Anda di halaman 1dari 16

ASUHAN KEBIDANAN KOMUNITAS

Dosen Pembimbing :

Ns. Lukman Nulhakim, M.Kep

DISUSUN OLEH :

Kelompok 4

1. Fanny Fira Indayani (P07224219016)


2. Ferika Rafaris (P07224219017)
3. Fitri Nisa Ayu Lestari (P07224219018)
4. Gusti Reni Anggini (P07224219019)
5. Halimatus Sa’diyah (P07224219020)

PROGRAM STUDI D-III KEBIDANAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN
KALIMANTAN TIMUR
2020/2021
1. Paparan Kasus

Disuatu RW wilayah binaan ditemukan kasus Diare pada balita dalam 3 bulan
terakhir ini cukup tinggi. Dari 150 Balita di RW, 65% dari Balita secara
geografis, RW tersebut sangat jauh dari Puskesmas atau Pelayanan Kesehatan.

2. Pembahasan
A. Pengertian Diare
Diare adalah kejadian frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada
bayi dan lebih dari 3 kali pada anak, konsistensi feses encer, dapat berwarna
hijau atau dapat pula bercampur lendir dan darah atau lendir saja dalam satu
hari (24 jam). Dua kriteria penting harus ada yaitu BAB cair dan sering.
Apabila buang air besar sehari tiga kali tapi tidak cair, maka tidak bisa disebut
diare, begitu juga apabila buang air besar dengan tinja cair tapi tidak sampai
tiga kali dalam sehari, maka itu bukan diare. Pengertian Diare didefinisikan
sebagai inflamasi pada membran mukosa lambung dan usus halus yang
ditandai dengan muntah-muntah yang berakibat kehilangan cairan dan
elektrolit yang menimbulkan dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit.
B. Klasifikasi Diare
Ada tiga jenis diare menurut lama terjadinya yaitu diare akut, diare
persisten dan diare kronik. Klasifikasi diare berdasarkan lama waktu dapat
dikelompokkan menjadi :
1. Diare Akut
Diare akut yaitu buang air besar dengan frekuensi yang
meningkat dan konsistensi tinja yang lembek atau cair dan bersifat
mendadak datangnya dan berlangsung dalam waktu kurang dari 2
minggu. Diare akut berlangsung kurang dari 14 hari tanpa diselang-
seling berhenti lebih dari 2 hari.
2. Diare persisten
Diare persisten adalah diare yang berlangsung 15-30 hari,
merupakan kelanjutan dari diare akut atau peralihan antara diare akut
dan kronik.
3. Diare kronis
Diare hilang-timbul, atau berlangsung lama dengan penyebab
non-infeksi, seperti penyakit sensitive terhadap gluten atau gangguan
metabolism yang menurun. Lama diare kronik lebih dari 30 hari. Diare
kronik adalah diare yang bersifat menahun atau persisten dan
berlangsung 2 minggu lebih.
C. Patofisiologi Diare
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare adalah:
1. Gangguan Osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan
meyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga
terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus
yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya
sehingga timbul diare. Mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat
dilewati air dan elektrolit dengan cepat untuk mempertahankan tekanan
osmotik antara isi usus dengan cairan ekstraseluler. Diare terjadi jika
terdapat bahan yang secara osmotik dan sulit diserap. Bahan tersebut
berupa larutan isotonik dan hipertronik. Larutan isotonik, air dan bahan
yang larut di dalamnya akan lewat tanpa diabsorbsi sehingga terjadi diare.
Bila substansi yang diabsorbsi berupa larutan hipertonik, air dan elektronik
akan pindah dari cairan ekstraseluler ke dalam lumen usus sampai
osmolaritas dari usus sama dengan cairan ekstraseluler dan darah sehingga
terjadi diare
2. Gangguan Sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misal oleh toksin) pada dinding usus akan
terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan
selanjutnya diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
Akibat rangsangan mediator abnormal misalnya enterotoksin yang
menyebabkan villi gagal mengabsorbsi natrium, sedangkan sekresi klorida
di sel epitel berlangsung terus atau meningkat. Hal ini menyebabkan
peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus
yang berlebihan akan merangsang usus mengeluarkannya sehingga timbul
diare.
3. Gangguan Motilitas Usus
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus
untuk menyerap makanan sehingga timbul diare. Sebaliknya, bila
peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan
yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula.
D. Gambaran Klinis dan Tanda Gejala
Mula-mula bayi dan anak menjadi cengeng, gelisah, suhu tubuh
biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian timul
diare. Tinja cair dan mungkin disertai lender atau darah. Warna tinja makin
lama berubah menjadi kehijau-hijauan karena bercampur dengan empedu.
Anus dan daerah sekitarnya lecet karena seringnya defekasi dan tinja makin
lama makin asam sebagai akibat makin banyaknya asam laktat yang berasal
dari laktosa yang tidak dapat diabsorbsi usus selama diare. Gejala muntah
dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan dapat disebabkan oleh lambung
yang turut meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam basa atau
elektrolit. Bila penderita telah banyak kehilangan cairan dan elektrolit, maka
gejala dehidrasi makin tampak. Berat badan menurun, turgor kulit berkurang,
mata dan ubun-ubun membesar menjadi cekung, selaput lendir bibir dan
mulut serta kulit tampak kering. Berdasarkan banyaknya cairan yang hilang
dapat dibagi menjadi dehidrasi ringan, sedang, dan berat, sedangkan
berdasarkan tonisitas plasma dapat dibagi menjadi dehidrasi hipotonik,
isotonik, dan hipertonik.
E. Diagnosis Diare
Diagnosis diare berdasarkan gejala klinis yang muncul, riwayat diare
membutuhkan informasi tentang kontak dengan penderita gastroenteritis,
frekuensi dan konsistensi buang air besar dan muntah, intake cairan dan urin
output, riwayat perjalanan, penggunaan antibiotik dan obat-obatan lain yang
bisa menyebabkan diare. Pemeriksaan fisik pada diare akut untuk menentukan
beratnya penyakit dan derajat dehidrasi yang terjadi. Evaluasi lanjutan berupa
tes laboratorium tergantung lama dan beratnya diare, gejala sistemik, dan
adanya darah di feses. Pemeriksaan feses rutin untuk menemukan leukosit
pada feses yang berguna untuk mendukung diagnosis diare, jika hasil tes
negative, kultur feses tidak diperlukan.
F. Dampak Diare
Beberapa akibat diare baik akut maupun kronis:
1. Kehilangan air dan elektrlit (dehidrasi)
Kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) mengakibatkan terjadinya
gangguan keseimbangan asam basa (asidosis metabolik, hypokalemia, dan
sebagainya). Gangguan keseimbangan asam basa disebabkan oleh:
a. Previous water losses, kehilangan cairan sebelum pengelolaan, sebagai
defisiensi cairan.
b. Normal water losses, berupa kehilangan cairan karena fungsi fisiologis
c. Concomittant water losses, berupa kehilangan cairaan saat pengelolaan
d. Kurangnya asupan makanan selama sakit, berupa kekurangan cairan
karena anoreksia atau muntah
2. Gangguan gizi
Gangguan gizi pada penderita diare dapat terjadi karena:
a. Kurangnya asupan makanan
b. Gangguan penyerapan makanan
c. Katabolisme
d. Kehilangan langsung
3. Perubahan ekologi dan ketahanan usus
Kejadian diare pada umumnya disertai dengan kerusakan mukosa
usus, keadaan ini dapat diikuti dengan gangguan pencernaan karena deplesi
enzim. Akibat lebih lanjut adalah timbulnya hidrolisis nutrien yang kurang
tercerna sehingga dapat menimbulkan peningkatan hasil metabolismen
yang berupa substansi karbohidrat dan asam hidrolisatnya. Keadaan ini
akan merubah ekologi mikroba isi usus. Bakteri tumbuh lampau akan
memberikan kemungkinan terjadinya dekonjugasi garam empedu sehingga
terjadi peningkatan jumlah asam empedu yang dapat menimbulkan
kerusakan mukosa usus lebih lanjut. Keadaan ini dapat pula disertai dengan
gangguan mekanisme ketahanan local pada usus, baik yang disebabkan
oleh kerusakan mukosa usus maupun perubahan ekologi isi usus.
G. Penatalaksanaan Diare
Pada saat diare, anak akan kehilangan zinc sulfat. Pemberian zinc
sulfat mampu menggantikan kandungan zinc sulfat alami tubuh yang hilang
dan mempercepat penyembuhan diare. Zinc sulfat berperan dalam epitelisasi
dinding usus yang mengalami kerusakan morfologi dan fungsi selama
kejadian diare. Zinc sulfat juga berperan meningkatkan kekebalan tubuh
sehingga mengurangi resiko kekambuhan diare selama 2-3 bulan ke depan.
Tablet zinc sulfat dapat diberikan dengan cara dilarutkan dalam air atau ASI,
untuk anak usia lebih besar dapat diberikan dengan cara dikunyah. Pemberian
zinc sulfat pada pasien ini sudah tepat berdasarkan usia pasien yaitu 1 tablet
(20mg) per hari selama 10 hari berturut-turut. Pemberian probiotik pada
pasien ini dirasa tidak perlu.
Menurut World Health Organization (WHO), probiotik mungkin
bermanfaat untuk Antibiotic Associated Diarrhea (AAD), tetapi karena
kurangnya bukti ilmiah dari studi yang dilakukan pada kelompok masyarakat,
maka WHO belum merekomendasikan penggunaan probiotik dalam
tatalaksana diare. Perlu diperhitungkan juga biaya tambahan yang dikeluarkan
oleh pasien. Jika anak masih mendapat ASI, teruskan pemberian ASI
sebanyak dia mau. Jika anak mau lebih banyak dari biasanya itu akan 25 lebih
baik. Makanan dan ASI yang diberikan lebih banyak akan membantu
mempercepat penyembuhan, pemulihan dan mencegah malnutrisi. Frekuensi
dan durasi pemberian ASI yang normal adalah sekitar 10-12 kali per hari
dengan durasi 15 menit tiap kali menyusu. Pada pasien ini, tidak dilakukan
pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik pada pasien diare harus secara
selektif. Antibiotik hanya diberikan ketika ada indikasi seperti diare berdarah
atau diare akibat kolera. Selain bahaya resistensi kuman, pemberian antibiotik
yang tidak tepat dapat membunuh flora normal yang justru dibutuhkan tubuh.
Pada saat diare, terjadi proses peningkatan motilitas atau pergerakan usus
untuk mengeluarkan kotoran atau racun. Anti diare akan menghambat proses
tersebut sehingga tidak boleh diberikan pada bayi dan anak. Pemberian anti
diare pada bayi dan anak justru dapat menimbulkan komplikasi berupa
prolapsus pada usus yang membutuhkan tindakan operasi. I
bu dan pengasuh bayi yang berhubungan erat dengan pasien harus
diberikan edukasi mengenai cara pemberian oralit, zinc sulfat, ASI dan
makanan, serta tanda-tanda kapan pasien harus segera dibawa lagi ke tempat
pelayanan kesehatan, yaitu: BAB cair lebih sering, muntah berulang-ulang,
mengalami rasa haus yang nyata, makan atau minum sedikit, demam, tinja
berdarah, dan keluhan diare tidak membaik dalam waktu 3 hari. Pencegahan
diare dapat dilakukan dengan memberikan ASI 26 eksklusif selama 6 bulan
dan diteruskan sampai usia 2 tahun, memberikan MP-ASI sesuai umur,
menggunakan air bersih yang cukup, mencuci tangan dengan air dan sabun
sebelum makan dan sesudah BAB, BAB di jamban, membuang tinja bayi
dengan benar, memberikan imunisasi campak. Pemberian vaksin Rotavirus
juga dapat dilakukan dimana rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) tahun 2014 menganjurkan pemberian vaksin Rotavirus saat anak
berusia 2, 4, dan 6 bulan.
H. Pencegahan diare
Pengobatan diare penting jika seseorang telah menderita diare. Akan tetapi
bagi anak yang masih sehat akan lebih bermakna jika pencegahan diare dapat
dilakukan. Karena mencegah lebih baik dari pada mengobati. Menurut WHO,
mencuci tangan dengan sabun telah terbukti mengurangi kejadian penyakit
diare kurang lebih 40%. Mencuci tangan disini lebih ditekankan pada saat
sebelum makan maupun sesudah buang air besar. Cuci tangan menjadi salah
satu intervensi yang paling cost effective untuk mengurangi kejadian diare
pada anak. Disamping mencuci tangan pencegahan diare dapat dilakukan
dengan meningkatkan sanitasi dan peningkatan sarana air bersih. Sebab 88%
penyakit diare yang ada di dunia disebabkan oleh air yang terkontaminasi
tinja, sanitasi yang tidak memadai, maupun hygiene perorangan.

3. Identifikasi Kasus

Kasus :

Disuatu RW wilayah binaan ditemukan kasus Diare pada balita dalam 3 bulan
terakhir ini cukup tinggi. Dari 150 Balita di RW, 65% dari Balita secara
geografis, RW tersebut sangat jauh dari Puskesmas atau Pelayanan Kesehatan.

Pembahasan :

Menurut kasus diatas, dapat dijabarkan bahwa kasus diare meningkat pada suatu
desa. Banyak hal yang harus diteliti untuk mengetahui dasar dari penyebab
meningkatnya kasus diare tersebut.

Wilayah bermasalah kesehatan balita

Pada kasus ini terdapat wilayah di samarinda pada RW 05 yang memiliki tingkat
balita dengan kasus diare meningkat.
Gizi kurang dan buruk

Seperti halnya yang terjadi di wilayah tersebut ketika dilakukan pendataan


dalam rangka perencanaan pembangunan ditemukan banyak balita dengan kondisi
gizi kurang. Beberapa penelitian sebelumnya mengkaitkan gizi balita dengan
pengetahuan ibu dikarenakan balita masih dalam pemenuhan kebutuhan sehari-
hari sangat bergantung pada ibu.

Pendidikan berimplikasi kepada segala aspek kehidupan, mulai dari persoalan


ekonomi, tata nilai kehidupan sehari-hari bahkan menjaga kesehatan. Kenyataan
masih banyak orang belum mengerti benar masalah gizi kurang ataupun buruk. Di
Madura yang merupakan daerah relatif bermasalah dengan gizi , kadang ketika
mengetahui anaknya kurus atau kurang gizi dan petugas kesehatan menyarankan
mereka untuk dibawa ke RS mereka ‘malah’ membawanya ke dukun.

Faktor lainnya adalah karena kemiskinan, faktor inilah yang bisa langsung
bersentuhan dengan kemampuan membeli makanan, karena kemampuannya
terbatas dalam membeli makanan pada akhirnya menyebabkan terjadinya
gangguan gizi yaitu gizi kurang dan gizi buruk (Salam, Agus, 2008). Seperti
halnya di kepulauan Madura masalah gizi banyak ditemukan di daerah dengan
tingkat sosial ekonomi yang lemah meskipun ditemukan juga tingkat ekonomi
yang tinggi.

Faktor Pendidikan rendah ditambah lagi dengan kemiskinan akan sedikit


terabaikan ketika diketahui upaya pencegahan ataupun penemuan gizi kurang dan
buruk bisa dilakukan di posyandu dengan penyuluhan dan penimbangan,
pemberian makanan tambahan ataupun suplemen gizi. Ada kemungkinan faktor
iklim juga memberikan dampak tersendiri. Jika keadaan tersebut berlangsung
lama akan memengaruhi asupan gizi makanan khususnya Balita.
Status Imunisasi

Mengikuti pedoman WHO, seorang Balita di katakan sudah lengkap imunisasi


ketika mereka mendapatkan imunisasi mulai dari BCG satu kali pemberian, DPT
dan Polio tiga kali pemberian dan campak satu kali dan Indonesia menambahkan
dengan Vaksinasi Hepatitis dengan tiga kali pemberian. Bayi ataupun balita
Indonesia pada umumnya mendapatkan imunisasi dasar dari berbagai macam
fasilitas kesehatan seperti; RS, puskesmas, tempat praktik dokter, bidan, polindes
ataupun posyandu. Sejak pemeriksaan pertama ANC, ibu mendapat atau tercatat
di buku KIA dan anak sejak melakukan kunjungan pertama setelah lahir anak
mendapatkan KMS. Pada buku KIA dan KMS biasanya dicatat tanggal
kunjungan, berat badan, tinggi badan dan juga imunisasi yang diberikan.

Morbiditas

Dehidrasi yang disebabkan oleh diare merupakan salah satu penyebab


kematian pada balita. Walaupun kondisi ini dapat diatasi bila terindikasi pada
tahap awal atau ketika diare ditemukan masih dalam keadaan ringan akan mudah
diobati dengan pemberian minum/cairan (ORT). Kejadian diare sering
dihubungkan dengan penggunaan air yang terkontaminasi, sanitasi yang kurang
dan perilaku hidup yang tidak bersih.

Kekurangan gizi pada masyarakat dapat menurunkan daya tahan tubuh,


memudahkan yang sehat menjadi sakit serta menghambat penyembuhan penyakit.
di tempat yang gelap dan lembab.

Pelayanan Kesehatan

Banyak faktor yang dapat dihubungkan dengan hambatan untuk menjangkau


fasilitas kesehatan mulai dari jarak sampai dengan kemampuan membayar.
Puskesmas merupakan kepanjangan tangan untuk memperluas cakupan
pelayanan, maka pada beberapa wilayah kerja yang dinilai strategis didirikan
Pusat Kesehatan Masyarakat Pembantu (Pustu). Salah satu upaya terobosan
pemerintah dalam rangka peningkatan derajat kesehatan masyarakat terutama ibu
dan balita untuk meningkatkan assesibilitas masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan adalah dengan melibatkan masyarakat. Kerja sama tersebut diwujudkan
dengan didirikannya Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang didirikan di setiap
desa ataupun RW. Kondisi demikian menjadikan peranan posyandu sangatlah
penting dalam hal meningkatkan kesehatan balita. Posyandu berperan dalam
meningkatkan kesehatan balita dalam hal memonitor status gizi, status kesehatan
melalui penimbangan, imunisasi dan pemeriksaan kesehatan anak dengan
meningkatkan kesadaran keluarga terutama keluarga miskin akan masalah
kesehatan yang dihadapi.

4. Program / Kegiatan

1. Penyuluhan Kesehatan

Pemberian informasi tentang diare dan penanganan terjadinya diare dilakukan


melalui penyuluhan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat sehingga
mampu untuk mengatasi masalah kesehatannya sendiri. Kegiatan penyuluhan
dilakukan di posyandu dan sekolah. Dengan kata lain dengan adanya penyuluhan
tersebut diharapkan dapat membawa akibat terhadap perubahan perilaku kesehatan
dari sasaran (Notoatmodjo, 2010). Sehingga mengurangi kasus diare.

Media yang digunakan dalam melakukan penyuluhan adalah media seperti poster,
leaflet dan lembar balik penyuluhan hanya saja lembar balik penyuluhan yang
lengkap dan organisasi masyarakat harus ikut terlibat melakukan penyuluhan. Kader
diharapkan dapat berperan sebagai pemberi informasi kesehatan kepada masyarakat,
penggerak masyarakat untuk melaksanakan pesan-pesan kesehatan seperti
mendatangi posyandu dan melaksanakan hidup bersih dan sehat. Disamping itu
kader juga dapat berperan sebagai orang yang pertama kali menemukan jika ada
masalah kesehatan di daerahnya dan segera melaporkan ke tenaga kesehatan
setempat. Kader merupakan penghubung antara masyarakat dengan tenaga kesehatan
karena kader selalu berada di tengah-tengah masyarakat (Kemenkes RI, 2010).

2. Penyehatan Lingkungan

Penelitian Kamaruddin menunjukkan bahwa faktor lingkungan yaitu ketersediaan


jamban, sumber air bersih, tempat pembuangan sampah dan hygiene perorangan ada
hubungan kejadian diare (Kamaruddin 2004). Kesadaran masyarakat dalam menjaga
kebersihan lingkungan masih rendah juga memicu kejadian diare, pengelolaan
sampah tidak terkelola dengan baik, masyarakat masih ada yang buang sampah
sembarangan ke drainase sawah dan di pekarangan rumah. Rendahnya partisipasi
masyarakat dikarenakan rendahnya pemberdayaan masyarakat yang dilakukan
selama ini. Masyarakat hanya sekedar tahu bahwa lingkungan yang kotor dapat
menimbulkan penyakit tanpa mau dan mampu untuk berbuat. Hal tersebut
dikarenakan kurangnya pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah
harus lebih dekat dengan masyarakat dan menanamkan kesadaran masyarakat bahwa
kebersihan itu penting untuk mencegah penularan penyakit dan keterlibatan
masyarakat dalam hal itu sangat dibutuhkan.

3. Penyediaan Air Bersih

Air adalah salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, bahkan hampir 70% tubuh
manusia mengandung air. Air dipakai untuk keperluan makan, minum, mandi, dan
pemenuhan kebutuhan yang lain, maka untuk keperluan tersebut WHO menetapkan
kebutuhan per orang per hari untuk hidup sehat 60 liter. Selain dari peranan air
sebagai kebutuhan pokok manusia, juga dapat berperan besar dalam penularan
beberapa penyakit menular termasuk diare (Notoadmodjo, 2011).

Sumber air yang sering digunakan oleh masyarakat adalah: air permukaan yang
merupakan air sungai dan danau. Air tanah yang tergantung kedalamannya bisa
disebut air tanah dangkal atau air tanah dalam. Air angkasa yaitu air yang berasal
dari atmosfir seperti hujan dan salju. Air dapat juga menjadi sumber penularan
penyakit. Peran air dalam terjadinya penyakit menular dapat berupa, air sebagai
penyebar mikroba patogen, sarang insekta penyebar penyakit, bila jumlah air bersih
tidak mencukupi, sehingga orang tidak dapat membersihkan dirinya dengan baik dan
air sebagai sarang hospes sementara penyakit (Notoadmodjo, 2011).

Untuk pemenuhan kebutuhan manusia akan air, maka dari sumber air yang ada dapat
dibangun bermacam-macam saran penyediaan air bersih yang dapat berupa
perpipaan, sumur gali, sumur pompa tangan, perlindungan mata air, penampungan
air hujan dan sumur artesis. Untuk mencegah terjadinya diare maka air bersih harus
diambil dari sumber yang terlindungi atau tidak terkontaminasi. Sumber air bersih
harus jauh dari kandang ternak dan kakus paling sedikit sepuluh meter dari sumber
air. Air harus ditampung dalam wadah yang bersih dan pengambilan air dalam
wadah dengan menggunakan gayung yang bersih dan untuk minum air harus di
masak. Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air bersih mempunyai resiko
menderita diare lebih kecil bila dibandingkan dengan masyarakat yang tidak
mendapatkan air bersih

4. Tempat pembuangan tinja

Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dari kesehatan lingkungan.


Pembuangan tinja yang tidak tepat dapat berpengaruh langsung terhadap insiden
penyakit tertentu yang penularannya melalui tinja antara lain penyakit diare.
Keluarga yang tidak memiliki jamban harus membuat dan keluarga harus membuang
air besar di jamban. Jamban harus dijaga dengan mencucinya secara teratur. Untuk
mencegah kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka pembuangan kotoran
manusia harus dikelola dengan baik. Suatu jamban memenuhi syarat kesehatan
apabila memenuhi syarat kesehatan: tidak mengotori permukaan tanah, tidak
mengotori air permukaan, tidak dapat di jangkau oleh serangga, tidak menimbulkan
bau, mudah digunakan dan dipelihara dan murah.

5. Status Gizi
Status gizi didefinisikan sebagai keadaan kesehatan yang berhubungan dengan
penggunaan makanan oleh tubuh. Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan
menggunakan berbagai metode, yang tergantung dan tingkat kekurangan gizi.
Konsumsi makanan, pemeriksaan laboratorium, pengukuran antropometri dan
pemeriksaan klinis. Metode-metode ini dapat digunakan secara tunggal atau
kombinasikan untuk mendapatkan hasil yang lebih efektif. Makin buruk gizi
seseorang anak, ternyata makin banyak episode diare yang dialami.

6. Pemberian air susu ibu (ASI)

Memberikan ASI segera setelah bayi lahir, serta berikan ASI sesuai kebutuhan. ASI
mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat-zat
lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare,
pemberian ASI kepada bayi yang baru lahir secara penuh mempunyai daya lindung
empat kali lebih besar terhadap diare dari pada pemberian ASI yang disertai dengan
susu botol. Pada bayi yang tidak diberi ASI pada enam bulan pertama kehidupannya,
risiko mendapatkan diare adalah 30 kali lebih besar dibanding dengan bayi yang
tidak diberi ASI (Kemenkes, 2011).

Bayi yang memperoleh ASI mempunyai morbiditas dan mortalitas diare lebih
rendah. Bayi dengan air susu buatan (ASB) mempunyai risiko lebih tinggi
dibandingkan dengan bayi yang selain mendapat susu tambahan juga mendapatkan
ASI dan keduanya mempunyai risiko diare lebih tinggi dibandingkan dengan bayi
yang sepenuhnya mendapatkan ASI. Risiko relatif ini tinggi dalam bulan-bulan
pertama kehidupan.

7. Kebiasaan mencuci tangan

Diare merupakan salah satu penyakit yang penularannya berkaitan dengan penerapan
perilaku hidup sehat. Sebahagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan
melalui jalur oral. Kuman-kuman tersebut ditularkan dengan perantara air atau bahan
yang tercemar tinja yang mengandung mikroorganisme patogen dengan melalui air
minum. Pada penularan seperti ini, tangan memegang peranan penting, karena lewat
tangan yang tidak bersih makanan atau minuman tercemar kuman penyakit masuk ke
tubuh manusia (Kemenkes RI, 2011).

Kebiasaan mencuci tangan pakai sabun adalah perilaku amat penting bagi upaya
mencegah diare. Kebiasaan mencuci tangan diterapkan setelah buang air besar,
setelah menangani tinja anak, sebelum makan atau memberi makan anak dan
sebelum menyiapkan makanan. Kejadian diare makanan terutama yang berhubungan
langsung dengan makanan anak seperti botol susu, cara menyimpan makanan serta
tempat keluarga membuang tinja anak. Orang tua yang tidak mempunyai kebiasaan
mencuci tangan sebelum merawat anak, anak mempunyai risiko lebih besar terkena
diare.

8. Pencegahan Sekunder

Prinsip pengobatan diare adalah mencegah dehidrasi dengan pemberian oralit


(rehidrasi) dan mengatasi penyebab diare. Diare dapat disebabkan oleh banyak
faktor seperti salah makan, bakteri, parasit, sampai radang. (Kemenkes,

2011).

9. Pencegahan Tertier

Penderita diare jangan sampai mengalami kecatatan dan kematian akibat dehidrasi.
Jadi pada tahap ini penderita diare diusahakan pengembalian fungsi fisik, psikologis
semaksimal mungkin. Pada tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk
mencegah terjadinya akibat samping dari penyakit diare. Usaha yang dapat
dilakukan yaitu dengan terus mengkonsumsi makanan bergizi dan menjaga
keseimbangan cairan. Rehabilitasi juga dilakukan terhadap mental penderita dengan
tetap memberikan kesempatan dan ikut memberikan dukungan secara mental kepada
anak. Anak yang menderita diare selain diperhatikan kebutuhan fisik juga kebutuhan
psikologis harus dipenuhi dan kebutuhan sosial dalam berinteraksi atau bermain
dalam pergaulan dengan teman sepermainan (Kemenkes, 2011).
5. Strategi

1. Meningkatkan tatalaksana diare di tingkat rumah tangga


2. Melaksanakan tatalaksana diare yang standar di sarana kesehatan melalui
LINTAS DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare)
3. Penguatan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) diare dan penanggulangan Kejadian
Luar Biasa (KLB)
4. Meningkatkan upaya kegiatan pencegahan yang efektif
5. Peningkatan SDM (Sumber Daya Manusia)
6. Melaksanakan monitoring dan evaluasi

(Kemenkes RI, 2011).

Anda mungkin juga menyukai