KOMUNIKASI ANAK Dr. M. Hasinuddin, S.Kep.Ns.M.Kep. Hospitalisasi
Hospitalisasi adalah suatu proses karena suatu
alasan darurat atau berencana yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah (Dachi, 2006). Hospitalisasi merupakan bentuk stresor individu yang berlangsung selama individu tersebut dirawat di rumah sakit. Hospitalisasi merupakan pengalaman yang mengancam bagi individu karena stresor yang dihadapi dapat menimbulkan perasaan tidak aman. Pemahaman anak tentang hospitalisasi akan tergantung dari usia anak. Jika anak yang dirawat di rumah sakit mempunyai kakak atau adik, orang tua harus menjelaskan apa yang akan terjadi pada saudaranya. Hospitalisasi berpengaruh pada seluruh keluarga sehingga saudara kandung dapat dipersiapkan untuk berpartisipasi dalam perawatan anak yang sakit. Reaksi hospitalisasi
Reaksi anak terhadap sakit dan hospitalisasi
dipengaruhi oleh tingkat perkembangan usia, pengalaman sebelumnya, support system dalam keluarga, keterampilan koping, dan berat ringannya penyakit. Anak – anak mempunyai reaksi dalam menghadapi hospitalisasi dimulai saat sebelum masuk rumah sakit, selama hospitalisasi, dan setelah pulang dari rumah sakit. Perubahan perilaku temporer dapat terjadi selama anak dirawat di rumah sakit sampai pulang dari rumah sakit. Perubahan ini disebabkan oleh (1) perpisahan dari orang- orang terdekat, (2) hilangnya kesempatan untuk membentuk hubungan baru, dan (3) lingkungan yang asing ( Wong, 2007). reaksi anak terhadap hospitalisasi sesuai dengan tahap usianya adalah:
Masa bayi (0-1 tahun)
Usia anak lebih dari 6 bulan terjadi stanger anxiety, dengan menunjukkan reaksi seperti menangis keras, pergerakan tubuh yang banyak, dan ekspresi wajah yang tidak menyenangkan. Masa toddler (1-3 tahun) Sunber utama adalah cemas akibat perpisahan. Respon perilaku anak terhadap perpisahan dengan tahap sebagai berikut: Tahap protes menangis, menjerit, menolak perhatian orang lain. Menangis berkurang, anak tidak aktif, kurang menunjukkan minat bermain, sedih, apatis. Pengingkaran/denial Mulai menerima perpisahan Membina hubungan secara dangkal Anak mulai menyukai lingkungannya. Masa prasekolah (3-5 tahun) Anak prasekolah seringkali mempersepsikan sakit sebagai hukuman, sehingga menimbulkan reaksi agresif seperti menolak makan, sering bertanya, menangis perlahan, tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan. Masa sekolah (6-12 tahun) Perawatan di rumah sakit memaksa anak meninggalkan lingkungan yang dicintai, meninggalkan keluarga, dan kehilangan kelompok sosial sehingga menimbulkan kecemasan. Masa remaja (12-18 tahun) Anak remaja sangat terpengaruh oleh lingkungan sebayanya. Reaksi yang muncul seperti menolak perawatan atau tindakan yang dilakukan, tidak kooperatif dengan petugas, bertanya- tanya, menarik diri, menolak kehadiran orang lain. Reaksi hospitalisasi
Anak prasekolah mempersepsikan sakit
sebagai suatu hukuman untuk perilaku buruk, hal ini terjadi karena anak masih mempunyai keterbatasan tentang dunia sekitar mereka. Anak mempunyai kesulitan dalam pemahaman mengapa mereka sakit, tidak bisa bermain dengan temannya, mengapa mereka terluka dan nyeri sehingga membuat mereka harus pergi ke rumah sakit dan harus mengalami hospitalisasi. Reaksi anak terhadap hukuman yang diterimanya dapat bersifat passive, cooperative, membantu, anak mencoba menghindar dari orang tua, dan anak menjadi marah (Wong, 2007). Dampak hospitalisasi
Dampak hospitalisasi yang dialami
bagi anak dan keluarga akan menimbulkan stres dan tidak merasa aman. Jumlah dan efek stres tergantung pada persepsi anak dan keluarga terhadap kerusakan penyakit dan pengobatan. Dampak...
Selama proses tersebut, bukan saja anak
tetapi orang tua juga mengalami kebiasaan yang asing, lingkungan yang asing, orang tua yang kurang mendapat dukungan emosi akan menunjukkan rasa cemas. Rasa cemas pada orang tua membuat stres anak meningkat (Dachi, 2006). Manfaat...
Hospitalisasi merupakan kondisi yang
stresful bagi anak, tetapi dapat juga memberi manfaat. Manfaat yang paling terlihat adalah proses penyembuhan anak dari sakit dan hospitalisasi juga akan memberikan kesempatan pada anak untuk mengendalikan stres dan mampu untuk menggunakan kemampuan koping mereka Lingkungan rumah sakit membuat anak mempunyai pengalaman sosial baru yang dapat memperluas hubungan interpersonal mereka (Wong, 2007). ATRAUMATIC CARE Atraumatic care
Atraumatic care atau asuhan
yang tidak menimbulkan trauma pada anak dan keluarganya merupakan asuhan yang terapeutik karena bertujuan sebagai terapi bagi anak. Dasar pemikiran pentingnya asuhan terapeutik ini adalah bahwa walaupun ilmu pengetahuan dan tehnologi di bidang pediatrik telah berkembang pesat, tindakan yang dilakukan pada anak tetap menimbulkan trauma, rasa nyeri, marah, cemas dan takut pada anak. Sangat disadari bahwa sampai saat ini belum ada teknologi yang dapat mengatasi masalah yang timbul sebagai dampak perawatan tersebut diatas. Hal ini memerlukan perhatian khusus dari tenaga kesehatan, khususnya perawat dalam melaksanakan tindakan pada anak dan orang tua (Supartini, 2004). Prinsip atraumatic care
Lingkungan fisik dan psikososial rumah sakit
dapat menjadi stresor bagi anak untuk menimbulkan trauma. Prinsip dasar dari perawatan atraumatik yang harus dimiliki oleh setiap perawat anak terdiri dari 5 komponen : menurunkan atau mencegah perpisahan dari keluarga meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol perawatan pada anak Prinsip...
mencegah atau mengurangi cedera dan
nyeri tidak melakukan kekerasan pada anak modifikasi lingkungan fisik. Selain itu perilaku petugas dan ruangan perawatan anak tidak dapat disamakan seperti orang dewasa. HAMBATAN Anak yang perlu melakukan adaptasi dari mulai lingkungan, ketidaknyamanan kondisi fisik karena penyakit yang diderita dan ketidaknyamanan yang ditimbulkan proses keperawatan yang diberikan, bentuk ketidaknyamanan yang dapat dilihat pada anak dari segi fisik seperti menangis, gangguan pola tidur, sehingga anak sulit untuk dapat mencukupi kebutuhan nutrisinya. Hambatan...
selain itu pada saat hospitalisasi yang
dilakukan pada anak dirumah sakit pada umumnya sulit untuk dapat bersikap kooperatif sehingga intervensi hospitalisasi tidak tercapai secara maksimal keadaan tersebut merupakan hambatan bagi proses keperawatan dalam rangka mengembalikan kondisi anak pada kondisi normal (Yuli, 2009). Peran Perawat dalam Atraumatic Care
Menyiapkan anak untuk menjalani
perawatan atau prosedur tindakan yang diberikan di rumah sakit, mencegah atau meminimalkan dampak perpisahan dari anggota keluarga, meminimalkan perasaan kehilangan kendali pada anak karena anak sering kehilangan saat mengalami tingkat stres, Peran Perawat dalam Atraumatic Care...
mencegah atau meminimalkan perlukaan
tubuh karena biasanya anak berontak akan tindakan yang diberikan di rumah sakit, memenuhi kebutuhan bermain seperti mendengarkan musik, anak diberikan terapi mendengarkan musik atau mengalihkan perhatian anak untuk mengurangi tingkat cemas selama menjalani stres. Tindakan yang dilakukan dalam mengatasi masalah anak, apapun bentuknya harus berlandaskan pada prinsip atraumatik care atau asuhan yang terapeutik yang karena bertujuan sebagai terapi bagi anak. Perawatan terapeutik pada anak tidak terlepas dari peran serta orang tua (Supartini, 2004). Tindakan keperawatan...
Tindakan keperawatan atraumatik care pada
anak adalah : memodifikasi lingkungan fisik rumah sakit dengan mendisainnya seperti rumah, yaitu penataan dan dekorasi yang bernuansa anak (misalnya, menggunakan alat tenun dan tirai bergambar bunga atau binatang lucu, hiasan dinding bernuansa bergambar dunia binatang atau fauna, papan nama pasien bergambar lucu, dinding berwarna dan penggunaan warna yang cerah diruangan, tangga dicat berwarna-warni), perawat tidak menggunakan pakaian putih-putih, pasien boleh memegang alat-alat medis. Komunikasi Perawat – Pasien Anak
Perawat perlu menjaga hubungan kerjasama yang
baik dengan pasien, peran komunikasi sangat dibutuhkan untuk menciptakan hubungan yang baik antara perawat dengan pasien. dalam memberikan asuhan keperawatan komunikasi yang dilakukan perawat dengan pasien bukanlah komunikasi sosial biasa, melainkan komunikasi yang bersifat terapi. Komunikasi seperti itu disebut juga dengan komunikasi terapeutik yang merupakan komunikasi antara perawat dengan pasien yang dilakukan secara sadar, selain itu bertujuan untuk kesembuhan pasien Komunikasi perawat – pasien anak...
Dari banyak kasus yang ditemukan, pada umumnya
perawat hanya akan masuk ke kamar pasien hanya untuk mengganti infus, merawat luka, memberikan suntikan, memberikan obat dan menunggu apabila ada panggilan bell (nurse call) dari pasien atau keluarga pasien. (http://ksh.co.id/newsDetail.php? ksh=2&do=30, 22 April 2008 ; 14.08 WIB) Dari kasus tersebut terlihat bahwa interaksi komunikasi yang dilakukan perawat dengan pasien bisa dikatakan minim. Komunikasi perawat – pasien anak...
Selain itu terdapat kasus yang dialami oleh
salah satu klien RSUD Ungaran, saat anaknya hendak dirawat. Saat anaknya hendak diinfuse perawat tidak memperbolehkan menemani pasien anak, sehingga pasien anak mengalami trauma pada perawat. (hasil wawancara dengan konsumen bangsal atau ruang anak Rumah Sakit Umum Ungaran, pada tanggal 13 Juni 2010, pukul 15.00 WIB) Terdapat 3 fase yang perlu perawat terapkan saat melakukan komunikasi terapeutik dengan pasien anak dan juga orangtua. Ketiga fase tersebut adalah fase orientasi, fase kerja, dan fase terminasi dimana dari hasil penelitian yang tidak dipublikasikan pada tahun 2005 membuktikan kemampuan perawat menerapkan ketiga fase tersebut terhadap pasien anak masih rendah. Hubungan antara perawat dengan pasien yang terjadi bukanlah hubungan yang bersifat sosial biasa melainkan bersifat terapeutik. Arnold P. Goldstein (dalam Rahmat, 2005 : 120) mengembangkan suatu metode yang disebut dengan “relationship-enchancement methods” (metode peningkatan hubungan) dimana makin baik hubungan antarpribadi perawat-pasien Dampak komunikasi yg baik :
Makin terbuka pasien dalam mengungkapkan
perasaannya Ia (pasien) makin cenderung untuk meneliti perasaannya secara mendalam bersama penolongnya (perawat). Makin cenderung ia (pasien) mendengar dengan penuh perhatian dan bertindak atas nasihat yang diberikan penolongnya (perawat). cara yang perlu diterapkan saat melakukan komunikasi terapeutik dengan pasien anak
1. Nada suara, diharapkan perawat dapat
berbicara dengan nada suara yang rendah dan lambat. Agar pasien anak jauh lebih mengerti apa yang ditanyakan oleh perawat. 2. Mengalihkan aktivitas, pasien anak yang terkadang hiperaktif lebih menyukai aktivitas yang ia sukai, sehingga perawat perlu membuat jadwal yang bergantian antara aktivitas yang pasien anak sukai dengan aktivitas terapi atau medis. cara yang perlu diterapkan saat melakukan komunikasi terapeutik dengan pasien anak
4. Jarak interaksi, diharapkan perawat dapat
mempertahankan jarak yang aman saat berinteraksi dengan pasien anak. 5. Kontak mata, diharapkan perawat dapat mengurangi kontak mata saat mendapat respon dari pasien anak yang kurang baik, dan kembali melakukan kontak mata saat kira-kira pasien anak sudah dapat mengontrol perilakunya. 6. Sentuhan, jangan pernah menyentuh anak tanpa izin dari si anak. Teknik yang dapat diterapkan saat berkomunikasi dengan anak secara nonverbal antara lain, yaitu
1. Teknik orang ketiga, dalam teknik ini berusaha untuk
mengungkapkan ekspresi orang ketiga, seperti “dia atau mereka.” 2. Bercerita, bercerita menggunakan bahasa anak, sekaligus menyelidiki perasaannya, dan berusaha menghindarkan hambatan yang disengaja seperti meminta anak menceritakan pengalamannya secara spesifik berada di rumah sakit. 3. Tiga Permintaan (Three Wishes), teknik ini merupakan salah satu strategi yang digunakan perawat untuk mengundang anak-anak masuk dalam sebuah percakapan. Teknik yang dapat diterapkan saat berkomunikasi dengan anak secara verbal antara lain, yaitu
1. Menulis, merupakan suatu alternative yang
digunakan perawat untuk melakukan pendekatan komunikasi dengan pasien anak. 2. Menggambar, merupakan salah satu bentuk komunikasi yang berharga melalui pengamatan gambar. 3. Teknik bermain, merupakan salah satu bentuk komunikasi yang paling penting dan menjadi teknik yang efektif bagi perawat untuk bisa berhubungan dan berkomunikasi dengan pasien anak. Komunikasi perawat dengan orangtua atau keluarga :
1. Mendorong orangtua untuk berbicara tentang
mengenai informasi tentang faktor kehidupan dari pasien anak, diharapakan perawat dapat bisa mendorong orangtua pasien anak untuk berbicara mengenai kondisi kesehatan anaknya sebenarnya. 2. Mengarahkan pada pokok permasalahan, perawat berusaha untuk dapat mengarahkan pembicaraan saat berkomunikasi dengan orangtua pasien kearah pokok permasalahan. Komunikasi perawat dengan orangtua atau keluarga :
3. Mendengarkan, seperti yang telah dijelaskan
dalam teknik dasar komunikasi terapeutik itu sendiri dimana mendengarkan merupakan unsur yang paling penting dalam mencapai komunikasi yang efektif. 4. Bersikap empati, perlu dilakukan perawat dimana perawat ikut merasakan perasaan orangtua pasien, bukan menunjukkan rasa kasihan atas apa yang dialami dan dirasakan oleh orangtua pasien. Komunikasi perawat dengan orangtua atau keluarga :
5. Meyakinkan, saat perawat ingin berusaha
untuk meyakinkan orangtua pasien, hindarkan pembicaraan yang menyinggung hargadiri sebagai orangtua. 6. Memecahkan masalah, pemahaman dan pengenalan masalah harus disepakati oleh orangtua kemudian mulai merencanakan pemecahannya Thanks