Anda di halaman 1dari 11

BAB II

PEMBAHASAN

2.1

Pengertian Hospitalisasi
Hospitalisasi merupakan perawatan yang dilakukan dirumah sakit
dan dapat menimbulkan trauma dan stress pada klien yang baru
mengalami rawat inap dirumah sakit. Hospitalisasi dapat diartikan juga
sebagai suatu keadaan yang memaksa seseorang harus menjalani rawat
inap di rumah sakit untuk menjalani pengobatan maupun terapi yang
dikarenakan klien tersebut mengalami sakit. Pengalaman hospitalisasi
dapat mengganggu psikologi seseorang terlebih bila seseorang tersebut
tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya di rumah sakit.
Pengalaman hospitalisasi yang dialami klien selama rawat inap tersebut
tidak hanya mengganggu psikologi klien, tetapi juga akan sangat
berpengaruh pada psikososial klien dalam berinteraksi terutama pada
pihak rumah sakit termasuk pada perawat.
Dalam Supartini (2002), hospitalisasi merupakan suatu proses yang
karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak
untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai
pemulangannya kembali ke rumah.
Penelitian membuktikan bahwa hospitalisasi anak dapat menjadi
suatu pengalaman yang menimbulkan trauma, baik pada anak, maupun
orang tua. Sehingga menimbulkan reaksi tertentu yang akan sangat
berdampak pada kerja sama anak dan orang tua dalam perawatan anak
selama di rumah sakit. Oleh karena itu betapa pentingnya perawat
memahami konsep hospitalisasi dan dampaknya pada anak dan orang tua
sebagai dasar dalam pemberian asuhan keperawatan.

2.2

Manfaat Hospitalisasi
Menurut

Supartini

(2004),

cara

memaksimalkan

manfaat

hospitalisasi anak adalah sebagai berikut.


1. Membantu perkembangan orang tua dan anak dengan cara memberi
kesempatan orang tua mempelajari tumbuh-kembang anak dan reaksi
anak terhadap stressor yang dihadapi selama dalam perawatan di
rumah sakit.
2. Hospitalisasi dapat dijadikan media untuk belajar orang tua. Untuk itu,
perawat dapat memberi kesempatan pada orang tua untuk belajar
tentang penyakit anak, terapi yang didapat, dan prosedur keperawatan
yang dilakukan pada anak, tentunya sesuai dengan kapasitas
belajarnya.
3. Untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri dapat dilakukan dengan
memberi kesempatan pada anak mengambil keputusan, tidak terlalu
bergantung pada orang lain dan percaya diri. Tentunya hal ini hanya
dapat dilakukan oleh anak yang lebih besar, bukan bayi. Berikan
selalu penguatan yang positif dengan selalu memberikan pujian atas
kemampuan

anak

dan

orang

tua

dan

dorong

terus

untuk

meningkatkannya.
4. Fasilitasi anak untuk menjaga sosialisasinya dengan sesama pasien
yang ada, teman sebaya atau teman sekolah. Beri kesempatan padanya
untuk saling kenal dan berbagi pengalamannya. Demikian juga
interaksi dengan petugas kesehatan dan sesama orang tua harus
difasilitasi oleh perawat karena selama di rumah sakit orang tua dan
anak mempunyai kelompok sosial yang baru.
2.3

Faktor-Faktor Penunjang Hospitalisasi


Faktor-faktor yang menunjang hospitalisasi (Stevens, 1992) :
1. Kepribadian Manusia.
Tidak setiap orang peka terhadap hospitalisasi. Kita melihat ada
sebagian orang yang sangat menderita dan sangat tergantung pada
pada apa yang diberikan lingkungannya. Namun ada juga yang
menangani sendiri dan tidak bisa menerima keadaan itu begitu saja.
Semua tergantung dari segi kepribadian manusia itu sendiri.

2. Kehilangan Kontak dengan Dunia Luar Rumah Perawatan.


Pasien atau orang yang tinggal di rumah perawatan akan
kehilangan kontak yang sudah lama berjalan dengan terpaksa. Dia
sudah tidak berada lagi dalam lingkungan yang aman yang dijalaninya
dalam

sebagian

besar

hidupnya.

Orang-orang

yang

sering

berkomunikasi dengannya kini hanya sekedar bertamu dalam suasana


yang

berbeda,

hanya

sebagian

kecil

keluarga

dekat

yang

menemaninya. Sebagian besar kontak-kontak dengan orang senasib


yang terbatas dalam ruang perawatan yang sama dan dengan orangorang yang membantunya. Dunia mereka boleh dikatakan terbatas
pada lingkungan kecil. Apalagi ia bergaul dengan orang-orang yang
sebenarnya bukan pilihannya.
3. Sikap Pemberi Pertolongan.
Ada perbedaan tugas antara

pasien

dan

yang

memberi

pertolongan.Ini terlihat jelas dalam kegiatan mereka sehari-hari.


Pasien biasanya menunggu dan yang menolong yang menentukan apa
yang dilakukan dan kapan. Pasien menunggu apa yang terjadi dan
perawat yang tahu. Pasien tergantung pada yang menolong dan ia
terpaksa mengikuti. Ia sering merasa tidak berdaya sehingga merasa
harga dirinya berkurang. Hal ini membuat dirinya lebih merasa
tergantung. Perawat melakukan pekerjaan yang rutin dan berkembang
sedikit saja, hal ini akan membuat mereka menanamkan jiwa
hospitalisasi pada pasien.
4. Suasana Bagian Perawatan.
Suasana bagian sebagian besar ditentukan oleh sikap perawat, baik
oleh hubungan antar sesama perawat, maupun oleh sikap mereka
terhadap pasien dan tamu-tamu mereka. Cara berpakaian orang-orang
di bagian juga sangat penting. Cara manusia bergaul,

dapat

mempengaruhi sikap pasien. Ketergantungan antara personal biasanya


mudah dapat dipengaruhi. Pasien yang dirawat inap mendapat kesan
bahwa mereka bukan yang terpenting dalam perawatan ini. Juga
ternyata bahwa orang-orang yang hanya mendapatkan tugas
melaksanakan pekerjaan dan tanpa bisa memberi tanggapan atau saran

maka pasien-pasien atau tamu-tamu mereka akan diperlakukan sama


seperti itu. Ini memperbesar kemungkinan adanya hospitalisasi.
5. Obat-Obatan.
Obat-obatan dapat memberi pengaruh besar pada sikap. Beberapa
obat-obatan dapat mengakibatkan adanya tanda-tanda yang sama
seperti hospitalisasi. Dengan sendirinya, kemungkinan hospitalisasi
besar. Jika dipakai obat-obatan yang dapat merangsang adanya sikap
2.4

tadi.
Stressor dalam Hospitalisasi
Saat dirawat di rumah sakit atau tengah menjalani proses
hospitalisasi, klien dalam hal ini adalah anak), tentu akan mengalami stress
akibat dari segala macam bentuk perubahan yang ia alami, seperti
perubahan lingkungan, suasana, dan lain sebagainya.
1. Reaksi anak terhadap hospitalisasi
Stressor dan reaksi hospitalisasi sesuai dengan tumbuh kembang pada
anak.
a. Masa Bayi (0-1 tahun)
Dampak perpisahan, usia anak diatas 6bulan terjadi stanger
anxiety (cemas) seperti menangis keras, pergerakan tubuh
yang banyak, ekspresi wajah yang tidak menyenangkan.
b. Masa Todler (2-3 tahun)
Sumber utama adalah cemas akibat perpisahan. Disini respon
perilaku anak dengan tahapnya.
c. Masa Prasekolah (3-6 tahun)
Sering kali dipersepsikan anak sekolah sebagai hukuman,
sehingga menimbulkan reaksi agresif, seperti menolak makan,
sering bertanya, menangis perlahan dan tidak kooperatif
terhadap petugas kesehatan.

d. Masa Sekolah (6-12 tahun)


Perawatan di rumah sakit memaksakan anak meninggalkan
lingkungan yang dicintai, meninggalkan keluarga, kehilangan
kelompok sosial, sehingga ini menimbulkan kecemasan pada
anak.

e. Masa Remaja (12-18 tahun)


Anak remaja begitu percaya dan terpengaruh kelompok
sebayanya. Reaksi yang muncul adalah menolak perawatan
dan tindakan yang dilakukan, tidak kooperatif dengan petugas,
bertanya-tanya, menarik diri dan menolak kehadiran orang
lain.
2. Reaksi keluarga terhadap hospitalisasi
Berikut beberapa reaksi orang tua saat anak mereka dirawat di rumah
sakit adalah
a. Perasaan Cemas dan Takut
Perasaan cemas ini mungkin dapat terjadi ketika orang tua
melihat anaknya mendapat prosedur menyakitkan seperti
pengambilan darah, injeksi, dan prosedur invasiof lainnya. Hal
ini mungkin saja membuat orang tua merasa sedih atau bahkan
menangis karena tidak tega melihat anaknya. Oleh karea itu,
pada kondisi ini perawat atau petugas kesehatan harus lebih
bijaksana bersikap pada anak dan orang tuanya.
Perilaku yang sering ditunjukkan orang tua berkaitan
dengan adanya perasaan cemas dan takut ini adalah sering
bertanya atau bertanya tentang hal yang sama secara berulang
pada orang yang berbeda, gelisah, ekspresi wajah tegang, dan
bahkan marah (Supartini, 2001).
b. Perasaan Sedih
Perasaan sedih sering muncul ketika anak pada saat anak
berada pada kondisi termal dan orang tua mengetahui bahwa
anaknya hanya memiliki sedikit kemungkinan untuk dapat
sembuh. Bahkan ketika menghadapi anaknya yang menjelang
ajal, orang tua merasa sedih dan berduka. Namun di satu sisi,
orang tua harus berada di samping anaknya sembari
memberikan bimbingan spiritual pada anaknya. Pada kondisi
ini, orang tua menunjukkan perilaku isolasi atau tidak mau
didekati orang lain, bahkan bisa tidak kooperatif terhadap
petugas kesehatan (Supartini, 2000).

c. Perasaan Frustasi
Pada kondisi ini, orang tua merasa frustasi dan putus asa
ketika melihat anaknya yang telah dirawat cukup lama namun
belum mengalami perubahan kesehatan menjadi lebih baik.
Oleh karena itu, perlu adanya dukungan psikologis dari pihakpihak luar (seperti keluarga ataupun perawat atau petugas
kesehatan).
d. Perasaan Bersalah
Perasaan bersalah muncul karena orang tua menganggap
dirinya telah gagal dalam memberikan perawatan kesehatan
pada anaknya sehingga anaknya harus mengalami suatu
perubahan kesehatan yang harus ditangani oleh tenaga
kesehatan di rumah sakit.
2.5

Dampak Hospitalisasi
Menurut Asmadi (2008), hospitalisasi merupakan pengalaman
yang mengancam bagi setiap orang. Penyakit yang diderita akan
menyebabkan perubahan perilaku normal sehingga klien perlu menjalani
perawatan. Secara umum,

menurut Asmadi (2008), hospitalisasi

menimbulkan dampak pada beberapa aspek, yaitu:


1. Privasi
Privasi dapat diartikan sebagai refleksi perasaan
nyaman pada diri seseorang dan bersifat pribadi. Bisa
dikatakan, privasi adalah suatu hal yang sifatnya pribadi.
Sewaktu dirawat di rumah sakit, klien kehilangan sebagai
privasinya.
Kondisi ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu :
a. Selama dirawat di rumah sakit, klien berulang kali diperiksa
oleh petugas kesehatan. Bagian tubuh yang biasanya dijaga
agar tidak dilihat, tiba-tiba dilihat dan disentuh oleh orang lain.
Hal ini tentu akan membuat klien merasa tidak nyaman.
b. Klien adalah orang yang berada dalam keadaan lemah dan
bergantung pada orang lain. Kondisi ini cendurung membuat

klien pasrah dan menerima apapun tindakan petugas kesehatan


kepada dirinya asal ia cepat sembuh.
Menyikapi hal tersebut, perawat harus selalu memperhatikan
dan menjaga privasi klien ketika berinteraksi dengan mereka.
Beberapa hal yang dapat perawat lakukan guna menjaga
privasi klien adalah sebagai berikut.
a. Setiap akan melakukan tindakan keperawatan, perawat harus
selalu memberitahu dan menjelaskan perihal tindakan tersebut
kepada klien.
b. Memperhatikan lingkungan sebelum melaksanakan tindakan
keperawatan. Yakinkan bahwa lingkungan tersebut menunjang
privasi klien.
c. Menjaga kerahasiaan tentang segala sesuatu yang berkaitan
dengan klien. Sebagai contoh, setelah memasang kateter,
perawat tidak boleh menceritakan alat kelamin pasien kepada
orang lain, termasuk pada teman sejawat.
d. Menunjukkan sikap profesional selama berinteraksi dengan
klien. Perawat tidak boleh mengeluarkan kata-kata yang dapat
membuat klien malu atau marah. Sikap tubuh pun tidak boleh
layaknya majikan kepada pembantu.
e. Libatkan klien dalam aktivitas keperawatan sesuai dengan
batas kemampuannya jika tidak ada kontraindikasi.
2. Gaya hidup
Klien yang dirawat di rumah sakit sering kali mengalami
perubahan pola gaya hidup. Hal ini disebabkan oleh perubahan
kondisi antara rumah sakit dengan rumah tempat tinggal klien,
juga oleh perubahan kondisi keehatan klien. Aktivitas hidup
yang klien jalani sewaktu sehat tentu berbeda dengan aktivitas
yang dialaminya selama di rumah sakit. Perubahan gaya hidup
akibat hospitalisasi inilah yang harus menjadi perhatian setiap
perawat.

Asuhan

keperawatan

yang

diberikan

harus

diupayakan sedemikian rupa agar dapat menghilangkan atau


setidaknya meminimalkan perubahan yang terjadi.

3. Otonom
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa individu
yang sakit da dirawat di rumah sakit berada dalam posisi
ketergantungan. Artinya, ia akan pasrah terhadap tindakan
apapun yang dilakukan oleh petugas kesehatan demi mencapai
keadaan sehat. Ini meniunjukkan bahwa klien yang dirawat di
rumah sakit akan mengalami perubahan otonomi. Untuk
mengatasi perubahan ini, perawat harus selalu memberitahu
klien sebelum melakukan intervensi apapun dan melibatkan
klien dalam intervensi, baik secara aktif maupun pasif.
4. Peran
Peran dapat diartikan sebagai seperangkat perilaku yang
diharapkan individu sesuai dengan status sosialnya Jika ia
seorang perawat, peran yang diharapkan adalah peran sebagai
perawat bukan sebagai dokter. Selain itu, peran yang dijalani
seseorang adalah sesuai dengan status kesehatannya. Peran
yang dijalani sewaktu sehat tentu berbeda dengan peran yang
dijalani saat sakit. Tidak mengherankan jika klien yang dirawat
di rumah sakit mengalami perubahan peran.
2.6

Dampak Dirawat di Rumah Sakit Sakit terhadap Psikososial Pasien


Tingkah laku pasien yang dirawat di rumah sakit dapat dikenal
menurut Berton (1958 dalam Stevens, 1992)
2.1
Kelemahan untuk berinisiatif.
2.2
Kurang dan tidak ada perhatian tentang hari depan.
2.3
Tak berminat atau tidak ada daya tarik.
2.4
Kurang perhatian cara berpakaian dan segala sesuatu yang bersifat
2.5

pandangan luas.
Ketergantungan dari orang-orang yang membantunya.
Pengalaman hospitalisasi ini dapat mengganggu psikologi seseorang

terlebih bila seseorang tersebut tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan


barunya di rumah sakit. Pengalaman hospitalisasi yang dialami klien
selama rawat inap tersebut tidak hanya mengganggu psikologi klien, tetapi
juga akan sangat berpengaruh pada psikososial klien dalam berinteraksi
terutama pada pihak rumah sakit termasuk pada perawat.

Masalah yang dapat ditimbulkan adalah berupa cemas, rasa


kehilangan, dan takut akan tindakan yang dilakukan oleh pihak rumah
sakit, jika masalah tersebut tidak diatasi maka akan mempengaruhi
perkembangan psikososial, terutama pada anak-anak. Berbagai perasaan
yang sering muncul pada anak yang berkaitan dengan psikologi anak
adalah cemas , marah, sedih dan rasa bersalah. Perasaan itu dapat timbul
karena menghadapi sesuatu yang baru dan belum penah dialami
sebelumnya, rasa tidak aman dan tidak nyaman, perasaan kehilangan
sesuatu yang dirasakan menyakitkan. Tidak hanya klien, orang tua juga
mengalami yang sama.
Masalah tersebut akan berpengaruh pada pelayanan keperawatan yang
akan diberikan, karena yang mengalami masalah psikososial akibat
hospitalisasi cenderung tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan di
rumah sakit. Hal ini tentu saja akan menyebabkan terganggunya interaksi
baik dari perawat maupun tim medis lain di rumas sakit.
2.7 Mengatasi Dampak Hospitalisasi
Menurut Supartini, cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi dampak
hospitalisasi adalah sebagai berikut :
1. Upaya meminimalkan stresor :
Upaya meminimalkan stresor dapat dilakukan dengan cara mencegah
atau mengurangi dampak perpisahan, mencegah perasaan kehilangan
kontrol dan mengurangi atau meminimalkan rasa takut terhadap
pelukaan tubuh dan rasa nyeri.
2. Untuk mencegah dan meminimalkan dampak perpisahan dapat
dilakukan dengan cara adalah
a. Melibatkan keluarga berperan aktif dalam merawat pasien
dengan cara membolehkan mereka tinggal bersama pasien
selama 24 jam (rooming in).
b. Jika tidak mungkin untuk rooming in, beri kesempatan
keluarga untuk melihat pasien setiap saat dengan maksud
mempertahankan kontak antar mereka.

c. Modifikasi ruangan perawatan dengan cara membuat situasi


ruangan rawat perawatan seperti di rumah dengan cara
membuat dekorasi ruangan.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hospitalisasi adalah suatu proses yang harus dilalui anak akibat adanya
suatu alasan sehingga mengharuskan anak untuk menjalani perawatan di rumah
sakit. Hospitalisasi dapat dipengaruhi oleh kepribadian seseorang, pemberi
pelayanan, suasana bagian pelayanan, dan hilangnya kontak dengan dunia luar.
Bagi anak yang menganggap bahwa dunia rumah sakit merupakan dunia baru
baginya, orang tua bersama tenaga kesehatan harus mempersiapkan anak sebelum
mendapatkan pelayanan kesehatan. Saat dirawat di rumah sakit atau tengah
menjalani proses hospitalisasi, klien (dalam hal ini adalah anak), tentu akan
mengalami stress akibat dari segala macam bentuk perubahan yang ia alami,
seperti perubahan lingkungan, suasana, dan lain sebagainya. Stressor dan reaksi
hospitalisasi sesuai dengan tumbuh kembang pada anak.

Selain pada diri pasien (seperti perubahan gaya hidup, hilangnya privasi
dan otonomi, dan lain sebaginya), dampak dari hospitalisasi juga akan dirasakan
oleh orang tua, yaitu orang tua akan merasa stress, frustasi, serta merasa bersalah
karena ia tidak dapat memberikan pemenuhan kebutuhan kesehatan yang baik
untuk anaknya.Apalagi bila mendengan kabar buruk mengenai kondisi anak.
Manfaat dari hospitalisasi ini dapat dimaksimalkan dengan cara memberikan
kesempatan kepada anak ataupun orang tua untuk mengetahui dan terlibat dalam
proses perawatan walaupun tidak terlibat secara menyeluruh.

3.2 Saran
Dampak dari hospitalisasi yang sering kita lihat saat ini tentu dapat
memacu tingkat stress pasien ataupun keluarga. Oleh karena itu, konsep
hospitalisasi yang benar seharusnya dapat ditekankan lagi oleh tenaga kesehatan
(perawat dan dokter) sehingga manfaat dari hospitalisasi itu sendiri dapat
dimaksimalkan.

Anda mungkin juga menyukai