Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG

Kini banyak budaya yang disibukkan dengan urusan makan. Di negara-negara maju
dewasa ini, restoran dengan berbagai menu makanan menjamur, demikian juga tempat-
tempat makan cepat saji, dan banyak majalah dan program televisi khusus tentang masak-
memasak. Pada saat yang sama, banyak orang yang mengalami kelebihan berat badan.
Pengaturan pola makan untuk menurunkan berat merupakan hal yang umum dan keinginan
banyak orang, terutama kaum perempuan, untuk bertubuh lebih langsing telah menciptakan
bisnis bernilai jutaan dolar setahu. Melihat minat yang sangat besar terhadap makanan dan
makan itu sendiri tidak mengherankan bahwa aspek perilaku manusia ini dapat mengalami
gangguan.

Gangguan makan adalah gangguan mental saat mengonsumsi makanan. Penderita


gangguan ini dapat mengonsumsi terlalu sedikit atau terlalu banyak makanan dan terobsesi pada
berat badan atau bentuk tubuhnya. Ada beberapa jenis gangguan makan, namun tiga jenis yang
paling sering dijumpai adalah anoreksia nervosa, bulimia nervosa, dan gangguan makan
berlebihan. Gangguan ini bisa saja terjadi pada usia berapa pun, namun lebih sering
dialami oleh remaja, sekitar usia 13 hingga 17 tahun. Penyebab gangguan makan ini biasanya
merupakan gabungan dari faktor genetik, faktor biologis, serta masalah psikologi. Untuk
menanganinya, psikiater dapat melakukan psikoterapi, dan pemberian obat antidepresan atau
antikecemasan.
BAB II
PEMBAHASAN

Stres merupakan gejala gangguan psikologi yang sering kita temui dalam kehidupan
sehari-hari, dimana setiap individu pasti pernah mengalaminya. Secara psikologis, stres telah
terbukti mampu menciptakan perilaku makan pada manusia. Tidak hanya manusia, bahkan
stres pun dapat menyebabkan perilaku makan pada hewan (Mark, Allan, & John, 2006).
Kebanyakan orang yang sedang dalam kondisi stres akan lebih sering makan karena mereka
percaya bahwa makan bisa mengatasi stres yang dialami (Brittany Gower, Zachariah, &
University).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1998), stres diartikan sebagai
tekanan atau gangguan atau kekacauan mental dan emosional. Pengertian stres menurut salah
satu ahli, Hans Selye (dalam Mumtahinnah, 2008) mendefinisikan stres sebagai respon yang
tidak spesifik dari tubuh pada tiap tuntutan yang dikenakan atau terjadi kepadanya.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan stres, apabila seseorang mengalami beban
yang berat tetapi orang tersebut tidak dapat atau sulit mengatasi sesuatu yang dibebankan itu,
maka tubuh akan berespon dengan tidak mampu terhadap beban tersebut, sehingga orang
tersebut dapat mengalami stres. Respons atau tindakan ini termasuk respons fisiologis dan
psikologis. Sedangkan Korchin (dalam Mumtahinnah, 2008) menyatakan bahwa keadaan
stres muncul apabila tuntutan-tuntutan yang luar biasa atau terlalu banyak mengancam
kesejahteraan atau integritas seseorang.

Stres dapat dibedakan menurut tingkatannya, tingkat stres yang dialami setiap
individu berbeda-beda. Tingkat stres sangat ringan, terjadi apabila tidak terdapat gejala berat
yang dialami. Seseorang yang mengalami stres tingkat ringan masih dapat melakukan
pekerjaan dan kegiatannya sehari-hari. Sedangkan tingkat stres yang sangat tinggi terjadi jika
semua gejala-gejala stres yang dialami berintensitas berat. Pada individu yang mengalami
tingkat stres yang berat ini akan mengalami perubahan pola hidup (Dewi, Lilik, & Karyanta,
2013)

Sumbangan pertama dalam penelitian tentang stres diberikan oleh Cannon pada tahun
1932 mengenai respon fight-or-flight, yang menyatakan bahwa organisme merasakan adanya
suatu ancaman, maka secara cepat tubuh akan terangsang dan termotivasi melalui sistem
saraf sistematik dan endokrin. Melalui respon fisiologis ini, organisme didorong untuk
menyerang ancaman tadi atau melarikan diri. Selanjutnya, sumbangan paling penting dalam
penelitian stres dilakukan oleh Hans Seyle pada tahun 1936 tentang General Adaptation
Syndrome (GAS). Seyle menyatakan bahwa ketika organisme berhadapan dengan stresor, dia
akan mendorong dirinya sendiri untuk melakukan tindakan yang diatur oleh kelenjar adrenal
yang menaikkan aktivitas sistem saraf simpatetik. Tanpa memperhatikan penyebab dari
ancaman, individu akan merespon dengan pola reaksi fisiologis yang sama, selebihnya
dengan mengulangi atau memperpanjang stres sehingga akan melicinkan dan mematahkan
sistem (Ninggalih, 2013).

Pada beberapa orang stres sering kali bisa terlihat melalui fisik tubuhnya. Misalnya
munculnya jerawat, problem pencernaan, insomnia, kelelahan, sakit kepala, dan masalah
sewaktu buang air, maupun reaksi psikosomatik lainnya mungkin merupakan tanda-tanda
bahwa ada tekanan pada diri sesorang (Hardjana 1994 dalam Solihat, 2009). Sedangkan stres
dilihat dari sisi psikologis seringkali dikaitkan dengan konsumsi makanan yang meningkat,
terutama dalam mengkonsumsi makanan berlemak tinggi (Sims, et al., 2008). Perbedaan
individu dalam faktor-faktor  psikologis dan fisiologi menjelaskan mengenai perilaku makan
dalam respon terhadap stres (Roemmich, Lambiase, Lobarinas, & Balantekin). Menurut
Marci (2006) stres muncul untuk mengubah asupan makanan secara keseluruhan dengan cara
makan berlebihan, yang mungkin dipengaruhi oleh tinggi atau rendahnya tingkat keparahan
stres.

Tingkat keparahan stres ini akan mempengaruhi pola makan yang tidak normal yang
dapat menyebabkan gangguan makan (eating disorder). Eating disorder adalah suatu gejala
gangguan pola makan yang tidak normal. Eating disorder diartikan sebagai kelainan yang
terjadi pada kebiasaan makan seseorang yang diakibatkan oleh kekhawatiran orang tersebut
akan bentuk tubuhnya (Fairburn, 2000 dalam Garrow, 2000). Terdapat tiga jenis gangguan
makan menurut DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
5,  2014) yaitu : anorexia nervosa, bulimia nervosa dan binge eating disorder. Anorexia
nervosa adalah kelainan atau gangguan makan yang membuat seseorang terobsesi akan berat
badan yang sangat kecil sehingga membuat mereka rela kelaparan atau bahkan berolahraga
berlebihan; bulimia nervosa adalah kelainan atau gangguan makan pada seseorang yang
membuat dia memuntahkan setiap makanan yang telah dikonsumsi untuk menjaga berat
badannya agar tidak berubah; sedangkan binge eating disorder adalah suatu kelainan atau
gangguan pola makan tidak normal dimana seseorang memakan makanan dengan jumlah
yang sangat banyak dalam suatu waktu yang terbatas, dibanding yang dimakan oleh orang
pada umumnya. Jangka waktu untuk suatu binge itu biasanya 1-2 jam.
Dari ketiga jenis eating disorder diatas yang berhubungan dengan tingkat tekanan stres yang
kita biasa lihat dengan makan yang berlebihan adalah binge eating disorder (Marci, 2006).
Dimana disaat seseorang mengalami stres, kadang seseorang makan dengan pola yang tidak
wajar atau berlebihan dan bisa juga makan dengan sembunyi-sembunyi, lalu setelah itu
seseorang akan menyesal dengan apa yang ia sudah makan dengan bertambahnya berat
badan.

Dari hasil penelitian tahun 2005 dari organisasi ANRED (Anorexia Nervosa and
Related Eating Disorders, Inc.) menyatakan bahwa binge eating disorder juga memiliki
angka yang tidak sedikit dari anorexia nervosa dan bulimia nervosa. Sebuah studi di Inggris
menyebutkan lebih dari 2 % (1-2 juta) orang dewasa menderita binge eating (dalam Hapsari,
2009). Menurut perkiraan yang dilakukan oleh US Conses Bureau, International Data
Base (2004) dan Tantiani (2007) ditemukan perkiraan prevalensi penderita binge eating di
Indonesia sebesar 1,669,170 dari populasi perkiraan sebesar 218,452,952. Selain itu, binge
eating lebih banyak ditemukan pada populasi yang mengalami kelebihan berat badan (30%)
dibandingkan sampel dari populasi umum (5% wanita dan 3 % laki-laki) (Brown,2005 dalam
Hapsari 2009).

Selanjutnya, dari hasil data statistik Kementerian Kesehatan (KemenKes) tahun 2010
juga menyatakan bahwa prevalensi nasional obesitas secara umum (usia >15 tahun) di
Indonesia diperkirakan sebesar 19,1% (8,8% overweight dan 10,3% obes) dan prevalensi
obesitas sentral sebesar 18,8%. Prevalensi obesitas nasional di Indonesia lebih besar pada
wanita (23,8%) dibanding pria (13,9%) (kesehatan, 2013). Sebab itu, dapat dikatakan bahwa
masalah keluhan obesitas lebih banyak diakui oleh wanita daripada pria. Alasannya karena
wanita cenderung lebih banyak mempermasalahkan penampilannya dibandingkan dengan
pria (Mappiare, 1982 dalam Bestiana, 2012). Seorang perempuan dapat dikatakan wanita jika
dia sudah memasuki masa perkembangan dewasa awal, masa dewasa awal berkisar dari umur
20-an sampai 30-an (Santrock, 2011).
Dari hasil uraian diatas, hubungan antara tingkat stres dan kecenderungan binge
eating disorder pada wanita khususnya di masa dewasa awal yang mengalami obesitas.
Selain itu dampak dari penderita binge eating disord23
A. Deskripsi gangguan

Anoreksia nervosa, bulimia nervosa dan binge eating disorders(BED) semua termasuk
makan yang dapat diamati, sering menggunakan obat pencahar dan perilaku-perilaku yang
lain. bagaimanapun, untuk mengembangkan konsep secara lengkap dari setiap gangguan
ditambahkan dari sisi sosiokultural, behavioral, kognitif dan proses emosi.
Prevalensi dari anoreksia nervosa pada perempuan dewasa diperkirakan sekitar 0.3 %-
1.62 % (Hoek & van hoeken,2003;Kaye, Klump,Frank &Strober,2000). Bulimia berdasarkan
penelitian merupakan gangguan makan yang lebih umum jika dibandingkan dengan anoreksia
nervosa, yaitu 1-5% pada perempuan usia sekolah, 1-3% pada perempuan dewasan(Harris &
Kuba,1993) dan 0.2% pada laki-laki muda (warheit,langer,Zimmerman &Biafora,1993).

1. Anoreksi nervosa

Anorexia Nervosa adalah gangguan psikis dimana penderitanya merasa bahwa dirinya
terlalu gemuk dan membiarkan diri mereka kelaparan. Penderita anoreksia mencoba
mempertahankan berat badan jauh di bawah normal sehingga terlihat sangat kurus. Mereka
cenderung menolak makanan meskipun terasa lapar ini merupakan cara tidak sehat untuk
mengatasi masalah emosional. Ketika anda memiliki anorexia nervosa, anda sering
menyamakan kekurusan adalah bernilai. Anorexia nervosa  sulit diperbaiki. Tetapi dengan
pengobatan, seseorang dapat meningkatkan pemikiran yang lebih baik mengenai siapa
dirinya, mengembalikan kebiasaan makan yang sehat dan menyembuhkan beberapa
komplikasi serius anorexia. Orang-orang yang menderita anoreksia mengalami ketakutan
yang teramat sangat terhadap kenaikan berat badan, bahkan saat mereka sebenarnya sudah
sangat kurus. Penderita anoreksia akan melakukan berbagai usaha untuk diet, melakukan
kegiatan fisik secara berlebihan, atau melakukan berbagai usaha lain untuk mencegah
kenaikan berat badan (seperti mengkonsumsi obat pencuci perut dan muntah yang disengaja)
untuk menurunkan berat badan.

Penyebab utama dari anoreksia nervosa sampai saat ini masih belum diketahui.
Berbagai faktor yang mempengaruhi termasuk depresi dan berbagai gangguan mental
lainnya. Gen dan hormon juga memegang peran penting. Media sosial juga dapat
memengaruhi persepsi seseorang mengenai standar kecantikan yaitu postur tubuh yang sangat
kurus dan telah menadi sebuah budaya ( Brownell,1991) Penyakit ini biasanya menyerang
remaja-remaja terutama remaja wanita pada masa puber karena di masa itu lah seorang
remaja umumnya mulai menetapkan standar tubuh ideal mereka sendiri, biasanya langsing
dan cenderung kurus. Orang-orang penderita anoreksia sangat takut gemuk dan sebagai
hasilnya, mereka bisa menerapkan cara-cara diet ekstrim untuk menurunkan berat badan
secara drastis dalam waktu sesingkat mungkin. Cara-cara tersebut antara lain dengan olahraga
berlebihan, mengonsumsi laksatif untuk mendorong keluarnya sisa makanan, atau bahkan
menghindari makan. Dengan melakukan diet berbahaya tersebut, berat badan mereka bisa
turun hingga 15% dari berat badan normal sehingga tubuh mereka terlihat sangat kurus.
Walau demikian, seorang penderita anoreksia biasanya tetap berpikir bahwa tubuh mereka
masih terlalu gemuk meskipun faktanya mereka sudah terlampau kurus, terserang penyakit,
dan bahkan mendekati kematian.
Gejala fisik anoreksia meliputi rendahnya tingkat metabolisme kenikmatan darah
rendah, intoleransi dingin, insomnia bradikardia pola patologis alopeci dan kulit kering.
Pengalaman gangguan makan selama sekejap, khususnya satu chacateritizad oleh penurunan
berat badan yang ekstrem dan atau muntah berulang sering juga berakibat pada peningkatan
risiko gejala fisik host selama awal masa dewasa. Gejala ini meliputi rasa sakit kelelahan dan
insomnia, gejala neurogis dan kesehatan kardiovaskular yang buruk (Johnson, coben).
Seseorang dapat dianggap anoreksia saat ia membatasi asupan makanannya sedemikian rupa
supaya berat badannya sangat rendah disertai dengan rasa takut yang intens untuk berat badan
yang naik dan perhatian yang berlebihan tehadap berat badan atau bentuk badan.Tantangan
terbesar dalam menangani seseorang dengan anoreksia nervosa adalah menyadarkan mereka
bahwa mereka memiliki sebuah gangguan. Banyak penderita anoreksia menyangkal bahwa
mereka memiliki pola makan yang tidak sehat. Para penderita yang pada akhirnya melakukan
perawatan medis hanya mereka yang benar-benar serius. Idealnya, seseorang dapat
menyingkirkan anoreksia dengan bantuan tim yang meliputi seorang profesional kesehatan
mental (seperti psikolog atau konselor berlisensi), kesehatan medis profesional (seperti dokter
atau perawat), dan seorang ahli gizi.

2. Bulimia Nervosa
Dalam beberapa tahun terakhir, bulimia nervosa telah mendapatkan perhatian yang
meningkat seiring besarnya kejadian dan tingkat keparahan simtomatologinya yang telah
diketahui, meskipunbulimia secara harfiah diterjemahkan berarti "sapi kelaparan," untuk
sebagian besar dengan kondisi ini. Makan memiliki keterkaitan dengan pemenuhan kelaparan
biologis secara normal. Pesta makan mungkin lebih merupakan akibat dari pembatasan
diet secara sukarela, persepsi yang menyimpang, ukuran tubuh, dan kebutuhan untuk
mencapai tubuh ideal. Perilaku ini dipelajarisebagai cara untuk membersihkan tubuh dari
kelebihan kalori terhadap pesta makan tersebut. Namun, setiap melakukan pesta makan akan
terjadi pembersihan dan pembatasan diet, ini berlangsung terus menerus sehingga tergambar
sebagai siklus.

Mereka mencoba melepaskan tubuh mereka dari apa yang baru saja mereka
makan dengan memuntahkannya sendiri, menggunakan obat pencahar atau diuretik,
sedangkan mereka yang memiliki tipe tidak terbantahkan mencoba mengimbangi apa yang
mereka makan dengan berpuasa atauolahraga berlebihan.Mereka terlibat dalam episode
berulang pesta makan yang ditandai dengan (1) makan secara substansial jumlah makanan
yang lebih banyak dalam kerangka waktu tertentu dan (2) mengalami kekurangan kontrol atas
makan selama episode ini

Mereka terlibat dalam perilaku kompensasi yang tidak tepat yang bertujuan untuk
mencegah berat badan. Keuntungan (muntah yang disebabkan sendiri, puasa, olah raga yang
berlebihan, atau penggunaan obat pencahar, diuretik, atau enema). Perilaku makan dan
kompensasi pesta makan keduanya rata-rata terjadi setidaknya dua
kali dalam seminggu selama 3 bulan.

Data dari literatur yang tersedia dan survei profesional yang terkait dengan gangguan
makan menunjukkan bahwa kebutuhan pesta makan terdiri dari yang besarjumlah
makanannya, atau frekuensi pestanya yang minim, dapat dipenuhi sebelum diagnosis bulimia
nervosa dibuat (Wilson, 1992). Pesta makan bisa terdiri dari jumlah makanan yang relatif
sedikit; danmungkin jarang terjadi sekali dalam seminggu. Faktor psikologisnya merasa
bahwa makan itu di luar kendali dan makanan itu "dilarang". Meskipun tidak ada kriteria
yang ditetapkan untuk menetapkan asupan minimal selamapesta makan, Bagi kebanyakan
orang bulimia, ada biaya psikologis dari praktik mereka yang sejajar.Budaya kita
mempromosikan standar perilaku yang dapat diterimapenyerapan dan eliminasi (termasuk
muntah). Perilaku meluas, dengan beberapa-kali konsumsi luar biasa dan penghapusan paksa,
melintasi batas-bataspenerimaan. Sebagian besar yang terlibat dalam praktik ini sangat
menyadari hal tersebuttidak dapat diterima; Banyak yang merasa malu karenanya. Kesadaran
seperti itu terkait dengan rendahnyaharga diri, perasaan tidak mampu, dan derogasi diri
diamati di antara banyak orangbulimia. Rasa malu yang menyertai praktik ini mungkin
adalah alasan utama masalah ini tetap ada.

Meski perasaan malu dialami banyak bulimics, ini dapat menyebabkan


keterlambatan mereka dalam mencari pengobatan. Namun, dari mereka yang hadir untuk
konseling, kemungkinan terlalu banyak individu dengan komplikasi dari bersamaan
penyalahgunaan zat dan luka sendiri (Fairburn & Harrison, 2003). Stice, Burton, dan Shaw
(2004) mengemukakan bahwa faktor risiko bulimia, penyalahgunaan zat, dan depresi sampai
batas tertentu terjalin dan saling bergantung satu sama lain. Tingkat utama Depresi dan
ketergantungan alkohol di kalangan bulimia adalah sekitar 20% dan4% (Garfinkel et al,
1995). Dengan demikian, klinisi melakukan suatu wawancaragangguan makanharus menilai
kemungkinan komorbiditas.Keel dan Klump (2003) menyajikan bukti kuat untuk kontribusi
faktor budaya dalam pengembangan bulimia. Misalnya, bulimia jarang dicatat pada populasi
tanpa pengaruh Barat. Faktor lain yang bisa meningkatkan risikonya bulimia meliputi masa
kecil dan obesitas orang tua, alkoholisme orang tua, dan awal menarche (Fairburn &
Harrison, 2003). Apalagi, kontribusi genetik terhadap bulimia tampaknya terbatas, terutama
dibandingkan dengan tingkat anoreksia. Tingkat konkordansi untuk MZ dan DZ kembar
masing-masing 35% dan 30% (Fairburn & Harrison, 2003).

3. Binge Eating Disorders (BED)

Beberapa orang mengalami masalah dengan keinginan menyantap kembali makanan,


mereka tidak bisa melawan keinginan tersebut. Dalam DSM-IV-TR menyebutkan gangguan
tersebut disebut BED atau binge eating disorder. BED memiliki karakteristik yaitu hadirnya
episode keinginan untuk makan yang berlebih dan perilakunya hampir sama dengan bulimia
yaitu tidak bisa mengontrol makan yang berlebih dan stress karena kelebihan dalam
memakan makanan.

Kriteria diagnosis mengindikasikan gangguan ini sama dengan bulimia nervosa yaitu
termasuk menyantap makanan secara berlebih dan meningkatkan psikopatologi. Pada orang
dewasa episode makan berlebih dan psikopatologi memiliki hubungan. Penyebab dari BED
ini sendiri salah satunya adalah frustasi. Perbedaan yang jelas dengan bulimia adalah pada
penderita BED mereka tidak memuntahkan makanan yang mereka makan.

Pada bulimia ketika penderitanya sudah memakan makanan secara berlebih maka
mereka akan stress dan merasa bersalah dengan apa yang mereka lakukan. Cara mengatasi
rasa bersalah mereka adalah dengan memuntahkan segala sesuatu yang mereka makan
biasanya menggunakan obat pencahar. Sedangkan pada BED, hampir sama dengan bulimia,
namun mereka tidak memuntahkan makanannya. Ketika makan berlebih akan timbul rasa
bersalah, dan cara mereka menekan rasa bersalah itu dengan makan lagi sebanyak-banyaknya
begitu seterusnya.

Penyebab BED sendiri banyak faktor diantaranya Grilo,Masheb dan Wilson


menuliskan bahwa sampel dari klien BED, 46% pernah memiliki pengalaman depresi, 32%
pernah merasakan kecemasan, 24% memiliki riwayat penyalahgunaan alcohol. Selain itu
rendahnya self-estem menjadi pemicu gangguan ini. Seperti banyak yang terjadi pada kasus
anoreksia, bentuk dan berat badan tidak berhubungan dengan berat badan klien BED.

Pilihan pengobatan untuk mengatasi binge eating disorder

Perawatan dan pengobatan untuk mengatasi binge eating disorder tergantung pada penyebab
dan tingkat keparahannya. Ada banyak pilihan pengobatan yang bisa dilakukan. Beberapa
orang mungkin hanya butuh melakukan satu pengobatan saja, sementara yang lain harus
mencoba kombinasi terapi yang berbeda sampai mereka merasa cocok.

Terapis atau seorang profesional medis akan memberikan saran perawatan atau terapi yang
paling sesuai dengan Anda.
Cognitive behavioral therapy (CBT)

CBT membantu pasien untuk dapat mengatasi isu-isu yang mengakibatkan ia mengalami
episode binge eating, membantu pasien mengambil kembali kontrol atas dirinya, dan
membiaasakannya untuk  makan secara teratur.

Sebenarnya, terapi ini bekerja dengan cara melihat hubungan antara pikiran negatif, perasaan
dan perilaku yang berkaitan dengan makan, bentuk tubuh dan berat badan.Begitu penyebab
emosi negatif dan pola telah diketahui, maka strategi selanjutnya dapat ditentukan.

Strategi ini meliputi menetapkan tujuan, pemantauan diri, mencapai pola makan reguler,
mengubah pemikiran tentang diri dan berat badan, serta mendorong kebiasaan pengendalian
berat badan yang sehat.

2. Interpersonal psychoterapy (IPT)

Jika sebelumnya perawatan yang diberikan adalah untuk mengatasi pikiran negatif yang
dimiliki pasien, maka kali ini terapi IPT lebih fokus pada hubungan pasien dengan orang di
sekitarnya, keluarga teman, rekan kerja. Terapi ini berfungsi untuk mengatasi binge eating
yang disebabkan oleh hubungan yang buruk dengan sekitarnya.

Terapi dapat berupa kelompok atau secara langsung dengan terapis, dan terkadang
dikombinasikan dengan CBT. IPT memiliki efek positif jangka pendek maupun jangka
panjang untuk mengurangi binge eating. Ini mungkin sangat efektif untuk orang dengan
binge eating yang lebih parah.

3. Dialectical behavior therapy (DBT)

Jenis terapi ini berfungsi agar pasien mampu mengendalikan stress dan mengatur emosi agar
tidak lagi mengalami episode binge eating. Namun masih diperlukan lebih banyak penelitian
untuk menentukan apakah terapi ini dapat diterapkan pada semua orang dengan BED.

4. Terapi penurunan berat badan

Biasanya, orang dengan binge eating akan mengalami obesitas. Nah, maka itu mereka
memerlukan terapi khusus untuk menurunkan berat badannya. Sebenarnya tujuan lain dari
terapi ini adalah untuk membuat perubahan gaya hidup sehat secara bertahap. Dari
melakukan diet, olahraga rutin, dan membuat pasien mampu mengerem nafsu makannya.

Terapi penurunan berat badan ini juga dapat membantu memperbaiki citra tubuh dan
mengurangi berat badan dan risiko kesehatan yang terkait dengan obesitas. Namun terapi ini
terbukti tidak seefektif CBT atau IPT untuk mengendalikan BED.

Meski begitu, ini mungkin masih menjadi pilihan yang baik untuk orang yang tidak berhasil
dengan terapi lain atau yang tertarik untuk menurunkan berat badan.

5. Mengandalkan obat-obatan

Pemberian obat antidepresan, antikonvulsan, atau antiADHD bisa mengurangi gejala binge
eating. Lisdexamfetamine dimesylate, obat anti ADHD, adalah obat pertama yang disetujui
FDA untuk mengatasi binge eating sedang sampai berat.

Obat-obatan tersebut dapat menyebabkan efek samping ringan sampai serius, konsultasikan
dahulu dengan dokter Anda untuk informasi penggunaan dan dosis yang dianjurkan.

Selain pengobatan, ini tips untuk mengatasi binge eating disorder

Langkah pertama dalam menghentikan BED adalah berbicara dengan seorang profesional
medis. Ia dapat membantu mendiagnosis perilaku ini dengan benar, menentukan tingkat
keparahan dan merekomendasikan perawatan yang paling tepat.

Secara umum, pengobatan yang paling efektif adalah CBT tapi masih banyak berbagai
perawatan yang lain, yang mungkin lebih cocok untuk kondisi Anda. Mungkin saja Anda
butuh lebih dari satu pengobatan. Apapun strategi pengobatan yang disarankan, penting juga
untuk membuat gaya hidup sehat.

Berikut beberapa tips untuk mengatasi binge eating disorder yang bisa Anda lakukan sendiri:

 Mencari dan mengetahui pemicu BED Anda. Ini merupakan langkah penting dalam
mempelajari bagaimana mengendalikan dorongan binge eating Anda.
 Berlatih untuk menahan nafsu makan yang berlebih.
 Cari seseorang untuk diajak bicara untuk mendapatkan dukungan.
 Pilih makanan sehat. Diet yang terdiri dari makanan tinggi protein dan lemak sehat,
dengan banyak buah dan sayuran akan membantu Anda tetap kenyang dan
memberikan nutrisi yang Anda butuhkan.
 Olahraga teratur. Olahraga dapat membantu meningkatkan penurunan berat badan,
memperbaiki citra tubuh serta memperbaiki gejala mood dan kecemasan Anda.
 Tidur yang cukup. Kurang tidur dikaitkan dengan asupan kalori yang lebih tinggi dan
pola makan yang tidak teratur. Pastikan setidaknya tidur 7-8 jam sehari.

Jika Anda memperhatikan bahwa ada anggota keluarga atau teman memiliki kepercayaan diri
yang rendah, kebiasaan diet yang ekstrim dan tidak puas dengan penampilannya, Anda boleh
melakukan pendekatan untuk berbicara tentang masalahnya.

Bila Anda sendiri menyadari bahwa nyatanya malah Anda yang memiliki beberapa tanda dan
gejala gangguan anoreksia nervosa, Anda bisa mengikuti langkah-langkah  ini:

 Pertama, harus bisa mengakui bahwa Anda memiliki masalah pada pola makan yang
tidak sehat. Langkah pertama dalam pemulihan anoreksia ini, hanya butuh kesadaran
dari perasaan dan ketidaknyamanan fisik serta emosional yang dirasakan.
 Bicarakan kecemasan dan perasaan yang Anda alami. Sebetulnya sulit, tapi Anda
harus bisa. Anda mungkin merasa malu, bimbang, atau takut. Tapi penting untuk
dipahami bahwa Anda tidak sendiri. Temukan pendengar yang baik atau seseorang
yang akan mendukung Anda saat Anda berusaha menjadi lebih baik.
 Jauhi orang, tempat, dan aktivitas yang memicu obsesi Anda menjadi kurus. Anda
mungkin perlu menghindari melihat majalah mode, stalking selebgram atau seseorang
yang Anda anggap sempurna. Sementara itu, tarik diri sedikit dengan teman-teman
atau grup yang terus membahas tentang diet. Hal itu bisa menimbulkan kekacauan
niat Anda untuk sembuh.
 Carilah bantuan dan dukungan dari ahli atau dokter profesional yang terlatih dapat
membantu Anda mendapatkan kembali kesehatan Anda, belajar untuk makan dengan
normal lagi, dan kembangkan sikap sehat tentang makanan dan tubuh Anda.
 Cobalah untuk mulai mengikuti sesi perawatan dan terapi oleh psikolog. Niatkan
tekad dan jangan pernah menyimpang dari aturan makan yang benar tiap harinya,
meskipun Anda merasa tidak nyaman.
 Minta anjuran pada dokter tentang suplemen vitamin dan mineral yang sesuai dengan
kondisi tubuh. Jika Anda mengalami pola makan yang buruk, kemungkinan besar
tubuh Anda tidak mendapatkan nutrisi penting yang dibutuhkan.
 Jangan menutup diri dari anggota keluarga yang peduli dan teman yang ingin
membantu Anda untuk sehat kembali. Pahami bahwa mereka memiliki niat baik untuk
kepentingan Anda sendiri.

Memuntahkan makanan secara paksa adalah hal yang salah. Untuk menjaga berat badan dan
bentuk tubuh agar tetap ideal, Anda dianjurkan untuk menerapkan pola makan yang sehat,
yaitu dengan mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang, makan porsi kecil tetapi sering,
serta membatasi cemilan dan asupan tinggi lemak jenuh.
Penyebab Bulimia

Penyebab utama bulimia belum diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa faktor yang
diduga dapat memicu seseorang terkena bulimia, yaitu:

 Faktor keturunan
Jika salah satu anggota keluarga inti (orang tua atau saudara kandung) menderita atau
memiliki riwayat bulimia, maka risiko seseorang untuk menderita kelainan yang sama
akan meningkat.
 Faktor emosional dan psikologis
Risiko terkena bulimia makin tinggi jika seseorang mengalami gangguan emosional
dan psikologis, seperti depresi, rasa cemas, gangguan stres pascatrauma (PTSD), dan
obsessive compulsive disorder (OCD).
 Faktor lingkungan sosial
Bulimia dapat muncul akibat pengaruh tekanan dan kritik dari orang-orang sekitar
mengenai kebiasaan makan, bentuk tubuh, atau berat badan.
 Faktor pekerjaan
Beberapa jenis pekerjaan menuntut pekerjanya untuk tetap menjaga berat badan ideal,
misalnya model atau atlet. Tuntutan ini dapat menyebabkan pekerja tersebut
mengalami depresi atau bulimia.

Gejala Bulimia

Gejala awal seseorang menderita bulimia adalah kebiasaan melakukan diet ketat dengan tidak
makan sama sekali atau hanya mengonsumsi makanan tertentu dalam jumlah yang sangat
sedikit.

Kondisi ini terus berlangsung hingga penderita kehilangan kendali dan mengonsumsi
makanan secara berlebihan, meskipun dirinya tidak merasa lapar. Kebiasaan ini muncul
karena masalah emosional, seperti stres atau depresi.

Penderita akan merasa bersalah, menyesal, dan membenci diri sendiri, sehingga memaksa
tubuhnya untuk mengeluarkan semua makanan dengan cara tidak alami, seperti
menggunakan obat pencahar atau memaksa diri untuk muntah.

Gejala psikologis lainnya yang dapat muncul pada bulimia adalah:

 Merasa takut gemuk.


 Selalu beranggapan negatif terhadap berat badan dan bentuk tubuhnya sendiri.
 Kecenderungan menyendiri dan menarik diri dari lingkungan sosial.
 Rasa percaya diri rendah dan cemas.
 Tidak mau makan di tempat umum atau di hadapan orang lain.

Selain itu, penderita bulimia juga dapat menunjukkan gejala fisik, berupa:

 Tubuh terasa lemah.


 Radang tenggorokan.
 Sakit perut atau perut kembung.
 Pembengkakan di bagian pipi dan rahang.
 Gigi rusak dan bau mulut.

Kapan harus ke dokter

Jangan ragu untuk memeriksakan anak atau anggota keluarga Anda ke psikiater jika muncul
tanda-tanda yang diduga gejala bulimia. Gejala bulimia sering kali terlihat oleh orang lain,
karena penderita cenderung tidak sadar bahwa dirinya mengalami gejala bulimia.

Jika Anda atau anggota keluarga memiliki masalah dengan berat badan, sebaiknya
konsultasikan kepada dokter gizi. Dokter gizi akan memberikan informasi mengenai cara
yang tepat dan sehat untuk memperoleh berat badan ideal. Salah satunya adalah dengan
menerapkan pola makan yang sehat.

Diagnosis Bulimia

Seseorang dikatakan menderita bulimia apabila mengalami gejala memuntahkan makanannya


sekali dalam seminggu selama setidaknya tiga bulan. Untuk menentukan apakah seseorang
menderita bulimia atau tidak, dokter akan mengajukan pertanyaan kepada pasien dan
keluarga pasien.

Dokter juga akan melakukan pemeriksaan fisik, seperti memeriksa kondisi gigi yang rusak
atau terkikis akibat paparan asam dalam muntah. Pemeriksaan mata juga mungkin dilakukan
untuk mengetahui apakah ada pembuluh darah mata yang pecah. Ketika muntah, pembuluh
darah akan tegang dan berisiko pecah.

Selain memeriksa gigi dan mata pasien, dokter juga akan memeriksa tangan pasien. Penderita
bulimia cenderung memiliki luka kecil dan kapalan di bagian atas sendi jari karena sering
digunakan untuk memaksa diri agar muntah.

Tidak hanya pemeriksaan fisik, tes darah dan urine juga dilakukan untuk mendeteksi kondisi
lain yang dapat menyebabkan bulimia dan memeriksa dampak bulimia dalam tubuh, seperti
dehidrasi atau gangguan elektrolit. Dokter juga melakukan echo jantung untuk mendeteksi
gangguan pada jantung.

Pengobatan Bulimia

Fokus utama pengobatan bulimia adalah mengobati gangguan mental yang dialami penderita
dan memperbaiki pola makan. Upaya pengobatan ini melibatkan peran dari berbagai pihak,
yaitu keluarga, psikiater, dan dokter gizi. Ada beberapa metode pengobatan untuk menangani
bulimia, yaitu:

Psikoterapi

Psikoterapi atau konseling bertujuan untuk membantu penderita bulimia dalam membangun
kembali sikap dan pikiran positif terhadap makanan dan pola makan. Ada dua jenis
psikoterapi yang dapat dilakukan, yaitu:

 Terapi perilaku kognitif


Terapi perilaku kognitif digunakan untuk membantu mengembalikan pola makan
penderita, serta mengubah perilaku yang tidak sehat menjadi sehat dan pola pikir yang
negatif menjadi positif.
 Terapi interpersonal
Terapi ini bertujuan untuk membantu pasien dalam berinteraksi dengan orang lain,
serta meningkatkan kemampuan penderita dalam berkomunikasi dan menyelesaikan
masalah.

Obat-obatan

Untuk meredakan gejala yang dialami penderita bulimia, dokter akan memberikan fluoxetine.
Obat ini merupakan jenis obat antidepresan yang paling sering digunakan untuk mengobati
bulimia, namun tidak diperuntukkan bagi penderita bulimia di bawah usia 18 tahun.

Fluoxetine juga dapat meredakan depresi dan gangguan cemas yang dialami penderita.
Selama pengobatan dengan antidepresan, dokter akan memantau perkembangan kondisi dan
reaksi tubuh penderita terhadap obat secara berkala.

Konseling gizi

Konseling gizi bertujuan untuk mengubah pola makan dan pola pikir terhadap makanan,
meningkatkan asupan nutrisi dalam tubuh, serta meningkatkan berat badan secara perlahan.

Jika gejala bulimia semakin memburuk atau disertai komplikasi yang serius, maka
penanganan secara khusus di rumah sakit perlu dilakukan. Langkah ini perlu dilakukan untuk
mencegah akibat fatal dari komplikasi, misalnya bunuh diri.

Pengobatan bulimia membutuhkan waktu yang cukup lama. Dukungan dan motivasi dari
keluarga, teman, dan kerabat terdekat sangat penting dalam proses penyembuhan penderita.

Komplikasi Bulimia

Bulimia dapat menimbulkan malnutrisi yang dapat merusak sistem organ dalam tubuh. Selain
itu, bulimia dapat menyebabkan penderitanya mengalami dehidrasi akibat terlalu banyak
cairan yang keluar melalui muntah.

Bulimia juga dapat memicu komplikasi yang bersifat serius dan bahkan berakibat fatal jika
tidak segera ditangani. Beberapa komplikasi yang dapat muncul adalah:

 Penyakit jantung, seperti aritmia atau gagal jantung.


 Gagal ginjal.
 Depresi atau gangguan kecemasan umum.
 Penyalahgunaan NAPZA atau alkohol.
 Muncul dorongan untuk bunuh diri.

Penderita bulimia yang sedang hamil juga berisiko tinggi mengalami komplikasi selama
kehamilan, seperti keguguran, kelahiran prematur, cacat lahir pada janin, dan depresi
pascamelahirkan.
Pencegahan Bulimia

Langkah pencegahan bulimia belum diketahui secara pasti hingga saat ini. Namun, peran
keluarga dan teman dapat membantu mengarahkan penderita bulimia ke arah perilaku yang
lebih sehat. Cara yang dapat dilakukan adalah:

 Meningkatkan rasa percaya diri dengan saling memberikan motivasi untuk selalu
hidup sehat setiap hari.
 Menghindari pembicaraan yang berhubungan dengan fisik atau yang memengaruhi
psikologis penderita, misalnya badannya terlalu kurus atau gemuk, serta wajahnya
tidak cantik.
 Mengajak anggota keluarga untuk selalu makan bersama keluarga.
 Melarang diet dengan cara tidak sehat, seperti menggunakan obat pencahar atau
memaksakan diri untuk muntah.

 
KESIMPULAN

Anoreksia nervosa adalah salah satu gangguan makan yang paling banyak terjadi
pada anak gadis remaja dan wanita muda dan disebabkan oleh berbagai faktor seperti biologi,
sosial dan psikososial.Diperlukan terapi yang menyeluruh dalam penatalaksanaan anoreksia
nervosa termasuk didalamnya hospitalisasi, psikoterapi dan terapi biologis.Tanda dan gejala
yang sering timbul pada penyakit ini adalah Berat badan turun secara drastic,diet
berkelanjutan,Ketakutan bertambah berat badan atau menjadi gemuk, bahkan ketika berat
badannya dibawah rata rata,Gejala yang tidak semestinya pada bentuk/ berat badan dalam
evaluasi diri,Sibuk menghitung kalori makanan dan nutrisi,Lebih memilih makan
sendirian,Latihan berlebih,selain itu penyakit ini dapat menyebabkan kematian.

Diagnosis gangguan makan jauh lebih kompleks daripada sekedar memeriksa kriteria yang
tercantum dalam Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental. Sifat kompleks mereka,
beberapa etiologi, dinamika keluarga, dan sifat yang sangat tahan lama membuat mereka
sangat menantang masalah klinis.

Tanda-Tanda Binge Eating Disorder


Seseorang yang menderita binge eating disorder biasanya sering makan dalam porsi yang
sangat besar dan kesulitan untuk berhenti atau sulit menahan dorongan untuk ingin makan
dalam jumlah besar. Setelah makan, ia kerap akan merasa bersalah, kesal, atau depresi akibat
perilaku makannya tersebut.
Tanda gejala binge eating disorder atau BED pada diri seseorang dapat dikenali dari:

 Cara makannya yang jauh lebih cepat dari biasanya.


 Makan dalam porsi yang banyak, meski tidak merasa lapar.
 Makan banyak hingga terlalu kenyang dan membuat perut tidak nyaman.
 Menyendiri saat makan agar orang lain tidak tahu seberapa banyak makanan yang ia
konsumsi.
 Pada beberapa penderita, BED dapat disertai dengan bulimia.

Seseorang dikatakan memiliki BED jika gejala-gejala di atas muncul setidaknya 1 kali per
minggu, dalam 3 bulan. Pada binge eating disorder  ringan, episode gejala muncul sebanyak
1-3 kali per minggu. Pada BED berat, episode gejala dapat muncul sebanyak 8-13 kali per
minggu. Sedangkan pada BED yang sangat parah, episode gejala dialami lebih dari 14 kali
per minggu.
Jika tidak ditangani dengan tepat, binge eating disorder berpotensi besar menyebabkan
beberapa masalah kesehatan, seperti obesitas, diabetes tipe 2, dan hipertensi. BED juga dapat
menyebabkan gangguan pencernaan, seperti kembung dan sembelit, bahkan gangguan
psikologis, seperti gangguan cemas dan depresi.

Apa Penyebab Binge Eating Disorder?


Hingga kini, penyebab pasti munculnya gangguan makan binge eating disorder ini belum
diketahui. Namun, terdapat beberapa faktor yang diduga meningkatkan risiko seseorang
mengalami BED, di antaranya adalah:

 Terdapat anggota keluarga yang memiliki riwayat gangguan pola makan.


 Memiliki riwayat gangguan kejiwaan, seperti depresi, gangguan bipolar, dan
kecanduan alkohol atau obat-obatan.
 Terjadi gangguan pada zat kimia di otak yang mengatur pola makan.
 Trauma emosional, misalnya akibat di-bully, mengalami kekerasan
seksual, stres berat, atau ditinggal orang terkasih.
 Memiliki berat badan berlebih.
 Memiliki citra negatif atau ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh.

Untuk memastikan diagnosis, penderita BED perlu mendapatkan pemeriksaan dari dokter
spesialis kesehatan jiwa (psikiater), baik berupa pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan
psikologis.
Jika diperlukan, dokter akan menyarankan pemeriksaan penunjang, seperti tes darah dan
urine. Setelah diagnosis binge eating disorder dipastikan, dokter akan menentukan metode
penanganan sesuai dengan faktor risiko atau pencetusnya, serta tingkat keparahan BED
pasien.

Cara Menangani Binge Eating Disorder


Secara umum, tujuan penanganan binge eating disorder difokuskan untuk memperbaiki
perilaku makan pasien, meningkatkan rasa percaya diri pasien, membantu pasien memperoleh
berat badan ideal, dan mengatasi masalah kesehatan lain yang muncul terkait BED.
Metode yang digunakan untuk menangani binge eating disorder adalah psikoterapi dan
pemberian obat-obatan. Secara umum, metode penanganan yang dapat dilakukan untuk
mengobati BED ini adalah:

Terapi perilaku kognitif (cognitive behavior  therapy/CBT)


Terapi ini bertujuan untuk membantu pasien memahami apa faktor pemicu munculnya
episode gejala BED, dan melatih pasien untuk mengalihkan dorongan untuk makan dengan
kegiatan lain.
Terapi perilaku kognitif juga bermanfaat untuk membantu pasien mengendalikan
emosi, mood, dan gangguan perilaku yang muncul saat episode gejala BED berlangsung.

Psikoterapi interpersonal
Tujuan dari terapi ini adalah membantu pasien meningkatkan kemampuan interpersonalnya,
seperti bagaimana ia berinteraksi dengan keluarga, teman, rekan kerja, termasuk orang lain
yang baru dikenal. Dengan begitu, gejala BED yang dipicu oleh masalah hubungan sosial
atau komunikasi diharapkan dapat berkurang. Biasanya metode terapi ini dikombinasikan
dengan terapi perilaku kognitif.

Pemberian obat-obatan
Selain psikoterapi, penanganan binge eating disorder juga dapat dilakukan dengan pemberian
obat. Lisdexamfetamin dimesylate, obat antiepilepsi topiramat, dan golongan
obat antidepresan adalah obat-obatan yang dapat digunakan untuk meredakan gejala binge
eating disorder.
Membantu mengontrol berat badan
Binge eating disorder sering membuat penderitanya kesulitan menjaga berat badan ideal.
Membantu pasien BED untuk memperoleh berat badan ideal adalah salah satu aspek
penanganan yang penting dilakukan. Target penurunan berat badan yang diharapkan adalah
sekitar setengah kilogram per minggu.
Dalam prosesnya, dokter akan menentukan jumlah serta jenis makanan yang dikonsumsi
pasien. Dengan menurunnya berat badan, pasien diharapkan akan lebih percaya diri dan
muncul citra positif terhadap dirinya, sehingga binge eating disorder bisa berkurang secara
perlahan.
Jika Anda mengalami gejala-gejala binge eating disorder atau kesulitan menahan dorongan
untuk makan berlebih, jangan ragu berkonsultasi ke dokter guna mendapatkan pemeriksaan.
Dokter akan mengevaluasi kondisi kesehatan Anda secara menyeluruh. Jika Anda terbukti
menderita binge eating disorder, dokter akan memberikan penanganan sesuai kondisi Anda.

Gejala Anoreksia Nervosa


Gejala anoreksia meliputi gejala fisik dan emosional. Selain itu, gejala penyakit ini juga bisa
terlihat dari perilaku yang ditunjukkan penderitanya.
Gejala fisik

 Kehilangan berat badan yang berlebihan.


 Tampak kurus dan berat badan tidak ideal.
 Kehilangan gairah seksual.
 Gangguan pada organ jantung, seperti jantung berdebar.
 Tekanan darah rendah.
 Gagal ginjal.
 Kulit kering pada tangan dan kaki akibat kurang aliran darah.
 Dehidrasi.
 Mudah lelah, bahkan pingsan tanpa sebab.
 Gigi mudah rusak.
 Muncul rambut halus di wajah dan bagian tubuh lain.
 Tidak tahan udara dingin.
 Rambut menipis dan mudah rontok.
 Sembelit atau sakit perut.
 Bengkak pada lengan dan tungkai.
 Gangguan menstruasi.
 Jari tangan dan kaki kebiruan.

Gejala psikologis

 Merasa rendah diri.


 Mudah cemas dan depresi.
 Takut berat badan naik.
 Terlalu memikirkan bentuk tubuh dan berat badan.
 Merasa gemuk meski berat badan di bawah normal.
 Kemampuan konsentrasi menurun.
 Mudah marah saat jam makan.
 Berlebihan dalam menjalankan diet dan menjaga berat badan.

Gejala pada perilaku

 Berlebihan dalam diet, seperti menghitung jumlah kalori.


 Merasa makan banyak meski hanya makan dalam porsi kecil.
 Menyembunyikan makanan.
 Penyalahgunaan obat pelangsing, diuretik, dan pencahar.
 Sering bercermin untuk melihat bentuk tubuh.
 Berbohong dengan mengatakan sudah makan meski sebenarnya belum.
 Menarik diri dari lingkungan sosial.
 Latihan fisik yang berlebihan, dan stres bila tidak bisa melakukannya.
 Melukai diri sendiri, bahkan hingga percobaan bunuh diri.
 Sering menimbang berat badan.
 Tidak mau makan di depan umum.

Penyebab Anoreksia Nervosa


Belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkan anoreksia. Namun para ahli mengaitkan
penyakit ini dengan kombinasi faktor lingkungan, psikologis, dan biologis.

 Lingkungan. Budaya modern memandang kecantikan atau ketampanan, kesuksesan,


dan kekayaan terkait dengan tubuh kurus. Dorongan dari teman sebaya dapat
memperkuat keinginan untuk memiliki tubuh kurus, khususnya pada remaja putri.
 Psikologis. Sejumlah penderita anoreksia memiliki kecemasan yang membuatnya
menjalani diet ketat. Penderita juga memiliki dorongan kuat untuk tampil sempurna,
karena mereka merasa tidak cukup kurus.
 Biologis. Meski belum bisa dipastikan jenis gen yang terkait dengan anoreksia, para
ahli menduga kondisi ini dipicu oleh perubahan gen.

Faktor Risiko Anoreksia Nervosa


Meskipun bisa dialami juga oleh pria, anoreksia umumnya dialami oleh wanita. Diketahui
sebanyak 85-95% penderita anoreksia berjenis kelamin wanita. Gangguan mental ini juga
dapat menimpa individu dari berbagai usia, tapi lebih sering terjadi pada remaja, dan jarang
dialami oleh mereka yang di atas usia 40 tahun.
Selain jenis kelamin dan usia, sejumlah faktor lain yang dapat meningkatkan risiko seseorang
mengalami anoreksia adalah:

 Lingkungan keluarga yang tidak harmonis seperti komunikasi yang kurang baik,
sering bertengkar, dan sulit mengatasi konflik rumah tangga.
 Pernah mengalami peristiwa yang menyebabkan trauma, seperti diperkosa atau
mengalami perundungan (bullying) terkait berat badan atau bentuk tubuh.
 Masalah psikologis, seperti sulit mengungkapkan perasaan, tidak menyukai bentuk
tubuh sendiri, rendah diri, menerapkan standar tinggi pada bentuk tubuh
(perfeksionis), serta mudah merasa cemas, kesepian, depresi, dan marah.
 Anggapan dan tekanan di masyarakat bahwa bentuk tubuh yang langsing adalah
sempurna.
 Terlahir prematur, memiliki berat lahir rendah, atau terlahir kembar.
 Ketidakseimbangan kimia otak yang mengatur rasa lapar.
 Riwayat anoreksia dalam keluarga.
 Terlalu banyak diet.

Diagnosis Anoreksia Nervosa


Sebagaimana pada gangguan mental lainnya, dokter menggunakan standar Diagnostic and
Statistic Manual of Mental Disorder (DSM-5) untuk memperoleh diagnosis anoreksia. Pasien
akan dinyatakan mengalami anoreksia bila mengalami sejumlah kriteria berikut ini:

 Membatasi asupan makanan untuk mendapatkan atau mempertahankan berat badan di


bawah normal, tanpa mempedulikan energi yang dibutuhkan.
 Memiliki rasa takut yang besar bila berat badan bertambah atau bila tubuh menjadi
gemuk. Ketakutan ini memicu penderita melakukan kegiatan yang bisa menurunkan
atau mempertahankan berat badannya, meskipun berat badan sudah di bawah normal.
 Mengalami gangguan dalam memandang tubuhnya sendiri, seperti terus menerus
mengamati bentuk tubuh dan berat badan, serta menyangkal bahwa berat badannya
sudah di bawah normal.

Dokter juga dapat menjalankan pemeriksaan fisik, meliputi pengukuran tinggi dan berat
badan, serta mengukur tanda vital pasien, seperti tekanan darah dan detak jantung.
Sejumlah tes juga dapat dilakukan, untuk memastikan diagnosis, menyingkirkan
kemungkinan kondisi lain yang menyebabkan penurunan berat badan, serta memeriksa
kemungkinan terjadi komplikasi. Beberapa tes tersebut adalah:

 Tes laboratorium, seperti hitung darah lengkap, kadar elektrolit dan protein dalam


darah, pemeriksaan fungsi hati, ginjal, kelenjar tiroid, serta tes urine.
 Evaluasi psikologis pasien, meliputi tanya jawab untuk mengetahui pola pikir,
perasaan, dan kebiasaan makan pasien.
 Foto Rontgen, untuk mengetahui kepadatan tulang, kemungkinan infeksi paru-paru
(pneumonia), dan untuk mengetahui kondisi jantung.

Pengobatan Anoreksia Nervosa


Pengobatan anoreksia adalah dengan menangani masalah fisik dan mental pasien. Tujuan
pengobatan adalah untuk mencegah komplikasi, menangani gejala yang dialami,
mengembalikan pola makan dan berat badan normal, serta memperkuat fisik dan mental
pasien.
Penanganan medis
Pada pasien yang mengalami keadaan darurat, seperti gangguan irama jantung, gangguan
elektrolit, atau dehidrasi, penanganan di rumah sakit harus segera diberikan. Begitu juga pada
pasien yang mengalami gangguan mental serius, kekurangan nutrisi, dan menolak makan
dalam jangka panjang. Pasien mungkin diminta menjalani rawat inap, agar dokter bisa
melakukan pemantauan rutin pada tanda vital pasien.
Bila kondisinya cukup parah, dokter akan memasang nasogastric tube pada
pasien.Nasogastric tube adalah pemasangan selang dari hidung pasien yang tersambung
hingga ke lambung, untuk pemberian asupan makanan.
Psikoterapi
Pada pasien dewasa, jenis terapi yang dipilih adalah terapi perilaku kognitif (cognitive
behavior therapy). Terapi ini bertujuan untuk mengembalikan pola makan normal pasien,
agar berat badan pasien bertambah. Selain itu, terapi ini juga akan membantu mengubah pola
pikir dan perilaku pasien yang tidak sehat, serta membangun kepercayaan diri mengenai
bentuk tubuh pasien.
Sedangkan untuk pasien anak-anak dan remaja, terapi yang dilakukan adalah terapi berbasis
keluarga. Terapi ini melibatkan keluarga pasien untuk mengatasi gangguan makan dan
membantu pasien mencapai berat badan normal.
Terapi perilaku kognitif dan terapi berbasis keluarga bisa dikombinasikan dengan terapi
dalam kelompok, bersama dengan sesama penderita anoreksia.
Selain dua metode di atas, dokter juga bisa meresepkan obat-obatan, seperti antidepresan
untuk membantu menangani gangguan mental pada pasien, atau pemberian suplemen untuk
membantu penguatan tulang.
Meski anoreksia tidak bisa dicegah, namun diagnosis dan penanganan dini dapat dilakukan
dengan memperhatikan gejalanya. Kondisi ini biasanya ditangani oleh dokter penyakit
dalamdan psikiater.

Komplikasi Anoreksia Nervosa


Anoreksia dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang cukup serius bila tidak ditangani,
bahkan bisa mengakibatkan kematian. Sejumlah gangguan kesehatan yang dapat terjadi
akibat anoreksia, antara lain adalah:

 Pengeroposan tulang (osteoporosis), yang dapat memicu patah tulang (fraktur)


 Gangguan menstruasi pada wanita.
 Penurunan kadar hormon testosteron pada pria.
 Gangguan ginjal.
 Masalah pada sistem pencernaan, seperti perut kembung, sembelit, dan mual
 Gangguan elektrolit.
 Anemia.
 Masalah pada jantung, seperti gangguan irama jantung (aritmia), penyakit katup
jantungmisalnya mitral valve prolapse (MVP), atau gagal jantung.
 Kerusakan pada sejumlah organ, seperti otak, jantung, dan ginjal akibat kekurangan
nutrisi.
 Kekurangan asupan protein, mineral, dan nutrisi penting bagi tubuh (malnutrisi).
 Dehidrasi parah.
 Penurunan jumlah sel darah putih yang memicu infeksi.
 Gangguan hormon tiroid.
 Kejang akibat kekurangan cairan yang dipicu diare dan muntah terus menerus.
 Kerusakan gigi.
Selain berbagai gangguan fisik di atas, anoreksia juga dapat menimbulkan gangguan mental.
Di antaranya adalah gangguan suasana hati (misalnya mudah marah atau depresi), gangguan
obsesif-kompulsif, gangguan kepribadian, keinginan melukai diri sendiri atau bahkan bunuh
diri, serta penyalahgunaan NAPZA.

Anda mungkin juga menyukai