Anda di halaman 1dari 2

*”DITAKDIRKAN BATAL NAIK SRIWIJAYA”*

Namanya Rachmawati. Ia orang Mempawah, Kalimantan Barat. 35 tahun silam, ia pernah jadi Qoriah
Internasional. Kini bekerja sebagai pegawai di Kemenag RI. Sabtu siang, ia sudah bersiap menuju
bandara dan hendak terbang ke Pontianak. Tiket sudah dipesan. Pesawatnya Sriwijaya Air dengan
nomor penerbangan SJ-182. Berangkat pukul 14.00 WIB.

Hanya saja, hasil tes PCR-Swabnya telat keluar. Layanan kesehatan tempatnya tes Covid baru bisa
mengeluarkan resume medis, Sabtu siang, atau nyaris bertepatan dengan jadwal take off.
Rachmawati pasrah. Ia memilih membatalkan keberangkatan, dan memesan tiket maskapai lain
untuk terbang Minggu, pagi ini.

Mendadak ia merasa sangat bersyukur. Gara-gara hasil PCR-nya telat keluar, ia terhindari dari
tragedi. Tuhan belum melist-nya dalam daftar sebagai korban Sriwijaya Air yang jatuh, Sabtu (9/1)
kemarin.

Atma Budi Wirawan punya kisah berbeda. Bersama tujuh anggota keluarganya, mereka sudah
memesan dan membeli tiket Sriwijaya Air untuk terbang ke Pontianak, Sabtu siang. Begitu
mendengar bahwa semua penumpang yang hendak terbang ke Kalimantan Barat harus mengantongi
hasil tes swab Covid-19, Budi dan keluarganya dilema. Delapan orang itu sama dengan 9,6 juta
rupiah.

Mereka lalu berembuk. Kesepakatannya, tiket pesawat biarkan hangus. Mereka memilih naik kapal
Pelni. Harganya Rp220 perorang, jauh lebih murah dari biaya PCR. Meski harus melewati perjalanan
panjang dan mungkin lelah karena berlayar, opsi itu dipilih demi menghindari tes swab.

Minggu pagi ini, mereka tiba di Pontianak. Mendengar informasi soal tragedi Sriwijaya Air, semuanya
tertegun. Andai tetap ngotot untuk terbang dan tidak mempersolkan biaya tes swab, bisa saja
situasinya berbeda bagi mereka.

Setali tiga uang dengan Agustiawan. Ia mahasiswa asal Pontianak. Sabtu siang, ia berencana pulang
kampung. Tiket sudah ia pesan, bahkan telah tiba di bandara. Menjelang terbang, ia mendadak
ditelepon ibunya. Ia dilarang pulang, dan diminta fokus mengurusi ujian akhir semesternya. Perintah
ibu ia turuti, ia lolos dari tragedi.

Kisah-kisah ini saya kutip dari portal berita nasional yang relatif kredibel. Jadi informasinya bisa
dipercaya. Orang-orang yang lolos dari maut itu adalah cerminan bagi kita semua, bahwa takdir
memang tidak bisa diundur dan tidak bisa dimajukan. Tuhan sudah mengatur semua panggung
manusia.
Sebagai seorang muslim, saya beberapa kali bertemu dan membaca Al A’raf ayat 34 dalam Alquran.
Disana, Tuhan memperingati manusia. *“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila
telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat
(pula) memajukannya”*

Masing-masing dari kita hanya sedang menjalani takdir. Segalanya sudah tertulis di Lauful Mahfuz,
dan tidak bisa diotak-atik lagi. Manusia memang berhak untuk merencanakan, tapi yakinlah bahwa
takdir telah menciptakan momentum bagi kita.

Saya jadi ingat dengan Djenar Mahesa Ayu. Dalam sebuah puisinya, ia berujar :

“Kita bisa memesan bir, namun tidak bisa memesan takdir”

Semoga proses pencarian terhadap semua korban tragedi Sriwijaya Air dimudahkan dan
menemukan hasil terbaik.

#Pray for Sriwijaya

Anda mungkin juga menyukai