B. Definisi
Arthritis Rheumatoid merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai
dengan terdapatnya sinovitis erosive simetrik yang walaupun terutama mengenai
jaringan persendian, seringkali juga melibatkan organ tubuh lainya yang disertai
nyeri dan kaku pada sistem otot (musculoskeletal) dan jaringan ikat/ connective
tissue (Marlina, 2016).
Arthritis Rheumatoid adalah penyakit yang disebabkan oleh reaksi autoimun
yang terjadi di jaringan synovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim – enzim
dalam sendi sehingga kolagen terpecah dan terjadi edema, proliferasi membrane
synovial dan akhirnya pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan
menimbulkan erosi tulang (Brunner & Suddarth, 2013).
Arthritis Rheumatoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik
dengan manifestasi utama poliatritis progresif dan melibatkan sendi seluruh organ
tubuh. Pasien dengan artritis rheumatoid dapat pula menunjukan gejala
konstitusional berupa kelemahan umum, cepat lelah atau gangguan nonartikular
lainya (Aspiani, 2014).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat di simpulkan arthritis
rheumatoid adalah suatu penyakit kronik yang menyerang sendi dan jaringan
penunjang di sekitar sendi, seringkali juga melibatkan organ tubuh lainya.
C. Klasifikasi
Ditinjau dari stadium penyakitnya, ada tiga stadium pada arthritis rheumatoid yaitu
(Nasution, 2011):
a. Stadium sinovitis.
Arthritis yang terjadi pada arthritis rheumatoid disebabkan oleh sinovitis,
yaitu inflamasi pada membran sinovial yang membungkus sendi. Sendi yang
terlibat umumnya simetris, meski pada awal bisa jadi tidak simetris. Sinovitis
ini menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan
kehilangan fungsi. Sendi pergelangan tangan hampir selalu terlibat, termasuk
sendi interfalang proksimal dan metakarpofalangeal.
b. Stadium destruksi
Ditandai adanya kontraksi tendon saat terjadi kerusakan pada jaringan
sinovial.
c. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,
deformitas dan gangguan fungsi yang terjadi secara menetap
D. Epidemiologi
Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan
lainnya, di Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi RA sekitar
1% pada kaukasia dewasa, Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan Finlandia sekitar
0,8% dan Amerika Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar 0,28%. Jepang sekitar
1,7% dan India 0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa Utara mencapai 20-
50/100000 dan Eropa Selatan hanya 9-24/100000. Di Indonesia dari hasil survei
epidemiologi di Bandungan Jawa Tengah didapatkan prevalensi RA 0,3% sedang di
Malang pada penduduk berusia diatas 40 tahun didapatkan prevalensi RA 0,5% di
daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi
RSUPN. Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru RA
merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan
Sadikin didapatkan 9% dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002
(Aletaha et al,2010). Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih
terbatas. Data terakhir dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan
bahwa jumlah kunjungan penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007
sebanyak 203 dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan
(2009) memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki prevalensi penyakit rematik di
atas angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci jenis rematik secara detail.
Sedangkan pada penelitian Suyasa et al (2013) memaparkan bahwa RA adalah
peringkat tiga teratas diagnosa medis utama para lansia yang berkunjung ke tempat
pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis di salah satu wilayah pedesaan di
Bali.
E. Etiologi
Etiologi arthritis rheumatoid belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya
dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan
(Suarjana, 2009):
a) Faktor internal
1. Faktor genetik
Berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini memiliki angka
kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%.
2. Faktor hormon Sex
Perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental Corticotraonin
Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron (DHEA), yang
merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Dan
stimulasi esterogen dan progesteron pada respon imun humoral (TH2) dan
menghambat respon imun selular (TH1). Pada artritis rheumatoid respon
TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek
yang berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini.
3. Faktor infeksi
Beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk semang (host)
dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya
penyakit arthritis rheumatoid.
4. Heat Shock Protein (HSP)
Merupakan protein yang diproduksi sebagai respon terhadap stres. Protein
ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog. Diduga terjadi
fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali epitop
HSP pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan
terjadinya reaksi silang limfosit dengan sel host sehingga mencetuskan
reaksi imunologis.
b) Faktor ekternal
1. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan termasuk infeksi oleh bakteri atau virus. Umumnya
onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh
gambaran inflamasi yang mencolok. Faktor lingkungan, salah satu
contohnya adalah merokok.
F. Patofisiologi
RA merupakan penyakit autoimun sistemik yang menyerang sendi. Reaksi
autoimun terjadi dalam jaringan sinovial. Kerusakan sendi mulai terjadi dari
proliferasi makrofag dan fibroblas sinovial. Limfosit menginfiltrasi daerah
perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel kemudian terjadi
neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh
bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terbentuknya pannus akibat terjadinya
pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi.
Pannus kemudian menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang Respon
imunologi melibatkan peran sitokin, interleukin, proteinase dan faktor
pertumbuhan. Respon ini mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik
(Surjana, 2009).
G. Pathway
H. Gejala Klinis
Manifestasi klinis artritis rheumatoid terbagi menjadi 2 kategori yaitu
manifestasi artikular dan manifestasi ekstraartikular (Suarjana, 2009).
1) Manfestasi artikular arthritis rheumatoid terjadi secara simetris berupa
inflamasi sendi, bursa, dan sarung tendo yang dapat menyebabkan nyeri,
bengkak, dan kekakuan sendi, serta hidrops ringan (Sjamsuhidajat, 2010).
Sendi-sendi besar, seperti bahu dan lutut, sering menjadi manifestasi klinis
tetap, meskipun sendi-sendi ini mungkin berupa gejala asimptomatik setelah
bertahun-tahun dari onset terjadinya.
2) Manifestasi ekstra artikular pada arthritis rheumatoid meliputi :
a. Konstitusional, terjadi pada 100% pasien yang terdiagnosa arthritis
rheumatoid. Tanda dan gejalanya berupa penurunan berat badan, demam
>38,3oc, kelelahan (fatigue), malaise, depresi dan pada banyak kasus
terjadi kaheksia, yang secara umum merefleksi derajat inflamasi dan
kadang mendahului terjadinya gelaja awal pada kerusakan sendi.
b. Arthritis rheumatoid juga dapat menyerang organ-organ lain di luar sendi
seperti jantung (pericarditis), paru-paru (pleuritis), mata dan pembuluh
darah dapat rusak (Aspiani, 2014).
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG/DIAGNOSTIK
1. Laboratorium
a. Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP)
meningkat
b. Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif namun RF negatif
tidak menyingkirkan diagnosis
c. Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya digunakan dalam
diagnosis dini dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98% dan
sensitivitas 70% namun hubungan antara anti CCP terhadap beratnya
penyakit tidak konsisten
2. Radiologis
Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang sendi,
demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi sendi.
K. Komplikasi
Komplikasi penyakit arthritis rheumatoid dapat meyebabkan kerusakan
tulang dan ligamen serta terjadi perubahan bentuk, efeknya akan permanen.
Kecacatan dan nyeri sendi yang dapat mengganggu aktivitas. Arthritis rheumatoid
adalah penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi bagian lain dari tubuh selain
sendi yaitu anemia, infeksi, masalah gastrointestinal, osteoporosis, penyakit jantung
coroner dan sindrom felty (Rianiari, 2014).
I. ASUHAN KEPERAWATAN SECARA TEORITIS
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Identitas pasien
Nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
alamat, satatus pernikan.
b. Penanggung jawab pasien
Nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
alamat, satatus pernikan, hubungan dengan pasien.
2. Riwayat Kesehatan
a. Alasan utama masuk rumah sakit dan perjalanan penyakit saat ini
1) Keluhan utama saat masuk rumah sakit
2) Keluhan utama saat pengkajian
Pada umumnya keluhan utama pada kasus rematik adalah
rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan
lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap
tentang rasa nyeri pasien digunakan:
a) Provoking incident: Apakah ada peristiwa yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of pain: Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan pasien.Apakah seperti terbakar, berdenyut,
atau menusuk.
c) Region: Apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: Seberapa jauh rasa nyeriyang
dirasakan pasien, bisa berdasarkan skala nyeri ataupasien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
e) Time: Berapa lama nyeri berlangsung, kapan,
apakahbertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab
dari rematik, yang nantinya membantu dalam membuat rencana
tindakan terhadap pasien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya
penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang
terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab
rematik dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan
penyakit pagerta yang menyebabkan rematik. Selain itu, penyakit
diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya osteomyelitis
akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang.
d. Riwayat alergi
Apakah pasien memiliki riwayat alergi seperti, alergi obat-
obatan, makanan, dan minuman.
e. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan nyeri sendi
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rematik, yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang
cenderung diturunkan secara genetik.
i. Manajemen koping
Pada pasien reumatik timbul rasa cemas tentang keadaan
dirinya, yaitu ketakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh pasien bisa tidak
efektif.
j. Kognitif perseptual
Pada pasien fraktur reumatik pada indera yang lain tidak
timbul gangguan. Begitu jugapada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat reumatik.
k. Nilai dan kepercayaan
Untuk reumatik tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini
bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak pasien.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Vital sign
Tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
b. Kesadaran
Apatis, sopor, koma, gelisah, composmentis tergantung pada
keadaan pasien.
c. Pemeriksaan fisik head to toe
1) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
2) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena
tidak terjadi perdarahan).
3) Hidung
Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung.
4) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
5) Mulut
Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan
mukosa mulut tidak pucat.
6) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
7) Thorax
Tidak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
a) Jantung
I:Tidak tampak iktus jantung.
P:Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
P: Terdengar suara redup jantung.
A:Suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada mur-mur.
b) Paru-paru
I:Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit pasien yang berhubungan dengan
paru.
P:Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
P:Suara ketok sonor, tidak ada rerdup atau suara tambahan
lainnya.
A:Suara nafas normal, tidak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
8) Abdomen
I:Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
A:Peristaltik usus normal ±20 kali/menit.
P:Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
P: Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
9) Genetalia
Tidak ada gangguan (Sumber: Price, 2012).
C. INTERVENSI
4. Berikan kebutuhan
kenyamanan dan
aktivitas lain yang
dapat membantu
relaksasi untuk
memfasilitasi
penurunan nyeri.
5. Berikan analgesik
sesuai waktu
paruhnya, terutama
pada nyeri berat.
Hambatan mobilitas Setelah diberikan asuhan NIC Label: Terapi
fisik b/d penurunan keperawatan selama 3 x 24 jam Latihan: Ambulasi.
kekuatan otot. diharapkan hambatan mobilitas 1. Beri pasien pakaian
fisik dapat teratasi, dengan yang tidak
kriteria hasil: mengekang.
NOC Label: Koordinasi 2. Dorong untuk duduk
Pergerakan. di tempat tidur, di
1. Kontraksi kekuatan otot samping tempat tidur,
yang dipertahankan pada atau di kursi,
skala 4 dan ditingkatkan sebagaimana yang
pada skala 5. dapat ditoleransi
2. Kecepatan gerakan yang pasien.
dipertahankan pada skala 4 3. Instruksikan
dan ditingkatkan pada skala ketersediaan
5. perangkat pendukung,
jika perlu.
3. Keseimbangan gerakan yang 4. Instruksikan pasien
dipertahankan pada skala 4 untuk memposisikan
dan ditingkatkan pada skala diri sepanjang proses
5. pemindahan.
5. Bantu pasien untuk
NOC Label: Kemampuan berpindah, sesuai
berpindah. kebutuhan.
1. Berpindah dari tempat tidur
ke kursi yang dipertahankan NIC Label: Manajemen
pada skala 4 dan Lingkungan.
ditingkatkan pada skala 5. 1. Ciptakan lingkungan
2. Berpindah dari kursi ke yang aman bagi
tempat tidur yang pasien.
dipertahankan pada skala 4 2. Singkirkan bahaya
dan ditingkatkan pada skala lingkungan
5. (misalnya, karpet
3. Berpindah dari kursi ke kursi yang longgar dan
yang dipertahankan pada kecil, furnitur yang
skala 4 dan ditingkatkan dapat dipindahkan).
pada skala 5. 3. Lindungi pasien
dengan pegangan
pada sisi/bantalan di
sisi ruangan yang
sesuai.
4. Sediakan tempat tidur
dengan ketinggian
yang rendah, yang
sesuai.
5. Sediakan tempat tidur
dan lingkungan yang
bersih dan nyaman.
Kerusakan integritas Setelah diberikan asuhan NIC Label: Pengecekan
kulit b/d tekanan pada keperawatan selama 3 x 24 jam Kulit.
tonjolan tulang. diharapkan kerusakan integritas 1. Periksa kulit dan
kulit dapat teratasi, dengan selaput lendir terkait
kriteria hasil: dengan adanya
NOC Label: Integritas kemerahan,
Jaringan: Kulit & Membran kehangatan ekstrim,
Mukosa. edema, atau drainase.
1. Suhu kulit yang 2. Amati warna,
dipertahankan pada skala 4 kehangatan, bengkak,
dan ditingkatkan pada skala pulsasi, tekstur,
5. edema, dan ulserasi
2. Sensasi yang dipertahankan pada ekstremitas.
pada skala 4 dan 3. Periksa kondisi luka
ditingkatkan pada skala 5. operasi, dengan tepat.
3. Elastisitas yang 4. Monitor warna dan
dipertahankan pada skala 4 suhu kulit.
dan ditingkatkan pada skala 5. Monitor kulit untuk
5. adanya ruam dan
4. Integritas kulit yang lecet.
dipertahankan pada skala 4 6. Monitor kulit untuk
dan ditingkatkan pada skala adanya kekeringan
5. yang berlebihan dan
5. Pigmentasi abnormal yang kelembaban.
dipertahankan pada skala 4 7. Monitor infeksi,
dan ditingkatkan pada skala terutama dari daerah
5. edema.
6. Nekrosis yang dipertahankan 8. Lakukan langkah-
pada skala 4 dan langkah untuk
ditingkatkan pada skala 5. mencegah kerusakan
lebih lanjut
(misalnya, melapisi
kasur, menjadwalkan
reposisi).
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, Gloria. M., et al. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC). Sixth
Edition. United States of America: Elsevier.
Doenges, M. E. (2014). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan
Keperawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Dwisang, E. L. (2014). Anatomi dan Fisiologi untuk Perawat dan Paramedis. Tanggerang
Selatan: BINARUPA AKSARA.
Helmi, N. Z. (2013). Trigger Finger. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta:
Salemba Medika.
Mansjoer, A. (2014). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Media Aesculapius.
Moorhead, Sue., et al. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC). Fifth Edition.
United States of America: Elsevier.
Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Perioperatif Konsep, Proses, dan Aplikasi.
Jakarta: Salemba Medika.
NANDA. 2017. Diagnosis Keperawatan Definisi Dan Klasifikasi 2018-2020. Jakarta :
EGC.
NIC. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC), 6th edition. ELSEVIER.
NOC.2016. Nursing Outcomes Classification (NOC), 6th edition. ELSEVIER.
Price, S. A. (2012). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta:
EGC.
Sjamsuhidayat, R. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Wijaya, A. S.,& Putri, Y. M. (2013). Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan
Dewasa Teori, dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika.