JOURNAL READING
“Comparison of long-term efficacy and safety between cilostazol and
clopidogrel in chronic ischemic stroke: a nationwide cohort study”
Disusun oleh:
Chalimatussa’diyah
G4A020099
Pembimbing:
JOURNAL READING
Disusun oleh:
Chalimatussa’diyah G4A020099
Journal reading ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu syarat
mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Saraf
RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga
Pembimbing
i
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAAN…………………………………………………….i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..ii
I. PENDAHULUAN ……………………………………………………………..1
A. Latar Belakang…………………………………………………………….1
B. Tujuan …………………………………………………………………….2
C. Manfaat …………………………………………………………………...3
II. ARTIKEL …………………………………………………………………….4
A. Identitas Artikel………………………………………………………….4
B. Pendahuluan……………………………………………………………...4
C. Metode…………………………………………………………………...6
D. Hasil…………………………………………………………………..…9
E. Diskusi …………………………………………………………………15
F. Kesimpulan ……………………………………………………………19
G. Keterbatasan Penelitian ………………………………………………..19
III. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………...22
A. Definisi………………………………………………………………….22
B. Klasifikasi……………………………………………….………………22
C. Faktor risiko……………………………………………..………………25
D. Tanda dan Gejala………………………………………..………………29
E. Patofisiologi…………………………………………..…………………30
F. Diagnosis …………………………………………..……………………32
G. Penatalaksanaan …………………………………...…………………….37
H. Komplikasi…………………………………….…………………………49
I. Kesimpulan………………………………………………………………55
J. Daftar Pustaka……………………………………………………………56
ii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
2
Salah satu terapi yang digunakan untuk penderita stroke iskemik adalah
antiplatelet. Antiplatelet adalah obat yang dapat menghambat agregasi trombosit
sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang terutama sering
ditemukan pada sistem arteri. Penggunaan antiplatelet penting untuk stroke
iskemik akut. Pemberian terapi antiplatelet bisa menurunkan angka kejadian
stroke berulang dari 68% menjadi 24% (Karuniawati, 2015). Pemberian
antiplatelet pada pasien stroke iskemik dapat mencegah kejadian stroke berulang,
namun antiplatelet ini mempunyai efek samping perdarahan saluran cerna.
Klopidogrel merupakan salah satu antiplatelet yang telah disetujui oleh Food and
Drug Administration (FDA), sedangkan cilostazol merupakan antiplatelet baru
yang mulai banyak direkomendasikan (Bath, 2018).
Dual antiplatelet therapy (DAPT) yaitu aspirin dan clopidogrel dilaporkan
menjadi pilihan yang lebih digemari untuk mengurangi Stroke Iskemik berulang,
terutama bila diberikan pada Stroke Iskemik Akut. DAPT ditemukan efektif
hanya untuk penggunaan jangka pendek, dan dapat menyebabkan peningkatan
risiko perdarahan mayor dan gastrointestinal dini bahkan pada stroke ringan (Tan,
2015).
Dalam perbandingan antara cilostazol dan aspirin, keduanya dilaporkan
efektif pada Stroke Iskemik akut, dan cilostazol dapat mencegah Stroke Iskemik
berulang tanpa meningkatkan kejadian perdarahan serius (Shinohara, 202010).
Sampai saat ini, belum ada penelitian yang membahas perbandingan antara
cilostazol dan clopidogrel pada pengobatan stroke iskemik fase kronis.
Penyesuaian penatalaksanaan obat terapi pemeliharaan stroke yang digambarkan
dengan tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, dan tepat dosis dibutuhkan untuk
mengevaluasi ketepatan penggunaan obat antitrombotik (termasuk antikoagulan,
agen antiplatelet dan trombolitik) pada pasien paska serangan stroke karena dapat
menyebabkan perdarahan. Sedangkan komplikasi perdarahan pada kenyataannya
muncul sebagai penyumbang utama risiko secara keseluruhan, dengan
peningkatan yang signifikan pada tingkat kematian, infark miokard dan stroke.
B. Tujuan
Untuk membandingkan efektivitas dan keamanan jangka panjang antara cilostazol
dan clopidogrel pada stroke iskemik kronis
3
C. Manfaat
Menambah pengetahuan terkait efektivitas dan keamanan jangka panjang antara
cilostazol dan clopidogrel pada stroke iskemik kronis dan mengaplikasikannya
dalam bidang kedokteran klinis.
4
II. ARTIKEL
A. Identitas Artikel
Nama Jurnal Ther Adv Chronic Dis
Judul Artikel Comparison of long-term efficacy and safety between cilostazol
and clopidogrel in chronic ischemic stroke: a nationwide
cohort study
Edisi Volume 11 Nomor 1-14
Publikasi 2020
Nama Tsong-Hai Lee , Yu-Sheng Lin, Chia-Wei Liou, Jiann-Der Lee,
Penulis Tsung-I Peng dan Chi-Hung Liu
Lembaga Department of Neurology, Linkou Chang Gung Memorial
Hospital, Taoyuan College of Medicine, Chang Gung University,
Taoyuan, Taiwan.
Department of Medicine, College of Medicine, Chang Gung
University, Taoyuan
Department of Internal Medicine, Division of Cardiology, Chiayi
Chang Gung Memorial Hospital, Chiayi, Taiwan.
Department of Neurology, Kaohsiung Chang Gung Memorial
Hospital, Kaohsiung College of Medicine, Chang Gung
University, Taoyuan, Taiwan.
Department of Neurology, Chiayi Chang Gung Memorial
Hospital, Chiayi College of Medicine, Chang Gung University,
Taoyuan, Taiwan.
Department of Neurology, Keelung Chang Gung Memorial
Hospital, Keelung College of Medicine, Chang Gung University,
Taoyuan, Taiwan.
B. Pendahuluan
Terapi triple antiplatelet intensif untuk stroke iskemik baru-baru ini tidak
dapat mengurangi kejadian dan keparahan pada stroke berulang atau transient
ischemic attack (TIA). Namun, terapi ini secara signifikan dapat meningkatkan
risiko perdarahan mayor dan tidak disarankan untuk digunakan dalam praktik
klinis rutin pada stroke iskemik akut.
5
bukti kuat yang mendukung strategi antiplatelet yang berbeda pada Stroke
Iskemik akut maupun kronis pada pasien dengan risiko rendah stroke
nonkardiemboli.
Sampai saat ini, belum ada penelitian yang membahas perbandingan antara
cilostazol dan clopidogrel pada pengobatan stroke iskemik fase kronis. Penelitian
ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas dan keamanan jangka panjang
antara cilostazol dan clopidogrel pada Stroke Iskemik Kronis (dari bulan ke-7
setelah stroke indeks).
C. Metode
Studi kohort berbasis populasi ini menggunakan data yang diambil dari
Taiwan The National Health Insurance Research Database (NHIRD), dengan
data longitudinal terkait tersedia dari tahun 2001 hingga 2013. Kode International
Classification of Diseases, Ninth Revision, Clinical Modification (ICD-9-CM)
digunakan untuk mendefinisikan penyakit. Semua pasien yang dirawat di rumah
sakit dengan diagnosis utama stroke iskemik kronik (kode ICD-9, 433.xx–435.xx
kecuali 433.00, 433.10, 433.20, 433.30, 433.80, 433.90, 434.90, 434.00, 434.10,
dan 434.90) yang dibuktikan dengan CT scan atau MRI dari 1 Januari 2001
hingga 31 Desember 2013, dilibatkan dalam penelitian ini.
Kriteria eksklusi adalah sebagai berikut:
- riwayat fibrilasi atrium, penyakit jantung rematik, penggantian katup
mekanis selama 1997-2013
- penggunaan antikoagulan selama 1997-2013
- Follow up kurang dari 6 bulan
- mengalami stroke berulang atau infark miokard akut dalam 6 bulan setelah
indeks stroke
- pasien yang menggunakan cilostazol dalam kelompok clopidogrel, dan
pasien yang menggunakan clopidogrel dalam kelompok cilostazol bahkan
selama 1 hari selama periode paparan 2 tahun
- tingkat kepatuhan minum obat <50%
- penggunaan obat antiplatelet selain cilostazol dan clopidogrel selama
dimulainya fase kronik yaitu saat bulan ke-7 setelah indeks rumah sakit.
7
D. Hasil
10
dislipidemia (20,9%) lebih banyak terjadi pada kelompok pasien yang diberikan
terapi cilostazol( p < 0,05). Pasien yang di eksklusi memiliki tingkat keparahan
stroke yang lebih rendah dengan perkiraan skor NIHSS 5,6 ± 3,7 dibandingkan
dengan 6,2 ± 4.5 pada kelompok Cilostazol dan 7.2 ± 5.4 dalam kelompok
Clopidogrel.
Setelah dilakukan matching pada 2 kelompok, frekuensi karakteristik
dasar, komorbiditas, riwayat penyakit sebelumnya, keparahan stroke, dan
pengobatan menggunakan obat anti-diabetes, penurun lipid, dan anti-hipertensi
memiliki hasil yang tidak signifikan yaitu p>0,05.
Dosis cilostazol adalah 121,2 ± 53.6mg/hari. Sebelum dilakukan matching
dengan pencocokan skor kecenderungan, sebanyak 302 (47,8%) pasien diberikan
dosis ⩽ 100mg/hari dan sebanyak 330 (52,2%) pasien diberikan
dosis >100mg/hari. Kemudian setelah dilakukan pencocokan skor kecenderungan
didapatkan rata-rata dosis cilostazol sebesar 119,0 ± 51.2mg/hari dengan 241
(48.0%) pasien mendapatkan dosis ⩽ 100mg/hari dan sebanyak 261 (52.0%)
pasien mendapatkan dosis >100mg/hari (p>0,05). Dosis clopidogrel adalah
75mg/hari sebelum dan sesudah pencocokan skor kecenderungan.
12
Analisis subkelompok
14
15
E. Diskusi
Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
dalam efektivitas dan keamanan antara kelompok cilostazol dan clopidogrel pada
Stroke Iskemik Kronis. Hasil ini menunjukkan bahwa, setelah fase Stroke Iskemik
Akut, penggunaan jangka panjang cilostazol dan clopidogrel memiliki efektivitas
dan keamanan yang serupa untuk pencegahan stroke sekunder. Namun, terdapat
kecenderungan frekuensi kejadian yang lebih rendah dari Stroke Iskemik akut
rekuren atau perdarahan mayor pada pasien kelompok cilostazol dengan riwayat
16
dikonsumsi adalah 200mg / hari. Namun, dalam penelitian ini, sekitar 48% pasien
menggunakan cilostazol ⩽ 100mg / hari. Hal ini dikarenakan efek samping sakit
kepala dan takikardia yang timbul jika dosis penuh diambil. Sehingga, cilostazol
mungkin lebih efektif dibandingkan clopidogrel jika pasien mengkonsumsi dosis
penuh.
Diperlukan penelitian selanjutnya untuk mengklarifikasi terkait
perbandingan efektivitas dan keamanan pada pasien dengan dosis cilostazol penuh
dengan kelompok pasien clopidogrel. Terakhir, sebagian besar uji klinis berfokus
pada perbandingan efektivitas dan keamanan antiplatelet pada stroke iskemik akut
yang dilakukan pada pasien Asia. Diperlukan penelitian terhadap pasien non-Asia
untuk uji klinis terkontrol yang lebih besar.
22
A. Definisi
Stroke adalah sindroma klinis yang ditandai oleh disfungsi cerebral fokal
atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih, yang dapat menyebabkan
disabilitas atau kematian yang disebabkan oleh perdarahan spontan atau suplai
darah yang tidak adekuat pada jaringan otak. Sementara itu, stroke iskemik
merupakan disfungsi neurologis yang disebabkan oleh infark fokal serebral, spinal
maupun retinal. Stroke iskemik ditandai dengan hilangnya sirkulasi darah secara
tiba-tiba pada suatu area otak, dan secara klinis menyebabkan hilangnya fungsi
neurologis dari area tersebut (Budianto, 2021). Stroke adalah penyakit pada otak
berupa gangguan fungsi saraf lokal dan atau global, yang muncul mendadak,
progresif, dan cepat. Gangguan fungsi saraf pada stroke disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak non traumatik. Gangguan saraf tersebut
menimbulkan gejala antara lain : kelumpuhan wajah atau anggota badan, bicara
tidak lancar, bicara tidak jelas (pelo), mungkin perubahan kesadaran, gangguan
penglihatan, dan lain-lain (Riskesdas, 2013).
B. Klasifikasi
1. Stroke iskemik
Stroke iskemik terjadi ketika aliran darah arteri ke otak tersumbat. Arteri
bertanggung jawab untuk mengalirkan darah segar dari jantung dan paru-paru
yang membawa oksigen dan nutrisi ke otak. Jika arteri tersumbat, sel-sel otak
(neuron) tidak dapat membuat energi yang cukup dan akhirnya akan berhenti
bekerja. Beberapa penyebab stroke iskemik meliputi:
a. Thrombosis
Ketika berusia muda, seseorang memiliki arteri yang luas dan
fleksibel, namun seiring bertambahnya usia dinding arteri menjadi lebih
tebal dan kurang lentur. Sebuah kondisi yang disebut aterosklerosis
kemudian dapat berkembang dimana menggambarkan pengerasan dan
penebalan arteri besar dalam tubuh akibat deposito lemak, atau patch
yang disebut 'ateroma' pada dinding bagian dalam arteri. Mereka dapat
23
C. Faktor risiko
Arboix (2015) menjelaskan faktor risiko yang dapat dimodifikasi, antara
lain:
1. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
a. Hipertensi
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 melaporkan bahwa
sebesar 34,1% penduduk umur 18 tahun ke atas di Indonesia mengalami
hipertensi. Berdasarkan karakteristik penderita hipertensi di Indonesia
tahun 2018, dapat dilihat bahwa kelompok umur 45-54 tahun merupakan
26
E. Patofisiologi
Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi di mana saja di
dalam arteri-arteri yang membentuk Sirkulus Willisi seperti arteria karotis
interna dan sistem vertebrobasilar atau semua cabang-cabangnya. Proses
patologik yang mendasari mungkin salah satu dari berbagai proses yang
terjadi di dalam pembuluh darah yang memperdarahi otak. Patologinya
dapat berupa (1) keadaan penyakit pada pembuluh itu sendiri, seperti pada
aterosklerosis dan trombosis, robeknya dinding pembuluh, atau
peradangan; (2) berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah,
misalnya syok atau hiperviskositas darah; (3) gangguan aliran darah akibat
bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari jantung atau pembuluh
ekstrakranium; atau (4) ruptur vaskular di dalam jaringan otak atau ruang
subaraknoid (Price et al, 2006).
Pada stroke iskemik karena emboli, embolus akan menyumbat
aliran darah dan terjadilah anoksia jaringan otak di bagian distal sumbatan.
Di samping itu, embolus juga bertindak sebagai iritan yang menyebabkan
31
F. Diagnosis
Menurut Lingga (2014) untuk mendiagnosa stroke secara tepat perlu
serangkaian pemeriksaan diantaranya:
1. Anamnesis
Proses anamnesis akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak sebelah badan,
mulut mencong atau bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi dengan baik.
Keadaan ini timbul sangat mendadak, dapat sewaktu bangun tidur, sedang
bekerja, ataupun sewaktu istirahat.
Menurut PERDOSSI (2016), anamnesis Stroke Iskemik berupa :
a) Gangguan global berupa gangguan kesadaran
b) Gangguan fokal yang muncul mendadak, dapat berupa :
33
Interpretasi :
SSS > 1 : Stroke Hemoragik
SSS < -1 : Stroke non Hemoragik
SSS -1 s/d 1 : perlu pemeriksaan penunjang (CT Scan)
G. Penatalaksanaan
Periode emas (golden period) dalam penanganan stroke adalah ± 3 jam,
artinya dalam 3 jam awal setelah mendapatkan serangan stroke, pasien harus
segera mendapatkan terapi secara komprehensif dan optimal dari tim gawat
darurat rumah sakit untuk mendapatkan hasil pengobatan yang optimal (Morton
dalam Saudin, Agoes & Rini, 2016). Periode emas penatalaksanaan stroke adalah
kurang dari 3 - 4,5 jam onset serangan dan hasil terbaik dicapai dalam waktu 90
menit (Ashraf et al., 2015).
Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat berdasarkan Guideline Strokes
(PERDOSSI, 2011) sebagai berikut :
1. Evaluasi cepat dan diagnosis
a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas
penderita saat serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa
berputar, kejang, cegukan, gangguan visual, penurunan kesadaran, serta
faktor risiko stroke (hipertensi, diabetes, dan lain-lain).
b. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan
suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher dan tanda-tanda distensi vena
jugular.
c. Pemeriksaan neurologis meliputi kesadaran, 12 saraf kranialis, dan skala
stroke menggunakan NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale).
2. Terapi umum
a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
Pembetian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen
< 95%.
38
2) Pasien dengan grade III, IV atau V (H&H PSA), perawatan harus lebih
intensif :
a) Lakukan tata laksana A-B-C sesuai dengan protokol pasien di ruang gawat
darurat.
b) Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalan napas
yang adekuat.
c) Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi.
d) Hindari pemakaian sedatif berlebihan karena akan menyulitkan penilaian
status neurologis.
b. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA
1) Monitor tekanan darah dan kontrol dengan antihipertensi yang dapat dititrasi
untuk mencegah risiko stroke, perdarahan akibat hipertensi, dan mengontrol
cerebral perfusion pressure (CPP) sejak onset PSA hingga dilakukan tata
laksana aneurisma. Tekanan darah boleh diturunkan hingga sistolik
<160mmHg.
2) Istirahat di tempat tidur saja tidak cukup untuk mencegah perdarahan ulang
PSA, tetapi dapat dipertimbangkan secara umum untuk menjadi standar baku
pengobatan
3) Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan
pada keadaan klinis tertentu. Contohnya pasien berisiko rendah vasopasme
atau bermanfaat pada penundaan operasi. Terapi antifibrinolitik berkaitan
dengan tingginya angka kejadian iskemik serebral dan tampaknya secara
umum tidak memberikan hasil yang memuaskan. Untuk masa yang akan
datang dianjurkan melakukan pembelajaran menggunakan kombinasi
antifibrinolitik dengan obatobatan lain untuk mengurangi vasopasme.
4) Pemberian asam traneksamat atau asam aminokaproat dalam <72 jam boleh
dilakukan untuk mengurangi risiko perdarahan ulang akibat aneurisma pada
pasien yang perlu ditunda tindakannya, berisiko mengalami perdarahan ulang,
dan tidak ada kontraindikasi kuat.
c. Tata laksana pencegahan vasospasme
1) Pasien dengan SAH direkomendasikan untuk pemberian nimodipin oral
dengan dosis 6x60mg dimulai dalam 96 jam dan diberikan selama 21 hari.
48
2) Obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg dan TDD lebih
dari 90 mmHg atau MAP di atas 130 mmHg.
3) Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah labetalol (IV) 0,5 – 2 mg/menit
sampai mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol infus dengan dosis 50-200
mcg/kg/menit. Pemakaian nitroprussid tidak dianjurkan karena menyebabkan
vasodilatasi dan takikardia.
4) Untuk mempertahankan TDS tetap di atas 120 mmHg dapat diberikan
vasopressor untuk melindungi jaringan iskemik penumbra yang mungkin terjadi
akibat vasospasme.
H. Komplikasi
1. Defisit sensoripersepsi
Stroke dapat melibatkan perubahan patologis pada jaras neurologis yang
mengganggu kemampuan untuk mengintegrasikan, menginterpretasikan, dan
menghadirkan data sensori. Kehilangan kemampuan sensori ini meningkatkan
risiko cedera. Defisit dapat mencakup:
a. Gangguan persepsi visual (Hemianopia): kehilangan seluruh lapang
penglihatan pada satu atau kedua mata.
b. Agnosia: ketidakmampuan untuk mengenali satu benda atau lebih yang
sebelumnya familiar. Agnosia dapat visual, auditoria tau taktil.
c. Apraksia : ketidakmampuan untuk melakukan beberapa pola motorik
(misal berpakaian) walaupun kekuatan dan koordinasi adekuat.
2. Perubahan kognitif dan perilaku
a. Perubahan pada kesadaran, rentang dari konfusi ringan hingga koma,
merupakan manifestasi stroke yang lazim. Perubahan kesadaran juga
dapat menjadi akibat edema serebral atau peningkatan TIK.
b. Perubahan perilaku mencakup kelabilan emosi (pasien dapat tertawa atau
menangis pada kondisi yang tidak sesuai), kehilangan kontrol diri, dan
penurunan toleransi terhadap stress (marah atau depresi).
c. Perubahan intelektual mencakup kehilangan memori, penurunan perhatian,
penilaian yang buruk, dan ketidakmampuan berpikir secara abstrak.
3. Gangguan komunikasi
50
melitus. Selain itu, penggunaan kateter urin menjadi faktor risiko yang paling
penting pada pasien stroke yang mendapat perawatan. Infeksi saluran kemih
dibedakan menjadi asimtomatik dengan simtomatik. Pada ISK asitomatik
tidak ada riwayat pemakaian kateter urin selama 1 minggu sebelum kultur
pertama positif. Pada ISK simtomatik, didapatkan sedikitnya satu dari gejala
atau tanda berikut demam (t >38oC), tak mampu menahan kencing,
peningkatan frekuensi, disuria (rasa panas ketika buang air kecil atau disekitar
kateter), kram pada suprapubik, sakit pada punggung bawah, polakisuria
(karena mukosa meradang, kandung kemih tidak dapat menampung urin lebih
dari 500ml), dan nokturia. Faktor risiko yang berhubungan dengan ISK
antaralain yaitu pemakaian kateter Foley, disabilitas pasca-stroke, faktor usia
yang semakin tua, status imunitas rendah, diabetes melitus (Kemenkes, 2019).
7. Infeksi Paru
Infeksi paru dan infeksi saluran kemih diperkirakan terjadi pada 9-28%
pasien dengan stroke akut. Gejala dan tanda Stroke associated pneumonia
(SAP) ditegakkan berdasarkan gejala klinis seperti demam atau tidak
demam,batuk, sputum, dapat disertai sesak napas, nyeri otot, nyeri sendi,
sakit kepala, delirium, pemeriksaan paru abnormal, gambaran infiltrate /
konsolidasi / kavitasi pada rontgen thoraks, dan pertumbuhan
mikroorganisme pada kultur. Faktor risiko terjadinya SAP antara lain yaitu
umur ≥65 tahun, disartria, Modified Rankin Scale (mRS) ≥4, Abbreviated
Mental Test (AMT) <8 dan disfagia.
Adanya 2 atau lebih faktor risiko ini mempunyai sensitifitas 90,9% dan
spesifisitas 75,6% terhadap berkembangnya pneumonia. Ditemukan basil
Gram negatif 40-60%, stafilokokus aureus 20-40%, dan bakteri anaerob pada
0% - 35% kasus. Risiko kematian meningkat secara signifikan pada SAP,
baik selama perawatan atau berobat jalan. Ventilasi Mekanik merupakan
faktor risiko independen. Intubasi endotrakeal berpotensi tinggi untuk
menyebabkan terjadinya SAP. Tingginya frekuensi kuman Gram negatif yang
ditemukan pada SAP menunjukkan adanya kolonisasi endogen pada paru
setelah aspirasi sekresi orofaring (Kemenkes, 2019).
8. Hiponatremia
52
IV. KESIMPULAN
1. Stroke adalah kumpulan gejala defisit neurologis akibat gangguan fungsi otak
akut baik fokal maupun global yang mendadak, disebabkan oleh berkurangnya
atau hilangnya aliran darah pada parenkim otak, retina atau medulla spinalis, yang
dapat disebabkan oleh penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah arteri maupun
vena, yang dibuktikan dengan pemeriksaan imaging dan/atau patologi.
2. Penatalaksanaan stroke iskemik dapat diberikan terapi trombolisis, antiplatelet,
dan neuroprotektan. Antiplatelet yang sering digunakan yaitu aspirin, klopidogrel,
dan cilostazol.
3. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam efektivitas dan keamanan antara
kelompok cilostazol dan clopidogrel pada Stroke Iskemik Kronis. Hasil ini
menunjukkan bahwa, setelah fase Stroke Iskemik Akut, penggunaan jangka
panjang cilostazol dan clopidogrel memiliki efektivitas dan keamanan yang
serupa untuk pencegahan stroke sekunder. Namun, terdapat kecenderungan
frekuensi kejadian yang lebih rendah dari Stroke Iskemik akut rekuren atau
perdarahan mayor pada pasien kelompok cilostazol dengan riwayat hipertensi atau
perdarahan gastrointestinal.
56
DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association (2010). Heart disease & stroke statistics – 2010
Update. Dallar, Texas: American Heart Association
Arboix, A., 2015. Cardiovascular risk factors for acute stroke: Risk profiles in the
different subtypes of ischemic stroke. World Journal of W J C C Clinical
Cases. Volume 3. Issue 5
Budianto, Pepi & Mirawati, diah kurnia & Prabaningtyas, Hanindya & Putra,
Stefanus & Muhammad, Faizal & Hafizhan, Muhammad. 2020. STROKE
ISKEMIK AKUT : DASAR DAN KLINIS.
Dipiro,J.T., et al. 2015. Pharmaceutical Handbook. Ninth Edition. USA :The Mc.
Graw Hill Company. Page : 120-124.
Fagan, S.C., and Hess, D.C., 2008. Stroke. In : Dipiro, J.T., (Eds.).
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 7th Edition. United
States of America : McGraw-Hill Companies, pp.373-382.
Gomes Joao, Machsman Ari Marc, Corrigan, et all. Types of Strokes. Handbook
of Clinical Nutrition and Stroke. Springer Science+Business Media New
York. 2013
Irfan, Muhammad. 2012. Fisiotrapi Bagi Insan Stroke. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Karuniawati, H., Ikawati, Z., Gofir, A., 2015, Pencegahan Sekunder untuk
Menurunkan Kejadian Stroke Berulang pada Stroke Iskemik, Jurnal
Manajemen dan Pelayanan Farmasi (JMPF). Vol. 5 No.1
Kemenkes RI. Info Datin Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI.
Kemenkes RI. 2014
LeMone, Burke, & Bauldoff, (2016). Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa.
Jakarta: EGC
Mardjono, M., & Sidharta, P. (2014). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian
Rakyat.
Nasution L.F., 2013, Stroke Non Hemoragik pada Laki-Laki Usia 65 Tahun
Medula Unila. Vol. 1 (3): 1-9.
58
Riset Kesehatan Dasar., 2013. Laporan Riskesdas Tahun 2013. Available from:
http://www.litbang.depkes.go.id/
Sacco, R.Let al., 2013. An Update Definition of Stroke for the 21st Century.
American Heart Associations Journals, Vol. 44, p. 2064-2089.
Silva, G.S et al., 2011. Causes of Ischemic Stroke. Acute Ishemic Stroke Imaging
and Intervention, p. 25-42.
Stroke Association., 2012. High blood pressure and stroke. Available from:
https://www.stroke.org.uk/sites/default/files/high_blood_pressure_and_
stroke.pdf