Anda di halaman 1dari 24

Karsinoma Nasofaring disebabkan oleh multifaktor.

Sampai sekarang penyebab pastinya


belum jelas. Faktor yang berperan untuk terjadinya Karsinoma Nasofaring ini adalah faktor
makanan seperti mengkonsumsi ikan asin, sedikit memakan sayur dan buah segar. Faktor lain
adalah non-makanan, seperti debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, dan asap dupa
(kemenyan). Faktor genetik juga dapat mempengaruhi terjadinya Karsinoma Nasofaring.
Selain itu terbukti juga infeksi virus Ebstein-Barr dapat menyebabkan Karsinoma Nasofaring.
Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protei-protein laten pada
penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini, sel yang terinfeksi oleh EBV akan
menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan
kelangsungan virus didalam sel hospes. Protein laten ini dapat dipakai sebagai petanda
(marker) dalam mendiagnosa Karsinoma Nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A,
dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pada 50% serum penderita nasofaring
LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai di dalam serum semua pasien Karsinoma Nasofaring.
Selain itu dibuktikan oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) terhadap suku Indian asli
bahwa EBV DNA didalam serum penderita Karsinoma Nasofaring dapat dipakai sebagai bio-
marker pada karsinoma nasofaring primer.

Hubungan antara Karsinoma Nasofaring dan infeksi virus Ebstein-barr juga


dinyatakan oleh berbagai peneliti dari berbagai bagian yang berbeda di dunia ini. Pada pasien
yang Karsinoma Nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi Anti-EBV (EBNA-1) di
dalam serum plasma. EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan
genom virus. Huang dalam penelitiannya mengemukakan keberadaan 3EBV-DNA dan
EBNA di dalam sel penderita Karsinoma Nasofaring. Jadi oleh karena diduga eratnya
hubungan antara antibodi Anti-EBV dan faktor geetik dengan terjadinya Karsinoma
Nasofaring, maka pada penelitian ini juga melakukan pemeriksaan serologi yaitu antibodi
anti-EBV (EBNA-1) pada pasien-pasien yang telah di diagnosa menderita Karsinoma
Nasofaring melalui pemeriksaan histopatologi sebelumnya dan pasien yang di periksa ini
adalah pasien dengan etnis batak dengan tujuan untuk mengetahui apakah Karsinoma
Nasofaring pada etnis batak juga disebabkan oleh infeksi EBV. Karsinoma Nasofaring sangat
sulit didiagnosa, hal ini mungkin disebabkan karena letaknya sangat tersembunyi, dan juga
pada keadaan dini pasien tidak datang utnuk berobat. Biasanya pasien baru datang berobat
bila gejala sudah mengganggu dan tumor tersebut telah mengadakan infiltrasi serta metastase
pada pembuluh limfe servical. Hal ini merupakan keadaan lanjut dan biasanya prognosis
yang jelek.

Pemeriksaan terhadap Karsinoma Nasofaring ilakukan dengan cara anamnesa


penderita dan disertai dengan pemeriksaan nasofaringoscopy, radiologi, histopatologi,
imunohistokimia, Assay atau disingakat dengan ELISA. Oleh karena beberapa penelitian
telah membuktikan bahwa didalam serum penderita Karsinoma Nasofaring dijumpai EBNA-
1, maka sebaiknya pasien yang mempunyai gejala yang mengarah ke Karsinoma Nasofaring
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan serologi yaitu antibodi anti-EBV (EBNA-1).

Penderita Karsinoma Nasofaring tersebar diseluruh dunia dan terdapat daerah


endemik di China selatan. Jenis Karsinoma ini merupakan bentuk keganasan ketiga yang
dijumpai pada pria dengan insidensi di China Selatan berkisar antara 15-50% pertahun. Di
1
Indonesia Karsinoma Nasofaring paling banyak dijumpai diantara tumor ganas dibidang
THT. Dan usia terbanyak yang menderita adalah usia 40 tahun keatas. Prevalensi Karsinoma
Nasofaring di indonesia sebesar 4,7/100.000 per-penduduk per-tahun. Dibagian THT RSUD
Dr. Soetomo (selama tahun 2000-2001) poliklinik onkologi melaporkan penderita baru
Karsinoma Nasofaring berjumlah 623 orang, laki-laki dua kali lebih banyak dibandingakan
perempuan. Di bagian THT RSUP H. Adam Malik, selama 1991-1996 mendapat kasus 160
tumor ganas, 94 kasus (58,81%) merupakan Karsinoma Nasofaring.

BAB II

ANATOMI FARING

2
Sebelum membahas struktur anatomi dari nasofaring, terlebih dahulu kita membahas
mengenai faring. Faring adalah tenggorokan, ruang muskulo-membranosa di belakang rongga
hidung, mulut, dan laring, berhubungan dengan rongga-rongga tersebut dan dengan esofagus.
Atau secara lebih jelas, faring merupakan bangunan tabung fibromuskuler yang berbentuk
corong ( membesar di bagian atas dan mengecil dibagian bawah ) yang ke arah inferior akan
berlanjut menjadi esofagus. Bangunan ini terbentang mulai dari basis kranii hingga
menyambung ke esofagus setinggi vertebra servical VI, dengan panjang kurang lebih 5 inci
(13 cm).

Secara anatomis, faring dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :

1. Nasofaring
2. Orofaring
3. Laringofaring, yang juga sering disebut hipofaring

Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku diatas , belakang dan lateral
yang secara anatomi termasuk bagian faring.

- Ke anterior berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang
septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul.
- Ke arah posterior dinding nasofaring melengkung ke superior-anterior dan terletak
dibawah os sfenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan
ruang retrofaring, fasia pre-vertebralis dan otot-otot dinding faring.
- Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustachius dimana
orifisium ini dibatasi superior dan posterior torus tubarius, sehingga penyebaran
tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustachis dan akan
mengganggu pendengaran.
- Ke arah postero-superior dari torus tubarius terdapat fossa Rosenmuller yang
merupakan lokasi tersering Karsinoma Nasofaring.

Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh
jaringan lunak sub mukosa, dimana pada usia muda dinding postero-superior nasofaring
umumnya tidak rata. Hal ini disebabkan karena adanya jaringan adenoid. Di nasofaring
terdapat banyak saluran getah bening yang terutama mengalir ke lateral bermuara di kelenjar
retrofaring Krause (kelenjar Rouviere).

Nasofaring juga berhubungan erat dengan beberapa struktur penting, seperti: n.


Glossopharingeus, n. Vagus dan n. Asesorius saraf spinal cranial dan vena jugularis interna.
Faring mendapat darah dari berbagai sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang
terutama berasal dari cabang a. Karotis eksterna, serta dari cabang a. Maksilaris interna,
yakni cabang palatine superior.

3
BAB III

KARSINOMA NASOFARING
4
1. EPIDEMIOLOGI
Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk non-mongoloid, namun
demikian daerah China bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi, yaitu dengan 2500
kasus baru pertahun untuk propinsi guang-dong (Kwantung) atau prevalensi 39,84/100.000
penduduk.
Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya Karsinoma Nasofaring,
sehinggga kekerapannya cukup tinggi pada penduduk China bagian Selatan, Hongkong,
Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, Afrika bagian Utara seperti Aljazair
dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alasaka dan Tanah Hijau yang di duga penyebabnya
adalah karena mereka memakan makanan yang di awetkan dalam musim dingin dengan
menggunakan bahan pengawet Nitrosamin.
Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah. Di RSUDPN Dr.
Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan
Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, palembang 25 kasus, 15 kasus
setahun di Denpasar, dan 11 kasus di Padang dan Bukit tinggi. Demikian pula angka-angka
yang di dapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan lain-lain menunjukkan bahwa tumor
ganas ini terdapat merata di Indonesia. Dalam pengamatan dari pengunjung poloklinik tumor
THT RSCM, pasien Karsinoma Nasofaring dari ras China relatif sedikit lebih banyak dari
suku bangsa lainnya.

2. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Meskipun penyelidikan untuk mengetahui penyebab penyakit ini telah dilakukan di


berbagai negara dan telah memakan biaya yang tidak sedikit, namun sampai sekarang belum
berhasil. Dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan sehingga akhirnya disimpulkan
bahwa penyebab penyakit ini adalah multifaktor. Kaitan antara suatu kuman yang di sebut
sebagai virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama
timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana
tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama.
Untuk mengaktifkan virus ini di butuhkan suatu mediator. Sebagai contoh, kebiasaan
untuk mengkomsumsi ikan asin secara terus-menerus mulai dari masa kanak-kanak,
merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan
karsinoma nasofaring.
Mediator yang dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring ialah :
1. Zat Nitrosamin. Didalam ikan asin terdapat nitrosamin yang ternyata merupakan
mediator penting. Nitrosamin juga ditemukan dalam ikan / makanan yang diawetkan di
Greenland . Juga pada ” Quadid ” yaitu daging kambing yang dikeringkan di tunisia,
dan sayuran yang difermentasi ( asinan ) serta taoco di Cina.
2. Keadaan sosial ekonomi yang rendah. Lingkungan dan kebiasaan hidup. Dikatakan
bahwa udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang baik ventilasinya di Cina,
Indonesia dan Kenya, meningkatnya jumlah kasus KNF. Di Hongkong, pembakaran
dupa rumah-rumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan KNF.
5
3. Sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat Karsinogen. Yaitu yang dapat
menyebabkan kanker, antara lain Benzopyrene, Benzoathracene ( sejenis Hidrokarbon
dalam arang batubara ), gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa Ekstrak
tumbuhan- tumbuhan.
4. Ras dan keturunan. Ras kulit putih jarang terkena penyakit ini. Di Asia terbanyak
adalah bangsa Cina, baik yang negara asalnya maupun yang perantauan. Ras melayu
yaitu Malaysia dan Indonesia termasuk yang banyak terkena karsinoma nasofaring.
5. Radang kronis di daerah nasofaring. Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa
nasofaring menjadi lebih rentan terhadapa karsinogen lingkungan.

3. MANIFESTASI KLINIK

Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan
yang sedini mungkin memegang peranan penting untuk mengetahui gejala dini KNF dimana
tumor masih terbatas di rongga nasofaring.
A. Gejala Dini :
Gejala telinga :
1. Kataralis/sumbatan tuba eutachius
Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai
dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat
dini.
2. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga.
Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan
muara tuba, dimana rongga teliga tengah akan terisi cairan. Cairan yang
diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran
gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran.

Gambar 3. Tumor nasofaring yang menutupi tuba Eusthachius,yang


bertanda panah adalah tumor

Gejala Hidung :
1. Mimisan

6
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat
terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya
berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus,
sehingga berwarna merah jambu. Epistaksis ini juga dapat disebabkan oleh
penjalaran tumor ke selaput lendir hidung yang dapat mencederai dinding
pembuluh darah daerah ini.
2. Sumbatan hidung
Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam
rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-
kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental.
Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini,
karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-
lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang.
B. Gejala Lanjut :
1. Pembesaran kelenjar limfe leher
Tidak semua benjolan leher menandakan penyakit ini. Yang khas jika
timbulnya di daerah samping leher, 3-5 sentimeter di bawah daun telinga dan
tidak nyeri. Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai
pertahanan pertama sebelum sel tumor ke bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan
ini tidak dirasakan nyeri, karenanya sering diabaikan oleh pasien.
Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan
mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit
digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Pembesaran
kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke
dokter. Kadang pembesaran kelenjar di leher ini salah didiagnosis sebagai
tuberkulosis kelenjar.
2. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar.
Tumor dapat meluas ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga
tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan
menyebabkan gejala akibat kelumpuhan syaraf otak. Penjalaran melalui foramen
laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI, dan dapat pula ke V, sehingga
yang sering ditemukan ialah penglihatan ganda (diplopia) dan pada pemeriksaan
tampak bola mata juling. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering
ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti.
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII
jika penjalaran melalui foramane jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari
nasofaring. Hal ini akan menimbulkan rasa baal (mati rasa) didaerah wajah sampai
akhirnya timbul kelumpuhan lidah, bahu, leher dan gangguan pendengaran serta
gangguan penciuman.
Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke
selaput otak, rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang
terkena tumor.
Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral)
tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh.
7
3. Gejala akibat metastasis
Sel-sel kanker dapat ikur mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai
organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis
jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan
suatu stadium dengan prognosis sangat buruk.

4. PATOFISIOLOGI

Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid icosahedral dan
termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa
penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan karsinoma nasofaring
(KNF). KNF merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu
pada daerah cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak faktor
yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu:

1. adanya infeksi EBV,


2. Faktor lingkungan
3. Genetik

1) Virus Epstein-Barr

Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B.
Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel
limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus,
yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul
EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan
rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan
selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini
mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan
8
pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke
dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR ( Polimeric Immunogloblin Receptor ). Sel
yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel
menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau
virus epstein- barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel
kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus
sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel
menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.

Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs EBNA1,
LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada
infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase
yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang
paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas
368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein
transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein
transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor ) dan
meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon
imun lokal.

2) Genetik

Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerentana terhadap
karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan memiliki
agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan
gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan
terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi
metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen

3) Faktor lingkungan

Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai daerah
di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang
awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene
(NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik
karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena paparan asap rokok
yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma
nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.

5. HISTOPATOLOGI
Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan
limfosit, sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel dengan
jaringan limfosit ini sangat erat, sehingga sering disebut “Limfoepitel”. Bloom dan Fawcett
(1965) membagi mukosa nasofaring atas empat macam epitel :
1. Epitel selapis thorax bersilia “Simple Columnar Cilated Epithelium”
9
2. Epitel thorax berlapis “Stratified Columnar Epithelium”
3. Epitel thorax berlapis bersilia “Stratified Columnar Ciliated Epithelium”
4. Epitel thorax berlapis semu bersilia “Pseudo-Stratified Columnar Ciliated Epithelium”

60% dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng, dan 80% dari dinding
posterior nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan dilapisi
oleh epitel transisional, yang merupakan epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng dan
thorax bersilia. Epitel berlapis gepeng ini umumya dilapisi keratin, kecuali pada kripta yang
dalam. Dipandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan 2 macam epitel
adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma.

Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi


Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :

1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma).


Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.
2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini dijumpai
adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel.
Pada umumnya batas sel cukup jelas.
3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel tumor
secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan
nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.(7)
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat
radiosensitif dan mempinyai titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr. Sedangkan jenis
dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak menunjukkan hubungan dengan virus
Epstein-Barr.

6. STADIUM KANKER
Stadium ini berdasarkan kriteria dari American Joint Committee On Cancer (AJCC 2002)

T = Tumor primer

T0 - Tidak tampak tumor.

Tis – Karsinoma insitu, dimana tumor hanya terdapat pada 1 lapisan jaringan.

T1 - Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap dan lain- lain).

T2 - Tumor yang sudah meluas kedalam jaringan lunak dari rongga tenggorokan.

T3 - Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring dsb).

T4 - Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau
mengenai saraf-saraf otak.

TX - Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.

N = Nodule
10
N - Pembesaran kelenjar getah bening regional .

NX - Pembesaran kelenjar reginol tidak dapat dinilai

N0 - Tidak ada pembesaran.

N1 - Terdapat penbesaran tetapi homolateral dan tumor dalam kelenjar limfe berukuran 6
cm atau lebih kecil.

N2 - Terdapat pembesaran kontralateral/bilateral dengan ukuran tumor 6 cm atau lebih


kecil.

N3 - Tumor terdapat di kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm atau tumor telah
ditemukan didalam kelenjar limfe pada regio “segitiga leher”

N3A – Tumor dalam kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm.

N3B – Tumor ditemukan diluar “segitiga leher”

M = Metastasis

M = Metastesis jauh

M0 - Tidak ada metastesis jauh.

M1 – Terdapat Metastesis jauh .

- Stadium 0 : Tis dengan N0 dan M0

- Stadium I : T1 dan N0 dan M0

11
- Stadium IIA : T2 dan N0 dan M0

- Stadium IIB : T1 atau T2 dan N1 dan M0

- Stadium III : T1/T2 dan N1/N2 dan M0 atau T3 dan N0/N1/N2 dan M0

12
- Stadium IVA : T4 dan N0/N1 dan M0 atau T dan N2 dan M0

- Stadium IVB : T1/T2/T3/T4 dan N3A/N3B dan M0

- Stadium IVC : T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3 dan M1.

13
7. Penegakan diagnosis karsinoma nasofaring

Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring,
protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium
tumor:

I. Anamnesis / pemeriksaan fisik


Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakn pasien (tanda dan gejala KNF)

II. Pemeriksaan nasofaring


Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop

III. Biopsi nasofaring

Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan
diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat
ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau
sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari
mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan
xylocain 10%.

 Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.
 Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik
keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung. Demikian juga
kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas.
Kemudian dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan
dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop
yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas. Bila

14
dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.

IV. Pemeriksaan Patologi Anatomi


Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :
 Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma ). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan
buruk.
 Karsinoma non-keratinisasi ( Non-keratinizing Carcinoma ). Pada tipe ini
dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa
jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
 Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini
sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval
atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat
dengan jelas.

Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu
bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif.
Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO pada
tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :

 Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi ( Keratinizing Squamous Cell


Carcinoma).
 Karsinoma non-keratinisasi ( Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini dapat
dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.

V. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang
diagnostic yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologic tersebut adalah:
 Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada
 daerah nasofaring
 Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
 Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.

a) Foto polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari
kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
 Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak ( soft tissue technique)
 Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
 Tomogram Lateral daerha nasofaring
 Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring

15
b)C.T.Scan
Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi polos
adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bula kecil mungkin
tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah submukosa, maka
hal ini akan sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika
penyebaran ke jaringan sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat kesukaran-
kesukaran dalam mendeteksi hal tersebut. Keunggulan C.T. Scan dibandingkan
dengan foto polos ialah kemampuanya untuk membedakan bermacam-macam
densitas pada daerah nasofaring, baik itu pada jaringan lunak maupun perubahan-
perubahan pada tulang, gengan criteria tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring
yang masih kecil. Selain itu dengan lebih akurat dapatdinilai pakah sudah ada
perluasan tumor ke jaringna sekitarnya, menilai ada tidaknya destruksi tulang serta
ada tidaknya penyebaran intracranial.
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari
kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
 Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak ( soft tissue technique)
 Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
 Tomogram Lateral daerha nasofaring
 Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring

VI. Pemeriksaan neuro-oftalmologi


Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala
lanjut KNF ini.

VII. Pemeriksaan serologi.


Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid
antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi
karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien
karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah
97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan
terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya
30,0%, sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis
pengobatan, titer yang didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160.

8. Penatalaksanaan
1. Radioterapi(8)
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk
karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
 Definisi Terapi Radiasi :

16
Terapi radiasi adalah terapi sinar menggunakan energi tinggi yang dapat
menembus jaringan dalam rangka membunuh sel neoplasma.

 Persyaratan Terapi Radiasi

Penyembuhan total terhadap karsinoma nasofaring apabila hanya


menggunakan terapi radiasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

- Belum didapatkannya sel tumor di luar area radiasi


- Tipe tumor yang radiosensitif
- Besar tumor yang kira-kira radiasi mampu mengatasinya
- Dosis yang optimal.
- Jangka waktu radiasi tepat
- Sebisa-bisanya menyelamatkan sel dan jaringan yang normal dari efek
samping radiasi.

Dosis radiasi pada limfonodi leher tergantung pada ukurannya


sebelum kemoterapi diberikan. Pada limfonodi yang tak teraba diberikan
radiasi sebesar 5000 cGy, < 2 cm diberikan 6600 cGy, antara 2-4 cm
diberikan 7000 cGy dan bila lebih dari 4 cm diberikan dosis 7380 cGy,
diberikan dalam 41 fraksi selama 5,5 minggu. Alat yang biasanya dipakai
ialah “cobalt 60”, “megavoltage”orthovoltage”.

 Sifat Terapi Radiasi

Terapi radiasi sendiri sifatnya adalah :

- Merupakan terapi yang sifatnya lokal dan regional


- Mematikan sel dengan cara merusak DNA yang akibatnya bisa
mendestrukasi sel tumor
- Memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis dari sel tumor.
- Ionisasi yang ditimbulkan oleh radiasi dapat mematikan sel tumor.
- Memiliki kemampuan mengurangi rasa sakit dengan mengecilkan ukuran
tumor sehingga mengurangi pendesakan di area sekitarnya..
- Berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan perdarahan dari
tumornya.
- Walaupun pemberian radiasi bersifat lokal dan regional namun dapat
mengakibatkan defek imun secara general.

 Jenis Pemberian Terapi Radiasi

Terapi radiasi pada karsinoma nasofaring bisa diberikan sebagai :

1. Radiasi eksterna dengan berbagai macam teknik fraksinasi.


2. Radiasi interna ( brachytherapy ) yang bisa berupa permanen implan
atau intracavitary barchytherapy.
17
1. Radiasi eksterna dapat digunakan sebagai :

- pengobatan efektif pada tumor primer tanpa pembesaran kelenjar getah


bening
- pembesaran tumor primer dengan pembesaran kelenjar getah bening
- Terapi yang dikombinasi dengan kemoterapi
- Terapi adjuvan diberikan pre operatif atau post operatif pada neck
dissection
3. Radiasi Interna/ brachyterapi bisa digunakan untuk :

- Menambah kekurangan dosis pada tumor primer dan untuk menghindari


terlalu banyak jaringan sehat yang terkena radiasi.
- Sebagai booster bila masih ditemukan residu tumor
- Pengobatan kasus kambuh.

2. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat
meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada
keadaan kambuh.

 Definisi Kemoterapi

Kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat


pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker.

Obat-obat anti kaker ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal (active
single agents), tetapi kebanyakan berupa kombinasi karena dapat lebih
meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang
resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif terhadap obat lainnya. Dosis
obat sitostatika dapat dikurangi sehingga efek samping menurun.

 Obat-Obat Sitostatika yang direkomendasi FDA untuk Kanker Kepala


Leher

Beberapa sitostatika yang mendapat rekomendasi dari FDA (Amerika)


untuk digunakan sebagai terapi keganasan didaerah kepala dan leher yaitu
Cisplatin, Carboplatin, Methotrexate, 5-fluorouracil, Bleomycin, Hydroxyurea,
Doxorubicin, Cyclophosphamide, Doxetaxel, Mitomycin-C, Vincristine dan
Paclitaxel. Akhir-akhir ini dilaporkan penggunaan Gemcitabine untuk
keganasan didaerah kepala dan leher.

 Sensitivitas Kemoterapi terhadap Karsinoma Nasofaring

Kemoterapi memang lebih sensitif untuk karsinoma nasofaring WHO I


dan sebagian WHO II yang dianggap radioresisten. Secara umum karsinoma

18
nasofaring WHO-3 memiliki prognosis paling baik sebaliknya karsinoma
nasofaring WHO-1 yang memiliki prognosis paling buruk.

Adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan (growth) dan pembelahan


(division) antara sel kanker dan sel normal yang disebut siklus sel (cell cycle)
merupakan titik tolak dari cara kerja sitostatika. Hampir semua sitostatika
mempengaruhi proses yang berhubungan dengan sel aktif seperti mitosis dan
duplikasi DNA. Sel yang sedang dalam keadaan membelah pada umumnya
lebih sensitif daripada sel dalam keadaan istirahat.

Berdasar siklus sel kemoterapi ada yang bekerja pada semua siklus
(Cell Cycle non Spesific ) artinya bisa pada sel yang dalam siklus pertumbuhan
sel bahkan dalam keadaan istirahat. Ada juga kemoterapi yang hanya bisa
bekerja pada siklus pertumbuhan tertentu ( Cell Cycle phase spesific ).

Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu pada
siklus sel disebut cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat menghambat
pembelahan sel pada semua fase termasuk fase G0 disebut cell cycle
nonspecific. Obat-obat yang tergolong cell cycle specific antara lain
Metotrexate dan 5-FU, obat-obat ini merupakan anti metabolit yang bekerja
dengan cara menghambat sintesa DNA pada fase S. Obat antikanker yang
tergolong cell cycle nonspecific antara lain Cisplatin (obat ini memiliki
mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga mencegah replikasi, bekerja
pada fase G1 dan G2), Doxorubicin (fase S1, G2, M), Bleomycin (fase G2,
M), Vincristine (fase S, M).

Dapat dimengerti bahwa zat dengan aksi multipel bisa mencegah


timbulnya klonus tumor yang resisten, karena obat-obat ini cara kerjanya tidak
sama. Apabila resiten terhadap agen tertentu kemungkinan sensitif terhadap
agen lain yang diberikan, dikarenakan sasaran kerja pada siklus sel berbeda.

 Mekanisme Cara Kerja Kemoterapi

Kebanyakan obat anti neoplasma yang secara klinis bermanfaat,


agaknya bekerja dengan menghambat sintesis enzim maupun bahan esensial
untuk sintesis dan atau fungsi asam nukleat. Berdasarkan mekanisme cara
kerja obat , zat yang berguna pada tumor kepala leher dibagi sebagai berikut :

1. Antimetabolit, Obat ini menghambat biosintesis purin atau pirimidin. Sebagai


contoh MTX, menghambat pembentukan folat tereduksi, yang dibutuhkan
untuk sintesis timidin.

2. Obat yang mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA. Zat pengalkil
seperti CTX ( Cyclophosphamide) mengubah struktur DNA, dengan demikian
menahan replikasi sel. Di lain pihak, antibiotika seperti dactinomycin dan

19
doxorubicin mengikat dan menyelip diantara rangkaian nukleotid molekul
DNA dan dengan demikian menghambat produksi mRNA.

3. Inhibitor mitosis seperti alkaloid vinka contohnya vincristine dan vinblastine,


menahan pembelahan sel dengan mengganggu filamen mikro pada kumparan
mitosis.

 Cara Pemberian Kemoterapi

Secara umum kemoterapi bisa digunakan dengan 4 cara kerja yaitu :

1. Sebagai neoadjuvan yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan dan


radiasi.
2. Sebagai terapi kombinasi yaitu kemoterapi diberikan bersamaan dengan
radiasi pada kasus karsinoma stadium lanjut.
3. Sebagai terapi adjuvan yaitu sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan
atau radiasi
4. Sebagai terapi utama yaitu digunakan tanpa radiasi dan pembedahan terutama
pada kasus kasus stadium lanjut dan pada kasus kanker jenis hematologi
(leukemia dan limfoma).
Menurut prioritas indikasinya terapi terapi kanker dapat dibagi menjadi
dua yaitu terapi utama dan terapi adjuvan (tambahan/ komplementer/
profilaksis). Terapi utama dapat diberikan secara mandiri, namun terapi
adjuvan tidak dapat mandiri, artinya terapi adjuvan tersebut harus meyertai
terapi utamanya. Tujuannya adalah membantu terapi utama agar hasilnya lebih
sempurna.

Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki


indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :

- kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif


- kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara
makroskopis.
- pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh).
Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala
leher dibagi menjadi :

o neoadjuvant atau induction chemotherapy


o concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy
o post definitive chemotherapy.

3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher
radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa
kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa
20
tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan
radiologik dan serologi.(5) Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif
yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada
nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.(1)
4. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah
virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan
imunoterapi.
Prosedur follow up
tidak sepert keganasan kepala leher lainnya , KNF mempunyai resiko terjadinya
rekurensi, sehingga follow up jangka panjang diperlukan. Kekeambuhan tersering terjadi
kurang dari 5 tahun, 5 – 15 % kekambuhan sering kali terjadi antara 5-10 tahun. Sehingga
pasien KNF perlu di follow up setidaknya 10 tahun setelah terapi. Jadwal follow up yang
dianjurkan sebagai berikut :
- Dalam 3 tahun pertama : setiap 3 bulan
- Dalam 3-5 tahun : setiap 6 bulan
- Setelah 5 tahun : setiap setahun sekali untuk seumur hidup

9. Prognosis

Pengobatan radiasi, terutama pada kasus dini, pada umumnya akan memberikan hasil
pengobatan yang memuaskan. Namun radiasi pada kasus lanjutpun dapat memberikan hasil
pengobatan paliatif yang cukup baik sehingga diperoleh kualitas hidup pasien yang baik pula.
Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh
beberapa faktor, seperti :

- Stadium yang lebih lanjut.


- Usia lebih dari 40 tahun
- Laki-laki dari pada perempuan
- Ras Cina dari pada ras kulit putih
- Adanya pembesaran kelenjar leher
- Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak
- Adanya metastasis jauh

10. Pencegahan
- Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Epstein
Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan
resiko tinggi.
- Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya.
- Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan
untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.
- Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan
sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-
kemungkinan faktor penyebab.
21
- Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa
yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara
lebih dini.

BAB IV

KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring banyak ditemukan di Indonesia. Seperti pada keganasan yang


lain, penyebab penyakit ini belum dapat dipastikan sehingga pencegahannya relatif sulit.
Yang perlu ditekankan adalah usaha menuju diagnosis dini, dimana diagnosis dini sulit untuk
ditegakkan. Yang terutama menjadi masalah adalah keterlambatan pasien untuk berobat.
Sebagian besar datang ketika sudah dalam stadium lanjut, dengan demikian kanker sudah
meluas ke jaringan sekitar atau kelenjar leher. Hal ini merupakan penyukit untuk
mendapatkan hasil pengobatan yang sempurna.

Oleh karena itu perlunya meningkatkan kesadaran para dokter serts memberikan
penyuluhan kepada masyarakat mengenai penyakit ini, supaya masyarakat mengetahui tanda-

22
tanda stadium awal penyakit dan kemana mereka harus pergi untuk mendapatkan pertolongan
yang tepat dan cepat.

Diagnosis dini harus segera ditegakkan dengan biopsy serta pemeriksaan patologi,
supaya pengobatan tidak terlambat. Diharapkan dengan penemuan kasus dini,
penanggulangan terhadap penyakit ini dapat diperbaiki, sehingga angka kematian dapat
ditekan.

Pada stadium dini pengobatan yang diberikan adalah penyinaran, dan memberikan
angka penyembuhan yang cukup tinggi. Oleh karena itu diharapkan kesadaran masyarakat
untuk segera berobat. Jika terdapat gejala yang mencurigakan, segera memeriksakan diri ke
dokter. Sedangkan pada stadium lanjut, diperlukan pengobatan tambahan yang memerlukan
biaya yang tidak sedikit.

DAFTAR PUSTAKA
1. Farid W, Ramsi L. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Medan : FK USU, 1998.h.
1-20.
2. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher.13th Ed. Jilid 1.
Alih bahasa staf ahli bagian THT RSCM-FK UI. Jakarta : Binarupa Aksara, 1994.h.
391-6.
3. Myers EN, Suen JY. Cancer of the head and neck. 2nd ed. New York : Churchill
Livingstone, 1989. h. 495-507.
4. Iskandar N, Munir M, Soetjiepto D. Tumor Ganas THT. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI, 1989.
5. Damayanti Soetjipto. Karsinoma nasofaring.Dalam : Nurbaiti Iskandar (ed).Tumor
telinga-hidung-tenggorok diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta : FK UI,1989.h. 71-
84.
6. Ballenger JJ. Otorhinolaryngology : head and neck surgery. 15th ed. Philadelphia :
Williams & Wilkins, 1996.p. 323-36.
23
7. Ramsi Lutan, Nasution YU. Karsinoma nasofaring. Dalam : Program & abstrak
PITIAPI. Medan : FK USU, 2001.h. 9-25.
8. Susworo. Dalam : Kanker Nasofaring Epidemologi dan Pengobatan Mutakhir. Cermin
Dunia Kedokteran. 2004 : 16-20
9. Averdi Roezin, Anida Syafril. Karsinoma nasofaring. Dalam : Efiaty A. Soepardi
(ed). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ketiga. Jakarta : FK UI,
1997. h. 149-53.
10. Davidson. Neck Masses : Differential Diagnosis and Evaluation. San Diego :
University of California. Available at :
http://drdavidson.ucsd.edu/Portals/0/CMO/CMO_05.htm. Accessed July 31, 2009.

24

Anda mungkin juga menyukai