Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH KEPERAWATAN HIV AIDS

“KASUS IBU HAMIL DENGAN HIV AIDS”

DOSEN PENGAMPU: Ns. Agus Santosa, S.Kep., M.Kep

Disusun Oleh: Khanani Azzahroh (1911020125)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN S-1

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2020/2021
I. Deskripsi Kasus

Nama saya Ny. S berusia 28 tahun, pekerjaan Ibu Rumah Tangga, saat ini saya hamil
34 minggu. Ini merupakan kehamilan pertama saya, senang rasanya akan memiliki seorang
anak yang sudah kami rindu-rindukan selama ini. Namun kebahagiaan itu seakan sirna
dengan sekejab, takala suamiku sering sakit-sakitan dan pada akhirnya suami saya meninggal
karena penyakit HIV-AIDS. Aku sangat syok mendengar penyakit yang diderita suamiku.
Akupun disuruh dokter untuk melakukan pemeriksaan HIV di poli VCT. Dan ternyata hasil
pemeriksaan saya dinyatakan positif HIV.

Saya stress dengan kondisi yang saya alami merasa bersalah, saya juga berpikir untuk
mencoba bunuh diri, saya menangis, menyesal tidak percaya akan kondisi yang saya alami.
Di rumah saya tidak mau berinteraksi dengan lingkungan karena takut dijauhi dan
didiskriminasi oleh lingkungan, saya merasa putus asa, takut janin yang saya kandung
bermasalah, takut apakah anaku juga tertular HIV.

Tidak hanya masalah psikologis, saya juga mengalami perubahan pada tubuh saya,
saya sekarang mudah lemas, kondisi cepat drop, cepat capek dan lelah, tidak seperti orang
hamil pada umumnya. Saat ini kehamilan saya sudah 40 minggu dan memasuki masa-masa
melahirkan, saya takut apakah ada bidan yang mau menolong saya, apakah saya bisa
melahirkan secara normal, sedangkan keadaan ekonomi saya tidak cukup untuk melakukan
operasi sesar. Ibu sejati harusnya yang bisa memberikan air susunya kepada anak, apakah
saya nantinya saya bisa seperti itu.

II. Identifikasi Masalah


1. Kenapa pasien Ny. S yang hamil dengan HIV mengeluhkan mudah lemas,
kondisi cepat drop, cepat capek, dan lelah tidak seperti orang hamil pada
umumnya?
2. Apakah Ny. S yang hamil dengan HIV bisa melahirkan secara normal?
3. Lebih aman manakah Ny. S melahirkan secara normal atau sesar?
4. Apakah Ny. S yang hamil dengan HIV bisa menyusui saat anaknya lahir?
5. Apakah janin Ny. S bisa bermasalah dan tertular HIV juga?
6. Bagaimana model/cara agar masyarakat tidak mendiskriminasi ibu hamil
dengan HIV?
7. Bagaimana pengobatan yang aman untuk Ny. S yang hamil dengan HIV?
8. Bagaimana terapi psikologis pada pasien Ny. S yang hamil dengan HIV?
9. Apa masalah keperawatan/diagnose yang muncul pada pasien Ny. S yang
hamil dengan HIV?
10. Bagaimana prognosis Ny. S yang hamil dengan HIV?

III. Penyelesaian Masalah


1. Human immunodeficiency virus atau HIV merupakan penyakit yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Saat sistem pertahanan ini
diserang, tubuh mengalami kesulitan untuk melawan dan menyingkirkan virus
yang masuk. Ketika seseorang tidak menyadari HIV bersarang di dalam tubuh,
virus ini akan melipatgandakan dirinya dengan cepat. Hal ini membuat energi
tubuh terus terkuras untuk melawannya. HIV juga termasuk virus yang
menyerang dan mengambil alih limfosit atau sel T. Padahal limfosit adalah sel
yang membantu tubuh melawan infeksi dan penyakit. Serangan yang bertubi-
tubi terhadap sistem pertahanan tubuh ini lama-lama membuat tubuh
kelelahan. Selain itu, ibu hamil dengan HIV/AIDS mengalami diare kronis
lebih dari satu bulan dan juga demam lama lebih dari satu bulan. Sehingga
kondisi tubuh mengalami penurunan.
2. Persalinan normal diperbolehkan karena umumnya lebih menguntungkan
untuk ibu dengan HIV, karena biasanya masa pemulihannya lebih singkat dan
lebih minim komplikasi. Namun, di samping itu persalinan normal memiliki
risiko penularan HIV ke bayi yang lebih tinggi, yaitu mencapai 10-20 %.
Maka dari itu apabila pasien menginginkan persalinan secara normal harus
bisa memenuhi persyaratan yang ditetapkan agar risiko penularan HIV/AIDS
tidak tertular ke bayinya.
Kementrian kesehatan RI membuat aturan bahwa ibu bisa melahirkan normal
asal memenuhi syarat di bawah ini:
 Jika ibu yang mengalami HIV mendapatkan pengobatan ART
(Antiretroviral Therapy) minimal selama 6 bulan dalam masa
kehamilan.
 Pada kehamilan minggu ke-36, dilakukan pemeriksaan load, yaitu
pemeriksaan untuk mengukur berapa banyak jumlah virus HIV di
dalam darah, dan hasil pemeriksaannya kurang dari 1000 kopi/mm3.
Dengan memenuhi dua persyaratan di atas, risiko penularan HIV dari
ibu ke bayi terbilang sangat kecil. Sehingga memungkinkan untuk
melahirkan normal. Sebaliknya jika salah satu atau dua kondisi di atas
tidak terpenuhi, maka ibu hamil lebih disarankan untuk menjalani
operasi caesar. Kemudian setelah bayi lahir usaha pencegahan
penularan HIV dari ibu ke bayi juga perlu mendapatkan obat ART
selama beberapa minggu untuk mencegah infeksi HIV.
3. Ibu hamil yang positif mengidap HIV berpotensi menularkan virus tersebut
kepada bayi, baik pada masa kehamilan, persalinan, maupun pada saat
menyusui. Dokter kandungan biasanya memberikan berbagai jenis obat
antivirus khusus, salah satunya adalah obat ARV (Antiretroviral) untuk
menekan jumlah virus jika ibu mengonsumsi obat-obatan secara rutin selama
kehamilan hingga hari persalinan nanti, maka risiko penularan bisa ditekan
sampai tinggal 7%. Karena itu penting bagi ibu hamil untuk melakukan tes
HIV, agar virus HIV terdeteksi lebih awal, sehingga program pencegahan HIV
bisa dilakukan secepatnya. Namun, ibu hamil harus mempertimbangkan jenis
persalinan yang ditempuh nantinya, karena risiko penularan virus HIV pada
bayi lebih tinggi pada saat persalinan. Dalam proses melahirkan, bayi terkena
darah dan cairan vagina ketika melewati saluran rahim yang menjadi cara
virus HIV dari ibu masuk ke dalam tubuhnya.
Ibu yang memiliki viral load yang tinggi biasanya diberikan infus berisi obat
zidovudine pada saat melahirkan normal. Namun ibu tetap perlu
mendiskusikan kepada dokter kandungan mengenai pemilihan metode
persalinan. jika angka viral load ibu berada di atas 400 kopi/ml, maka dokter
menyarankan ibu untuk melahirkan secara caesar.
Menurut berbagai penelitian risiko penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi pada
saat persalinan lebih rendah jika menggunakan metode caesar. Dari data yang
diperoleh dari America College of Obstetricians and Gynecologist, dituliskan
pada kondisi kehamilan pada umumnya operasi caesar dianjurkan untuk
dilakukan sebelum kehamilan berusia 39 minggu.
Namun pada ibu hamil pengidap HIV, operasi caesar dianjurkan dilakukan
saat kehamilan berusia 38 minggu. Sebelum dan sesudah menjalani operasi
caesar, ibu juga diberikan antibiotic untuk mencegah infeksi pasca
melahirkan. Hal ini dilakukan karena wanita yang mengidap HIV memiliki
kekebalan tubuh yang lebih rendah, sehingga lebih rentan terkena infeksi.
Ibu hamil dengan HIV dianjurkan untuk tetap menjaga kesehatan dengan cara
menerapkan pola hidup yang sehat. Karena dengan menjalankan pola hidup
sehat juga dapat membantu mencegah penularan HIV kepada bayi dalam
kandungan selama kehamilan.
Pada intinya persalinan yang dianjurkn untuk penderita HIV/AIDS adalah
persalinan secara caesar karena melihat dari penularan HIV/AIDS yang
ditularkan lebih sedikit. Dan bayi tidak mengalami masalah seperti air ketuban
yang pecah terlalu awal, bayi mengalami keracunan ketuban dan kelahiran
prematur.
4. Secara teori, ASI dapat membawa HIV dan dapat meningkatkan transmisi
perinatal. Oleh karena itu, WHO tidak merekomendasikan pemberian ASI
pada ibu dengan HIV positif, meskipun mereka mendapatkan terapi ARV.
Saran suportif mengenai susu formula pada bayi sangat diperlukan untuk
mencegah gizi buruk pada bayi. Menurut penelitian yang dilakukan di Eropa,
semua wanita dengan HIV positif direkomendasikan untuk mengonsumsi
kabergolin 1 mg oral dalam 24 jam setelah melahirkan, untuk menekan laktasi.
5. Seorang ibu hamil yang dinyatakan positif HIV/AIDS dapat menularkan virus
tersebut pada bayinya selama kehamilan, persalinan, atau menyusui.
HIV/AIDS paling mudah ditularkan melalui darah. Sementara itu, janin dalam
kandungan ibunya mendapatkan asupan makanan dari darah melalui tali
plasenta. Peristiwa ini menjadi tempat darah bertukar, karena virus HIV/AIDS
ada di dalam darah. Itulah proses penularan HIV/AIDS dari ibu ke janin. Maka
itu, ibu hamil yang terdeteksi positif HIV wajib meminum obat antiretroviral
(ARV). Cara ini sangat efektif untuk menekan jumlah virus dalam darah,
sehingga mengurangi risiko penularan. Selain dapat menular sejak dalam
kandungan, biasanya seorang anak dapat mengalami HIV saat peristiwa
persalinan. Pada tahap ini, bayi dapat tertular darah atau cairan milik ibu yang
terinfeksi HIV. Umumnya cairan ini mungkin telah terminum oleh bayi,
sehingga virus yang terkandung di dalamnya mulai menginfeksi tubuh bayi.
6. Beritahukan kepada masyarakat bahwa anggapan tentang penyebaran HIV
bisa menular melalui udara, kontak fisik atau berbagi peralatan makan itu
salah, sehingga akan mengurangi rasa takut masyarakat dan mengurangi
diskriminasi terhadap ODHA.
Pemberian edukasi mengenai HIV dan ODHA kepada masyarakat penting
untuk dilakukan guna menghilangkan stigma dan meningkatkan pengetahuan
masyarakat tentang penyakit HIV.
7. Highly active anti-retroviral therapy (HAART) adalah kemoterapi antivirus
yang disarankan oleh WHO untuk ibu hamil sebagai pengobatan utama HIV
salama masa kehamilan dan postpartum. Selain memperbaiki kondisi
maternal, HAART terbukti dapat mencegah transmisi perinatal yaitu dengan
mengurangi replikasi virus dan menurunkan jumlah viral load maternal.
Obat pilihan pertama yang boleh digunakan untuk ibu hamil adalah
lamivudine (3TC) 150 mg dan zidovudine (ZDV) 250 mg untuk golongan
nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs), nevirapine (NVP) 200 mg
untuk golongan non-NRTIs (NNRTIs), indinavir 800 mg dan nelfinavir 750
mg untuk golongan protease inhibitors (PI). Obat-obatan ini terbukti memiliki
potensi teratogenik dan efek samping maternal yang sangat minimal. Sasaran
terapi ARV pada kehamilan adalah untuk menjaga viral load dibawah 1000
kopi/ml. kombinasi terapi ARV dianjurkan untuk semua kasus yaitu 2
NRTIs/NNRTIs dengan 1PI. Berhubung ZDV merupakan satu-satunya obat
yang menunjukkan penurunan transmisi perinatal, obat ini harus digunakan
kapan saja memungkinkan sebagai bagian dari HAART. Apabila viral load
<10.000 kopi/mL, monoterapi ZDV 250 mg dapat diberikan secara oral 2x
sehari, dimulai antara umur kehamilan 20 sampai 28 minggu. Jika wanita yang
terinfeksi HIV ditemukan pada proses kelahiran, baik dengan status HIV
posistif sebelumnya atau dengan hasil rapid test, lebih dari satu pilihan
pengobatan tersedia, tetapi semua harus termasuk infus ZDV.
Ibu hamil yang terinfeksi HIV dan tidak pernah mendapat terapi ARV,
HAART harus dimulai secepat mungkin, termasuk selama trimester pertama.
Pada kasus dimana ibu hamil yang sebelumnya mengkonsumsi HAART untuk
kesehatannya sendiri, harus melakukan konseling mengenai pemilihan obat
yang tepat. Efek samping obat terlihat meningkat pada ibu hamil dengan
jumlah sel T CD4+ <250 ml. Misalnya pada ibu dengan CD4 <200 ml yang
sebelumnya mendapat pengobat single dose NVP, ritonavir-boosted lapinavir
ditambah tenofovir-emtricitabine, diganti dengan NVP ditambah tenofovir-
emtricitabine sebagai terapi awal. Oleh karena itu, NVP sebaiknya bukan
single dose karena berpotensi menimbulkan hepatotoksik yang fatal pada ibu
hamil. Ibu hamil juga membutuhkan antibiotik profilaksis terhadap infeksi
oportunistik yang dideritanya. Apabila CD4 <200/ml, profilakis pilihan untuk
PCP adalah Trimetrophine/sulfamethoxazole (TMX/SMX). Pada trimester
pertama, sebaiknya obat ini diganti dengan pentamidine aerosol karena obat
berpotensi teratogenik. TMX/SMX juga digunakan untuk mencegah
toksoplasmik ensefalitis dan diberikan saat level CD4<100/ml. Azithromycin
menggantikan clarithromycin sebagai profilaksis MAC. Dosis seminggu sekali
jika jumlah CD4 <50/ml. Wanita yang sebelumnya mengkonsumsi obat-
obatan tersebut sebelum hamil sebaiknya tidak menghentikan pengobatannya.
8. Terapi psikologis yang diberikan kepada pasien Ny. S dapat dilakukan dengan
melakukan motivasi diri agar fokus dengan penyembuhan dan tetap semangat,
memperbaiki pola tidur, melakukan berbagai hal yang menyenangkan hati,
karena depresi dan HIV tampaknya tak bisa dipisahkan. Pengidap HIV pasti
mengalami masa dimana ia merasa depresi. Kemudian, dengan adanya
dukungan dari keluarga juga dapat mengurangi rasa depresinya.
9. Risiko penyebaran infeksi (kepada janin).
Ansietas atau ketakutan yang berhubungan dengan efek HIV atau AIDS dan
akhirnya menyebabkan kematian.
Risiko infeksi yang berhubungan dengan gangguan fungsi sistem imun.
Nyeri yang berhubungan dengan infeksi oportunistik, efek samping
pengobatan.
Gangguan harga diri yang berhubungan dengan stigma penyakit.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Ketidakefektifan koping keluarga yang berhubungan dengan risiko HIV
terhadap anggota keluarga, pengaruh dari penularan secara seksual.
10. Jika pasien Ny. S tidak mendapatkan penanganan, memiliki prognosis yang
buruk, dengan tingkat mortalitas >90%. Rata-rata jangka waktu sejak infeksi
hingga kematian adalah 8-10 tahun (tanpa intervensi ARV). Terapi ARV
membantu mengontrol dan mengurangi replikasi HIV hingga aktivitas virus
(viral load) tidak terdeteksi dalam darah melalui pemeriksaan laboratorium,
sehingga memberi kesempatan untuk tubuh melakukan restorasi dari sistem
imun hingga mencapai tingkat aman dan menghindari progresifitas HIV.
Terapi ARV juga mengurangi tingkat transmisi dan penularan dari HIV,
terutama melalui paparan darah maupun hubungan seksual. Tanpa pemberian
terapi ARV, penderita infeksi HIV akan dapat mengalami penurunan sistem
imun secara konstan sehingga dapat mencapai kondisi yang dikenal sebagai
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) yang umumnya ditandai
dengan timbulnya berbagai infeksi oportunistik dan dengan kadar sel CD4
<200/µl.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.klikdokter.com/info-sehat/read/3628946/bisakah-ibu-pengidap-hivaids-
melahirkan-normal

https://hellosehat.com/seks/hivaids/penyebab-hiv-mudah-lelah/

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/4873/3659

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391025-PR-Ida%20Srihastuti.pdf

https://www.halodoc.com/artikel/begini-proses-penularan-hiv-dan-aids-dari-ibu-hamil-
ke-janin

https://www.alodokter.com/hidup-bermasyarakat-sebagai-ODHIV

https://www.alomedika.com/penyakit/penyakit-infeksi/hiv/prognosis

Anda mungkin juga menyukai