Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah khilafiah merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas
kehidupan manusia. di antara masalah khilafiah tersebut ada yarig
menyelesaikannya dengan cara yang sangat sederhana dan mudah, karena ada
saling pengertian berdasarkan akal sehat.
Akan tetapi dibalik itu, niasalah khilafiah menjadi ganjalan untuk menjalin
kehanhonisan di kalangan umat Islam karena sifat ta'asyubiyah (fanatik) yang
berlebihan, tidak berdasarkan pertimbangan akal yang sehat. Perbedaan pendapat
(masalah khilafiah dalam fiqh), dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian
(ijtihad), tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan
hukum islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang
banyak sebagaimana yang diharapkan Nabi saw .
 Dalam makalah kami yang berjudul aliran-aliran dalam hukum islam akan
membahas bagaimana sejarah sehingga muncul aliran-aliran dalam islam dan
dalam penetapan hukum mengapa para fuqaha’ berbeda pendapat tentang suatu
hukum, padahal agama islam itu bersumber pada wahyu (baik al-Quran maupun
al-Hadits), yang  jadi permasalahan adalah bagaimana cara menafsirkan al-Quran
tersebut sehingga memiliki perbadaan pendapat dalam menetapkan hukum. Inilah
indahnya islam meskipun satu sumber tapi memiliki banyak penafsiran yang
berbeda-beda. Untuk lebih jelasnya akan disinggung dalam makalah kami.

B. Rumusan Masalah          


1. Sejarah Timbulnya Mazhab Hukum
2. Beberapa Mazhab Hukum Islam Dan Ciri-Cirinya

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Timbulnya Mazhab Hukum


Sebelum ditinjau sejarah kemunculan mazhab-mazhab fiqh Islam, ada
baiknya jika kita tinjau terlebih dahulu maksud perkataan “Mazhab” dan “Imam”
itu sendiri.
Mazhab dari sudut bahasa bererti “jalan” atau “the way of”. Dalam Islam,
istilah mazhab secara umumnya digunakan untuk dua tujuan: dari sudut akidah
dan dari sudut fiqh.
Mazhab akidah ialah apa yang bersangkut-paut dengan soal keimanan,
tauhid, qadar dan qada’, hal ghaib, kerasulan dan sebagainya. Antara contoh
mazhab-mazhab akidah Islam ialah Mazhab Syi‘ah, Mazhab Khawarij, Mazhab
Mu’tazilah dan Mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah. Setiap dari pada kumpulan
mazhab akidah ini mempunyai mazhab-mazhab fiqhnya yang tersendiri. Mazhab
fiqh ialah apa yang berkaitan dengan soal hukum-hakam, halal-haram dan
sebagainya. Contoh Mazhab fiqh bagi Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah ialah Mazhab
Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab al-Syafi‘i dan Mazhab Hanbali.1
Mazhab fiqh pula, sebagaimana terang Huzaemah Tahido, bererti: Jalan
fikiran, fahaman dan pendapat yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam
menetapkan suatu hukum Islam dari sumber al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia juga
berarti sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat seorang alim besar yang bergelar
Imam dalam urusan agama, baik dalam masalah ibadah ataupun lainnya.2
Peristiwa politik yang  berorientasi kepada semangat umat islam dan
banyak berpengaruh bagi perkembangan fiqih adalah jatuhnya dinasti Umayyah
dan tampilnya dinasti Abbasiyyah dipanggung kekuasaan. Pada masa

1______________
Ensiklopidi Islam (ed: Hafidz Dasuki; PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994) –
‘Mazhab’.

2______________ Huzaemah Tahido – Penghantar Perbandingan Mazhab (Logos


Wacana Ilmu; Jakarta, 1997), hlm. 71-72.

2
kekhalifahan bani Umayyah, para penguasa tidak mau terlalu banyak ambil pusing
dan terlibat kedalam urusan keagamaan.
Berbeda dengan daulah Ummayyah, Dinasti Abbasiyyah terangkat ke atas
tahta  khalifah bulkan semata-mata karena revolusi politik, perpindahan dinasti
tersebut mengandung arti transpormasi yang mendalam dalam masalah agama dan
perubahan teokrasi. Para Ulama merasa terobati rasa jenuhnya terdapat tingkah
laku para kahlifah dinasti Ummayyah.3
            Masa daulah Abbasiyyah, agama bukan sekedar penting bagi Negara,
tetapi justru merupakan urusan utama dan pertama bagi Negara. Dengan keadaan
yang sedemikian itu, tidaklah mengherankan  jika para teolog dan ahli bidang
keagaaman tampil  berkerumun di istana dan pemerintahan, karena  hukum dan
administrasi peradilan harus disusun dan dibangun sesuai dengan pemerintahan
agama. Dengan demikian prefensi harus diberikan kepada ahli agama dan orang-
orang yang mempelajari dan mempraktikkan Sunnah. Dengan dinasti baru ini
tibalah saatnya perkembangan dan kesuburan hukum islam.
            Pada masa Abbasiyyah, lembaga-lembaga kenegaraan, administrasi
peradilan agama dengan segala macam transaksi, sampai kepada ketentuan-
ketentuan hukum sipil yang paling sederhana, harus memenuhi tuntutan-tuntutan
hukum agama. Abad ini merupakan abad fiqih, abad ahli-ahli yurisprudensi, dan
abad fuqaha. Qadhi merupakan tokoh yang terhormat yang penting dalam hal ini.
Dibawah kekhalifahan yang terorekrasi itu, studi tentang yurisprudensi
berkembang secara intensif dari pusat kekuasaan sampai daerah negeri yang
paling terpencil. Upaya dan usaha dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukum
tersebut didukung dengan moril dan materil, sehingga masyaraskat maju dengan
pesat.
            Pada masa Abasiyyah ini, dalil-dalil dan peraturan-peraturan baru
disimpulkan dari bahan-bahan yang diterima. Ada kalanya hasilnya
dipertentangkan oleh para ulama’ yang ada ketika itu. Pertentangan itu disebabkan
oleh beberapa hal, diantaranya:

3______________
Fahrurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, h. 106.

3
1. Perbedaan pendirian terhadap sumber-sumber hukum
Sumber-sumber hukum yang diperselisihkan itu adalah:
a. Hadits
Segi-segi yang diperselisihkan dalam hadits adalah sebagai berikut:
1) Tingkat origanilitas dan validitas sebuah hadits baik ditinjau dari
segi sanad, rawi dan matannya.
2) Tingkat orientasi dan kecenderungan ulama terhadap hadits sebagai
dasar hukum.
b. Perbedaan pendapat tentang sumber hukum selain al-Quran dan al-
Hadits, seperti Qiyas, Istihsan, Mashlahah Mursalah dan lain-lain.
2. Perbedaan pendirian tentang aturan-aturan bahasa dalam pemahaman
terhadap suatu Nash (Qur’an dan Hadits)
       Secara garis besar, pemahaman yang berbeda tentang sesuatu nash
dapat dibagi menjadi dua :
a. Pengertian kata-kata tunggal; kata-kata musytarak, suruhan dan
larangan, hakikat dan majas, serta mutlak dan muqayyad.
b. Susunan kata-kata; pengecualian dari kata-kata umum, mafhum
mukhallafah, fahwa al khitab, ‘umum al muqtadha, dan istisna.
3. Lokasi atau lingkungan tempat tinggal ahli hukum
       Perbedaan lokasi sangat berpengaruh bagi bentuk hukum yang
ditetapkan. Kebiasaan dan adat setempat telah lama berurat-berakar tidak bisa
diabaikan begitu saja. Dari perbedaan lokasi inilah dua kelompok yang
berbeda dalam penetapan hukum yaitu:
a. Ahl al-Ra’yi
            Aliran ini timbul karena sedikitnya hadits yang tersebar di wilayah
tempat fuqaha’ berada. Contohnya adalah irak. Sedikitnya jumlah hadist
itu, menyebabankan fuqaha’ di daerah tersebut memecahkan banyak
persoalan yang muncul ke permukaan dengan akal (ra’yu) mereka.
b. Ahl al-Hadits
            Pemegang aliran  ini berasal dari daerah yang banyak tersebar
hadits di daerah tesebut, seperti Madinah.

4
Namun perlu dicatat bahwa  ahl al-Ra’yi tidak meninggalkan teks
al-Quran atatu Hadits sama sekali, begitu sebaliknya, ahl al-Hadits tidak
berarti  sama sekali mengesampingkan akal.
4. Situasi dan kondisi
Termasuk di dalamnya adalah persoalan politik. Perbedaan pendapat di
kalangan muslim awal tentang masalah politik, seperti pengangkatan khalifah,
khalifah dari suku apa, ikut memberikan saham bagi munculnya berbagai
mazhab hukum dalam islam.
5. Pandangan dan metode
       Persyaratan pemerintahan hadits bagi ahl al-Sunnah salah satunya
adalah apabila perawinya adalah adil dan cermat (dhabit), sampai ke akhir
sanad sampai ada kelainan dan cacat, baik perawinya dari ahl al-Baiyt atau
bukan. Berbeda dengan mazhab ahl al-Sunnah. Mazhab syi’ah selalu
mengutamakan hadits yang diriwayatkan oleh ahl al-Baiyt.
       Gradasi antara kecenderungan-kecenderungan inilah yang menyebabkan
timbulnya aliran-aliran pemikiran yang berbeda-beda, terutama di dalam
detail-detail keputusan hukum tertentu. Aliran-aliran pemikiran itu kemudian
disebut dengan mazahib (tunggal; mazhab) yang berarti “arah”, “tata cara”,
“aliran pemikiran”.4

B. Beberapa Mazhab Hukum Islam Dan Ciri-Cirinya


            Dari mazhab-mazhab pemikiran hukum yang memiliki perbedaan-
perbedaan kecil di bidang ritus dan hukum. Beberapa di antaranya masih bertahan
hingga sekarang dan yang satu lebih menonjol dari yang lain di sebagian besar
dunia islam. Awal dominasi aliran hukum di suatu daerah sebagian besar
ditentukan oleh tokoh-tokohnya, murid-murid yang menyampaikan pandangan-
pandangan khusus aliran yang mereka anut, dan karena reputasinya.
            Beberapa mazhab fiqh tersebut dapat dikategorikan kepada tiga kelompok
besar, yaitu: kelompok ahl  al-sunnah, kelompok Syi’ah dan kelompok Khawarij.

4______________
Fahrurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, h. 108-110.

5
Mazhab-mazhab hukum ahl al-Sunnah banyak sekali, di antaranya telah leyap.
Mazhab-mazhab tersebut antara lain adalah mazhab Sufyan bin Uyainah di
Makkah, mazhab Malik bin Anas di Madinah, mazhab al-Hasan al-Bashri di
Bashrah, mazhab Abu Hanifah dan Sufyan al-Tsauri di Kuffah, mazhab al- Auza’i
di Syam, mazhab al-Syafi’I dan Laits bin Sa’ad di Mesir, mazhab ibn Jarir al-
Thabari, mazhab Abu Tsaur dan Ahmad bin Hambal, dan mazhab Dawud al-
Asfahani/al-Zhahiri di Baghdad.
            Mazhab-mazhab hukum dalam Syi’ah adalah mazhab Ja’fariyah atau
mazhab Imamiyah al-Itsna ‘Asyriyah, mazhab Zaidiyah, mazhab al-Bahrah al-
Isma’iliyah. Sedangkan mazhab hukum dalam Khawarij yang masih dalam
mazhab ‘Ibady.
Berikut ini dipaparkan secara singkat beberapa mazhab hukum tersebut dengan
ciri-cirinya.
1. Mazhab-mazhab ahl al-Sunnah
a. Mazhab Hanafi
Mazhab ini didirikan oleh imam Hanifah yang bernama lengkap Abu
Hanifah bin Nu'man bin Tsabit Al-Taimi Al-Kufi, dan terkenal sebagai mazhab
yang paling terbuka kepada ide modern., beliau dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah
di Kufah.5 Mazhab ini diamalkan terutama sekali di kalangan orang Islam
Sunni Mesir, Turki, anak-benua India, Tiongkok dan sebagian Afrika Barat,
walaupun pelajar Islam seluruh dunia belajar dan melihat pendapatnya mengenai
amalan Islam. Mazhab Hanafi merupakan mazhab terbesar dengan 30% pengikut.
            Imam Abu Hanifah mengajak kepada kebebasan berfikir dalam
memecahkan masalah-masalah yang baru yang belum  terdapat dalam al-Qur’an
dan Sunnah. Dan menganjurkan pembahasan persolaan dengan bebas merdeka. Ia
banyak mengandalkan Qiyas (analogi) dalam menentukan hukum dan lebih
mengutaman analogi yang rendah tetapi menguntungkan daripada analogi (Qiyas)

5______________
al-Syekh Muhammad al-Khudary, tarikh al-tasyri’ al-islamy, (Indonesia:Darul al-kutub
al-Arabiyah, 1981), cet.

6
yang kuat tapi tidak menguntungkan. Dia banyak menetapkan hukum berdasarkan
istihsan dan istishab.
            Tentang cara beliau menetapkan hukum dari suatu persoalan diungkapkan
sendiri sebagai berikut:
“saya mengambil hukum dari al-Qur’an, jika saya tidak mendapatkan dari al-
Qur’an, maka saya bersandar kepada sabda-sabda Rasul yang shahih dan yang
terdapat di kalangan-kalangan orang yang bisa dipercaya. Bila dalam al-Qur’an
dan al-Hadits tidak saya temukan sesuatupun, maka saya beralih kepada
keterangan para sahabat. Saya mengambil mana yang  saya kehendaki dan
meninggalkan mana yang saya kehendaki. Setelah berpijak pada pendapat para
sahabat, saya menengok kepada pendapat orang-orang lain. Jika telah sampai
kepada pendapat Ibrahim, al-Syu’bi, Hasan Basri, Ibnu Sirin, Musayyad-sambil
beliau mengemukakan beberapa nama ulama besar dari pada mujtahid,-maka
aku pun berhak melakukan ijtihad sebagaimana yang mereka lakukan.
Sahal bin Muzahib pernah mengatakan:
“pendapat Abu Hanifah berpegang kepada apa yang dipercaya, menjauhkan diri
dari keburukan, suka memperhatikan adat-istiadat dari hal ihwal orang banyak,
apa yang dianggap baik dan buruk oleh mereka. Imam Hanafi memecahkan
berbagai problematika dengan jalan Qiyas, apabila jalan itu kurang terasa tepat,
maka beliau menempuh jalan Istihsan selama  jalan ini dapat ditempuh, maka
beliau mengembalikan urusan itu kepada apa yang telah dilakukan oleh kaum
muslimin”.
            Dari keterangan di atas dapat diambil pemahaman bahwa dasar Imam Abu
Hanifah dalam menginstimbatkan hukum adalah:
1) Kitabullah (al-Quran)
2) Sunah Rasul dan atsar-atsar yang shahih serta telah masyhur (tersiar)
di antara ulama ahli.
3) Fatwa para sahabat
4) Qiyas
5) Istihsan

7
6) Ijma’ para ulama’.6

b. Mazhab Maliki
            Mazhab ini didirikan oleh Imam Malik bin Anas atau bernama lengkap
Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirul Ashbani di  (Madinah, 93
Hijriyah). Dianut oleh sekitar 15% umat Muslim, kebanyakan di Afrika
Utara dan Afrika Barat. Dasar imam maliki dalam memutuskan suatu hukum
adalah al-Qur’an, kemudian Sunnah Rasulullah SAW. Bila tidak didapati dalam
kedua sumber itu, maka maka beliau mengikuti ijmak ulama ahli Madinah dan
praktik penduduk Madinah. Jika Ijmak pun tidak didapatkan barulah beliau
berpindah kepada Qiyas. Bila Qiyas juga beliau tidak dapatkan, maka beliau
memutuskan dengan jalan “al-Mashalih al-Mursalah” atau “istislah”, yakni
memelihara tujuan agama dengan jalan menolak kebinasaan dan menuntut
kabaikan, atau memelihara tujuan syarak dengan jalan menolak sesuatu yang
merusak makhluk. Ketentuan marsalih mursalah digunakan adalah ketika semua
dasar-dasar penetapan hukum di atas tidak ada yang menentangnya.
            Tentang cara Iman Malik dalam mengambil hukum ini diungkapkan oleh
Qadhi Iyadh sebagai berikut:
“Malik senantiasa mengutamakan ayat-ayat al-Quran dalam menyusun dalili-
dalilnya yang jelas, ia memulai dengan nashnya, kemudia zhahirnya kemudian
mafhumnya. Setelah itu barulah beralih kepada Hadits, dengan mengutamakan
hadis Mutawatir, lalu yang masyhur dan barulah yang ahad, dengan cara tertib
seperti ketika beliau mengambil hukum dari al-Quran, setalah al-Quran dan
Hadits, barulah ia berpindah kepada Ijmak. Jika dalam sumber-sumber pokok itu
beliau tidak menjumpai pemecahan, barulah beliau menempuh jalan Qiyas yang
dijadikan sandaran dalam menyimpulkan suatu hukum”.
            Secara ringkas, dasar mazhab Maliki dalam menentukan suatu hukum
adalah:
1) Al-Qur’an

6______________
http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Hanafi

8
2) Sunnah
3) Ijmak ahli Madinah
4) Qiyas
5) Istislah atau al-Mashalih al-Mursalah

c. Mazhab Syafi’i
            Mazhab ini didirikan oleh Imam Syafi’i.[10] Mazhab fiqih Syafi’I
merupakan perpaduan antara mazhab Hanafi dan mazhab Maliki.  Ia terdiri dari
dua qaul (pendapat), yaitu qaul qadim (pendapat lama) di Irak dan qaul
jadid (pendapat baru) di Mesir.  Mazhab Syafi’I terkenal sebagai mazhab yang
paling berhati-hati dalam menentukan hukum. Karena kehati-hatiannya tersebut,
kadangkala pendapatnya kurang terasa tegas.
Ciri mazhab Syafi’I dalam menyimpulkan hukum adalah senantiasa
bersandar pada al-Quran menurut artinya yang zhahir, kecuali apabila ada
petunjuk bahwa yang dimaksud bukan yang terkandung dalam makna zhahir
tersebut. Bila ada petunjuk seperti itu barulah beliau mengambil sikap.
Sandaran  kedua dari mazhab Syafi’I adalah Sunnah. Menurutnya orang
tidak mungkin berpindah dari sunnah selama Sunnah masih ada. Mengenai Hadits
Ahad, al-Syafi’I tidak mewajibkan syarat “kemasyhuran” sebagaimana yang
berlaku pada mazhab Hanafi. Tidak pula mewajibkan persyaratan yang ditetapkan
oleh Imam Malik, yaitu harus ada perbuatan yang memperkuatnya. Menurut al-
Syafi’I hadits itu sendiri tanpa yang lain sudah dianggap cukup. Baginya hadits
Ahad tidak jadi soal untuk dijadikan sandaran, selama yang meriwayatkannya
dapat dipercaya, teliti, dan selama hadits itu Muttasil (sanadnya bersambung)
kepada Rasulullah. Jadi beliau tidak mengharuskan hanya mengambil
Hadits  Mutawatir saja.
Sandaran ketiga al-Syafi’I adalah Ijmak. Jika dengan Ijmak belum juga
mencukupi, beliau menuju kepada fatwa sahabat yang diketahui tidak ada yang
mempertentangkannya. Apabila fatwa sahabat yang disepakati tersebut tidak
didapatkan, maka beliau beralih kepada fatwa sahabat yang masih diperselisihkan.
Setelah itu barulah ia menempuh jalan Qiyas bila telah keadaan memaksa. Syafi’I

9
tidak menyetujui cara Istihsan yang dijadikan sandaran ulama Irak, begitu pula ia
tidak menyetujui jalan Mashalih Mursalah yang ditempuh oleh Imam Malik.7
Bila Syafi’I tidak mendapatkan keputusan hukum dari dasar-dasar di atas,
maka beliu mengambil dengan jalan istidlal, mencari alasan, bersandar atas
kaidah-kaidah agama, meski itu dari ahli kitab yang terakhir ini disebut “syar’u
man qablana”. Beliau juga tidak sekali-kali mengambil buah pikiran manusia
dalam menentukan hukum.
Secara ringkas dasar Mazhab Syafi’I dalam menentukan hukum adalah:
1) Al-Quran
2) Sunnah
3) Ijmak
4) Fatwa sahabat yang disepakati
5) Fatwa sahabat yang diperselisihkan
6) Qiyas
7) Istidlal
Mazhab Syafi'i diperkirakan diikuti oleh 28% umat Islam sedunia

d. Mazhab Hanbali
Mazhab ini didirikan oleh Imam Ahmad bin Hambal (lahir 164 H). ciri
umum mazhab Hanbali adalah lebih bayak berpijak pada dalil-dalil naqli dari pada
ketentuan akal. Ibn Qayyin menulis bahwa Imam Ahmad bin Hanbal dalam
menetapkan mazhabnya berdasarkan pada lima pokok, yaitu:
1) Nash al-Quran dan Sunnah. Ia memberikan fatwa berdasarkan nash,
tampa menghiraukan siapa yang menentangnya, meskipun yang
menentang itu sahabat yang penting.
Imam Ahmad menyakini Hadits yang melarang seorang
muslim mewarisi orang kafir dan sebaliknya. Dia tidak menghiraukan
pendapat Mu’awiyyah yang memperbolehkan pewarisan tersebut.

7______________
Al-Syekh Muhammad Ali al-Sayid, op. cit,. h. 100-101.

10
2) Fatwa sahabat. Bila tidak ditemukan nash, maka Imam Ahmad
bertolak pada fatwa sahabat, sebatas ia tidak mengetahui fatwa tersebut
ada yang menentangnya atau masih dalam perselisihan.
3) Fatwa yang paling dekat dengan nash. Memilih pendapat sahabat yang
yang mendekati al-Qur’an dan Sunnah bila ada beberapa pendapat
yang berlainan dari para sahabat tentang suatu hukum. Kadang ia tidak
memberikan fatwa jika tidak ada yang menguatkan pendapat sahabat
itu, dan kadang pula mengambil salah satu pendapat yang masih
diperselisihkan tersebut.
4) Hadits Mursal dan Dha’if yang dianggapnya lebih kuat dari Qiyas.
Penggunaan hadits mursal dan dha’if tersebut dilakukan selama tidak
ada dalil lain, pendapat sahabat, dan ijmak yang menentangnya.
Namun, hadits dha’if yang beliau ambil bukanlah Hadits yang batal,
munkar, dan yang tertuduh dusta perawinya. Hadis dha’if yang beliau
ambil adalah hadits yang tidak sampai kepada derajat hasan dan
shahih.
5) Qiyas. Jika keempat pokok di atas tidak dapat  dilakukan, barulah ia
berpindah kepada qiyas. Jadi qiyas dilakukan karena keterpaksaan.

e. Mazhab Zhahiri
Mazhab ini didirikan oleh Abu Sulaiman Dawud bin Ali bin Khalaf al-
Asfahani al-Zhahiri. Beliau dilahirkan d Kufah tahun 202 H. Mazhab ini
mempunyai ciri pengamalan teks literal dari al-Quran dan Sunnah tanpa dibarengi
penafsiran terhadapnya, kecuali ada dalil yang memerintahkan penggunaan
pengertian selain makna lahiriyah tersebut. Apabila tidak didapatkan nash, mereka
berpegang pada Ijmak. Mereka menolak jalan Qiyas secara tegas dengan alasan
bahwa dalam al-Qur’an dan hadits terdapat sandi-sandi dan sendi-sendi yang
mencukupi segala masalah.
Dalam menetapkan hukum, apabila tidak didapati nash al-Qur’an dan
Sunnah, maka mereka mengambil Ijmak seluruh umat manusia. Jelas syarak ini
tidak mungkin terwujud. Dengan demikian, maka sebenarnya mazhab ini menolak

11
Ijmak. Sedangkan Qiyas mereka tolak. Akan tetapi, dalam praktiknya, mazhab  ini
juga menerima analogi (qiyas). Dalam mazhab ini qiyas dikenal dengan istilah al-
dalil.

2. Mazhab-mazhab Fiqh Syi’ah


Syi’ah sebagai kelompok pendukung dan pembela Ali Ibn Abi Thalib ra.
dan keturunannya, selain mengembangkan keturunan dalam bidang teologi,
mereka juga mengembangkan pemikirannya dalam bidang hukum.
Semua pengikut mazhab Syi’ah bersepakat bahwa imam-imam mereka itu akan
terus berganti setelah wafatnya Ali ra. Namun demikian, mereka berpendapat
mengenai siapa yang menjadi imam. Perbedaan pendirian ini mengakibatkan
munculnya mazhab-mazhab teologi dan hukum. Mazhab hukum yang ada dalam
Syi’ah adalah: mazhab al-Ja’fariyah atau al-Imamiyah al-Itsna ‘Asyriyah, mazhab
al-Zaidiyah, dan mazhab al-Bahrah al-Isma’iliyah.
a. Mazhab al-Ja’fariyah
Mazhab Syiah Ja’fariyah adalah sebuah kelompok besar dari umat Islam
pada masa sekarang ini, dan jumlah mereka diperkirakan ¼ jumlah umat Islam.
Banyak dari kelompok ini yang tinggal di Iran, Irak, Palestina, Afganistan, India,
dan tersebar secara luas ke negara-negara republik yang memisahkan diri dari
Rusia, juga ke negara-negara Eropa, seperti Inggris, Jerman, Perancis, Amerika,
dan Benua Afrika serta Asia timur. Mereka memiliki masjid-masjid, Islamic
Center,  pusat-pusat kegiatan budaya dan sosial.
Mazhab ini berpendapat bahwa imam setelah Ja’far al-Shadiq adalah Musa
al-Kazim. Mazhab Syi’ah ini adalah menetapkan hukum mengambil sumber dari
al-qur’an dan hadits, serta ucapan para imam.  Mereka beranggapan bahwa imam
mereka adalah ma’shum (Infallable). Menurut mereka Ali telah menerima
pemahaman lahiriyah dan bathiniyah maksud-maksud syari’ah dari Rasulullah
saw. Pemahaman ini terus disambungkan kepada kahlifah-khalifah penerusnya.
Sehingga perkataan imam bagi mereka merupakan nash. Mereka tidak menerima
ijtihad dan ra’yu. Mereka hanya mengambil hukum-hukum itu dari imam yang
ma’shum. Sebagai konsekuensinya mereka menolak ijmak dan qiyas.

12
Imamah bagi mereka merupakan tiang dan rukun agama. Imamiyah selalu
menentang pendapat pribadi yang berdasarkan pikiran. Mereka berkata bahwa
agama tidak mungkin ditetapkan menurut pendapat akal. Mereka tidak menyetujui
qiyas dan mengecam orang yang menempuh jalan ini. Imam mazhab ini yang
terkenal adalah Abu Abdullah Ja’far al-Shadiq, dan Abu Ja’far Muhammad al-
Baqir.
b. Mazhab al-Zaidiyah
Syi’ah al-Zaidiyah menasbahkan dirinya kepada Zaid bin Ali bin al-
Husein bin Ali bin Abi Thalib. Imam-imam mereka yang terkenal adalah al-Hasan
bin Ali bin al-Hasan bin Zaid bin Umar bin Ali bin al-Husein, dan al-Hasan bin
Zaid bin Muhammad bin Isma’il bin al-Husein bin al-Hadi Yahya bin al-Hasan.
Berbeda dengan mazhab-mazhab Syi’ah lainnya, mazhab ini mengaku
kekhalifahan Umar dan Abu Bakar, akan tetapi mereka menganggap bahwa yang
lebih utama untuk menjadikan khalifah adalah Ali ra. Seperti juga mazhab-
mazhab imamiyah, mereka hanya bersandar pada hadits yang diriwayatkan oleh
golongan Syi’ah.
c. Mazhab al-Isma’iliyah
Mazhab Ismailiyah adalah mazhab penganut terbesarr kedua dari mazhab
Syiah setelah mazhab dua belas. Mazhab ini mengaku Isma’il bin Ja’far al-Shadiq
sebagai imam dan tidak mengakui Musa bin Ja’far (Musa al-Kazim) sebagai
imam.
Syi’ah Isma’iliyah membagi al-Qur’an menjadi dua arti, yakni arti lahir
dan arti bathin. Golongan ini oleh sebagian ulama Sunni telah dianggap keluar
dari Islam.
Sebagaimana golongan ahl al-Sunnah, pengikut Syi’ah pun dapat
digolongkan menjadi dua kelompok besar, yakni kelompok yang banyak
berorientasi pada teks atau nash dan kelompok yang  paling banyak menggunakan
nalar. Kelompok yang pertama dikenal sebagai kelompok akhbari (Ahl al-Hadits
dalam istilah Sunni) dan kelompok kedua disebut Ushuli (Ahl al-Ra’yi dalam
istilah Sunni).

13
Kaum penganut Ismailiyah umumnya dapat ditemukan
di India, Pakistan, Suriah, Lebanon, Israel, Arab
Saudi, Yaman, Tiongkok, Yordania, Uzbekistan, Tajikistan, Afganistan, Afrika
Timur, dan Afrika Selatan. Pada beberapa tahun terakhir, sebagian di antara
mereka juga beremigrasi ke Eropa, Australia, Selandia Baru, dan Amerika Utara.

BAB III
PENUTUP

14
A. Kesimpulan
Sebelum ditinjau sejarah kemunculan mazhab-mazhab fiqh Islam, ada
baiknya jika kita tinjau terlebih dahulu maksud perkataan “Mazhab” dan “Imam”
itu sendiri.
Mazhab dari sudut bahasa bererti “jalan” atau “the way of”. Dalam Islam,
istilah mazhab secara umumnya digunakan untuk dua tujuan: dari sudut akidah
dan dari sudut fiqh.
Dari mazhab-mazhab pemikiran hukum yang memiliki perbedaan-
perbedaan kecil di bidang ritus dan hukum. Beberapa di antaranya masih bertahan
hingga sekarang dan yang satu lebih menonjol dari yang lain di sebagian besar
dunia islam. Awal dominasi aliran hukum di suatu daerah sebagian besar
ditentukan oleh tokoh-tokohnya, murid-murid yang menyampaikan pandangan-
pandangan khusus aliran yang mereka anut, dan karena reputasinya.
Syi’ah sebagai kelompok pendukung dan pembela Ali Ibn Abi Thalib ra.
dan keturunannya, selain mengembangkan keturunan dalam bidang teologi,
mereka juga mengembangkan pemikirannya dalam bidang hukum.
Semua pengikut mazhab Syi’ah bersepakat bahwa imam-imam mereka itu
akan terus berganti setelah wafatnya Ali ra. Namun demikian, mereka
berpendapat mengenai siapa yang menjadi imam. Perbedaan pendirian ini
mengakibatkan munculnya mazhab-mazhab teologi dan hukum. Mazhab hukum
yang ada dalam Syi’ah adalah: mazhab al-Ja’fariyah atau al-Imamiyah al-Itsna
‘Asyriyah, mazhab al-Zaidiyah, dan mazhab al-Bahrah al-Isma’iliyah.

B. Saran
Mungkin inilah yang diwacanakan pada penulisan makalah ini meskipun
penulisan ini masih jauh dari sempurna minimal kami mengimplementasikan
tulisan ini. kami juga butuh kritik dan saran agar bisa menjadi motivasi untuk
masa depan yang lebih baik daripada masa sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA

15
Djamil, Fahrurrahman. 1999. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Al-Khudary, Muhammad. 1981. Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islamy, Indonesia:Darul al-


kutub al-Arabiyah.

http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Hanafi
http://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Maliki

Abu Zahrah, Muhammad, Imam Syafi'i: Biografi dan Pemikirannya dalam


Masalah Akidah, Politik & Fiqih, Penerjamah: Abdul Syukur dan Ahmad
Rivai

Uthman, Penyunting: Ahmad Hamid Alatas, Cet.2 (Jakarta: Lentera, 2005).

16

Anda mungkin juga menyukai