita. Apabila dia tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan, ia wajib merujuk penderita kepada dokter lain yang
mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut (Pasal 11) ; (c). Harus memberikan
kesempatan kepada penderita agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga
dan penasihatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya (Pasal 12) ; (d).
Wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita,
bahkan setelah penderita itu meninggal dunia (Pasal 13) ; (e). Wajib melakukan
pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada
orang lain yang bersedia dan mampu memberikannya (Pasal 14).
(3). Kewajiban Dokter terhadap Teman Sejawat, terdiri dari : (a). Memperlakukan
teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan (Pasal 15) ; (b). Tidak
boleh mengambil alih penderita dari teman sejawatnya tanpa persetujuannya (Pasal
16) ;
(4). Kewajiban Dokter terhadap Diri Sendiri, meliputi : (a). Harus memelihara
kesehatannya supaya dapat bekerja dengan baik ; (b). Baik senantiasa mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan tetap setia.
Pasal 51
6
Adami Chazawi, Malpraktik Kedokteran : Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum, (Malang :
Bayu Media, 2007), hal. 19 – 22.
6
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)
Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang :
a. dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41 ayat (1);
b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46 ayat (1); atau
c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.
Hak Dokter (Dokter Gigi) diatur secara limitatif dalam Pasal 50 UU No. 29
Tahun 2004 sebagai berikut :
Pasal 50
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :
a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional;
b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional;
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan
d. menerima imbalan jasa.
7
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)
(3). Terdapat kelalaian dalam tindakan medis. Kelalaian ini bukan merupakan
tindakan yang disengaja oleh dokter. Kelalaian lebih dikarenakan dokter tidak
melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan, atau melakukan tindakan
yang seharusnya tidak dilakukan oleh orang-orang yang sekualifikasi pada
situasi dan kondisi yang identik.
(4). Terjadi kerugian pada pasien sebagai kausalitas langsung dari tindakan
kesalahan atau kelalaian yang dilakukan dokter.
7
John Healey, Medical Negligence Common Law Perspectives, (London : Sweet & Maxwell,
1999), hal. 39
8
Dikutip dalam Taufik Suryadi, op.cit, tanpa halaman.
8
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)
terhadap pasien, tetapi lebih ditekankan pada proses tindakan tersebut dilakukan
oleh dokter. Dengan kata lain, hasil tindakan medis yang tidak sesuai dengan
harapan pasien atau menimbulkan keadaan yang lebih buruk dari semula, tidaklah
serta merta dapat dikatakan perbuatan itu adalah malpraktek. Harus terlebih dikaji
secara mendalam, proses tindakan yang dilakukan oleh dokter yang bersangkutan.
Sebab bisa saja akibat tersebut terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaian dokter,
misalnya karena perjalanan penyakit (termasuk komplikasi), atau karena risiko
menejemen medis yang acceptabel (telah diinformasikan dan disetujui) atau risiko
yang tidak terlihat secara medis.
Nampaknya, pada tahap ini timbul permasalahan di tengah masyarakat,
karena meskipun telah terjadi akibat yang buruk bagi pasien, belum tentu pula hal
itu harus dipertanggungjawabkan secara hukum (perdata dan pidana) oleh dokter
yang bersangkutan. Belum lagi kesulitan dalam proses pembuktian di depan hukum.
Maka tidak heran jika ada anggapan yang menyatakan bahwa hukum dan
penegakan hukum di bidang medis lebih berpihak kepada kepentingan tenaga
medis (khususnya dokter). Anggapan yang demikian juga disebabkan oleh tingginya
ekspektasi masyarakat teradap layanan medis (layanan medis harus menghasilkan
kesembuhan dan kesuksesan), setiap dokter dipandang mengerti segala hal
mengenai penyakit dan siap melayani masyarakat, dan anggapan bahwa setiap
layanan medis yang buruk adalah malpraktek.
Mengukur Malpraktek
Terkait sikap bathin tenaga kesehatan (dokter), yang ingin dilihat adalah
adanya syarat sengaja atau kelalaian dalam tindakan/perlakuan medis yang
dilakukan oleh (tenaga kesehatan). Dalam praktek sangat jarang terjadi dokter
dengan sengaja melakukan perbuatan yang diketahuinya secara jelas bertentangan
dengan hukum, etika, standar profesi kedokteran, dan standar prosedur. Jenis
malpraktek semacam ini misalnya tindakan aborsi, dan euthanasia. Yang sering
terjadi adalah tindakan malpraktek karena adanya kelalaian sebagai sikap bathin
tenaga kesehatan (dokter) yang mengakibatkan luka-luka atau kematian pada
pasien.
9
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)
” Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsur sifat melawan hukum. Pada
sebagian kecil tindak pidana, unsur sifat melawan hukum dicantumkan secara tegas
dalam rumusan tindak pidana, tetapi pada sebagian besar tindak pidana tidak
dicantumkan. Oleh karena sifatnya tindak pidana (larangan berbuat), maka secara
pasti bahwa setiap tindak pidana mengandung unsur sifat melawan hukum. Bagi
tindak pidana yang tidak mencantumkan unsur sifat melawan hukum dalam
rumusannya, unsur tersebut terdapat pada unsur-unsur lain, bisa pada unsur
perbuatan, objek perbuatan, akibat perbuatan (yang dilarang), atau unsur keadaan-
keadaan yang menyertainya.”9
Telah diuraikan sebelumnya bahwa kelalaian medis adalah salah satu bentuk
perbuatan malpraktek medis. Tetapi tidak semua bentuk kelalaian medis dapat
dikategorikan sebagai kejahatan. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum ” de minimis
non curat lex” (the law does not concern itself with trifles), hukum tidak mencampuri hal-
hal yang sepele. Namun, apabila kelalaian tersebut sudah mencapai suatu tingkatan
tertentu yang tidak memperdulikan jiwa orang lain, maka sifat kelalaian itu berubah
menjadi serius, dan bersifat kriminal. Jika kelalaian itu sampai merugikan atau
mencelakakan orang lain, maka secara hukum dapat dikualifisir sebagai kelalaian
9
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil dalam Hukum Pidana
Indonesia, (Bandung : Alumni, 2002), hal. 23
10
Adami Chazawi, op.cit., hal. 27
10
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)
berat (culpa lata, gross negligence). Hal ini sudah termasuk dalam rumusan pidana
dalam Pasal 359 KUHP.11
Di negara-negara Anglo Saxon terdapat empat unsur sebagai tolok ukur
kelalaian, yakni : (1). Duty ; (2). Dereliction of that duty ; (3). Direct causation ; (4).
Damage.12
Jika seorang dokter menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan atau
tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya, maka
dokter itu dapat dipermasalahkan. Namun, arti penyimpangan ini tidak boleh
diartikan secara sempit, karena dalam ilmu kedokteran, terdapat suatu kelonggaran
luas untuk berbeda pendapat. Maka jika seorang dokter berbeda pendapat dengan
kolega lainnya, tidaklah lantas ia telah menyimpang dari kebiasaan.
Harus ada kaitan langsung antara penyebab (causa) dengan kerugian yang
diderita oleh karenanya. Dan hal ini harus ada pembuktian yang jelas. Tidak bisa
hanya karena outcome yang negative lantas dipersalahkan langsung kepada
dokternya. Pembuktian ini harus diajukan oleh pasien.
Kasus hkum kedokteran harus diteliti secara kasuistis, karena ada kasus
dimana kesalahan atau kelalaiannya sedemikian jelasnya, sehingga oleh hukum bisa
dianggap adanya suatu praduga bersalah (inference of negligence). Misalnya dokter
ahli bedah melakukan amputasi kaki yang keliru. Hal semacam ini tergolong dalam
ajaran “res ipsa laquitur” (the thing spesks for it self).
11
J. Guwandi, “Kelalaian dan Malpraktek dalam Bidang Medik” dalam Tim Pengkajian
Hukum Mahkamah Agung RI, Bunga Rampai tentang Medical Malpractice : Jilid II A Uraian Teoritis
dan Kutipan Kepustakaan tentang Medical Malpractice, (Jakarta : Mahkamah Agung RI, 1991), hal.
81.
12
Ibid., hal. 85 - 89
11
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)
pembuktian pada pasien akan menambah beban pasien. Oleh karena itu,
sebaiknyalah beban pembuktian itu dibebankan kepada dokter, untuk membuktikan
bahwa dirinya tidaknya salah atau telah benar dalam mengambil tindakan. Dalam
hal ini dapat diterapkan teori pembuktian berdasarkan keadilan (billijkheidstheorie).
1. Risk of Treatment
2. Kecelakaan
Seorang dokter ternama yang melakukan operasi tumor yang agak besar dan
letaknya sulit, yakni pada para-paru sebelah atas dekat pembuluh darah arteri.
Tidak ada alternatif lain, operasi harus dilakukan, jika tidak dalam perhitungan
medis, sipasien akan meninggal dalam waktu 6 bulan.
Operasi yang dilakukan termasuk high risk dan sangat sukar, karena sangat
berdekatan sekali dengan jantung. Pada waktu dilakukan operasi dengan tak sengaja
telah tertusuk 2 pembuluh darah dan pendarahannya tidak berhasil dihentikan.
Seorang saksi ahli bedah jantung pun mengakui, bahwa operasi itu memang sangat
sukar, karena banyak sekali terdapat perlengketan. Bahkan bagi seorang ahli bedah
terpandaipun operasi itu termasuk pekerjaan yang sulit. Pasien meninggalnya,
dokternya tidak dipersalahkan.
12
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)
4. Allergic Reactions.
Reaksi tubuh berkelebihan dari seseorang yang tiba-tiba timbul karena alergi,
tidak bisa diketahui atau diperkirakan terlebih dahulu. Maka, jika timbul reaksi
demikian sehingga pasiennya mengalami shock, dokternya tidak dapat
dipersalahkan. Tentunya sesudah timbul, dokter itu harus berusaha mengatasi shock
tersebut dengan memberikan suntikan penawarnya.13
Tanggungjawab Perdata
Wanprestasi
1. Wanprestasi
Jelas bahwa dalam hubungan dokter dan pasien dalam praktek kedokteran,
didasarkan pada perikatan (kesepakatan) antara dokter dan pasien dalam lingkup
upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan . Perjanjian teraupetik (kesepakatan)
dokter – pasien umumnya tidak tertulis, tetapi tunduk pada ukuran-ukuran
kewajiban dokter berdasarkan stándar profesi, etika kedokteran dan kepatutan.
Tentunya dengan tetap berpedoman pada karakteristik kesepakatan yang tergolong
pada jenis inspanningsverbintenis bukan resultaats verbintenis.
Dalam konteks nspanningsverbintennis, dokter dituntut untuk melakukan
upaya secara sungguh-sungguh untuk memenuhi prestasinya berupa berbuat
sesuatu secara maksimal dengan sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya untuk
kepentingan pasien sesuai dengan ukuran stándar pengetahuan dan stándar-stándar
lain yang diwajibkan lepadanya.14 Jadi, ukuran pelaksanaan kewajiban dokter dalam
hubungan perikatan ini stándar-stándar yang dibebankan kepadanya, bukan lepada
hasil daripada prestasi.
Secara umum, statu pihak dikatakan wanprestasi apabila pihak tersebut : (a).
Tidak memberikan prestasi sama sekali sebagaimana diperjanjikan, (b). Memberikan
13
Ibid., hal. 89
14
Bandingkan Oemar Seno Adji, Profesi Dokter, (Jakarta : Erlangga, 1991), hal. 109.
13
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)
prestasi tidak sebagaimana semestinya, tidak sesuai dengan kualitas dan kuantitas
dengan yang diperjanjikan, (c). Memberikan prestasi tetapi sudah terlambat, tidak
tepat waktu sebagaimana diperjanjikan, (d). Memberikan prestasi lain dari yang
diperjanjikan. 15 Dengan memperhatikan karakteristik inspanningsverbintenis pada
HDP, maka wanprestasi dokter yang paling dekat pada bentuk pelanggaran
kewajiban point (b). Memberikan prestasi tidak sebagaimana semestinya, tidak
sesuai dengan kualitas dan kuantitas dengan yang diperjanjikan, dan (d).
Memberikan prestasi lain dari yang diperjanjikan. 16 Dengan demikian alasan
wanprestasi dokter bukan semata-mata dikarenakan adanya akibat dari perlakuan
medis yang dilakukan dokter, tetapi pada penilaian terhadap upaya yang dilakukan
dokter dengan mengacu pada ukuran-ukuran standar pengetahuan, standar profesi
dan standar prosedur, dan kepatutan.
Wujud kerugian dalam wanprestasi pelayanan dokter harus benar-benar
akibat (causaal verband) dari perlakuan medis yang menyalahi standar profesi
kedokteran atau standar prosedur operasional. Dalam hal ini, ilmu kedokteran
sangat berperan untuk menguji dan mengukur ada tidaknya causaal verband tersebut.
Wujud kerugian akibat wanprestasi adalah hanya berupa kerugian materil yang
dapat diukur dengan nilai uang, terutama biaya perawatan, biaya perjalanan dan
biaya obat-obatan (pengobatan). Selain membuktikan perlakuan dokter yang
menyimpang dari standar profesi medis, juga harus dibuktikan bahwa kerugian itu
merupakan akibat langsung dari perlakuan medis dokter yang menyimpang.17
15
Perhatikan Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermassa, 1985), hal 45
16
Perhatikan Adami Chazawi, op.cit., hal. 49
17
Ibid., hal. 53
18
Ibid., hal. 53
14
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)
perbuatan tersebut jelas mengandung adanya unsur melawan hukum, dan karena
tuntuan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata lebih tepat.
Beban Pembuktian
Pihak yang menuntut berdasarkan fakta atau hukum memikul beban pembuktian
dari fakta hukum tersebut (Pasal 177 RV Belanda). Dengan kata lain : pada pokoknya
siapapun menuntut, harus membuktikan. Seorang pasien yang menuntut dokter atas
dasar wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, menurut ketentuan ini harus
membuktikan bahwa oleh dokter tersebut dan mungkin oleh orang untuk siapa ia
bertanggungjawab telah dibuat kesalahan.
Pada teori ini yang didasarkan pada akal yang sehat (redelijkheid) dan keadilan
(billijkheid) hakim untuk setiap peristiwa/kejadian secara terpisah harus membagi
beban pembuktian berdasarkan keadilan.19
Nampaknya, beban pembuktian berdasarkan teori keadilan akan lebih mudah bagi
pasien dibandingkan aturan yang ketat dalam teori pembuktian objektif, mengingat
kedudukan pasien sebagai orang awam dalam bidang medis. Pandangan ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 26 UU Kehakiman yang menugaskan kepada hakim untuk
tidak saja menggali kaidah-kaidah hukum dalam memeriksa dan mengadili suatu
perkara, tetapi juga harus menggali rasa keadilan masyarakat.
15
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)
3. tidak memiliki surat ijin praktek (SIP) yang dikeluarkan pejabat kesehatan yang
berwenang di kabupaten/kota tempat praktik (Pasal 36 jo. Pasal 37).
4. Tidak memenuhi kewajiban pelayanan medis sesuai dengan standar profesi,
standar prosedur operasional dan kebutuhan medis pasien.
5. tidak merujuk pasien kedokter lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan
yang lebih baik.
6. melanggar kewajiban merahasiakan segala sesuatu mengenai pasien (Pasal 14
Kodeki dan PP 26 Tahun 1960)
7. tidak melakukan kewajiban melakukan pertolongan darurat atas dasar
kemanusiaan
8. tidak menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran
9. tidak mengindahkan informed consent (penjelasan kepada pasien sebelum
melakukan tindakan), Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2004.
Pasal 75
(1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
(3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
Pasal 76
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran
tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk
lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan
adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau
surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 78
16
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah
yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda
registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah).
Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:
a. dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (1);
b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (1);
atau
c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.
20
Adami Chazawi, op.cit, hal. 132.
17
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)
DAFTAR BACAAN
Hanafiah, Jusuf, M dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta :
EGC, 1999.
Healey, John, Medical Negligence Common Law Perspectives, London : Sweet &
Maxwell, 1999.
Koeswadji, Hermin Hediati, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, Bandung : Citra
Aditya Bakti, 1992
Sapardjaja, Komariah Emong, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil dalam Hukum
Pidana Indonesia, Bandung : Alumni, 2002.
18
Malpraktek Medis (Medical Malpractice)
19