Anda di halaman 1dari 53

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uji Data Hujan
Sebelum dipakai dalam analisa hidrologi, data hujan yang tersedia terlebih
dahulu perlu diuji kelayakannya. Dalam pengujiannya digunakan beberapa analisa
statistik, diantaranya :
 Uji konsistensi
 Uji ketiadaan trend
 Uji stasioner
 Uji Persistensi
2.1.1 Uji Konsistensi
Pengujian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa tidak ada kesalahan
dari pengukuran data hujan di lapangan (Soewarno, 1995). Dalam hal ini untuk
menentukannya dipakai metode RAPS (Rescaled Adjusted Partial Sums), yang
ditemukan oleh Buishand tahun 1982 (Sri Harto, 1993). Mekanisme pengujian
metode ini, dengan persamaan sebagai berikut :
Sk* = ∑(𝑌𝑖 − 𝑌̅), dengan k = 1,2,3,...n. .........................................................(2.1)

Sk** = �
𝑘 .......................................
(2.2)

𝑆
√(𝑌𝑖 − 𝑌̅)2
S = ........................................................................................... (2.3)
𝑛−1
Q = max |𝑆 ∗∗ | ...............................................................................................(2.4)
𝑘
R = max Sk** – minimum Sk**..........................................................................................................(2.5)
Dimana :
Yi = data hujan ke – i
𝑌̅ = rerata data hujan
S = standar deviasi
n = jumlah data

5
6

Q R
Setelah diketahui hasil nilai statistik di atas, maka nilai dari n
hitung serta n

hitung dapat dicari. Hasil nilai perhitungan kemudian dibandingkan dengan nilai
ijin. Apabila data lebih kecil dari nilai ijin, maka data dianggap konsisten.
Tabel 2.1 Nilai Kritis Q dan R
Q R
No n n
90% 95% 99% 90% 95% 99%
10 1,05 1,14 1,29 1,21 1,28 1,38
20 1,10 1,22 1,42 1,34 1,43 1,60
30 1,12 1,24 1,46 1,40 1,50 1,70
40 1,13 1,26 1,50 1,42 1,53 1,74
50 1,14 1,27 1,52 1,44 1,55 1,78
100 1,17 1,29 1,55 1,50 1,62 1,86
∞ 1,22 1,36 1,63 1,62 1,75 2,00
Sumber :Sri Harto Br,1993
2.1.2 Uji Ketiadaan Trend
Pengujian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa pada data hujan tidak
terdapat trend, yaitu gerakan berjangka panjang yang cenderung menuju satu arah,
baik naik atau turun (Soewarno, 1995). Untuk mengetahui ketiadaan trend,
dipakai metode spearman yang persamaannya sebagaimana berikut :
6
KP = 21 -
∑(𝑑𝑡) .......................................................................................... (2.6)
𝑛3−𝑛
1
𝑛−2 ]2 ........................................................................................ (2.7)
t = KP[ 1−
𝐾𝑃2

Dengan :
KP = koefisien korelasi peringkat Spearman
n = jumlah data
dt = selisih Rt dangan Tt
Tt = peringkat dari waktu
Rt = peringkat dari variabel hidrologi dalam deret berkala.
t = nilai hitung uji t
Tabel 2.2 Nilai tc untuk Distribusi Dua Sisi
derajat kepercayaan, α
Dk
10,00% 5,00% 2,50% 1,00% 0,50%

1 3,070 6,314 12,706 31,821 63,657


2 1,886 2,920 4,303 6,965 9,925
3 1,638 2,353 3,182 4,541 5,841
4 1,533 2,132 2,776 3,747 4,604
5 1,476 2,015 2,571 3,365 4,032
6 1,440 1,943 2,447 3,143 3,707
7 1,415 1,895 2,365 2,998 3,499
8 1,397 1,860 2,306 2,896 3,355
9 1,383 1,833 2,262 2,821 3,250
10 1,372 1,812 2,228 2,764 3,169
11 1,363 1,796 2,201 2,718 3,106
12 1,356 1,782 2,179 2,681 3,055
13 1,350 1,771 2,160 2,650 3,012
14 1,345 1,761 2,145 2,624 2,977
15 1,341 1,753 2,131 2,602 2,947
16 1,337 1,746 2,120 2,583 2,921
17 1,333 1,740 2,110 2,567 2,898
18 1,330 1,734 2,101 2,552 2,878
19 1,328 1,729 2,093 2,539 2,861
20 1,325 1,725 2,083 2,528 2,845
21 1,323 1,721 2,080 2,518 2,831
22 1,321 1,717 2,074 2,508 2,819
23 1,319 1,714 2,069 2,500 2,807
24 1,318 1,711 2,064 2,492 2,797
25 1,316 1,708 2,060 2,485 2,787
26 1,315 1,706 2,056 2,479 2,779
27 1,314 1,703 2,052 2,473 2,771
28 1,313 1,701 2,048 2,467 2,763
29 1,311 1,699 2,045 2,462 2,756
Inf. 1,282 1,645 1,960 2,326 2,576
Sumber :Soewarno,1995
2.1.3 Uji Stasioner
Pengujian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa data hujan yang
digunakan bersifat homogen/ stasioner. Suatu data dianggap stasioner, jika nilai
parameter statistik dari periode/runtun waktu yang ada relatif tidak berubah
(Soewarno,1995). Untuk menguji nilai varian suatu data, salah satunya dengan
uji- F (Fisher test) dengan persamaan berikut :
2
𝑁1 . 𝑆1 . (𝑁2−1)
F = ................................................................................ (2.8)
𝑁2 . 𝑆22. (𝑁1−1)
Dengan:
F = nilai hitung uji F
N1 = jumlah data kelompok 1
N2 = jumlah data kelompok 2
S1 = standar deviasi data kelompok 1
S2 = standar deviasi data kelompok 2
Dengan derajat bebas (dk):
dk1 = N1 – 1
dk2 = N2 – 1
Untuk parameter statistik data stasioner maka hipotesa nol, sebaliknya
untuk parameter statistik data tidak stasioner maka hipotesa tidak sama dengan
satu. Sedangkan untuk stabilitas nila rata-rata data, digunakan uji-t (student test)
dengan persamaan berikut :

̅𝑋̅1̅− ̅𝑋̅2̅ ......................................................................................... (2.9)


t = 𝜎( 1 + 1 )21
𝑁1 𝑁2
1
𝑁1 𝑆2+ 𝑁2 𝑆2 2
1 2
σ = ) ............................................................................. (2.10)
( 𝑁1+ 𝑁2−2

Dengan:
t = nilai hitung uji t
N1 = jumlah data kelompok 1
N2 = jumlah data kelompok 2
X 1 = nilai rata-rata data kelompok 1

X 2 = nilai rata-rata data kelompok 2

S1 = standar deviasi data kelompok 1


S2 = standar deviasi data kelompok 2
Dengan derajat bebas dk = N1 + N2 – 2
Tabel 2.3 Nilai F kritis Untuk Level of Significant 5%

dk2 = dk1 = V1
V2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 161,40 199,50 215,70 224,60 230,20 234,00 236,80 238,90 240,50
2 18,51 19,00 19,16 19,25 19,30 19,33 19,35 19,37 19,38
3 10,13 9,55 9,28 9,12 9,01 8,94 8,89 8,85 8,81
4 7,71 6,94 6,59 6,39 6,26 6,16 6,09 6,04 6,00

5 6,61 5,79 5,41 5,19 5,05 4,95 4,88 4,82 4,77


6 5,99 5,14 4,76 4,53 4,39 4,28 4,21 4,15 4,10
7 5,59 4,74 4,35 4,12 3,97 3,87 3,79 3,37 3,68
8 5,32 4,46 4,07 3,84 3,69 3,58 3,50 3,44 3,39
9 5,12 4,26 3,86 3,63 3,48 3,37 3,29 3,23 3,18

10 4,96 4,10 3,71 3,48 3,33 3,22 3,14 3,07 3,02


11 4,84 3,98 3,59 3,36 3,20 3,09 3,01 2,95 2,90
12 4,75 3,89 3,49 3,26 3,11 3,00 2,91 2,85 2,80
13 4,67 3,81 3,41 3,18 3,03 2,92 2,83 2,77 2,71
14 4,60 3,74 3,34 3,11 2,96 2,85 2,76 2,70 2,65

15 4,54 3,68 3,29 3,06 2,90 2,79 2,71 2,64 2,59


16 4,49 3,63 3,24 3,01 2,85 2,74 2,66 2,59 2,54
17 4,45 3,59 3,20 2,96 2,81 2,70 2,61 2,55 2,49
18 4,41 3,55 3,16 2,93 2,77 2,66 2,58 2,51 2,46
19 4,38 3,52 3,13 2,90 2,74 2,63 2,54 2,48 2,42

20 4,35 3,49 3,10 2,87 2,71 2,60 2,51 2,45 2,39


21 4,32 3,47 3,07 2,84 2,68 2,57 2,49 2,42 2,37
22 4,30 3,44 3,05 2,82 2,66 2,55 2,46 2,40 2,34
23 4,28 3,42 3,03 2,80 2,64 2,53 2,44 2,37 2,32
24 4,26 3,40 3,01 2,78 2,62 2,51 2,42 2,36 2,30
25 4,24 3,39 2,99 2,76 2,60 2,49 2,40 2,34 2,28
26 4,23 3,37 2,98 2,74 2,59 2,47 2,39 2,32 2,27
27 4,21 3,35 2,96 2,73 2,57 2,46 2,37 3,31 2,25
28 4,20 3,34 2,95 2,71 2,56 2,45 2,36 2,29 2,24
29 4,18 3,33 2,93 2,70 2,55 2,43 2,35 2,28 2,22

30 4,17 3,32 2,92 2,69 2,53 2,42 2,33 2,27 2,21


40 4,08 3,23 2,84 2,61 2,45 2,34 2,25 2,18 2,12
60 4,00 3,15 2,76 2,53 2,37 2,25 2,17 2,10 2,04
120 3,92 3,07 2,68 2,45 2,29 2,17 2,09 2,02 1,96
inf. 3,84 3,00 2,60 2,37 2,21 2,10 2,01 1,94 1,88
Sumber : Soewarno,1995.
2.1.4 Uji Persistensi
Pengujian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa tidak terdapat
ketergantungan pada masing – masing nilai data hujan dari suatu deret berkala.
Dalam uji persistensi, perlu terlebih dahulu dihitung koefisien korelasi serialnya.
Maka dipakai metode Spearman (Soewarno,1995). Persamaan yang digunakan
seperti berikut :
6 ∑(𝑑𝑖)2
KS = 1 -...........................................................................................................(2.11)
𝑚3 − 𝑚
1
m−2
2
t = KS [ ] ...................................................................................... (2.12)
1−KS2
Dengan :
KS = koefisien korelasi serial Spearman
m = jumlah data
di = selisih antara peringkat ke Xi dang Xi-1
t = nilai hitung uji t
Dengan derajat bebas dk = m – 2

2.2 Curah Hujan Rata - Rata Daerah


Dalam suatu daerah, bisa jadi memiliki lebih dari satu stasiun hujan yang
berbeda – beda lokasi penempatannya (terpencar). Sehingga data hujan dari
masing
- masing stasiun terkadang tidak sama. Maka perlu diperhitungkan hujan rata-rata
daerahnya (Bambang Triatmodjo,2010). Dalam memperkirakan hujan rata-rata
daerah terdapat 3 metode yang sering digunakan, namun dalam perencanaan ini
dipakai metode arithmatika.
2.2.1 Metode Arithmatika
Intinya adalah dengan merata-ratakan data curah hujan, dari stasiun-stasiun
pencatat curah hujan disekitar wilayah yang ditentukan. Rumus dasar Metode
Arithmatik yaitu :

𝑑1 + 𝑑2 + 𝑑3 +⋯ + ....................................................................... (2.13)
d𝑛 =
𝑑
𝑛
Dimana :
d = tinggi curah hujan rata-rata wilayah/ daerah, mm
d1,d2...dn = tinggi curah hujan pada stasiun 1,2,......., n , mm
n = jumlah stasiun pengukur hujan.

2.3 Analisa Distribusi Frekuensi


Digunakan untuk mendapatkan hubungan antara besarnya kejadian ekstrim
dan frekuensi kejadiannya, dengan menggunakan distribusi probabilitas. Baik
pada data hujan maupun data debit, analisa frekuensi dapat diterapakan (Bambang
Triadmodjo, 2010).
Dalam uji distribusi frekuensi curah hujan, terdapat beberapa model
distribusi frekuensi yang umum diaplikasikan, seperti Distribusi Normal,
Distribusi Log Normal, Distribusi Gumbel, dan Distribusi Log Pearson III.
Masing-masing dari keempat model distribusi frekuensi tersebut, memiliki sifat
khas sebagaimana berikut :
Tabel 2.4 Sifat Khas Distribusi Frekuensi

Distribusi Frekuensi Sifat Khas

Cs ≈ 0
Normal
Ck = 3
Cs = 3
Log Normal
Cs atau Cv selalu positif
Cs = 1,1396
Gumbel
Ck = 5,4002

Log Pearson III Tidak ada sifat khas

Sumber : Soewarno, 1995


Sebelum menghitung pengujian distribusi frekuensi, terlebih dahulu
dihitung nilai parameter statistiknya, serta nilai dari Cv (koefisien varian), Cs
(koefisien skewness), dan Ck (koefisien kurtosis). Persamaan yang digunakan
adalah sebagai berikut :
 Parameter Statistik
(𝑋𝑖 − 𝑋̅), (𝑋𝑖 − 𝑋̅)2, (𝑋𝑖 − 𝑋̅)3, (𝑋𝑖 − 𝑋̅)4
 Standar Deviasi (S)
√(𝑋𝑖 − 𝑋)2
S = .................................................................................. (2.14)
𝑛−1
 Koefisien varian (Cv)
𝑆
Cv = .................................................................................................... (2.15)
𝑋
 Koefisien skewness (Cs)
𝑛 ∑(𝑋𝑖 − 𝑋)3
Cs = (2.16)
(𝑛−1) (𝑛−2) 𝑆 3.....................................
 Koefisien kurtoris (Ck)
𝑛2 ∑(𝑋𝑖 − 𝑋)4
Ck = (2.17)
(𝑛−1) (𝑛−2) (𝑛−3) 𝑆 4..............................

Dimana :
Xi = data hujan, mm

𝑋̅ = data hujan rata-rata,


mm n = jumlah data
2.3.1 Distribusi Normal
Dapat digunakan untuk menentukan besaran nilai hidrologi baik debit rata
– rata tahunan maupun rata – rata curah hujan dengan berbagai periode ulang
(Soewarno,1995). Persamaan distribusi normal secara umum sebagai berikut :
XT = 𝑋̅+ KT . S ................................................................................................(2.18)
Dimana :
XT = nilai hujan/debit rencana dengan periode ulang T tahun, mm

𝑋̅ = nilai hujan rata-rata dari data hujan (X), mm


KT = faktor redukdi Gauss (tabel 2.5)
S = standar deviasi
Tabel 2.5 Nilai Variabel Reduksi Gauss
Periode Ulang T
Peluang KT
(tahun)

1,001 0,999 -3,05


1,005 0,995 -2,58
1,010 0,990 -2,33
1,050 0,950 -1,64
1,110 0,900 -1,28
1,250 0,800 -0,84
1,330 0,750 -0,67
1,430 0,700 -0,52
1,670 0,600 -0,25
2,000 0,500 0,00
2,500 0,400 0,25
3,330 0,300 0,52
4,000 0,250 0,67
5,000 0,200 0,84
10,000 0,100 1,28
20,000 0,050 1,64
50,000 0,200 2,05
100,000 0,010 2,33
200,000 0,005 2,58
500,000 0,002 2,88
1.000,000 0,001 3,09
Sumber : Soewarno, 1995
2.3.2 Distribusi Log Normal
Secara umum perhitungannya hampir sama dengan Metode Distribusi
Normal, hanya saja terdapat tranformasi pada nilai variat X menjadi nilai log
variat X (Soewarno,1995). Persamaan distribusi log normal sebagai berikut :
Log XT = Log ̅𝑋̅𝑟̅+ KT . S Log X ....................................................................(2.19)
Dimana :
Log XT = nilai log hujan/debit rencana dengan periode ulang T
tahun, mm
Log ̅𝑋̅𝑟̅ = nilai log hujan rata-rata dari data hujan (X), mm
KT = faktor redukdi Gauss (Tabel 2.5)
S Log X = standar devisiasi dari log X
2.3.3 Distribusi Gumbel
Sering digunakan dalam analisa data maksimum (ekstrim), misalnya
analisa debit banjir rencana atau analisa hujan maksimum rencana (Soewarno,
1995). Persamaan distribusi gumbel dirumuskan sebagai berikut :
XT = 𝑥̅
+ k . S.............................................................................................(2.20)
Dimana :
XT = nilai hujan/debit rencana dengan periode ulang T tahun, mm
𝑥̅ = nilai rata – rata data hujan
S = standar deviasi data hujan
k = faktor frekuensi. Dihitung dengan persamaan berikut :

𝑌𝑡−
k𝑛 =
𝑌 .................................................................................................. (2.21)
𝑆𝑛
Dimana :
Yn = reduksi rata – rata variat, tergantung jumlah data. (tabel 2.7)
Sn = standar deviasi variat, tergantung jumlah data. (tabel 2.8)
Yt = faktor reduksi. Dapat ditentukan melalui tabel 2.6, atau dengan
persamaan berikut :
(𝑇𝑟 − 1
Yt = - ln [ - ln { }] ...............................................................................(2.22)
𝑇𝑟
Tabel 2.6 Nilai Faktor Reduksi Gumbel
T (tahun) Peluang Y
1,001 0,999 -1,930
1,005 0,995 -1,670
1,01 0,990 -1,530
1,05 0,952 -1,097
1,11 0,901 -0,834
1,25 0,800 -0,476
1,33 0,751 -0,326
1,43 0,699 -0,185
1,67 0,599 0,087
2 0,500 0,366
2,5 0,400 0,671
3,33 0,300 1,030
4 0,250 1,240
5 0,200 1,510
10 0,100 2,250
20 0,050 2,970
50 0,020 3,900
100 0,010 4,600
200 0,005 5,290
500 0,002 6,210
1000 0,001 6,900
Sumber : Soewarno, 1995
Tabel 2.7 Hubungan Variant Rata-rata (Yn) dengan Jumlah Data (n)
n Yn n Yn n Yn n Yn
10 0.4592 33 0.5388 56 0.5508 79 0.5567
11 0.4996 34 0.5396 57 0.5511 80 0.5569
12 0.5053 35 0.542 58 0.5516 81 0.557
13 0.507 36 0.541 59 0.5518 82 0.5572
14 0.51 37 0.5418 60 0.5521 83 0.5574
15 0.5128 38 0.5424 61 0.5524 84 0.5576
16 0.5157 39 0.543 62 0.5527 85 0.5578
17 0.5181 40 0.5436 63 0.553 86 0.558
18 0.5202 41 0.5442 64 0.5533 87 0.5581
19 0.522 42 0.5448 65 0.5535 88 0.5583
20 0.5236 43 0.5453 66 0.5538 89 0.5585
21 0.5252 44 0.5458 67 0.554 90 0.5586
22 0.5268 45 0.5463 68 0.5543 91 0.5587
23 0.5283 46 0.5468 69 0.5545 92 0.5589
24 0.5296 47 0.5473 70 0.5548 93 0.5591
25 0.5309 48 0.5477 71 0.555 94 0.5592
26 0.532 49 0.5481 72 0.5552 95 0.5593
27 0.5332 50 0.5485 73 0.5555 96 0.5595
28 0.5343 51 0.5489 74 0.5557 97 0.5596
29 0.5353 52 0.5493 75 0.5559 98 0.5598
30 0.5362 53 0.5497 76 0.5561 99 0.5599
31 0.5371 54 0.5501 77 0.5563 100 0.5600
32 0.538 55 0.5504 78 0.5565
Sumber : Soewarno, 1995
Tabel 2.8 Hubungan Deviasi Standar (Sn) dengan Jumlah Data (n)
n Sn n Sn n Sn n Sn
10 0,9496 33 1,1226 56 1,1696 79 1,1930
11 0,9676 34 1,1255 57 1,1708 80 1,1938
12 0,9933 35 1,1285 58 1,1721 81 1,1945
13 0,9971 36 1,1313 59 1,1734 82 1,1953
14 1,0095 37 1,1339 60 1,1747 83 1,1959
15 1,0206 38 1,1363 61 1,1759 84 1,1967
16 1,0316 39 1,1388 62 1,1770 85 1,1973
17 1,0411 40 1,1413 63 1,1782 86 1,1980
18 1,0493 41 1,1436 64 1,1793 87 1,1987
19 1,0565 42 1,1458 65 1,1803 88 1,1994
20 1,0628 43 1,1480 66 1,1814 89 1,2001
21 1,0696 44 1,1499 67 1,1824 90 1,2007
22 1,0754 45 1,1519 68 1,1834 91 1,2013
23 1,0811 46 1,1538 69 1,1844 92 1,2020
24 1,0864 47 1,1557 70 1,1854 93 1,2026
25 1,0915 48 1,1574 71 1,1863 94 1,2032
26 1,1961 49 1,1590 72 1,1873 95 1,2038
27 1,1004 50 1,1607 73 1,1881 96 1,2044
28 1,1047 51 1,1623 74 1,1890 97 1,2049
29 1,1086 52 1,1638 75 1,1898 98 1,2055
30 1,1124 53 1,1658 76 1,1906 99 1,2060
31 1,1159 54 1,1667 77 1,1915 100 1,2065
32 1,1193 55 1,1681 78 1,1923
Sumber : Soewarno, 1995
2.3.4 Distribusi Log Pearson III
Sering digunakan untuk menganalisis data maksimum (banjir) dan analisis
data minimum dengan nilai ekstrim (Soewarno,1995). Persamaannya sebagai
berikut :
a. Ubah data rerata hujan maksimum tahunan sebanyak n buah ke dalam bentuk
logaritma (Log Xi).
b. Hitung harga logaritma rata-rata :
𝑛
∑𝑖=1 𝐿𝑜𝑔
Log X 𝑋𝑖 ................................................................................. (2.23)
=
𝑛
c. Hitung standar deviasi :
𝑛 0,5
∑𝑖=1 (𝐿𝑜𝑔 𝑋𝑖 −𝐿𝑜𝑔 𝑋)2
Sd = ] ...................................................... (2.24)
[ 𝑛−1

d. Hitung koefisien skewness/ kemencengan :


𝑛 .∑𝑛 (𝐿𝑜𝑔 𝑋𝑖 − 𝐿𝑜𝑔 𝑋)3
Cs 𝑖=1
........................................................... (2.25)
(𝑛−1) (𝑛−2)
= 𝑆𝑑3

e. Hitung logaritma curah hujan rencana dengan kala ulang tertentu :


Log XT = Log Xi + Sd . G......................................................................(2.26)
Dimana :
XT = curah hujan rencana, mm
Log Xi = rata-rata logaritma dari hujan maksimum tahunan, mm
Sd = standar deviasi
G = konstanta (Tabel 2.9)
f. Dengan menghitung antilog dari Log XT, maka nilai curah hujan
rencana dengan kala ulang tertentu dapat ditentukan.
Tabel 2.9 Nilai G Distribusi Log Pearson III
Periode Ulang (tahun)

Kemencengan 2 5 10 20 50 100 200 1000

(Cs) Peluang %
50 20 10 5 2 1 0.5 0.1
3.0 -0.360 0.420 1.180 2.278 3.152 4.051 4.970 7.250
2.5 -0.360 0.518 1.250 2.262 3.048 3.845 4.652 6.600
2.2 -0.330 0.574 1.284 2.240 2.970 3.075 4.444 6.200
2.0 -0.307 0.609 1.302 2.219 2.912 3.605 4.298 5.910
1.8 -0.282 0.643 1.318 2.193 2.848 3.499 4.147 5.660
1.6 -0.254 0.675 1.329 2.163 2.780 3.388 3.990 5.390
1.4 -0.225 0.705 1.337 2.128 2.706 3.271 3.828 5.110
1.2 -0.195 0.732 1.340 2.087 2.626 3.149 3.661 4.820
1.0 -0.164 0.758 1.340 2.043 2.542 3.022 3.489 4.540
0.9 -0.148 0.769 1.339 2.018 2.498 2.957 3.401 4.395
0.8 -0.132 0.780 1.336 1.998 2.453 2.891 3.312 4.250
0.7 -0.116 0.790 1.333 1.967 2.407 2.824 3.223 4.105
0.6 -0.099 0.800 1.328 1.939 2.359 2.755 3.132 3.960
0.5 -0.083 0.808 1.323 1.910 2.311 2.686 3.041 3.815
0.4 -0.066 0.816 1.317 1.880 2.261 2.615 2.949 3.670
0.3 -0.050 0.824 1.309 1.849 2.211 2.544 2.856 3.525
0.2 -0.033 0.830 1.301 1.818 2.159 2.472 2.763 3.380
0.1 -0.017 0.836 1.292 1.785 2.107 2.400 2.670 3.235
0.0 0.000 0.842 1.282 1.751 2.054 2.326 2.576 3.090
-0.1 0.017 0.836 1.270 1.761 2.000 2.252 2.482 3.950
-0.2 0.033 0.850 1.258 1.680 1.945 2.178 2.388 2.810
-0.3 0.050 0.853 1.245 1.643 1.890 2.104 2.294 2.675
-0.4 0.066 0.855 1.231 1.606 1.834 2.029 2.201 2.540
-0.5 0.083 0.856 1.216 1.567 1.777 1.955 2.108 2.400
-0.6 0.099 0.857 1.200 1.528 1.720 1.880 2.016 2.275
-0.7 0.166 0.857 1.183 1.488 1.663 1.806 1.926 2.150
-0.8 0.132 0.856 1.166 1.448 1.606 1.733 1.837 2.035
-0.9 0.148 0.584 1.147 1.407 1.549 1.660 1.749 1.910
-1.0 0.164 0.852 1.128 1.366 1.492 1.588 1.664 1.800
-1.2 0.195 0.844 1.086 1.282 1.379 1.449 1.501 1.625
-1.4 0.225 0.832 1.041 1.198 1.270 1.318 1.351 1.465
-1.6 0.254 0.817 0.994 1.116 1.166 1.197 1.216 1.280
-1.8 0.282 0.799 0.945 1.035 1.069 1.087 1.097 1.130
-2.0 0.307 0.777 0.895 0.959 0.980 0.990 1.995 1.000
-2.2 0.330 0.752 0.844 0.888 0.900 0.905 0.607 0.910
-2.5 0.360 0.711 0.771 0.793 0.798 0.799 0.800 0.802
-3.0 0.396 0.636 0.660 0.666 0.666 0.667 0.667 0.668
Sumber : Soewarno, 1995

2.4 Uji Kecocokan Distribusi Frekuensi


Dalam menentukan kesesuaian distribusi frekuensi empiris dari suatu
sampel data, maka perlu dilakukan pengujian secara statistik pada fungsi distribusi
frekuensi teoritisnya. Untuk menentukan kesesuaian distribusi frekuensi,
umumnya digunakan dua metode pengujian, yaitu Uji Chi Square (Chi – Kuadrat)
dan Uji Smirnov Kolmogorov (Sri Harto, 1991).
2.4.1 Uji Chi – Kuadrat
Biasanya diterapkan untuk mengevaluasi apakah distribusi teoritis dapat
mendekati nilai dari distribusi pengamatan. Dengan kata lain, menguji kebenaran
dari distribusi teoritis, yang digunakan dalam perhitungan frekuensi analisis.

Distribusi teoritis dinyatakan benar apabila nilai x2 perhitungan, tidak melampaui


batas dari nilai x2 kritis yang diijinkan. Persamaan uji chi – kuadrat :
(𝐸𝑓 − 𝑂𝑓) 2
x 2cal = ∑𝑘 ................................................................................. (2.27)
𝐸𝑓
1

Dimana :

x2cal = nilai kritis hasil perhitungan


k = jumlah data
Ef = nilai yang diharapkan
Of = nilai yang diamati

Nilai kritis x2 bergantung pada nilai derajat kebebasan dan α (Tabel 2.10). Untuk
derajat kebebasan dapat dihitung dengan persamaan berikut :
DK = JK – (P + 1)..........................................................................................(2.28)
Dimana :
DK = derajat kebebasan
JK = jumlah kelas
P = faktor keterikatan, untuk uji chi – kuadrat ditetapkan nilainya 2

Tabel 2.10 Harga (x2) Untuk Uji Chi – Kuadrat

α
0,995 0,99 0,975 0,95 0,050 0,025 0,010 0,005
DK
1 0,000039 0,000157 0,000982 0,00393 3,841 5,0240 6,635 7,8790
2 0,0100 0,0201 0,0506 0,103 5,991 7,3780 9,210 10,597
3 0,0717 0,115 0,216 0,352 7,815 9,348 11,345 12,838
4 0,207 0,297 0,484 0,711 9,488 11,143 13,277 14,860
5 0,412 0,554 0,831 1,145 11,070 12,832 15,086 16,750
6 0,676 0,872 1,237 1,635 12,592 14,449 16,812 18,548
7 0,989 1,239 1,690 2,167 14,067 16,013 18,475 20,278
8 1,344 1,646 2,180 2,733 15,507 17,535 20,090 21,955
9 1,735 2,088 2,700 3,325 16,919 19,023 21,666 23,589
10 2,156 2,558 3,247 3,94 18,307 20,483 23,209 25,188
11 2,603 3,053 3,816 4,575 19,675 21,920 24,725 26,757
12 3,074 3,571 4,404 5,226 21,026 23,337 26,217 28,300
13 3,565 4,107 5,009 5,892 22,362 24,736 27,388 29,819
14 4,075 4,66 5,629 6,571 23,685 26,119 29,141 31,319
15 4,601 5,229 6,262 7,261 24,996 27,448 30,578 32,801
16 5,142 5,812 6,908 7,962 26,296 28,845 32,000 34,267
17 5,697 6,408 7,564 8672 27,587 30,191 33,409 35,718
18 6,625 7,015 8,231 9,39 28,869 31,526 34,805 37,156
19 6,844 7,633 8,907 10,117 30,114 32,852 36,191 38,582
20 7,434 8,26 9,591 10,851 31,410 34,170 37,566 39,997
21 8,034 8,897 10,283 11,591 32,671 35,479 38,932 41,401
22 8,643 9,542 10,982 12,338 33,924 36,781 40,289 42,796
23 9,260 10,196 11,689 13,091 36,172 38,076 41,638 44,181
24 9,886 10,856 12,401 13,848 36,415 39,364 42,980 45,558
25 10,520 11,524 13,120 14,611 37,652 40,646 44,314 46,928
26 11,160 12,198 13,844 15,379 38,885 41,923 45,642 48,290
27 11,808 12,879 14,573 16,151 40,113 43,194 46,963 49,645
28 12,461 13,565 15,308 16,928 41,337 44,461 48,278 50,993
29 13,121 14,256 16,047 17,708 42,557 45,722 49,588 52,336
30 13,787 14,953 16,791 18,493 43,733 46,979 50,892 53,672
Sumber : Soewarno, 1995
2.4.2 Uji Smirnov Kolmogorov
Merupakan uji kesesuaian non parametik, sebab cara pengujiannya tidak
menggunakan fungsi sebaran tertentu (Soewarno, 1995). Tahapan uji smirnov
sebagaimana berikut :
a. Data diurutkan dari besar ke kecil atau sebaliknya.
b. Tetukan besar peluang (P) dari masing – masing data :
𝑚
P = .................................................................................................. (2.29)
𝑛+1
c. Tentukan nilai peluang teoritis (P’) dari hasil persamaan distribusinya
d. Tentukan nilai D maksimum :
D maks = |P – P’|.............................(2.30)
e. Bandingkan nilai D maksimum dengan nilai Do (tabel 2.10). jika D maks < Do
maka data diterima, begitu sebaliknya.
Tabel 2.11 Harga Δ kritis (Do) untuk Smirnov-Kolmogorof test
α
0,200 0,100 0,050 0,010
N

5 0,450 0,510 0,560 0,670


10 0,320 0,370 0,410 0,490
15 0,270 0,300 0,340 0,400
20 0,230 0,260 0,290 0,360
25 0,210 0,240 0,270 0,320
30 0,190 0,220 0,240 0,290
35 0,180 0,200 0,230 0,270
40 0,170 0,190 0,210 0,250
45 0,160 0,180 0,200 0,240
50 0,150 0,170 0,190 0,230
n > 50 1,07 1,22 1,36 1,63
n0,5 n0,5 n0,5 n0,5
Sumber : Soewarno, 1995
2.5 Distribusi Hujan Efektif
Hujan efektif atau hujan netto adalah curah hujan terjadi pada suatu
daerah, yang kemudian berubah menjadi aliran langsung (surface run – off).
Untuk menentukannya digunakan persamaan berikut :
Rn = C . RT.....................................................................................................................................................(2.31)
Dimana :
Rn = hujan netto (mm/ jam)
C = koefisien pengaliran (Tabel 2.12)
RT = curah hujan rancangan (mm/ jam)
Setelah hujan netto diketahui, kemudian dilanjutkan dengan menghitung
intensitas hujannya. Intensitas hujan merupakan hujan per satuan waktu yang
dinyatakan dalam mm/ jam. Data intensitas hujan biasanya diambil dari
pengukuran hujan otomatis, namun jika tidak terdapat alat pengukur hujan
otomatis disuatu daerah, maka dapat digunakan rumus dari metode mononobe
(Nugroho Hadisusanto, 2011). persamaan yang dipakai sebagai berikut :
2
3
𝑇) ......................................................................................... (2.32)
I𝑅t 24 = (𝑡
𝑇
Dengan :
It = intensitas hujan selama t jam, mm/jam
R24 = curah hujan 24 jam, mm
T = lama durasi hujan, jam
t = interval durasi hujan, jam
Setelah didapat hasil sebaran intensitas hujan, berikutnya dapat ditentukan
ratio sebaran hujan dengan persamaan berikut :
Rt = t . RT - (t – 1) . R(T – 1)............................................................................................................(2.33)
Dimana :
Rt = curah hujan pada jam t
RT = intensitas hujan rerata dalam T jam (mm/ jam)
t = waktu hujan dari awal sampai jam ke T
R(T – 1) = waktu mulai hujan
Tabel 2.12 Tabel Koefisien Pengaliran
Kondisi Daerah pengaliran dan Sungai Harga C
Daerah pegunungan yang curam 0,75 - 0,90
Daerah pegunungan tersier 0,70 - 0,80
Tanah bergelombang dan hutan 0,50 - 0,75
Tanah dataran yang ditanami 0,45 - 0,60
Persawahan yang diairi 0,70 - 0,80
Sungai di daerah pegunungan 0,75 - 0,85
Sungai kecil di dataran 0,45 - 0,75

Sungai besar yang lebih dari setengah daerah


0,50 - 0,75
pengalirannya terdiri dari daratan

Sumber : Sosrodarsono, 1980

2.6 Debit Banjir Rancangan


Adalah besaran maksimum dari suatu debit banjir, pada suatu sungai
ataupun saluran terbuka lain. Yang besarnya debit dipengaruhi atau terkait pada
suatu periode ulang tertentu (BSN, 2016). Dalam menentukan debit banjir
rancangan, metode Hidrograf Satuan Sintetik NAKAYASU (HSS NAKAYASU)
merupakan metode yang umum diterapkan.
Nakayasu telah melakukan pengamatan terhadap hidrograf satuan dari
beberapa sungai yang ada di Jepang. Dari hasil pengamatannya itu, ia membuat
sebuah rumus hidrograf satuan sintetik (Soemarto, 1987). Rumusnya sebagaimana
berikut :

Qp = 1 . 𝐴 . 𝑅𝑜
............................................................................... (2.34)
3,6(0,3𝑇𝑝 + 𝑇0,3)

Dimana :
Qp = debit puncak banjir (m3/dt)
A = luas DAS (km2)
C = koefisien aliran, biasanya diambil 1
Ro = hujan satuan (mm)
Tp = tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam)
T0,3 = waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak menjadi
30% dari debit puncak (jam)

Gambar 2.1 Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu


Bagian lengkung naik (rising limp) memiliki persamaan sebagaimana berikut :
2,4
𝑡
Qa = Qp .
𝑇
) ..................................................................................... (2.35)
( 𝑝

Dimana :
Qa = limpasan sebelum mencapai debit puncak (m3/dt)
t = waktu (jam)
Tp = tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam)
Sedangkan pada bagian lengkung turun (decreasing limp) persamaannya sebagai
berikut :
𝑡− 𝑇𝑝

Qd > 0,3 Qp : Qd1 =𝑄𝑝 . 0,3 𝑇0,3 .....................................................(2.36)


𝑡− 𝑇𝑝 + 0,5𝑇0,3

0,3 Qp > Qd > 0,32 Qp : Qd2 = 𝑄𝑝 . 1,5𝑇0,3


...................... (2.37)
0,3 𝑡− 𝑇𝑝 + 1,5𝑇0,3
2𝑇0,3
...................... (2.38)
0,32 Qp > Qd : Qd3 = 𝑄𝑝 .
0,3
Untuk tenggang waktu persamaannya sebagai berikut :
Tp = tg + 0,8 tr..............................................................................................................................................(2.39)
 L < 15 km : t = 0,21 L0,7....................................................................(2.40)
g

 L > 15 km : tg = 0,4 + 0,058 L..............................................................(2.41)


Dimana :
L = Panjang alur sungai (km)
tg = waktu konsentrasi (jam)
tr = nilai 0,5tg sampai tg (jam)
T0,3 = α tg (jam)
 Untuk daerah pengaliran biasa α = 2
 Untuk bagian naik hidrograf lambat dan bagian menurun cepat α = 1,5
 Untuk bagian naik hidrograf cepat dan bagian menurun lambat α = 3

2.7 Analisa Klimatologi


2.7.1 Evaporasi
Evaporasi dapat diartikan sebagai kuantitas uap air, yang terwujud dari
hasil penguapan suatu permukaan air atau tanah (Nugroho Hadisusanto, 2011).
Beberapa faktor yang mempengaruhi evaporasi adalah suhu, iklim, dan angin.
Nilai evaporasi dapat dihitung dengan persamaan metode Penman sebagai berikut
:
E = 0,35 (0,5 + 0,54 u2) (es – ed).................................................................(2.42)
17,27𝑇
es = 611exp( ) ............................................................................ (2.43)
237,3+𝑇
ed = r . es..........................................................................................................................................................(2.44)
Dimana :
E = evaporasi (mm/hr)
es = tekanan uap jenuh pada suhu rata-rata harian (mmHg)
ed = tekanan uap udara (mmHg)
u2 = kec. angin pada ketinggian 2 m diatas permukaan air (m/d)
r = kelembaban udara (%)
T = temperature (°C)
2.7.2 Evapotranspirasi
Evapotranspirasi adalah kejadian lenyapnya air pada jaringan tanaman dan
permukaan tanah yang menjadi media tumbuh tanaman (Nugroho Hadisusanto,
2010). Dalam menentukan nilai evapotranspirasi, digunakan metode Penman
dengan persamaan sebagai berikut :
𝛽 . 𝐸𝑛 + 𝐸
Et = .......................................................................................... (2.45)
𝛽+
1
𝑅𝑛
En = ................................................................................................... (2.46)
𝜌𝑤 𝑙
𝑣

lv = 597,3 – 0,564T.....................................................................................(2.47)
ρw = 1000 kg/m3 ≈ 1,000 gr/cm3.................................................................(2.48)
Rn = Sn – Ln.................................................................................................(2.49)
𝑛
Sn = S0 (1 – α) . (0,29 + 0,42 ) ................................................................. (2.50)
𝑁
𝑛
Ln = σT4 (0,56 – ) (0,1 + 0,9 ) .................................................. (2.51)
𝑁
0,092√𝑒𝑑
Dimana :
Et = evapotranspirasi potensial (mm/hr)
En = kedalaman penguapan (mm/hr)
E = evaporasi
β = fungsi temperature (Tabel 2.14)
Rn = radiasi netto (cal/cm2/hr)
ρw = rapat massa air (gr/cm3)
lv = panas laten evaporasi (cal/gr)
Sn = radiasi matahari yang diserap bumi (cal/cm2/hr)
S0 = radiasi matahari global harian yang jatuh pada pemukaan horizontal tiap
satuan luas di bagian luar atmosfer di atas tempat yang sama (cal/cm2/hr)
(Tabel 2.13)
Ln = radiasi gelombang panjang (cal/cm2/hr)
T = temperature (°C)
α = albedo (Tabel 2.15)
𝑛
= lama penyinaran matahari (%)
𝑁
σ = konstanta Stevan-Boltzman (1,17 x 10-7 cal/cm2/°K4/hr)
ed = tekanan uap air (mmHg)
Tabel 2.13 Radiasi Gelombang Pendek Di Tepi Luar Atmosfer
Garis Bulan
Lintang Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des
90 LU 0 0 40 470 900 1085 1010 670 170 0 0 0
80 LU 0 0 125 480 890 1075 995 660 255 25 0 0
70 LU 0 70 275 565 855 1025 945 685 385 145 15 0
60 LU 90 215 425 670 890 1000 945 770 510 285 120 60
50 LU 225 360 555 750 930 1010 970 830 640 435 265 190
40 LU 380 505 675 845 965 1020 985 895 740 565 415 335
30 LU 520 630 775 895 975 1000 990 925 820 685 560 490
20 LU 660 750 850 920 960 965 960 935 875 785 685 630
10 LU 780 840 900 925 915 900 905 915 905 865 800 760
0 885 915 925 900 850 820 830 870 905 910 890 875
10 LS 965 960 915 840 755 710 730 795 875 935 955 960
20 LS 1020 975 885 765 650 590 615 705 820 930 1000 1025
30 LS 1050 965 830 665 525 460 480 595 750 900 1020 1065
40 LS 1055 925 740 545 390 315 345 465 650 840 995 1080
50 LS 1035 865 640 415 250 180 205 325 525 760 975 1075
60 LS 1000 785 510 280 110 55 75 190 390 660 920 1060
70 LS 1000 695 375 130 10 0 0 55 250 550 885 1090
80 LS 1035 645 225 15 0 0 0 0 100 450 905 1140
90 LS 1055 660 135 0 0 0 0 0 15 440 920 1160
Sumber : Bambang Triadmodjo, 2010

27
28

Tabel 2.14 Nilai β Fungsi Temperatur

Temperatur
β = Δ/ɣ
(C°)

0 0,68
5 0,93
10 1,25
15 1,66
20 2,19
25 2,86
30 3,69
35 4,73
Sumber : Bambang Triadmodjo, 2010.
Tabel 2.15 Koefisien Refleksi (Albedo)

Albedo
Jenis Permukaan
(α)

Air Terbuka 0,05 - 0,15


Batuan 0,12 - 0,15
Pasir 0,10 - 0,20
Tanah Kering 0,14
Tanah Basah 0,08 - 0,09
Hutan 0,05 - 0,20
Rumput 0,10 - 0,33
Rumput Kering 0,15 - 0,25
Salju 0,90
Es 0,40 - 0,50
Tanaman 0,20
Sumber : Bambang Triadmodjo, 2010.

2.8 Analisa Ketersediaan Air


2.8.1 Debit Andalan
Yakni suatu debit air yang diharapkan dapat mencukupi kebutuhan air
dalam satu tahun, dengan resiko kegagalan yang telah diperhitungkan. Umumnya
debit andalan ditetapkan sebesar 80%, maka resiko kurangnya debit sebesar 20%.
Sehingga debit pengambilan akan lebih kecil dari debit perhitungan (Nugroho
Hadisusanto, 2011). Dalam perencanaan penyediaan air seperti embung, terlebih
dahulu perlu dicari debit andalan. Terdapat beberapa metode dalam penentuan
debit andalan, salah satunya adalah metode NRECA.
Metode NRECA dikembangkan oleh Norman H. Crawford pada tahun
1985. Struktur model NRECA membagi aliran menjadi dua, yaitu aliran langsung
dan aliran dasar. Pada tampungan juga dibagi menjadi dua, yaitu tampungan
kelengasan dan tampungan air tanah (Nugroho Hadisusano, 2011).

Gambar 2.2 Skema Simulasi Debit Metode NRECA


Langkah Perhitungan metode NRECA mencakup 20 tahapan, dinyatakan
dalam bentuk tabel dan perhitungannya dilakukan pada kolom per kolom yaitu
mulai kolom (1) sampai kolom (20) sebagai berikut (Standar Perencanaan Irigasi
KP-01, 2010) :
(1). Nama bulan Januari sampai Desember
(2). Periode 10 harian dalam sebulan
(3). Hujan rerata 10 harian (Rb) (mm)
(4). Evapotranspirasi potensial (PET) (mm)
(5). Tampungan kelengasan awal (Wo). Dalam penentuan nilai awal dilakukan
dengan cara coba – coba, kemudian di cek apakah nilai pada bulan Januari
mendekati nilai pada bulan Desember. apabila terjadi selisih > 200 mm,
maka perlu dicoba lagi. Untuk percobaan awal biasanya diambil 600
(mm/bln) di bulan Januari.
(6). Rasio tampungan tanah (Wi). Dihitung dengan rumus :
𝑊𝑜
Wi
𝑁𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑙
=
Nominal = 100 + 0,2 Ra
Ra = hujan tahunan (mm)
(7). Rasio Rb/ PET = kolom (3)/ kolom (4)
(8). Rasio AET/ PET
AET = Evapotranspirasi actual yang diperoleh dari gambar 2.4. Nilainya
tergantung dari nilai Rb/ PET kolom (7) dan nilai Wi kolom (6)

Sumber : Standar Perencanaan Irigasi KP-01, 2010.


Gambar 2.3 Grafik perbandingan AET/PET
(9). AET = (AET/ PET) x PET x koefisien reduksi
= kolom (8) x kolom (4) x koefisien reduksi
Koefisien reduksi diperoleh dari fungsi kemiringan lahan, seperti dalam
tabel berikut :
Tabel 2.16 Koefisien reduksi penguapan peluh
Kemiringan (m/ km) Koefisien reduksi
0 – 50 0,9
51 – 100 0,8
101 – 200 0,6
> 200 0,4
Sumber : Standar Perencanaan Irigasi KP-01, 2010
(10). Neraca air = Rb – AET
= kolom (3) – kolom (9)
(11). Rasio kelebihan kelengasan dapat diperoleh dari :
a. Bila neraca air positif (+), maka nilai rasio diambil gambar 2.5. dengan
memasukkan nilai (Wi)

Sumber : Standar Perencanaan Irirgasi KP-01, 2010


Gambar 2.4 Ratio Tampungan Kelengasan Tanah
b. Bila neraca air negative (-), maka nilai rasio adalah 0
(12). Kelebihan kelengasan = rasio kelebihan kelengasan x neraca air
= kolom (11) x kolom (10)
(13). Perubahan tampungan = neraca air – kelebihan kelengasan
= kolom (10) – kolom (12)
(14). Tampungan air tanah = PSUB x kelebihan kelengasan
= PSUB x kolom (12)
PSUB : parameter karakteristik tanah permukaan (kedalaman 0 – 2 m)
 PSUB = 0,3 jika bersifat kedap air
 PSUB = 0,9 jika bersifat lulus air
(15). Tamp. air tanah awal, dengan cara coba – coba nilai awal = 2
(16). Tamp. air tanah akhir = tamp. air tanah + tamp. air tanah awal
= kolom (14) + kolom (15)
(17). Aliran air tanah = GWF x tamp. air tanah akhir
= GWF x kolom (16)
GWF : parameter karakteristik tanah permukaan (kedalaman 2 – 10 m)
 GWF = 0,8 jika bersifat kedap air
 GWF = 0,2 jika bersifat lulus air
(18). Aliran langsung = kelebihan kelengasan – tamp. air tanah
= kolom (12) – kolom (14)
(19). Aliran total = aliran langsung + aliran air tanah
= kolom (18) + kolom (17), dalam satuan (mm)
(20). Aliran total kolom (19) (mm) diubah menjadi satuan (m3/ dt) = (kolom
(19) (mm)/ 1000 x Luas tadah hujan (m2))/ (jumlah hari x 24 x 3600)
Kemudian dilanjutkan mencari nilai tampungan kelengasan awal (kolom
5) dan tampungan air tanah awal (kolom 15) pada bulan berikutnya.
 Perhitungan nilai tamp. Kelengasan awal (kolom 5) bulan berikutnya =
tamp. Kelengasan awal (kolom 5) + perubahan tamp. (kolom 13).
Keduanya dari nilai bulan sebelumnya.
 Perhitungan nilai tamp. air tanah awal (kolom 15) bulan berikutnya
= tamp. Air tanah akhir (kolom 16) + aliran air tanah (kolom 17).
Keduanya dari nilai bulan sebelumnya.
2.8.2 Lengkung Kapasitas Waduk
Kapasitas total tampungan waduk dapat dihitung menggunakan rumus
yang biasa dipakai untuk menghitung volume benda padat, apabila penampang
dasar waduk diasumsikan bentuknya beraturan (Ray K. Linsley, 1989).
Maka dalam penentuan kapasitas total tampungan embung dapat
digunakan metode lengkug kapasitas waduk. Dengan menggunakan data topografi
dapat dihitung besaran luas dari tiap-tiap garis kontur yang mengapit kedudukan
embung. Hasil kumulatif dari lengkung luas dan elevasi tersebut, merupakan
lengkung kapasitas waduk/ embung. Persamaan yang digunakan dapat dilihat
sebagaiman berikut (Soedibyo, 1993) :

Vn = 1/3 . Z . ( Fy + Fx + √𝐹𝑦 + 𝐹𝑥 ).....................................................(2.52)


Vt = Σ Vn.....................................................................................................(2.53)
Dimana :
Vn = Volume disetiap elevasi ketinggian (m3)
Vt = Volume total (m3)
Fy = Luas genangan pada elevasi y (m 2)
Fx = Luas genangan pada elevasi x (m2) Z
= beda tinggi antar kontur (m)
Setelah luas dan volume masing – masing telah diketahui. maka dilanjutkan
dengan membuat grafik hubungan antara elevasi, luas, dan volume waduk/
embung.

Sumber : Soedibyo, 1993


Gambar 2.5 Grafik lengkung kapasitas waduk

2.9 Analisa Kebutuhan Air


Air yang tertampung dalam embung akan dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan air baku dan kebutuhan untuk irigasi.
2.9.1 Kebutuhan Air Baku
Penentuan besar kebutuhan air baku erat hubungannya dengan jumlah
penduduk yang akan dilayani sesuai dengan umur rencana embung. Dengan
demikian, dalam perencanaan debit kebutuhan air baku, sangat dipengaruhi oleh
faktor pertumbuhan penduduk. Untuk menentukan jumlah penduduk yang akan
datang, perlu adanya perkiraan pertumbuhan jumlah penduduk.
Dalam menentukan pertumbuhan jumlah penduduk, salah satu caranya
dengan menggunakan metode geometric seperti yang dikenalkan oleh Adioetama
dan Samosir (2010) (BPS Jakarta, 2010). Persamaannya adalah :
P n= P ( 1 + r )n.......................................................................................... (2.54)
0

Dimana :
Pn = jumlah penduduk pada tahun ke n
P0 = jumlah penduduk pada awal tahun data
r = laju pertumbuhan penduduk, %
n = periode tahun yang ditinjau
Penentuan jumlah kebutuhan air baku, mengacu pada kriteria kebutuhan
air baku yang dikeluarkan oleh Puslitbang Pengairan Departemen Pekerjaan
Umum (Bambang Triatmodjo, 2010). Kriteria kebutuhan air baku menurut
Puslitbang Pengairan Departemen Pekerjaan Umum, terbagi menjadi 2 macam
yaitu :
1. Kriteria kebutuhan air domestik
Kriteria kebutuhan air yang digunakan pada tempat – tempat hunian
pribadi untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari seperti minum, memasak,
mencuci, dan kebutuhan rumah tangga lainnya.
2. Kriteria kebutuhan air non domestic
Kriteria kebutuhan air yang dimanfaatkan untuk diluar kebutuhan rumah
tangga atau digunakan pada tempat – tempat umum.
Tabel 2.17 Kriteria Perencanaan Kebutuhan Air Bersih
KATEGORI KOTA BERDASARKAN JUMLAH PENDUDUK
(jiwa)
500.000 100.000 20.000
NO URAIAN SATUAN > 1.000.000 s/d s/d s/d > 20.000
1.000.000 500.000 100.000
Kota
Kota Besar Kota Sedang Kota Kecil Desa
Metropolitan
1 Konsumsi Unit Sambungan Rumah Tangga (SR) l/jiwa/hr > 150 120 - 150 90 - 120 80 - 120 60 - 80
2 Konsumsi Unit Hidran Umum (HU) l/jiwa/hr 20 - 40 20 - 40 20 - 40 20 - 40 20 - 40
3 Konsumsi Unit Non Domestik % 35 - 40 30 - 35 25 - 30 20 - 25 10 -20
4 Kehilangan Air % 20 - 30 20 - 30 20 - 30 20 - 30 20 - 30
5 Faktor Hari Maksimum *harian 1,15 - 1,25 1,15 - 1,25 1,15 - 1,25 1,15 - 1,25 1,15 - 1,25
6 Faktor Jam Puncak *harian 1,75 - 2,00 1,75 - 2,00 1,75 - 2,00 1,75 1,75
7 Jumlah Jiwa Per SR jiwa 5 5 5 5 5
8 Jumlah Jiwa Per HU jiwa 100 100 100 100 - 200 200
9 Sisa Tekan Di Penyediaan Distribusi m 10 10 10 10 10
10 Jam Operasi jam 24 24 24 24 24
11 Volume Reservoir (% Kebutuhan Jam Puncak) % 15 - 25 15 - 25 15 - 25 15 - 25 15 - 25
12 SR : HU % 80 : 20 80 : 20 80 : 20 70 : 30 70 : 30
Sumber : Kriteria Perencanaan Ditjen Cipta Karya Dinas PU, 1996

35
36

2.9.2 Kebutuhan Air Irigasi


Dalam menentukan debit kebutuhan air irigasi, terdapat beberapa factor
yang mempengaruhi besar kecilnya debit kebutuhan air rigasi tersebut.
Diantaranya sebagaimana berikut :
1. Pola tata tanam
Suatu pola penanaman dari beberapa macam tumbuhan dalam kurun waktu
satu tahun, yang merupakan kombinasi urutan tumbuhan. Manfaatnya adalah
untuk mengoptimalkan pemanfaatan air, dan menambah intensitas luas tanam.
Pola tata tanam sebaiknya disesuaikan dengan kuantitas ketersediaan air yang ada.
Tabel 2.18 Macam – Macam Pola Tanam

KETERSEDIAAN AIR UNTUK POLA TATA TANAM DALAM


NO
JARINGAN IRIGASI SATU TAHUN

1 Tersedia air cukup banyak Padi - Padi - Palawija

Tersedia air dalam jumlah Padi - Padi - Bera


2
cukup Padi - Palawija - Palawija
Daerah yang cenderung Padi - Palawija - Bera
3
kekurangan air Palawija - Padi - Bera

Sumber : Shidarta, 1997.


2. Koefisien tanaman (kc)
Setiap tanaman memiliki nilai koefisien tanamannya masing – masing.
Yang mempengaruhi perbedaan nilai koefisien tanaman adalah jenis tanaman dan
fase pertumbuhan tanaman tersebut. Nilai koefisien tanaman baik padi ataupun
palawija ditampilkan pada tabel berikut :
Tabel 2.19 Koefisien Tanaman Padi

Sumber : Standar Perencanaan Irigasi KP – 01, 2002.


Tabel 2.20 Koefisien Tanaman Palawija

Sumber : Standar Perencanaan Irigasi KP – 01, 2002.


3. Evapotranspirasi (ETo)
Evapotranspirasi adalah kejadian lenyapnya air pada jaringan tanaman dan
permukaan tanah yang menjadi media tumbuh tanaman.
4. Penggunaan konsumtif (ETc)
Penggunaan konsumtif dapat dihitung dengan persamaan berikut :
ETc = Kc . ETo...............................................................................................(2.55)
Dimana :
Etc = evatranspirasi tanaman, mm/hr
ETo = evaporanspirasi tanaman acuan, mm/hr
Kc = koefisien tanaman
5. Penggantian lapisan air (WLR)
Umumnya dikerjakan setelah pemupukan. Dengan penggantian air masing
– masing sekitar 50 mm yang dilakukan sebanyak dua kali, atau sekitar 3,3 mm/hr
selama ½ bulan selama sebulan, dan dua bulan setelah transplantasi (Standar
Perencanaan Irigasi KP-01, 2010).
6. Perkolasi
Yakni proses mengalirnya air ke dalam tanah searah vertikal ke bawah,
dari lapisan tak jenuh. Nilai perkolasi erat hubungannya dengan sifat – sifat tanah.
Laju perkolasi normal pada tanah lempung berkisar 1 – 3 mm/hr. sedangkan pada
daerah dengan kemiringan >5 %, laju perkolasi berkisar 5 mm/hr (Standar
Perencanaan Irigasi KP-01, 2010).
7. Kebutuhan air selama penyiapan lahan (IR)
Van De Goor dan Zijtra (1968) telah mengembangkan suatu metode yang
diaplikasikan dalam menentukan air penyiapan lahan (Standar Perencanaan Irigasi
KP-01, 2010). Persamaanya sebagai berikut :
𝑀 . 𝑒𝑘
IR = (2.56)
𝑒 𝑘 − 1............................
Dimana :
IR = kebutuhan air irigasi di tingkat persawahan (mm/hr)
M = 1,1 ETo + P..........................................................................................(2.57)
ETo = evapotranspirasi (mm/hr)
P = perkolasi (mm/hr)
e = bilangan eksponensial
𝑀 .𝑇
k =..............................................................................................................(2.58)
𝑆
T = jangka waktu penyiapan lahan, (hr)
S = kebutuhan air untuk penjenuhan + lapisan air.
= 250 mm + 50 mm
8. Curah hujan efektif (Re)
Dalam perencanaan irigasi, curah hujan efektif bulanan umumnya dipakai
sebesar 70 % dari curah hujan minimum tengah – bulanan dengan periode 5 tahun
(Standar Perencanaan Irigasi KP-01, 2010). Persamaannya sebagai berikut :
1
Re = 0,7 . 𝑅5 ......................................................................................... (2.59)
15
Dimana :
Re = curah hujan efektif (mm/hr)
R5 = curah minimum tengah bulanan dengan periode 5 th/ mm
9. Unit kebutuhan air
Unit kebutuhan air dapat dihitung dengan persamaan berikut :
NFR = ETc + P + WLR – Re..........................................................................(2.60)
Dimana :
NFR = unit kebutuhan air (mm/hr)
ETc = penggunaan konsumtif (mm/hr)
P = perkolasi (mm/hr)
WLR = penggantian lapisan air
(mm/hr) Re = curah hujan efektif
(mm/hr)
Sedangkan untuk menghitung unit kebutuhan air penyiapan lahan padi
digunakan persamaan berikut :
NFR = IR – Re.................................................................................................(2.61)
Dimana :
NFR = unit kebutuhan air penyiapan lahan (mm/hr)
IR = kebutuhan air penyiapan lahan (mm/hr)
Re = curah hujan efektif (mm/hr)
Kemudian untuk menghitung kebutuhan air pengambilan digunakan
persamaan berikut :
DR = NFR/ 8,64.............................................................................................(2.62)
Dimana :
DR = kebutuhan air pengambilan (l/ dt/ Ha)
NFR = unit kebutuhan air irigasi (mm/hr)
10. Kebutuhan Air Irigasi
Berikut rumus yang digunakan untuk menentukan kebutuhan air irigasi :
(𝐸𝑡𝑐 +𝐼𝑅+𝑊𝐿𝑅+𝑃−𝑅𝑒)
KAI = . A..............................................................(2.63)
𝐼𝐸
Dimana :
KAI = kebutuhan air irigasi (l/ dt)
Etc = kebutuhan air konsumtif (mm/hr)
IR = kebutuhan air irigasi ditingkat persawahan (mm/hr)
WLR = kebutuhan air untuk pengganti lapisan air (mm/hr)
P = perkolasi (mm/hr)
Re = hujan efektif (mm/hr)
IE = efisiensi irigasi (%); ep = 90%; es = 90%; et = 80%
A = Luas areal irigasi (Ha)
2.10 Penelusuran Banjir Lewat Waduk
Pembangunan embung salah satu manfaatnya adalah untuk pengendalian
banjir suatu sungai. Hal ini disebabkan air banjir ditampung dalam embung,
dengan volume yang relative besar. Sehingga air yang keluar dari embung
debitnya sudah relatif kecil. Saat kondisi banjir, elevasi permukaan air yang
tertampung pada embung akan meningkat, hingga mencapai tinggi ambang mercu
dari bangunan pelimpah.
Elevasi maksimal permukaan air embung ini dapat diketahui, dengan
metode penelusuran banjir. Setelah diketahui elevasi maksimal permukaan air,
maka dapat ditentukan elevasi embung optimum yang aman terhadap resiko
banjir. Dalam penelusuran banjir lewat waduk digunakan persamaan sebagai
berikut :
𝑂1 + 𝑂2 𝑆1 + 𝑆2
𝐼1 + − = ................................................................. (2.64)
𝐼2
2 2 ∆𝑡
Dimana :
I1, I2 = aliran masuk pada waktu ke 1 dan ke 2
O1, O2 = aliran keluar pada waktu ke 1 dan ke 2
S1, S2 = tampungan pada waktu ke 1 dan ke 2
Δt = interval waktu
Namun pada penelusuran banjir lewat waduk, fungsi tampungan (S) hanya
berupa aliran keluar. Maka persamaan untuk tampungan (S) sebagai berikut :
S1 = K . O1.....................................................................................................................................................(2.65)
S2 = K . O2.....................................................................................................................................................(2.66)
Dengan mensubstitusikan persamaan tampungan (S) pada persamaan
sebelumnya, maka didapat persamaan sebagai berikut :
O2 = C0I2 + C1I1 + C2O1.......................................................................................................................(2.67)
𝛥𝑡/𝐾
C0 = 𝛥𝑡 ............................................................................................... (2.68)
2 +(
) 𝐾

C1 = C0..............................................................................................................................................................(2.69)
2 − ∆𝑡/𝐾
C2 = ∆𝑡 .............................................................................................. (2.70)
2 +(
) 𝐾

C0 + C1 + C2 = 1................................................................................................(2.71)
Dimana :
I = aliran masuk (inflow), m3/dt.
O = aliran keluar (outflow), m3/dt.
C = konstanta
Δt = interval waktu, jam.
K = perkiraan perjalanan air, jam.
(Bambang Triadmodjo, 2010)

2.11 Simulasi Tampungan Embung


Pengoptimalan ketersediaan air merupakan landasan utama dari analisis
kapasitas tampungan efektif embung. Salah satu metode yang sering digunakan
dalam menetukan kapasitas tampungan efektif embung adalah dengan metode
simulasi atau analisis perilaku kapasitas tampungan (Mc Mahon, 1978). Dengan
menghubungkan antara besarnya tampungan awal embung, debit masuk (inflow),
kebutuhan air (outflow), serta kehilangan air (evaporasi dan rembesan).
Persamaan umum untuk kapasitas tampungan efektif sebagai berikut :
St + 1 = St + It – Ot – Et - Lt, (0  St-1  C)......................................................(2.72)
Dimana :
C = kapasitas tampungan efektif
St + 1 = kapasitas tampungan pada akhir periode waktu – t
St = kapasitas tampungan pada awal periode waktu t – 1
It = debit masuk (inflow) pada waktu ke – t
Ot = debit kebutuhan pada periode waktu ke – t
Et = penguapan yang terjadi pada tampungan pada periode waktu ke – t
Lt = kehilangan air lain pada periode waktu ke – t
 Kapasitas Mati Embung
Kapasitas mati embung (ruang sedimen) diperkirakan sebesar 0,005 – 0,1
dari volume efektif embung (Ibnu Kasiro, dkk, 1997).
 Resapan
Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan Puslitbang Pengairan
(1993), maka besar resapan air pada kolam embung dapat ditentukan dengan
persamaan berikut (Ibnu Kasiro, dkk, 1997) :
Vi = K . Vu...................................................................................................(2.73)
Dimana :
Vi = Jumlah resapan tahunan, m3.
Vu = Jumlah kebutuhan air, m3.
K = faktor sifat lulus air pada material dasar dan dinding kolam.
-K = 10 %, material dasar dan dinding kolam rapat air (k < 10-5 cm/dt).
-K = 25 %, material dasar dan dinding kolam semi lulus air
(k = 10-3 ~ 10-4 cm/dt).

2.12 Desain Tubuh Embung


1. Lebar Puncak
Untuk bendungan kecil (embung) lebar puncak direncanakan berdasarkan
pada tabel berikut :
Tabel 2.21 Lebar Puncak Embung
Tinggi Lebar Puncak
Type
(m) (m)
< 5.00 2.00
Urugan
5.00 - 10.00 3.00
Pasangan batu/ beton sampai maksimal 7.00 1.00
Sumber : Ibnu Kasiro, dkk, 1997.
Namun jika pada lebar puncak embung akan dimanfaatkan sebagai prasarana
transportasi umum, maka pada badan jalan diberi bahu jalan dengan lebar masing
– masing 1 meter tiap sisi.
2. Kemiringan Lereng
Merupakan perbandingan antara panjang garis vertical yang melalui
puncak embung dengan panjang garis horizontal yang melalui tumit embung.
Adapun kemiringan lereng yang dianjurkan sebagai berikut :
Tabel 2.22 Kemiringan Lereng

Kemiringan Lereng
Material Urugan Material Utama vertikal : horizontal

Hulu Hilir
CH
CL
SC
1. Urugan homogen 1:3 1 : 2,25
GC
GM
SM
2. Urugan Majemuk
a. Urugan batu dengan inti lempung Pecahan batu 1 : 1,50 1 : 1,25
b. Kerikil - kerakal dengan inti lempung Kerikil - kerakal 1 : 2,50 1 : 1,75
Sumber : Ibnu Kasiro, dkk, 1997.
3. Tinggi Jagaan
Merupakan jarak vertical antara elevasi puncak bendungan dengan elevasi
muka air saat keadaan banjir. Maksud dan tujuan dari tinggi jagaan sendiri, yaitu
sebagai komponen penunjang keamanan pada bendungan dari luapan air banjir.
Besar tinggi jagaan bergantung dari type tubuh bendungan, seperti dalam tabel
berikut :
Tabel 2.23 Tinggi Jagaan Embung

Tinggi Jagaan Sketsa


Tipe tubuh Embung
(m) Penjelasan

Urugan homogen dan majemuk 0,50


Pasangan Batu/ Beton 0,00
Komposit 0,50
Sumber : Ibnu Kasiro, dkk, 1997.
4. Tinggi Puncak Embung
Ditentukan dengan pertimbangan kebutuhan tampungan air serta
keamanan embung tehadap resiko banjir. Maka tinggi dari tubuh bendungan sama
dengan tinggi muka air penuh ditambah tinggi muka air banjir dan ditambah
tinggi jagaan (Ibnu Kasiro, dkk, 1997). Rumus yang digunakan sebagai berikut :
Hd = Hk + Hb + Hf.......................................................................................(2.74)
Dimana :
Hd = tinggi tubuh bendungan (embung), m.
Hk = tinggi muka air dalam keadaan penuh, m.
Hb = tinggi tampungan banjir, m.
Hf = tinggi jagaan

2.13 Desain Bangunan Pelimpah


Bangunan pelimpah merupakan bangunan air dengan instalasi untuk
mengalirkan air yang berlebih akibat banjir dari embung, agar tidak
membahayakan keamanan tubuh embung. Apabila terjadi kecepatan aliran yang
besar, hal ini dapat mengakibatkan terjadinya olakan yang akan mengganggu
jalannya air untuk masuk ke bangunan pelimpah.
1. Mercu Pelimpah
Bangunan pelimpah direncanakan menggunakan type Ogee, dengan
persamaan lengkung pelimpah bagian downstreanya sebagai berikut :
𝑌 1 𝑋
= . ( )n..................................................................................(2.75)
𝐻𝑜 𝐾 𝐻𝑜
Dimana X dan Y merupakan titik koordinat permukaan hilir dan Ho adalah tinggi
energi rencana mercu. Harga K dan n disajikan dalam Tabel dibawah ini :
Tabel 2.24 Harga K dan n Mercu Type Ogee
Kemiringan permukaan hilir K n
Vertical 2 1,85
3:1 1,936 1,836
3:2 1,939 1,81
1:1 1,873 1,776
Sumber : Standar Perencanaan Irigasi KP-02, 2010.
Sumber : Standar Perencanaan Irigasi KP-02, 2010.
Gambar 2.6 Bentuk Mercu Pelimpah Tipe Ogee
2. Saluran Pengarah
Bagian ini sebagai pengarah aliran agar senantiasa dalam keadaan
hidrolika yang baik. Kecepatan aliran air yang masuk pengarah dianjurkan tidak
lebih dari 4 m/dt, agar tidak menambah beban hidrodinamis pada bangunan
pelimpah. Serta kedalaman dasar dianjurkan 1/5 x tinggi rencana limpasan di atas
mercu ambang pelimpah.

Sumber : Suyono dan Kensaku , 2016


Gambar 2.7 Saluran Pengarah Aliran
3. Saluran Pengatur
Bagian ini sebagai pengatur aliran debit yang melintas pada bangunan
pelimpah. Dalam perencanaan ini, saluran pengatur dipilih tipe ambang bebas
dengan penampang persegi. Persamaan yang digunakan sebagai berikut :
Beff = B – 2(n . kp + ka) . H1.........................................................................(2.76)
2 2
√Q = Cd . . . 𝑔 . Beff . H13/2.............................................................(2.77)
3 3

Cd = C0 . C1 . C2..........................................................................................................................................(2.78)
Dimana :
Q = debit (m3/dt)
Cd = koefisien debit efektif
C0 = konstanta 1,30
C1 = fungsi P/Hd dan H1/Hd
C2 = faktor koreksi permukaan hulu
g = percepatan gravitasi (9,81 m/dt2)
Beff = lebar efektif mercu (m)
B = Lebar pelimpah rencana (m)
n = jumlah pilar
kp = koefisien kontraksi pilar
ka = koefisien kontraksi pangkal bendung
H1 = tinggi energi (m)
(Sumber : Standar Perencanaan Irigasi KP-02, 2010)
Sumber : Standar Perencanaan Irigasi KP-02, 2010
Gambar 2.8 Grafik Koefisien C1

Sumber : Standar Perencanaan Irigasi KP-02, 2010


Gambar 2.9 Grafik Koefisien C2

Sumber : Standar Perencanaan Irigasi KP-02, 2010


Gambar 2.10 Harga – Harga Koefisien Kp Dan Ka
4. Tinggi Jagaan
Persamaan yang digunakan untuk menetukan tinggi jagaan pada bangunan
pelimpah adalah sebagai berikut :
Fb = 0,6 + 0,037 . V . d1/3............................................................................. (2.79)
Dimana :
Fb = tinggi jagaan (m)
V = kecepatan aliran (m/dt)
d = kedalaman air di dalam saluran (m)
(Suyono Sosrodarsono dan Kensaku Takeda, 2016)
5. Bangunan Peredam Energi
Berfungsi untuk menekan ataupun menghilangkan energi pada aliran air
yang meluncur dari bangunan pelimpah dan masuk ke dalam aliran sungai.
Sehingga mengurangi resiko terjadinya kerusakan pada tebing, jembatan, jalan,
dan lain sebagainya. Pada peredam energi kolam olakan, terdapat 4 macam type
sebagaimana berikut (Suyono Sosrodarsono dan Kensaku Takeda, 2016) :
a. Kolam Olakan Datar Type I
Peredam energi jenis ini cocok untuk type debit aliran yang relative kecil
dengan bilangan Froude < 1,7. Bentuknya berupa kolam olakan dengan dasar
datar, peredaman energi terjadi saat aliran yang meluncur dari bangunan pelimpah
berbenturan secara langsung dengan dasar bangunan peredam energi yang datar.

Sumber : Suyono dan Kensaku, 2016


Gambar 2.11 Kolam Olakan Datar Type I
b. Kolam Olakan Datar Type II
Peredam energi jenis ini cocok untuk type debit aliran yang besar, dengan
kriteria Q > 45 m3/dt/m, tekanan hydrostatis yang besar juga > 60 m, serta
bilangan froude > 4,5.

Sumber : Suyono dan Kensaku, 2016


Gambar 2.12 Kolam Olakan Datar Type II
c. Kolam Olakan Datar Type III
Peredam energi jenis ini mirip dengan kolam olakan type II, hanya saja
lebih cocok untuk type debit aliran yang agak kecil dengan kriteria Q < 18,5
m3/dt/m, tekanan hidrostatis rendah, kecepatan V < 18 m/dt, serta bilangan Froude
> 4,5.

Sumber : Suyono dan Kensaku, 2016


Gambar 2.13 Kolam Olakan Datar Type III
d. Kolam Olakan Datar Type IV
Peredam energi type ini cocok untuk mengalirkan debit besar per unit
lebar, dengan tekanan hidrostatis yang lebih rendah, yakni aliran dengan keadaan
super kritis yang bilangan Froudenya berada diantara 2,5 sampai 4,5.

Sumber : Suyono dan Kensaku, 2016


Gambar 2.14 Kolam Olakan Datar Type IV
Dalam penentuan type kolam olakan, dasar pemilihannya dengan
menggunakan bilangan Froude, yang ditentukan dengan persamaan berikut :
𝑉1
Fr = .............................................................................................. (2.80)
√𝑔 . 𝐷1

Dimana :
Fr = bilangan Froude
V1 = kecepatan aliran pada penampang, m/dt
D1 = kedalaman air dibagian hulu kolam olak, m
G = percepatan gravitasi, 9,81 m/dt2
Sedangkan untuk menentukan Panjang kolam olakan digunakan persamaan
sebagai berikut :
Lj = 5 . (n + Y2)...........................................................................................(2.81)
Dimana :
Lj = Panjang kolam, m
n = tinggi ambang ujung, m
Y2 = kedalaman air diatas ambang, m
Gambar 2.15 Grafik Hubungan Fr dan Y2/Yu

2.14 Kontrol Stabilitas


a. Muatan Gaya Yang Diperhitungkan
1. Tekanan Air Tanah
Suatu tekanan yang terjadi akibat air di bawah tubuh sub weir sepanjang
pondasi, sehingga menyebabkan tubuh bangunan terangkat. Untuk menentukan
besar gaya angkat yang terjadi, digunakan metode LANE dengan persamaan
sebagai berikut :
𝐿𝑥
Px = Hx – . ΔH........................................................................................(2.82)
𝐿
Dimana :
Px = gaya angkat pada titik x (kg/m2)
Hx = tinggi energi dihulu sub weir (m)
Lx = jarak sepanjang bidang kontak dari hulu sampai x (m)
L = Panjang total bidang kontak sub weir dan tanah bawah (m)
ΔH = beda tinggi energi (m)
(Standar Perencanaan Irigasi KP-06, 2002)
2. Berat Sendiri Bangunan
Besar berat sendiri suatu bangunan dipengaruhi oleh bahan yang digunakan
untuk membuat bangunan tersebut, dan persamaannya sebagai berikut :
W = A . ɣ . B................................................................................................(2.83)
Dimana :
W = gaya vertikal akibat berat sendiri bangunan (ton)
A = luas bidang bangunan yang ditinjau (m2)
ɣ = berat jenis bahan (t/m3)
B = lebar persatuan (m)
Tabel 2.25 Harga Berat Jenis Bahan Bangunan

Sumber : Standar Perencanaan Irigasi KP-06, 2010.


3. Tekanan Tanah
Terdapat dua jenis tekanan tanah, yaitu tekanan tanah aktif dan tekanan
tanah pasif. Berikut persamaan yang digunakan menentukan tekanan tanah yang
terjadi pada suatu bangunan :
1 − 𝑠𝑖𝑛∅
Ka = ............................................................................................. (2.84)
1 + 𝑠𝑖𝑛∅
1 + 𝑠𝑖𝑛∅
Kp = ............................................................................................. (2.85)
1 − 𝑠𝑖𝑛∅
Pa = 0,5 . ɣsat . h2 . Ka..................................................................................(2.86)
Pp = 0,5 . ɣsat . h2 . Kp..................................................................................(2.87)
Dimana :
Ka = koefisien tanah aktif
Kp = koefisien tanah pasif
Ø = sudut gesekan (°)
h = tinggi bidang (m)
ɣsat = berat jenis tanah (t/m3)
(Sunggono, 1982)
4. Tekanan Air Dan Lumpur
Tekanan air terjadi pada kedalaman dibawah permukaan air, persamaan
yang digunakan sebagai berikut :
Pw = A. ɣair . B.............................................................................................(2.88)
Dimana :
Pw = tekanan air (ton)
A = luas bidang tekanan air (m2)
ɣair = berat jenis air (1,000 t/m3) B
= lebar per satuan (m)
Sedangkan tekanan lumpur terjadi pada muka hulu bendung, dengan
persamaan sebagaimana berikut :
Ps = A. ɣs . Ka . B........................................................................................(2.89)
Dimana :
Ps = tekanan lumpur (ton)
A = luas bidang tekanan lumpur (m2)
ɣs = berat jenis lumpur (t/m3)
Ka = koefisien tanah aktif
B = lebar per satuan (m)
5. Beban Gempa
Besar beban gempa didapat dari hasil pengalian berat sendiri bangunan
dengan faktor gempa (E). untuk menetukan nilai faktor gempa digunakan
persamaan berikut :
𝑎𝑑
E =..............................................................................................................(2.90)
𝑔
ad = n . (ac . z)m............................................................................................(2.91)
Dimana :
E = faktor gempa
ad = percepatan gempa rencana (m/dt2)
g = percepatan gravitasi (9,81 m/dt2)
n, m = koefisien untuk jenis tanah
ac = percepatan dasar gempa dengan kala ulang (cm/dt2)
z = koefisien daerah gempa, tergantung letak geografis
Tabel 2.26 Harga Koefisien Jenis Tanah
JENIS n m
Batu 2,76 0,71
Divilium 0,87 1,05
Aluvium 1,58 0,89
aluvium lumak 0,29 1,32
Sumber : Standar Perencanaan Irigasi KP-06, 2002.
Tabel 2.27 Periode Ulang Percepatan Dasar Gempa

PERIODE ac
ULANG (th) (cm/dt2)

20 85
100 160
500 225
1000 275
Sumber : Standar Perencanaan Irigasi KP-06, 2002.
Tabel 2.28 Koefisien Zona Gempa

Sumber : Standar Perencanaan Irigasi KP-06, 2002.


b. Stabilitas Terhadap Rembesan
1
𝐿𝑣 + ∑3 𝐿ℎ.................................
CL = (2.92)
∆H
Dimana :
CL = angka rembesan
Lv = panjang rembesan arah vertikal (m)
Lh = panjang rembesan arah horizontal (m)
ΔH = perbedaan tinggi air hulu dan hilir (m)
(Standar Perencanaan Irigasi KP-06, 2002)
c. Stabilitas Terhadap Momen Guling
∑ 𝑀𝑡
> n...........................................................................................................(2.93)
∑ 𝑀𝑔

Dimana :
Mt = jumlah momen tahan (tm)
Mg = jumlah momen guling (tm)
n = factor keamanan (normal = 1,5 dan ekstrem = 1,25)
(Standar Perencanaan Irigasi KP-06, 2002)
d. Stabilitas Terhadap Momen Geser
∑ 𝑉) +(𝑐 . 𝐴)
S = (𝑓 . ∑𝐻 > n.........................................................................(2.94)
Dimana :
f = koefisien gesekan
ΣV = jumlah gaya vertical pada konstruksi
ΣH = jumlah gaya horizontal pada konstruksi
n = factor keamanan (normal = 2 dan ekstrem = 1,25)
(Standar Perencanaan Irigasi KP-06, 2002)
Tabel 2.29 Harga Koefisien Gesekan

Sumber : Standar Perencanaan Irigasi KP-06, 2002


e. Stabilitas Terhadap Daya Dukung Tanah
Untuk menentukan suatu daya dukung maksimum digunakan persamaan
sebagai berikut :

e = ∑
𝑀 𝐿| ....................................................................................... (2.95)
| − 2

𝑉
∑ 6𝑒
σmax 𝑉 (1 ± ) < σ........................................................(2.96)
= 𝐿
𝐿
Dimana :
σmax = daya dukung maksimum (t/m2)
ΣM = ΣMh – ΣMv (tm)
ΣV = jumlah gaya vertikal (t)
e = eksentrisitas (m)
σ = daya dukung yang diijinkan (t/m2)
(Standar Perencanaan Teknis Bangunan Embung, 2015)
Sedangkan untuk menetukan daya dukung tanah ijin, digunakan metode
Terzaghi dengan persamaan sebagai berikut :
(c .Nc) + (ɣ .Df .(Nq – 1)) + (0,5 .ɣ .B .Nɣ)
qa = + ɣ . Df..........................(2.97)
𝐹𝐾
Dimana :
qa = daya dukung ultimit (t/m2)
c = kohesi (t/m2)
Df = kedalaman pondasi (m) ɣ
= berat jenis tanah (t/m3) FK =
faktor keamanan (2 – 3) B =
lebar pondasi (m)
Nc, Nq, Nɣ = faktor daya dukung terzaghi
(Sunggono,1982)
Tabel 2.30 Harga Koefisien Daya Dukung Tanah Metode Terzaghi

Sumber : Standar Perencanaan Irigasi KP-06, 2002.

Anda mungkin juga menyukai