Anda di halaman 1dari 14

HOSPITALISASI SESUAI

USIA

DI
S
U
S
U
N
OLEH
KELOMPOK: 7
RAYSA FADILLA NIM 20010105
RAHMATILLAH NIM 20010119
RISKA ANANDA NIM 20010106
NANA MAULINA NIM 20010107
DOSEN PEMBIMBING Ns. NOVITASARI, S.kep

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)


MEDIKA NURUL ISLAM SIGLI
TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sakit bukan lagi kata yang jarang kita dengar. Setiap orang mungkin pernah
mengalami sakit dan bahkan mungkin pernah dirawat di rumah sakit. Suasana saat
berada di tempat perawatan seperti rumah sakit tentu berbeda dengan suasana
yang biasanya seseorang rasakan. Suasana dengan dikelilingi orang-orang yang
berbeda. Hal ini tentu akan sangat dirasakan terutama bagi mereka yang baru
pertama kalinya merasakan suasana perawatan rumah sakit. Proses perawatan
tersebut merupakan proses hospitalisasi. Hospitalisasi diartikan adanya beberapa
perubahan psikis yang dapat menjadi sebab yang bersangkutan dirawat disebuah
institusi seperti rumah perawatan (Berton, 1958 dalam Stevens, 1992).
Dalam Supartini (2002), hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena
suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di
rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke
rumah.
Hospitalisasi ini memiliki dampak terhadap psikis pada pasien (anak) ataupun
pada orang tua. Seperti pasien merasa keahilangan privasi,otonomi, serta
perubahan gaya hidupnya. Sedangkan pada orang tua, sepertiadanya rasa bersalah
dan frustasi karena tidak dapat menjaga kesehatan anaknya.
Oleh karena itu, betapa pentingnya seorang perawat memahami konsep
hospitalisasi agar dampaknya pada anak/pasien dan orang tua/keluarga dapat
diminimalisir sehingga dapat dijadikan dasar dalam pemberian suatu tindakan
asuhan keperawatan.

B. Rumusan masalah
1. Defenisi Hospitalisasi
2. Faktor-Faktor Penunjang Hospitalisasi
3. Stressor dalam Hospitalisasi
4. Dampak Hospitalisasi
5.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Defenisi Hospitalisasi
Hospitalisasi diartikan adanya beberapa perubahan psikis yang dapat menjadi
sebab yang bersangkutan dirawat disebuah institusi seperti rumah perawatan
(Berton, 1958 dalam Stevens, 1992).
Dalam Supartini (2002), hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena
suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di
rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke
rumah.
Penelitian membuktikan bahwa hospitalisasi anak dapt menjadi suatu
pengalaman yang menimbulkan trauma, baik pada anak, maupun orang tua.
Sehingga menimbulkan reaksi tertentu yang akan sangat berdampak pada kerja
sama anak dan orang tua dalam perawatan anak selama di rumah sakit (Halstroom
dan Elander, 1997, Brewis, E, 1995, dan Brennan, A, 1994). Oleh karena itu
betapa pentingnya perawat memahami konsep hospitalisasi dan dampaknya pada
anak dan orang tua sebagai dasar dalam pemberian asuhan keperawatan
(Supartini, 2002).
Tingkah laku pasien yang dirawat di rumah sakit dapat dikenal menurut
Berton (1958 dalam Stevens, 1992) dari :
1. Kelemahan untuk berinisiatif
2. Kurang/ tak ada perhatian tentang hari depan
3. Tak berminat (ada daya tarik)
4. Kurang perhatian cara berpakaian dan segala sesuatu yang bersifat
pandangan luas
5. Ketergantungan dari orang-orang yang membantunya.

B. Faktor-Faktor Penunjang Hospitalisasi


Faktor-faktor yang menunjang hospitalisasi (Stevens, 1992) :
1. Kepribadian manusia
Tidak setiap orang peka terhadap hospitalisasi. Kita melihat ada sebagian
orang yang sangat menderita dan sangat tergantung pada pada apa yang diberikan
lingkungannya. Namun ada juga yang menangani sendiri dan tidak bisa menerima
keadaan itu begitu saja. Semua tergantung dari segi kepribadian manusia itu
sendiri.
2. Kehilangan kontak dengan dunia luar rumah perawatan
Pasien/ orang yang tinggal di rumah perawatan akan kehilangan kontak
yang sudah lama berjalan dengan terpaksa. Dia sudah tidak berada lagi dalam
lingkungan yang aman yang dijalaninya dalam sebagian besar hidupnya.
Orang-orang yang sering berkomunikasi dengannya kini hanya sekedar
bertamu dalam suasana yang berbeda, hanya sebagian kecil keluarga dekat yang
menemaninya. Sebagian besar kontak-kontak dengan orang senasib yang terbatas
dalam ruang perawatan yang sama dan dengan orang-orang yang membantunya.
Dunia mereka boleh dikatakan terbatas pada lingkungan kecil. Apalagi ia bergaul
dengan orang-orang yang sebenarnya bukan pilihannya.
3. Sikap pemberi pertolongan
Ada perbedaan tugas antara pasien dan yang memberi pertolongan. Ini
terlihat jelas dalam kegiatan mereka sehari-hari. Pasien biasanya menunggu dan
yang menolong yang menentukan apa yang dilakukan dan kapan. Pasien
menunggu apa yang terjadi dan perawat yang tahu. Pasien tergantung pada yang
menolong dan ia terpaksa mengikuti. Ia sering merasa tidak berdaya sehingga
merasa harga dirinya berkurang. Hal ini membuat dirinya lebih merasa
tergantung. Perawat melakukan pekerjaan yang rutin dan berkembang sedikit saja,
hal ini akan membuat mereka menanamkan jiwa hospitalisasi pada pasien.
4. Suasana bagian perawatan
Suasana bagian sebagian besar ditentukan oleh sikap personel/ perawat,
baik oleh hubungan antar sesama perawat, maupun oleh sikap mereka terhadap
pasien dan tamu-tamu mereka. Cara berpakaian orang-orang di bagian juga sangat
penting. Cara manuasia bergaul, dapat mempengaruhi sikap pasien.
Ketergantungan antara personal biasanya mudah dapat dipengaruhi. Pasien yang
dirawat inap mendapat kesan bahwa mereka bukan yang terpenting dalam
perawatan ini. Juga ternyata bahwa orang-orang yang hanya mendapatkan tugas
melaksanakan pekerjaan dan tanpa bisa memberi tanggapan atau saran maka
pasien-pasien atau tamu-tamu mereka akan diperlakukan sama seperti itu. Ini
memperbesar kemungkinan adanya hospitalisasi.
5. Obat-obatan
Obat-obatan dapat memberi pengaruh besar pada sikap. Beberapa obat-
obatan dapat mengakibatkan adanya tanda-tanda yang sama seperti hospitalisasi.
Dengan sendirinya, kemungkinan hospitalisasi besar. Jika dipakai obat-obatan
yang dapat merangsang adanya sikap tadi.

C. Stressor dalam Hospitalisasi Menurut Tahap Usia


Saat dirawat di rumah sakit atau tengah menjalani proses hospitalisasi,
klien (dalam hal ini adalah anak), tentu akan mengalami stress akibat dari segala
macam bentuk perubahan yang ia alami, seperti perubahan lingkungan, suasana,
dan lain sebagainya.
Stressor dan reaksi hospitalisasi sesuai dengan tumbuh kembang pada
anak  (Novianto dkk,2009):
1. Masa bayi (0-1 tahun)
Dampak perpisahan, usia anak > 6bulan terjadi stanger anxiety (cemas)
a. Menangis keras
b. Pergerakan tubuh yang banyak 
c. Ekspresi wajah yang tidak menyenangkan
2. Masa todler (2-3 tahun)
Sumber utama adalah cemas akibat perpisahan. Disini respon perilaku
anak dengan tahapnya.
a. Tahap protes menangis, menjerit, menolak perhatian orang lain
b. Putus asa menangis berkurang, anak tidak aktif, kurang menunjukkan
minatbermain, sedih, apatis
c. Pengingkaran / denial
d. Mulai menerima perpisahan
e. Membina hubungan secara dangkal
f. Anak mulai menyukai lingkungannya
3. Masa prasekolah (3-6 tahun)
Sering kali dipersepsikan anak sekolah sebagai hukuman, sehingga
menimbulkanreaksi agresif.
a. Menolak makan
b. Sering bertanya
c. Menangis perlahan
d. Tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan
4. Masa sekolah (6-12 tahun)
Perawatan di rumah sakit memaksakan ;
a. Meninggalkan lingkungan yang dicintai
b. Meninggalkan keluarga
c. Kehilangan kelompok sosial, sehingga menimbulkan kecemasan
5. Masa remaja (12-18 tahun)
Anak remaja begitu percaya dan terpengaruh kelompok sebayanya.
Reaksi yangmuncul ;
a. Menolak perawatan / tindakan yang dilakukan
b. Tidak kooperatif dengan petugas
c. Bertanya-tanya
d. Menarik diri
e. Menolak kehadiran orang lain
Pendekatan yang digunakan dalam hospitalisasi (Novianto dkk, 2009) :
1. Pendekatan Empirik 
Dalam menanamkan kesadaran diri terhadap para personil yang
terlibat dalam hospitalisasi, metode pendekatan empirik menggunakan
strategi, yaitu ;
a. Melalui dunia pendidikan yang ditanamkan secara dini kepada peserta
didik.
b. Melalui penyuluhan atau sosialisasi yang diharapkan kesadaran diri
mereka sendiridan peka terhadap lingkungan sekitarnya.
2. Pendekatan melalui metode permainan
Metode permainan merupakan cara alamiah bagi anak untuk
mengungkapkankonflik dalam dirinya yang tidak disadari. Kegiatan yang
dilakukan sesuai keinginansendiri untuk memperoleh kesenangan.

D. Dampak Hospitalisasi
Perawatan anak di rumah sakit tidak hanya menjadi masalah pada anak,
tetapi juga pada orang tua. Brewis (1995 dalam Supartini, 2002) menemukan rasa
takut pada orang tua selama perawatan anak di rumah sakit terutama pada kondisi
sakit anak yang terminal karena takut akan kehilangan anak yang dicintainya dan
adanya perasaan berduka. Stessor lain yang sangat menyebabkan orang tua stres
adalah mendapatkan informasi buruk tentang diagnosis medik anaknya, perawatan
yang tidak direncanakan dan pengalaman perawatan di rumah sakit sebelumnya
yang dirasakan menimbulkan trauma (Supartini (2000) dalam Supartini, 2002)
Menurut Asmadi (2008), hospitalisasi merupakan pengalaman yang
mengancam bagi setiap orang. Penyakit yang diderita akan menyebabkan
perubahan perilaku normal sehingga klien perlu menjalani perawatan
(hospitalisasi). Secara umum, menurut Asmadi (2008), hospitalisasi menimbulkan
dampak pada beberapa aspek, yaitu:
1. Privasi
Privasi dapat diartikan sebagai refleksi perasaan nyaman pada diri
seseorang dan bersifat pribadi. Bisa dikatakan, privasi adalah suatu hal yang
sifatnya pribadi. Sewaktu dirawat di rumah sakit, klien kehilangan sebagai
privasinya. Kondisi ini disebabkan oleh beberpa hal :
a. Selama dirawat di rumah sakit, klien berulang kali diperiksa oleh petugas
kesehatan (dalam hal ini perawat dan dokter). Bagian tubuh yang biasanya
dijaga agar tidak dilihat, tiba-tiba dilihat fdan disentuh oleh orang lain. Hal
ini tentu akan membuat klien merasa tidak nyaman.
b. Klien adalah orang yang berada dalam keadaan lemah dan bergantung
pada orang lain. Kondisi ini cendurung membuat klien “pasrah” dan
menerima apapun tindakan petugas kesehatan kepada dirinya asal ia cepat
sembuh. Menyikapi hal tersebut, perawat harus selalu memperhatikan dan
menjaga privasi klien ketika berinteraksi dengan mereka. Beberapa hal
yang dapat perawat lakukan guna menjaga privasi klien adalah sebagai
berikut.
1) Setiap akan melakukan tindakan keperawatan, perawat harus selalu
memberitahu dan menjelaskan perihal tindakan tersebut kepada
klien.
2) Memperhatikan lingkungan sebelum melaksanakan tindakan
keperawatan. Yakinkan bahwa lingkungan tersebut menunjang
privasi klien.
3) Menjaga kerahasiaan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan
klien. Sebagai contoh, setelah memasang kateter, perawat tidak
boleh menceritakan alat kelamin pasien kepada orang lain,
termasuk pada teman sejajwat.
4) Menunjukkan sikap profesional selama berinteraksi dengan klien.
Perawat tidak boleh mengeluarkan kata-kata yang dapat membuat
klien malu atau marah. Sikap tubuh pun tidak boleh layaknya
majikan kepada pembantu.
5) Libatkan klien dalam aktivitas keperawatan sesuai dengan batas
kemampuannya jika tidak ada kontraindikasi.
2. Gaya hidup
Klien yang dirawat di rumah sakit sering kali mengalami perubahan pola
gaya hidup. Hal ini disebabkan oleh perubahan kondisi antara rumah sakit dengan
rumah tempat tinggal klien, juga oleh perubahan kondisi keehatan klien. Aktivitas
hidup yang klien jalani sewaktu sehat tentu berbeda dengan aktivitas yang
dialaminya selama di rumah sakit. Perubahan gaya hidup akibat hospitalisasi
inilah yang harus menjadi perhatian setiap perawat. Asuhan keperawatan yang
diberikan harus diupayakan sedemikian rupa agar dapat menghilangkan atau
setidaknya meminimalkan perubahan yang terjadi.
3. Otonomi
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa individu yang sakit da
dirawat di rumah sakit berada dalam posisi ketergantungan. Artinya, ia akan
pasrah terhadap tindakan apapun yang dilakukan oleh petugas kesehatan demi
mencapai keadaan sehat. Ini meniunjukkan bahwa klien yang dirawat di rumah
sakit akan mengalami perubahan otonomi. Untuk mengatasi perubahan ini,
perawat harus selalu memberitahu klien sebelum melakukan intervensi apapun
dan melibatkan klien dalam intervensi, baik secara aktif maupun pasif.
4. Peran
Peran dapat diartikan sebagai seperangkat perilaku yang diharapkan
individu sesuai dengan status sosialnya Jika ia seorang perawat, peran yang
diharapkan adalah peran sebagi perawat bukan sebagai dokter.Selain itu, peran
yang dijalani seseorang adalah sesuai dengan status kesehatannya. Peran yang
dijalani sewaktu sehat tentu berbeda dengan peran yang dijalani saat sakit.Tidak
mengherankan jika klien yang dirawat di rumah sakit mengalami perubahan
peran. Perubahan yang terjadi tidak hanya pada diri pasien, tetapi juga pada
keluarga. Perubahan tersebut antara lain :
a. Perubahan peran. Jika salah seorang anggota keluarga sakit, akan terjadi
perubahan pera dalam keluarga. Sebagai contoh, jiak ayah sakit maka
peran jepala keluarga akan digantikan oleh ibu. Tentunya perubahan peran
ini mengharuskan dilaksanakannya tugas tertentu sesuai dengan peran
tersebut.
b. Masalah keuangan. Keuangan keluarga akan terpengaruh oleh
hospitalisasi. Keuangan yang sedianya ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarga akhirnya digunakan untukj keperluan klien yang
dirawat. Akibatnya, keuangan ini sangat riskan, terutama pada keluarga
yang miskin. Dengan semakin mahalnya biaya kesehatan, beban keuangan
keluarga semakin bertambah.
c. Kesepian. Suasana rumah akan berubah jika ada seorang anggota keluarga
ytang dirawat. Keseharian keluarga yang biasanya dihiasi kegembiraan,
keceriaan, dan senda-gurau anggotaanya tiba-iba diliputi oleh kesedihan.
Suasana keluarga pun menjadi sepi karena perhatian keluarga terpusat
pada penanganan anggota keluarganya yang sedang dirawat.
d. Perubahan kebiasan sosial. Keluarga merupakan unit terkecil dari
masyarakat. Karenanya, keluarga pun mempunyai kebiasaan dalam
lingkungan sosialnya. Sewaktu seha, keluarga mampu berperan serta
dalam kegiata sosial. Akan tetapi, saat salah seorang anggota keluarga
sakit, keterlibatan keluarga dalam aktivitas sosial di masyarakatpun
mengalami perubahan.
Berikut beberapa reaksi orang tua saat anak mereka dirawat di
rumah sakit (Supartini,2004) :
1) Perasaan cemas dan takut
Perasaan cemas ini mungkin dapat terjadi ketika orang tua
melihat anaknya mendapat prosedur menyakitkan seperti pengambilan
darah, injeksi, dan prosedur invasiof lainnya. Hal ini mungkin saja
membuat orang tua merasa sedih atau bahkan menangis karena tidak tega
melihat anaknya. Oleh karea itu, pada kondisi ini perawat atau petugas
kesehatan harus lebih bijaksana bersikap pada anak dan orang tuanya.
Penelitian membuktikan bahwa rasa cemas paling tinggi
dirasakan orang tua saat menunggu nformasi tentang diagnosis penyakit
anaknya (Supartini, 2000), sedangkan rasa takut muncul pada orang tua
terutama akibat takut kehilangan anak pada kondisi sakit yang terminal
(Brewis, 1995). Hal lain yang mungkin menyebabkan rasa cemas adalah
rasa trauma terhadap lingkungan rumah sakit, ataupun rasa cemas karena
pertama kali membawa anaknya untuk dirawat di rumah sakit sehingga
merasa asing dengan lingkungan baru.
Perilaku yang sering ditunjukkan orang tua berkaitan dengan
adanya perasaan cemas dan takut ini adalah sering bertanya atau bertanya
tentang hal yang sama secara berulang pada orang yang berbeda, gelisah,
ekspresi wajah tegang, dan bahkan marah (Supartini, 2001).
2) Perasaan sedih
Perasaan sedih sering muncul ketika anak pada saat anak berada
pada kondisi termal dan orang tua mengetahui bahwa anaknya hanya
memiliki sedikit kemungkinan untuk dapat sembuh. Bahkan ketika
menghadapi anaknya yang menjelang ajal, orang tua merasa sedih dan
berduka. Namun di satu sisi, orang tua harus berada di samping anaknya
sembari memberikan bimbingan spiritual pada anaknya. Pada kondisi ini,
orang tua menunjukkan perilaku isolasi atau tidak mau didekati orang lain,
bahkan bisa tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan (Supartini, 2000).
3) Perasaan Frustasi
Pada kondisi ini, orang tua merasa frustasi dan putus asa ketika
melihat anaknya yang telah dirawat cukup lama namun belum mengalami
perubahan kesehatan menjadi lebih baik. Oleh karena itu, perlu adanya
dukungan psikologis dari pihak-pihak luar (seperti keluarga ataupun
perawat atau petugas kesehatan).
4) Perasaan Bersalah
Perasaan bersalah muncul karena orang tua menganggap dirinya
telah gagal dalam memberikan perawatan kesehatan pada anaknya
sehingga anaknya harus mengalami suatu perubahan kesehatan yang harus
ditangani oleh tenaga kesehatan di rumah sakit.
Memberikan dukungan pada angota keluarga lain (Supartini, 2004) :
1) Berikan dukungan pada keluarga untuk mau tinggal dengan anak di
rumah sakit.
2) Apabila diperluakn, fasilitasi keluarga untuk berkonsultasi pada
psikolog atau ahli agama karena sangat dimungkinkan keluarga
mengalami masalah psikososial dan spiritual yang memerluakn
bantuan ahli.
3) Beri dukungan pada keluarga untuk meneria kondisi anaknya dengan
nilai-nilai yang diyakininya.
4) Fasilitasi untuk menghadirkan saudara kandung anak apabila
diperlukan keluarga dan berdampak positif pada anak yang dirawat
ataupun saudara kandungnya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Hospitalisasi adalah suatu proses yang harus dilalui anak akibat adanya
suatu alasan sehingga mengharuskan anak untuk menjalani perawatan di
rumah sakit.
2. Hospitalisasi dapat dipengaruhi oleh kepribadian seseorang, pemberi
pelayanan, suasana bagian pelayanan, dan hilangnya kontak dengan dunia
luar.
3. Saat dirawat di rumah sakit atau tengah menjalani proses hospitalisasi,
klien (dalam hal ini adalah anak), tentu akan mengalami stress akibat dari
segala macam bentuk perubahan yang ia alami, seperti perubahan
lingkungan, suasana, dan lain sebagainya. Stressor dan reaksi hospitalisasi
sesuai dengan tumbuh kembang pada anak.
4. Selain pada diri anak/pasien (seperti perubahan gaya hidup, hilangnya
privasi dan otonomi, dan lain sebaginya), dampak dari hospitalisasi juga
akan dirasakan oleh orang tua, yaitu orang tua akan merasa stress, frustasi,
serta merasa bersalah karena ia tidak dapat memberikan pemenuhan
kebutuhan kesehatan yang baik untuk anaknya.Apalagi bila mendengan
kabar buruk mengenai kondisi anak.
5. Manfaat dari hospitalisasi ini dapat dimaksimalkan dengan cara
memberikan kesempatan kepada anak ataupun orang tua untuk mengetahui
dan terlibat dalam proses perawatan walaupun tidak terlibat secara
menyeluruh.
B. Saran
Dampak dari hospitalisasi yang sering kita lihat saat ini tentu dapat
memacu tingkat stress pasien/anak ataupun keluarga/orang tua. Oleh karena itu,
konsep hospitalisasi yang benar seharusnya dapat ditekankan lagi oleh tenaga
kesehatan (perawat dan dokter) sehingga manfaat dari hospitalisasi itu sendiri
dapat dimaksimalkan.
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. (20). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC.


Stevens, P.J.M. dkk (1997). Ilmu Keperawatan.2(1).Jakarta; EGC.
Supartini, Y. (2004). Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta:EGC.
Diposkan oleh Henita eka putri di 15.44

Anda mungkin juga menyukai