Anda di halaman 1dari 27

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Wilayah pesisir, yaitu wilayah peralihan antara daratan dan lautan memiliki

sumber daya alam potensial di Indonesia. Sumber daya yang sangat besar tersebut di

dukung oleh adanya garis pantai sepanjang sekitar 81.000 km ( Dahuri et al. 2001).

Demikian juga pulau-pulau kecil yang tidak terpisahkan dengan wilayah pesisir yaitu

pulau dengan luas area kurang dari atau sama dengan 2000 Km 2 (UNESCO, 1991),

juga mempunyai sumberdaya alam melimpah. Sumberdaya alam yang melimpah di

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi sumberdaya hayati, non hayati dan

jasa-jasa lingkungan. Potensi sumberdaya hayati dan terumbu karang,sedangkan

potensi nono hayati misalnya: mineral dan bahan tambang. Jasa-jasa lingkungan

wilayah pesisir untuk wisata, pelabuhan, kawasan industry dan sebagainya.

Wilayah pesisir Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayatiyang luar

biasa, setidaknya sekitar 30 % total luas hutan bakau (mangrove)dunia dan 18 % total

luas terumbu karang dunia terdapat di Indonesia danlebih dari 60 % atau sekitar 140

juta penduduk Indonesia bertempat tinggaldalam radius 50 kilometer dari garis pantai

(DKP, 2002).

Kota Dumai yang beriklim tropis memilki banyak potensi sumber daya laut.

Pesisir Kota Dumai memilki keanekaragaman laut yang tinggi, sehingga orang

berlomba-lomba untuk memanfaatkan sumber daya tersebut, baik sumberdaya hayati,

hayati, dan jasa-jasa lingkungan. Namun, berbagai aktivitas yang dilakukan manusia
2

dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam di kawaasan pesisir dan pulau-pulau

kecil sering tanpa mengindahkan kaidah kelestariannya, sehingga yang terjadi adalah

kemerosotan potensi sumberdaya tersebut.

Untuk menjaga agar sunberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil yang ada tetap

terpelihara dan member manfaat bagi umat manusia perlu adanya upaya pengelolaan.

Pengelolaan sumberdaya pesisir akan dapat dilakukan apabila diketahui sumberdaya

yang ada permasalahan yang terjadi. Untuk mengetahui sumberdaya dan isu

permasalahan yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut perlu

dilakukan pengamatan dan identifikasi di lapangan. Pratikum lapangan matakuliah

Pengelolaan Wilayah Pesisir merupakan bagian dari keseluruhan kegiatan

perkuliahan. Untuk itu melalui kegiatan pratikum lapangan ini diharapkan dapat

menerapkan atau mempraktekkan apa yang di dapat di ruang kuliah selama

perkuliahan serta melihat langsung semberdaya dan permasalah yang ada dilapangan.

Untuk itu pratikum ini menjadi sangat penting untuk dilaksanakan. Pratikum ini

dilaksanakan setelah mahasisiwa memperoleh pengatuhuan secara terotis dan

pengalaman studi kasis yang disajikan dalam kelas melalui perkuliahan dan

persentasi atau diskusi.


3

1.2. Tujuan Praktikum

Pratikum lapangan ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengidentifikasi potensi-potensi sumber daya alam pesisir Kota

Dumai, khususnya di Kec. Dumai Barat yang dapat di manfaatkan secar

berkelanjutan.

2. Untuk mengidentifikasi isu kerusakan , permasalahan yang terdapat di

pesisir dan puau-pulau kecil di kota Dumai.

3. Untuk mengetahui pendapat masyarakat mengenai pemanfaatan

sumberdaya pesisir saat ini,trmaksud wisata di Kota Dumai.

4. Untuk mengetahui pengelolahan wilayah pesisir dan kawasan pesisir Kota

Dumai Oleh Pemerintah setempat.

1.3. Manfaat Pratikum

Setelah melakukan pratikum lapangan ini diharapkan mahasiswa

mendapatkan informasi mengenai sumberdaya pesisir, permasalhan yang menunjukan

kondisi wilayah pesisir, tanggapan masyarakat terhadap pemanfaatan wilayah pesisir

yang dilakukan oleh Kota Dumai saat ini dalam upaya melestarikan sumberdaya

pesisir yang ada. Selanjutya mahasiswa dapat menyusun suatu rencana pengelolaan

wilayah pesisir.
4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Wilayah Pesisir

Batas Wilayah pesisir merupakan batas peralihan antara darat dan laut dimana

pengaruh intrusi air laut masih sampai ke darat atau sejauh mana pengaruh angin laut

menuju darat, dan sejauh mana sedimentasi dari darat ke laut yang sifatnya fluktuatif

(Wirawan, 2004).

Wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara daratan dan laut ke arah darat

wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang

masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan

perembesan air asin. Kondisi suatu wilayah pesisir erat kaitannya dengan sistem

sungai yang bermuara di wilayah itu. Perubahan sifat sungai yang mungkin terjadi,

baik yang disebabkan karena proses alami maupun sebagai akibat kegiatan manusia,

baik yang terjadi di hulu maupun di daerah hilir, akan mempengaruhi wilayah pesisir

yang bersangkutan (Supriharyono, 2007).

2.2. Ekosistem Pesisir

Ekosistem perairan pesisir laut tropis yang meliputi estuaria, hutan pantai atau

mangrove, padang lamun dan terumbu karang diketahui mempunyai keanekaragaman

jenis organisme yang sangat tinggi dan juga mempunyai potensi yang sangat besar

untuk menunjang produksi perikanan. Produktivitas primer di perairan pesisir dapat

mencapai lebih dari 10.000 gr C/m2/th. Nilai ini sangat tinggi atau jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan produktivitas perairan di laut dangkal, yaitu sekitar 100 gr


5

C/m2/th atau perairan di laut dalam yang hanya sekitar 50 gr C/m2/th (Supriharyono,

2000).

Daerah pesisir termasuk zona ekoton karena merupakan daerah interaksi antara dua

ekosistem yang berbeda yaitu ekosistem daratan dan lautan. Komponen-komponen

biotik dan abiotik di kedua ekosistem ini membentuk zona ekoton pesisir saling

berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain sehingga membentuk karakteristik

wilayah pesisir yang unik. Modifikasi lingkungan pesisir yang sangat cepat, hilang

dan rusaknya keragaman hayati ekosistem pesisisr termasuk mangrove, lagoon, rawa,

dan terumbu karang merupakan hal yang patut mendapatkan perhatian serius

(Haryani, 2002).

2.3 Wilayah Pesisir Dumai

Wilayah Kota Dumai terletak pada posisi koordinat 101°23’37” – 101°28’13”

BT dan 01°23’00” – 01°24’23” LU. Wilayahnya terdiri dari tanah rawa bergambut

dengan kedalaman 0–0,5 m dan beberapa kilometer ke arah Selatan terdapat daratan

rendah dengan kemiringan 0–5 %. Memiliki luas 1.772,38 km 2 terdiri dari 5

kecamatan dan 32 kelurahan. Kelima kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Dumai

Barat dengan luas 120 km2, Kecamatan Dumai Timur dengan luas 59 km2 dan

Kecamatan Bukit Kapur dengan luas 250 km2, Kecamatan Medang Kampai 373 dan

Kecamatan Sungai Sembilan 970,38 km2 (Hanif, 2011).

Perairan pesisir Kota Dumai merupakan bagian dari Selat Rupat, selat ini

terletak antara daratan pulau Sumatera dengan pulau Rupat. Bagian utara dan timur

selat Rupat berhubungan langsung dengan selat Malaka maka pada musim-musim
6

tersebut kondisi di selat Malaka akan merambat masuk ke perairan pesisir Kota

Dumai melalui ujung utara dan timur selat Rupat, sehingga pada beberapa bagian

pesisir terutama bagian timur dan utara terjadi abrasi pantai akibat aksi gelombang

besar yang merambat dari selat Malaka (Hanif, 2011).

Sebagai suatu sistem yang utuh, wilayah pesisir memiliki dinamika yang khas

yang semestinya menjadi pertimbangan dalam pemanfaatannya. Dalam konteks

ekologi wilayah pesisir akan berakibat pada tidak mulusnya roda dinamika komponen

sistem yang lain yang ada dalam wilayah pesisir, termasuk dinamika pemanfaatannya

(Abrahamsz et al, 2005). Hutan mangrove ditemukan di sepanjang pantai bagian

barat sampai ke daerah perbatasan dengan Kabupaten Rokan Hilir.

2.4. Manfaat dan Permasalahan Pesisir

Jika ditinjau dari fungsinya, ekosistem pesisir memiliki 4 fungsi utama bagi

kehidupan manusia, yaitu : (a) sebagai penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, (b)

sebagai penyedia jasa-jasa kenyamanan (estetika), (c) sebagai penyadia sumber daya

alam, dan (d) sebagai penyerap atau penerima limbah. Sebagai pendukung eksistensi

kehidupan manusia, wilayah pesisir menyediakan jasa-jasa pendukung kehidupan

seperti udara yang segar, air yang bersih dan juga ruang untuk berbagai kegiatan

manusia. sementara fungsinya sebagai penyedia jasa-jasa kenyamanan, wilayah

pesisir menyediakan berbagai ekosistem yang indah besetra segala atribut-atributnya.

Sebagai penyedia sumber daya alam, wilayah pesisir merupakan ekosistem yang

sangat kaya akan sumber daya alam baik yang dapat pulih maupun tidak, yang pada

hakekatnya didutuhkan dalam pemenuhan kehidupan manusia. demikian juga sebagai


7

penerima limbah, hampir seluruh limbah yang dihasilakan oleh manusia di darat

terakumulasi di wilayah pesisir (Ortonalo, 1984).

Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral pada dasarnya

berkaitan hanya dengan satu jenis sumber daya atau ekosistem untuk memenuhi

tujuan tertentu (sektoral), seperti perikanan, pariwisata, pertambangan, industry,

pemukiman, perhubungan, dan sebagainya. Dalam pengelolaan semacam ini, dampak

“cross-sectoral” atau “cross-regional” seringkali terabaikan. Akibatnya, model

perencanaan dan pengelolaan sektoral ini menimbulkan berbagai dampak yang dapat

merysak lingkungan dan juga dapat menghambat bahkan mematikan sector lainnya

(Bengen, 2002).

Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu memilki

pengertian bahwa pengelolaan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan

laut dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive assessment),

merencanakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta mengelola segenap

kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan

berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakuakn secara kontinyu dan

dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosoial-ekonomi-budaya dan aspirasi

masyarakat pengguna wilayah pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan

pemanfaatan yang mungkin ada (Bengen,2002).

2.5. Ekosistem mangrove

Ekosistem mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang di

dominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan
8

berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran

air, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat. Karena itu,

hutan mangrove banyak ditemukan di pantai pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta

dan daerah pantai yang terlindung (Bengen, 2004).

Ekosistem mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

woodland, vloedbosschen dan hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu, ekosistem

mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainya yang

berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Penggunaan istilah hutan

bakau untuk ekosistem mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau

hanyalah nama lokal dari marga Rhizophora, sementara ekosistem mangrove disusun

dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainya. Oleh karena itu,

penyebutan ekosistem mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari (Kusuma et

al, 2003 dalam Irwanto, 2007).

Selanjutnya, Pramudji (2010) menerangkan bahwa ekosistem mangrove

adalah suatu formasi hutan yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah tropik

dan subtropik pada lingkungan pesisir dan berkadar garam sangat ekstrim, jenuh air,

kondisi tanah yang tidak stabil dan anaerob yang selalu dipengaruhi pasang surut.

Walaupun keberadaan hutan mangrove ini tidak tergantung pada iklim, namun

umumnya hutan ini tumbuh dan berkembang pada kawasan pesisir yang terlindung

dari hempasan ombak, serta ditopang oleh adanya aliran sungai yang selalu

membawa material.
9

Mulyadi (2006) juga menjelaskan bahwa mangrove merupakan ekosistem

yang terdapat di antara daratan dan lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove

akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif. Karena hidupnya di dekat

pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan

payau, atau hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan

nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp.

Sehingga dalam percaturan bidang keilmuan untuk tidak membuat bias antara bakau

dan mangrove maka hutan mangrove sudah ditetapkan merupakan istilah baku untuk

menyebutkan hutan yang memiliki karakteristik hidup di daerah pantai.

2.5.1. Habitat dan Penyebaran

Mangrove hidup di daerah antara level pasang naik tertinggi (maximum

spring tide) sampai level disekitar atau di atas permukaan laut rata-rata (mean sea

level). Komunitas (tumbuhan) hutan mangrove hidup di daerah pantai terlindung di

daerah tropis dan subtropis (Supriharyono, 2009).

Irwanto (2006) mengemukakan bahwa mangrove biasa ditemukan di

sepanjang pantai daerah tropis dan subtropis, antara 32° Lintang Utara dan 38°

Lintang Selatan.

Mangrove mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai

berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan

supratidal yang cukup mendapat aliran air dan terlindung dari gelombang besar dan

arus pasang-surut yang kuat. Hal tersebut menyebabkan hutan mangrove banyak
10

ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang

terlindung (Bengen, 2004).

Secara umum mangrove tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang

selalu dipengaruhi oleh aliran air tawar, serta terlindung dari pukulan ombak. Oleh

karena itu, mangrove banyak tumbuh dan berkembang di kawasan pesisir teluk yang

dialiri sungai dan pulau-pulau kecil. Mangrove sangat cocok tumbuh pada kawasan

yang terlindung dan memiliki lingkungan yang memungkinkan terjadinya endapan

(sedimen), misalnya daerah muara sungai atau delta. Secara umum, mangrove

dicirikan tumbuh pada substrat yang memiliki kadar garam (salinitas) dan suhu yang

tinggi, kadar oksigen yang rendah, serta substrat tanah berlumpur yang mengandung

sisa-sisa bahan organik (Pramudji, 2010).

2.5.2. Zonasi Mangrove

De Haan dalam Bengen (2004) membagi zonasi mangrove berdasarkan salinitas

sebagaimana berikut :

1. Zona air payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam air pasang

berkisar antara 10-30 ‰. Pada zona ini, area yang terndam sekali atau dua kali sehari

selama 20 hari dalam sebulan hanya Rhizophora mucronata yang masih dapat

tumbuh. Pada area yang terendam 10-19 kali per-bulan ditemukan Avicennia (A.

alba, A. marina), Sonneratia sp. Dan dominan Rhizophora sp. Area yang terendam

kurang dari sembilan kali setiap bulan ditemukan Rhizophora sp., Bruguiera sp.
11

Sedangkan pada area yang terendam hanya beberapa hari dalam setahun : Bruguiera

gymnorrhiza dan Rhizophora apiculata masuh dapat hidup.

2. Zona air tawar hingga payau, dimana salinitas berkisar antara 0-10 ‰. dalam zona

ini, yaitu pada area yang masih dipengaruhi oleh pasang surut terdapat asosiasi Nypa.

Sedangakan area yang terendam secara musiman diominasi oleh Hibiscus.

2.5.3. Faktor penyebab dan dampak kerusakan ekosistem mangrove.

Pengalihan fungsi areal hutan mangrove menjadi daerah pertambakan dapat

menyebabkan meningkatnya masa genangan air sehingga menjadi tempat yang baik

bagi perkembang biakan nyamuk. Selain itu, penebangan hutan mangrove untuk

keperluan kayu bakar dan pembuatan arang, serta pengambilan kulit pohon untuk

penyamak kulit secara tidak terencana dapat menyebabkan kerusakan ekosistem

mangrove. Kerusakan-kerusakan ekosistem mangrove dapat menyebabkan

terganggunya salah satu fungsi mangrove yaitu sebagai penyerap logam berat

sehingga tidak masuk kedalam jaringan makanan. Kerusakan hutan mangrove dapat

menimbulakn banyak dampak. Salah satu kerusakan yang ditimbulkan ari rusaknya

sebuah ekosistem mangrove adalah adanya peningkatan laju intrusi air laut kea rah

daratan (Tuwo, 2011).

Menurut Saparinto (2007). Beberapa hal yang menyebabkan kerusakan

ekosistem mangrove adalah (1) tekanan penduduk yang tinggi sehingga permintaan

konversi mangrove juga semakin tinggi, (2) perencanaan dan pengelolaan

sumberdaya pesisir dimasa lalu bersifat sangat sektoral, (3) rendahnya kesadaran

masyarakat tentang konservasi dan fungsi ekosistem mangrove, dan (4) kemiskinan
12

masyarakat pesisir. Adapun dampak yang paling menonjol dari kerusakan ekosistem

mangrove adalah secara fisik dan ekologis. Dampak secara fisik adalah erosi pantai,

kerusakan perumahan dan harta benda akibat badai serta terjadinya intrusi air laut.

Secara ekologi, kerusakan mangrove dapat mengakibatkan adanya penurunan

kesuburan perairan dan kualitas perairan pesisir. Kerusakan mangrove bagi perikanan

pesisir akan mengakibatkan menurunnya penyediaan benih alami, stok perikanan,

menurunnya kualitas air laut yang akan digunakan untuk media budidaya tambak atau

laut, dan menurunnya hasil tangkapan nelayan setempat.

Menurut Bengen (2004), dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan

pesatnya pembangunan di pesisir bagi berbagai peruntukan (pemukiman, perikanan,

pelabuhan dll), tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir, hususnya ekosistem

hutan mangrove, semakin meningkat pula. Meningkatnya tekanan ini tentunya

berdampak terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove baik secara langsung

(misalnya kegiatan penebangan atau konversi lahan) maupun ecara tidak langsung

(misalnya pencemaran oleh limbah berbagai kegiatan pembangunan).


13

III. METODE PRAKTEK

3.1. Waktu dan Lokasi Praktikum Lapangan

Praktikum lapangan ini dilaksanakan selama dua hari pada hari jum’at dan

sabtu tanggal 27-28 April 2015 mulai pukul 07.00 sampai dengan pukul 16.00 WIB.

Lokasi praktikum lapangan berada di wilayah pesisir Kota Dumai. Lokasi yang

dikunjungi antara lain PPI Dumai, kawasan konservasi bandar bakau situs legenda

putri tujuh, pelabuhan dan pantai di pesisir Kota Dumai serta masyarakat yang ada di

sekitar pesisir tersebut.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan selama praktikum adalah Termometer, refraktometer, pH

indikator, kamera, alat tulis. Sedangkan bahan yang digunakan adalah air laut.

3.3. Metode Paktikum lapangan

Metode yang digunakan pada praktikum lapangan ini adalah metode survei

dan wawancara. Survei dilakukan dengan mendatangi langsung lokasi praktikum

dengan melakukan pengamatan terhadap sumberdaya pesisir, kerusakan sumberdaya

dan pengukuran beberapa parameter lingkungan. Wawancaea dilakukan kepada

pegawai PAB Dumai, kawasan konservasi bandar bakau situs legenda putri tujuh,

serta masyarakat yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir. Wawancara

adalah proses penggalian pemanfaatan penggalian informasi melalui tanya jawab

antara pewawancara dengan nara sumber. Tujuan dari wawancara adalah

mendapatkan informasi dari narasumber atau informan. Fungsi dari data yang
14

diperoleh melaui wawancara adalah mendapatkan gambaran dari permasalahan

tertentu yang dialami narasumber.

Keutamaan metode wawancara adalah dapat menyajikan informasi yang

beragam, dan kadang tidak terduga sebelumnya, dapat memberikan gambran

mengenai respon maupun respon maupun sikap masyarakat terhadap kebijakan

publik, dan mapu menjaring aspirasi yang beragam dari masyarakat untuk analisis

kebijakan publik. Kelemahan dari wawancara adalah informasi yang didapatkan

cenderung subyektif ( benar menurut narasumber atau informan ) selain itu, hasil

wawancara hanya dapat menggambarkan kencenderungan informasi atau narasumber,

tetapi tidak generalisasi.

3.4. Prosedur Praktikum

a. Lakukan pengukuran kondisi parameter lingkungan perairan pesisir, seperti suhu,

salinitas dan pH di wilayah pesisir Dumai

b. Lakukan pengamatan dan pencatatan sumberdaya dan ekosistem wilayah pesisir

Kota Dumai, baik sumberdaya hayati ( sumberdaya dapat pulih) seperti mangrove,

lamun, terumbu karang, ikan dll dan sumberdaya non hayati (sumberdaya yang

tidak dapat pulih) seperti penambangan pasir, minyak dan gas, serta jasa-jasa

lingkungan seperti pemanfaatan pesisir untuk pelabuhan, kawasan industri,

penelitian, wisata dan sebagainya.

c. Lakukan penelitian terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir yang berlangsung

saat ini
15

d. Lakukan pengamatan terhadap kerusakan ekosistem dan sumberdaya serta

permasalahan yang terdapat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Lakukan

pencacatan jenis organisme pesisir seperti ikan, moluska, mangrove.

e. Untuk mendapatkan data-data diatas dilakukan wawancara dengan pegai PPT

Dumai, pihak pelabuhan, wisatawan, dan masyarakat terkait dengan wilayah

pesisir Kota Dumai.

F. Dokumentasi setiap kegiatan, ekosistem yang ditemukan, sumberdaya dan

kerusakan serta kegiatan pengelolaan yang ada di Kota Dumai.


16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
4.1.1. Hasil Pengukuran Kualitas Perairan Kota Dumai
Dari hasil praktikum lapangan yang telah dilakukan didapatkan hasil

pengukuran kualitas perairan yakni suhu perairan Kota Dumai adalah 31 °C, salinitas

30, pH 8, kecerahan 2,7 m, dengan kedalaman 15,5 m, pada titik koordinat U 01° 42’

25,3’’, T 101° 24’37,4”.

4.1.2. Hasil Wawancara dari Instan terkait dan Masyarakat sekitar pesisir
Dari wawancara kepada pengelola yang terkait dikawasan Konservasi Bandar

Bakau dan masyarakat sekitar pesisir Kota Dumai. Menurut Iwan (Pengelolah

PAB),pengelolaan mangrove yang berada di kawasan Konservasi Bandar Bakau

sudah berjalan dengan baik. Sumberdaya hayati yang ada di perairan sekitar

contohnya seperti : mangrove, gastropod, dan terumbu karang. Kawasan Konservasi

Bandar Bakau ini baru menjadi kawasan wisata masi cukup baru yakni dibuka pada

tahun 2014, dengan pemilik yakni PT. PELINDO.

Dalam hal ini banyak berbagai kendala yang terjadi dalam pengelolaan

sumberdaya di tempat konservasi bandar bakau tersebut. Dari penuturan iwan,

kendala yang terjadi ialah seperti : dana atau anggaran, fasilitas contohnya

laboratorium, dan adanya penebangan liar untuk pembuatan arang serta adanya

pencemar minyak disekitar kawasan konservasi.

Fungsi mangrove bagi masyarakat sekitar adalah seperti pada jenis mangrove

Nyirih dan Kedabu. Mangrove Nyirih biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar
17

untuk mengobati batuk dan obat kulit dengan memanfaatkan daun dari mangrove

tersebut. Sedangakan mangrove Kedabu dimanfaatkan untuk membuat sirup.

Dari hasil praktikum yang dilakukan dengan turun langsung kelapangan dapat

dilihat Gambar :

A B

C D

Keterangan : A) Avicennia alba, B) Rhizophora sp, C) Aktifitas masyarakat dipesisir

pantai, C) Abrasi pantai yang terjadi di pesisir pantai.


18

4.2. Pembahasan
Pengelolaan hutan mangrove di kawasan Konservasi Bandar Bakau dalam

dinilai sudah baik di kawasan konservasi yang sudah menjadi kawasan wisata di

perairan Kota dumai karena kawasan ini melakukan pengelolaan pesisir secara

terpadu dan pengololaan ini berbasis masyarakat.Menurut Sain dan Krecth

Pengelolaan Pesisir Terpadu (P2T) adalah proses yang dinamis yang berjalan secara

terus menerus, dalam membuat keputusan-keputusan tentang pemanfaatan,

pembangunan dan perlindungan wilayah dan sumberdaya pesisir dan lautan. Bagian

penting dalam pengelolaan terpadu adalah perancangan proses kelembagaan untuk

mencapai harmonisasi dalam cara yang dapat diterima secara politis.

Pengelolaan berbasisi masyarakat dapat diartikan sebagai suatu system

pengelolaan sumber daya alam disuatu tempat dimana masyarakat lokal ditempat

tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumber daya alam yang

terkandung didalamnya (Nurmalasari, 2001). Di Indonesia pengelolaan sumberdaya

berbasis masyarakat sebenarnya telah ditetapkan dalam Pasal 33 Undang-Undang

Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya

bagi kemakmuran rakyat. Ketentuan tersebut secara tegas menginginkan agar

pelaksanaan penguasaan Negara atas sumber daya alam khususnya sumber daya

pesisir dan lautan diarahkan kepada tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi

kemakmuran rakyat banyak, dan juga harus mampu mewujudkan keadilan dan

pemerataan sekaligus memperbaiki kehidupan masyarakat pesisir serta memajukan

desa-desa pantai.
19

Secara alamiah potensi pesisir di daerah dimanfaatkan langsung oleh

masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan tersebut yang pada umumnya terdiri

dari nelayan. Nelayan di pesisir memanfaatkan kekayaan laut mulai dari ikan, rumput

laut, terumbu karang dan sebagainya untuk memenuhi kebutukan hidupnya. Pada

umumnya potensi pesisir dan kelautan yang di manfaatkan oleh nelayan terbatas pada

upaya pemenuhan kebutuhan hidup.Pemanfaatan potensi daerah pesisir secara besar-

besaran untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomis dalam rangka peningkatan

pertumbuhan perekonomian rakyat belum banyak dilakukan. Pemanfaatan pesisir

untuk usaha ekonomi dalam skala besar baru dilakukan pada sebagian Kabupaten dan

Kota yang berada di daerah pesisir. Pada umumnya usaha ekonomi pemanfaatan

daerah pesisir ini bergerak disektor pariwisata.Sejalan dengan pelaksanaan otonomi

daerah, Pemerintah Daerah berupaya untuk memanfaatkan potensi daerah pesisir ini

untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Disamping itu Pemerintah

Daerah juga memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan

pertumbuhan dan perekonomian masyarakat di daerah.

Mengingat kewenangan daerah untuk melakukan pengelolaan bidang kelautan

ang termasuk juga daerah pesisir masih merupakan kewenangan baru bagi daerah

maka pemanfaatan potensi daerah pesisir ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh

Daerah Kabupaten atau kota yang berada di pesisir. Jadi belum semua Kabupaten dan

Kota yang memanfaatkan potensi daerah pesisir.

Kawasan Konservasi Bandar Bakau baru diresmikan sebagai kawasan wisata

sejak tahun 2014 dengan pemilik PT. PELINDO. Kawasan ini dekat dengan industri

yang mana rawan dengan dengan pencemaran, salah satunya pencemaran minyak.
20

Dalam hal ini pihak yang mengelola kawasan tersebut melakukan pemantauan dan

sering mensosialisasikan kepada penduduk yang secara langsung menyampaikan

kepada pihak yang terkait dengan memberikan informasi bahayanya bahan pencemar

yang dikeluarkan dari industri-industri tersebut yang akan berdampak kepada

ekosistem mangrove yang terdapat disekitar pesisir Kota Dumai.


21

BAB V. KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan

Wilayah pesisir memiliki nilai strategis bagi pengembangan ekonomi nasional

dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus merupakan wilayah yang

sangat rentan terhadap kerusakan dan perusakan. Oleh sebab itu diperlukan

pengelolaan yang bijaksana dengan menempatkan kepentingan ekonomi secara

proporsional dengan kepentingan lingkungan, baik dalam jangka pendek maupun

jangka panjang.

Pengelolaan berbasis masyarakat dapat diartikan sebagai suatu sistem

pengelolaan sumber daya alam disuatu tempat dimana masyarakat lokal ditempat

tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumber daya alam yang

terkandung di dalamnya. Strategi pengembangan masyarakat dapat dilakukan melalui

dua pendekatan yatu, yang bersifat struktural dan non-struktural.

Konsep pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan berfokus pada

karakteristik ekositem pesisir yang bersangkutan, yan dikelola dengan

memperhatikan aspek parameter lingkungan, konservasi, dan kualitas hidup

masyarakat, yang selanjutnya diidentifikasi secara komprehensif dan terpadu melalui

kerjasama masyarakat, ilmuan da pemerintah, untuk menemukan strategi-strategi

pengelolaan pesisir yang tepat

 
22
23

DAFTAR PUSTAKA

Abrahamsz, A., Tuapattinaja, M. A. 2005. Evaluasi kawasan konservasi hutan


mangrove di Desa Passo. Ichthyos : jurnal penelitian ilmu-ilmu perikanan dan
kelautan. Universitas Pattimura. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. 4 (93-
98).

Bengen. 2002. Pengelolaan Wilayah Pesisr terpadu. Jakarta : Lembaga Ilmu


Pemgetahuan Indonesia.

Bengen, D.G. 2004. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut
Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan
(PKSPL) IPB, Bogor.

DKP. 2008. Urgensi RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Atrikel on-line Dinas Kelautan dan Perikanan.

Hanif, A. 2011. Kota Dumai dan Kawasan Konservasi Mangrove. Loka Kawasan
Konservasi PerairanNasional.http://www.kp3k.kkp.go.id/lkkpn/index.php?
option=com_content&view=article&id=123:kota-dumai-dan-kawasan-
konservasi-mangrove & catid = 31: beranda & Itemid= 28. Diunduh pada
tanggal 01 Juni 2015 Pukul 13:00 WIB.

Haryani, Gadis Sri. 2002. Pengelolaan Ekton : Potensi, Permasalahan dan strategi.
Jakarta : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Irwanto. 2006. Keaneka ragaman fauna pada mangrove. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.

Irwanto. 2007. Analisis Vegetasi Untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Pulau
Marsegu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.

Kusmana, C. dkk. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan IPB.


Bogor. 

Muttaqiena, dkk. 2009. Makalah Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan


Pasca Tsunami Desember 2004. http://slideshare.net/abida/pengelolaan-
pesisir.Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Mulyadi, E., R. Laksmono, & D. Aprianti. 2006. Fungsi Mangrove Sebagai


Pengendali Pencemar Logam Berat. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol.1
24

Edisi Khusus. Jurusan Teknik Lingkungan FTSP UPN “Veteran“, jawa


Timur.

Ortolano, L., 1984. Environmental Planning and decision Making. John Wiely and
sons. Toronto, p.431.

Pramudji. 2010. Ekosistem Mangrove. Pusat Penelitian Oceanografi Lembaga Ilmu


Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Saparinto, C. 2007. Pendayagunaan ekosistem mangrove. Dahara prize. Semarang.

Stefanus Stanis1 dan Supriharyono. (2007). Penglolaan Sumberdaya Pesisirdan Laut


melalui Pemberdayaan Kearifan Lokal di Kabupaten LemabataPropinsi Nusa
Tenggara Timur. Jurnal Pasir Laut, Vol.69 2, No.2, Januari 2007: 67-
82.Semarang: UNDIP

Supriharyono. 2000. Pelestarian Sumberdaya Ekosistem Wilayah Pesisir dan Lautan


di Daerah Tropis. PT Gramedia Pustaka. Jakarta.

Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir


dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Supriharyono. 2009. Konservasi ekosistem sumber daya hayati. Pustaka belajar.


Yogyakarta.

Tuwo, A. 2011. Pengelolaan ekowisata pesisir dan laut ; pendekatan ekologi, sosial-
ekonomi, kelembagaan, dan sarana wilayah. Brilian Internasional. Sidoarjo.

Wirawan, B., dkk. 2002. Rencana Pengelolaan Desa Terpadu Berbasis Pengelolaan
Lingkungan Pesisir, Desa Pematang Pasir, Lampung Selatan. PKSPL. IPB.
Bogor.
25

LAMPIRAN
26

Lampiran 1. Jenis-jenis mangrove yang terdapat di kawasan Konservasi Bandar


Bakau
27

Anda mungkin juga menyukai