Anda di halaman 1dari 27

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Hospitalisasi

2.1.1 Pengertian Hospitalisai

Menurut WHO hospitalisasi merupaka pengalaman yang mengancam

ketika anak menjalani suatu proses diaman karna suatu alasan atau

keadaan darurat yang mengharuskan anak untuk tinggal di RS untuk

menjalani perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah. Hospitalisasi

pada anak juag merupakan pengalaman yang menyakitkan bagi anak dan

orang tua, pada saat hospitalisasi idividu akan merasakan stres selama

dirawat di ruamah sakit karena perasaan yang tidak aman. Stres yang

dialami oleh anak selama hospitalisasi dapat menimbulkan dampak yang

negatif yang mengganggu perkembangan anak. Respon anak ketika

menjalani hospitalisasi dapat di anggap suatu pengalaman yang buruk

serta dapat menimbulkan krisis bagi anak dan keluarga hal ini mungkin

karna anak tidak memahami mengapa di rawat, cemas akan adanya

perubahan status kesehatan, lingkungan, kebiasaan sehari-hari dan

keterbatasan mekanisme koping. (Roberts, 2019).

Hospitalisasi pada anak dapat berdampak pada orang tua, dampak

tersebut meliputi dampak biologis, psikologis dan sosial. Dampak biologis

terjadi karna orang tua berada di lingkungan rumah sakit dimana rumah

sakit terdapat banyak jenis kuman penyakit sehingga memiliki resiko

tertular penyakit dari lingkungan sekitar. Dampak psikologis akibat

hospitalisasi juga akan dirasakan oleh orang tua dimana kondisi psikologis

yang di alami orang tua biasanya berbeda-beda misalnya perasaan takut


dan gelisah. Masalah psikologis yang di alami orang tua biasanya sangat di

rasakan oleh ibu-ibu hal ini di karenakan tingkat kecemasan perempuan

lebih tinggi di bandingkan dengan laki-laki walaupun dalam berperilaku

perempuan dan laki-laki tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Dampak

sosial yang di akibatkan oleh anak saat sakit dan menjalani hospitalisasi

hal tersebut akan menyebabkan orang tua berbeda jauh dari lingkungan

tempat tinggalnya sehingga harus beradaptasi dengan lingkungan rumah

sakit. (National Comorbidity Survey (NCS) 2018).

2.1.2 Peran Orang Tua Terhadap Anak Yang Menjalani Hospitalisasi

Peran orang tua selama anak di rawat di rumah sakit adalah dengan

menjadi kolaborasi antara keluarga dengan petugas kesehatan serta

kehadiran orang tua yang dapat memberikan rasa nyaman terhadap anak.

Bentuk kolaborasi orang tua dengan tenaga kesehatan diwujudkan dengan

adanya keterlibatan orang tua dalam perawatan anak serta memenuhi

kebutuhan anak dengan memberikan dukungan emosional, menjaga serta

merawat anak. Saat hospitalisasi orang tua bisa terlibat pada tindakan

yang sederhana seperti mengatasi tingkat kecemasan pada anak, seorang

tenaga kesehatan memberikan intervensi kepada anak harus

memperhatikan kebutuhan anak sesuai dengan pertumbuhan anaknya.

Anak sangat membutuhkan dukungan dan dampingan dari orang tua

selama perawatan, kebutuhan rasa aman dan kebutuhan aktivitasnya.

Peran keluarga saat menjalani hospitalisasi orang tua begitu penting dalam

perawatan di rumah sakit, karena pada dasarnya setiap asuhan pada anak

yang di rawat di rumah sakit memerlukan keterlibatan orang tua (Pean &

Juan, 2019).
2.1.3 Dampak Hospitalisasi

Dampak hospitalisasi pada anak dapat menyebabkan anak menjadi

takut, rewel, cemas, panik dan gangguan tumbuh kembang dampak

hospitalisasi juga dapat berdampak kecemasan di pengaruhi oleh banyak

faktor, baik dari faktor petugas kesehatan maupun lingkungan, keluarga

sering merasa cemas dengan perkembangan anak, keadaan, pengobatan

dan biaya anaknya. Meskipun dampak tersebut tidak bersifat langsung

terhadap anak secara psikologi anak akan merasa perubahan perilaku dari

orang tua yang mendampingi selama perawatan, hal ini dapat berpengaruh

pada proses penyembuhan yaitu menurunya respon imun hal ini dibuktikan

oleh Robert Ader (2021).

Dampak-dampak hospitalisasi terhadap orang tua dapat

menyebabkan dapak negatif terhadap orang tua seperti, cemas berlebihan,

takut, gemtaran, sedih dan frustasi. Berikut beberapa dampak hospitalisasi

terhadap orang tua yaitu:

1. Perasaan cemas dan takut

Perasaan cemas dan takut terjadi ketika orang tua mendapati atau

melihat anaknya sakit, hal ini mungkin saja membuat orang tua merasa

sedih, takut, cemas bahkan menangis karena melihat kondisi yang

belum pernah dialami sebelumnya. Tingginya perasaan cemas orang

tua biasanya saat menunggu informasi tentang diagnosa penyakit

anaknya, sedangkan rasa takut orang tua muncul pada orang tua yang

trauma akan kehilangan anak pada kondisi sakit yang terminal. Hal ini

menyebabkan rasa takut dan rasa kecemasan orang tua sangat tinggi

terhadap hospitalisasi, apalagi orang tua yang baru pertama

menghadapi hospitalisasi akan merasa asing dengan lingkungan yang

baru (Gordon dkk, 2020).


2. Sedih

Perasaan sedih sering muncul pada orang tua ketika mengetahuii

anaknya dalam kondisi terminal, perasaan sedih ini karena orang tua

tahu bahwa anaknya hanya memiliki sedikit kemungkinan untuk

sembuh, bahkan ketika menghadapi anaknya yang menjelang ajal

orang tua sangat merasa sedih dan berduka. Namun disisi lain orang

tua harus berada disamping anaknya sambil memberikan bimbingan

spiritual pada anaknya, pada kondisi ini orang tua menunjukkan

perilaku isolasi atau tidak mau di dekati orang lain bahkan bisa tidak

kooperatif terhadap petugas kesehatan (Gordon dkk, 2020).

3. Frustasi

Pada kondisi ini orang tua cenderung frustasi melihat anaknya yang

sudah lama menjalani hospitalisasi namun belum mengalami

perubahan kesehatan yang lebih baik. Oleh karena itu perlu adanya

dukungan psikologis dari pihak-pihak luar seperti keluarga ataupun

petugas kesehatan (M. Friedman, 2018). Dampak hospitalisasi pada

orang tua dan anak dapat menimbulkan cemas, stres, dan tidak

nyaman. Jumlah dan efek kecemasan tergantung pada persepsi anak

dan keluarga terhadap penyakit dan pengobatan. Secara umum

hospitalisasi menimbulkan dampak pada 5 aspek yaitu, privasi, gaya

hidup, otonomi diri, peran dan ekonomi.

a. Privasi

Privasi dapat diartikan sebagai refleksi perasaan nyaman pada diri

seseorang dan bersifat pribadi. Sewaktu dirawat di rumah sakit.

b. Gaya hidup

Klien yang dirawat di rumah sakit sering kali mengalami

perubahan pada gaya hidup. Hal ini disebabkan oleh perubahan


situasi antara rumah sakit dan rumah tempat tinggal klien serta

oleh perubahan kondisi kesehatan klien. Aktifitas hidup yang

dijalani sewaktu sehat tentu berbeda dengan aktifitas yang dijalani

di rumah sakit.

c. Otonomi diri Individu yang sakit dan dirawat di rumah sakit berada

dalam posisi ketergantungan. Artinya dia akan pasrah saat

tindakan apapun dilakukan oleh petugas kssehatan demi

mencapai keadaan sehat. Ini menunjukkan, klien yang di rawat di

rumah sakit mengalami perubahan otonomi.

d. Peran

Peran dapat diartikan sebagai perilaku yang diharapkan oleh

individu sesuai dengan status sosialnya.

e. Ekonomi

Keuangan keluarga akan mempengaruhi oleh hospitalisasi.

Keuangan yang sedianya akan digunakan untuk memenuhi

kebutuhan hidup keluarga akhirnya digunakan untuk kepentingan

klien.

2.1.4 Pelayanan Hospitalisasi

Perawatan sebagai pemberian pelayanan kesehatan selama 24 jam

mendampingi pasien harus memberikan kontribusi dalam perannya

sebagai pemberi perawatan, terutama dalam membantu anak dan keluarga

untuk memperoleh pengalaman selama hospitalisasi. Perawatan anak

harus memiliki pemahaman yang lebih dalam mengenai pertumbuhan dan

perkembangan anak untuk merencanakan asuhan keperawatan yang

sesuai sehingga dapat membantu anak dan keluarga untuk beradaptasi

dengan kondisi yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan baik

ekternal dan internal. Dalam pelayanan keperawatan anak asuhan


keperawatan yang di terapkan berdasarkan filosofi keperawatan anak.

Filosofi keperawatan anak merupakan keyakinan atau pandangan yang

dimiliki oleh perawat untuk memberikan pelayanan kepada anak salah

satunya adalah Family Centered Care (Perawatan yang berfokus pada

keluarga). Family Centered Care ini menekankan pentingnya keterlibatan

dalam memberikan perawatan pada anak di rumah sakit (Hidayat, 2019).

Konsep Family Centered Care tidak hanya untuk keperawatan anak

melainkan juga dengan orang tua hal ini dikarenakan pentingnya Family

Centered Care berhubungan dengan kerjasama perawat dengan orang tua

yang meupakan pengembangan dari keterlibatan orang tua dan partisipasi

orang tua untuk perawatan anak. Penerapan konsep Family Centered Care

dalam pelayanan kesehatan memerlukan keluarga dengan penuh

perhatian menyampaikan informasi kepada keluarga agar mereka

memahami tentang kondisi dan perawatan anak mereka, Family Centered

Care melibatkan partisipasi orang tua dalam pembuatan keputusan dalam

perawatan anak serta kerja sama antara orang tua dan perawat.

2.2 Caring

2.2.1 Pengertian caring

Pelayanan keperawatan yang berkualitas dapat diwujudkan melalui

pemberian asuhan keperawatan yang didasari oleh perilaku caring perawat

(Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan DepKes RI, 2019). Teori

keperawatan yang dikemukakan oleh Watson menyatakan bahwa caring

adalah suatu karakteristik interpersonal yang tidak diturunkan melalui

genetika, tetapi dipelajari melalui pendidikan sebagai budaya profesi

(Priyoto,2019). Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam konteks keperawatan

caring bukan merupakan suatu hal yang unik tetapi caring merupakan
suatu bentuk pendekatan seni dan ilmu dalam merawat klien yang berupa

pendekatan dinamis antara perawat dan pasien. Caring menurut Potter dan

Perry (2020) didefenisikan sebagai suatu cara pemeliharaan yang

berhubungan dengan menghargai orang lain, disertai perasaan memiliki

tanggung jawab terhadap perlakuan atau tindakannya kepada pasien.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa

perilaku caring perawat adalah sentral praktek perawat dengan pendekatan

seni dan ilmu dalam merawat pasien.

Perilaku caring adalah suatu tindakan yang didasari oleh kepedulian,

kasih sayang, keterampilan, empati, tanggung jawab, sensitif, dan

dukungan. Sehingga perilaku caring adalah intisari dari keperawatan,

perilaku caring dalam keperawatan adalah hal yang sangat mendasar

(Kartika, 2018). Caring adalah kegiatan langsung untuk memberikan

bantuan, dukungan, atau membolehkan individu (kelompok) melalui

antisipasi bantuan untuk meningkatkan kondisi individu atau kehidupan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku caring adalah perwujudan aksi

dari sifat caring.

Perilaku caring yang diharapkan dalam keperawatan adalah perilaku

yang didasari oleh 10 faktor karatif. Karatif adalah sifat dan karakter yang

semestinya dimiliki dan ditampilkan oleh perawat dalam melayani

pelanggan (Watson, 2019), diantaranya :

1. Pembentukan sistem nilai humanistic – altruistic

Watson mengemukakan bahwa asuhan keperawatan didasarkan pada

nilai-nilai kemanusiaan (humanistik) , serta perilaku mementingkan

kepentingan orang lain diatas kepentingan pribadi (altruistik). Perilaku

ini tercermin dengan mengenali nama pasien, mendahulukan


kepentingan pasien, menyempatkan waktu untuk mendengar dan

memperhatikan keputusan pasien.

2. Menanamkan sikap kepercayaan dan penuh harapan

Hal ini penting bagi proses karatif maupun kuratif. Perawat perlu

memberikan alternatif-alternatif bagi pasien jika pengobatan modern

tidak berhasil yaitu berupa meditasi, penyembuhan sendiri, dan

spiritual. (Watson, 2019). Manifestasi perilaku caring dengan selalu

memberikan harapan realistis dan memotivasi klien menghadapi

penyakitnya.

3. Sensitif terhadap diri sendiri dan orang lain

Perawat belajar peka dan sensitif menghargai perasaan pasien,

sehingga ia sendiri dapat menjadi lebih sensitif, murni dan bersikap

empati pada orang lain. Sifat ini akan membawa pada aktualisasi diri

melalui penerimaan diri antara perawat dan pasien. Perawat yang

mampu untuk mengenali dirinya sendiri akan mampu mengenal orang

lain dan mengekspresikan perasaan orang lain (Watson, 2019).

4. Mengembangkan hubungan saling percaya dan saling membantu

Sifat ini terdiri dari kongruen berarti jujur terbuka apa adanya dalam

berinteraksi. Empati berarti perawat memahami apa yang dirasakan

pasien (Watson,2009). Manifestasinya yaitu perawat memperkenalkan

diri saat awal kontak, bersikap bersahabat serta hangat.

5. Meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif.

Perawat menyediakan dan mendengarkan semua keluhan dan

perasaan pasien. Perawat harus siap untuk ekspresi perasaan positif

maupun negatif bagi klien, serta menggunakan pemahaman intelektual

maupun emosional pada situasi yang berbeda (Watson, 2019).


6. Menggunakan metode yang sistematik dalam mengambil keputusan

Perawat menggunakan metode proses keperawatan sebagai pola pikir

dan pendekatan asuhan kepada klien, sehingga perawat menjadi mitra

dokter. Proses keperawatan adalah proses yang sistematis, dan

terstruktur (Watson, 2019). Manifestasinya yaitu perawat selalu

mengkaji, merencanakan,dan mengevaluasi proses perawatan sesuai

masalah pasien.

7. Meningkatan belajar-mengajar secara interpersonal

Faktor ini adalah konsep yang penting dalam keperawatan, yang

membedakan antara caring dan curing Perawat memfasilitasi proses

belajar mengajar sehingga pasien bisa mandiri dan tidak tergantung

pada perawat untuk memenuhi kebutuhannya.

8. Menciptakan lingkungan fisik, mental, sosio-kultural, spiritual yang

mendukung

Perawat perlu mengenali pengaruh lingkungan internal dan eksternal

klien terhadap kesehatan dan kondisi penyakit. Perawat harus

mengkaji dan memfasilitasi kemampuan klien untuk beradaptasi

dengan perubahan fisik, mental, dan emosional.

9. Memberi bantuan dalam pemenuhan kebutuhan manusia.

Perawat perlu mengenali kebutuhan menyeluruh yaitu kebutuhan

biofisik, psikososial, psikofisikal dan interpersonal klien. Pemenuhan

kebutuhan tersebut dimulai dari tingkat dasar, seperti oksigenasi,

nutrisi, dan aktualisasi diri merupakan kebutuhan tertinggi.

10. Terbuka pada eksistensial fenomenologikal

Faktor ini perawat memotivasi klien untuk berserah diri pada Tuhan

untuk menghadapi penyakitnya dan kematiannya, memberi alternatif

keluarga melakuakan spiritual dan cara alternatif untuk


kesembuhannya (Nurachman, 2020). Bila faktor-faktor di atas telah

terbentuk atau dimiliki dalam diri perawat maka perilaku caring dapat

dengan mudah diwujudkan.

2.2.2 Karakteristik orang dengan perilaku caring

Menurut Leinager dan George (2019) karakteristik caring dibagi

menjadi tiga yaitu profesional caring yakni sebagai perwujudan

kemampuan kognitif dimana perawat bertindak terhadap respon yang

ditunjukkan pasien berdasarkan ilmu dan sikap serta keterampilan

profesional. Kedua yaitu scientific caring adalah segala yaitu tindakan dan

keputusan dalam memberikan asuhan keperawatan berdasarkan

pengetahuan yang diperoleh. Karakteristik ketiga adalah humanistic caring

yaitu dalam menolong orang lain berdasarkan sifat kreatif, intuitif atau

kognitif yang didasarkan pada filosofi fenomenologik perasaan subjektif

atau objektif.

1. Be ourself, sebagai manusia harus jujur, dapat dipercaya, dan tidak

tergantung pada orang lain,

2. Clarity, keinginan untuk terbuka dengan orang lain,

3. Respect, selalu menghargai orang lain,

4. Separateness, dalam caring perawat tidak terbawa dalam depresi atau

ketakutan dengan orang lain,

5. Freedom, memberi kebebasan kepada orang lain untuk

mengekspresikan perasaannya,

6. Empathy, Empati merupakan perasaan pemahaman dan

penerimaan perawat terhadap perasaan yang dialami klien dan

kemampuan merasakan dunia pribadi pada klien. Empati

merupakan sesuatu yang jujur, sensitif dan tidak dibuat-buat (objektif)

didasarkan atas apa yang dialami orang lain. Empati cenderung


bergantung pada kesamaan pengalaman di antara orang yang terlibat

komunikasi.

7. Communicative, komunikasi verbal dan non verbal harus menunjukan

kesesuaian dan evaluasi dilakukan secara bersama-sama.

2.2.3 Capaian tertinggi perilaku caring

Wolf Bannum (2019) yang telah mengembangkan daftar inventarisasi

perilaku caring menuliskan sepuluh peringkat tertinggi perilaku caring

tersebut adalah :

1. Mendengarkan dengan penuh perhatian,

2. Memberi rasa nyaman,

3. Berkata jujur,

4. Mempunyai kesabaran,

5. Tanggap, menyediakan informasi, sehingga klien dapat menentukan

keputusan berdasarkan informasi yang diperoleh,

6. Memberikan sentuhan, memperlihatkan sensitivitas,

7. Memperlihatkan rasa hormat, memanggil klien atau pasien dengan

namanya.

2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Caring

Caring merupakan aplikasi dari proses keperawatan sebagai bentuk

kinerja yang ditampilkan oleh seorang perawat. Gibson et al., (2019)

mengemukakan 3 faktor yang berpengaruh terhadap kinerja individu

meliputi faktor individu, psikologis, dan organisasi.

1. Faktor Individu

Variabel individu dikelompokkan pada sub variabel kemampuan dan

keterampilan, latar belakang, dan demografis. Sub variabel

kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama yang


mempengaruhi perilaku individu. Sub variabel demografis mempunyai

efek tidak langsung pada perilaku dan kinerja individu.

a. Usia berkaitan dengan tingkat kedewasaan/ maturitas seseorang.

Siagiaan (2020) menegaskan semakin tinggi usia semakin mampu

menunjukkan kematangan jiwa dan semakin dapat berpikir

rasional, bijaksana, mampu mengendalikan emosi dan terbuka

terhadap pandangan orang lain.

b. Studi-studi psikologis mendapatkan bahwa tidak ada beda yang

signifikan pria dan wanita, mengatakan tidak ada perbedaan pria

dan wanita dalam menilai perilaku caring.

c. Latar belakang pendidikan mempengaruhi kinerja. Siagian (2020),

menegaskan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi persepsi

perilaku caring. Semakin tinggi pendidikan semakin tinggi persepsi

caring perawat karena telah memiliki pengetahuan dan wawasan

yang lebih luas

d. Masa kerja adalah lama seorang perawat bekerja dimulai dari

perawat resmi dinyatakan sebagai pegawai/ karyawan tetap rumah

sakit. Siagian (2020), menyatakan bahwa lama kerja dan

kepuasan serta kinerja berkaitan secara positif.

2. Faktor Psikologis

Sikap adalah pernyataan atau pertimbangan evaluatif (menguntungkan

atau tidak menguntungkan) mengenai objek, orang dan peristiwa

(Riani, 2021). Persepsi merupakan suatu proses mental yang terjadi

pada manusia yang ditafsirkan melalui indera. Persepsi merupakan

suatu proses dimana individu- individu mengorganisasikan dan

menafsirkan kesan-kesan indera mereka agar memberi makna bagi

lingkungannnya.
3. Faktor Organisasi

Organisasi adalah suatu sistem terbuka yang berinteraksi dengan

lingkungannnya. Variabel organisasi yang mempengaruhi kinerja

karyawan meliputi; sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur,

dan desain pekerjaan (Nursalam, 2019). Dengan demikian dari uraian

di atas membangun pribadi caring perawat harus menggunakan tiga

pendekatan. Pendekatan individu melalui peningkatan pengetahuan

dan ketrampilan. Faktor psikologis yaitu dalam diri perawat.

Pendekatan organisasi dapat dilakukan melalui perencanaan

pengembangan, imbalan atau yang terkait dengan kepuasan kerja

perawat, beban kerja dan serta adanya effective leadership dalam

keperawatan.

2.2.5 Pengukuran Perilaku Caring

Dari 10 faktor caring Watson (2019) tersebut mendasari

pengembangan instrumen untuk mengukur perilaku caring. Instrument ini

disebut dengan Caring Behaviour Inventory (CBI) (Kalsum,2018). CBI

menggunakan skala likert. Tes reliabilitas CBI terhadap sampel 263 orang

diperoleh koefisien α kuesioner 0.83 menunjukkan reliabilitas yang tinggi,

pertanyaan dalam kuisioner CBI reliable serta dapat digunakan untuk

penelitian selanjutnya.CBI memuat konsep 5 faktor dalam perilaku caring

yang didasari dari 10 faktor caring Watson (2019) antara lain:

1. Mengakui keberadaan manusia (Assurance of human presence)

Dalam hal ini perawat menumbuhkan sensitifitas terhadap diri sendiri

dan orang lain dengan menumbuhkan harapan pada pasien. Aktivitas

perilaku caring diantaranya yaitu berinteraksi dengan pasien,

mendatangi, berbicara dengan empati, mempersilahkan pasien untuk

memanggil perawat saat ada keluhan.


2. Menanggapi dengan rasa hormat (Respectful deference).

Aktivitas perilaku caring perawat untuk menerima keluhan dari

pasiendiantaranya dengan menyapa pasien secara baik,

mendengarkan, memberi dukungan, menghargai dan menghormati,

memberi waktu pasien mengutarakan keluhan secara terbuka.

Kategori ini merupakan kombinasi dari saling percaya dan saling

membantu.

3. Pengetahuan dan keterampilan profesional (Professional knowledge

and skill).

Kategori ini perawat menggunakan metode sistematik dan terorganisir

dalam menyelesaikan masalah pasien.Perilaku caring ini diantaranya

memberi tindakan keperawatan dengan sikap ceria, percaya diridan

menggunakan bahasa yang mudah dimengerti. Hal ini didasari

problem solving dan meningkatkan belajar mengajar interpersonal

antara perawat dan pasien.

4. Menciptakan hubungan yang positif (Positive Connectedness).

Perawat harus memahami lingkungan eksternal dan internal yang

berpengaruh terhadap kesehatan pasien dengan menciptakan

lingkungan fisik,spiritual, sosial kultural yang mendukung. Kategori ini

terdiri dari aktifitas memiki sikap empati, sabar, meluangkan waktu

bersama klien, memberi dukungan, harapan serta kenyamanan saat

berinteraksi dengan pasien.

5. Perhatian terhadap yang dialami orang lain (Attentive to other’s

experience).

Perawat harus memahami kebutuhan bio, psiko, sosial, spiritual bagi

diri sendiri dan pasien.Kategori ini perawat memberi bantuan dalam

pemenuhan kebutuhan pasien dengan mengutamakan kebutuhan


pasien, dan melakukan perawatan dengan baik, memberi kesempatan

pasien mengekspresikan dengan baik.

2.3 Kecemasan

2.3.1 Definisi Kecemasan

Menurut Herdman (2019), kecemasan merupakan perasaan tidak

nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai respons autonom (sumber

sering kali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu), perasaan takut

yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Hal ini merupakan

isyarat kewaspadaan yang memperingatkan individu akan adanya bahaya

dan memampukan individu untuk bertindak menghadapi ancaman.

Kecemasan merupakan reaktivitas emosional berlebihan, depresi

yang tumpul, atau konteks sensitif, respon emosional (Clift, 2018).

Pendapat lain menyatakan bahwa kecemasan merupakan perwujudan dari

berbagai emosi yang terjadi karena seseorang mengalami tekanan

perasaan dan tekanan batin. Kondisi tersebut membutuhkan penyelesaian

yang tepat sehingga individu akan merasa aman. Namun, pada

kenyataannya tidak semua masalah dapat diselesaikan dengan baik oleh

individu bahkan ada yang cenderung di hindari. Situasi ini menimbulkan

perasaan yang tidak menyenangkan dalam bentuk perasaan gelisah, takut

atau bersalah (Supriyantini, 2020).

2.3.2 Tahap Kecemasan

Kecemasan diidentifikasikan menjadi 4 tingkat yaitu ringan, sedang,

berat dan sangat berat (panik). Semakin tinggi tingkat kecemasan individu

maka akan mempengaruhi kondisi fisik dan psikis. Kecemasan merupakan

masalah psikiatri yang paling sering terjadi, tahapan tingkat kecemasan

akan dijelaskan sebagai berikut (Stuart, 2018) :


1. Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan

sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan

meningkatkan persepsi.

2. Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan

pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga

seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan

sesuatu yang lebih terarah.

3. Kecemasan berat sangat mengurangi persepsi seseorang yang

cenderung memusatkan pada sesuatu yang terinci, spesifik dan tidak

dapat berpikir tentang hal lain.

4. Tingkat panik (sangat berat) berhubungan dengan terperangah,

ketakutan dan teror. Karena mengalami kehilangan kendali, orang

yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun

dengan pengarahan.

2.3.3 Faktor-Faktoryang mempengaruhi Kecemasan

Faktor- faktor yang mempengaruhi respon kecemasan. Ada dua

faktor presipitasi yang mempengaruhi kecemasan menurut Stuart (2021),

yaitu :

1. Faktor Presipitasi

a. Faktor eksternal

1) Ancaman integritas fisik, meliputi ketidakmampuan fisiologis

atau gangguan terhadap terhadap kebutuhan dasar (penyakit,

trauma fisik, pembedahan yang akan dilakukan).

2) Ancaman sistem diri antara lain: ancaman terhadap identitas

diri, harga diri, dan hubungan interpersonal, kehilangan serta

perubahan status atau peran.

b. Faktor internal
1) Potensi stressor

Stressor psikososial merupakan setiap keadaan atau peristiwa

yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang

sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi.

2) Maturitas

Individu yang memiliki kematangan kepribadian lebih sukar

mengalami gangguan akibat kecemasan, karena individu yang

matur mempunyai daya adaptasi yang lebih besar terhadap

kecemasan.

3) Pendidikan dan status ekonomi

Tingkat pendidikan dan status ekonomi yang rendah akan

menyebabkan orang tersebut mudah mengalami kecemasan.

Tingkat pendidikan seseorang atau individu akan berpengaruh

terhadap kemampuan berfikir, semakin tinggi tingkat

pendidikan akan semakin mudah berfikir rasional dan

menangkap informasi baru termasuk dalam menguraikan

masalah yang baru.

4) Keadaan fisik

Seorang yang akan mengalami gangguan fisik seperti cidera,

operasi akan mudah mengalami kelelahan fisik sehingga lebih

mudah mengalami kecemasan, di samping itu orang yang

mengalami kelelahan fisik mudah mengalami kecemasan.

5) Tipe kepribadian

Orang yang berkepribadian A lebih mudah mengalami

gangguan akibat kecemasan daripada orang dengan

kepribadian B. Adapun ciri-ciri orang dengan kepribadian A

adalah tidak sabar, kompetitif, ambisius, ingin serba sempurna,


merasa diburu waktu, mudah gelisah, tidak dapat tenang,

mudah tersinggung, otot-otot mudah tegang. Sedangkan orang

dengan tipe kepribadian B mempunyai ciri-ciri berlawanan

dengan tipe kepribadian A. Karena tipe kepribadian B adalah

orang yang penyabar, teliti, dan rutinitas.

6) Lingkungan dan situasi

Seseorang yang berada di lingkungan asing ternyata lebih

mudah mengalami kecemasan dibanding bila dia berada di

lingkungan yang bisa dia tempati.

7) Umur

Seseorang yang mempunyai umur lebih muda ternyata lebih

mudah mengalami gangguan akibat kecemasan daripada

seseorang yang lebih tua, tetapi ada juga yang berpendapat

sebaliknya.

8) Jenis kelamin

Gangguan panik merupakan suatu gangguan cemas yang

ditandai oleh kecemasan yang spontan dan episodik.

Gangguan ini lebih sering dialami oleh wanita daripada pria.

2. Faktor prediposisi

a. Teori psikoanalisis

Pandangan teori psikoanalisis memaparkan bahwa cemas

merupakan konflik emosional yang terjadi antara dua elemen

kepribadian yaitu id dan superego. Id mewakili dorongan insting

dan impuls primitif, sedangkan superego mencerminkan hati nurani

dan dikendalikan oleh norma budaya. Ego berfungsi menengahi

tuntutan dari dua elemen yang bertentangan tersebut dan fungsi

kecemasan untuk mengingatkan ego bahwa ada bahaya.


b. Teori interpersonal

Teori interpersonal menyatakan bahwa cemas timbul dari perasaan

takut terhadap ketidak setujuan dan penolakan interpersonal.

Cemas juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti

perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kerentanan

tertentu. Individu dengan harga diri rendah rentan mengalami

kecemasan yang berat.

c. Teori perilaku

Teori perilaku menyatakan bahwa cemas merupakan produk

frustasi. Frustasi merupakan segala sesuatu yang menggangu

kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan

dikarakteristikkan sebagai suatu dorongan yang dipelajari untuk

menghindari kepedihan. Teori pembelajaran meyakini individu yang

terbiasa sejak kecil dihadapkan pada ketakutan yang berlebihan

lebih sering menunjukkan kecemasan pada kehidupan selanjutnya.

Teori konflik memandang cemas sebagai pertentangan antara dua

kepentingan yang berlawanan. Kecemasan terjadi karena adanya

hubungan timbal balik antara konflik dan kecemasan: konflik

menimbulkan kecemasan, dan cemas menimbulkan perasaan tak

berdaya, yang pada gilirannya meningkatkan konflik yang

dirasakan.

d. Teori kajian keluarga

Kajian keluarga menunjukka bahwa gangguan cemas terjadi

didalam keluarga. Gangguan kecemasan juga tumpang tindih

antara gangguan kecemasan dan depresi.


2.3.4 Penatalaksanaan Kecemasan

Pengobatan yang paling efektif untuk pasien dengan gangguan

kecemasan umum adalah kemungkinan pengobatan yang

mengkombinasikan psikoterapi, farmakoterapi dan pendekatan suportif

(Smeltzer and Bare, 2018).

1. Psikoterapi

Teknik utama yang digunakan adalah pendekatan perilaku misalnya

relaksasi dan bio feedback (proses penyediaan suatu informasi

pada keadaan satu atau beberapa variabel fisiologi seperti denyut

nadi, tekanan darah dan temperatur kulit).

2. Farmakoterapi

Dua obat utama yang dipertimbangkan dalam pengobatan kecemasan

umum adalah buspirone dan benzodiazepin. Obat lain yang mungkin

berguna adalah obat trisiklik sebagai contonya imipramine (tofranil)–

antihistamin dan antagonis adrenergik beta sebagai contonya

propanolol (inderal).

3. Pendekatan suportif

Dukungan emosi dari keluarga dan orang terdekat akan memberi kita

cinta dan perasaan berbagai beban. Kemampuan berbicara kepada

seseorang dan mengekspresikan perasaan secara terbuka dapat

membantu dalam menguasai keadaan.

4. Pengukur kecemasan

Untuk mengetahui tingkat kecemasan, peneliti menggunakan

instrumen berupa kuesioner. Peneliti menggunakan kuesioner Zung

Self-Rating Anxiety Scale (SAS/SRAS). Zung Self-Rating Anxiety

Scale adalah penilaian kecemasan yang dirancang oleh William WK

Zung, dikembangkan berdasarkan gejala kecemasan dalam Diagnostic


and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-II). Zung Self-Rating

Anxiety Scale memiliki 20 pertanyaan yang terdiri dari 15 (no.

1,2,3,4,6,7,8,10,11,12,14,15,16,18) pertanyaan Unfavourable dan 5

(no. 5,9,13,17,19) pertanyaan Favourable. Setiap pertanyaan

favourable dan unfavourable memiliki penilaian/ penskoran yang

berbeda, untuk favorable akan mendapatkan skor Tidak pernah: 4,

kadang-kadang: 3, Sering mengalami: 2, Mengalami setiap hari: 1.

Untuk unfavorable akan mendapatkan skor yang berbeda, yaitu Tidak

pernah: 1, kadang-kadang: 2, Sering mengalami: 3, Mengalami setiap

hari: 4. Selanjutnya skor yang di capai dari semua item pertanyaan di

jumlahkan, kemudian skor yang di dapat dikategorikan menjadi 4

kriteria tingkat kecemasan (Nursalam, 2018) yaitu:

a. Normal/ tidak cemas : Skor 20-44

b. Kecemasan ringan : Skor 45-59

c. Kecemasan sedang : Skor 60-74

d. Kecemasan berat : Skor 75-80

2.3.5 Tahap Kecemasan pada Anak yang di Rawat di Rumah Sakit

2.3.5.1 Tahap Protes (Phase of Protest)

Tahap ini di manifestasikan dengan menangis kuat, menjerit dan

memanggil ibunya atau menggunakan tinggkah laku agresif seperti

menendang, menggigil, memukul, mencupit, mencoba untuk membuat

orang tua untuk tetap tinggal dan menolak perhatian orang lain. Perilaku

tersebut berlangsung berapa jam atau sampai beberapa hari, perilakunya

berlanjut dan berhenti bila anak merasa kelelahan.

2.3.5.2 Tahap Putus Asa (Phase of Despair)

Pada tahap ini anak tampak tegang, tangisnya berkurang, tidak

aktif, dan kurang berminat untuk bermain. Pada tahap ini kondisi anak
mengkhawatirkan karena anak menolak untuk makan, minum dan

bergerak.

2.2.2.3 Tahap Pelepasan (Phase of Daniel)

Pada tahap ini secara samar - samar anak menerima perpisahan,

mulai tertarik dengan apa yang ada di sekitarnya dan membina hubungan

dangkal dengan orang lain. Anak mulai kelihatan bahagia, fase ini terjadi

setelah perpisahan lama dengan orang tua. (Nursallam, 2018)

2.4 Konsep Anak

2.4.1 Definisi anak

Anak adalah seseorang yang belum berusia sampai 18 (delapan

belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (UU No. 35,

2018). Menurut WHO, batasan usia anak adalah sejak anak dalam

kandungan sampai umur 19 tahun. Pengertian anak dalam kamus umum

bahasa indonesia, adalah sebagai manusia yang masih kecil. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa anak adalah seseorang yang masih

kecil, baik laki – laki maupun perempuan, yang belum terlihat tanda –

tanda fisik orang dewasa. Menurut Lesmana (2019), secara umum

dikatakan anak adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan antara

seorang perempuan dengan seorang laki - laki meskipun tidak melakukan

pernikahan tetap dikatakan anak. Menurut Kosnan (2019), anak yaitu

manusia muda dalam umur, muda dalam jiwa dan perjalanan hidupnya

karena mudah terpengaruh dengan keadaan sekitarnya. Sugiri dalam

Gultom (2020), menyatakan bahwa selama di tubuhnya masih berjalan

proses pertumbuhan dan perkembangan, anak masih dikatakan sebagai

anak dan baru menjadi dewasa ketika proses pertumbuhan dan

perkembangan itu selesai jadi batas umur anak - anak adalah sama
dengan permulaan menjadi dewasa yaitu 18 tahun untuk wanita dan 21

tahun untuk laki – laki.

2.4.2 Tingkat perkembangan anak

Erikson (2020), meyakini bahwa pada setiap jenjang

kehidupannya, manusia akan menghadapi konflik yang berpengaruh

besar pada karakter dirinya. Konflik ini bisa berpengaruh positif maupun

negatif. Apabila tahapan psikososial di usia tertentu bisa terlewati dengan

baik, maka kekuatan ego akan meningkat. Di sisi lain, apabila tidak

terlewati dengan baik, rasa kurang ini akan terbawa hingga dewasa.

Penjabaran tentang tahapan psikosial Erikson dibedakan menjadi:

1) Usia bayi (0 -1 tahun)

Tahap pertama teori perkembangan psikososial adalah yang

paling penting bagi kehidupan manusia. Pada fase ini, konflik akan

berpusat pada kepercayaan atau “trust vs mistrust”. Artinya, peran orang

di sekitarnya sebagai pengasuh sangatlah krusial. Apabila pengasuh

berhasil memberikan makanan, kasih sayang, kehangatan, rasa aman,

dan sebagainya, maka akan membentuk karakter seseorang yang bisa

percaya kepada orang lain. Sebaliknya, jika bayi tidak mendapatkan

pengasuhan yang konsisten, tidak dekat secara emosional, atau merasa

terabaikan, maka akan tumbuh menjadi orang yang takut dan tidak

percaya pada dunia. Hasil akhir dari proses ini adalah harapan.

2) Usia Anak - Anak (2 - 3 tahun)

Memasuki tahap kedua, bayi sudah tumbuh menjadi anak-anak

yang memiliki kendali diri lebih besar. Tak hanya itu, anak juga mulai

mandiri.Fase potty training cukup krusial untuk melewati fase “autonomy

vs shame and doubt” ini. Erikson meyakini bahwa anak yang memiliki

kendali diri akan otomatis merasa lebih mandiri. Contohnya saat bisa
memilih apa yang dimakan, mainan favorit, hingga baju yang akan

dikenakan. Hasil akhir dari proses ini adalah keinginan atau will. Jika

berhasil, anak akan memiliki kuasa atas dirinya. Jika gagal, akan muncul

rasa malu dan penuh keraguan.

3) Usia pra sekolah (4 - 5 tahun)

Di tahap ini, anak mulai terlibat dalam permainan dan interaksi

sosial. Jika berhasil melewatinya dengan baik, anak akan merasa bisa

memimpin orang lain. Sementara bagi yang gagal, akan kerap merasa

bersalah, meragukan kemampuan diri sendiri, dan jarang berinisiatif. Ini

adalah fase “initiative vs guilt” yang membentuk karakter manusia hingga

memiliki tujuan hidup atau purpose. Hasil ini hanya bisatercapai apabila

anak berhasil menyeimbangkan kapan menyampaikan inisiatif dan kapan

mau bekerja sama dengan orang lain. 4) Usia sekolah (6 – 11)

Lewat interaksi sosial, anak mulai merasakan bangga ketika

berhasil melakukan sesuatu. Pada usia sekolah ini pula, mereka harus

menghadapi tantangan berupa target sosial dan akademis. Di fase

“industry vs inferiority” ini, yang berhasil melewatinya akan merasa

kompeten. Sebaliknya, yang gagal akan merasa inferior. Itulah mengapa

hasil akhir dari fase ini adalah “confidence”. Anak-anak yang di usia

sekolah jarang mendapat apresiasi atau dukungan dari orang terdekat

akan meragukan kemampuannya menjadi sukses.

5) Usia remaja (12 – 18)

Fase selanjutnya adalah “identity vs role confusion” yaitu saat

remaja mencari jati diri yang akan berpengaruh pada hidupnya dalam

jangka panjang. Remaja yang berhasil akan konsisten dengan dirinya,

sementara yang gagal akan merasa bingung tentang jati dirinya. Jati diri

ini berkaitan dengan kepercayaan, konsep ideal, dan nilai yang


membentuk karakter seseorang. Jika berhasil, maka akan ada hasil akhir

berupa fidelity, kemampuan untuk hidup berdampingan dengan harapan

dan standar masyarakat.

6) Usia awal dewasa (19 – 40)

Fase “intimacy vs isolation” berkaitan erat dengan hubungan kasih

sayang dengan pasangan. Jika berhasil, maka orang bisa membentuk

hubungan yang kuat. Sebaliknya jika gagal, seseorang justru akan

menutup dirinya. Mengingat tiap tahapan berkaitan dengan fase

sebelumnya, hal ini berkaitan pula dengan identitas. Orang yang tidak

yakin tentang identitas dirinya cenderung lebih mudah merasa kesepian

hingga depresi. Hasil akhir dari tahapan ini adalah love.

7) Usia dewasa (41 – 65)

Fase “intimacy vs isolation” berkaitan erat dengan hubungan kasih

sayang dengan pasangan. Jika berhasil, maka orang bisa membentuk

hubungan yang kuat. Sebaliknya jika gagal, seseorang justru akan

menutup dirinya. Mengingat tiap tahapan berkaitan dengan fase

sebelumnya, hal ini berkaitan pula dengan identitas.Orang yang tidak

yakin tentang identitas dirinya cenderung lebih mudah merasa kesepian

hingga depresi. Hasil akhir dari tahapan ini adalah love.

8) Kematangan (65 – meninggal dunia)

Inilah tahap ketika seseorang melakukan refleksi pada apa yang

dilakukannya semasa muda. Jika merasa puas dengan pencapaiannya,

maka akan muncul rasa cukup. Sebaliknya jika tidak puas, akan muncul

penyesalan hingga rasa putus asa. Hasil akhir dari fase ini adalah

kebijaksanaan atau wisdom. Orang yang merasa puas terhadap apa yang

dilakukannya semasa muda akan siap menghadapi akhir hidupnya

dengan damai.
2.4.3 Kebutuhan dasar anak

Secara umum kebutuhan dasar anak digolongkan menjadi 3

bagian menurut Soetjningsih (2019), yaitu :

1) Kebutuhan biomedis (asuh)

Kebutuhan biomedis meliputi: pangan/ gizi (kebutuhan terpenting),

perawatan kesehatan dasar (antara lain imunisasi, pemberian ASI,

perkembangan anak yang teratur, pengobatan saat sakit, pemukiman

yang layak, kebersihan perorangan, sanitasi lingkungan, sandang,

kebugaran jasmani, dan rekreasi.

2) Kebutuhan emosi/kasih sayang (asih)

Pada tahun pertama kehidupan, hubungan yang penuh kasih

sayang, erat, mesra, dan selaras antara ibu dan anak merupakan syarat

untuk menjamin tumbuh kembang yang optimal, baik fisik, mental,

maupun psikososial.

3) Kebutuhan akan stimulasi mental (asah)

Stimulasi mental merupakan cikal bakal untuk proses belajar

(pendidikan dan pelatihan) pada anak. Stimulasi mental (asah) ini

merangsang perkembangan mental psikososial seperti kecerdasan,

keterampilan, kemandirian, kreativitas, agama, kepribadian, moral.

Anda mungkin juga menyukai