Anda di halaman 1dari 8

HUBUNGAN TINGKAT

STRES DENGAN
KECENDERUNGAN
BINGE EATING
DISORDER PADA
WANITA PENDERITA
OBESITAS
01 Sep 2015
 proposal penelitian
Hubungan Tingkat Stres Dengan Kecenderungan Binge Eating Disorder Pada Wanita
Penderita Obesitas
Viony Audreylia
1601253776
1. Latar Belakang
Stres merupakan gejala gangguan psikologi yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-
hari, dimana setiap individu pasti pernah mengalaminya. Secara psikologis, stres telah
terbukti mampu menciptakan perilaku makan pada manusia. Tidak hanya manusia, bahkan
stres pun dapat menyebabkan perilaku makan pada hewan (Mark, Allan, & John, 2006).
Kebanyakan orang yang sedang dalam kondisi stres akan lebih sering makan karena mereka
percaya bahwa makan bisa mengatasi stres yang dialami (Brittany Gower, Zachariah, &
University).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1998), stres diartikan sebagai tekanan atau
gangguan atau kekacauan mental dan emosional. Pengertian stres menurut salah satu ahli,
Hans Selye (dalam Mumtahinnah, 2008) mendefinisikan stres sebagai respon yang tidak
spesifik dari tubuh pada tiap tuntutan yang dikenakan atau terjadi kepadanya. Berdasarkan
pengertian tersebut dapat dikatakan stres, apabila seseorang mengalami beban yang berat
tetapi orang tersebut tidak dapat atau sulit mengatasi sesuatu yang dibebankan itu, maka
tubuh akan berespon dengan tidak mampu terhadap beban tersebut, sehingga orang tersebut
dapat mengalami stres. Respons atau tindakan ini termasuk respons fisiologis dan psikologis.
Sedangkan Korchin (dalam Mumtahinnah, 2008) menyatakan bahwa keadaan stres muncul
apabila tuntutan-tuntutan yang luar biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan atau
integritas seseorang.

Stres dapat dibedakan menurut tingkatannya, tingkat stres yang dialami setiap individu
berbeda-beda. Tingkat stres sangat ringan, terjadi apabila tidak terdapat gejala berat yang
dialami. Seseorang yang mengalami stres tingkat ringan masih dapat melakukan pekerjaan
dan kegiatannya sehari-hari. Sedangkan tingkat stres yang sangat tinggi terjadi jika semua
gejala-gejala stres yang dialami berintensitas berat. Pada individu yang mengalami tingkat
stres yang berat ini akan mengalami perubahan pola hidup (Dewi, Lilik, & Karyanta, 2013).

Sumbangan pertama dalam penelitian tentang stres diberikan oleh Cannon pada tahun 1932
mengenai respon fight-or-flight, yang menyatakan bahwa organisme merasakan adanya suatu
ancaman, maka secara cepat tubuh akan terangsang dan termotivasi melalui sistem saraf
sistematik dan endokrin. Melalui respon fisiologis ini, organisme didorong untuk menyerang
ancaman tadi atau melarikan diri. Selanjutnya, sumbangan paling penting dalam penelitian
stres dilakukan oleh Hans Seyle pada tahun 1936 tentang General Adaptation
Syndrome (GAS). Seyle menyatakan bahwa ketika organisme berhadapan dengan stresor, dia
akan mendorong dirinya sendiri untuk melakukan tindakan yang diatur oleh kelenjar adrenal
yang menaikkan aktivitas sistem saraf simpatetik. Tanpa memperhatikan penyebab dari
ancaman, individu akan merespon dengan pola reaksi fisiologis yang sama, selebihnya
dengan mengulangi atau memperpanjang stres sehingga akan melicinkan dan mematahkan
sistem (Ninggalih, 2013).
Pada beberapa orang stres sering kali bisa terlihat melalui fisik tubuhnya. Misalnya
munculnya jerawat, problem pencernaan, insomnia, kelelahan, sakit kepala, dan masalah
sewaktu buang air, maupun reaksi psikosomatik lainnya mungkin merupakan tanda-tanda
bahwa ada tekanan pada diri sesorang (Hardjana 1994 dalam Solihat, 2009). Sedangkan stres
dilihat dari sisi psikologis seringkali dikaitkan dengan konsumsi makanan yang meningkat,
terutama dalam mengkonsumsi makanan berlemak tinggi (Sims, et al., 2008). Perbedaan
individu dalam faktor-faktor  psikologis dan fisiologi menjelaskan mengenai perilaku makan
dalam respon terhadap stres (Roemmich, Lambiase, Lobarinas, & Balantekin). Menurut
Marci (2006) stres muncul untuk mengubah asupan makanan secara keseluruhan dengan cara
makan berlebihan, yang mungkin dipengaruhi oleh tinggi atau rendahnya tingkat keparahan
stres.
Tingkat keparahan stres ini akan mempengaruhi pola makan yang tidak normal yang dapat
menyebabkan gangguan makan (eating disorder). Eating disorder adalah suatu gejala
gangguan pola makan yang tidak normal. Eating disorder diartikan sebagai kelainan yang
terjadi pada kebiasaan makan seseorang yang diakibatkan oleh kekhawatiran orang tersebut
akan bentuk tubuhnya (Fairburn, 2000 dalam Garrow, 2000). Terdapat tiga jenis gangguan
makan menurut DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
5,  2014) yaitu : anorexia nervosa, bulimia nervosa dan binge eating disorder. Anorexia
nervosa adalah kelainan atau gangguan makan yang membuat seseorang terobsesi akan berat
badan yang sangat kecil sehingga membuat mereka rela kelaparan atau bahkan berolahraga
berlebihan; bulimia nervosa adalah kelainan atau gangguan makan pada seseorang yang
membuat dia memuntahkan setiap makanan yang telah dikonsumsi untuk menjaga berat
badannya agar tidak berubah; sedangkan binge eating disorder adalah suatu kelainan atau
gangguan pola makan tidak normal dimana seseorang memakan makanan dengan jumlah
yang sangat banyak dalam suatu waktu yang terbatas, dibanding yang dimakan oleh orang
pada umumnya. Jangka waktu untuk suatu binge itu biasanya 1-2 jam.
Dari ketiga jenis eating disorder diatas yang berhubungan dengan tingkat tekanan stres yang
kita biasa lihat dengan makan yang berlebihan adalah binge eating disorder (Marci, 2006).
Dimana disaat seseorang mengalami stres, kadang seseorang makan dengan pola yang tidak
wajar atau berlebihan dan bisa juga makan dengan sembunyi-sembunyi, lalu setelah itu
seseorang akan menyesal dengan apa yang ia sudah makan dengan bertambahnya berat
badan.
Dari hasil penelitian tahun 2005 dari organisasi ANRED (Anorexia Nervosa and Related
Eating Disorders, Inc.) menyatakan bahwa binge eating disorder juga memiliki angka yang
tidak sedikit dari anorexia nervosa dan bulimia nervosa. Sebuah studi di Inggris
menyebutkan lebih dari 2 % (1-2 juta) orang dewasa menderita binge eating (dalam Hapsari,
2009). Menurut perkiraan yang dilakukan oleh US Conses Bureau, International Data
Base (2004) dan Tantiani (2007) ditemukan perkiraan prevalensi penderita binge eating di
Indonesia sebesar 1,669,170 dari populasi perkiraan sebesar 218,452,952. Selain itu, binge
eating lebih banyak ditemukan pada populasi yang mengalami kelebihan berat badan (30%)
dibandingkan sampel dari populasi umum (5% wanita dan 3 % laki-laki) (Brown,2005 dalam
Hapsari 2009).
Selanjutnya, dari hasil data statistik Kementerian Kesehatan (KemenKes) tahun 2010 juga
menyatakan bahwa prevalensi nasional obesitas secara umum (usia >15 tahun) di Indonesia
diperkirakan sebesar 19,1% (8,8% overweight dan 10,3% obes) dan prevalensi obesitas
sentral sebesar 18,8%. Prevalensi obesitas nasional di Indonesia lebih besar pada wanita
(23,8%) dibanding pria (13,9%) (kesehatan, 2013). Sebab itu, dapat dikatakan bahwa masalah
keluhan obesitas lebih banyak diakui oleh wanita daripada pria. Alasannya karena wanita
cenderung lebih banyak mempermasalahkan penampilannya dibandingkan dengan pria
(Mappiare, 1982 dalam Bestiana, 2012). Seorang perempuan dapat dikatakan wanita jika dia
sudah memasuki masa perkembangan dewasa awal, masa dewasa awal berkisar dari umur 20-
an sampai 30-an (Santrock, 2011).

Dari hasil uraian diatas, penulis ingin meneliti hubungan antara tingkat stres dan
kecenderungan binge eating disorder pada wanita khususnya di masa dewasa awal yang
mengalami obesitas. Alasan penelitian ini penting untuk diteliti bagi penulis karena binge
eating disorder ini adalah bidang penelitian yang masih relatif baru daripada gangguan
makan lainnya. Selain itu dampak dari penderita binge eating disorder adalah terjadi ruptur
gastric atau esofagus (Ung, 2005 dalam Hapsari, 2009) dan obesitas karena tidak
terkontrolnya pola makan penderita. Jika tidak cepat ditangani akan mengarah pada perilaku
makan menyimpang yang lebih parah, yaitu anorexia nervosa dan bulimia nervosa. Selain itu
juga dapat menyebabkan ketergantungan terhadap alkohol, obat-obatan, depresi bahkan
bunuh diri (McComb, 2001 dalam Hapsari, 2009).
Hal lain yang menjadi dasar dilakukannya penelitian mengenai ini adalah bahwa gender
wanita dalam menghadapi stres lebih sering menggunakan mekanisme emotional focused
coping (Skuee & Kirby, 1995 dalam Fatima & Piliang, 2014) yaitu mekanisme yang
menggunakan emosi untuk menyelesaikan tekanan yang ada. Maksudnya digunakan untuk
mengatur respon emosional terhadap stres. Misalnya, saat seseorang mengalami stres,
perilaku makan menyimpang seringkali dijadikan suatu cara untuk mengatasi stres yang
dirasakan (McComb, 2001 dalam Hapsari, 2009). Fakta ini membuktikan bahwa wanita lebih
banyak daripada pria menggunakan emotional focused coping dalam mengatasi tekanan
stresnya. Di dukung juga oleh National Comorbidity Survey (dalam Kring, Johnson, Davison,
Neale, Edelstyn, & Brown, 2013), yang menyatakan bahwa binge eating disorder lebih
umum pada wanita daripada pria. Hal inilah yang mengantarkan penulis ingin meneliti
tentang hubungan antara tingkat stres dengan kecenderungan binge eating disorder pada
wanita dewasa awal yang mengalami obesitas. Cara pengambilan sampel yang penulis
gunakan untuk mewakili populasi wanita dewasa awal yang menderita obesitas adalah
dengan menggunakan teknik convenience sampling.
 

2. Variabel
3. Definisi
 Stres :
o Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1998), stres diartikan
sebagai tekanan atau gangguan atau kekacauan mental dan emosional.
o Pengertian stres menurut para ahli :
 Menurut Hans Selye (dalam Mumtahinnah, 2008)
mendefinisikan stres sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh
pada tiap tuntutan yang dikenakan atau terjadi kepadanya.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan stres, apabila
seseorang mengalami beban yang berat tetapi orang tersebut tidak
dapat atau sulit mengatasi sesuatu yang dibebankan itu, maka tubuh
akan berespon dengan tidak mampu terhadap beban tersebut, sehingga
orang tersebut dapat mengalami stres. Respons atau tindakan ini
termasuk respons fisiologis dan psikologis.
 Menurut Korchin (dalam Mumtahinnah, 2008) menyatakan
bahwa keadaan stres muncul apabila tuntutan-tuntutan yang luar biasa
atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan atau integritas
seseorang.
 Menurut WHO (2003) stres adalah reaksi atau respon tubuh
terhadap tekanan mental atau beban kehidupan.
 Dalam buku Stress and Health, (Rice,1992 dalam Kusuma,
2013) mendefinisikan stres dengan tiga pengertian yang berbeda,
yaitu :
1. Stres mengarah pada tiap kejadian atau stimulus
lingkungan yang menyebabkan seseorang merasa tertekan atau
dibangkitkan. Dalam hal ini, stres berasal dari eksternal
seseorang individu. Kondisi yang dapat menimbulkan stres
disebut
2. Stres mengarah pada respon subjektif. Dalam hal
ini, stres merupakan bagian internal dari mental, termasuk
didalamnya adalah emosi, pertahanan diri, interprestasi dan
proses coping yang terdapat dalam diri seseorang.
3. Stres mengarah pada physical reaction dalam
mengatasi ataupun menghilangkan gangguan.
Tingkat Stres :

Tingkat stres adalah hasil penilaian terhadap berat ringannya stres yang dialami seseorang.

 Kecendrungan Binge Eating Disorder


o Binge eating disorder adalah salah satu dari jenis eating disorder yang
telah disetujui untuk dimasukkan dalam DSM-5 sebagai kategori tersendiri
dari gangguan makan. Di DSM-IV, binge-eating disorder tidak diakui
sebagai gangguan melainkan dijelaskan dalam Lampiran B.
o Kecenderungan binge eating disorder adalah suatu kelainan pola
makan tidak normal dimana seseorang memakan makanan dengan jumlah
yang sangat banyak dalam suatu waktu yang terbatas, dibanding yang
dimakan oleh orang pada umumnya. Jangka waktu untuk suatu
kecenderungan binge itu biasanya 1-2 jam dan periode lama rentang jangka
waktu kelainan ini tidak sampai 3 bulan.
 

1. Definisi Operasional :
 Stres :
Dari beberapa definisi, dapat disimpulkan bahwa stres merupakan suatu keadaan psikologis
individu yang disebabkan oleh tuntutan-tuntutan yang terlalu banyak yang bersumber dari
kondisi internal maupun lingkungan eksternal sehingga seseorang terancam
kesejahteraannya.

Tingkat Stres:

Tingkat stres adalah hasil penilaian terhadap berat ringannya stres yang dirasakan seseorang,
yang diperoleh dari suatu tingkat keadaan psikologis individu yang disebabkan oleh tuntutan-
tuntutan yang terlalu banyak yang bersumber dari kondisi internal maupun lingkungan
eksternal yang membuat seseorang terancam kesejahteraannya.

 Kecendrungan Binge Eating Disorder:


Kecendrungan Binge Eating Disorder adalah kecenderungan gangguan pola makan yang
memiliki karakteristik sebagai berikut :
 Makan dengan pola waktu yang dekat (contoh : 2 jam) dengan porsi yang sangat
banyak melebihi porsi makan kebanyakan orang dalam waktu dan situasi yang
sama.
 Adanya perasaan tidak dapat mengontrol nafsu makan selama periode tersebut
berlangsung.
 Ciri-ciri saat makan :
1. Makan lebih cepat dari biasanya;
2. Makan sampai merasa tidak nyaman;
3. Makan dalam porsi yang besar ketika tidak merasa lapar;
4. Makan dengan seorang diri karena malu dengan porsi makannya;
 Setelah makan dalam jumlah yang besar merasa jijik dengan diri sendiri, depresi,
atau merasa bersalah.
 Merasa sangat kecewa karena tidak dapat mengendalikan nafsu makan atau
ketika mengalami kenaikan berat badan.
 Tidak ada perilaku kompensasi (contoh : muntah, puasa, olahraga yang
berlebihan) dan tidak terjadi secara ekslusif selama riwayat anorexia
nervosa  dan bulimia nervosa.
Dikatakan hanya sebagai kecenderungan, karena binge eating terjadi, rata-rata, setidaknya
sekali seminggu selama 3 bulan. Jika periode makan berlebihan ini tidak berlanjut sampai 3
bulan makan tidak dapat dikatakan atau dinyatakan sebagai penderita binge eating disorder.
Hanya dapat dikatakan sebagai kecederungan binge eating.
Note *: Ini harus dipisahkan, khusus untuk wanita (yang terjadi kadang di awal munculnya
menstruasi).
3. Hubungan Antara Tingkat Stres dan Kecenderungan Binge Eating
Disorder Pada Wanita Dewasa Awal Penderita Obesitas
Hubungan antara stres dengan perilaku makan menyimpang memang belum dapat begitu
dimengerti, namun menurut McComb (2001 dalam Hapsari, 2009) terlihat bahwa stres dan
penyebabnya berhubungan dengan perilaku makan menyimpang. Bagi orang yang mengalami
stres, perilaku makan menyimpang seringkali dijadikan suatu cara untuk mengatasi stres yang
dirasakan. Hal ini diperkuat dengan adanya pengamatan yang menunjukkan bahwa perilaku
makan menyimpang seringkali dipengaruhi oleh rasa frustasi dan permasalahan yang
berhubungan dengan perasaan negatif seperti kecemasan (McComb, 2001 dalam Hapsari,
2009).

Stres dapat muncul sebelum dan sesudah terjadinya perilaku makan menyimpang. Menurut
Wardlaw tahun 1999 (dalam Hapsari, 2009) menyatakan bahwa binge eating
disorder dikaitkan dengan distres yang ditandai dan terjadi, rata-rata, setidaknya sekali
seminggu selama tiga bulan. Binge eating juga lebih banyak ditemukan pada populasi yang
mengalami kelebihan berat badan (30%) dibandingkan sampel dari populasi umum (5%
wanita dan 3 % pria) (Brown,2005 dalam Hapsari 2009). Hal ini menandakan bahwa binge
eating lebih banyak dialami oleh orang yang menderita obesitas dan lebih banyak juga
dialami oleh wanita dibandingkan dengan pria.
Dari hasil penelitian sebelumnya, mengatakan bahwa gender wanita dalam menghadapi stres
lebih sering menggunakan mekanisme emotional focused coping (Skuee&Kirby,1995 dalam
Fatima & Piliang, 2014) yaitu mekanisme yang menggunakan emosi untuk menyelesaikan
tekanan yang ada. Jadi, dapat dikatakan bahwa wanita kebanyakan akan lebih sering
menggunakan Emotion-focused coping daripada Problem-focused coping. Karena pada
dasarnya, seorang wanita itu berhubungan dengan emosi, rasio dan suasana hati. Dalam
logika berpikirnya wanita biasanya dikuasai oleh kesatuan tersebut, didasari oleh aspek
emosi, perasaan dan suasana hatinya (Yenni, Tansil, & Thio, 2013). Pikiran, perasaan dan
kemampuan yang terpadu pada wanita sering kali menggambarkan tindakannya yang sering
dilandasi emosi. Contohnya seperti, cepatnya mengambil keputusan atau melakukan
tindakan, memberi kesan impulsive, belum didahului pemikiran, dan pertimbangan yang
matang (Gunarsa & Gunarsa, 2004 dalam Yenni, Tansil, & Thio, 2013). Salah satu
fenomenanya adalah makan dengan berlebihan pada jarak waktu yang dekat (1-2 jam) ketika
sedang mengalami stres.
Biasanya juga wanita memberikan respon-respon yang lebih kuat dan lebih emosional
terhadap masalah yang dihadapi. Sifat wanita lebih emosional dibandingkan dengan pria.
Emosi wanita yang kuat mengakibatkan wanita lebih cepat mereaksi dengan hati penuh
ketegangan, lebih cepat kecil hati, bingung, takut dan cemas. Maka itu, wanita lebih banyak
mengalami stres (Skuee & Kirby,1995 dalam Fatima & Piliang, 2014) dan gangguan makan
daripada pria (Kring, Johnson, Davison, Neale, Edelstyn, & Brown, 2013).

Biasanya stres menjadi pemicu pola makan yang berlebihan seperti ini, yang kita sebut
sebagai kecenderungan binge eating disorder, tapi juga bisa sebaliknya kecenderungan binge
eating disorder yang memicu stres. Kenapa dikatakan hanya sebagai kecenderungan,
karena Binge eating terjadi, rata-rata, setidaknya sekali seminggu selama 3 bulan. Jika
periode makan berlebihan ini tidak berlanjut sampai 3 bulan makan tidak dapat dikatakan
atau dinyatakan sebagai penderita binge eating disorder.
 

4. Hipotesis
Ada hubungan yang signifikan antara tingkat stres dengan kecenderungan binge eating
disorder pada wanita dewasa awal penderita obesitas.

Anda mungkin juga menyukai