Anda di halaman 1dari 61

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

JOURNAL READING
“Comparison of long-term efficacy and safety between cilostazol and
clopidogrel in chronic ischemic stroke: a nationwide cohort study”

Disusun oleh:

Chalimatussa’diyah

G4A020099

Pembimbing:

dr. Mecca Mulyo Perbowo, M.Sc., Sp.S

SMF ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD DR. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2021
LEMBAR PENGESAHAN

JOURNAL READING

“Comparison of long-term efficacy and safety between cilostazol and


clopidogrel in chronic ischemic stroke: a nationwide cohort study”

Disusun oleh:

Chalimatussa’diyah G4A020099

Journal reading ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu syarat
mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Saraf
RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga

Purbalingga, 10 Mei 2021

Pembimbing

dr. Mecca Mulyo Perbowo, M.Sc., Sp.S

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAAN…………………………………………………….i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..ii
I. PENDAHULUAN ……………………………………………………………..1
A. Latar Belakang…………………………………………………………….1
B. Tujuan …………………………………………………………………….2
C. Manfaat …………………………………………………………………...3
II. ARTIKEL …………………………………………………………………….4
A. Identitas Artikel………………………………………………………….4
B. Pendahuluan……………………………………………………………...4
C. Metode…………………………………………………………………...6
D. Hasil…………………………………………………………………..…9
E. Diskusi …………………………………………………………………15
F. Kesimpulan ……………………………………………………………19
G. Keterbatasan Penelitian ………………………………………………..19
III. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………...22
A. Definisi………………………………………………………………….22
B. Klasifikasi……………………………………………….………………22
C. Faktor risiko……………………………………………..………………25
D. Tanda dan Gejala………………………………………..………………29
E. Patofisiologi…………………………………………..…………………30
F. Diagnosis …………………………………………..……………………32
G. Penatalaksanaan …………………………………...…………………….37
H. Komplikasi…………………………………….…………………………49
I. Kesimpulan………………………………………………………………55
J. Daftar Pustaka……………………………………………………………56

ii
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stroke adalah penyakit atau gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan


saraf (deficit neurologic) akibat terhambatnya aliran darah ke otak. Stroke adalah
sindrom yang terdiri dari tanda dan/atau gejala hilangnya fungsi sistem saraf pusat
fokal (atau global) yang berkembang cepat (dalam detik atau menit). Gejala-gejala
ini berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian, selain
menyebabkan kematian stroke juga akan mengakibatkan dampak untuk kehidupan.
Dampak stroke diantaranya, ingatan jadi terganggu dan terjadi penurunan daya
ingat, menurunkan kualitas hidup penderita juga kehidupan keluarga dan orang-
orang di sekelilingnya, mengalami penurunan kualitas hidup yang lebih drastis,
kecacatan fisik maupun mental pada usia produktif dan usia lanjut dan kematian
dalam waktu singkat (Junaidi, 2011).
Stroke masih menjadi masalah kesehatan yang utama karena merupakan
penyebab kematian kedua di dunia. Sementara itu, di Amerika Serikat stroke
sebagai penyebab kematian ketiga terbanyak setelah penyakit kardiovaskuler dan
kanker. Sekitar 795.000 orang di Amerika Serikat mengalami stroke setiap
tahunnya, sekitar 610.000 mengalami serangan stroke yang pertama. Stroke juga
merupakan penyebab 134.000 kematian pertahun (Goldstein dkk., 2011). Secara
nasional, prevalensi stroke di Indonesia tahun 2018 berdasarkan diagnosis dokter
pada penduduk umur >15 tahun sebesar 10,9%, atau diperkirakan sebanyak
2.120.362 orang. Provinsi Kalimantan Timur (14,7%) dan DI Yogyakarta (14,6%)
merupakan provinsi dengan prevalensi tertinggi stroke di Indonesia. Sementara itu,
Papua dan Maluku Utara memiliki prevalensi stroke terendah dibandingkan
provinsi lainnya, yaitu 4,1% dan 4,6%. Sedangkan prevalensi stroke di Jawa
Tengah berada di posisi ke-11 provinsi terbanyak dengan angka sebesar 11,8%
(Kemenkes, 2019).
Stroke iskemik merupakan stroke yang disebabkan oleh pembentukan
trombus lokal atau fenomena emboli, sehingga mengakibatkan oklusi dari arteri
serebral. Stroke iskemik merupakan tipe stroke yang paling sering terjadi, hampir
80% dari semua stroke (Nasution, 2013).

1
2

Salah satu terapi yang digunakan untuk penderita stroke iskemik adalah
antiplatelet. Antiplatelet adalah obat yang dapat menghambat agregasi trombosit
sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang terutama sering
ditemukan pada sistem arteri. Penggunaan antiplatelet penting untuk stroke
iskemik akut. Pemberian terapi antiplatelet bisa menurunkan angka kejadian
stroke berulang dari 68% menjadi 24% (Karuniawati, 2015). Pemberian
antiplatelet pada pasien stroke iskemik dapat mencegah kejadian stroke berulang,
namun antiplatelet ini mempunyai efek samping perdarahan saluran cerna.
Klopidogrel merupakan salah satu antiplatelet yang telah disetujui oleh Food and
Drug Administration (FDA), sedangkan cilostazol merupakan antiplatelet baru
yang mulai banyak direkomendasikan (Bath, 2018).
Dual antiplatelet therapy (DAPT) yaitu aspirin dan clopidogrel dilaporkan
menjadi pilihan yang lebih digemari untuk mengurangi Stroke Iskemik berulang,
terutama bila diberikan pada Stroke Iskemik Akut. DAPT ditemukan efektif
hanya untuk penggunaan jangka pendek, dan dapat menyebabkan peningkatan
risiko perdarahan mayor dan gastrointestinal dini bahkan pada stroke ringan (Tan,
2015).
Dalam perbandingan antara cilostazol dan aspirin, keduanya dilaporkan
efektif pada Stroke Iskemik akut, dan cilostazol dapat mencegah Stroke Iskemik
berulang tanpa meningkatkan kejadian perdarahan serius (Shinohara, 202010).
Sampai saat ini, belum ada penelitian yang membahas perbandingan antara
cilostazol dan clopidogrel pada pengobatan stroke iskemik fase kronis.
Penyesuaian penatalaksanaan obat terapi pemeliharaan stroke yang digambarkan
dengan tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, dan tepat dosis dibutuhkan untuk
mengevaluasi ketepatan penggunaan obat antitrombotik (termasuk antikoagulan,
agen antiplatelet dan trombolitik) pada pasien paska serangan stroke karena dapat
menyebabkan perdarahan. Sedangkan komplikasi perdarahan pada kenyataannya
muncul sebagai penyumbang utama risiko secara keseluruhan, dengan
peningkatan yang signifikan pada tingkat kematian, infark miokard dan stroke.
B. Tujuan
Untuk membandingkan efektivitas dan keamanan jangka panjang antara cilostazol
dan clopidogrel pada stroke iskemik kronis
3

C. Manfaat
Menambah pengetahuan terkait efektivitas dan keamanan jangka panjang antara
cilostazol dan clopidogrel pada stroke iskemik kronis dan mengaplikasikannya
dalam bidang kedokteran klinis.
4

II. ARTIKEL
A. Identitas Artikel
Nama Jurnal Ther Adv Chronic Dis
Judul Artikel Comparison of long-term efficacy and safety between cilostazol
and clopidogrel in chronic ischemic stroke: a nationwide
cohort study
Edisi Volume 11 Nomor 1-14
Publikasi 2020
Nama Tsong-Hai Lee , Yu-Sheng Lin, Chia-Wei Liou, Jiann-Der Lee,
Penulis Tsung-I Peng dan Chi-Hung Liu
Lembaga Department of Neurology, Linkou Chang Gung Memorial
Hospital, Taoyuan College of Medicine, Chang Gung University,
Taoyuan, Taiwan.
Department of Medicine, College of Medicine, Chang Gung
University, Taoyuan
Department of Internal Medicine, Division of Cardiology, Chiayi
Chang Gung Memorial Hospital, Chiayi, Taiwan.
Department of Neurology, Kaohsiung Chang Gung Memorial
Hospital, Kaohsiung College of Medicine, Chang Gung
University, Taoyuan, Taiwan.
Department of Neurology, Chiayi Chang Gung Memorial
Hospital, Chiayi College of Medicine, Chang Gung University,
Taoyuan, Taiwan.
Department of Neurology, Keelung Chang Gung Memorial
Hospital, Keelung College of Medicine, Chang Gung University,
Taoyuan, Taiwan.
B. Pendahuluan
Terapi triple antiplatelet intensif untuk stroke iskemik baru-baru ini tidak
dapat mengurangi kejadian dan keparahan pada stroke berulang atau transient
ischemic attack (TIA). Namun, terapi ini secara signifikan dapat meningkatkan
risiko perdarahan mayor dan tidak disarankan untuk digunakan dalam praktik
klinis rutin pada stroke iskemik akut.
5

Dual antiplatelet therapy (DAPT) yaitu aspirin dan clopidogrel dilaporkan


menjadi pilihan yang lebih digemari untuk mengurangi Stroke Iskemik berulang,
terutama bila diberikan pada Stroke Iskemik Akut. DAPT ditemukan efektif
hanya untuk penggunaan jangka pendek, dan dapat menyebabkan peningkatan
risiko perdarahan mayor dan gastrointestinal dini bahkan pada stroke ringan.
Meskipun risiko pendarahan menurun setelah bulan pertama dalam kelompok
penelitian kohort, DAPT disarankan untuk beralih ke monoterapi antiplatelet pada
pengobatan Stroke Iskemik fase kronis. Agen antiplatelet tunggal hanya memiliki
efektivitas sederhana dalam pencegahan sekunder Stroke Iskemik, terutama pada
pasien dengan beberapa faktor risiko seperti stenosis arteri cervicocephalic,
diabetes, dan hipertensi. Pada pasien dengan monoterapi aspirin, pengobatan dini
terbukti memiliki efek yang signifikan dibandingkan dengan plasebo pada
populasi Cina dan Kaukasia. Aspirin memiliki risiko komplikasi perdarahan yang
lebih tinggi pada stroke akut dibandingkan dengan stroke kronis. Jika pasien
dengan pengobatan aspirin mengalami Stroke Iskemik berulang atau TIA
berulang, diganti atau ditambahkan dengan antiplatelet lain, dilaporkan dapat
mencegah kejadian vaskular berikutnya dibandingkan dengan mempertahankan
aspirin saja.
Clopidogrel dilaporkan memiliki efektivitas yang lebih baik daripada
aspirin dalam mengurangi risiko Stroke Iskemik, infark miokard, atau penyakit
vaskular. Selain itu, clopidogrel juga lebih efektif dan lebih aman dibandingkan
aspirin dalam mengurangi efek samping kardiovaskular pada pasien dengan
aterosklerosis. Dalam perbandingan antara cilostazol dan aspirin, keduanya
dilaporkan efektif pada Stroke Iskemik akut, dan cilostazol dapat mencegah
Stroke Iskemik berulang tanpa meningkatkan kejadian perdarahan serius. Uji
klinis yang disebutkan di atas membandingkan monoterapi antiplatelet pada
Stroke Iskemik Akut (dalam 6 bulan setelah stroke indeks), dan sebagian besar uji
coba ini menunjukkan efektivitas dan keamanan cilostazol maupun clopidogrel
yang lebih baik dibandingkan dengan aspirin. Sebuah tinjauan baru-baru ini
menyarankan terapi antiplatelet harus berbeda pada Stroke Iskemik akut dan
kronis, dengan pengobatan antiplatelet yang lebih ketat pada pasien Stroke
Iskemik akut yang memiliki risiko tinggi stroke atau TIA, meskipun tidak ada
6

bukti kuat yang mendukung strategi antiplatelet yang berbeda pada Stroke
Iskemik akut maupun kronis pada pasien dengan risiko rendah stroke
nonkardiemboli.
Sampai saat ini, belum ada penelitian yang membahas perbandingan antara
cilostazol dan clopidogrel pada pengobatan stroke iskemik fase kronis. Penelitian
ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas dan keamanan jangka panjang
antara cilostazol dan clopidogrel pada Stroke Iskemik Kronis (dari bulan ke-7
setelah stroke indeks).
C. Metode
Studi kohort berbasis populasi ini menggunakan data yang diambil dari
Taiwan The National Health Insurance Research Database (NHIRD), dengan
data longitudinal terkait tersedia dari tahun 2001 hingga 2013. Kode International
Classification of Diseases, Ninth Revision, Clinical Modification (ICD-9-CM)
digunakan untuk mendefinisikan penyakit. Semua pasien yang dirawat di rumah
sakit dengan diagnosis utama stroke iskemik kronik (kode ICD-9, 433.xx–435.xx
kecuali 433.00, 433.10, 433.20, 433.30, 433.80, 433.90, 434.90, 434.00, 434.10,
dan 434.90) yang dibuktikan dengan CT scan atau MRI dari 1 Januari 2001
hingga 31 Desember 2013, dilibatkan dalam penelitian ini.
Kriteria eksklusi adalah sebagai berikut:
- riwayat fibrilasi atrium, penyakit jantung rematik, penggantian katup
mekanis selama 1997-2013
- penggunaan antikoagulan selama 1997-2013
- Follow up kurang dari 6 bulan
- mengalami stroke berulang atau infark miokard akut dalam 6 bulan setelah
indeks stroke
- pasien yang menggunakan cilostazol dalam kelompok clopidogrel, dan
pasien yang menggunakan clopidogrel dalam kelompok cilostazol bahkan
selama 1 hari selama periode paparan 2 tahun
- tingkat kepatuhan minum obat <50%
- penggunaan obat antiplatelet selain cilostazol dan clopidogrel selama
dimulainya fase kronik yaitu saat bulan ke-7 setelah indeks rumah sakit.
7

- Tidak mengkonsumsi obat antiplatelet selama dimulainya fase kronik yaitu


saat bulan ke-7 setelah indeks rumah sakit.
Untuk meminimalkan bias estimasi efek pengobatan, kami menggunakan
rasio Matching 1:1. Selama 1 Januari 2001 sampai 31 Desember 2013, terdapat
504.191 pasien yang dirawat inap karena Stroke Iskemik Akut, 503.978 pasien
(99,96%) memiliki informasi yang lengkap. Berdasarkan kriteria inklusi atau
eksklusi, sebanyak 15.968 pasien (3,17%) memenuhi syarat untuk dianalisis. Para
pasien dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu cilostazol (cilostazol, 100
mg/hari) dan clopidogrel (clopidogrel, 75 mg/hari). Pada masing-masing
kelompok terdapat 502 pasien.
Penelitian ini menilai komorbiditas pasien menggunakan kode diagnosis
minimal dalam dua kunjungan rawat jalan berturut-turut, atau dalam satu catatan
rawat inap pada tahun-tahun sebelum indeks rawat inap. Riwayat penyakit
sebelumnya seperti stroke dideteksi dengan menggunakan diagnosis rawat inap
sebelum stroke indeks dan dilacak mundur sampai tahun 1997. Selain itu,
diagnosis hemodialisis dan kanker menggunakan sertifikat penyakit katastropik
yang tercatat di NHIRD. Indeks komorbiditas Charlson (CCI) digunakan untuk
mengukur kondisi kesehatan global pasien. Mayoritas penyakit penyerta ini
sebelumnya telah divalidasi berdasarkan kode ICD-9-CM. Indeks keparahan
stroke digunakan untuk memperkirakan skor National Institutes of Health Stroke
Scale (NIHSS) untuk mengukur keparahan Stroke Iskemik, sebagaimana
divalidasi dalam penelitian NHIRD sebelumnya. Penggunaan obat lain ditentukan
dengan kode Anatomical Therapeutic Chemical yang memenuhi dua resep rawat
jalan atau satu resep isi ulang di apotek. Hasil penelitian yang dinilai selama
follow up antara lain yaitu stroke iskemik akut berulang, semua penyebab
kematian, AMI, perdarahan intraserebral (ICH), perdarahan gastrointestinal, dan
perdarahan mayor. Hasil tersebut dideteksi dengan menggunakan diagnosis utama
pada indeks rawat inap .
Karakteristik dasar antara kedua kelompok dibandingkan dengan
menggunakan uji two sample t test untuk variabel dengan skala data kontinu dan
uji chi-square untuk variabel dengan skala data kategori. Risiko waktu kejadian
antara kedua kelompok setelah pencocokan skor matching dibandingkan
8

menggunakan Cox proporsional hazard model. Usia, jenis kelamin, keparahan


stroke, penggunaan obat antihipertensi seperti calcium channel blockers or
angiotensin-converting enzyme inhibitor/angiotensin II receptor blockers, riwayat
perdarahan gastrointestinal, penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer,
hipertensi, dan diabetes mellitus adalah faktor-faktor terpilih untuk subkelompok.
analisis. Karena pengobatan penyakit kardiovaskular dapat berdampak langsung
pada stabilitas plak aterosklerotik di arteri karotis, peneliti melakukan analisis
sensitivitas dengan mengecualikan pasien dengan penyakit kardiovaskular. Semua
analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SAS versi 9.4 (SAS
Institute, Cary, NC, USA). Signifikansi statistik ditetapkan pada p < 0,05, dan
tidak ada penyesuaian pengujian berganda (multiplisitas) yang dibuat dalam
penelitian ini. Signifikansi klinis dari analisis subkelompok dilonggarkan p < 0,10
karena uji interaksi dikenal lebih konservatif.
9

D. Hasil
10

Sebelum dilakukan matching, terdapat 632 pasien pada kelompok


cilostazol dan 15.336 pasien pada kelompok clopidogrel. Usia pasien lebih tua
pada kelompok cilostazol (rata-rata usia 71.6 ± 11.9 tahun) dibandingkan
kelompok clopidogrel (usia 69.7 ± 11.8). Sebagian besar kelompok cilostazol
adalah pasien pria (53,3%). Frekuensi penyakit ginjal kronis (10,8%), penyakit
arteri perifer (25,3%), diabetes melitus (46%), gagal jantung (8,5%), dan
11

dislipidemia (20,9%) lebih banyak terjadi pada kelompok pasien yang diberikan
terapi cilostazol( p < 0,05). Pasien yang di eksklusi memiliki tingkat keparahan
stroke yang lebih rendah dengan perkiraan skor NIHSS 5,6 ± 3,7 dibandingkan
dengan 6,2 ± 4.5 pada kelompok Cilostazol dan 7.2 ± 5.4 dalam kelompok
Clopidogrel.
Setelah dilakukan matching pada 2 kelompok, frekuensi karakteristik
dasar, komorbiditas, riwayat penyakit sebelumnya, keparahan stroke, dan
pengobatan menggunakan obat anti-diabetes, penurun lipid, dan anti-hipertensi
memiliki hasil yang tidak signifikan yaitu p>0,05.
Dosis cilostazol adalah 121,2 ± 53.6mg/hari. Sebelum dilakukan matching
dengan pencocokan skor kecenderungan, sebanyak 302 (47,8%) pasien diberikan
dosis ⩽ 100mg/hari dan sebanyak 330 (52,2%) pasien diberikan
dosis >100mg/hari. Kemudian setelah dilakukan pencocokan skor kecenderungan
didapatkan rata-rata dosis cilostazol sebesar 119,0 ± 51.2mg/hari dengan 241
(48.0%) pasien mendapatkan dosis ⩽ 100mg/hari dan sebanyak 261 (52.0%)
pasien mendapatkan dosis >100mg/hari (p>0,05). Dosis clopidogrel adalah
75mg/hari sebelum dan sesudah pencocokan skor kecenderungan.
12

Setelah dilakukan follow up selama 3 tahun, kelompok pasien dengan


terapi cilostazol memiliki kejadian recurrent acute ischemic stroke yang lebih
kecil yaitu 57 pasien (11,4%) jika dibandingkan dengan kelompok clopidogrel
sebanyak 66 pasien (13,1%) dengan rasio bahaya (Hazard Ratio) sebesar 0,89 (CI
0,61–1,29). Kejadian semua penyebab kematian pada kelompok cilostazol sebesar
14,1% lebih kecil dibandingkan pada kelompok clopidogrel yaitu sebesar 14,9%,
dengan besar risiko yaitu 1,10 (95% CI 0,78-1,5). Pada kelompok pasien dengan
terapi cilostazol berisiko sebesar 0,97 untuk terjadinya Acute Miocard Infark
dibandingkan kelompok pasien dengan terapi clopidogrel (95% CI, 0,32-3,00).
Sebanyak 6 pasien (1,2%) dengan terapi cilostazol, setelah di follow up selama 3
tahun mengalami IMA . Sedangkan sebanyak 8 pasien (1,6%) menderita IMA.
Kelompok cilostazol juga memiliki kejadian ICH yang lebih rendah yaitu
13

sebanyak 9 (1,8%) pasien, sedangkan pada kelompok clopidogrel sebanyak 11


(2,2%) pasien. (HR, 0,97; 95% CI 0,38-2,48). Kejadian perdarahan
gastrointestinal pada kelompok cilostazol terjadi pada 62 pasien (12,4%),
sedangkan sebanyak 73 pasien (14,5%) terjadi pada kelompok clopidogrel. (HR
0,85; 95% CI 0,60-1,21). Perdarahan mayor pada kelompok cilostazol terjadi pada
51 (10,2%) pasien, sedangkan pada kelompok clopidogrel terjadi pada 65 (12,9%)
pasien dengan HR 0,83 (95% CI 0,56-1,21). Setelah mengeluarkan pasien dengan
penyakit kardiovaskular, hasil menunjukkan bahwa kedua kelompok tidak
berbeda dalam risiko hasil.

Analisis subkelompok
14
15

Pasien kelompok cilostazol yang memiliki riwayat hipertensi (10,6%)


berisiko menderita Stroke Iskemik Akut rekuren yang lebih rendah dengan HR
0,70 dibandingkan dengan kelompok clopidogrel (15,6%) (p untuk interaksi,
0,067). Pasien kelompok cilostazol dengan riwayat perdarahan gastrointestinal
(14,2%) juga berisiko lebih rendah mengalami perdarahan mayor dibandingkan
dengan kelompok clopidogrel (25,8%) (p untuk interaksi 0,094).

E. Diskusi
Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
dalam efektivitas dan keamanan antara kelompok cilostazol dan clopidogrel pada
Stroke Iskemik Kronis. Hasil ini menunjukkan bahwa, setelah fase Stroke Iskemik
Akut, penggunaan jangka panjang cilostazol dan clopidogrel memiliki efektivitas
dan keamanan yang serupa untuk pencegahan stroke sekunder. Namun, terdapat
kecenderungan frekuensi kejadian yang lebih rendah dari Stroke Iskemik akut
rekuren atau perdarahan mayor pada pasien kelompok cilostazol dengan riwayat
16

hipertensi atau perdarahan gastrointestinal. Analisis subkelompok tersebut


menunjukkan bahwa pada Stroke Iskemik Kronis, cilostazol memiliki keamanan
yang lebih baik dibandingkan clopidogrel dalam beberapa situasi. Dalam kasus
dengan stenosis arteri intrakranial, cilostazol yang dikombinasikan dengan aspirin
dilaporkan dapat mencegah perkembangan gejala stenosis arteri intrakranial.
Selain itu, pengobatan akut dengan cilostazol ditemukan bermanfaat untuk hasil
infark serebral akibat penyakit pembuluh darah kecil. Cilostazol dapat
menurunkan pulsasi arteri serebral pada pasien dengan penyakit pembuluh darah
kecil dengan hiperintensitas ringan pada white matter. Namun, kombinasi
cilostazol dan aspirin tidak memiliki perbedaan yang signifikan dibandingkan
dengan kombinasi clopidogrel dan aspirin yang efektif untuk menurunkan
progresi stenosis arteri, lesi iskemik baru, dan komplikasi perdarahan mayor.
Studi Meta-analisis menunjukkan bahwa cilostazol secara signifikan
mengurangi kekambuhan Stroke Iskemik dibandingkan dengan aspirin atau
dipyridamole, dan juga secara signifikan mengurangi perdarahan intraserebral
dibandingkan dengan aspirin, clopidogrel, terutroban, tiklopidin, kombinasi
aspirin dan clopidogrel, serta kombinasi aspirin dan dipyridamole. Sebuah meta-
analisis termasuk 24 uji coba acak dengan lebih dari 85.000 pasien menemukan
pengobatan monoterapi jangka panjang merupakan pilihan yang lebih baik
dibandingkan pengobatan ganda jangka panjang. Pada pasien dengan riwayat
Stroke Iskemik atau TIA non-kardioemboli sebelumnya, cilostazol memiliki
efektivitas yang lebih baik secara signifikan dibandingkan aspirin dan clopidogrel
dalam pencegahan jangka panjang penyakit vaskular yang serius, serta memiliki
risiko perdarahan yang jauh lebih rendah dibandingkan aspirin dosis rendah dan
kombinasi aspirin dan dipyridamole.
Dalam meta-analisis menggunakan Cochrane Stroke Group Trials Registry,
cilostazol menunjukkan risiko kejadian vaskular dan stroke hemoragik yang
secara signifikan lebih rendah dan efek samping yang lebih ringan dibandingkan
dengan aspirin. Penggunaan kombinasi cilostazol dan aspirin juga tidak
menyebabkan peningkatan kejadian perdarahan yang signifikan jika dibandingkan
dengan monoterapi aspirin.
17

Namun, beberapa penelitian tidak mengungkapkan manfaat khusus saat


menggunakan cilostazol. Kwok dkk. mengevaluasi efektivitas antiplatelet yang
berbeda dalam pencegahan sekunder setelah stroke lacunar menggunakan 17
percobaan dan menyimpulkan bahwa cilostazol tidak menunjukkan penurunan
kekambuhan stroke yang konsisten dibandingkan dengan aspirin. Malloy dkk.
membandingkan kombinasi antiplatelet yang berbeda dalam pencegahan sekunder
melawan stroke dan menemukan bahwa, meskipun cilostazol memiliki lebih
sedikit kejadian perdarahan dibandingkan dengan kombinasi aspirin dan
dipyridamole atau aspirin dan clopidogrel, tidak ada perbedaan antara kombinasi
ini dalam hal pencegahan stroke.
Pedoman American Stroke Association (ASA) 2014 tentang pencegahan
stroke sekunder juga menyarankan bahwa meskipun beberapa uji coba acak pada
pasien Asia menunjukkan cilostazol tidak lebih rendah dari aspirin dalam
mengurangi kejadian stroke dan perdarahan. Akan tetapi efek tersebut tidak dapat
diterjemahkan ke etnis lain karena cilostazol belum diteliti pada populasi non-
Asia.
Dalam subanalisis CHANCE (clopidogrel with aspirin in acute minor
stroke or transient ischaemic attack), ditemukan bahwa, jika dibandingkan
dengan aspirin saja, penggunaan kombinasi clopidogrel dan aspirin dapat
mengurangi risiko stroke berulang hanya pada pasien yang bukan pembawa alel
kehilangan fungsi CYP2C19 dan memiliki kadar albumin terglikasi yang normal.
Penemuan ini menunjukkan bahwa clopidogrel memiliki keterbatasan efektivitas
untuk pencegahan stroke sekunder pada pasien Cina karena tingginya frekuensi
pasien (58,8%) yang membawa alel kehilangan fungsi CYP2C19. Sebuah
penelitian di Korea juga menunjukkan bahwa kombinasi clopidogrel dan aspirin
tidak lebih baik dari aspirin saja dalam pencegahan lesi iskemik baru dan kejadian
klinis vaskular pada pasien dengan Stroke Iskemik Akut yang disebabkan oleh
aterosklerosis arteri besar.
Dalam studi kohort Swedia tentang respon clopidogrel terhadap patologi
mikrovaskuler dan makrovaskuler, clopidogrel tidak responsif pada pasien dengan
penyakit pembuluh darah kecil otak tetapi tidak dengan aterosklerosis karotis.
Diantara pasien Kaukasia dengan stroke lacunar yang baru terjadi, penambahan
18

clopidogrel ke aspirin tidak secara signifikan mengurangi risiko stroke berulang


dibandingkan dengan terapi aspirin saja. Namun, pada stenosis arteri intrakranial,
penyakit terapi kombinasi clopidogrel dan aspirin ternyata lebih efektif
dibandingkan aspirin saja dalam mengurangi terbentuknya mikroemboli dan
rekurensi.stroke.
Karena frekuensi stenosis arteri intrakranial dan infark serebral penyakit
pembuluh darah kecil dilaporkan lebih umum pada pasien Stroke Iskemik di Asia,
cilostazol dapat bersaing dengan clopidogrel dalam pencegahan stroke sekunder
pada pasien Asia.
Saat memeriksa fase stroke yang berbeda yaitu kronik, Shi dkk.
melaporkan bahwa cilostazol tidak berpengaruh pada hasil utama saat stroke akut,
tetapi menunjukkan penurunan risiko kekambuhan stroke dan stroke hemoragik
secara signifikan pada stroke kronis dibandingkan dengan plasebo atau aspirin.
Pada fase akut stroke, peningkatan tekanan intrakranial dan tekanan darah dapat
menjadi faktor pencetus untuk memicu perdarahan akibat penggunaan antiplatelet
yang menyebabkan stress ulcer. Dalam laporan review dari efek samping yang
dikirimkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat, baik aspirin
maupun clopidogrel dikaitkan dengan perdarahan, tetapi asosiasi itu lebih
mengarah akibat clopidogrel. Untuk komplikasi perdarahan gastrointestinal,
metrik statistik menunjukkan hubungan yang lebih kuat untuk aspirin
dibandingkan clopidogrel.
Dalam studi kohort retrospektif berbasis populasi menggunakan Taiwan
NHIRD, kelompok clopidogrel saja dan kelompok kombinasi clopidogrel dan PPI
ditemukan memiliki risiko kejadian perdarahan gastrointestinal yang lebih rendah
dibandingkan kelompok aspirin ditambah PPI. Dalam perbandingan kuantitatif
waktu perdarahan (bleeding time) dan uji agregasi platelet antara aspirin,
clopidogrel, dan cilostazol, cilostazol ditemukan paling efektif dibandingkan
aspirin atau clopidogrel dalam menghambat agregasi platelet. Aspirin dan
clopidogrel dapat menyebabkan waktu perdarahan yang lama, tetapi cilostazol
tidak mengubah parameter waktu perdarahan.
Data ini menunjukkan bahwa cilostazol memiliki efektivitas dalam
menghambat agregasi platelet tanpa memperpanjang waktu perdarahan dan tidak
19

merubah pola perdarahan. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa clopidogrel


dapat meningkatkan perdarahan lambung dan respons ulserogenik yang
disebabkan oleh aspirin, sedangkan cilostazol dapat menekan respons ini.
Cilostazol dapat digunakan dengan aman dalam kombinasi dengan aspirin tanpa
meningkatkan risiko perdarahan lambung.
Penelitian ini menunjukkan bahwa baik cilostazol dan clopidogrel
memiliki risiko perdarahan yang serupa, termasuk ICH, perdarahan
gastrointestinal, dan perdarahan mayor pada Stroke Iskemik kronis. Dalam praktik
klinis, cilostazol dan clopidogrel kemungkinan dapat digunakan sebagai pengganti
aspirin bila terjadi perdarahan yang disebabkan oleh aspirin pada IS akut atau
kronis.
F. Kesimpulan
Penelitian ini adalah penelitian dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang
ketat untuk membandingkan efektivitas dan keamanan jangka panjang antara
cilostazol dan clopidogrel pada stroke iskemik kronis pada pasien stroke di Asia.
Meskipun uji klinis sebelumnya telah menunjukkan perbedaan yang signifikan
dalam efektivitas dan keamanan diantara antiplatelet pada stroke iskemik akut,
penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam efektivitas
dan keamanan antara cilostazol dan clopidogrel pada stroke iskemik kronis. Hasil
ini menunjukkan bahwa, setelah fase Stroke Iskemik Akut, penggunaan jangka
panjang cilostazol dan clopidogrel memiliki efektivitas dan keamanan yang
serupa untuk pencegahan stroke sekunder. Namun, terdapat kecenderungan
frekuensi kejadian yang lebih rendah dari Stroke Iskemik akut rekuren atau
perdarahan mayor pada pasien kelompok cilostazol dengan riwayat hipertensi atau
perdarahan gastrointestinal. Analisis subkelompok tersebut menunjukkan bahwa
pada Stroke Iskemik Kronis, cilostazol memiliki keamanan yang lebih baik
dibandingkan clopidogrel dalam beberapa situasi. Ada kemungkinan bahwa, pada
fase stroke iskemik kronis, selain pengobatan antiplatelet, faktor lain seperti
pengendalian faktor risiko untuk hipertensi, diabetes, dislipidemia, merokok, dan
modifikasi gaya hidup, juga penting dalam pencegahan sekunder stroke iskemik.
G. Keterbatasan
20

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, ICD-9-CM


mungkin dikodekan secara tidak akurat. Namun, studi validasi sebelumnya telah
membuktikan akurasi tinggi dari NHIRD dalam mencatat diagnosis Stroke
Iskemik, menunjukkan bahwa NHIRD tampaknya menjadi sumber yang valid
untuk penelitian populasi. Kedua, NHIRD tidak mencatat keparahan stroke
(NIHSS) dan hasil fungsional klinis (indeks Barthel dan mRS).
Untuk menyesuaikan batasan ini, kami menggunakan indeks keparahan
stroke sebagai proxy yang valid untuk NIHSS, karena indeks keparahan stroke
berbasis NHIRD telah divalidasi. Selain itiu juga, peneliti menggunakan rawat
inap karena untuk menilai faktor komorbid, termasuk Stroke Iskemik akut rekuren,
semua penyebab kematian, AMI, ICH, perdarahan gastrointestinal, dan
perdarahan mayor sebagai outcome klinis. Ketiga, peralihan obat, kombinasi, dan
kepatuhan adalah perancu yang penting. Penelitian ini berhasil mengontrol
kepatuhan terhadap cilostazol dan clopidogrel, dan hanya pasien yang secara
konsisten menggunakan obat sesuai kelompok yang sudah ditentukan peneliti.
Keempat, NHIRD tidak menjelaskan alasan mengapa cilostazol atau
clopidogrel digunakan untuk pencegahan stroke sekunder dibandingkan aspirin.
Menurut pedoman Taiwan Stroke Society, aspirin digunakan sebagai obat lini
pertama. Namun, 50,8% pada kelompok cilostazol dan 47,2% pada kelompok
clopidogrel memiliki kejadian stroke, AMI, atau perdarahan sebelumnya, yang
menunjukkan bahwa cilostazol atau clopidogrel dapat digunakan untuk
menggantikan aspirin selama timbul kegagalan terapiaspirin atau terkait efek
samping aspirin. Selain itu, adanya tingkat komorbiditas yang tinggi dari penyakit
arteri koroner, penyakit ginjal kronis, penyakit arteri perifer, dan gagal jantung
pada kedua kelompok, dapat mendorong dokter untuk menggunakan antiplatelet
berpotensi tinggi untuk mencegah kejadian vaskular.
Kelima, NHIRD tidak memuat data yang memadai untuk klasifikasi
subtipe stroke. Penelitian sebelumnya telah melaporkan bahwa penggunaan kode
pengubah tidak efektif dalam membantu meningkatkan akurasi pengkodean ICD-
9-CM untuk identifikasi pasien dengan Stroke Iskemik akut dan klasifikasi
subtipe stroke. Jadi, peneliti tidak menggunakan subtipe stroke dalam penelitian
ini. Keenam, untuk pencegahan stroke, dosis cilostazol yang disarankan untuk
21

dikonsumsi adalah 200mg / hari. Namun, dalam penelitian ini, sekitar 48% pasien
menggunakan cilostazol ⩽ 100mg / hari. Hal ini dikarenakan efek samping sakit
kepala dan takikardia yang timbul jika dosis penuh diambil. Sehingga, cilostazol
mungkin lebih efektif dibandingkan clopidogrel jika pasien mengkonsumsi dosis
penuh.
Diperlukan penelitian selanjutnya untuk mengklarifikasi terkait
perbandingan efektivitas dan keamanan pada pasien dengan dosis cilostazol penuh
dengan kelompok pasien clopidogrel. Terakhir, sebagian besar uji klinis berfokus
pada perbandingan efektivitas dan keamanan antiplatelet pada stroke iskemik akut
yang dilakukan pada pasien Asia. Diperlukan penelitian terhadap pasien non-Asia
untuk uji klinis terkontrol yang lebih besar.
22

III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Stroke adalah sindroma klinis yang ditandai oleh disfungsi cerebral fokal
atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih, yang dapat menyebabkan
disabilitas atau kematian yang disebabkan oleh perdarahan spontan atau suplai
darah yang tidak adekuat pada jaringan otak. Sementara itu, stroke iskemik
merupakan disfungsi neurologis yang disebabkan oleh infark fokal serebral, spinal
maupun retinal. Stroke iskemik ditandai dengan hilangnya sirkulasi darah secara
tiba-tiba pada suatu area otak, dan secara klinis menyebabkan hilangnya fungsi
neurologis dari area tersebut (Budianto, 2021). Stroke adalah penyakit pada otak
berupa gangguan fungsi saraf lokal dan atau global, yang muncul mendadak,
progresif, dan cepat. Gangguan fungsi saraf pada stroke disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak non traumatik. Gangguan saraf tersebut
menimbulkan gejala antara lain : kelumpuhan wajah atau anggota badan, bicara
tidak lancar, bicara tidak jelas (pelo), mungkin perubahan kesadaran, gangguan
penglihatan, dan lain-lain (Riskesdas, 2013).

B. Klasifikasi
1. Stroke iskemik
Stroke iskemik terjadi ketika aliran darah arteri ke otak tersumbat. Arteri
bertanggung jawab untuk mengalirkan darah segar dari jantung dan paru-paru
yang membawa oksigen dan nutrisi ke otak. Jika arteri tersumbat, sel-sel otak
(neuron) tidak dapat membuat energi yang cukup dan akhirnya akan berhenti
bekerja. Beberapa penyebab stroke iskemik meliputi:
a. Thrombosis
Ketika berusia muda, seseorang memiliki arteri yang luas dan
fleksibel, namun seiring bertambahnya usia dinding arteri menjadi lebih
tebal dan kurang lentur. Sebuah kondisi yang disebut aterosklerosis
kemudian dapat berkembang dimana menggambarkan pengerasan dan
penebalan arteri besar dalam tubuh akibat deposito lemak, atau patch
yang disebut 'ateroma' pada dinding bagian dalam arteri. Mereka dapat
23

menjadi lebih tebal dan menyebabkan penyempitan dan mengurangi


aliran darah yang melewati pembuluh darah tersebut sehingga akhirnya
terjadi penyumbatan (Stroke Association, 2012).
Penyumbatan yang terjadi dapat membuat dinding permukaan
arteri menjadi rapuh dan mudah patah sehingga dapat menyebabkan
pendarahan fokal dan terbentuk trombus. Trombus yang terbentuk dapat
pecah dan mengalir ke pembuluh darah yang lain, sehingga terjadi
penyumbatan didaerah lain (Joao Gomes, 2013).
b. Emboli
Emboli pada umumnya disebabkan oleh bekuan darah yang
terbentuk dilokasi lain dalam sistem peredaran darah seperti jantung dan
arteri besar dada bagian atas dan leher. Kondisi jantung dan kelainan
darah seperti denyut jantung yang tidak teratur atau Fibrilasi Atrium
dapat menyebabkan penumpukkan darah dijantung dan meningkatkan
resiko pembentukan gumpalan darah dibilik jantung. Sebagian bekuan
darah tersebut lepas dan berjalan memasuki pembuluh darah otak hingga
mencapai pembuluh darah otak kecil dan menyebabkan penghambatan
aliran darah (Joao Gomes, 2013).
Klasifikasi stroke iskemik berdasarkan waktunya terdiri atas:
a. Transient Ischemic Attack (TIA)
TIA adalah defisit neurologis fokal akut yang timbul karena
gangguan aliran darah fokal (iskemik) otak, medulla spinalis atau retina
sepintas dimana kemudian defisit neurologis menghilang secara lengkap
dalam waktu < 24 jam (tidak terkait infark jaringan akut). Secara garis
besar 80% TIA membaik dalam durasi 60 menit. TIA dapat terjadi
sebagai akibat dari mekanisme yang sama dengan stroke iskemik. Data
menunjukan 10% pasien dengan TIA akan mengalami stroke dalam
waktu 90 hari dan setengahnya mengalami stroke dalam kurun waktu 2
hari. Stroke ini tidak akan meninggalkan gejala sisa sehingga pasien tidak
terlihat pernah mengalami serangan stroke (Budianto, 2020). Akan tetapi
adanya TIA merupakan suatu peringatan akan serangan stroke
selanjutnya sehingga tidak boleh di abaikan begitu saja (Irfan, 2012).
24

b. Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND)


RIND yaitu defisit neurologis fokal yang timbul karena gangguan
aliran darah otak dimana kemudian defisit neurologis menghilang secara
lengkap dalam waktu >24 jam dan < 72 jam (Budianto, 2020). RIND
juga tidak meninggalkan gejala sisa (Irfan, 2012).
c. Prolonged Reversible Ischemic Neurological Deficits (PRIND)
PRIND yaitu defisit neurologis fokal yang timbul karena gangguan
aliran darah otak dimana kemudian defisit neurologis menghilang secara
lengkap dalam waktu >72 jam dan < 7 hari (Budianto, 2020).
d. Complete Stroke
Merupakan gangguan pembuluh darah otak yang menyebabkan
deficit neurologis akut yang berlangsung lebih dari 24 jam. Stroke ini
akan meninggalkan gejala sisa (Irfan, 2012).
e. Stroke in Evolution (Progressive Stroke)
Stroke ini merupakan jenis yang terberat dan sulit di tentukan
prognosanya. Hal ini disebabkan kondisi pasien yang cenderung labil,
berubah-ubah, dan dapat mengarah ke kondisi yang lebih buruk (Irfan,
2012).
2. Stroke hemoragik
Stroke hemoragik (13% dari stroke) termasuk perdarahan subarachnoid
(SAH), perdarahan intraserebral, dan hematoma subdural. SAH mungkin
akibat dari trauma atau pecahnya aneurisma atau arteriovenous malformation
intrakranial (AVM). Perdarahan intraserebral terjadi bila pembuluh darah
pecah di dalam otak menyebabkan hematoma. hematoma subdural biasanya
disebabkan oleh trauma. Darah di kerusakan parenkim otak jaringan di
sekitarnya melalui massa efek dan neurotoksisitas komponen darah dan
produk degradasi mereka (Dipiro, 2015).
a. Pendarahan Intraserebral
Pendarahan intraserebral (ICH) hasil dari pecahnya pembuluh
intraserebral mengarah ke pengembangan dari hematoma dalam substansi
otak (Acharya, 2011). Pendarahan intraserebral adalah jenis pendarahan
yang sangat sering dikaitkan tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol.
25

Sekitar 30% pendarahan intraserebral akan terus membesar selama 24


jam pertama, paling sering dalam waktu 4 jam, dan lokasi dan volume
gumpalan adalah indikator yang paling penting. Sebagian besar kematian
dini stroke hemoragik disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan
intrakranial yang dapat menyebabkan herniasi dan kematian. Ada juga
bukti untuk mendukung bahwa edema memperburuk kondisi pasien
setelah perdarahan intraserebral (Fagan, 2008).
b. Pendarahan Subarachnoid
Pendarahan subarachnoid merupakan tanda-tanda disfungsi
neurologis yang cepat berkembang dengan tanda sakit kepala karena
perdarahan ruang subarachnoid (ruang antara membran arachnoid dan pia
mater dari otak atau sumsum tulang belakang). Dampak dari (SAH)
adalah terjadinya cedera permanen pada (SSP) sistem saraf pusat (Sacco
et al., 2013). Jenis perdarahan sangat sering dikaitkan dengan tekanan
darah tinggi yang tidak terkontrol dan efek samping terapi antitrombotik
atau trombolitik (Silva et al., 2011).
c. Hematoma subdural
Hematoma subdural mengacu pada penumpukan darah di bawah
dura (bagian yang menutupi otak), dan disebabkan paling sering oleh
trauma. Stroke hemoragik secara signifikan lebih mematikan dibanding
stroke iskemik, dengan 30 hari kasus kematian yang dua sampai enam
kali lebih tinggi (Dipiro, 2012).

C. Faktor risiko
Arboix (2015) menjelaskan faktor risiko yang dapat dimodifikasi, antara
lain:
1. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
a. Hipertensi
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 melaporkan bahwa
sebesar 34,1% penduduk umur 18 tahun ke atas di Indonesia mengalami
hipertensi. Berdasarkan karakteristik penderita hipertensi di Indonesia
tahun 2018, dapat dilihat bahwa kelompok umur 45-54 tahun merupakan
26

penderita hipertensi terbanyak (24%) dibandingkan kelompok umur


lainnya. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, perempuan (54,3%) lebih
banyak dibandingkan laki-laki (45,7%). Sebagian besar penderita
hipertensi bertempat tinggal di daerah perkotaan (55,9%). Hal ini
dimungkinkan karena faktor gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat
di perkotaan cenderung lebih berisiko dibandingkan masyarakat di
daerah perdesaan. Hipertensi merupakan faktor risiko utama penyakit
serebrovaskular. Seseorang dengan hipertensi (tensi ≥ 140/90 mmHg)
berisiko 4x lebih besar terhadap stroke. Pengaruh hipertensi kronis pada
pembuluh darah dan jaringan juga mendukung fisiopatologis stroke.
Hipertensi merupakan faktor risiko stroke yang paling banyak,
termasuk stroke lacunar. The Joint National Committee Eighth (JNC 8)
dan European Stroke Organization (ESO) merekomendasikan skrining
tekanan darah secara teratur dan penanganan yang sesuai, termasuk
modifikasi gaya hidup dan terapi farmakologik dengan target tekanan
darah sistolik <150 mmHg dan diastolic <90 mmHg (Kemenkes, 2019).
b. Penyakit jantung
Secara nasional, prevalensi penyakit jantung berdasarkan diagnosis
dokter pada semua penduduk semua umur menurut provinsi tahun 2018
adalah sebesar 1,5%. Angka ini meningkat dibandingkan prevalensi
penyakit jantung koroner berdasarkan diagnosis dokter sebesar 0,5% dan
gagal jantung sevesar 0,13% pada tahun 2013. Penyakit jantung
terbanyak ditemukan pada kelompok umur 55-64 tahun, yaitu sebesar
21,3%. Sebagian besar penderita penyakit jantung merupakan perempuan
(55%) dan berpendidikan tamat SD (26,6%). Penduduk yang tinggal di
daerah perkotaan (59,8%) lebih banyak menderita penyakit jantung
dibandingkan dengan penduduk di perdesaan (40,2%).
Fibrilasi atrium (FA) merupakan bentuk gangguan irama jantung,
yang sering disebut aritmia. Ketidakteraturan denyut jantung yang
berbahaya ini menyebabkan ruang atas jantung (atrium) bergetar dan
tidak berdenyut sebagaimana mestinya, sehingga darah tidak terpompa
sepenuhnya, menyebabkan penggumpalan darah. Gumpalan ini bila
27

terbawa ke otak, menyumbat dan mengganggu pasokan darah ke otak.


Seseorang dengan aritmia berisiko 2-4% per tahun mengalami stroke.
c. Diabetes mellitus
Prevalensi DM berdasarkan pemeriksaan kadar gula darah pada
penduduk diatas usia 15 tahun di Indonesia tahun 2018 menurut data
Riskesdas 2018 adalah sebesar 8,5%. Analisis proporsi DM berdasarkan
karakteristik menunjukkan bahwa DM banyak ditemukan pada kelompok
umur 45-54 tahun (29,3%) dan kelompok umur 55-64 tahun (28,4%).
Berdasarkan jenis kelamin, orang dengan DM sebagian besar adalah
perempuan, yaitu sebesar 60,7% dan berpendidikan tamat SD (34,1%).
Dislipidemia, hipertensi dan obesitas merupakan faktor risiko
aterogenik yang sering ditemukan pada pasien DM tipe 2. Pengaruh
diabetes terhadap peningkatan risiko stroke lebih tinggi pada wanita
dibandingkan pria. Kombinasi hiperkolesterolemia dan hipertensi
meningkatkan frekuensi komplikasi vaskular pada pasien diabetes. Pada
pasien diabetes disarankan untuk mengontrol tekanan darah (target
130/80 mmHg sesuai JNC 8) dan dislipidemia (Kemenkes, 2019).
d. Merokok
Perokok aktif berisiko 2x lebih besar mengalami stroke iskemik.
Merokok akan meningkatkan pembentukan thrombus pada pembuluh
darah kecil dan plak. Merokok menyebabkan peningkatan koagulabilitas
darah, viskositas darah, kadar fibrinogen, mendorong agregasi platelet,
meningkatkan tekanan darah, meningkatkan hematokrit, menurunkan
kolesterol HDL dan meningkatkan kolesterol LDL. Berhenti merokok
dapat memperbaiki fungsi endotel. Perokok pasif berisiko sama dengan
perokok aktif (Kemenkes, 2019).
e. Sindrom metabolik
Sindrom metabolik terjadi apabila ditemukan 3 atau lebih keadaan
berikut : (1) Obesitas, bila lingkar pinggang > 102 cm pada pria dan > 88
cm pada wanita; (2) Trigliserida ≥ 150 mg/dL; (3) Kolesterol HDL < 40
mg/dL untuk pria dan < 50 mg/dL untuk wanita; (4) Tekanan darah ≥
130/85 mmHg; dan (5) Gula darah puasa (GDP) ≥ 110 mg/dL. Sindrom
28

metabolik menjadi penyebab penyakit kardiovaskuler (PJK, stroke) dan


penyebab kematian lainnya.
f. Migrain
Terjadi penurunan aliran darah pada area posterior. Pada
pemeriksaan lab, terjadi peningkatan platelet-leukosit agregasi dan risiko
pembentukan emboli bila menyumbat pembuluh darah kecil di otak
menyebabkan hipoksia jaringan bahkan nekrosis jaringan.
g. Obesitas
Seseorang dengan BMI ≥ 30 kg/m2 dikategorikan obesitas karena
ketidakseimbangan jumlah kalori dengan proses metabolik tubuh yang
meningkatkan risiko resistensi insulin dan penyakit vaskuler lainnya.
h. Penyalahgunaan obat
Termasuk heroin, kokain, amphetamine teridentifikasi berisiko
menyebabkan stroke dengan mekanisme peningkatan tekanan darah,
platelet agregasi dan viskositas darah.
i. Penyalahgunaan alkohol
Penggunaan alkohol (> 60 g/d) meningkatkan risiko 1,6x
terjadinya stroke iskemik dan 2,18x stroke hemoragik. Etanol merupakan
neurotoksin yang mempercepat proses neurodegeneratif termasuk
demensia.
j. Hiperkolesterol
Penelitian menunjukkan bahwa makanan kaya lemak jenuh dan
kolesterol dapat berpengaruh pada pembentukan aterosklerosis. Nilai
kolesterol total > 240-270 mg/dL meningkatkan risiko terjadinya stroke
iskemik. Dislipidemia merupakan penyebab stroke keempat terbanyak di
Indonesia, terutama pada stroke iskemik. Pasien dislipidemia disarankan
melakukan modifikasi gaya hidup dan diberikan inhibitor HMG-CoA
reductase (statin), terlebih pada pasien berisiko tinggi seperti riwayat
jantung koroner dan diabetes. Pasien dengan LDL-C >150 mg/dL
sebaiknya mendapat terapi (Kemenkes, 2019).
k. Penggunaan kontrasepsi oral
29

Stroke juga dapat terjadi pada wanita pengguna kontrasepsi oral


(estrogen dosis rendah) diatas usia 35 tahun, perokok aktif, dengan
hipertensi, diabetes, sakit kepala, riwayat tromboemboli.
2. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Usia
Penuaan adalah salah satu dari faktor risiko signifikan dari stroke.
Risiko menjadi dua kali lipat untuk setiap dekade setelah usia 55 tahun,
dan dua per tiga kejadian stroke terjadi pada usia lebih dari 65 tahun
(lansia).
b. Jenis kelamin
Kejadian stroke lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita,
yaitu (133:99/100.000 orang pertahun). Namun, tidak menutup
kemungkinan wanita juga bisa terkena stroke.
c. Riwayat orang tua stroke
Serangan TIA sebelumnya, juga meningkatkan risiko terjadinya
stroke. Framingham Heart Study menyatakan anak dari orangtua yang
pernah mengalami stroke berisiko tiga kali untuk menderita stroke.
d. Suku dan ras
Orang hispanik berisiko dua kali lipat risiko mengalami stroke
seperti orang kulit putih. Sementara di Indonesia, suku Jawa banyak
menderita stroke hal ini dilihat pada jumlah penderita stroke tertinggi
berada di Pulau Jawa.
D. Tanda dan Gejala
Black & Hawks (2014) menjelaskan peringatan dini tanda gejala stroke
berhubungan dengan penyebabnya. Manifestasi dari stroke iskemik yang terjadi
termasuk hemiparesis transient (tidak permanen), kehilangan kemampuan bicara
dan kehilangan sensori setengah. Manifestasi karena trombosis berkembang
dalam hitungan menit ke hitungan jam sampai hari. Serangan yang lambat terjadi
karena ukuran trombus terus meningkat. Stroke hemoragik juga terjadi sangat
cepat, dengan manifestasi berkembang dalam beberapa menit sampai jam.
Manifestasi yang terjadi yaitu sakit kepala dari bagian belakang leher, vertigo,
30

atau kehilangan kesadaran karena hipotensi, parastesia, paralisis sementara,


epistaksis, dan perdarahan pada retina.
Tanda gejala stroke menurut Kemenkes RI (dalam Infodatin Kemenkes
2018):
1. Senyum tidak simetris (mencong ke satu sisi), tersedak, sulit menelan air
minum secara tiba-tiba.
2. Gerak separuh tubuh melemah tiba-tiba.
3. Bicara pelo/tiba-tiba tidak dapat bicara, tidak mengerti kata-kata/bicara tidak
nyambung.
4. Kebas/baal atau kesemutan separuh tubuh.
5. Rabun, pandangan satu mata kabur, terjadi tiba-tiba.
6. Sakit kepala hebat yang muncul tiba-tiba dan tidak pernah dirasakan
sebelumnya, gangguan fungsi keseimbangan, seperti terasa berputar, gerakan
sulit dikoordinasi.

E. Patofisiologi
Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi di mana saja di
dalam arteri-arteri yang membentuk Sirkulus Willisi seperti arteria karotis
interna dan sistem vertebrobasilar atau semua cabang-cabangnya. Proses
patologik yang mendasari mungkin salah satu dari berbagai proses yang
terjadi di dalam pembuluh darah yang memperdarahi otak. Patologinya
dapat berupa (1) keadaan penyakit pada pembuluh itu sendiri, seperti pada
aterosklerosis dan trombosis, robeknya dinding pembuluh, atau
peradangan; (2) berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah,
misalnya syok atau hiperviskositas darah; (3) gangguan aliran darah akibat
bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari jantung atau pembuluh
ekstrakranium; atau (4) ruptur vaskular di dalam jaringan otak atau ruang
subaraknoid (Price et al, 2006).
Pada stroke iskemik karena emboli, embolus akan menyumbat
aliran darah dan terjadilah anoksia jaringan otak di bagian distal sumbatan.
Di samping itu, embolus juga bertindak sebagai iritan yang menyebabkan
31

terjadinya vasospasme lokal di segmen di mana embolus berada. Gejala


kliniknya bergantung pada pembuluh darah yang tersumbat.
Ketika arteri tersumbat secara akut oleh trombus atau embolus,
maka area sistem saraf pusat (SSP) yang diperdarahi akan mengalami
infark jika tidak ada perdarahan kolateral yang adekuat. Di sekitar zona
nekrotik sentral, terdapat ‘penumbra iskemik’ yang tetap viable untuk
suatu waktu, artinya fungsinya dapat pulih jika aliran darah baik kembali.
Daerah yang terisolasi itu tidak berfungsi lagi dan karena itu timbullah
manifestasi defisit neurologik yang biasanya berupa hemiparalisis,
hemihipestesia, hemiparestesia yang bisa juga disertai defisit fungsi luhur
seperti afasia. Iskemia SSP dapat disertai oleh pembengkakan karena dua
alasan yaitu edema sitotoksik dan edema vasogenik. Edema sitotoksik
terjadi akibat terakumulasinya air pada sel-sel glia dan neuron yang rusak.
Sedangkan edema vasogenik yaitu akumulasi cairan ektraselular akibat
perombakan sawar darah-otak (Mardjono & Sidharta, 2014).
Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari
semua stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami
ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid atau
langsung ke dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi vaskular yang dapat
menyebabkan perdarahan subarakhnoid (PSA) adalah aneurisma sakular
dan malformasi arteriovena (MAV). Mekanisme lain pada stroke
hemoragik adalah pemakaian kokain atau amfetamin, karena zat-zat ini
dapat menyebabkan hipertensi berat dan perdarahan intraserebrum atau
subarakhnoid.
Perdarahan intraserebrum ke dalam parenkim otak paling sering
terjadi akibat cedera vaskular yang dipicu oleh hipertensi dan ruptur salah
satu dari banyak arteri kecil yang menembus jauh ke dalam jaringan otak.
Biasanya perdarahan di bagian dalam jaringan otak menyebabkan defisit
neurologik fokal yang cepat dan memburuk secara progresif dalam
beberapa menit sampai kurang dari 2 jam. Hemiparesis di sisi yang
berlawanan dari letak perdarahan merupakan tanda khas pertama pada
keterlibatan kapsula interna.
32

Penyebab pecahnya aneurisma berhubungan dengan


ketergantungan dinding aneurisma yang bergantung pada diameter dan
perbedaan tekanan di dalam dan di luar aneurisma. Setelah pecah, darah
merembes ke ruang subarakhnoid dan menyebar ke seluruh otak dan
medula spinalis bersama cairan serebrospinalis. Darah ini selain dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, juga dapat melukai
jaringan otak secara langsung oleh karena tekanan yang tinggi saat
pertama kali pecah, serta mengiritasi selaput otak (Price, 2006).
Lesi (infark, perdarahan, dan tumor) pada bagian posterior dari
girus temporalis superior (area wernicke) menyebabkan afasia reseptif,
yaitu klien tidak dapat memahami bahasa lisan dan tertulis, kelainan ini
dicurigai bila klien tidak bisa memahami setiap perintah dan pertanyaan
yang diajukan. Lesi pada area fasikulus arkuatus yang menghubungkan
area wernicke dengan area broca mengakibatkan afasia konduktif, yaitu
klien tidak dapat mengulangi kalimat-kalimat dan sulit menyebutkan
nama-nama benda tetapi dapat mengikuti perintah. Lesi pada bagian
posterior girus frontalis inferoior (broca) disebut dengan afasia eksprektif,
yaitu klien mampu mengerti terhadap apa yang dia dengar tetapi tidak
dapat menjawab dengan tepat, bicaranya tidak lancar (Mutaqin, 2011).

F. Diagnosis
Menurut Lingga (2014) untuk mendiagnosa stroke secara tepat perlu
serangkaian pemeriksaan diantaranya:
1. Anamnesis
Proses anamnesis akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak sebelah badan,
mulut mencong atau bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi dengan baik.
Keadaan ini timbul sangat mendadak, dapat sewaktu bangun tidur, sedang
bekerja, ataupun sewaktu istirahat.
Menurut PERDOSSI (2016), anamnesis Stroke Iskemik berupa :
a) Gangguan global berupa gangguan kesadaran
b) Gangguan fokal yang muncul mendadak, dapat berupa :
33

1) Kelumpuhan sesisi/kedua sisi, kelumpuhan satu extremitas, ke


lumpuhan otot-otot penggerak bola mata, kelumpuhan otot-otot
untuk proses menelan, wicara dan sebagainya.
2) Gangguan fungsi keseimbangan
3) Gangguan fungsi penghidu
4) Gangguan fungsi penglihatan
5) Gangguan fungsi pendengaran
6) Gangguan fungsi Somatik Sensoris
7) Gangguan Neurobehavioral yang meliputi gangguan atensi, memory,
bicara verbal, gangguan mengerti pembicaraan, gangguan
pengenalan ruang, gangguan fungsi kognitif lain.
Anamnesis Stroke Hemoragik :
a) Gejala prodomal yaitu gejala peningkatan tekanan intrakranial dapat
berupa sakit kepala, muntah-muntah, sampai kesadaran menurun.
b) Gejala penekanan parenkim otak (perdarahan intraserebral), memberikan
gejala tergantung daerah otak yang tertekan/terdorong oleh bekuan darah
Anamnesis Perdarahan Subarahnoid :
a) Gejala prodomal yaitu :
1) Gejala peningkatan tekanan intrakranial dapat berupa sakit kepala,
muntah-muntah, sampai kesadaran menurun.
2) Gejala rangsang meningeal : sakit kepala, kaku leher, silau, sampai
kesadaran menurun
b) Gejala khusus untuk perdarahan subarahnoid dapat berupa :
1) Manifestasi peningkatan tekanan intrakranial karena edema serebri,
hidrosefalus dan terjadinya perdarahan berulang
2) Defisit neurologis fokal
3) Manifestasi stroke iskemik karena vasospasme bergantung kepada
komplikasinya
2. Pemeriksaan fisik
Penentuan keadaan kardiovaskular penderita serta fungsi vital seperti tekanan
darah kiri dan kanan, nadi, pernafasan, tentukan juga tingkat kesadaran
penderita. Jika kesadaran menurun, tentukan skor dengan skala koma
34

glasglow agar pemantauan selanjutnya lebih mudah, tetapi seandainya


penderita sadar tentukan berat kerusakan neurologis yang terjadi, disertai
pemeriksaan saraf saraf otak dan motorik apakah fungsi komunikasi masih
baik atau adakah disfasia. Jika kesadaran menurun dan nilai skala koma
glasglow telah ditentukan, setelah itu lakukan pemeriksaan refleks-refleks
batang otak yaitu:
Reaksi pupil terhadap cahaya; Refleks kornea; Refleks okulosefalik; Keadaan
(refleks) respirasi, apakah terdapat pernafasan Cheyne Stoke, hiperventilasi
neurogen, kluster, apneustik dan ataksik. Setelah itu tentukan kelumpuhan
yang terjadi pada saraf - saraf otak dan anggota gerak. Kegawatan kehidupan
sangat erat hubungannya dengan kesadaran menurun, karena makin dalam
penurunan kesadaran, makin kurang baik prognosis neurologis maupun
kehidupan. Kemungkinan perdarahan intra serebral dapat luas sekali jika
terjadi perdarahan-perdarahan retina atau preretina pada pemeriksaan
funduskopi. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan
terkait defisit sensorik, gangguan otonom, dan gangguan neurobehavior
(PERDOSSI, 2016).
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan cek laboratorium, pemeriksaan
neurokardiologi, pemeriksaan radiologi, penjelasanya adalah sebagai berikut :
a. Laboratorium.
- Pemeriksaan darah rutin.
- Pemeriksaan kimia darah lengkap : Gula darah sewaktu, kolesterol,
ureum, kreatinin, asam urat, fungsi hati, enzim SGOT/SGPT/CPK,
dan profil lipid (trigliserid, LDH-HDL kolesterol serta total lipid).
- Pemeriksaan hemostasis (darah lengkap) : Waktu prothrombin,
Kadar fibrinogen, Viskositas plasma.
- Pemeriksaan tambahan yang dilakukan atas indikasi : Homosistein.
b. Pemeriksaan neurokardiologi
Sebagian kecil penderita stroke terdapat perubahan elektrokardiografi.
Perubahan ini dapat berarti kemungkinan mendapat serangan infark
jantung, atau pada stroke dapat terjadi perubahan – perubahan
35

elektrokardiografi sebagai akibat perdarahan otak yang menyerupai suatu


infark miokard. Pemeriksaan khusus atas indikasi misalnya CK-MB
follow up nya akan memastikan diagnosis. Pada pemeriksaan EKG dan
pemeriksaan fisik mengarah kepada kemungkinan adanya potensial
source of cardiac emboli (PSCE) maka pemeriksaan echocardiografi
terutama transesofagial echocardiografi (TEE) dapat diminta untuk
visualisasi emboli cardial.
c. Pemeriksaan radiologi
- CT Scan
Perdarahan intraserebral dapat terlihat segera dan pemeriksaan ini
sangat penting karena perbedaan manajemen perdarahan otak dan
infark otak. Pada infark otak, pemeriksaan CT-scan otak mungkin
tidak memperlihatkan gambaran jelas jika dikerjakan pada hari – hari
pertama, biasanya tampak setelah 72 jam serangan. Jika ukuran
infark cukup besar dan hemisferik. Perdarahan/infark di batang otak
sangat sulit diidentifikasi, oleh karena itu perlu dilakukan
pemeriksaan MRI untuk memastikan proses patologik di batang otak.
- Pemeriksaan foto thoraks.
Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat pembesaran
ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada
penderita stroke dan adakah kelainan lain pada jantung. Dapat
mengidentifikasi kelainan paru yang potensial mempengaruhi proses
manajemen dan memperburuk prognosis
4. Siriraj Scoring Score
Gejala/Tanda Penilaian Indeks
Kesadaran 0 = Compos mentis x 2.5
1 = Mengantuk
2 = Koma/Semi Koma
Muntah 0 = tidak x2
1 = ya
Nyeri Kepala 0 = tidak X2
1 = ya
Tekanan Darah Diastolik x 10%
36

Ateroma 0 = tidak ada x (-3)


1 = salah satu atau lebih
Konstanta - 12
Total …..

Interpretasi :
SSS > 1 : Stroke Hemoragik
SSS < -1 : Stroke non Hemoragik
SSS -1 s/d 1 : perlu pemeriksaan penunjang (CT Scan)

5. Algoritma Gajah Mada


37

G. Penatalaksanaan
Periode emas (golden period) dalam penanganan stroke adalah ± 3 jam,
artinya dalam 3 jam awal setelah mendapatkan serangan stroke, pasien harus
segera mendapatkan terapi secara komprehensif dan optimal dari tim gawat
darurat rumah sakit untuk mendapatkan hasil pengobatan yang optimal (Morton
dalam Saudin, Agoes & Rini, 2016). Periode emas penatalaksanaan stroke adalah
kurang dari 3 - 4,5 jam onset serangan dan hasil terbaik dicapai dalam waktu 90
menit (Ashraf et al., 2015).
Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat berdasarkan Guideline Strokes
(PERDOSSI, 2011) sebagai berikut :
1. Evaluasi cepat dan diagnosis
a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas
penderita saat serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa
berputar, kejang, cegukan, gangguan visual, penurunan kesadaran, serta
faktor risiko stroke (hipertensi, diabetes, dan lain-lain).
b. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan
suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher dan tanda-tanda distensi vena
jugular.
c. Pemeriksaan neurologis meliputi kesadaran, 12 saraf kranialis, dan skala
stroke menggunakan NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale).
2. Terapi umum
a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
 Pembetian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen
< 95%.
38

 Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask


Airway) diperlukan pada pasien dengan hipoksia (p02 <60 mmHg
atau pCO2 >50 mmHg), atau syok, atau pada pasien yang berisiko
untuk terjadi aspirasi.
b. Stabilisasi Hemodinamik
 Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian
cairan hipotonik seperti glukosa).
 Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama 24
jam pertama setelah serangan stroke iskernik
 Optimalisasi tekanan darah
c. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)
 Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan
penderita yang mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan
TIK. Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70
mmHg.
 Penataaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial
meliputi:
-Tinggikan posisi kepala 200 - 300
-Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular
-Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
-Hindari hipertermia
-Jaga normovolernia
-Osmoterapi atas indikasi:
Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap
4-6 jam dengan target ≤ 310 mOsrn/L. (AHA/ASA, Class III,
Level of evidence C). Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali
dalam sehari selama pemberian osmoterapi.
Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB
i.v.
-Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema
otak dan tekanan tinggi intracranial pada stroke iskemik, tetapi
dapat diberikan kalau diyakini tidak ada kontraindikasi
39

-Drainase ventricular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat


stroke iskemik serebelar.
d. Pengendalian Kejang
 Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg dan
diikuti oleh fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan
kecepatan maksimum 50 mg/menit.
 Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.
 Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik
tanpa kejang tidak dianjurkan.
 Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan profilaksis
dapat diberikan selama 1 bulan, kemudian diturunkan, dan dihentikan
bila tidak ada kejang selama pengobatan.

3. Penatalaksanaan Tekanan Darah Pada Stroke Akut


a. Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15%
(sistolik maupun diastolic) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila
tekanan darah sistolik (TDS) >220 mmHg atau tekanan darah diastolic
(TDD) >120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang akan diberi
terapi trombolitik (rtPA), tekanan darah diturunkan hingga TDS <185
mmHg dan TDD <110 mmHg (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
Selanjutnya, tekanan darah harus dipantau hingga TDS <180 mmHg dan
TDD <105 mmHg selama 24 jam setelah pemberian rtPA. Obat
antihipertensi yang digunakan adalah labetalol, nitropaste, nitroprusid,
nikardipin, atau diltiazem intravena.
b. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut (AHA/ASA, Class IIb,
Level of evidence C), apabila TDS >200 mmHg atau Mean Arterial
Preassure (MAP) >150 mmHg, tekanan darah diturunkan dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontiniu dengan
pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.
c. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala
dan tanda peningkatan tekanan intracranial, dilakukan pemantauan
tekanan intracranial. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan
40

obat antihipertensi intravena secara kontinu atau intermiten dengan


pemantauan tekanan perfusi serebral ≥60 mmHg.
d. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala
dan tanda peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah diturunkan
secara hati-hati dengan menggunakan obat antihipertensi intravena
kontinu atau intermitten dengan pemantauan tekanan darah setiap 15
menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg. Pada
studi INTERACT 2010, penurunan TDS hingga 140 mmHg masih
diperbolehkan. (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B).
e. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220 mmHg,
penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup
aman (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B). Setelah kraniotomi,
target MAP adalah 100mmHg.
f. Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan penyekat beta
(labetalol dan esmolol), penyekat kanal kalsium (nikardipin dan diltiazem)
intravena, digunakan dalam upaya diatas.
g. Dosis Labetalol : 10-80 mg IV tiap 10 menit sampai 300 mg/hari; infuse:
0,5-2 mg/menit, Esmolol : 0,25-0,5 mg/kg IV bolus disusul dosis
pemeliharaan, Nikardipin : 5 mg/jam IV
4. Penatalaksanaan Gula Darah pada Stroke Akut
a. Hindari kadar gula darah melebihi 180 mg/dl, disarankan dengan infus
salin dan menghindari larutan glukosa dalam 24 jam pertama setelah
serangan stroke akan berperan dalam rnengendalikan kadar gula darah.
b. Hipoglikemia (< 50 mg/dl) mungkin akan memperlihatkan gejala mirip
dengan stroke infark, dan dapat diatasi dengan pemberian bolus dekstrose
atau infus glukosa 10-20% sampai kadar gula darah 80-110 mg/dl.
c. Control gula darah selama fase akut stroke dapat dilakukan dengan sliding
scale insulin.
5. Terapi khusus
Tatalaksana Stroke Iskemik
a. Pemberian terapi trombolisis pada stroke akut
41

Pemberian IV rTPA dosis 0,9 mg/KgBB (maksimum 90 mg), 10% dari


dosis total diberikan sebagai bolus inisial, dan sisanya diberikan sebagai
infus selama 60 menit, terapi tersebut harus diberikan dalam rentang
waktu 3 jam dari onset.
b. Pemberian antiplatelet
Pemberian Aspirin dengan dosis awal 325 mg dalam 24 sampai 48 jam
setelah awitan stroke dianjurkan untuk setiap stroke iskemik akut. Pada
orang yang alergi aspirin atau telah menerima aspirin secara rutin
diberikan klopidogrel 75 mg/hari.
1) Pemberian aspirin dianjurkan untuk setiap stroke iskemik akut
dengan dosis awal 160-325 mg dalam 24-48 jam setelah onset
2) Pemberian aspirin tidak menggantikan fungsi rtPA (Alteplase) atau
trombektomi pada pasien yang terindikasi.
3) Penggunaan aspirin sebagai adjunctive therapy dalam 24 jam setelah
pemberian obat trombolitik tidak direkomendasikan. Pada pasien
yang mendapat rtPA (Alteplase), pemberian aspirin umumnya
ditunda sampai 24 jam setelah terapi, kecuali jika diketahui
penundaan aspirin menimbulkan risiko. Ticagrelor tidak
direkomendasikan dibanding aspirin pada pasien stroke minor.
4) Pemberian dual antiplatelet (aspirin dan clopidogrel) dalam 24 jam
selama 21 hari pada pasien dengan stroke minor bermanfaat untuk
mencegah risiko stroke sekunder hingga 90 hari setelah stroke.
5) Pemberian antiplatelet intravena yang menghambat reseptor
glikoprotein IIb / IIIa tidak dianjurkan
6) Pemberian clopidogrel 75 mg lebih baik dibandingkan dengan
aspirin 325 mg untuk mencegah risiko stroke iskemik sekunder,
infark jantung dan kematian akibat vaskular.
7) Pada pasien dengan riwayat stroke iskemik, fibrilasi atrial, dan
sindrom coroner, belum ada bukti penambahan antiplatelet pada
antikoagulan bermanfaat untuk mencegah penyakit vascular.
c. Obat neuroprotector
42

Pemakaian obat-obatan neuroprotektor belum menunjukkan hasil yang


efekif, sehingga sampai saat ini belum dianjurkan. Namun, citicolin
sampai saat ini masih memberikan manfaat pada stroke akut.6
Penggunaan citicolin pada stroke iskemik akut dengan dosis 2x1000 mg
intravena 3 hari dan dilanjutkan dengan oral 2x1000 mg selama 3 minggu.
d. Pemberian antikoagulan :
1) Pemberian antikoagulan rutin terhadap pasien stroke iskemik akut
dengan tujuan untuk memperbaiki keluaran neurologik atau sebagai
pencegahan dini terjadinya stroke ulang tidak direkomendasi
2) Pengobatan antikoagulan dalam 24 jam terhadap pasien yang
mendapat rtPA (Alteplase) intravena tidak direkomendasikan
3) Manfaat pemberian heparin jangka pendek untuk thrombus
intralumen yang tidak oklusif belum diketahui
4) Pemberian antikoagulan tidak dilakukan sampai ada hasil
pemeriksaan pencitraan yang memastikan tidak ada perdarahan
intrakranial primer. Pasien yang mendapatkan pengobatan
antikoagulan perlu dilakukan pengawasan kadar antikoagulan.
5) Pada pasien dengan riwayat fibrilasi atrium, antikoagulan oral dapat
dimulai 4-14 hari setelah onset.
6) Tidak ditemukan manfaat pemberian heparin dibandingkan aspirin
pada pasien stroke akut dengan atrial fibrilasi, walaupun masih dapat
diberikan pada pasien yang selektif. Aspirin dan dilanjutkan dengan
pemberian warfarin untuk prevensi jangka panjang dapat diberikan.
7) Warfarin merupakan pengobatan lini pertama pada kebanyakan
kasus stroke kardio-emboli. Penggunaan warfarin harus berhati-hati
karena dapat meningkatkan risiko perdarahan. Oleh karena itu, perlu
pengawasan INR minimal 1 bulan sekali. Warfarin dapat mencegah
terjadinya stroke emboli kardiogenik dan mencegah emboli ulang
pada keadaan berisiko besar.
8) Untuk kasus stroke non-kardioemboli, penggantian antiplatelet ke
warfarin tidak disarankan
43

9) Pemberian antikoagulan sesuai dengan pedoman antikoagulan pada


stroke iskemik.
10) Pemberian antikoagulan segera tidak disarankan untuk pasien stroke
iskemik akut, termasuk pasien dengan stenosis berat. Pemberian
argatroban, dabigatran, inhibitor thrombin lain dan inhibitor factor
Xa belum terbukti bermanfaat.
e. Pemberian antioksidan (astaxanthin dan antioksidan lainnya ) berpotensi
sebagai antitrombosis dan antihipertensi pada kerusakan otak serta
menekan aktifitas kerusakan jaringan iskemik akibat ROS. Konsultasi
dokter spesialis jantung untuk mencari kemungkinan sumber emboli dari
jantung serta menanggulangi gangguan jantung lain terutama gangguan
irama jantung (fibrilasi atrial), dan pemeriksaan TTE (transthoracal
echocardiography) dan TOE (transoesophageal echocardiography).
f. Edema serebri adalah penyebab utama kemunduran dini dan kematian
pada pasien dengan infark supratentorial yang besar. Edema serebri
biasanya berkembang antara hari ke-2 dan ke-5 dari awitan stroke, tetapi
menjelang hari ke-3, pasien dapat mengalami kemunduran neuorologis
dalam 24 jam sesudah awitan keluhan.
g. Terapi medikamentosa manitol (25-50 gr diulangi tiap 3-6 jam)
merupakan terapi medis lini pertama bila tanda klinis atau radiologis
menunjukkan terjadinya space occupying oedema. Rekomendasi terapi
bedah : Bedah dekompresi dilakukan dalam 48 jam sesudah awitan
keluhan dan direkomendasikan pada pasien yang berumur di atas 60
tahun dengan malignant MCA infarcts (Kemenkes, 2019).

Tatalaksana Stroke Hemoragik menurut Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran Tata Laksana Stroke Kemenkes (2019)
a. Koreksi tekanan darah Peningkatan tekanan darah sering terjadi pada
perdarahan intracranial. Tekanan darah yang tinggi diketahui berkaitan
dengan ekspansi hematoma, perburukan fungsi neurologis, disabilitas,
dan bahkan kematian. Oleh karena itu pada kasus perdarahan intrakranial,
penurunan tekanan darah bermanfaat dan relatif aman. Pasien dengan TD
sistolik 150-220mmHg tanpa kontraindikasi antihipertensi, penurunan
tekanan darah sistolik hingga 140mmHg dinyatakan aman, dan
bermanfaat. Sementara itu pasien dengan TD sistolik >220mmHg boleh
dilakukan penurunan tekanan darah agresif dengan antihipertensi
44

intravena dan pengawasan ketat. Tekanan darah diturunkan sebaiknya


menggunakan obat antihipertensi kerja singkat (short-acting) sehingga
dosis dapat dititrasi dan disesuaikan dengan respon tekanan darah dan
status neurologis pasien. Obat-obat yang dapat dipergunakan yaitu
nikardipine, labetalol, esmolol atau natrium nitroprusside dengan cara
penurunan sebagai berikut :
1) Nicardipine 5 mg/jam sebagai dosis awal, lalu dinaikkan 2,5 mg/jam
setiap 5-15 menit sampai efek yang diinginkan. Dosis maksimumnya
adalah 15 mg/jam.
2) Labetalol diberikan dosis intermitten 10-20 mg IV dalam 1-2 menit,
boleh diulang satu kali.
3) Hydralazine dapat diberikan 10-20 mg IV setiap 4-6 jam.
Hydralazine sebaiknya tidak dijadikan pilihan utama karena
walaupun waktu paruhnya hanya 3 jam, tetapi efeknya pada tekanan
darah dapat bertahan hingga 100 jam sehingga efeknya tidak dapat
diprediksi.
4) Enalaprilat dapat diberikan 0,625-1,2 mg IV setiap 6 jam.
5) Natrium nitroprusside seharusnya dihindari pada kasus kegawatan
neurologi karena dapat meningkatkan ICP. Tetapi jika dibutuhkan
penurunan tekanan darah segera dan obat lain tidak efektif, pasien
dapat diberikan natrium nitroprusside 0,25-10 μg/kg/menit. Dosis
awal sebaiknya lebih rendah. Pasien tidak boleh mendapat
nitroprusside lebih dari 24 jam dan dosis tertinggi yang dapat
diberikan adalah 2 μg/kg/menit.
6) Diltiazem merupakan salah satu pilihan pada hipertensi emergensi
dan hipertensif ensefalopati, juga dapat digunakan untuk
menurunkan tekanan darah pada stroke iskemik akut yang akan
diberikan trombolitik. Diltiazem juga dapat digunakan untuk
menurunkan tekanan darah pada stroke perdarahan tanpa
menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial. Obat ini secara
spesifik dapat menurunkan tekanan darah pada kasus stroke dengan
45

komorbid takiaritmia, angina tidak stabil, miokard infark, dan supra


ventricular tachycardia.
b. Pemeriksaan pencitraan yang cepat dengan CT atau MRI
direkomendasikan untuk membedakan stroke iskemik dengan perdarahan
intracranial
c. Angiografi CT dan CT dengan kontras dapat dipertimbangkan untuk
membantu mengidentifikasi pasien dengan risiko perluasan hematoma.
Bila secara klinis atau radiologis terdapat kecurigaan yang mengarah ke
lesi structural termasuk malformasi vaskuler dan tumor, sebaiknya
dilakukan angiografi CT, venografi CT, CT dengan kontras, MRI dengan
kontras, MRA, dan venografi MR
d. Pasien dengan perdarahan intracranial dan peningkatan INR terkait obat
antikoagulan oral sebaiknya tidak diberikan walfarin, tetapi mendapat
terapi untuk menggganti vitamin K-dependent factor dan mengkoreksi
INR, serta mendapat vitamin K intravena.
 Vitamin K 10 mg IV diberikan pada penderita dengan peningkatan
INR dan diberikan dalam waktu yang sma dengan terapi yang lain
karena efek akan timbul 6 jam kemudian. Kecepatan pemberian <1
mg/menit untuk meminimalkan risiko anafilaksis
 FFP 2-6 unit diberikan untuk mengoreksi defisiensi factor
pembekuan darah bila ditemukan sehingga dengan cepat
memperbaiki INR atau aPTT. Terapi FFP ini untuk mengganti pada
kehilangan factor koagulasi
e. Untuk mencegah tromboemboli vena pada pasien dengan perdarahan
intracranial, sebaiknya mendapat pneumatic intermittent compression
selain dengan stoking elastis
f. Setelah dokumentasi penghentian perdarahan LMWH atau UFH subkutan
dosis rendah dapat dipertimbangkan untuk pencegahan tromboembolin
vena pada pasien dengan mobilitas yang kurang setelah satu hingga
empat hari pascaawitan
g. Prosedur operasi
 Indikasi operasi evakuasi bekuan darah secepatnya
46

 Perdarahan serebelum dengan perburukan neurologis


 Adanya kompresi batang otak
 Hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel
Pada pasien dengan bekuan darah di lobus dengan jumlah >30 ml dan
terdapat 1 cm dari permukaan dapat dikerjakan kraniotomi standar untuk
mengevakuasi perdarahan intracranial supratentorial. Drainase
ventrikuler sebagai tatalaksana hidrosefalus dapat dipertimbangkan pada
pasien dengan penurunan kesadaran.
Tatalaksana Perdarahan SubArahnoid (PSA) menurut Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Stroke Kemenkes (2019) :
Nyeri kepala hebat yang muncul akut / tiba-tiba sebaiknya dicurigai
sebagai tanda PSA. CT-scan kepala non-kontras sebaiknya dilakukan pada pasien
yang dicurigai PSA. Lumbal pungsi untuk analisis cairan serebro spinal (CSS)
sangat direkomendasikan bila CT-scan tidak menunjukkan tanda-tanda PSA. CTA
dapat dipertimbangkan untuk pemeriksaan PSA. Jika dengan CTA ditemukan
aneurisma, maka dapat dilanjutkan untuk penentuan rencana terapi aneurisma.
Tetapi jika hasilnya inkonklusif, DSA boleh dilakukan, kecuali pada PSA
perimesensefalik klasik. DSA dengan angiografi rotasional 3-dimensi sebaiknya
dilakukan untuk mendeteksi gambaran aneurisma pada pasien PSA dan
merencanakan terapi, kecuali pada kasus dimana aneurisma sudah dapat dideteksi
dengan pemeriksaan angiografi noninvasive sebelumnya. MRA dan CTA dapat
dipertimbangkan bila angiografi konvensional tidak dapat dilakukan.
a. Pedoman tata laksana
1) Pasien dengan tanda-tanda grade I atau II (H&H PSA)
a) Identifikasi dini nyeri kepala hebat merupakan petunjuk untuk upaya
menurunkan angka mortalitas dan morbiditas.
b) Tirah baring total dengan posisi kepala ditinggikan 30o dalam ruangan
dengan lingkungan yang tenang dan nyaman, bila perlu berikan O2 2-3
L/menit.
c) Hati-hati pemakaian sedatif.
d) Pasang infus IV di ruang gawat darurat dan monitor ketat kelainan
neurologis yang timbul.
47

2) Pasien dengan grade III, IV atau V (H&H PSA), perawatan harus lebih
intensif :
a) Lakukan tata laksana A-B-C sesuai dengan protokol pasien di ruang gawat
darurat.
b) Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalan napas
yang adekuat.
c) Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi.
d) Hindari pemakaian sedatif berlebihan karena akan menyulitkan penilaian
status neurologis.
b. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA
1) Monitor tekanan darah dan kontrol dengan antihipertensi yang dapat dititrasi
untuk mencegah risiko stroke, perdarahan akibat hipertensi, dan mengontrol
cerebral perfusion pressure (CPP) sejak onset PSA hingga dilakukan tata
laksana aneurisma. Tekanan darah boleh diturunkan hingga sistolik
<160mmHg.
2) Istirahat di tempat tidur saja tidak cukup untuk mencegah perdarahan ulang
PSA, tetapi dapat dipertimbangkan secara umum untuk menjadi standar baku
pengobatan
3) Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan
pada keadaan klinis tertentu. Contohnya pasien berisiko rendah vasopasme
atau bermanfaat pada penundaan operasi. Terapi antifibrinolitik berkaitan
dengan tingginya angka kejadian iskemik serebral dan tampaknya secara
umum tidak memberikan hasil yang memuaskan. Untuk masa yang akan
datang dianjurkan melakukan pembelajaran menggunakan kombinasi
antifibrinolitik dengan obatobatan lain untuk mengurangi vasopasme.
4) Pemberian asam traneksamat atau asam aminokaproat dalam <72 jam boleh
dilakukan untuk mengurangi risiko perdarahan ulang akibat aneurisma pada
pasien yang perlu ditunda tindakannya, berisiko mengalami perdarahan ulang,
dan tidak ada kontraindikasi kuat.
c. Tata laksana pencegahan vasospasme
1) Pasien dengan SAH direkomendasikan untuk pemberian nimodipin oral
dengan dosis 6x60mg dimulai dalam 96 jam dan diberikan selama 21 hari.
48

Pemakaian nimodipin oral terbukti memperbaiki defisit neurologis, namun


bukan vasospasme serebral. Antagonis kalsium lainnya yang diberikan secara
oral atau intravena tidak bermakna 2) Pengobatan vasospasme serebral
dimulai dari penanganan ruptur aneurisma, dengan mempertahankan volume
darah sirkulasi tetap normal dan menghindari terjadinya hipovolemi.
Mempertahankan euvolemia dan volume darah normal juga bermanfaat untuk
mencegah delayed cerebral ischemia (DCI)
2). Tata laksana tradisional hyperdynamic therapy yang dikenal dengan triple H
yaitu Hypervolemic-HypertensiveHemodilution sudah mulai berubah untuk
mempertahankan euvolemia dan menginduksi hipertensi.
3) Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien
yang tidak dilakukan embolisasi atau clipping.
4) Penggunaan fibrinolitik intrasisternal, antioksidan dan anti-inflamasi tidak
begitu bermakna.
5) Angioplasti serebral dianjurkan untuk pengobatan vasospasme pada pasien-
pasien yang gagal diterapi konvensional.
6) Cara lain untuk manajemen vasospasme adalah Nimodipin 60 mg peroral 6 kali
sehari, jaga keseimbangan elektrolit. Delayed vasopasme: Hentikan nimodipin,
antihipertensi dan diuretika, Berikan 5% albumin 250 ml intravena, Pasang
Swan-ganz (bila memungkinkan), usahakan wedge pressure 12-14 mmHg, Jaga
indeks kardiak sekitar 4 L/min/sg.meter, Berikan dobutamin 2-15 µg/kg/min.
d. Antifibrinolitik.
Obat-obatan antifibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang. Obat-
obatan yang sering dipakai adalah epsilon aminocaproid acid dengan dosis 36
gr/hari atau asam traneksamat dengan dosis 6-12 gr/hari yang diberikan dalam
<72 jam. Obat-obatan ini diberikan pada pasien yang belum bisa dilakukan
tindakan untuk aneurismanya namun berisiko mengalami perdarahan berulang
dan tidak ada kontraindikasi
e. Antihipertensi
1) Jaga tekanan arteri rata-rata (MAP) sekitar 110 mmHg atau tekanan darah
sistolik (TDS) tidak lebih dari 160 dan tekanan darah diastolik (TDD) 90
mmHg (sebelumn tindakan operasi aneurisma clipping)
49

2) Obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg dan TDD lebih
dari 90 mmHg atau MAP di atas 130 mmHg.
3) Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah labetalol (IV) 0,5 – 2 mg/menit
sampai mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol infus dengan dosis 50-200
mcg/kg/menit. Pemakaian nitroprussid tidak dianjurkan karena menyebabkan
vasodilatasi dan takikardia.
4) Untuk mempertahankan TDS tetap di atas 120 mmHg dapat diberikan
vasopressor untuk melindungi jaringan iskemik penumbra yang mungkin terjadi
akibat vasospasme.
H. Komplikasi
1. Defisit sensoripersepsi
Stroke dapat melibatkan perubahan patologis pada jaras neurologis yang
mengganggu kemampuan untuk mengintegrasikan, menginterpretasikan, dan
menghadirkan data sensori. Kehilangan kemampuan sensori ini meningkatkan
risiko cedera. Defisit dapat mencakup:
a. Gangguan persepsi visual (Hemianopia): kehilangan seluruh lapang
penglihatan pada satu atau kedua mata.
b. Agnosia: ketidakmampuan untuk mengenali satu benda atau lebih yang
sebelumnya familiar. Agnosia dapat visual, auditoria tau taktil.
c. Apraksia : ketidakmampuan untuk melakukan beberapa pola motorik
(misal berpakaian) walaupun kekuatan dan koordinasi adekuat.
2. Perubahan kognitif dan perilaku
a. Perubahan pada kesadaran, rentang dari konfusi ringan hingga koma,
merupakan manifestasi stroke yang lazim. Perubahan kesadaran juga
dapat menjadi akibat edema serebral atau peningkatan TIK.
b. Perubahan perilaku mencakup kelabilan emosi (pasien dapat tertawa atau
menangis pada kondisi yang tidak sesuai), kehilangan kontrol diri, dan
penurunan toleransi terhadap stress (marah atau depresi).
c. Perubahan intelektual mencakup kehilangan memori, penurunan perhatian,
penilaian yang buruk, dan ketidakmampuan berpikir secara abstrak.
3. Gangguan komunikasi
50

Komunikasi adalah proses kompleks, melibatkan fungsi motorik, bicara,


bahasa, memori, alasan dan emosi. Gangguan komunikasi biasanya akibat
stroke yang mengenai hemisfer dominan. Di antara gangguan ini adalah
sebagai berikut
a. Disartria : semua gangguan dalam pengendalian otot bicara akibatnya
artikulasi yang diucapkan menjadi tidak sempurna dan kesulitan dalam
berbicara.
b. Afasia : ketidakmampuan untuk menggunakan atau memahami bahasa.
Afasia mungkin ekspresif (afasia motorik/afasia Broca); dapat
memahami apa yang dikatakan, tetapi merespon hanya dalam frase
pendek, Afasia reseptif (afasia sensorik/afasia Wernicke); dapat
memahami kata yang diucapkan, bicara fasih tetapi dengan konten yang
tidak tepat, dan Afasia global/campuran; disfungsi bahasa dalam hal
memahami maupun ekspresi.
4. Defisit motoric
Gerakan tubuh hasil dari interaksi yang kompleks antara otak, korda spinal,
dan saraf perifer. Stroke dapat mengganggu komponen SSP dalam sistem
interaksi ini dan menghasilkan efek pada sisi kontralateral dengan rentang
kelemahan hingga berat. Defisit mencakup hal berikut ini : Hemiplegia
(paralisis setengah tubuh kanan atau kiri). Hemiparese (kelemahan setengah
tubuh kanan atau kiri). Flasiditas (tidak adanya tonus otot) dan Spatisitas
(peningkatan tonus otot).
5. Gangguan eliminasi
Gangguan eliminasi kandung kemih dan usus lazim terjadi. Stroke dapat
menyebabkan kehilangan sebagian sensasi yang memicu eliminasi kandung
kemih, sering berkemih, urgensi, atau inkontinensia. Pengendalian urinasi
dapat berubah sebagai akibat defisit kognitif, imobilitas dan dehidrasi
(LeMone et al. (2016).
6. Infeksi saluran kemih (ISK)
Insiden pada kasus stroke akut sangat bervariasi antara 4,9%-24%.
Tingginya angka kejadian ISK ini dipengaruhi oleh luasnya stroke, beratnya
penurunan kesadaran, meningkatnya volume residu urin, dan riwayat diabetes
51

melitus. Selain itu, penggunaan kateter urin menjadi faktor risiko yang paling
penting pada pasien stroke yang mendapat perawatan. Infeksi saluran kemih
dibedakan menjadi asimtomatik dengan simtomatik. Pada ISK asitomatik
tidak ada riwayat pemakaian kateter urin selama 1 minggu sebelum kultur
pertama positif. Pada ISK simtomatik, didapatkan sedikitnya satu dari gejala
atau tanda berikut demam (t >38oC), tak mampu menahan kencing,
peningkatan frekuensi, disuria (rasa panas ketika buang air kecil atau disekitar
kateter), kram pada suprapubik, sakit pada punggung bawah, polakisuria
(karena mukosa meradang, kandung kemih tidak dapat menampung urin lebih
dari 500ml), dan nokturia. Faktor risiko yang berhubungan dengan ISK
antaralain yaitu pemakaian kateter Foley, disabilitas pasca-stroke, faktor usia
yang semakin tua, status imunitas rendah, diabetes melitus (Kemenkes, 2019).
7. Infeksi Paru
Infeksi paru dan infeksi saluran kemih diperkirakan terjadi pada 9-28%
pasien dengan stroke akut. Gejala dan tanda Stroke associated pneumonia
(SAP) ditegakkan berdasarkan gejala klinis seperti demam atau tidak
demam,batuk, sputum, dapat disertai sesak napas, nyeri otot, nyeri sendi,
sakit kepala, delirium, pemeriksaan paru abnormal, gambaran infiltrate /
konsolidasi / kavitasi pada rontgen thoraks, dan pertumbuhan
mikroorganisme pada kultur. Faktor risiko terjadinya SAP antara lain yaitu
umur ≥65 tahun, disartria, Modified Rankin Scale (mRS) ≥4, Abbreviated
Mental Test (AMT) <8 dan disfagia.
Adanya 2 atau lebih faktor risiko ini mempunyai sensitifitas 90,9% dan
spesifisitas 75,6% terhadap berkembangnya pneumonia. Ditemukan basil
Gram negatif 40-60%, stafilokokus aureus 20-40%, dan bakteri anaerob pada
0% - 35% kasus. Risiko kematian meningkat secara signifikan pada SAP,
baik selama perawatan atau berobat jalan. Ventilasi Mekanik merupakan
faktor risiko independen. Intubasi endotrakeal berpotensi tinggi untuk
menyebabkan terjadinya SAP. Tingginya frekuensi kuman Gram negatif yang
ditemukan pada SAP menunjukkan adanya kolonisasi endogen pada paru
setelah aspirasi sekresi orofaring (Kemenkes, 2019).
8. Hiponatremia
52

Komplikasi hiponatremia terutama pada perdarahan subaraknoid (PSA),


yaitu sekitar 30-40% dari seluruh kasus. Penyebab hiponatremia dibagi dua,
yaitu syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH)
dan cerebral salt wasting syndrome (CSW). Manifestasi klinis beragam,
tergantung berat ringannya hiponatremia. Gejala ringan seperti nyeri kepala,
gangguan konsentrasi, kram otot, kelelahan umum, anoreksia, penurunan
berat badan, mukosa kering, mual dan muntah. Sedangkan gejala berat seperti
penurunan kesadaran, halusinasi, kejang sampai gagal napas. Gejala lain pada
SIADH yaitu peningkatan tekanan darah, dizziness dan penambahan berat
badan, tanpa disertai edema. Pada CSW ditemukan gangguan regulasi
ortostatik, takikardia, penurunan berat badan (Kemenkes, 2019).
9. Trombosis Vena Dalam (TVD)
Trombosis vena dalam (TVD) sering ditemukan pada kondisi imobilitas.
Deteksi dini TVD sangat penting karena berisiko terjadinya emboli paru dan
konsekuensi fatal lainnya. Namun, gambaran klinis awal TVD sangat tidak
spesifik, kecuali setelah berlangsung beberapa waktu. Nyeri atau
pembengkakan tungkai merupakan keluhan yang paling sering terjadi dengan
banyak diagnosis diferensial (Kemenkes, 2019).
10. Kejang
Kejang simtomatik dilaporkan terjadi pada 2 sampai 33% pasien stroke
akut. Faktor risiko berhubungan dengan subtipe lokasi serta berat ringan
stroke. Tipe kejang pasca-stroke umumnya kejang fokal simpleks (61%),
diikuti oleh kejang umum sekunder (28%). Kejang umum tonik klonik terjadi
pada 25% kasus. 12% pasien mengalami status epileptikus, terutama pada
stroke hemoragik (Kemenkes, 2019).
11. Stress Ulcer
Stress ulcer merupakan kelainan pada mukosa saluran cerna bagian atas
berupa erosi atau ulserasi pada lambung atau duodenum yang dapat disertai
dengan perdarahan. Pasien dengan stroke berat atau usia tua sering
mengalami perdarahan lambung, sehingga perlu diperiksa. Gejala klinis yang
muncul seperti rasa tidak enak ulu hati, mual, muntah, anoreksia, dada rasa
terbakar, kembung, sendawa, cepat kenyang, rasa penuh diperut dan
53

hematemesis melena. Hematemesis dan melena menandakan perdarahan dari


saluran cerna bagian atas. Hematemesis merupakan muntah darah yang dapat
berwarna merah segar atau kecoklatan seperti kopi, sedangkan melena
merupakan keluarnya feses berwarna hitam seperti tar. Faktor risiko akut
terjadinya stress ulcer antara lain yaitu stroke yang berat, riwayat perdarahan
saluran cerna atau ulkus peptikum, sepsis, insufisiensi renal, fungsi hati yang
abnormal, pemakaian ventilator mekanik lebih dari 48 jam, koagulopati,
gagal ginjal, hipoperfusi (sepsis, atau disfungsi organ), pemberian
kortikosteroid dosis tinggi (>250 mg/hari), cedera otak / medula spinalis,
pemberian obat anti inflamasi non-steroid (AINS). Pada pasien dengan 2 atau
lebih faktor risiko dapat diberikan profilaksis stress ulcer.
Untuk mencegah timbulnya perdarahan lambung pada stroke perlu
diberikan sitoprotektor atau penghambat reseptor H2. Tidak ada perbedaan
hasil antara pemberian penghambat reseptor H2 (ranitidin), sitoprotektor agen
ataupun inhibitor pompa proton (pantoprazol). Antasid tidak perlu diberikan
sebagai profilaksis stress ulcer. Untuk semua pasien stroke perlu dihindari
pemberian obat-obatan seperti NSAID dan kortikosteroid, serta makanan /
minuman yang bersifat iritatif terhadap lambung seperti alkohol, rokok, cuka.
Pada pemeriksaan fisis umum bisa didapatkan gejala dan tanda syok seperti
hipotensi dan takikardia. Sedangkan pada pemeriksaan abdomen, seringkali
tidak khas. Jarang ditemukan nyeri tekan epigastrium. Akan tetapi dapat
ditemukan hematemesis atau melena, NGT berwarna hitam coklat.
Tata laksana untuk stress ulcer yaitu pasien dipuasakan bila masih terjadi
perdarahan aktif, pasien dengan stress ulcer harus dilakukan tata laksana A-B-
C (airway, breathing, circulation) yang adekuat. Diperlukan petugas yang
terlatih dalam mengenali tanda gagal napas dan mampu melakukan bantuan
dasar untuk jalan napas. Pada perdarahan yang banyak (lebih dari 30% dari
volume sirkulasi), perlu diganti dengan transfusi darah. Dapat diberikan
cairan pengganti berupa koloid atau kristaloid sebelum transfusi untuk
mengganti kehilangan volume sirkulasi berupa infus NaCl 0,9% atau RL atau
plasma expander. Pasang NGT dan lakukan irigasi dengan air es tiap 6 jam
sampai darah berhenti. Pemberian penghambat pompa proton (PPI) seperti
54

omeprazole atau pantoprazole, diberikan secara intravena dengan dosis 80 mg


bolus, kemudian diikuti pemberian infus 8 mg/jam selama 72 jam berikutnya.
Hentikan pemakaian antitrombotik. Pemakaian aspirin dapat diteruskan bila
terdapat indikasi yang jelas. Pemberian nutrisi makanan cair jernih (MCJ)
diet pasca-hematemesis sangat membantu percepatan proses penyembuhan
stress ulcer. Pemberian nutrisi harus mengandung kadar serat tinggi dan
hindari makanan yang merangsang atau mengiritasi lambung (Kemenkes,
2019).
55

IV. KESIMPULAN

1. Stroke adalah kumpulan gejala defisit neurologis akibat gangguan fungsi otak
akut baik fokal maupun global yang mendadak, disebabkan oleh berkurangnya
atau hilangnya aliran darah pada parenkim otak, retina atau medulla spinalis, yang
dapat disebabkan oleh penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah arteri maupun
vena, yang dibuktikan dengan pemeriksaan imaging dan/atau patologi.
2. Penatalaksanaan stroke iskemik dapat diberikan terapi trombolisis, antiplatelet,
dan neuroprotektan. Antiplatelet yang sering digunakan yaitu aspirin, klopidogrel,
dan cilostazol.
3. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam efektivitas dan keamanan antara
kelompok cilostazol dan clopidogrel pada Stroke Iskemik Kronis. Hasil ini
menunjukkan bahwa, setelah fase Stroke Iskemik Akut, penggunaan jangka
panjang cilostazol dan clopidogrel memiliki efektivitas dan keamanan yang
serupa untuk pencegahan stroke sekunder. Namun, terdapat kecenderungan
frekuensi kejadian yang lebih rendah dari Stroke Iskemik akut rekuren atau
perdarahan mayor pada pasien kelompok cilostazol dengan riwayat hipertensi atau
perdarahan gastrointestinal.
56

DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association (2010). Heart disease & stroke statistics – 2010
Update. Dallar, Texas: American Heart Association

Arboix, A., 2015. Cardiovascular risk factors for acute stroke: Risk profiles in the
different subtypes of ischemic stroke. World Journal of W J C C Clinical
Cases. Volume 3. Issue 5

Ashraf VV, Maneesh M, Praveenkumar R, Saifudheen K, Girija AS. Factors


delaying hospital arrival of patients with acute stroke. Ann Indian Acad
Neurol. 2015 Apr-Jun;18(2):162-6. doi: 10.4103/0972-2327.150627.
PMID: 26019412; PMCID: PMC4445190.

Black,J.M. & Hawks,J.H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:Elsevier.

Budianto, Pepi & Mirawati, diah kurnia & Prabaningtyas, Hanindya & Putra,
Stefanus & Muhammad, Faizal & Hafizhan, Muhammad. 2020. STROKE
ISKEMIK AKUT : DASAR DAN KLINIS.

Dipiro,J.T., et al. 2015. Pharmaceutical Handbook. Ninth Edition. USA :The Mc.
Graw Hill Company. Page : 120-124.

Erpinz, 2010. Mengendalikan Tekanan Darah Pasca Stroke.


http://www.strokebethesda.com

Fagan, S.C., and Hess, D.C., 2008. Stroke. In : Dipiro, J.T., (Eds.).
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 7th Edition. United
States of America : McGraw-Hill Companies, pp.373-382.

Goldstein L.B., 2011. Contemporary Reviews in Cardiovascular Medicine Acute


Ischemic Stroke Treatment in 2011. American Heart Association. 116:
1504-1514. Available from:
http://circ.ahajournals.org/content/116/13/1504.short
57

Gomes Joao, Machsman Ari Marc, Corrigan, et all. Types of Strokes. Handbook
of Clinical Nutrition and Stroke. Springer Science+Business Media New
York. 2013

Irfan, Muhammad. 2012. Fisiotrapi Bagi Insan Stroke. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Junaidi, Iskandar., 2011. Stroke Waspadai Ancamannya. Yogyakarta : ANDI.

Karuniawati, H., Ikawati, Z., Gofir, A., 2015, Pencegahan Sekunder untuk
Menurunkan Kejadian Stroke Berulang pada Stroke Iskemik, Jurnal
Manajemen dan Pelayanan Farmasi (JMPF). Vol. 5 No.1

Kemenkes RI. Info Datin Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI.
Kemenkes RI. 2014

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Profil Kesehatan Indonesia.


Tersedia di : https://pusdatin.kemkes.go.id/article/view/20031000003/infodatin-
stroke.html (8 Mei 2021)

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


Hk.01.07/Menkes/394/2019 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Tata Laksana Stroke

LeMone, Burke, & Bauldoff, (2016). Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa.
Jakarta: EGC

Mardjono, M., & Sidharta, P. (2014). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian
Rakyat.

Mulyatsih, E. dan Ahmad, A.A.2010. Stroke : Petunjuk perawatan pasien pasca


stroke di rumah. Cetakan 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Muttaqin, A. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Nasution L.F., 2013, Stroke Non Hemoragik pada Laki-Laki Usia 65 Tahun
Medula Unila. Vol. 1 (3): 1-9.
58

PERDOSSI., 2011.Pedoman Penatalaksanaan Stroke. Himpunan Dokter Spesialis


Saraf Indonesia.

Pettigrew, L, C., 2001. Antithrombotic Drug for Secondary Stroke Prophylaxis,


45, Pharmacotherapy Publication.

Price, Wilson. 2006. Patofisiologi Vol 2 ; Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit.


Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta.

Riset Kesehatan Dasar., 2013. Laporan Riskesdas Tahun 2013. Available from:
http://www.litbang.depkes.go.id/

Sacco, R.Let al., 2013. An Update Definition of Stroke for the 21st Century.
American Heart Associations Journals, Vol. 44, p. 2064-2089.

Silva, G.S et al., 2011. Causes of Ischemic Stroke. Acute Ishemic Stroke Imaging
and Intervention, p. 25-42.

Stroke Association., 2012. High blood pressure and stroke. Available from:
https://www.stroke.org.uk/sites/default/files/high_blood_pressure_and_
stroke.pdf

Anda mungkin juga menyukai