Anda di halaman 1dari 24

I.

Konsep Dasar Penyakit


A. Perubahan Yang Terjadi Pada Sistem Muskuloskeletal Lansia Dan
Dampaknya
Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara degeneratif
yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri manusia yaitu: (Azizah,
2011)
1) Sistem Muskuloskeletal
Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia:
a) Jaringan penghubung (kolagen dan elastin)
Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon,
tulang, kartilago dan jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi
bentangan cross linking yang tidak teratur. Bentangan yang tidak teratur
dan penurunan hubungan tarikan linier pada jaringan kolagen merupakan
salah satu alasan penurunan mobilitas pada jaringan tubuh. Setelah
kolagen mencapai puncak fungsi atau daya mekaniknya karena penuaan,
daya elastisitas dan kekakuan dari kolagen menurun karena mengalami
perubahan kualitatif dan kuantitatif sesuai penuaan. Perubahan pada
kolagen itu merupakan penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia
sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kemampuan
untuk meningkatkan kekuatan otot, kesulitan bergerak dari duduk ke
berdiri, jongkok, dan berjalan, dan hambatan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari.
b) Kartilago
Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan mengalami
granulasi, sehingga permukaan sendi menjadi rata. Kemampuan kartilago
untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung kearah
progresif, konsekuensinya kartilago pada persendiaan menjadi rentan
terhadap gesekan.
c) Tulang
Berkurangnya kepadatan tulang setelah diamati adalah bagian dari
penuaan fisiologi, sehingga akan mengakibatkan osteoporosis dan lebih
lanjut akan mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur.
d) Otot
Perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi, penurunan
jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan penghubung dan
jaringan lemak pada otot mengakibatkan efek negatif.
e) Sendi
Pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligamen, dan
fasia mengalami penurunan elastisitas. Ligamen, kartilago, dan jaringan
periartikular mengalami penurunan daya lentur dan elastisitas. Terjadi
degenerasi, erosi, dan kalsifikasi pada kartilago dan kapsul sendi. Sendi
kehilangan fleksibilitasnya sehingga terjadi penurunan luas gerak sendi.

B. Definisi
Arthritis Rheumatoid merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai
dengan terdapatnya sinovitis erosive simetrik yang walaupun terutama mengenai
jaringan persendian, seringkali juga melibatkan organ tubuh lainya yang disertai
nyeri dan kaku pada sistem otot (musculoskeletal) dan jaringan ikat/ connective
tissue (Marlina, 2016).
Arthritis Rheumatoid adalah penyakit yang disebabkan oleh reaksi autoimun
yang terjadi di jaringan synovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim – enzim
dalam sendi sehingga kolagen terpecah dan terjadi edema, proliferasi membrane
synovial dan akhirnya pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan
menimbulkan erosi tulang (Brunner & Suddarth, 2013).
Arthritis Rheumatoid adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik
dengan manifestasi utama poliatritis progresif dan melibatkan sendi seluruh organ
tubuh. Pasien dengan artritis rheumatoid dapat pula menunjukan gejala
konstitusional berupa kelemahan umum, cepat lelah atau gangguan nonartikular
lainya (Aspiani, 2014).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat di simpulkan arthritis
rheumatoid adalah suatu penyakit kronik yang menyerang sendi dan jaringan
penunjang di sekitar sendi, seringkali juga melibatkan organ tubuh lainya.

C. Klasifikasi
Ditinjau dari stadium penyakitnya, ada tiga stadium pada arthritis rheumatoid yaitu
(Nasution, 2011):
a. Stadium sinovitis.
Arthritis yang terjadi pada arthritis rheumatoid disebabkan oleh sinovitis,
yaitu inflamasi pada membran sinovial yang membungkus sendi. Sendi yang
terlibat umumnya simetris, meski pada awal bisa jadi tidak simetris. Sinovitis
ini menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan
kehilangan fungsi. Sendi pergelangan tangan hampir selalu terlibat, termasuk
sendi interfalang proksimal dan metakarpofalangeal.
b. Stadium destruksi
Ditandai adanya kontraksi tendon saat terjadi kerusakan pada jaringan
sinovial.
c. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,
deformitas dan gangguan fungsi yang terjadi secara menetap

D. Epidemiologi
Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan
lainnya, di Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi RA sekitar
1% pada kaukasia dewasa, Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan Finlandia sekitar
0,8% dan Amerika Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar 0,28%. Jepang sekitar
1,7% dan India 0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa Utara mencapai 20-
50/100000 dan Eropa Selatan hanya 9-24/100000. Di Indonesia dari hasil survei
epidemiologi di Bandungan Jawa Tengah didapatkan prevalensi RA 0,3% sedang di
Malang pada penduduk berusia diatas 40 tahun didapatkan prevalensi RA 0,5% di
daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi
RSUPN. Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru RA
merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan
Sadikin didapatkan 9% dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002
(Aletaha et al,2010). Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih
terbatas. Data terakhir dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan
bahwa jumlah kunjungan penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007
sebanyak 203 dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan
(2009) memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki prevalensi penyakit rematik di
atas angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci jenis rematik secara detail.
Sedangkan pada penelitian Suyasa et al (2013) memaparkan bahwa RA adalah
peringkat tiga teratas diagnosa medis utama para lansia yang berkunjung ke tempat
pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis di salah satu wilayah pedesaan di
Bali.

E. Etiologi
Etiologi arthritis rheumatoid belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya
dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan
(Suarjana, 2009):
a) Faktor internal
1. Faktor genetik
Berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini memiliki angka
kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%.
2. Faktor hormon Sex
Perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental Corticotraonin
Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron (DHEA), yang
merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Dan
stimulasi esterogen dan progesteron pada respon imun humoral (TH2) dan
menghambat respon imun selular (TH1). Pada artritis rheumatoid respon
TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek
yang berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini.
3. Faktor infeksi
Beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk semang (host)
dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya
penyakit arthritis rheumatoid.
4. Heat Shock Protein (HSP)
Merupakan protein yang diproduksi sebagai respon terhadap stres. Protein
ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog. Diduga terjadi
fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali epitop
HSP pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan
terjadinya reaksi silang limfosit dengan sel host sehingga mencetuskan
reaksi imunologis.
b) Faktor ekternal
1. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan termasuk infeksi oleh bakteri atau virus. Umumnya
onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh
gambaran inflamasi yang mencolok. Faktor lingkungan, salah satu
contohnya adalah merokok.

F. Patofisiologi
RA merupakan penyakit autoimun sistemik yang menyerang sendi. Reaksi
autoimun terjadi dalam jaringan sinovial. Kerusakan sendi mulai terjadi dari
proliferasi makrofag dan fibroblas sinovial. Limfosit menginfiltrasi daerah
perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel kemudian terjadi
neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh
bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terbentuknya pannus akibat terjadinya
pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi.
Pannus kemudian menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang Respon
imunologi melibatkan peran sitokin, interleukin, proteinase dan faktor
pertumbuhan. Respon ini mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik
(Surjana, 2009).

G. Pathway
H. Gejala Klinis
Manifestasi klinis artritis rheumatoid terbagi menjadi 2 kategori yaitu
manifestasi artikular dan manifestasi ekstraartikular (Suarjana, 2009).
1) Manfestasi artikular arthritis rheumatoid terjadi secara simetris berupa
inflamasi sendi, bursa, dan sarung tendo yang dapat menyebabkan nyeri,
bengkak, dan kekakuan sendi, serta hidrops ringan (Sjamsuhidajat, 2010).
Sendi-sendi besar, seperti bahu dan lutut, sering menjadi manifestasi klinis
tetap, meskipun sendi-sendi ini mungkin berupa gejala asimptomatik setelah
bertahun-tahun dari onset terjadinya.
2) Manifestasi ekstra artikular pada arthritis rheumatoid meliputi :
a. Konstitusional, terjadi pada 100% pasien yang terdiagnosa arthritis
rheumatoid. Tanda dan gejalanya berupa penurunan berat badan, demam
>38,3oc, kelelahan (fatigue), malaise, depresi dan pada banyak kasus
terjadi kaheksia, yang secara umum merefleksi derajat inflamasi dan
kadang mendahului terjadinya gelaja awal pada kerusakan sendi.
b. Arthritis rheumatoid juga dapat menyerang organ-organ lain di luar sendi
seperti jantung (pericarditis), paru-paru (pleuritis), mata dan pembuluh
darah dapat rusak (Aspiani, 2014).

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG/DIAGNOSTIK
1. Laboratorium
a. Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP)
meningkat
b. Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif namun RF negatif
tidak menyingkirkan diagnosis
c. Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya digunakan dalam
diagnosis dini dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98% dan
sensitivitas 70% namun hubungan antara anti CCP terhadap beratnya
penyakit tidak konsisten
2. Radiologis
Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang sendi,
demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi sendi.

J. Terapi/ Tindakan Penanganan


Penatalaksanaan pada arthritis rheumatoid mencakup terapi farmakologi dan terapi
non farmakologi.
1) Tujuan pengobatan adalah menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas,
mengembalikan fungsi sendi, dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut
(Ariesti & Anom, 2016):
a) NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)
Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi. NSAID
yang dapat diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen, piroksikam,
dikofenak, dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi kerusakan
tulang rawan sendi dan tulang dari proses destruksi.
b) DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)
Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses
destruksi oleh artritis rheumatoid. Contoh obat DMARD yaitu:
hidroksiklorokuin, metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin, dan
asatioprin. DMARD dapat diberikan tunggal maupun kombinasi.
c) Kortikosteroid
Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5 mg/hari
sebagai “bridge” terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil menunggu
efek DMARD yang baru muncul setelah 4-16 minggu.
d) Obat-obatan immunosupressan
Obat ini dibutuhkan dalam proporsi kecil untuk pasien dengan penyakit
sistemik.
e) Agen biologik baru
Obat ini digunakan untuk menghambat sitokin inflamasi. Belum ada aturan
baku mengenai kelompok obat ini dalam terapi arthritis rheumatoid.
2) Terapi non farmakologi
Terapi non-farmakologi pada pasien dengan arthritis rheumatoid yaitu
terapi biologis seperti diet makanan (salah satunya dengan suplementasi minyak
ikan cod), kompres panas dan dingin, massage, terapi herbal dengan tanaman
obat seperti jahe, cengkeh, seledri dan serai (Suarjana, 2009)

K. Komplikasi
Komplikasi penyakit arthritis rheumatoid dapat meyebabkan kerusakan
tulang dan ligamen serta terjadi perubahan bentuk, efeknya akan permanen.
Kecacatan dan nyeri sendi yang dapat mengganggu aktivitas. Arthritis rheumatoid
adalah penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi bagian lain dari tubuh selain
sendi yaitu anemia, infeksi, masalah gastrointestinal, osteoporosis, penyakit jantung
coroner dan sindrom felty (Rianiari, 2014).
I. ASUHAN KEPERAWATAN SECARA TEORITIS
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Identitas pasien
Nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
alamat, satatus pernikan.
b. Penanggung jawab pasien
Nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
alamat, satatus pernikan, hubungan dengan pasien.

2. Riwayat Kesehatan
a. Alasan utama masuk rumah sakit dan perjalanan penyakit saat ini
1) Keluhan utama saat masuk rumah sakit
2) Keluhan utama saat pengkajian
Pada umumnya keluhan utama pada kasus rematik adalah
rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan
lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap
tentang rasa nyeri pasien digunakan:
a) Provoking incident: Apakah ada peristiwa yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of pain: Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan pasien.Apakah seperti terbakar, berdenyut,
atau menusuk.
c) Region: Apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: Seberapa jauh rasa nyeriyang
dirasakan pasien, bisa berdasarkan skala nyeri ataupasien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
e) Time: Berapa lama nyeri berlangsung, kapan,
apakahbertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab
dari rematik, yang nantinya membantu dalam membuat rencana
tindakan terhadap pasien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya
penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang
terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab
rematik dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan
penyakit pagerta yang menyebabkan rematik. Selain itu, penyakit
diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya osteomyelitis
akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang.
d. Riwayat alergi
Apakah pasien memiliki riwayat alergi seperti, alergi obat-
obatan, makanan, dan minuman.
e. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan nyeri sendi
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rematik, yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang
cenderung diturunkan secara genetik.

3. Pola Fungsi Kesehatan


a. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Pada kasus rematik akan timbul ketakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup pasien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah pasien melakukan olahraga atau tidak.
b. Nutrisi dan metabolik
Pada pasien rematik harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan
lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi
terhadap pola nutrisi pasien bisa membantu menentukan penyebab
masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi
yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga
menghambat degenerasi dan mobilitas pasien.
c. Aktivitas dan latihan
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua
bentuk kegiatan pasienmenjadi berkurang dan kebutuhan pasien
perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji
adalah bentuk aktivitas pasienterutama pekerjaan pasien.
d. Tidur dan istirahat
Pola tidur dan istirahat semua pasien rematik timbul rasa nyeri,
keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan
kebutuhan tidur pasien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan
pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
e. Eliminasi
Untuk kasus reumatik tidak ada gangguan pada pola eliminasi,
tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna
serta bau feses pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola
eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah.
Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
f. Pola persepsi diri (konsep diri)
Dampak yang timbul pada pasien reumatik yaitu timbul
ketakutan akan kecacatan akibat rasa cemas, rasa ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap
dirinya yang salah.
g. Peran dan hubungan sosial
Pasienakan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat.
h. Seksual dan reproduksi
Dampak pada pasien rematik tidak ada masalah pada seksual
dan reproduksinya. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, dan lama perkawinannya.

i. Manajemen koping
Pada pasien reumatik timbul rasa cemas tentang keadaan
dirinya, yaitu ketakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh pasien bisa tidak
efektif.
j. Kognitif perseptual
Pada pasien fraktur reumatik pada indera yang lain tidak
timbul gangguan. Begitu jugapada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat reumatik.
k. Nilai dan kepercayaan
Untuk reumatik tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini
bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak pasien.

4. Pemeriksaan Fisik
a. Vital sign
Tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
b. Kesadaran
Apatis, sopor, koma, gelisah, composmentis tergantung pada
keadaan pasien.
c. Pemeriksaan fisik head to toe
1) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
2) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena
tidak terjadi perdarahan).
3) Hidung
Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung.
4) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
5) Mulut
Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan
mukosa mulut tidak pucat.
6) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
7) Thorax
Tidak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
a) Jantung
I:Tidak tampak iktus jantung.
P:Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
P: Terdengar suara redup jantung.
A:Suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada mur-mur.
b) Paru-paru
I:Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit pasien yang berhubungan dengan
paru.
P:Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
P:Suara ketok sonor, tidak ada rerdup atau suara tambahan
lainnya.
A:Suara nafas normal, tidak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
8) Abdomen
I:Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
A:Peristaltik usus normal ±20 kali/menit.
P:Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
P: Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
9) Genetalia
Tidak ada gangguan (Sumber: Price, 2012).

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


1. Nyeri akut b/d agens cedera fisik.
2. Hambatan mobilitas fisik b/d penurunan kekuatan otot.
3. Kerusakan integritas kulit b/d tekanan pada tonjolan tulang.
4. Risiko Infeksi
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

C. INTERVENSI

Diagnosa Keperawatan NOC/Tujuan NIC/Intervensi


Nyeri akut b/d agens Setelah diberikan asuhan NIC Label: Manajemen
cedera fisik. keperawatan selama 3 x 24 jam Nyeri.
diharapkan nyeri dapat teratasi, 1. Lakukan pengkajian
dengan kriteria hasil: nyeri secara
NOC Label: Kontrol Nyeri. komprehensif (lokasi,
1. Mengenali kapan nyeri durasi, frekuensi,
terjadi yang dipertahankan kualitas, faktor
pada skala 4 dan pencetus).
ditingkatkan pada skala 5. 2. Observasi adanya
2. Menggunakan tindakan petunjuk nonverval
pengurangan [nyeri] tanpa mengenai
analgesik yang ketidaknyamanan
dipertahankan pada skala 4 terutama pada mereka
dan ditingkatkan pada skala yang tidak dapat
5. berkomunikasi secara
3. Melaporkan nyeri yang efektif.
terkontrol yang 3. Ajarkan penggunaan
dipertahankan pada skala 4 teknik
dan ditingkatkan pada skala nonfarmakologi
5. (relaksasi, distraksi).

NOC Label: Tingkat Nyeri. 4. Berikan individu


1. Nyeri yang dilaporkan penurunan nyeri yang
dipertahankan pada skala 4 optimal dengan
dan ditingkatkan pada skala penerapan analgetik.
5. 5. Kendalikan faktor
2. Ekspresi nyeri wajah yang lingkungan yang
dipertahankan pada skala 4 dapat mempengaruhi
dan ditingkatkan pada skala respon pasien
5. terhadap
3. Tekanan darah yang ketidaknyamanan
dipertahankan pada skala 4 (suhu, pencahayaan,
dan ditingkatkan pada skala suara bising).
5.
NIC Label: Pemberian
Analgesik.
1. Tentukan lokasi,
karakteristik, dan
keparahan nyeri
mengobati pasien.
2. Cek adanya riwayat
alergi obat.
3. Monitor tanda vital
sebelum dan setelah
memberikan
analgesik.

4. Berikan kebutuhan
kenyamanan dan
aktivitas lain yang
dapat membantu
relaksasi untuk
memfasilitasi
penurunan nyeri.
5. Berikan analgesik
sesuai waktu
paruhnya, terutama
pada nyeri berat.
Hambatan mobilitas Setelah diberikan asuhan NIC Label: Terapi
fisik b/d penurunan keperawatan selama 3 x 24 jam Latihan: Ambulasi.
kekuatan otot. diharapkan hambatan mobilitas 1. Beri pasien pakaian
fisik dapat teratasi, dengan yang tidak
kriteria hasil: mengekang.
NOC Label: Koordinasi 2. Dorong untuk duduk
Pergerakan. di tempat tidur, di
1. Kontraksi kekuatan otot samping tempat tidur,
yang dipertahankan pada atau di kursi,
skala 4 dan ditingkatkan sebagaimana yang
pada skala 5. dapat ditoleransi
2. Kecepatan gerakan yang pasien.
dipertahankan pada skala 4 3. Instruksikan
dan ditingkatkan pada skala ketersediaan
5. perangkat pendukung,
jika perlu.
3. Keseimbangan gerakan yang 4. Instruksikan pasien
dipertahankan pada skala 4 untuk memposisikan
dan ditingkatkan pada skala diri sepanjang proses
5. pemindahan.
5. Bantu pasien untuk
NOC Label: Kemampuan berpindah, sesuai
berpindah. kebutuhan.
1. Berpindah dari tempat tidur
ke kursi yang dipertahankan NIC Label: Manajemen
pada skala 4 dan Lingkungan.
ditingkatkan pada skala 5. 1. Ciptakan lingkungan
2. Berpindah dari kursi ke yang aman bagi
tempat tidur yang pasien.
dipertahankan pada skala 4 2. Singkirkan bahaya
dan ditingkatkan pada skala lingkungan
5. (misalnya, karpet
3. Berpindah dari kursi ke kursi yang longgar dan
yang dipertahankan pada kecil, furnitur yang
skala 4 dan ditingkatkan dapat dipindahkan).
pada skala 5. 3. Lindungi pasien
dengan pegangan
pada sisi/bantalan di
sisi ruangan yang
sesuai.
4. Sediakan tempat tidur
dengan ketinggian
yang rendah, yang
sesuai.
5. Sediakan tempat tidur
dan lingkungan yang
bersih dan nyaman.
Kerusakan integritas Setelah diberikan asuhan NIC Label: Pengecekan
kulit b/d tekanan pada keperawatan selama 3 x 24 jam Kulit.
tonjolan tulang. diharapkan kerusakan integritas 1. Periksa kulit dan
kulit dapat teratasi, dengan selaput lendir terkait
kriteria hasil: dengan adanya
NOC Label: Integritas kemerahan,
Jaringan: Kulit & Membran kehangatan ekstrim,
Mukosa. edema, atau drainase.
1. Suhu kulit yang 2. Amati warna,
dipertahankan pada skala 4 kehangatan, bengkak,
dan ditingkatkan pada skala pulsasi, tekstur,
5. edema, dan ulserasi
2. Sensasi yang dipertahankan pada ekstremitas.
pada skala 4 dan 3. Periksa kondisi luka
ditingkatkan pada skala 5. operasi, dengan tepat.
3. Elastisitas yang 4. Monitor warna dan
dipertahankan pada skala 4 suhu kulit.
dan ditingkatkan pada skala 5. Monitor kulit untuk
5. adanya ruam dan
4. Integritas kulit yang lecet.
dipertahankan pada skala 4 6. Monitor kulit untuk
dan ditingkatkan pada skala adanya kekeringan
5. yang berlebihan dan
5. Pigmentasi abnormal yang kelembaban.
dipertahankan pada skala 4 7. Monitor infeksi,
dan ditingkatkan pada skala terutama dari daerah
5. edema.
6. Nekrosis yang dipertahankan 8. Lakukan langkah-
pada skala 4 dan langkah untuk
ditingkatkan pada skala 5. mencegah kerusakan
lebih lanjut
(misalnya, melapisi
kasur, menjadwalkan
reposisi).

NIC Label: Perawatan


Luka.
1. Monitor karakteristik
luka, termasuk
drainase, warna,
ukuran, dan bau.
2. Bersihkan dengan
normal saline atau
pembersih yang tidak
beracun, dengan
tepat.
3. Berikan rawatan
insisi pada luka, yang
diperlukan.
4. Pertahankan teknik
balutan steril ketika
melakukan perawatan
luka, dengan tepat.
5. Ganti balutan sesuai
dengan jumlah
eksudat dan drainase.
Risiko Infeksi NOC NIC
Definisi : Rentan 1. Kontrol Resiko 1. Kontrol Resiko
mengalami invasi dan a. Mengidentifikasi factor a. Bersihkan
multiplikasi organisme resiko (5) secara lingkungan
patogenik yang dapat konsisten menunjukkan dengan baik
mengganggu kesehatan. b. Mengenali factor resiko setelah dipakai
Faktor Risiko individu (5) secara pasien lain
1. Kurang konsisten menunjukkan b. Pertahankan
pengetahuan c. Memonitor factor resiko teknik isolasi
untuk di lingkungan (5) secara c. Batasi
menghindari konsisten menunjukkan pengunjung bila
pemajanan d. Memonitor factor resiko perlu
pathogen individu (5) secara d. Instruksikan pada
2. Malnutrisi konsisten menunjukkan pengunjung
3. Obesitas e. Mengembangkan untuk mencuci
4. Penyakit kronis strategi yang efektif tangan saat
(mis., diabetes dalam mengontrol berkunjung dan
mellitus) resiko (5) secara setelah
5. Prosedur invasive konsisten menunjukkan berkunjung
Pertahanan Tubuh Primer f. Mengenali perubahan meninggalkan
Tidak Adekuat status kesehatan (5) pasien
1. Gangguan secara konsisten e. Gunakan sabun
integritas kulit menunjukkan antimikrobia
2. Gangguan untuk cuci tangan
peristalsis f. Cuci tangan
3. Merokok setiap sebelum
4. Pecah ketuban dini dan setelah
5. Pecah ketuban tindakan
lambat keperawatan
6. Penurunan kerja g. Gunakan baju,
siliaris sarung tangan
7. Perubahan pH sebagai
sekresi pelindung
8. Stasis cairan tubuh h. Pertahankan
Pertahanan tubuh lingkungan
sekunder tidak adekuat aseptic selama
1. Imunosupresi pemasangan alat
2. Leukopenia i. Ganti letak IV
3. Penurunan perifer dan line
hemoglobin central dan
4. Supresi respons dressing sesuai
inflamasi (mis., dengan petunjuk
interleukin 6 [IL- umum
6], C-reactive j. Pastikan teknik
protein [CRP]) perawatan luka
5. Vaksinasi tidak yang tepat
adekuat k. Gunakan kateter
Pemajanan Terhadap intermitten untuk
Patogen Lingkungan menurunkan
Meningkat infeksi kandung
1. Terpajan pada kencing
wabah l. Tingkatkan
intake nutrisi
m. Berikan terapi
antibiotic bila
perlu infection
protection
(proteksi
terhadap infeksi)
n. Monitor tanda
dan gejala infeksi
sistemik dan
local
o. Monitor hitung
granulosit, WBC
p. Monitor
kerentanan
terhadap infeksi
q. Batasi
pengunjung
r. Pertahankan
teknik asepsis
pada pasien yang
beresiko
s. Inspeksi kulit dan
membrane
mukosa terhadap
kemerahan,
panas, drainase
t. Inspeksi kondisi
luka/insisi bedah
u. Dorong masukan
nutrisi yang
cukup
v. Dorong masukan
cairan
w. Dorong istirahat
x. Instruksikan
pasien untuk
minum antibiotic
sesuai resep
y. Ajarkan pasien
dan keluarga
tanda dan gejala
infeksi
z. Ajarkan cara
menghindari
infeksi.
Ketidakseimbangan NOC : NIC :
nutrisi kurang dari 1. 2. Manajemen
kebutuhan tubuh a. Asupan gizi (5) tidak Gangguan Makan
Definisi : Intake nutrisi menyimpang. a. Kolaborasi dengan
tidak cukup untuk b. Asupan makanan (5) tim kesehatan lain
keperluan metabolisme tidak menyimpang. utuk
tubuh. c. Asupan cairan (5) tidak mengembangkan
Batasan karakteristik : menyimpang. rencana
1. Berat badan 20 % d. Energy (5) tidak keperawatan
atau lebih di menyimpang. dengan melibatkan
bawah ideal e. Rasio BB/TB (5) tidak klien dan orang –
2. Bising usus menyimpang. orang terdekat
hiperaktif 2. Status Nutrisi: Asupan dengan tepat
3. Cepat kenyang Nutrisi b. Rundingkan
setelah makan a. Asuan kalori (5) dengan tim dan
4. Diare sepenuhnya adekuat. klien untuk
5. Gangguan sensasi b. Asupan protein (5) mengatur target
rasa sepenuhnya adekuat. pencapaian berat
6. Kehilangan rambut c. Asupan lemak (5) badan jika berat
berlebihan sepenuhnya adekuat. badan klien tidak
7. Kelemahan otot d. Asupan karbohidrat (5) berada dalam
pengunyah sepenuhnya adekuat. rentang berat badan
8. Kelemahan otot e. Asupan serat (5) yang
untuk menelan sepenuhnya adekuat. direkomendasikan
9. Kerapuhan kapiler f. Asupan vitamin (5) sesuai umur dan
10. Kesalahan sepenuhnya adekuat. bentuk tubuh
informasi 3. Nafsu Makan c. Tentukan
11. Kesalahan persepsi a. Hasrat/ keingian untuk pencapaian berat
12. Ketidakmampuan makan (5) tidak badan harian sesuai
memakan terganggu. keinginan
makanan b. Menyenangi makanan (5) d. Rundingkan
13. Kram abdomen tidak terganggu. dengan ahli gizi
14. Kurang informasi c. Merasakan (5) tidak dengan
15. Kurang minat pada terganggu. menuntukan asupan
makanan d. Energi untuk makan (5) kalori harian yang
16. Membran mukosa tidak terganggu. diperlukan untuk
pucat e. Intake Nutrisi (5) tidak mempertahankan
17. Nyeri abdomen terganggu. berat badan yang
18. Penurunan BB f. Rangsangan untuk makan sudah ditentukan
dengan asupan (5) tidak terganggu. e. Ajarkan dan
makanan adekuat dukung konsep
19. Sariawan rongga nutrisi yang baik
mulut. dengan klien (dan
20. Tonus otot orang terdekat
menurun. klien dengan tepat)
Faktor-faktor yang
berhubungan :
1. Faktor biologis
2. Faktor ekonomi
3. Gangguan
psikososial
4. Ketidakmampuan
makan
5. Ketidakmampuan
mencerna makanan
6. Ketidakmampuan
mengabsorpsi
nutrient
7. Kurang asupan
makan

DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria. M., et al. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC). Sixth
Edition. United States of America: Elsevier.
Doenges, M. E. (2014). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan
Keperawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Dwisang, E. L. (2014). Anatomi dan Fisiologi untuk Perawat dan Paramedis. Tanggerang
Selatan: BINARUPA AKSARA.
Helmi, N. Z. (2013). Trigger Finger. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta:
Salemba Medika.
Mansjoer, A. (2014). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Media Aesculapius.
Moorhead, Sue., et al. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC). Fifth Edition.
United States of America: Elsevier.
Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Perioperatif Konsep, Proses, dan Aplikasi.
Jakarta: Salemba Medika.
NANDA. 2017. Diagnosis Keperawatan Definisi Dan Klasifikasi 2018-2020. Jakarta :
EGC.
NIC. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC), 6th edition. ELSEVIER.
NOC.2016. Nursing Outcomes Classification (NOC), 6th edition. ELSEVIER.
Price, S. A. (2012). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta:
EGC.
Sjamsuhidayat, R. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Wijaya, A. S.,& Putri, Y. M. (2013). Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan
Dewasa Teori, dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai