Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proses menua adalah proses terus menerus secara ilmiah, yang dimulai
sejak lahir dari umumnya dialami oleh semua makhluk hidup. Menua adalah suatu
proses menghilangnya kemampuan secara perlahan - lahan untuk memperbaiki
diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normal sehingga
tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita.
Walaupun demkian memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang
sering terjadi pada kaum lansia (WHO, 2012). Menurut Kane, Ouslander dan
Abras (2004) salah satu masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia selama
proses menua adalah instabilitas yaitu berdiri dan berjalan tidak stabil sehingga
lansia mempunyai konsekuensi untuk jatuh Mekanisme koping yang efektif dapat
membantu individu beradaptasi terhadap stres yang berkepanjangan. Penelitian
yang dilakukan oleh Omu, AlObaidi dan Reynolds (2012) tentang keyakinan
keagamaan dan adaptasi psikososial pada pasien stroke di Kuwait pada 40 pasien
wanita yang mengalami stroke,
Lansia adalah proses menjadi lebih tua dengan umur mencapai 55 tahun
keatas. Pada lansia akan mengalami kemunduran fisik, mental, dan sosial. Salah
satu Keberadaan lansia seringkali dipersepsikan secara negatif, dianggap sebagai
beban keluarga dan masyarakat sekitarnya. Kenyataan ini mendorong semakin
berkembangnya anggapan bahwa manjadi tua identik dengan semakinb
banyaknya masalah yang dialami oleh lansia. Lansia cenderung dipandang
masyarakat tidak lebih dari sekelompok orang yang ketergantungan dan sakit–
sakitan, sehingga untuk mencegah adanya kesakitan tersebut lansia membutuhkan
pelayanan kesehatan (BKKBN, 2014). contoh kemunduran fisik pada lansia
adalah rentannya lansia terhadap penyakit, khususnya penyakit degeneratif.
Penyakit degeneratif yang umumnya di derita lansia salah satunya adalah
hipertensi (Nugroho, 2008). Hipertensi atau tekanan darah tinggi, kadang-kadang
disebut juga dengan hipertensi arteri, adalah kondisi medis kronis dengan tekanan
darah di arteri meningkat. Peningkatan ini menyebabkan jantung harus bekerja
lebih keras dari biasanya untuk mengedarkan darah melalui pembuluh darah.

1
Perubahan fisik lansia akan mempengaruhi tingkat kemandirian.
Kemandirian adalah kebebasan untuk bertindak, tidak bergantung pada orang lain,
tidak terpengaruh pada orang lain dan bebas mengatur diri sendiri atau aktivitas
seseorang baik individu maupun kelompok dari berbagai kesehatan atau penyakit.
(Lerner, 1976, Orem, 2001 dalam Rohaedi 2016) menggambarkan lansia sebagai
suatu unit yang juga menghendaki kemandirian dalam mempertahankan hidup,
kesehatandan kesejahteraannya. Faktor yang mempengaruhi tingkat kemandirian
lansia dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari – hari, seperti: usia, imobilitas,
dan mudah jatuh (Nugroho, 2012).
Tekanan darah melibatkan dua pengukuran, sistolik dan diastolic,
tergantung apakah otot jantung berkontraksi (systole) atau berelaksasi di antara
denyut (diastole).Tekanan darah normal pada saat istirahat adalah kisaran sistolik
100-140 mmHg dan diastolik 60-90 mmHg. Tekanan darah tinggi terjadi bila
terus-menerus berada pada 140/90 mmHg atau lebih (Bustan, 2000). Tekanan
darah tinggi dianggap sebagai faktor resiko utama bagi berkembangnya penyakit
Jantung dan berbagai penyakit vaskuler pada orang yang telah lanjut usia, hal ini
disebabkan ketegangan yang lebih tinggi dalam arteri sehingga menyebabkan
hipertensi.
Family caregiver merawat anggota keluarga dengan hambatan melakukan
aktivitas sehari –hari adalah individu yang memberikan perawatan secara sukarela
dan memberikan bantuan terkait dangan kondisi kesehatan kepada anggota
keluarga yang memiliki hambatan ADL (Given et al., 2012). Kebanyakan dari
mereka adalah pasangan, anak, atau orang tua pasien (Ferrel et al., 2013). Dalam
menanggulangi masalah ini caregiver harus mempunyai strategi koping yang
efektif mencakup penanggulangan sebagai proses aktif untuk mengatur situasi
penuh. Salah satunya adalah kemampuan yang dimiliki dalam mengatasi masalah
(coping) dengan baik. Kemampuan keluarga beradaptasi terhadap streseor yang
muncul dalam keluarga dengan berupaya untuk melawan stressor. Koping
keluarga disfungsional cenderung menggunakan strategi defensive habitural yang
cenderung tidak menghapuskan atau menghilangkan dan melemahkan streseor
(Ebstein et al., 1993; Whait, 1974 dalam friedman dkk, 2010). Perilaku koping
yang digunakan oleh caregiver dalam menghadapi masalah merupakan hasil dari

2
ketahanan diri (resiliensi) dalam menyelesaikan masalah dan memecahkan
masalah (Hidayatulq, 2013). Jika keluarga atau orang yang membantu dapat
mengidentifikasi streseor yang akan datang, bimbingan antisipasi serta strategi
koping dalam pencegahan diberikan untuk memperlemah atau mengurangi
dampak streseor (Friedman dkk, 2010). Caregiver yang memiliki strategi koping
yang baik akan dapat mengurangi dalam peningkatan depresi pada caregiver dan
dapat menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi secara bijak.
Faktor penyebab terjadinya hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu hipertensi
esensial/primer: hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya dan ada
kemungkinan karena faktor keturunan atau genetik dan hipertensi sekunder:
hipertensi yang merupakan akibat dari adanya penyakit lain (Adib, 2009).
Berdasarkan prevalensi kasus hipertensi di Provinsi Jawa Tengah
mengalami penurunan pada tahun 2011 dari 6,3 % menjadi 5,4 % pada tahun
2012. Prevalensi tertinggi adalah di Kabupaten Sukoharjo sebesar 15%.
Sedangkan kasus hipertensi lain di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 sebesar
0,70%, mengalami penurunan bila dibandingkan prevalensi tahun 2011 sebesar
0,80% (Dinkes, 2012).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo pada tahun
2012, kasus hipertensi di seluruh Kabupaten Sukoharjo ditemukan sebanyak
17.920 penderita, dan pada tahun 2013 data Dinas Kesehatan Sukoharjo
,menunjukkan 19.920 penderita hipertensi di seluruh Kabupaten Sukoharjo,
kemudian berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Sukoharjo bahwa angka
hipertensi di Puskesmas Kartasura pada tahun 2013 menduduki peringkat ke-2
dari 12 Puskesmas se-Kabupaten Sukoharjo yaitu sebesar 6619 kasus setelah
Puskesmas Sukoharjo sebanyak 6771 kasus (Dinkes Sukoharjo, 2013).
Faktor-faktor yang merupakan risiko hipertensi adalah umur semakin tua,
riwayat keluarga dengan hipertensi, kebiasaan mengkonsumsi makanan asin, tidak
biasa olahraga, obesitas, jenis kelamin, kebiasaan merokok, kebiasaan minum
minuman beralkohol dan stress kejiwaan (Elsanti, 2009).
Lansia sering terkena hipertensi disebabkan oleh kekakuan pada arteri
sehingga tekanan darah cenderung meningkat. Selain itu kebanyaka lansia dalam
pola makannya masih salah karena masih banyak lansia yang suka mengkonsumsi

3
makanan yang asin terutama makanan yang mengandung lemak jenuh serta garam
kadar tinggi. Kandungan natrium dalam garam yang berlebihan dapat menahan air
retensi sehingga meningkatnya jumlah volume darah yang dapat menyebabkan
hipertensi (Yekti, 2011).
Berdasarkan data diatas, peneliti ingin mengetahui adakah Hubungan
mekanisme koping cargiver terhadap burnout dalam merawat lansia.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah apakah ada Hubungan mekanisme koping cargiver
terhadap burnout dalam merawat lansia?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan mekanisme
koping cargiver terhadap burnout dalam merawat lansia?
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa dekat
Hubungan mekanisme koping caregiver terhadap burnout dalam merawat
lansia ?
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah :
1. Mengetahui Hubungan Mekanisme Koping caregiver terhadap lansia.
2. Mengetahui Lansia pada orang tua.
3. Mengetahui Hubungan mekanisme koping cargiver terhadap burnout
dalam merawat lansia?

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Praktis
a. Bagi Pendidik
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi
tentang Hubungan mekanisme koping cargiver terhadap burnout
dalam merawat lansia?

4
b. Bagi Peneliti
Dapat menambah pengetahuan tentang bagaimana realita proses
belajar mengajar di kelas, serta sebagai latihan untuk menambah
kesiapan, wawasan dan pengetahuan.
1.4.2 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemikiran, menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan sebagai kajian
bersama tentang bagaimana Hubungan mekanisme koping cargiver
terhadap burnout dalam merawat lansia sehingga dapat dijadikan sumber
informasi yang bermanfaat.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan Mekanisme Koping

2.1.1 Pengertian Pengetahuan Mekanisme Koping


Cedera vaskular serebral (CVS) atau strokesecara umum terbagi atas
stroke iskemik dan stroke hemoragik yang dapat terjadi akibat gangguan
suplai darah otak karena adanya sumbatan pada pembuluh darah otak atau
perdarahan (Gomes & Wachsman, 2013). Stroke iskemik berkaitan dengan
adanya penyumbatan pembuluh darah berupa trombosis atau embolik.
Strokehemoragik terjadi oleh perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang
subarakhnoid (Black & Hawks, 2014). Berdasarkan kedua tipe tersebut,
stroke iskemik lebih sering terjadi daripada stroke hemoragik, yaitu 85%
stroke iskemik dan 15% stroke hemoragik (Stroke Association, 2013).
Stroke merupakan masalah kesehatan yang berkembang pesat dengan
prevalensiyangterus mengalami peningkatan. Sekitar 30,7 juta orang
diperkirakan menderita stroke di seluruh dunia (Fisher & Norrving, 2011).
Stroke dapat menyebabkan kematian, diantaranya pada tahun 2008 terdapat
133.750 orang meninggal akibat stroke (Minino, Xu & Kochanek, 2010).
Stroke menduduki
peringkat keempat penyebab kematian setelah kanker, penyakit
jantungdan penyakit pernapasan pada pahun 2010 di Inggris. Terdapat
sekitar 152.000 orang mengalami stroke setiap tahundengan angka kematian
50.000 orang (Stroke Association, 2013).
Mekanisme koping yang efektif dapat membantu individu beradaptasi
terhadap stres yang berkepanjangan. Penelitian yang dilakukan oleh Omu,
AlObaidi dan Reynolds (2012) tentang keyakinan keagamaan dan adaptasi
psikososial pada pasien stroke di Kuwait pada 40 pasien wanita yang
mengalami stroke, didapatkan hasil self efficacy yang merupakan bagian
dari mekanisme koping pasien berhubungan dengan kepuasan hidup pada
pasien stroke dengan r= 0,452. Seseorang biasanya melewati serangkaian
reaksi emosional terhadap ketidakmampuan yang dialaminya. Koping yang

6
yang tidak efektif terhadap ketidakmampuan tersebut, berduka yang tidak
terselesaikan dan depresi dapa mengarah pada keletihan (Smeltzer & Bare,
2001).

2.1.2 Jenis mekanisme koping


Mekanisme koping terbagi atas coping style dan coping strategy.
Coping style merupakan mekanisme adaptasi yang dilakukan oleh individu
dengan menggunakan mekanisme psikologis, kognitif dan persepsi.
Coping style mengarahkan individu untuk mengurangi makna dengan
melakukan penolakan terhadap suatu keadaan secara tidak realistis sampai
pada tingkatan yang paling ringan. Coping strategy merupakan mekanisme
koping yang digunakan secara sadar dan terarah oleh individu dalam
menghadapi suatu stressor (Lipowski dalam Nursalam& Kurniawati,
2007).
Menurut Lazarus dan Folkman (1984 dalam Nasir & Muhith 2011)
terdapat dua mekanisme koping, yaitu:
1. Problem focused coping
Merupakan usaha untuk mengatasi stres dengan cara mengatur
atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya
yang menyebabkan terjadinya tekanan. Problem focused coping
bertujuan mengurangi keinginan dari situasi yang penuh stres atau
memperluas sumber untuk mengatasinya. Metode ini biasanya
digunakan apabila individu percaya sumber atau demand (keinginan)
dari situasinya dapat diubah. Strategi yang dipakai dalam problem
focused coping yaitu: 1) confrontative coping merupakan usaha
mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang agresif,
tingkat kemarahan yang cukup tinggi dan pengambilan risiko, 2)
seeking social support adalah usaha untuk mendapatkan kenyamanan
emosional dan bantuan informasi dari orang lain, 3) planful problem
solving yaitu usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan
dengan cara hati-hati, bertahap dan analitis.

7
2. Emotional focused coping
Merupakan usaha mengatasi stres dengan cara mengatur respons
emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan
ditimbulkan karena suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh
tekanan. Hal ini bertujuan mengontrol respon emosional terhadap
situasi stres yang dapat dilakukan melalui pendekatan perilaku dan
kognitif. Strategi yang dipakai dalam emotional focused coping yaitu:
a) self control merupakan usaha yang dilakukan untuk mengatur
perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan,
b) distancing merupakan usaha untuk tidak terlibat dalam
permasalahan seperti menghindar dari permasalahan seakan tidak
terjadi apa-apa atau menciptakan padangan-pandangan yang
positif seperti menganggap masalah sebagai sebuah lelucon,
c) positive reappraisal merupakan strategi dengan cara mencari
makna posotif dari permasalahan dengan berfokus pada
pengembangan diri, biasanya melibatkan hal-hal yang bersifat
religius,
d) accepting responsibility adalah strategi dengan menyadari
tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapi
dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi
lebih baik,
e) escape atau avoidance strategi mengatasi situasi yang menekan
dengan cara lari dari situasi tersebut atau menghindarinya dengan
beralih pada hal lain seperti merokok, minum, makan atau
menggunakan obat-obatan.
Selain itu mekanisme koping juga dipandang sebagai koping jangka
pendek dan koping jangka panjang. Koping jangka pendek dapat
mengurangi stres hingga batas yang dapat ditoleransiuntuk sementara
waktu, namun cara ini tidak efektif dalam menghadapi realitas. Bentuk
koping jangka pendek seperti mengkonsumsi obat-obatan, minum
minuman beralkohol, tunduk pada orang lain untuk menghindari
kemarahan. Sementara itu koping jangka panjang dapat bersifat konstruktif

8
dan realistis seperti berbicara dengan orang lain mengenai suatu masalah
dan berusaha mencari solusi untuk menyelesaikannya. Koping juga dapat
adaptif dan maladaptif.
Koping adaptif membantu individu menghadapi situasi yang
menimbulkan stres dan meminimalkan distress secara efektif, sedangkan
koping maladaptif dapat mengakibatkan distress yang seharusnya tidak
terjadi pada individu atau orang lain yang terlibat dalam situasi tersebut
(Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2010).
Konsep mekanisme koping lainnya dikembangkan oleh Carver
(1997) berdasarkan teori Lazarus dan Folkman (1984). Menurut konsep
ini, membagi mekanisme koping dalam 14 sub skala mekanisme koping.
Dari 14 sub skala tersebut dikelompokkan menjadi kategori koping yaitu
(1) problem focused coping terdiri dari sub skala active coping, planning,
use instrumental support (2) emotional focused coping meliputi sub
skalareligion,reframing positif,use emotional support, denial dan
acceptence (3) dysfunctional coping meliputi sub sakala humor, self
distraction, venting, behavioural disengagement, self blame, dan substance
use(Carver, Scheier & Weintraub, 1989). Namun Cooper et al (dalam Su et
al., 2015) menyatakan bahwa sub skala mekanisme koping humor dalam
dysfunctional coping. Penjelasan mengenai sub skala koping tersebut
adalah sebagai berikut:
a) Active coping (Penyelesaian masalah secara aktif)
Jenis koping ini merupakan langkah awal yang dilakukan oleh
individu dalam mengambil suatu tindakan untuk mengatasi atau
mengurangi dampak dari stresor. Tindakan yang dilakukan individu
secara langsung dengan meningkatkan usaha serta mencoba untuk
melakukan upaya penyelesaian masalah secara bertahap.
b) Planning (Perencanaan)
Meliputi perencanaan strategi dengan memikirkan, menyusun
rencana tindakan, dan langkah-langkah yang harus diambil,
kemungkinan keberhasilan strategi yang digunakan serta cara yang
paling baik dalam menyelesaikan suatu masalah yang terjadi.

9
c) Positive reframing (Mengkaji kejadian masa lalu kearah yang positif)
Hal ini dilakukan dengan menilai kembali strategi koping yang
telah digunakan secara positif yang berfokus untuk mengatasi
perasaan tertekan dan tidak hanya berfokus pada stresor itu sendiri.
d) Using emotional support (Menggunakan dukungan emosional)
Mencari dukungan baik secara moral, simpati, atau pengertian
untuk mengurangi atau menghilangkan ketidaknyamanan emosional
akibat masalah yang dihadapi. Hal ini biasanya tidak selalu adaptif
karena hanya dilakukan untuk menenangkan diri atau mengeluarkan
isi perasaan saja.
e) Acceptence (Penerimaan)
Penerimaan terjadi dimana saat individu yang mengalami
masalah menerima kenyataan bahwa hal tersebut pasti terjadi. Hal ini
mengandung arti sebagai sikap menerima kenyataan atau menerima
karena belum adanya strategi yang efektif dalam menghadapi suatu
masalah.
f) Humor
Merupakan jenis koping yang digunakan oleh individu dengan
membuat lelucon terhadap masalah yang dihadapi.
g) Religion (Agama)
Merupakan cara individu menyelesaikan suatu masalah dengan
mencari pegangan pada agama dengan cara memperbanyak beribadah
dan berdoa meminta bantuan kepada Tuhan.
h) Using instrumental support
Usaha yang dilakukan individu untuk mencari dukungan berupa
saran, nasehat, informasi atau bantuan yang dibutuhkan agar dapat
membantu individu tersebut untuk mengatasi masalah yang
dihadapinya.

10
i) Self-distraction (Pengendalian diri)
Hal ini dilakukan dengan melakukan tindakan pelarian terhadap
masalah yang dihadapi, tindakan yang biasanya dilakukan adalah
dengan melamun melarikan diri dengan tidur, menyibukkan diri.
j) Denial (Menolak atau mengingkari)
Individu menolak untuk percaya terhadap adanya suatu stresor
dengan menganggap bahwa stresor tersebut tidak nyata. Hal ini
terkadang memicu masalah baru bila tekanan diabaikan dan sulit
untuk mencari pemecahan masalah yang dihadapi.
k) Venting (Pelampiasan emosi)
Hal ini dilakukan dengan melampiaskan emosi yang dirasakan
terhadap suatu masalah yang dihadapi.
l) Substance Use (Penggunaan zat atau obat-obatan)
Individu mencari cara lain untuk melupakan stresor yang
dialami dengan menggunakan alcohol ataupun obat-obatan lainnya.
m) Behavioural disengagement (Pelepasan perilaku)
Individu yang mengalami stresor mengurangi usahanya dalam
menghadapi stresor tersebut, menghentikan usaha yang dapat
dilakukan untuk mengatasi stresor dan biasanya digambarkan dengan
munculnya gejala perilaku ketidakberdayaan.
n) Self-blame
Individu cenderung untuk menyalahkan diri sendiri secara
berlebihan terhadap setiap masalah atau kegagalan yang dahadapi.
Individu biasanya berfokus pada upaya apa saja yang dapat dilakukan
untuk menjauhkan pikiran dari pemicu yang menimbulkan stresor.

2.1.3 Hasil koping (Coping outcome)


Mekanisme koping pada individu bervariasi bergantung pada
persepsi individu terhadap kejadian yang menimbulkan stres. Mekanisme
koping pada individu dapat berubah dengan penilaian kembali terhadap
situasi yang menimbulkan stres. Biasanya individu akan mengubah stresor,
beradaptasi terhadap stresor atau menghindari stresor. Menurut Taylor

11
(1991 dalam Nasir &Muhith, 2011) keberhasilan seseorang dalam
memenuhi coping task akan menentukan efektivitas koping yang
digunakan. Coping task merupakan tugas yang harus dilakukan individu
untuk mencapai koping yang efektif meliputi: 1) mengurangi kondisi
lingkungan yang berbahaya dan meningkatkan prospek untuk
memperbaikinya, 2) menyesuaikan diri dengan kenyataan yang negatif, 3)
mempertahankan gambaran diri yang positif, 4) mempertahankan
keseimbangan emosional, 5) melanjutkan kepuasan terhadap hubungan
dengan orang lain. Bila seseorang telah dapat memenuhi sebagian dari
coping task maka akan terlihat coping outcome yang dialami oleh individu
yang merupakan kriteria keberhasilan koping. Kriteria coping outcome
tersebut antara lain adalah:
1. Koping dinyatakan berhasil dengan melihat ukuran fungsi fisiologis
tubuh. Hal ini dapat dilihat dengan mengurangi indikator seperti
terjadinya peurunan tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan
frekuensi pernapasan yang merupakan tanda bila terjadinya stres.
2. Bila seorang individu dapat kembali seperti keadaan sebelum indivdu
tersebut mengalami stres maka koping yang digunakan dinyatakan
berhasil.
3. Efektivitas koping baik bila pscychological distress seperti rasa cemas
dan depresi pada individu berkurang

2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi mekanisme koping


Mekanisme koping merupakan usaha individu untuk mengatasi stres
psikologis. Efektifitas mekanisme koping yang digunakan tergantung pada
kebutuhan individu tersebut. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
individu dalam menggunakan mekanisme koping adalah:
1. Usia (maturasional) Stressor bervariasi dalam setiap tahap
perkembangan kehidupan. Hal ini akan mempengaruhi respon
individu berespon terhadap situasi tersebut. Selain itu, dalam rentang
usia tertentu, individu mempunyai tugas pekembangan yang berbeda
sehingga mempengaruhi cara berpikir dan kemampuan beradaptasi

12
dengan situasi disekitarnya. Mekanisme koping yang digunakan akan
berubah sesuai dengan tingkat usia dan menghasilkan reaksi yang
berbeda dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan.
2. Jenis kelamin Jenis kelamin mempunyai pengaruh yang kuat dalam
berespon terhadap penyakit, stres dan penggunaan koping. Secara
umum laki-laki dan perempuan memiliki cara yang berbeda dalam
menghadapi suatu masalah. Wanita lebih memperlihatkan reaksi
emosional dibandingkan pria dalam menghadapi situasi yang penuh
tekanan. Secara biologis tubuh perempuan mempunyai ketahanan
yang lebih baik dalam menghadapi stressor dibandingkan laki-laki
(Siswanto, 2007).
3. Pendidikan Individu yang mempunyai pendidikan lebih tinggi
mempunyai perkembangan kognitif yang lebih baik dibandingkan
individu dengan pendidikan rendah. Hal ini akan mempengaruhi
individu tersebut melakukan penilaian yang lebih realistis terhadap
masalah atau stressor yang mereka hadapai, sehingga mekanisme
koping yang digunakan dapat lebih adaptif. Menurut Notoatmodjo
(2007), pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi individu
untuk menerima pengetahuan yang akan terlihat dari perilaku individu
tersebut. Perilaku kesehatan akan tumbuh dari keinginan individu
untuk menghindari penyakit dan adanya motivasi dari individu
tersebut bahwa tindakan kesehatan yang tersedia mampu mencegah
terjadinya penyakit.
4. Kesehatan Saat individu sakit dan mengalami kondisi tubuh yang
lemah, maka individu tersebut tidak memiliki energi yang cukup
untuk melakukan mekanisme koping secara efektif terhadap situasi
yang penuh tekanan. Lazarus dan Folkman (1984), menyatakan
semakin baik kesehatan seseorang maka individu tersebut memiliki
kecendrungan memilih menggunakan problem focused coping dalam
menghadapi masalah mereka. Efektivitas koping individu juga dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
a) jumlah, durasi dan intensitas stresor,

13
b) pengalaman masa lalu individu,
c) sistem pendukung yang tersedia untuk individu,
d) kualitas personal individu (Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2010).
Selain itu, pemilihan koping dipengaruhi oleh sumber-sumber
internal dan eksternal. Sumber internal terdiri atas kesehatan,
kepercayaan, tujuan hidup, perasaan individu, pengetahuan,
keterampilan seseorang dalam memecahkan masalah dan
keterampilan social. Sumber eksternal yang mendukung
pemilihan koping seseorang adalah adanya dukungan social serta
sumber material (Smeltzer & Bare, 2001).

2.2 Lanjut Usia (Lansia)


2.2.1 Definisi Lanjut Usia (Lansia)
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur
kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No.
13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah
seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk,
2008). Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia
(lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit,
namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai
dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres
lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan
seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres
fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan
untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Efendi, 2009).
Penetapan usia 65 tahun ke atas sebagai awal masa lanjut usia (lansia)
dimulai pada abad ke-19 di negara Jerman. Usia 65 tahun merupakan batas
minimal untuk kategori lansia. Namun, banyak lansia yang masih
menganggap dirinya berada pada masa usia pertengahan. Usia kronologis
biasanya tidak memiliki banyak keterkaitan dengan kenyataan penuaan
lansia. Setiap orang menua dengan cara yang berbeda-beda, berdasarkan
waktu dan riwayat hidupnya. Setiap lansia adalah unik, oleh karena itu

14
perawat harus memberikan pendekatan yang berbeda antara satu lansia
dengan lansia lainnya (Potter & Perry, 2009).

2.2.2 Batasan Lanjut Usia (Lansia)


Menurut pendapat berbagai ahli dalam Efendi (2009) batasan-
batasan umur yang mencakup batasan umur lansia adalah sebagai berikut:
1. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1
ayat 2 yang berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai
usia 60 (enam puluh) tahun ke atas”.
2. Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi
menjadi empat kriteria berikut : usia pertengahan (middle age) ialah
45-59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua
(old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah di atas 90
tahun.
3. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase yaitu :
pertama (fase inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase virilities) ialah
40-55 tahun, ketiga (fase presenium) ialah 55-65 tahun, keempat (fase
senium) ialah 65 hingga tutup usia.
4. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro masa lanjut usia
(geriatric age): > 65 tahun atau 70 tahun. Masa lanjut usia (getiatric
age) itu sendiri dibagi menjadi tiga batasan umur, yaitu young old (70-
75 tahun), old (75-80 tahun), dan very old ( > 80 tahun) (Efendi,
2009).

2.2.3 Klasifikasi Lanjut Usia (Lansia)


Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia
berdasarkan Depkes RI (2003) dalam Maryam dkk (2009) yang terdiri
dari: pralansia (prasenilis) yaitu seseorang yang berusia antara 45-59
tahun, lansia ialah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih, lansia
resiko tinggi ialah seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang
yang berusia 60 tahun atau lebihdengan masalah kesehatan, lansia
potensial ialah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau

15
kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa, lansia tidak potensial ialah
lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung
pada bantuan orang lain.

2.2.4 Karakteristik Lansia


Lansia memiliki karakteristik sebagai berikut: berusia lebih dari 60
tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No.13 tentang kesehatan),
kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,
dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif
hingga kondisi maladaptif, lingkungan tempat tinggal bervariasi (Maryam
dkk, 2008).

2.2.5 Tipe Lansia


Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman
hidup, lingkungan, kodisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho
2000 dalam Maryam dkk, 2008). Tipe tersebut dijabarkan sebagai berikut.
Tipe arif bijaksana. Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri
dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah
hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.
1. Tipe mandiri. Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru,
selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan
memenuhi undangan.
2. Tipe tidak puas. Konflik lahir batin menentang proses penuaan
sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit
dilayani, pengkritik dan banyak menuntut.
3. Tipe pasrah. Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan
agama, dan melakukan pekerjaan apa saja.
4. Tipe bingung. Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri,
minder, menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.
5. Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe
independen (ketergantungan), tipe defensife (bertahan), tipe militan

16
dan serius, tipe pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam
melakukan sesuatu), serta tipe putus asa (benci pada diri sendiri).

2.2.6 Tugas Perkembangan Lansia


Lansia harus menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik yang
terjadi seiring penuaan. Waktu dan durasi perubahan ini bervariasi pada
tiap individu, namun seiring penuaan sistem tubuh, perubahan penampilan
dan fungsi tubuhakan terjadi. Perubahan ini tidak dihubungkan dengan
penyakit dan merupakan perubahan normal. Adanya penyakit terkadang
mengubah waktu timbulnya perubahan atau dampaknya terhadap
kehidupan sehari-hari. Adapun tugas perkembangan pada lansia dalam
adalah : beradaptasi terhadap penurunan kesehatan dan kekuatan fisik,
beradaptasi terhadap masa pensiun dan penurunan pendapatan, beradaptasi
terhadap kematian pasangan, menerima diri sebagai individu yang menua,
mempertahankan kehidupan yang memuaskan, menetapkan kembali
hubungan dengan anak yang telah dewasa, menemukan cara
mempertahankan kualitas hidup (Potter & Perry, 2009).

2.3. Peneliti Terdahulu


Arfina (2017), meneliti tentang “hubungan mekanisme koping dan
disabilitas dengan keputusasaan pada pasien stroke di rumah sakit kota medan”.
Penelitian ini menggunakan multivariat dengan regresi linier ganda, Hasil
penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi perawat dalam melakukan asuhan
keperawatan dan menerapkan intervensi seperti edukasi untuk meningkatkan
mekanisme koping adaptif serta menurunkan disabilitas sehingga dapat mencegah
terjadinya keputusasaan pada pasien stroke.
Dede (2017), meneliti tentang, “gambaran strategi koping family caregiver
pada lansia dengan hambatan activities of daily living di dusun pringgading
guwosari pajangan bantul yogyakarta”. Jenis penelitian ini adalah deskriptif
kuantitatif, Hasil penelitian ini menunjukan bahwa strategi koping responden
terbanyak menggunakan emotional focused coping sebanyak 19 orang (63,3%),
dan 11 orang (36,7%) menggunakan problem focused coping.

17
Wanti (2016), dalam penelitian” Gambaran Strategi Koping Keluarga
Dalam Merawat Anggota Keluarga yang Mengalami Gangguan Jiwa Berat”.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi strategi koping keluarga
dalam merawat anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa berat di rumah,
di Desa Sukamaju dan Desa Kersamanah, Kecamatan Kersamanah, Kabupaten
Garut. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif dengan jumlah responden
sebanyak 43 orang anggota keluarga yang merawat pasien gangguan jiwa berat,
diambil dengan total sampling. Data penelitian diambil menggunakan kuesioner
dari instrument baku Ways Of Coping (WOC) dan analisis data yang di gunakan
dalam bentuk persentase. Hasil penelitian menunjukan sebagian dari responden
yaitu 20 orang (47%) lebih cenderung menggunakan emotional focused coping,
sebagian kecil responden yaitu 13 orang (30%) cenderung menggunakan problem
focused coping dan sebagian kecil responden lainnya yaitu 10 orang (23%)
dominan menggunakan problem focused coping dan emotional focused coping
secara bersamaan.

18
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Hubungan Mekanisme Koping Caregiver


Mekanisme Koing terhadap Burnout dalam merawat Lansia.

Lanjut Usia(Lansia)

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Hubungan Mekanisme Koping Caregiver


terhadap Burnout dalam merawat Lansia.
Berdasarkan gambar 3.1 Diketahui bahwa Hubungan Mekanisme Koping
Caregiver terhadap Burnout dalam merawat Lansia. Pengertian kerangka konsep
dari Mekanisme Koping Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terlalu
signifikan antara kecenderungan penggunaan strategi koping tertentu
psikoedukasi sangat dibutuhkan untuk membantu keluarga dalam menentukan
strategi koping yang sangat efektif selama merawat anggota keluarga penderita
skizofrenia. Perbedaan penelitian ini adalah menggunakan consecutive sampling
sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan total sampling.
Persamaannya adalah merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dan berkaitan
erat dengan strategi koping keluarga dalam merawat anggota keluarga yang
mengalami ketergantungan.
Pengertian kerangka konsep dari Lanjut Usia Penelitian ini menyimpulkan
bahwa latihan ROM efektif terhadap peningkatan kemandirian ADL pada lansia
stroke. Penelitian ini merupakan jenis penelitian quasi-eksperiment, dengan
menggunakan pendekatan “one group pretes and posttest design”. Intervensi yang
dilakukan adalah latihan ROM (Range of Motion). Populasi dalam penelitian ini
adalah semua lansia stroke yang mengalami penurunan tingkat kemandirian ADL
tingkat sedang sampai berat sebanyak 48 pasien dari 3 bulan terakhir di Ruang
Rawat Stroke RSJD Dr. RM. Waginah, (2010) menyatakan bahwa subyek
penelitian dengan ROM yang sangat aktif mempunyai peluang perbaikan ADL

19
atau kemandirian lebih baik. Perbedaan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian quasy experiment dan teknik sampel penelitian menggunakan teknik
purposive sampling. Persamaannya adalah dalam perawatan untuk peningkatan
kemandirian ADL pada lansia.

3.2. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Ada Hubungan Mekanisme Koping Caregiver terhadap Burnout dalam
merawat Lansia.

20
BAB IV

METODELOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional yang merupakan
penelitian ini untuk mengetahui Hubungan Mekanisme Koping Caregiver
terhadap Burnout dalam merawat Lansia pada saat yang bersamaan.

4.2 Kerangka kerja

Populasi
Orang Tua yang terkena lanjt usia sebanyak 180 orang

Sampel
30 Orang Tua yang terkena Lanjut Usia

Sampling : Random Sampling

Variabel independen : Variabel dependen :


Mekanisme Koing Lanjut Usia
:

Pengumpulan data :
Observasi

Pengolahan data : editing, coding, scoring, dan Tabulating

Analisa data : chi – square= 0,001

(α) Hasil
: H1 p 0,001 sehingga H1 diterima
jjjj
jj
Apabila p ≤;0,05
Kesimpulan Ada maka = H0Mekanisme
Hubungan ditolak, dan jika Caregiver
Koping p > (α) =terhadap
0,05% Bournout
maka dalam
merawat Lansia .
H1 diterima (Sugiyono, 2007 ).

21
Gambar 4.1. Kerangka Hubungan Mekanisme Koping Caregiver terhadap
Burnout dalam merawat Lansia.

4.3 Populasi dan sampel


4.3.1 Populasi
Populasi merupakan bagian yang akan diteliti atau objek dengan
karakteristik tertentu yang akan diteliti. Bukan hanya objek atau subjek yang
dipelajari saja tetapi seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki subjek
atau objek tersebut (Hidayat, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah
Hubungan Mekanisme Koping Caregiver terhadap Burnout dalam merawat
Lansia. sebanyak 180 orang yang terkena Lansia.

4.3.2 Sampel
Menurut Sugiyono (2014) sampel adalah bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Sampel dalam penelitian ini
Hubungan Mekanisme Koping Caregiver terhadap Burnout dalam merawat
Lansia. Teknik sampling dalam penelitian ini simple random sampling.
Besar sampel (sample size) ditentukan menggunakan rumus slovin dalam
umar (2007), sebagai berikut :

Keterangan :
n = Ukuran Sampel.
N = Ukuran Populasi.
e = Tingkat Kesalahan 0,05
Jumlah sample yang digunakan :

n= 32 = 29,6
1+32(0,05)2

n = 30 responden

22
4.3.3 Teknik Sampling
Sampling adalah suatu cara pengumpulan data yang sifatnya tidak
menyeluruh, yaitu tidak mencakup seluruh objek penelitian (populasi)
akan tetapi sebagian saja dari populasi. Sugiyono (2014:116) menyatakan
bahwa: Teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel.
Untuk menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian,
terdapat berbagai teknik sampling yang digunakan. Dalam penelitian ini
penulis menggunakan random sampling.

4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian


Bungin (2010), menjelaskan lokasi penelitian merupakan tempat untuk
melakukan penelitian. Hubungan Mekanisme Koping Caregiver terhadap Burnout
dalam merawat Lansia.

4.5 Variabel Penelitian


Variabel yaitu merupakan karakteristik subjek penelitian yang berubah dari
suatu subjek ke subjek yang lainnya (Hidayat, 2014). Menurut Setiawan 2010,
variabel juga dapat diartikan sebagai atribut subjek atau objek yang akan diteliti
dan bervariasi antara satu subjek atau objek lainnya. Variabel-variabel dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Variabel Independen (variabel bebas) merupakan variabel yang menjadi sebab
terjadina Mekanisme Koing variabel dependen (terkait). Dinamakan variabel
bebas artinya bebas dalam mempengaruhi. Variabel ini juga dikenal dengan
sebutan variabel prediktor, resiko atau kausal (Hidayat, 2014). Dalam
penelitian ini yang menjadi variabel independent (bebas) yaitu Mekanisme
Koping.
2. Variabel dependen (variabel terkait) merupakan variabel yang dipengaruhi atau
menjadi akibat karena variabel bebas. Perubahan pada variabel ini tergantung
pada variabel bebas. Variabel ini sering juga disebut sebagai variabel efek,
hasil, outcome, atau even. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel
dependen ada Lanjut Usia (Lansia).

23
4.6 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional
berdasarkan krakteristik yang diamati, memungkinkan peneliti untuk melakukan
observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena.
Definisi operasional ditentukan berdasarkan parameter yang dijadikan ukuran
dalam penelitian (Hidayat, 2014).
Definisi operasional variabel adalah mendefinisikan secara operasional dan
berdasarkan karakterisitik yang diamati, memungkinkan peneliti untuk melakukan
observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena
(Sugiyono,2011). Definisi operasional variabel dalam penelitian ini tabel sebagai
berikut :

Tabel.4.1.
Variabel Penelitian, Definisi Operasional
No Variabel Definisi Parameter Alat Skala Skoring
Operasional Ukur
1 Variabel dilakukan Lembar Nomina Skor : 1 jika
Mekanisme oleh Observasi l ya
Koing penderita Skor : 2 jika
stroke dalam tidak
menyelesaika Dikatakan
n masalah lingkungan
terkait bersih jika
penyakitnya skor : 1
yang Dikatakan
dilakukan lingkungan
dengan kotor jika
metode skor : 0
active
coping,

24
2 Variabel Jumlah tahun Lembar Nomina Skor 1 jika
dependen hidup pasien observasi l ada
Lanjut stroke Skor 2 jika
Usia(Lansia sampai saat tidak ada
) ini. Skor ≥ 1
dikatakan
ada
Skor 2 jika
dikataan
tidak ada

4.7 Instrument Penelitian


Instrument adalah alat ukur penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan
data berupa lembar observasi (Arikunto, 2010). Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Lembar observasi.

4.8 Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subyek dan
proses pengumpulan karakteristik subyek yang diperlukan dalam suatu penelitian.
Langkah–langkah dalam pengumpulan data tergantung pada rancangan penelitian
dan teknik instrumen yang digunakan (Nursalam, 2014).
Langkah – langkah pengumpulan data antara lain :
1. Peneliti mengurus surat permohonan ijin penelitian dari pihak Universitas
Tribhuawana Tunggadewi Malang, kemudian diserahkan pada Kesbangpol
Malang setelah mendapat ijin penelitian, peneliti melanjutkan penelitiannya
dengan menyiapkan lembar observasi.
2. Kebersihan Lingkungan menggunakan lembar observasi dengan pilihan
jawaban YA/TIDAK.
3. Scabies menggunakan lembar observasi dengan jawaban ADA/TIDAK.

25
4.9 Teknik Pengolahan Data dan Analisa Data
4.9.1 Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data pada dasarnya merupakan suatu proses untuk
memperoleh data atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok data
mentah dengan menggunakan rumus tertentu sehingga menghasilkan
informasi yang diperlukan (Sugiyono,2011). Proses pengolahan data
dalam penelitian ini melalui tahapan sebagai berikut :
1. Editing
Editing merupakan tahap peneliti melakukan pemeriksaan terhadap
jawaban lembar kuesioner dari responden yang telah dikumpulkan.
2. Coding
Coding adalah mengklasifikasikan jawaban-jawaban dari para
responden kedalam kategori. Biasanya klasifikasi dilakukan dengan
cara memberi tanda/kode pada masing-masing lembar kuesioner.
a) Data demografi :
 Usia : 5 – 10 tahun : kode 1
 Usia : 11 – 18 tahun : kode 2
Jenis kelamin
 Laki – laki : kode 1
 Perempuan : kode 2
b) Data khusus :
 Mekanisme Koing :
o Kode 1 jika Mekanisme Koing kurang.
o Kode 2 untuk Mekanisme Koing cukup.
 Lanjut Usia :
o Kode 1 untuk Lanjut Usia rendah.
o Kode 2 untuk Lanjut Usia tinggi.
3. Scoring
Scoring adalah memberi skor hasil lembar observasi
a) Mekanisme Koping
 Ya = 1.
 Tidak = 2

26
b) Lansia (Lanjut Usia)
 Ada = 1.
 Tidak ada = 2.
c) Tabulating
Tabulating merupakan pengorganisasian data sedemikian
rupa agar mudah dapat dijumlahkan, disusun, dan ditata untuk
disajikan dan dianalisa. Proses tabulasi dapat dilakukan dengan
cara bantuan komputer.

4.10 Analisa Data


Analisa data merupakan suatu proses yang dilakukan secara sistematis
terhadap data yang telah dikumpulkan dengan tujuan supaya mudah dideteksi.
(Notoatmodjo, 2012).
4.10.1 Analisa Univariat
Analisis univariat adalah analisis yang dilakukan menganalisis tiap
variabel dari hasil penelitian (Nursalam, 2014). Mengambarkan
karakteristik masing-masing variabel yang diteliti dengan menggunakan
distribusi frekuensi dan presentasi masing-masing variabel. Selanjutnya
ditampilkan dalam bentuk table dan narasi, dalam menentukan kategori
setiap variabel dan sub variabel maka penelitian dapat berpedoman pada
skor rata-rata setiap variabel tersebut.

4.10.2 Analisa Bivariat


Analisa bivariat adalah untuk menguji ada atau tidaknya pengaruh
antara variabel dependen dan independen, peneliti menggunakan uji
perbedaan yaitu uji Chi-square dan uji alternatifnya adalah uji fisher
Hubungan Mekanisme Koping Caregiver terhadap Burnout dalam merawat
Lansia Pada Hubungan Mekanisme Koping Caregiver terhadap Burnout
dalam merawat Lansia menggunakan metode analisa korelasi Chi - square.
Dalam proses perhitungan menggunakan tingkat atau derajat p 0,001
sehingga H1 diterima.

27
4.11 Etika penelitian
Peneliti dalam melaksanakan seluruh kegiatan penelitian harus memegang
teguh sikap ilmiah (scientific attitude) serta menggunakan prinsip etika penelitian.
Meskipun interensi yang dilakukan dalam penelitian tidak memiliki resiko yang
dapat merugikan atau membahayakan subyek penelitian, namun peneliti perlu
mempertimbangkan aspek sosial etika dan menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia. Menurut Arikunto (2013), terdapat 4 prinsip utama dalam etika
penelitian yaitu :
1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)
Peneliti perlu mempertimbangkan hak-hak subyek untuk mendapatkan
informasi yang terbuka berkaitan dengan jalannya penelitian serta memiliki
kebebasan menentukan pilihan dan bebas dari paksaan untuk berpatisipasi
dalam kegiatan penelitian (autonomy). Misalnya mempersiapkan formulir
persetujuan (informed consent).
2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subyek penelitian (respect for privacy
and confidentiality).
Peneliti tidak boleh menampilkan informasi mengenai identitas baik
nama maupun alamat asal subyek dalam kuesioner dan alat ukur apapun untuk
menjaga anonimitas serta kerahasiaan identitas subyek. Peneliti dapat
menggunakan koding (inisial atau identification number) sebagai pengganti
responden.
a) Keadilan dan inklusivitas (respect for justice and inclusiveness)
Keadilan dan inklusivitas untuk memenuhi prinsip keterbukaan,
penelitian dilakukan secara hati-hati, jujur, profesional, berperikemanusiaan
dan memperhatikan faktor-faktor ketepatan, keseksamaan, kecermatan serta
perasaan religius subyek penelitian.
b) Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing
harms and benefits)
Peneliti melakukan penelitian sesuai dengan prosedur penelitian guna
mendapatkan hasil yang bermanfaat semaksimal mungkin bagi subyek
penelitian. Peneliti juga meminimalisasi dampak yang merugikan bagi
subyek.

28

Anda mungkin juga menyukai