Anda di halaman 1dari 72

HUBUNGAN ANTARA PERAN DAN MOTIVASI KELUARGA DENGAN

TINGKAT KEPATUHAN PADA LANSIA UNTUK KONTROL


HIPERTENSI DI RW 4 DAN 5 KELURAHAN TELING ATAS MANADO

Mini Proposal
Disusun untuk memenuhi persyaratan tugas ujian Tengah Semester Mata Kuliah
Keperawatan Komunitas 1

Dosen : Ns. Thirsa Mongi, S. Kep, M. Kes.

Oleh :
Nama : Fitria Gosal
NIM : 1814201266

PROGRAM STUDI SI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN
INDONESIA MANADO
2020
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara global pada tahun 2013 proporsi dari populasi penduduk berusia

lebih dari 60 tahun adalah 11,7% dari total populasi dunia. Menjadi tua adalah

suatu keadaan yang terjadi didalam kehidupan manusia. Proses menua

merupakan proses sepanjang hidup, yang dimulai sejak permulaan kehidupan.

Undang-Undang nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia

menyebutkan bahwa umur 60 tahun adalah usia permulaan tua. Menua

bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur

mengakibatkan perubahan yang kumulatif, merupakan proses menurunnya

daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh

yang berakhir dalam kematian (Maryam, 2008). Namun proses penuaan

seringkali disertai dengan hadirnya penyakit degeneratif, seperti hipertensi.

Sebagaimana data Puskesmas Surabaya pada bulan Oktober 2016 yang

menunjukkan bahwa hipertensi menjadi penyakit tersering yang dialami oleh

lansia yang tinggal di wilayah kerja puskesmas tersebut.

Hipertensi merupakan masalah serius yang sudah mendunia, karena

tingkat keganasan akibat komplikasi yang tinggi diantaranya kecacatan

permanen dan kematian mendadak akibat krisis hipertensi dan stroke

(Chobanian et al., 2003). Hipertensi sering disebut sebagai salah satu silent

killer karena datang secara bertahap dan sering tidak ada gejala awitan,
penderita akan merasakan gejala ketika penyakit ini sudah disertai komplikasi

(Tymbi et al., 1998).

Angka kejadian kasus hipertensi pada lansia di Jawa Timur termasuk pada

kategori tinggi. Data Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa angka kejadian

Hipertensi di Jawa Timur mencapai 16,6 % dari total penduduk Jawa Timur.

Secara sesifik di wilayah kerja Puskesmas Dupak Surabaya tahun 2016,

hipertensi merupakan penyakit tertinggi yang dialami oleh lansia 31% lansia

yang menderita hipertensi, sebanyak 42,6%-51,45% di antaranya tidak patuh

untuk menjalani pemeriksaan kesehatan rutin sebagaimana terjadwal di

puskesmas.

Kepatuhan (adherence) adalah tingkat pasien dalam melaksanakan

cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh petugas kesehatan. Secara

umum perilaku kepatuhan akan memeriksakan kesehatan dipengaruhi oleh

beberapa faktor, yaitu: pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pengetahuan,

sikap, anjuran, biaya berobat, jarak pelayanan dan sikap petugas, yang pada

akhirnya akan berakibat fatal (Green, 1980; Notoatmodjo, Wuryaningsih,

2000 dalam Hudan 2013).

Salah satu penyakit yang dapat ditimbulkan karena ketidakpatuhan

tersebut adalah cerebrobascular accident atau stroke. Stroke dapat timbul

akibat tekanan darah yang tinggi di otak, atau akibat embolus yang terlepas

dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi

pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak

mengalami hipertropi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah

yang diperdarahinya berkurang. (Corwin, 2005).


Oleh karena itu, peran dan motivasi keluarga dalam memotivasi lansia

dalam memeriksakan lansia dengan hipertensi sangat diperlukan agar status

kesehatan lansia yang ditunjukkan dengan tekanan darah dalam rentang

normal dari kepatuhan saat kontrol ke petugas kesehatan terdekat. Namun,

hubungan anara peran dan motivasi keluarga dengan hipertensi membutuhkan

penjelasan ilmiah.

Berdasarkan fenomena diatas menarik peneliti untuk melakukan

penelitian yang berjudul hubungan antara peran dan motivasi keluarga dengan

tingkat kepatuhan pada lansia untuk kontrol hipertensi.

1.2 Identifikasi Masalah

Angka kejadian Hipertensi di Jawa Timur mencapai 16,6 % dari


total penduduk Jawa Timur. Data Puskesmas Dupak Surabaya
tahun 2016, menunjukkan bahwa hipertensi merupakan penyakit
tersering yang dialami oleh lansia (42,6%)

Terdapat 51,45% penderita tidak patuh untuk kontrol hipertensi


setiap bulan

Kepatuhan adalah tingkat pasien dalam melaksanakan cara


pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh tenaga kesehatan.
Keluarga memiliki peran dan motivasi terhadap tingkat kepatuhan
pada lansia untuk kontrol hipertensi

Ketidakpatuhan lansia untuk kontrol hipertensi di wilayah kerja


Puskesmas Dupak belum dapat dijelaskan

Oleh karena itu kontrol hipertensi sangat penting untuk dilakukan.


Fenomena diatas menarik peneliti untuk melakukan penelitian yang
berjudul hubungan antara peran dan motivasi keluarga dengan tingkat
kepatuhan pada lansia untuk kontrol hipertensi
1.3 Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara peran dan motivasi keluarga dengan tingkat

kepatuhan pada lansia untuk kontrol hipertensi?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Menjelaskan hubungan antara peran dan motivasi keluarga dengan tingkat

kepatuhan lansia untuk kontrol hipertensi?

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi peran dan motivasi keluarga pada lansia untuk

kontrol hipertensi

2. Mengidentifikasi tingkat kepatuhan lansia untuk kontrol hipertensi

3. Menjelaskan hubungan antara peran dan motivasi keluarga pada lansia

untuk kontrol hipertensi

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Teoritis

Hasil Penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi ilmiah dalam

pengembangan ilmu keperawatan khususnya keperawatan komunitas

dalam hal hubungan antara peran dan motivasi keluarga dengan tingkat

kepatuhan lansia untuk control hipertensi.

1.5.2 Praktis

1. Bagi Puskesmas Teling


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif

bagi instansi mengenai pentingnya peran dan motivasi keluarga pada

tingkat kepatuhan lansia untuk kontrol hipertensi.

2. Bagi Keluarga sebagai responden

Responden dalam penelitian ini akan mendapatkan kesempatan

pendidikan kesehatan tentang pentingnya peran dan motivasi keluarga

terhadap kepatuhan kontrol hipertensi

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya

khususnya yang terkait peran dan motivasi keluarga serta tingkat

kepatuhan lansia untuk kontrol hipertensi.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Keluarga

2.1.1 Definisi Keluarga

Keluarga adalah suatu ikatan atas dasar perkawinan antara orang

dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki

atau seorang perempuan yang sudah sendiri dengan atau tanpa anak, dan

tinggal disuatu rumah tangga. Menurut UU No. 10 1992 tentang

perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera

(Suprajitno, 2004). Keluarga merupakan subsistem komunikasi sebagai

sistem sosial yang bersifat unik dan dinamis. Oleh Karena itu perawat

komunitas perlu memberikan intervensi pada keluarga untuk membantu

keluarga dalam peningkatan pemberdayaan peran keluarga. Allender &

Spradley, (1997, dalam achjar, 2010) memberikan alasan mengapa

keluarga menjadi penting, karena keluarga sebagai sistem, membutuhkan

pelayanan kesehatan seperti halnya individu agar dapat meilakukan tugas

sesuai perkembangannya. Tingkat kesehatan individu berkaitan dengan

tingkat kesehatan keluarga, begitu juga sebaliknya dan tingkat fungsional

keluarga sebagai unit terkecil dari komunitas dapat mempengaruhi derajat

kesehatan sistem diatasnya. Keluarga sebagai suatu sistem, dimana sistem

keluarga merupakan bagian dari suprasistem yang lebih besar dan disusun

dari beberapa subsistem, perubahan pada salah satu anggota keluarga akan

mempengaruhi semua anggota keluarga. Mempelajari keluarga secara utuh


lebih mudah dari pada mempelajari masing-masing anggotanya (Achjar,

2010).

2.1.2 Fungsi Keluarga

Adapun fungsi keluarga secara spesifik menurut siswanto (2006),

adalah sebagai berikut :

1. Reproduksi Fungsi keluarga bukan hanya mempertahankan dan

mengembangkan keturunan atau generasi, tetapi juga merupakan tempat

mengembangkan fungsi reproduksi secara universal (menyeluruh), diantaranya :

seks yang sehat dan berkualitas, pendidikan seks bagi anak, dan yang lain.

2. Sosialisasi Anak akan menyesuaikan diri dengan kebudayaan, kebiasaan, dan

situasi sosial dalam perkembangan perilakunya, akan ada proses pembentukan

identitas diri dalam proses hubungan anak dengan anggota keluarga yang lain.

Akhirnya anak akan belajar peran model sesuai dengan jenis kelaminnya dan akan

berusaha menjalankan apa yang menjadi tanggung jawabnya.

3. Pertumbuhan Individu Di dalam keluarga individu (anak) akan tumbuh dan

berkembang menjadi individu yang matang (mature) dan mandiri (independence).

Kemantangan individu meliputi fisik dan psikisnya. Fungsi keluarga dalam

memenuhi kebutuhan fisik dan psikis berupa kebutuhan makan dan pembinaaan

kepribadian.

4. Pendidikan Pada dasarnya, ketika seseorang telah terlahir ke dunia ia telah

dilengkapi berbagai perangkat seperti panca indera dan akal untuk menyerap

berbagai ilmu. Keluarga mempunyai peran dan tanggung jawab yang besar
terhadap pendidikan anak-anaknya dalam menambah dan mengasah ilmu untuk

menghadapi kehidupan dewasanya.

5. Religius (Agama dan Keyakinan) Fungsi keluarga dalam hal ini yakni membina

norma/ajaran agama sebagai dasar dan tujuan hidup seluruh anggota keluarga,

memberikan contoh konkret dalam hidup sehari-hari dalam pengalaman dari

ajaran agama, melengkapi dan menambah proses kegiatan belajar anak tentang

keagamaan yang tidak atau kurang diperolehnya di sekolah dan masyarakat, dan

membina rasa, sikap, dan praktik kehidupan berkeluarga beragama sebagai

fondasi menuju Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera.

6. Rekreasi Keluarga merupakan tempat untuk melakukan kegiatan yang dapat

mengurangi ketegangan akibat berada di rumah maupun di luar rumah.

7. Perawatan Kesehatan Keluarga masih merupakan unit utama dimana

pencegahan dan pengobatan penyakit dilakukan. Masih sangat ditemukan

keterlibatan dan dukungan dalam keluarga dimana tanpa hal ini proses rehabilitas

akan susah dilakukan di dalam keluarga.

2.1.3 Tipe Keluarga

Menurut Suprajitno (2004), pembagian tipe keluarga bergantung

pada konteks keilmuan dan orang yang mengelompokkan. Secara

tradisional keluarga dikelompokkan menjadi dua tipe yaitu :

1. Keluarga Inti (Nuclear Family) Adalah keluarga yang hanya terdiri ayah, ibu,

dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau keduanya.

2. Keluarga Besar (Extended Family) Adalah keluarga inti ditambahkan anggota

keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (kakek-nenek, paman-bibi).

Namun, dengan berkembangnya peran individu dan meningkatnya rasa


individualisme, pengelompokan tipe keluarga selain kedua di atas berkembang

menjadi :

1. Keluarga bentukan kembali (Dyadic Family) Adalah keluarga baru yang

terbentuk dari pasangan yang telah cerai atau kehilangan pasanganya.

2. Orang tua tunggal (single parent family) Adalah keluarga yang terdiri dari salah

satu orang tua dengan anak-anak akibat perceraian atau ditinggal pasangannya.

3. Ibu dengan anak tanpa perkawinan ( The unmarried teenage mother)

4. Orang dewasa (laki-laki atau perempuan) yang tinggal sendiri tanpa pernah

menikah

5. Keluarga dengan anak tanpa pernikahan sebelumnya ( The nonmarital

heterosexual cohabiting family).

6. Keluarga yang dibentuk oleh pasangan yang berjenis kelamin sama (Gay and

lesbian family). Terdiri dari kelompok orang-orang yang benar-benar

dihubungkan dengan ikatan darah dan hidup bersama dengan ideology yang sama

atau kepentingan ekonomi yang sama.

2.1.4 Tugas keluarga

Di Bidang Kesehatan sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan,

keluarga mempunyai peran di bidang kesehatan meliputi :

1. Ketidakmampuan keluarga mengenal masalah kesehatan, termasuk

bagaimana persepsi keluarga terhadap tingkat keparahan penyakit,

pengertian, tanda dan gejala, faktor penyebab dan persepsi keluarga

terhadap masalah yang dialami keluarga.

2. Ketidakmampuan keluarga mengambil keputusan, termasuk sejauh mana

keluarga mengerti mengenai sifat dan luasnya masalah, bagaimana


masalah dirasakan oleh keluarga, keluarga menyerah atau tidak terhadap

masalah yang dihadapi, adakah rasa takut terhadap akibat atau adakah

sikap negatif dari keluarga terhadap masalah kesehatan, bagaimana system

pengambilan keputusan yang dilakukan keluarga terhadap anggota

keluarga yang sakit.

3. Ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga yang sakit, seperti

bagaimana keluarga mengetahui keadaan sakitnya, sifat dan

perkembangan perawatan yang diperlukan, sumber-sumber yang ada

dalam keluarga serta sikap keluarga terhadap yang sakit.

4. Ketidakmampuan keluarga memodifikasi lingkungan, seperti pentingnya

hygiene sanitasi bagi keluarga, upaya pencegahan penyakit yang dilakukan

keluarga, upaya pemeliharaan lingkungan yang dilakukan keluarga,

kekompakkan anggota keluarga dalam menata lingkungan dalam dan luar

rumah yang berdampak terhadap kesehatan keluarga.

5. Ketidakmampuan keluarga memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan,

seperti kepercayaan keluarga terhadap petugas kesehatan dan fasilitas

pelayanan kesehatan, keberadaan fasilitas kesehatan yang ada, keuntungan

keluarga terhadap penggunaan fasilitas kesehatan, apakah pelayanan

kesehatan terjangkau oleh keluarga, adakah pengalaman yang kurang baik

yang dipersepsikan keluarga (Achajar, 2010).

2.2 Konsep Lansia

2.2.1 Definisi lansia


Usia lanjut (lansia) adalah individu yang berusia diatas 60 tahun,

pada umumya memiliki tanda-tanda terjadinya penurunan fungsi-fungsi

biologis, psikologis, soaial, ekonomi (BKKBN, 1995 dalam Mubarok,

2006). Menurut WHO lanjut usia meliputi usia pertengahan (middle age)

yaitu kelompok usia 45 tahun sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly) yaitu

usia 60 sampai 74 tahun, lanjut usia tua (old) yaitu antara 75 tahun sampai

90 tahun dan usia sangat tua (very old) yaitu diatas 90 tahun (Nugroho,

2008).

Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi didalam

kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup,

tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak

permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamia, yang berarti

seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu anak, dewasa, dan

tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologi maupun psikologi.

Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, contohnya

kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut

memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan

semangkin memburuk, gerakan lambat, dan figure tubuh yang tidak

proposional. WHO dan Undang-Undang nomor 13 tahun 1998 tentang

kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa

umur 60 tahun adalah usia permulaan tua. Menua bukanlah suatu penyakit,

tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan

yang kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam


menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh yang berakhir dalam

kematian (Maryam, 2008).

Dalam Buku Ajar Geriatri, Prof.Dr. R. Boedhi Darmojo dan Dr. H.

Hadi Martono (1994) mengatakan bahwa ―menua‖ (menjadi tua) adalah

suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk

memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan

fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk

infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Dari pernyataan

tersebut, dapat disimpulkan bahwa manusia secara perlahan memgalami

kemunduran struktur dan fungsi organ. Kondisi ini dapat memengaruhi

kemandirian dan kesehatan lanjut usia, termasuk kehidupan seksualnya.

Proses menua merupakan proses terus - menurus atau berkelanjutan secara alami

dan umumnya dialami oleh semua mahluk hidup. Misalnya, terjadinya kehilangan

pada otak, susunan saraf, dan jaringan lain, hingga tubuh ‖mati‖ sedikit demi

sedikti. Kecepatan proses menua setiap individu pada organ tubuh tidak akan

sama. Ada kalanya seseorang tergolong lanjut usia atau masih muda, tetapi telah

menunjukan kekurangan yang mencolok (deskripansi). Ada pula orang telah

tergolong lanjut usia, penampilan masih sehat, segar bugar, dan badan tegak.

Walaupun demikian, harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering

dialami lanjut usia. Manusia secara lambat dan progresif akan kehilangan daya

tahan terhadap infeksi dan akan menempuh semangkin banyak penyakit

degenerative (misalnya: hipertensi, arteriosklerosis, diabetes melitus, dan kanker)

yang akan menyebabkan berakhirnya hidup dengan episode terminal yang


dramatis, misanya: stroke, inframiokard, koma asidotik, kanker metastasis, dan

sebagainya.

Proses menua merupakan kombinasi bermacam-macam faktor

yang saling berkaitan. Sampai saat ini, banyak teori yang menjelaskan

tentang proses menua yang tidak seragam. Secara umum, proses menua

didefinisikan sebagai perubahan yang terkait waktu, bersifat universal,

intrinsik, progesif, dan detrimental. Keadaan tersebut dapat menyebabkan

berkurangnya kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan untuk dapat

bertahan hidup. Berikut akan di kemukakan bermacam-macam teori proses

menua yang penting.

2.2.2 Klasifikasi lansia

1. Departemen Kesehatan RI membagi lansia sebagai berikut:

1) Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai masa virilitas

2) Kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai presenium

3) Kelompok usia lanjut (kurang dari 65 tahun) senium

2. Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), usia lanjut dibagi menjadi empat

kriteria berikut ini:

1) Usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun

2) Usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun

3) Usia tua (old) antara 75-90 tahun

4) Usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun

3. Menurut pasal 1 Undang-Undang no. 4 tahun 1965:


―Seseorang dikatakan sebagai orang jompo atau usia lanjut setelah yang

bersangkutan mencapai usia 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya

mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari, dan menerima

nafkah dari orang lain‖ (Santoso, 2009).

2.2.3 Karakteristik lansia

Menurut Keliat dalam Maryam (2008), lansia memiliki

karakteristik sebagai berikut:

1. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UU No.13

tentang kesehatan)

2. Kebutuan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,

dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif

hingga kondisi maladaptif

3. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.

Karakteristik penyakit yang dijumpai pada lansia diantaranya:

1) Penyakit yang sering multipel, saling berhubungan satu sama lain

2) Penyakit bersifat degeneratif, serta menimbulkan kecacatan

3) Gejala sering tidak jelas, berkembang secara perlahan

4) Masalah psikologis dan sosial sering terjadi bersamaan

5) Lansia sangat peka terhadap penyakit infeksi akut

6) Sering terjadi penyakit yang bersifat iatrogenik

2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi penuaan


Faktor-faktor yang mempengaruhi penuaan dan penyakit yang

sering terjadi pada lansia di antaranya hereditas, atau keturunan genetik,

nutrisi atau makanan, status kesehatan, pengalaman hidup, lingkungan dan

stress (Santoso, 2009).

2.2.5 Perubahan yang terjadi pada lansia

Perubahan yang terjadi pada lansia diantaranya (Santoso, 2009):

1. Perubahan kondisi fisik

Perubahan pada kondisi fisik pada lansia meliputi perubahan dari

tingkat sel sampai ke semua sistem organ tubuh, diantaranya sistem

pernafasan, pendengaran, penglihatan, kardiovaskuler, sistem pengaturan

tubuh, muskolosketal, gastrointestinal, urogenital, endokrin, dan

integumen. Masalah fisik sehari-hari yang sering ditemukan pada lansia

diantaranya lansia mudah jatuh, mudah lelah, kekacuan mental akut, nyeri

pada dada, berdebar-debar, sesak nafas, pada saat melakukan

aktifitas/kerja fisik, pembengkakan pada kaki bawah, nyeri pinggang atau

punggung, nyeri sendi pinggul, sulit tidur, sering pusing, berat badan

menurun, gangguan pada fungsi penglihatan, pendengaran, dan sulit

menahan kencing.

2. Perubahan kondisi mental

Pada umumnya lansia mengalami penurunann fungsi kognitif dan

psikomotor. Perubahan-perubahan ini erat sekali kaitannya dengan

perubahan fisik, keadaan kesehatan, tingkat pendidikan atau pengetahuan,

dan situasi lingkungan. Dari segi mental dan emosional sering muncul
perasaan pesimis, timbulnya perasaan tidak aman dan cemas. Adanya

kekacauan mental akut, merasa terancam akan timbulnya suatu penyakit

atau takut ditelantarkan karena tidak berguna lagi. Hal ini bisa

meyebabkan lansia mengalami depresi.

3. Perubahan psikososial

Masalah perubahan psikososial serta reaksi individu terhadap

perubahan ini sangat beragam, bergantung pada kepribadian individu yang

bersangkuatan.

4. Perubahan kognitif

Perubahan pada fungsi kognitif di antaranya adalah kemunduran

pada tugas-tugas yang membutuhkan kecepatan dan tugas yang

memerlukan memori jangka pendek, kemampuan intelektual tidak

mengalami kemunduran, dan kemampuan verbal akan menetap bila tidak

ada penyakit yang menyertai.

5. Perubahan spiritual

Menurut Maslow (1970), agama dan kepercayaan makin

terintegrasi dalam kehidupannya.

2.3 Konsep Peran

2.3.1 Defenisi Peran

Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang

lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran

merujuk kepada beberapa perilaku yang kurang lebih bersifat homogen,

yang didefenisikan dan diharapkan secara normative dari seseorang peran

dalam situasi social tertentu (Mubarak, 2009). Peran keluarga adalah


tingkah laku spesifik yang diharapkan oleh seseorang dalam konteks

keluarga. Jadi peran keluarga menggambarkan seperangkat perilaku

interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam

posisi dan situasi tertentu. Peran individu dalam keluarga didasari oleh

harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat

( Setiadi, 2008).

2.3.2 Peran Ayah

1. Ayah sebagai sex partner

Ayah merupakan sex partner yang setia bagi istrinya. Sebagai sex

partner, seorang ayah harus dapat melaksanakan peran ini dengan diliputi

oleh rasa cinta kasih yang mendalam. Seorang ayah harus mampu

mencintai istrinya dan jangan minta dicintai oleh istrinya.

2. Ayah sebagai pencari nafkah

Tugas ayah sebagai pencari nafkah merupakan tugas yang sangat

penting dalam keluarga. Penghasilan yang cukup dalam keluarga

mempunyai damapak yang baik sekali dalam keluarga. Penghasilan yang

kurang cukup menyebabkan kehidupan keluarga yang kurang lancar.

Lemah kuatnya ekonomi tergantung pada penghasilan ayah. Sebab segala

segi kehidupan dalam keluarga perlu biaya untuk sandang, pangan,

perumahan, pendidikan dan pengobatan. Untuk seorang ayah harus

mempunyai pekerjaan yang hasilnya dapat dipergunakan untuk mencukupi

kebutuhan keluarga.

1. Ayah sebagai pendidik


Peran ayah sebagai pendidik merupakan peran yang penting. Sebab

peran ini menyangkut perkembangan peran dan pertumbuhan pribadi anak.

Ayah sebagai pendidik terutama menyangkut pendidikan yang bersifat

rasional. Pendidikan mulai diperlukan sejak anak umur tiga tahun ke atas,

yaitu saat anak mulai mengembangkan ego dan super egonya. Kekuatan

ego (aku) ini sangat diperlukan untuk mengembangkan kemampuan

realitas hidup yang terdiri dari segala jenis persoalan yang harus

dipecahkan. Jika peran ini difokuskan pada keinginan orangtua ataupun

ayahnya maka tumbuh kembang anak terganggu baik fisik maupun

psikologinya. Dan akan merasa tertekan, jika hal ini berkelanjutan akan

menimbulkan dampak pada psikologi yang abnormal seperti depresi, sifat

yang agresif dan gangguan psikologi yang lain (Hurerah, 2007).

2. Ayah sebagai tokoh dan identifikasi anak

Ayah sebgai modal sangat diperlukan bagi anak-anak untuk

identifikasi diri dalam rangka membentuk super ego (aku ideal) yang kuat.

Super ego merupakan fungsi kepribadian yang memberikan pegangan

hidup yang benar, susila dan baik. Oleh karena itu seorang ayah harus

memiliki pribadi yang kuat. Pribadi ayah yang kuat akan memberikan

makna bagi pembentukan pribadi anak. Pribadi anak mulai terbentuk sejak

anak itu mencari “aku” dirinya. Aku ini akan terbentuk dengan baik jika

ayah sebagai model dapat memberikan kepuasaan bagi anak untuk

identifikasi diri. Jika ayah menunjukkan sifat yang keras dalam

memberikan pengasuhan kepada anak maka ketika dewasa anak akan

membawa sifat yang sering dirasakan sewaktu masa kecil (Shochib, 1998).
3. Ayah sebagai pembantu pengurus rumah tangga

Pengurusan rumah tangga merupakan tanggung jawab ibu sebagai

istri. Dalam perkembangan lebih lanjut maka ayah diperlukan sebagai

pengelola kerumahtanggaan. Sebab keluarga merupakan lembaga social

yang mengelola segala keperluan yang menyangkut banyak segi. Oleh

karena itu ayah sebagai kepala keluarga juga ikut bertanggung jawab

dalam jalannya keluarga sebagai lembaga social yang memerankan

berbagai fungsi kehidupan menusia. Dari uraian tersebut dapat

disimpulkan bahwa ayah mempunyai banyak peran (berperan ganda).

Agar dapat melaksanakan peran ganda ini maka seorang ayah dituntut

untuk bekerja keras,dan berpengetahuan yang memadai. Pengetahuan

sangat diperlukan karena persoalan-persoalan kehidupan makin lama

makin sulit dan kompleks.

2.3.3 Peran ibu

1. Sebagai ibu dan pendidik

Peran ini dapat dipenuhi dengan baik, bila ibu mampu menciptakan

iklim psikis yang gembira, bahagia dan bebas sehingga suasana rumah

tangga menjadi semarak dan bisa memberikan rasa aman, bebas, hangat,

menyenangkan serta penuh kasih sayang. Dengan begitu anak-anak dan

suami akan betah tinggal di rumah. Iklim psikologis penuh kasih sayang,

kesabaran, ketenangan, dan kehangatan itu memberikan semacam vitamin

psikologi yang merangsang pertumbuhan anak-anak menuju pada

kedewasaan.

2.Sebagai pengatur rumah tangga


Peran ini sangat berat. Dalam hal ini terdapat relasi-relasi formal

dan semacam pembangian kerja (devesion of labour) : dimana suami

terutama sekali bertindak sebagai pencari nafkah, dan istri berfungsi

sebagai pengurus rumah tangga, tetapi sering kali juga berperan sebagai

pencari nafkah. Dalam hal ini ibu harus mampu membagi waktu dan

tenaga karena jika tidak ada keseimbangan antara pekerjaan dengan peran

sebagai ibu untuk anak-anak, inilah yang mengakibatkan anak menjadi

terlantar sehingga anak-anak merasa tidak disayang dalam keluarga.

3. Sebagai partner hidup

Peran ini ditujukan bagi suami yang memerlukan kebijaksanaan,

mampu berpikir luas, dan sanggup mengikuti gerak langkah karir

suaminya. Sehingga akan terdapat kesamaan pandangan, perasaan, dan

berinteraksi secara lancar dengan mereka.

2.3.4 Peran anak

Peran anak dalam keluarga untuk melaksanakan peranan

psikososial sesuai dengan tingakat perkembangannya baik fisik, mental,

social, dan spiritual ( Setiadi, 2008). Menurut Mubarak, dkk (2009)

terdapat dua peran yang mempengaruhi keluarga yaitu peran formal dan

informal.

1. Peran Formal

Peran formal keluarga adalah peran-peran keluarga terkait

sejumlah perilaku yang berkurang lebih bersifat hpmogen. Keluarga

membagi peran secara merata kepada para anggotanya seperti cara

masyarakat membagi peran-perannya menurut pentingnya pelaksanaan


peran bagi berfungsinya suatu sistem. Peran dasar yang membentuk posisi

sosial sebagai suami-ayah dan istri-ibu antara lain sebagai provider atau

penyedia, pengatur rumah tangga perawat anak baik sehat maupun sakit,

sosialisasi anak, rekreasi, memelihara hubungan keluarga paternal dan

maternal, peran tearupetik (memenuhi kebutuhan afektif dari pasangan),

dan peran sosial.

2. Peran Informal

Peran-peran informal bersifat implicit, biasanya tidak tampak, hanya

untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan emosional individu atau untuk

menjaga keseimbangan dalam keluarga. Peran adaptif antara lain :

a. Pendorong memiliki arti bahwa dalam keluarga terjadi kegiatan

mendorong, memuji, dan menerima konstribusi dari orang lain.

Sehingga ia dapat memukul orang lain dan membuat mereka merasa

bahwa pemikiran mereka penting dan bernilai untuk di dengarkan.

b. Pengharmonisan yaitu berperan menengahi perbedaan yang terdapat

diantara para anggota, penghibur, dan menyatukan kembali perbedaan

pendapat.

c. Inisiator-inisiator yang mengemukakan dan mengajukan ide-ide baru

atau cara-cara mengingat masalah-masalah atau tujuan-tujuan kelompok

d. Pendamai berarti jika terjadi dalam keluarga maka konflik dapat

diselesaikan dengan jalan musyawarah atau damai.

e. Pencari nafkah yaitu peran yang dijalankan oleh orang tua dalam

memnuhi kebutuhan,baik material maupun non material anggota

keluarganya
f. Perawatan keluarga adalah peran yang dijalankan terkait merawat

anggota keluarga jika ada yang sakit.

g. Penghubung keluarga adalah penghubung, biasanya ibu mengirim dan

memonitori komunikasi dalam keluarga.

h. Poinir keluarga adalah membawa keluarga pindah ke suatu wilayah

asing mendapat pengalaman baru.

i. Sahabat, penghibur, dan coordinator yang berarti mengorganisasikan

dan merencanakan kegiatan-kegiatan keluarga yang berfungsi

mengangkat keakraban dan memerangi kepedihan.

j. Pengikut dan sanksi, kecuali dalam beberapa hal, sanksi lebih pasif,

sanksi hanya mengamati dan tidak melibatkan dirinya.

2.3.5 Peran keluarga dibidang kesehatan

Keluarga juga berperan atau berfungsi untuk melaksanakan praktek

asuhan keparawatan, yaitu untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan

dan atau merawat anggota keluarga yang sakit. Kemampuan keluarga

dalam memberikan asuhan keperawatan mempengaruhi status kesehatan

keluarga. Kesanggupan keluarga melaksanakan pemeliharaan kesehatan

dapat dilihat dan tugas kesehatan keluarga yang dilaksanakan. Keluarga

yang dapat melaksanakan tugas kesehatan berarti sanggup menyelesaikan

masalah kesehatan (Setyowati, 2008).

Di Bidang Kesehatan sesuai dengan fungsi pemeliharaan

kesehatan, keluarga mempunyai peran di bidang kesehatan meliputi :

1. Mengenal masalah kesehatan keluarga,

2. Memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga,


3. Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan,

4. Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan

keluarga,

5. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi

keluarga (Friedman, 1981 dalam Achjar, 2010).

2.4 Konsep Hipertensi :

2.4.1 Definisi

Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten

dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan diastoliknya di atas 90

mmHg (Smeltzer dan Bare, 2001 dalam Ahmad, 2009). Menurut WHO

(World Health Organization), batas normal adalah 120-140 mmHg sistolik

dan 80-90 mmHg diastolik. Jadi seseorang disebut mengidap hipertensi

jika tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 95

mmHg, dan tekanan darah perbatasan bila tekanan darah sistolik antara

140 mmHg-160 mmHg dan tekanan darah diastolik antara 90 mmHg-95

mmHg (Poerwati, 2008). Sedangkan menurut lembaga-lembaga kesehatan

nasional (The National Institutes of Health) mendefinisikan hipertensi

sebagai tekanan sistolik yang sama atau di atas 140 dan tekanan diastolik

yang sama atau di atas 90 (Diehl, 2007).

2.4.2 Klasifikasi Hipertensi

Berdasarkan penyebab dikenal 2 jenis hipertensi, yaitu :


1. Hipertensi primer

Hipertensi primer juga disebut hipertensi ‘esensial’ atau ‘idiopatik’

dan merupakan 95% dari kasus-kasus hipertensi. Selama 75 tahun terakhir

telah banyak penelitian untuk mencari etiologinya. Tekanan darah

merupakan hasil curah jantung dan resistensi vascular, sehingga tekanan

darah meningkat jika curah jantung meningkat, resistensi vascular perifer

bertambah, atau keduanya. Beberapa faktor yang pernah dikemukakan

relevan terhadap mekanisme penyebab hipertensi yaitu, genetik,

lingkungan, jenis kelamin, dan natrium (gray.dkk, 2005).

2. Hipertensi renal atau hipertensi sekunder

Sekitar 5% kasus hipertensi telah diketahui penyebabnya, dan

dapat dikelompokkan seperti, penyakit parengkim ginjal (3%) dimana

setiap penyebab gagal ginjal (glomerulonefritis, pielonefritis, sebab-sebab

penyumbatan) yang menyebabkan kerusakan parenkim akan cenderung

menimbulkan hipertensi dan hipertensi itu sendiri akan mengakibatkan

kerusakan ginjal. Penyakit renovaskular (1%) dimana terdiri atas penyakit

yang menyebabkan gangguan pasokan darah ginjal dan secara umum di

bagi atas aterosklerosis dan fibrodisplasia. Endokrin (1%) jika terdapa

hipokalemia bersama hipertensi, tingginya kadar aldosteron dan rennin

yang rendah akan mengakibatkan kelebihan-kelebihan (overload) natrium

dan air (Gray, dkk. 2005).

2.4.3. Kriteria Hipertensi

Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, tekanan darah umumnya

diukur dengan manometer air raksa yang dinyatakan sebagai rasio sistolik
dan diastolik, misalnya 120/70, yang berarti tekanan sistolik adalah 120

mmHg dan diastolik 70 mmHg (Soeharto, 2004) Dari berbagai

kepustakaan disebutkan kriteria tekanan darah orang dewasa sebagai

berikut.

Tabel 2.1 Kriteria Hipertensi

Sistolik Diastolik
˂ 130 131 – 159 ˂ 85 86 - 99 100 Normal Hipertensi
160 – 179 180 – – 109 110 – 119 ringan Hipertensi
209 ˃ 210 ˃ 120 sedang Hipertensi
berat Hipertensi
sangat berat

2.2.4 Tanda dan Gejala

Secara umum, tekanan darah tinggi ringan tidak terasa dan tidak

mempunyai tanda-tanda. Boleh jadi berlangsung selama beberapa tahun

tanpa disadari oleh orang tersebut. Sering hal itu ketahuan tiba-tiba,

misalnya pada waktu mengadakan pemeriksaan kesehatan, atau pada saat

mengadakan pemeriksaan untuk asuransi jiwa. Kadang-kadang tanda-

tanda tekanan darah tinggi yang digambarkan itu adalah sakit kepala,

pusing, gugup, dan palpitasi (Knight, 2006). Pada sebagian orang, tanda

pertama naiknya tekanan darahnya ialah apabila terjadi komplikasi. Tanda

yang umum ialah sesak nafas pada waktu kerja keras. Ini menunjukkan

bahwa otot jantung itu sudah turut terpengaruh sehingga tenaganya sudah

berkurang yang ditandai dengan sesak nafas. Pada pemeriksaan fisik, tidak

dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat

pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat

(kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat,


edema pupil(edema pada diskus optikus) dan penglihatan kabur (Knight,

2006).

Hipertensi tidak memberikan tanda-tanda pada tingkat awal.

Kebanyakan orang mengira bahwa sakit kepala terutama pada pagi hari,

pusing, berdebar-debar, dan berdengung ditelinga merupakan tanda-tanda

hipertensi. Tanda-tanda tersebut sesungguhnya dapat terjadi pada tekanan

darah normal, bahkan seringkali tekanan darah yang relatif tinggi tidak

memiliki tanda-tanda tersebut. Cara yang tepat untuk meyakinkan

seseorang memiliki tekanan darah tinggi adalah dengan mengukur

tekanannya. Hipertensi sudah mencapai taraf lanjut, yang berarti telah

berlangsung beberapa tahun, akan menyebabkan sakit kepala, pusing,

napas pendek, pandangan mata kabur, dan mengganggu tidur (Soeharto,

2004).

2.4.5 Faktor-Faktor Risiko Hipertensi

1. Genetik

Dibanding orang kulit putih, orang kulit hitam di negara barat lebih

banyak menderita hipertensi, lebih tinggi hipertensinya, dan lebih besar

tingkat morbiditasnya maupun mortilitasnya, sehingga diperkirakan ada

kaitan hipertensi dengan perbedaan genetik. Beberapa peneliti mengatakan

terdapat kelainan pada gen angiotensinogen tetapi mekanismenya mungkin

bersifat poligenik (Gray.dkk, 2005)

2. Usia

Kebanyakan orang berusia di atas 60 tahun sering mengalami

hipertensi, bagi mereka yang mengalami hipertensi, risiko stroke dan


penyakit kardiovaskular yang lain akan meningkat bila tidak ditangani

secara benar (Soeharto, 2004).

3. Jenis kelamin

Hipertensi lebih jarang ditemukan pada perempuan pra-monopause

dibanding pria, yang menunjukkan adanya pengaruh hormon (Gray.dkk,

2005).

4. Geografi dan lingkungan

Terdapat perbedaan tekanan darah yang nyata antara populasi

kelompok daerah kurang makmur dengan daerah maju, seperti bangsa

Indian Amerika Selatan yang tekanan darahnya rendah dan tidak banyak

meningkat sesuai dengan pertambahan usia disbanding masyarakat barat

(Gray.dkk, 2005).

5. Pola hidup

Tingkah laku seseorang mempunyai peranan yang penting terhadap

timbulnya hipertensi. Mereka yang kelebihan berat badan di atas 30% ,

mengkonsumsi banyak garam dapur, dan tidak melakukan latihan mudah

terkena hipertensi (Soeharto, 2004).

6. Garam dapur

Sodium adalah mineral yang esensial bagi kesehatan. Ini mengatur

keseimbangan air didalam system pembuluh darah. Sebagian sodium

dalam diet datang dari makanan dalam bentuk garam dapur atau sodium

chlorid (NaCl). Pemasukan sodium mempengaruhi tingkat hipertensi.

Mengkonsumsi garam menyebabkan haus dan mendorong kita minum.

Hal ini meningkatkan volume darah didalam tubuh, yang berarti jantung
harus memompa lebih giat sehingga tekanan darah naik. Kenaikan ini

berakibat bagi ginjal yang harus menyaring lebih banyak garam dapur dan

air. Karena masukan (input) harus sama dengan pengeluaran (output)

dalam system pembuluh darah, jantung harus memompa lebih kuat dengan

tekanan darah tinggi (Soeharto, 2004).

7. Merokok

Merokok merupakan salah satu faktor yang dapat diubah, adapun

hubungan merokok dengan hipertensi adalah nikotin akan menyebabkan

peningkatan tekana darah karena nikotin akan diserap pembulu darah kecil

dalam paru-paru dan diedarkan oleh pembuluh darah hingga ke otak, otak

akan bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar

adrenal untuk melepas Efinefrin (Adrenalin). Hormon yang kuat ini akan

menyempitkan pembulu darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih

berat karena tekanan yang lebih tinggi.Selain itu, karbon monoksida dalam

asap rokokmenggantikan oksigen dalam darah. Hal ini akan

menagakibatkan tekanan darah karena jantung dipaksa memompa untuk

memasukkan oksigen yang cukup kedalam organ dan jaringan tubuh

( Astawan, 2002 dalam wijaya, 2009 ).

2.4.6 Komplikasi

Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak, atau

akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan

tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-
arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertropi dan menebal,

sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya berkurang.

Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga

meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma (Corwin, 2005).

Gejala terkena stroke adalah sakit kepala secara tiba-tiba, seperti, orang

bingung, limbung atau bertingkah laku seperti orang mabuk, salah satu

bagian tubuh terasa lemah atau sulit digerakan (misalnya wajah, mulut,

atau lengan terasa kaku, tidak dapat berbicara secara jelas) serta tidak

sadarkan diri secara mendadak (Santoso, 2006).

Infark Miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang

arterosklerosis tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau

apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah melalui

pembuluh darah tersebut. Karena hipertensi kronik dan hipertensi

ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat

terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark.

Demikian juga hipertropi ventrikel dapat menimbulkan perubahan-

perubahan waktu hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi

disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan resiko pembentukan bekuan

(Corwin, 2002). Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif

akibat tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal, glomerolus. Dengan

rusaknya glomerolus, darah akan mengalir keunit-unit fungsional ginjal,

nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan kematian.

Dengan rusaknya membran glomerolus, protein akan keluar melalui urin

sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan edema


yang sering dijumpai pada hipertensi kronik (Corwin, 2005). Gagal

jantung atau ketidakmampuan jantung dalam memompa darah yang

kembalinya kejantung dengan cepat mengakibatkan cairan terkumpul di

paru,kaki dan jaringan lain sering disebut edma.Cairan didalam paru –

paru menyebabkan sesak napas,timbunan cairan ditungkai menyebabkan

kaki bengkak atau sering dikatakan edema (Amir, 2002) Ensefalopati

dapat terjadi terjadi terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang

cepat). Tekanan yang tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan

tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang intertisium

diseluruh susunan saraf pusat. Neron- neron disekitarnya kolap dan terjadi

koma serta kematian (Corwin, 2005).

2.4.7 Pengobatan Hipertensi

1. Umum

Setelah diagnosa hipertensi ditegakkan dan diklasifikasikan menurut golongan

atau derajatnya, maka dapat dilakukan dua strategi penatalaknaan dasar yaitu :

a. Non farmakologik, yaitu tindakan untuk mengurangi faktor risiko yang telah

diketahui akan menyebabkan atau menimbulkan komplikasi, misalnya

menghilangkan obesitas, menghentikan kebiasaan merokok, alkohol, dan

mengurangi asupan garam serta rileks.

b. Farmakologik, yaitu memberikan obat anti hipertensi ygang telah terbukti

kegunaannya dan keamanannya bagi penderita

. Obat-obatan yang digunakan pada hipertensi adalah :

1) Diuretik, contohnya furosemide, triamferena, spironolactone

2) Beta blockers, contohnya metaprolol, atenolol, timolol


3) ACE-inhibitor, contohnya lisinopril, captopril, quinapril

4) Alpha-blockers, contohnya prazosin, terazosin

5) Antagonis kalsium, contohnya diltiazem, amlodipine, nifedipine

6) Vasodilator-direct, contohnya minixidil, mitralazine

7) Angiotensin reseptor antagonis, contohnya losartan.

8) False-neurotransmiter, contohnya clodine, metildopa, guanabens.

2. Khusus

Upaya terapi khusus ditujukan untuk penderita hipertensi sekunder

yang jumlahnya kurang lebih 10 % dari total penderita hipertensi. Tanda-

tanda dan penyebab hipertensi perlu dikenali sehingga penderita dapat di

rujuk lebih dini dan terapi yang tepat dapat dilakukan dengan cepat. Perlu

pemerikasaan dengan sarana yang canggih.

2.4.8 Pencegahan

Pencegahan lebih baik daripada pengobatan, demikian juga

terhadap hipertensi. Pada umumnya, orang berusaha mengenali hipertensi

jika dirinya atau keluarganya sakit keras atau meninggal dunia akibat

hipertensi. Tidak semua penderita hipertensi memerlukan obat. Apabila

hipertensinya tergolong ringan maka masih dapat dikontrol melalui sikap

hidup sehari-hari. Pengontrolan sikap hidup ini merupakan langkah

pencegahan amat baik agar penderita hipertensi tidak kambuh gejala

penyakitnya. Usaha pencegahan juga bermanfaat bagi penderita hipertensi

agar penyakitnya tidak menjadi parah, tentunya harus disertai pemakaian

obat-obatan yang ditentukan oleh dokter. Agar terhindar dari komplikasi

fatal hipertensi, harus diambil tindakan pencegahan yang baik (Stop High
Blood Pressure), antara lain dengan cara menghindari faktor risiko

hipertensi.

1. Pola makan

Makanan merupakan faktor penting yang menentukan tekanan

darah. Mengkonsumsi buah dan sayuran segar dan menerapkan pola

makan yang rendah lemak jenuh, kolesterol, lemak total, serta kaya akan

buah, sayur, serta produk susu rendah lemak telah terbukti secara klinis

dapat menurunkan tekanan darah. Untuk menanggulangi keadaan tekanan

darah yang tinggi, secara garis besar ada empat macam diet, yaitu :

a. Diet rendah garam

b. Diet rendah kolesterol dan lemak terbatas

c. Diet tinggi serat

d. Diet rendah kalori bagi yang kegemukan

2. Pola istirahat

Pemulihan anggota tubuh yang lelah beraktifitas sehari penuh

untuk menetralisir tekanan darah.

3. Pola aktivitas

Tekanan darah. Jenis latihan yang dapat mengontrol tekanan darah

yaitu : bejalan kaki, bersepeda, berenang, aerobik. Kegiatan atau pekerjaan

sehari-hari yang lebih aktif baik fisik maupun mental memerlukan energi /

kalori yang lebih banyak. Orang dengan gaya hidup yang tidak aktif akan

rentan terhadap tekanan darah tinggi. Melakukan olahraga secara teratur

tidak hanya menjaga bentuk dan berat badan, tetapi juga dapat

menurunkan tekanan darah.


4. Pengobatan

Hipertensi esensial tidak dapat diobati tetapi diberikan pengobatan

untuk mencegah terjadinya komplikasi. Langkah awal biasanya adalah

merubah pola hidup penderita:

1) Penderita hipertensi yang mengalami kelebihan berat badannya sampai

batas ideal.

2) Merubah pola makan pada penderita diabetes, kegemukan atau kadar

kolesterol darah tinggi. Mengurangi pemakaian garam serta mengurangi

alkohol.

3) Olahraga

4) Berhenti merokok (Malasari, 2008).

2.5 Motivasi

Motivasi berasal dari bahasa latin yang berati to move. Secara umum

mengacu adanya kekuatan dorongan yang menggerakkan kita untuk

berperilaku tertentu[ CITATION Not10 \l 1057 ] . Motivasi adalah perilaku

seseorang yang dilakukan karena adanya dorongan untuk melakukan

berbagai macam kebutuhan Maslow (1943) dalam Hasibuan (2007).

Suatu Motivasi atau motif adalah suatu dorongan dari dalam diri seseorang

yang menyebabkan orang tersebut melakukan kegiatan-kegiatan tertentu

guna mencapai suatu tujuan[ CITATION Not14 \l 1057 ]. Motivasi adalah

karakteristik psikologis manusia yang memberikan kontribusi pada tingkat

komitmen seseorang. Hal tersebut termasuk faktor-faktor yang

menyebabkan seseorang menyalurkan dan mempertahankan tingkah laku

manusia dalam arah tekad tertentu[ CITATION Nur13 \l 1057 ]. Motivasi


sebagai interaksi antara perilaku lingkungan sehingga dapat meningkatkan,

menurunkan atau mempertahankan perilaku. Definisi ini lebih

menekankan pada hal-hal yang bisa diobservasi dari proses motivasi.

Pembagian motivasi menurut penyebabnya antara lain :

1) Motif ekstrinsik, yaitu motif yang berfungsi karena adanya rangsangan

dari luar. Misalnya, seorang ibu mau mendatangi penyuluhan gizi karena

menurut kader kesehatan bahwa informasi gizi penting dalam rangka

perkembangan anaknya.

2) Motif intrinsik, yaitu motif yang berfungsi tanpa rangsangan dari luar

tetapi sudah dengan sendirinya terdorong untuk berbuat sesuatu [ CITATION

Not14 \l 1057 ].

Metode peningkatan motivasi :

1) Metode Langsung (Direct Motivasion)

Pemberian materi atau nonmateri secara langsung untuk memenuhi

kebutuhan merupakan cara yang langsung dapat meningkatkan motivasi.

Yang dimaksud dengan pemberian materi misalnya pemberian bonus,

pemberian hadiah pada waktu tertentu. Sedangkan pemberian nonmateri

antara lain memberikan pujian, memberikan penghargaan atau tanda-tanda

penghormatan yang lain dalam bentuk surat atau piagam, misalnya.

2) Metode tidak langsung ( Indirect motivation)

Adalah suatu kewajiban memberikan kepada anggota suatu organisasi

berupa fasilitas atau sarana-sarana kesehatan. Misalnya, membangun atau

menyediakan air bersih kepada suatu desa tertentu yang dapat menunjang
perilaku kesehatan mereka. Dengan fasilitas atau sarana dan prasarana

tersebut, masyarakat akan merasa dipermudah dalam memperoleh air

bersih, sehingga dapat mendorong lebih baik kesehatannya.

Upaya peningkatan motivasi seperti tersebut, dengan memberikan kepada

masyarakat dipandang sebagai cara atau metode untuk meningkatkan

motivasi berperilaku hidup sehat[ CITATION Not14 \l 1057 ].

Motivasi yang ada pada diri klien sangat berpengaruh dalam kebutuhan klien

untuk belajar dan mendapatkan informasi. Perawat dapat meningkatkan

motivasi klien untuk belajar dengan cara :

1) Melakukan pendekatan persuasif kepada klien.

2) Memberikan pemahaman sesuai dengan tingkat pengetahuan

klien[ CITATION Efe09 \l 1057 ].

Motivasi tidak dapat diobservasi secara langsung namun harus diukur.

Pada umumnya, yang banyak diukur adalah motivasi sosial dan motivasi

biologis. Ada beberapa cara untuk mengukur motivasi, yaitu dengan test

proyektif, kuesioner,dan observasi perilaku[ CITATION Not10 \l 1057 ].

Menurut teori motivasi Herzberg tahun 1950, ada dua faktor yang

mempengaruhi motivasi seseorang dalam kegiatan, tugas dan pekerjaannya,

yakni :

1) Faktor-faktor penyebab kepuasan (satisfier) atau faktor motivasional.

Faktor penyebab kepuasan ini menyangkut kebutuhan psikologis

seseorang, yang meliputi serangkaian kondisi intrinsik. Apabila kepuasan

dicapai dalam kegiatannya atau pekerjaan, maka akan menggerakkan


tingkat motivasi yang kuat bagi seseorang untuk bertindak atau bekerja,

dan akhirnya dapat menghasilkan kinerja yang tinggi. Faktor motivasional

(kepuasan) ini mencakup anatara lain :

(1) Prestasi (achievement), ibu berhasil memberikan ASI

(2) Penghargaan (recognation), ibu mendapatkan pujian saat berhasil

memberikan ASI

(3) Tanggung jawab (responsibility), ibu bertanggungjawab untuk

memberikan ASI

(4) Kesempatan untuk maju ( posibility of growth), ibu terus belajar

bagaimana pemberian ASI yang benar

(5) Pekerjaan itu sendiri (work), ibu mempratekkan cara pemberian ASI.

2) Faktor-faktor penyebab ketidakpuasan (dissatisaction) atau faktor higiene.

Faktor-faktor ini menyangkut kebutuhan akan pemeliharaan atau

maintenance factor yang merupakan hakekat manusia yang ingin

memperoleh kesehatan badaniah. Hilangnya faktor-faktor ini akan

menimbulkan ketidakpuasan bekerja (dissatisfaction). Faktor higienes

yang menimbulkan ketidakpuasan melakukan kegiatan, tugas atau

pekerjaan ini antara lain :

(1) Kondisi kerja fisik (physical environment),

(2) Hubungan interpesonal(interpesonal relationship),

(3) Kebijakan dan administrasi perusahaan (company and administration

policy),

(4) Pengawasan (supervisor),

(5) Gaji (salary),


(6) Keamanan kerja (job security)[ CITATION Not14 \l 1057 ].

Secara bagan teori, motivasi Herzberg (1950) dalam Notoatmodjo ( 2010 ) dapat

ditampilkan sebagai berikut :

achievement

recognation
motivati
responsibilit on
y
Posibility of
growt sikap
perilaku
work

Physical
environment kepuasa
n
Interpersona
l
relationship
Company
and
administrati higie
on policy neee
e
supervision

salary

Job security

Gambar 2.1 Bagan Teori Motivasi Herzberg

2.1 Kepatuhan

Kepatuhan (adherence) adalah tingkat kemampuan pasien dalam

melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh petugas

kesehatan atau oleh yang lain. Kepatuhan pasien sebagai sejauh mana
prilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh petugas

kesehatan. Penderita yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan

pengobatanya secra teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6

bulan sampai dengan 8 bulan (Smet. 1974 & Notoadmojo 2005 dalam

Prayogo, 2013).

Secara teori perilaku kepatuhan atau ketidakpatuhan dalam bidang

kesehatan dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: pendidikan, pekerjaan,

pendapatan, pengetahuan, sikap, anjuran, biaya berobat, jarak pelayanan

dan sikap petugas (Green, 1980; Notoatmodjo, Wuryaningsih, 2000 dalam

Hudan 2013). Kemudian menurut Niven (2002) dalam Prayogo (2013)

menyatakan bahwa ada 4 faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan

yaitu:

1. Pemahaman tentang instruksi,

2. Kualitas interaksi; antara professional kesehatan dan pasien;

3. Isolasi sosial dan keluarga serta keyakinan,

4. Sikap dan kepribadian.

Jenis ketidakpatuhan pada terapi obat, mencakup kegagalan

menebus resep, melalaikan dosis, kesalahan dosis, kesalahan dalam waktu

pemberian/konsumsi obat, dan penghentian obat sebelum waktunya.

Ketidakpatuhan akan mengakibatkan penggunaan suatu obat yang kurang.

Dengan demikian, pasien kehilangan manfaat terapi dan kemungkinan

mengakibatkan kondisi secara bertahap memburuk. Ketidakpatuhan juga

dapat berakibat dalam penggunaan suatu obat berlebih. Apabila dosis

digunakan berlebihan atau apabila obat dikonsumsi lebih sering daripada


yang dimaksudkan, terjadi resiko reaksi merugikan yang meningkat.

Masalah ini dapat berkembang, misalnya seorang pasien mengetahui

bahwa ia lupa satu dosis obat dan menggandakan dosis berikutnya untuk

mengisinya (Siregar, 2006 dalam Isriani 2008).

2.2 Hal-hal yang Mempengaruhi Kepatuhan Berobat

Menurut Nursalam (2013) Lawrence Green mencoba menganalisis

perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau

masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu faktor perilaku

(behavior causes) dan faktor luar lingkungan (nonbehavior causes). Untuk

mewujudkan suatu perilaku kesehatan, diperlukan pengolahan manajemen

program melalui beberapa tahap. Proses pelaksanaannya Lawrence Green

menggambarkannya dalam bagan berikut:

Fase 4 Fase 3 Fase 2 Fase1

Administrasi & Pendidikan & Penilaian Penilaian


Penilaian kebijakan & penilaian ekologi epidemiologi sosial
Keselarasan intervensi
Program Kesehatan Faktor Genetik
Predisposisi
Strategi
1.
Pendidikan
2. Faktor Perilaku Kualitas
Regulasi Pendukung Sehat
hidup
Kebijakan3.
Organisasi Faktor Lingkungan
4. Pendorong

Fase 5 Fase 6 Fase 7 Fase 8

Implementasi Proses Evaluasi Pengaruh Evaluasi Keluaran Evaluasi


Gambar 2.2 Model PRECEDE-PROCEED (Green & Kreuter, 2005)

PRECEDE PROCEED model mengkaji masalah perilaku manusia dan

faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta cara menindaklanjutinya dengan

berusaha mengubah, memelihara atau meningkatkan perilaku tersebut ke arah

yang lebih positif. Proses pengkajian atau pada tahap PRECEDE dan proses

penindaklanjutan pada tahap PROCEED. Dengan demikian suatu program untuk

memperbaiki kesehatan adalah penerapan keempat proses pada umumnya ke

dalam model pengkajian dan penindaklanjutan (Nursalam, 2013).

1. Kualitas hidup adalah sasaran utama yang ingin dicapai di bidang

pembangunan sehingga kualitas hidup semakin tinggi. Kualitas hidup ini salah

satunya dipengaruhi oleh derajat kesehatan. Semakin tinggi derajat kesehatan

seseorang, maka kualitas hidup juga semakin tinggi.

2. Derajat kesehatan adalah sesuatu yang ingin dicapai dalam bidang kesehatan,

dengan adanya derajat kesehatan akan tergambarkan masalah kesehatan yang

sedang dihadapi. Pengaruh paling besar terhadap derajat kesehatan seseorang

adalah faktor perilaku dan faktor lingkungan.

3. Faktor lingkungan adalah faktor fisik, biologis, dan sosial budaya yang

langsung atau tidak langsung mempengaruhi derajat kesehatan.

4. Faktor perilaku dan gaya hidup adalah suatu faktor yang timbul karena adanya

aksi dan reaksi seseorang atau organisme terhadap lingkungannya. Faktor

perilaku akan terjadi apabila ada rangsangan, sedangkan gaya hidup merupakan

pola kebiasaan seseorang atau sekelompok orang yang dilakukan karena jenis
pekerjaannya, mengikuti trend yang berlaku dalam kelompok sebayanya

ataupun hanya untuk meniru dari tokoh idolanya.

Dengan demikian suatu rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau

perilaku tertentu. Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari

tiga faktor:

1. Faktor predisposisi (predisposing factor), meliputi pengetahuan, sikap,

kepercayaan, keyakinan, umur dan nilai-nilai, dan sebagainya.

2. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan

fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana

kesehatan.

3. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor) merupakan faktor yang

menguatkan perilaku, yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas

kesehatan, teman sebaya, orang tua, yang merupakan kelompok referensi dari

perilaku masyarakat (Nursalam, 2013).

Lawrence Green menemukan teori yang menggambarkan

hubungan pendidikan kesehatan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi

perilaku kesehatan seperti gambar dibawah ini (Nursalam, 2013).

Faktor Predisposisi Faktor pendorong :


Faktor pendukung :
5.
1.Pengetahuan 1. Perilaku keluarga
1. Ketersediaan sumberdaya 2. Perilaku teman
6.
2. Kepercayaan kesehatan dan sarana sebaya
prasarana kesehatan 3. Perilaku pertugas
3. Nilai 7. 2. Peraturan pemerintah, dan kesehatan
prioritas serta komitmen 4. Perilaku orang tua
terhadap kesehatan 5. Perilaku tokoh
masyarakat

Perilaku khusus dari Lingkungan


individu atau organisasi
Sehat

Gambar 2.3 Faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan (Green dan Kreuter,
1991 dalam Nursalam 2013)

2.3.1 Faktor predisposisi (predisposing factor)

1. Jenis kelamin

Menurut Notoatmodjo (2005) dalam Lestari (2010) jenis kelamin

dapat mempengaruhi penderita untuk patuh dan teratur minum obat.

Erwatyningsih, et al. (2009) menyatakan bahwa perempuan akan lebih

patuh dalam berobat dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan karena

beban kerja laki-laki yang berat, istirahat yang kurang, serta gaya hidup

yang tidak sehat.

Menurut beberapa teori mengatakan bahwa wanita lebih banyak

melaporkan gejala penyakitnya dan berkonsultasi dengan dokter karena

wanita cenderung memiliki perilaku yang lebih tekun daripada laki-laki

(Crofton, et al., 1999 dalam Erawatyningsih, et al., 2009).

2. Pengetahuan (knowledge)

Menurut Notoatmodjo (2012) pengetahuan merupakan hasil dari

tau, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu

objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni


indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian

besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat

penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour).

Krathwohl merevisi taksonomi Bloom mengenai pengetahuan yang

tercakup dalam domain kognitif sebagai berikut (Krathwohl, 2002).

1) Mengingat (remembering)

Mengingat diartikan sebagai meraih pengetahuan yang relevan dari ingatan

jangka panjang atau materi yang telah dipelajari sebelumnya. Mengingat

meliputi dua hal yaitu mengenali kembali (recognizing) dan mengingat

kembali (recalling).

2) Memahami (understand)

Memahami meruapakan determinasi arti dari instruksi termasuk oral, tertulis

dan komunikasi grafis. Memahami meliputi beberapa hal yaitu menafsirkan,

mencontohkan, pengklasifikasian, meringkas, menyimpulkan, membandingkan

dan menjelaskan.

3) Mengaplikasikan (apply)

Mengaplikasikan merupakan melaksanakan atau menggunakan prosedur dalam

situasi tertentu. Mengaplikasikan meliputi beberapa hal yaitu mengeksekusi

dan mengimplementasikan.

4) Menganalisa (analyze)

Menganalisa merupakan membagi materi yang telah tersusun menjadi beberapa

bagian dan mendeteksi bagaimana bagian-bagian tersebut berhubungan satu


sama lain dan secara keseluruhan atau dengan sebuah tujuan. Menganalisa ini

meliputi beberapa hal yaitu membedakan, mengenali, dan menghubungkan.

5) Mengevaluasi (evaluate)

Mengvaluasi merupakan membuat penilaian berdasarkan kriteria dan standar.

Mengevaluasi meliputi beberapa hal yaitu mengecek dan mengkritisi.

6) Menciptakan (create)

Menciptakan merupakan meletakkan elemn-elemen dalam bentuk satu

kesatuan utuh atau membuat produk asli. Menciptakan meliputi beberapa hal

yaitu menghasilkan, merencanakan, dan memproduksi.

3. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup

dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Menurut Notoatmodjo

(2012), sikap terdiri dari 4 tingkatan yaitu: menerima (receiving) yang

diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang

diberikan (objek), merespon (responding) diartikan memberi jawaban

apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan

adalah suatu indikasi sikap, menghargai (valuing) dalam hal ini adalah

mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang

lain terhadap suatu masalah, dan bertanggung jawab (responsible) atas

segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah

merupakan sikap yang paling tinggi.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak

langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau

pertanyaan responden terhadap suatu objek dan secara tidak langsung


dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis, kemudian

ditanyakan pendapat responden (Notoatmodjo, 2012).

4. Pekerjaan

Pekerjaan merupakan suatu aktifitas yang dilakukan untuk mencari

nafkah. Faktor lingkungan kerja mempengaruhi seseorang untuk terpapar

suatu penyakit. Penyebab pasien yang tidak bekerja cenderung tidak

teratur berobat karena didasari oleh pendapat mereka yang mengatakan

bahwa berobat ke puskesmas harus mengeluarkan biaya untuk transportasi

dan difokuskan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari daripada untuk

pengobatan. Tetapi obat yang diberikan oleh pihak puskesmas gratis.

Sehingga tidak ada alasan bagi pasien untuk tidak teratur berobat

walaupun tidak bekerja. Hendaknya pasien maupun keluarga pasien

membuka usaha kecil-kecilan untuk menambah pendapatan guna

memenuhi kebutuhan sehari-hari (Pare, et.al., 2012)

2.3.2 Faktor pendorong (enabling factor)

1. Penyuluhan

Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan

dengan cara menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga

masyarakat tidak sadar, tahu, dan mengerti, tetapi juga mau dan bisa

melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan

(Nandangtisna, 2009).

Penyuluhan kesehatan adalah gabungan berbagai kegiatan dan

kesempatan yang terlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai

suatu keadaan, di mana individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat


secara keseluruhan ingin hidup sehat, tahu bagaimana caranya melakukan

apa yang keseluruhan ingin hidup sehat, tahu bagaimana caranya

melakukan apa bisa dilakukan, secara perseorangan maupun secara

berkelompok dan meminta pertolongan bila perlu. Pendidikan kesehatan

adalah sejumlah pengalaman yang berpengaruh secara menguntungkan

terhadap kebiasaan, sikap, dan pengetahuan yang ada hubungannya

dengan kesehatan individu, masyarakat dan bangsa (Nandangtisna, 2009).

2. Waktu pengobatan

Laporan oleh WHO menunjukkan secara umum mengenai

pentingnya mengimprovisasi kepatuhan terhadap pengobatan jangka

panjang. Laporan tersebut menunjukkan rendahnya tingkat kepatuhan

terhadap pengobatan jangka panjang, yang sering terjadi ketika

pengobatan bersifat kompleks (Bosworth, 2012). Husar (2013) juga

menyebutkan bahwa kepatuhan berobat pasien semakin memburuk pada

penyakit kronik dan pengobatan jangka panjang.

The World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa

kepatuhan pada pengobatan jangka panjang untuk penyakit kronik di

negara berkembang sekitar 50%. Di negara-negara berkembang rata rata

angka kepatuhan bahkan lebih rendah (CMSA, 2006).

2.3.3 Faktor penguat (reinforcing factor)

1. Sikap perawat
Sikap perawat dalam berkomunikasi meliputi sikap fisik dan sikap

psiko-sosial

1) Sikap fisik

Egan 2013 dalam Berman, et al. (2015) mengidentifikasi 5 sikap atau cara

untuk menghadirkan diri secara fisik, yaitu:

(1)Posisi berhadapan. Arti dari posisi ini adalah ”saya siap untuk anda”.

(2)Kontak mata. Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai klien

dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.

(3)Membungkuk kearah klien. Posisi ini menunjukkan keinginan untuk

mengatakan atau mendengar sesuatu.

(4)Sikap terbuka. Tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan

untuk berkomunikasi.

(5)Relaks. Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan

relaksasi dalam memberi respon terhadap klien.

2) Sikap psiko-sosial

Sikap psiko-sosial dapat dibagi dalam 2 dimensi yaitu dimensi respon dan

dimensi tindakan (Stuart dan Sundeen, 1987; 126 dikutip oleh Septyaniar

2009).

(1)Dimensi respon.

1. Keikhlasan: perawat ikhlas dalam memberikan pelayanan, terbuka, jujur

dan berperan aktif dalam berhubungan dengan klien.

2. Menghargai: dapat menerima klien apa adanya. Tidak

menekan,memarahi dan mengkritik klien, sikap menghargai dapat


diekspresikan dengan duduk diam bersama klien yang sedang sedih,

minta maaf atas hal yang tidak disukai klien.

3. Empati: ikut merasakan apa yang dirasakan klien namun tidak terlibat

secara emosi. Empati merupakan ketrampilan yang didapat melalui

kesadaran diri dan mendengarkan dengan presepsi.

4. Kongkrit/nyata: menggunakan istilah yang biasa dimengerti klien agar

tidak menimbulkan keraguan.

(2) Dimensi tindakan.

1. Konfrontasi: ekspresi perasaan perawat terhadap perilaku klien yang

kurang tepat. Penting untuk meningkatkan kesadaran dan sikap klien.

2. Kesegeraan: kesegeraan untuk menolong klien, perawat perlu sensitif

terhadap kebutuhan klien.

3. Keterbukaan perawat: perawat membuka diri tentang pengalaman yang

sama dengan klien.

4. Emosional katarsis: terjadi jika klien diminta tentang hal yang sangat

mengganggu dirinya. Ketakutan, perasaan dan pengalaman dibuka dan

menjadi topik diskusi antara perawat dan klien. Bermain peran:

melakukan peran pada situasi tertentu.

5. Sentuhan. Merupakan cara interaksi yang mendasar karena dengan

sentuhan dapat memperhatikan perasaan menerima dan menghargai,

tetapi harus memperhatikan norma sosial.


BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Variabel Independen

Peran Keluarga dalam


melaksanakan asuhan
keperawatan:

- Peran ayah
- Peran ibu
- Peran anak
(X 1) Variabel Dependen

Motivasi Kepatuhan lansia dalam


X1-X2
melakukan kontrol hipertensi
- Prestasi
(achievement)
- Penghargaan
(recognation),
- Tanggung jawab
(responsibility),
- Kesempatan untuk
maju ( posibility of
growth)
- Pekerjaan itu sendiri
(work),

Variabel perancu

- Kemudahan
mencapai
Fasilitas
Kesehatan
- Jarak rumah
dengan fasilitas
kesehatan
Keterangan:

Diteliti Dihubungkan
Tidak Diteliti Tidak Dihubungkan

Gambar 3.1 kerangka konseptual hubungan antara peran dan motivasi keluarga
dengan tingkat kepatuhan pada lansia untuk kontrol hipertensi (Mengadopsi teori
Herzberg 1950)

3.2 Hipotesis Penelitian

H1:

1. Ada hubungan antara peran dan motivasi keluarga dengan tingkat

kepatuhan pada lansia untuk kontrol hipertensi.


BAB 4

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan

tujuan dan kegunaan tertentu yang meliputi: 1) desain penelitian, 2) populasi,

sampel, dan teknik sampling, 3) variabel, 4) definisi operasional, 5) instrumen

penelitian, 6) lokasi dan waktu penelitian, 7) prosedur pengambilan dan

pengumpulan data, 8) analisis data, 9) kerangka operasional kerja 10) etika

penelitian.

4.1 Desain Penelitian

Berdasarkan waktu penelitian, desain penelitian yang digunakan

adalah cross sectional dimana jenis penelitian ini menekankan waktu

pengukuran/observasi data variabel independen dan dependen hanya satu

kali pada satu saat. Variabel independen dan variabel dependen dinilai

secara simultan pada suatu saat, jadi tidak ada tindak lanjut (Nursalam,

2013). Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi hubungan antara peran

dan motivasi keluarga dengan tingkat kepatuhan pada lansia untuk kontrol

hipertensi di RW 4 dan 5 Kelurahan Teling Atas Manado.)

4.2 Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling

4.2.1 Populasi

Menurut Sugiyono (2010) populasi adalah wilayah generalisasi

yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik

tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian

ditarik kesimpulan. Populasi penelitian adalah setiap subjek (misal:

manusia : pasien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan untuk


diteliti (Nursalam, 2013). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh

lansia yang mempunyai penyakit hipertensi dan termasuk dalam wilayah

kerja Puskesmas Dupak Surabaya khususnya di RW 4 dan 5 sejumlah 103

orang.

4.2.2 Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti

(Arikunto, 2013). Sampel terdiri atas bagian populasi terjangkau yang

dapat digunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling. Dengan

mempertimbangkan populasi dianggap homogen, penentuan besar sampel

dalam penelitian ini dihitung melalui rumus sebagai berikut:

N . z2 p . q
n= 2
d ( N−1 ) + z 2 . p . q

103.(1,96)2 0,5. 0,5


n=
0,05. ( 103−1 )+(1,96)2 . 0,5. 0,5

98,92
n=
6,06

n=16,32 ~ 16 responden

Keterangan :

n = perkiraan besar sampel

N = perkiraan besar populasi

z = nilai standar normal untuk α = 0,05 (1,96)

p = perkiraan proporsi, jika tidak diketahui dianggap 50%

q = 1 – p (100% - p)

d = Tingkat kesalahan yang dipilih (d=0,05)

(Nursalam, 2013)
Jadi, jumlah lansia yang akan menjadi responden dalam penelitian ini adalah

16 responden.

4.2.3 Sampling

Sampling merupakan proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat

mewakili populasi yang ada (Nursalam, 2013). Dalam penelitian ini peneliti

menggunakan teknik purposive sampling, yaitu suatu teknik penetapan sampel

dengan cara memilih sampel di antara populasi sesuai dengan yang dikehendaki

peneliti (Nursalam, 2013). Untuk mencapai sampling ini peneliti menentukan

sampel berdasarkan tujuan tertentu, dengan beberapa syarat yakni:

1. Pengambilan sampel harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat, atau

karakteristik tertentu, yang merupakan ciri pokok populasi.

2. Subjek yang diambil sebagai sampel benar – benar merupakan subjek yang

paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi

3. Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan cermat di dalam studi

pendahuluan (Arikunto, 2013).

4.3 Variabel penelitian

Variabel merupakan perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda

terhadap sesuatu (benda, manusia, dan lain – lain) (Soeparto, Putra, & Haryanto,

2000) dalam Nursalam (2013). Dalam penelitian ini, variabel dikarakteristikkan

sebagai derajat, jumlah, dan perbedaan. Jenis variabel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah variabel independen dan dependen.

4.3.1 Variabel independen

Variabel independen merupakan variabel yang memengaruhi atau nilainya

menentukan variabel lain. Suatu kegiatan stimulus yang dimanipulasi oleh peneliti
menciptakan suatu dampak pada variabel dependen. Variabel independen pada

penelitian ini ialah peran dan motivasi keluarga.

4.3.2 Variabel dependen

Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi nilainya ditentukan

oleh variabel lain. Dalam penelitian ini variabel dependen yang digunakan ialah

tingkat kepatuhan lansia dengan hipertensi.

4.4 Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan definisi berdasarkan karakteristik yang

diamati dari sesuatu yang didefinisikan tersebut (Nursalam, 2013). Definisi

operasional dari variabel yang diteliti dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.1 Definisi Operasional Hubungan Antara Peran Dan Motivasi Keluarga Dengan Tingkat Kepatuhan Pada Lansia Untuk Kontrol
Hipertensi di RW 4 dan 5 Kelurahan Teling Atas Manado.

Alat
Variabel Definisi Operasional Parameter Skala Skor
Ukur

Peran Seperangkat tingkah laku a. Mengenal masalah kesehatan Kuesioner Ordinal Peran diukur dengan
yang diharapkan oleh orang setiap anggota keluarga mengajukan 5 pertanyaan
lain terhadap seseorang b. Mengambil keputusan untuk dengan pilihan jawaban ya dan
sesuai kedudukannya dalam melakukan tindakan yang tidak. Jawaban ya akan diberi
suatu sistem dan mampu tepat bagi keluarga skor 1 dan jawaban tidak diberi
meningkatkan status c. Memberikan perawatan pada skor 0.
kesehatan anggota keluarga yang sakit
atau yang tidak dapat
membantu dirinya sendiri
d. Mempertahankan suasana
rumah yang menguntungkan
bagi kesehatan
e. Memanfaatkan fasilitas
kesehatan yang ada
(Fredman, 1981)

Motivasi suatu dorongan dari dalam Nilai harapan positif dari lansia Kuesioner Ordinal Penilaian dilakukan dengan
diri keluarga yang terhadap keluarga menampilkan 10 pernyataan
menyebabkan keluarga mengenai motivasi.
melakukan kegiatan-
kegiatan tertentu guna Penilaian menggunakan skor 1-
meningkatkan kepatuhan 3 (sangat tidak setuju-setuju-
kontrol pada lansia dengan
hipertensi sangat setuju)
Pernyataan yang bersifat positif,
apabila sangat setuju mendapat
skor 3, sedangkan untuk
pernyataan negatif apabila
sangat setuju mendapatkan skor
1.

Tingkat Tingkat kemampuan a. Kualitas hidup Kuesioner Ordinal Tingkat kepatuhan diukur
Kepatuhan lansia dalam melaksanakan b. Derajat kesehatan melalui kuisioner yang berisi 10
cara pengobatan dan c. Perilaku dan gaya hidup pertanyaan dimana setiap
perilaku yang disarankan d. Lingkungan: fisik, biologis, pertanyaan yang dijawab ya di
oleh petugas kesehatan atau dan sosial budaya beri nilai 1 dan nilai 0 untuk
oleh yang lain jawaban tidak. Skor kemudian
dijumlahkan dan dikategorikan
menjadi :
1. Skor >2 : kepatuhan rendah
2. Skor 1-2 : kepatuhan sedang
3. Skor 0 : kepatuhan tinggi
4.5 Instrumen penelitian

Instrumen adalah alat ukur atau fasilitas yang digunakan peneliti dalam

pengumpulan data agar pekerjaan lebih mudah dan hasil yang diperoleh lebih baik

(Arikunto, 2013). Instrumen dalam penelitian ini meliputi:

1) Variabel independen menggunakan kuisioner untu menilai peran dan

motivasi keluarga.

2) Variabel dependen diukur dengan menggunakan kuisioner melalui 10

butir pertanyaan yaitu penilian terhadap tingkat kepatuhan control

hipertensi.

4.6 Lokasi, Waktu dan Pengambilan Data Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RW 4 dan RW 5 Kelurahan Teling Atas

manado pada Kamis, 11 November 2020 .

4.7 Prosedur Penelitian

4.7.1 Pengambilan data

Pengambilan data akan dilakukan pada bulan November 2020 setelah

peneliti mendapatkan ijin dari Kelurahan dan Puskesmas Teling. Proses

pengumpulan data menggunakan lembar kuisioner yang berisikan data umum dan

data khusus. Peneliti mengumpulkan lembar persetujuan dari subjek penelitian

setelah menyebarkan dan memberikan penjelasan terkait penelitian yang

dilakukan. Data umum mencakup identitas pasien meliputi nama, umur, jenis

kelamin, lama tinggal, riwayat penyakit. Data khusus mencakup peran dan

motivasi keluarga serta tingkat kepauhan lansia untuk melaksanakan kontrol

hipertensi.
Penelitian dilakukan dengan penilaian mengenai peran dan motivasi

keluarga terhadap anggota keluarga yang mengalami hipertensi yang berisikan 15

butir pertanyaan. Penilaian hanya dilakukan pada satu kali pertemuan. Penilaian

terhadap peran dilakukan dengan menghitung skor atas jawaban ya dan tidak,

sedangkan motivasi diukur dengan menghitung skor atas jawaban sangat setuju-

setuju- sangat tidak setuju. Tingkat kepatuhan control hipertensi dinilai melalui

kuisiner dengan keseimbangan postural pada subjek 10 butir pertanyaan atas

jawaban ya dan tidak. Jawaban tersebut kemudian dikategorikan sebagai berikut :

1. Skor >2 : kepatuhan rendah

2. Skor 1-2 : kepatuhan sedang

3. Skor 0 : kepatuhan tinggi

Dalam melaksanakan penelitian, peneliti sejumlah 11 orang mahasiswa

akan melakukan pengumpulan data secara serentak pada satu waktu penelitian

yaitu pada tanggal 25 November 2016.

4.8 Kerangka Kerja

Kerangka kerja dalam penelitian ini dijelaskan pada gambar 4.1.

Melakukan pengumpulan data umum terkait hipertensi pada lansia di


lingkungan kerja Puskesmas Teling yaitu pada RW 4 dan RW 5

Melakukan pemilihan terhadap responden berdasarkan kriteria inklusi


dengan menggunakan teknik sampling purposive sampling

Melakukan pengumpulan data dengan menggunakan kuisioner yang diisi


responden pada satu kali waktu secara bersamaan

Melakukan uji statistik dengan spearman rho untuk mengetahui hubungan


peran dan motivasi keluarga terhadap tingkat kepatuhan kontrol hipertensi
pada lansia
Menyajikan data dan menyampaikan hasil penelitian tentang mengetahui
hubungan peran dan motivasi keluarga terhadap tingkat kepatuhan kontrol
hipertensi pada lansia di lingkungan RW 4 dan RW 5 Kelurahan Teling
Atas Manado.

Gambar 4.1 Kerangka kerja hubungan peran dan motivasi keluarga terhadap
tingkat kepatuhan kontrol hipertensi pada lansia di lingkungan RW 4
dan RW 5 Kelurahan Teling Atas Manado.

4.9 Analisis Data

4.9.1 Penilaian peran, motivasi dan tingkat kepatuhan control hipertensi

Setelah data kuesioner terkumpul, diperiksa kembali untuk mengetahui

kelengkapan isi, kemudian ditabulasi berdasarkan sub variabel yang diteliti

dengan pemberian skor sesuai dengan definisi operasional. Untuk mengetahui

tingkat kepatuhan kontrol hipertensi pada lansia, dilakukan penilaian berdasarkan

bobot masing-masing item yaitu 0-1 kemudian menjumlahkan seluruh item.

Setelah itu diinterpretasi dengan kategori :

1. Skor >2 : kepatuhan rendah

2. Skor 1-2 : kepatuhan sedang

3. Skor 0 : kepatuhan tinggi

4.9.2 Pengolahan data

1) Editing

Editing meliputi memeriksa kelengkapan pengisian, kesalahan

pengisian dan konsistensi dari setiap pelaksanaan indikator yang

diteliti.
2) Koding

Koding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka)

terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori yang kemudian

dimasukkan pada database computer.

3) Tabulasi Data

Tabulasi merupakan kegiatan pembuatan tabel-tabel data sesuai

dengan data yang dikumpulkan peneliti (Hidayat, 2009; Notoatmojo,

2010).

4.9.3 Uji statistik

Dalam penelitian ini, Spearman Rho Test digunakan untuk menilai

hubungan antara peran dan motivasi keluarga terhadap tingkat kepatuhan kontrol

hipertensi pada lansia .Uji statistik ini menggunakan α ≤ 0,05.

4.10 Etika penelitian

4.10.1 Lembar persetujuan (Informed concent)

Lembar persetujuan diberikan kepada subjek penelitian yang harus

ditandatangani atau cap ibu jari jika bersedia menjadi responden setelah peneliti

menjelaskan maksud dan tujuan penelitian. Jika responden tidak bersedia diteliti

maka peneliti menghormati dan tidak memaksa responden.

4.10.2 Tanpa nama (Anonimity)

Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti sengaja tidak

mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data penelitian dan cukup

memberikan nomor kode pada masing-masing lembar tersebut.


4.10.3 Kerahasiaan (Confidentiality)

Peneliti menjamin kerahasiaan dan identitas semua data yang dikumpulkan

dari lansia. Peneliti tidak mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data

(lembar pertanyaan) tetapi hanya menuliskan atau memberi kode tertentu pada

masing-masing lembaran tersebut. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini

hanya diketahui oleh peneliti dan tidak disebarkan kepada pihak lain. Informasi

yang diberikan dipergunakan dengan sebagaimana mestinya sesuai dengan

manfaat dari penelitian ini.


DAFTAR PUSTAKA

Achjar, Komang Ayu Henny. (2010). Aplikasi Praktis Asuhan Keperawatan


Keluarga Cetakan I. Jakarta : Sagung Seto.

Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.

Diehl, M., Berg, K.M. (2007) Personality and involvement in leisure activities
during the Third Age:Findings from the Ohio Longitudinal Study. In: Laura
E. Berk. Development Through The Lifespan, Dari Masa Dewasa Awal
Sampai Menjelang Ajal, diterjemahkan oleh Daryatno, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Pp. 286

Efendi, F. &. (2009). Keperawatan Komunitas Teori dan Praktik dalam


Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Gray, HH, dkk. (2005). Lecture Notes : Kardiologi. (4th . ed). Jakarta: Erlangga.

Huraerah, Abu. (2007). Kekerasan Terhadap Anak. Jakarta :Penerbit Nuansa

Kementerian Kesehatan RI. (2014). Profil Kesehatan Indonesia - 2014. Jakarta

Malasari, Nur. (2008). Hubungan Tingkat Pengetahuan Pasien Dengan


Pencegahan Kekambuhan Hipertensi di Puskesmas Kelurahan Grogol
Kecematan Limo Kodya Depok (online). Diunduh dari:
http://www.library.upnvj.ac.id/index.php?p=show_detail&id=2707;.
(diakses 17 November 2016).

Maryam, R. Siti, dkk. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta:
Salemba Medika

Mubarak, Wahit Iqbal, Chayatin, Nurul, Santoso, Bambang Adi. (2009). Ilmu
Keperawatan Komunitas Konsep dan Aplikasi Buku 2. Jakarta: Salemba
Medika.

Notoatmodjo, P. (2010). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasinya. Jakarta:


Rineka Cipta.

60
61

Notoatmodjo, S. (2014). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Nugroho, W. (2008). Keperawatan Gerontik & Geriatrik, Edisi-3. Jakarta: EGC

Puspita, Exa (2016) Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan


Penderita Hipertensi Dalam Menjalani Pengobatan (Studi Kasus Di
Puskesmas Gunungpati Kota Semarang). Skripsi. UNNES

Poerwati, R. (2008). Hubungan Stres Kerja terhadap Hipertensi pada Pegawai


Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru Tahun 2008. Medan: Tesis Sekolah Pasca
Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Santoso, dkk. (2009). Ilmu Keperawatan Komunitas Konsep dan Aplikasi Buku 2.
Jakarta: Salemba Medika.

Setiadi. (2008). Konsep & Keperawatan Keluarga. Yogyakarta : Graha ilmu

Siswanto, (2006). Kesehatan Mental: konsep, cakupan dan perkembangan. Jakarta


: ANDY Yogyakarta

Shochib, Moh. (1998). Pola Asuh Orang Tua dalam Membantu Anak
Mengembangkan Disiplin Diri. Jakarta: PT Rineka Cipta

Smeltzer, Suzanne C. (2002), Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah


Brunnert&Suddart, Edisi 8, Vol 2, Jakarta: EGC.

Soeharto, Iman. (2004), Jantung Koroner dan Serangan Jantung, Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama.

Suprajitno. (2004), Asuhan Keperawatan Keluarga : Aplikasi dalam praktik,


Jakarta : EGC Arita, Setyowati, 2008. Asuhan Keperawatan Keluarga.
Yogyakarta: Mitra Cendikia Press.

Wijaya. (2009). Hubungan Gaya Hidup Dengan Kejadian Hipertensi Pada Pasien
Rawat Jalan di Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Raden Said Sukanto
Jakarta
62

Lampiran
LEMBAR KUESIONER
HUBUNGAN ANTARA PERAN DAN MOTIVASI KELUARGA DENGAN
TINGKAT KEPATUHAN PADA LANSIA UNTUK KONTROL
HIPERTENSI DI RW 4 DAN 5 KELURAHAN DUPAK SURABAYA
Tanggal Penelitian :
Nomor Responden :

I. Data Demografi
Petunjuk pengisian : Berilah tanda cek () pada kotak jawaban yang anda
pilih.
1. Nama : ...................................................
2. Jenis Kelamin :
Perempuan : Laki-laki :
3. Pekerjaan :
Bekerja : Tidak Bekerja :

Buruh PNS Wiraswasta Petani

4. Usia : ...... Tahun

II. Waktu Kontrol ke Pelayanan Kesehatan


Petunjuk pengisian : Berilah tanda cek () pada kotak jawaban yang
anda pilih.

Waktu Pengobatan:

1. Saat pusing saja :


2. Rutin seumur hidup :
63

III. Peran Keluarga

Dilakukan
No Pertanyaan
Ya Tidak
Apakah anggota keluarga mengetahui
1
penyakit yang anda alami?
Apakah anggota keluarga pernah mengantar
atau mengajak berobat ke pelayanan
2
kesehatan terdekat bila ada anggota keluarga
yang sakit?
Apakah keluarga anda selalu merawat anda
3
bila sedang sakit?

Apakah keluarga selalu memperhatikan


4
kebersihan rumah?
Apakah keluarga rutin mengantar anda
5 berobat atau kontrol ke pelayanan kesehatan
terdekat?
Sumber: (Friedman, 1981)

IV. Motivasi Keluarga

Dilakukan
No Pernyataan
Ya Tidak
Apakah keluarga anda menyarankan anda
1
untuk melakukan pengobatan hipertensi?
Apakah keluarga anda mengingatkan anda
2
untuk minum obat?

Apakah keluarga menegur anda, bila anda


3
tidak atau lupa dalam minum obat?

Apakah keluarga anda membantu segala


4
pembiayaan pengobatan anda?
Apakah keluarga anda selalu mengantarkan
5 anda untuk melakukan pengobatan
hipertensi?
Sumber : (Puspita, 2016)
64

V. Kepatuhan Berobat
Petunjuk: pilih jawaban yang paling tepat dengan memberi tanda silang (X)
pada kolom yang ada

Pertanyaan Ya Tidak
1. Apakah anda pernah lupa minum obat?
2. Orang terkadang lupa minum obat
dengan alasan lain selain lupa. Selama
2 minggu ini, adakah hari dimana anda
tidak meminum obat?
3. Apakah anda pernah berhenti minum
obattanpa memberitahu petugas atau
dokter karena anda merasa semakin
buruk ketika anda meminum obat itu?
4. Ketika anda sedang dalam perjalanan
atau meninggalkan rumah, apakah
anda terkadang lupa membawa obat?

5. Apakah anda meminum obat sesuai


yang diresepkan kemarin?
6. Ketika anda merasa sudah baik/sehat,
apakah anda terkadang berhenti
meminum obat anda?
7. Meminum obat setiap hari membuat
ketidaknyamanan bagi sebagian orang.
Apakah anda pernah merasa terganggu
dengan rencana pengobatan yang
lama?
8. Seberapa sering anda merasa sulit
mengingat untuk meminum semua
obat anda?
___a. Tidak pernah/sangat jarang
- -
___b. Sesekali
___c. Terkadang
___d. Biasanya
___e. Setiap waktu

Anda mungkin juga menyukai