Puji syukur penulis ucapkan kehadiran Allah SWT, karena telah memberi
nikmat kesehatan, kekuatan, pikiran yang jernih dan keterbukaan hati sehingga
penulis dapat menyelesaikan Mini Proposa ini yang berjudul “Faktor Yang
Berperan Terhadap Depresi, Kecemasan Dan Stres Penderita Diabetes Melitus
Tipe 2 pada Lansia”. Untuk memenuhi tugas mata kuliah riset keperawatan.Penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan dimasa yang
akan datang. Semoga mini proposal ini dapat menjadi acuan untuk melakukan
penelitian untuk skripsi yang akan datang serta membawa manfaat bagi kita semua
dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pendidikan.
Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lanjut usia merupakan bagian dari proses tumbuh kembang. Proses tumbuh
kembang tersebut dimulai dari bayi, anak-anak, dewasa dan akhirnya menjadi tua. Hal
ini normal dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat terjadi pada semua
orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu
(Azizah, 2011). Perubahan tingkah laku lansia dapat kita lihat dari perubahan seperti
pola makan, penanganan stres, kebiasaan olah raga, serta gaya hidup yang berpeluang
besar menimbulkan berbagai masalah kesehatan apabila tidak disikapi dengan baik.
Ahli demografi memperhitungkan populasi lansia akan terus meningkat
sampai abad selanjutnya. Jumlah penduduk lansia di dunia pada tahun 2012 mencapai
600 juta lansia di seluruh dunia dan tahun 2025 diperkirakan akan mencapai 1.2 miliar
jiwa. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat mencapai 1.5 sampai 2 miliar jiwa pada
tahun 2050. Peningkatan jumlah lansia ini terjadi di beberapa Negara ASEAN
diantaranya Malaysia, Thailand, Singapura dan Indonesia (Global Health and Aging,
2012). Menurut World Health Organization (WHO) masalah kesehatan yang sering
timbul pada lansia salah satunya adalah DM. Diabetes Mellitus merupakan penyakit
tidak menular yang prevalensinya cukup tinggi didunia.
Diabetes Melitus (DM) merupakan masalah kesehatan yang diberi perhatian
khusus dalam satu windu terakhir ini. Hal ini dikarenakan Diabetes Melitus adalah
salah satu penyakit yang serius. Diabetes biasa dikenal dengan istilah the silent killer
karena penyakit ini dapat menjadi faktor resiko bagi berbagai macam penyakit lainnya
pada organ tubuh. Indonesia menempati urutan ke- 4 terbesar dalam jumlah penderita
Diabetes di dunia menurut data WHO (Wahdah, 2011). Selanjutnya, WHO juga
menyebutkan bahwa kasus Diabetes Melitus di Indonesia semakin meningkat
mencapai 8,4 juta jiwa. Pada tahun 2025 jumlah ini akan terus bertambah melebihi 21
juta jiwa serta lebih banyak terjadi pada rentang usia produktif (dalam Anggina, Ali,
Pandhit, 2010). Sebagian besar dari jumlah kasus Diabetes tersebut adalah Diabetes
Melitus tipe 2, yang meliputi 90% dari semua populasi Diabetes (Widodo, 2012).
Menurut American Diabetes Association (2005), DM tipe 2 merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik yang hanya dapat diterapi dengan mengendalikan kadar
glukosa agar tetap pada kisaran normal. Pilar penatalaksanaan DM tipe 2 meliputi
2
aspek edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis
(PERKENI, 2011).
Perubahan dalam hidup yang mendadak membuat penderita Diabetes Melitus
menunjukkan reaksi psikologis yang negatif diantaranya adalah marah, merasa tidak
berguna, kecemasan yang meningkat, stres dan depresi (Shahab dalam Nindyasari,
2010). Menurut Piette, American Journal of Managed Care (dalam Setyani, 2012),
depresi yang dialami penderita Diabetes dua kali lebih banyak di antara penduduk
umumnya, dengan 15% sampai 30% dari pasien Diabetes yang memenuhi kriteria
depresi. Penelitian akhir-akhir ini mendapatkan bahwa penderita Diabetes terutama
yang mengalami komplikasi, mempunyai risiko depresi 3 kali lipat dibandingkan
masyarakat umum. Komplikasi Diabetes dapat menyebabkan kehidupan sehari-hari
yang lebih sulit sehingga menimbulkan kesedihan yang berkepanjangan (Soegondo,
2009). Di samping itu, Pusat Pengendalian Penyakit dan Pencegahan (CDC)
menyebutkan bahwa Diabetes dapat menggandakan risiko seseorang mengalami
depresi (Samiadi, 2016).
Kesulitan pasien DM dalam menga-tasi depresi yang dialaminya, disimpulkan
dalam penelitian yang dilakukan oleh Talbot, Nouwen, Gingras, Belanger, dan Audet
(1999) tentang cara mengakomodir berbagai gejala, termasuk depresi yang sulit
dikendalikan. Depresi merupakan salah satu tekanan yang dapat memper-parah
diabetes. Menurut Sargyn dan Sargyn (2002) ada hubungan yang signi-fikan antara
depresi dan hiperglikemia pada DM-1 dan DM-2. Akibat yang meru-gikan dari
depresi terhadap DM adalah risiko meningkatnya komplikasi. Di sisi lain hasil studi
ini juga menyatakan bahwa apabila manajemen depresi efektif maka gula darah dapat
terkontrol. Penelitian yang dilakukan oleh Kinder, dkk. (2006) menunjukkan bahwa
pasien DM mempu-nyai risiko 3 kali lebih banyak mengalami depresi, dan 10 kali
lebih banyak men-derita penyakit jantung koroner, diban-dingkan dengan penyakit
lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang
“Faktor Yang Berperan Terhadap Depresi, Kecemasan Dan Stres Penderita Diabetes
Melitus Tipe 2 pada Lansia”
3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis ingin meneliti apa saja
faktor yang berperan terhadap depresi, kecemasan dan stres penderita diabetes melitus
tipe 2 pada lansia.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang
berperan terhadap depresi, kecemasan dan stres penderita diabetes melitus tipe
2 pada lansia.
2. Tujuan Khusus
3. Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan bacaan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan bagi
peserta didik khususnya dalam keperawatan gerontik, serta dapat menjadikan
dasar untuk penelitian selanjutnya.
2. Bagi Institusi Pelayanan
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi institusi
pelayanan untuk memberikan pelayanan pada lansia tentang psikologi DM.
3. Bagi Peneliti
Menambah wawasan dan pengetahuan peneliti mengenai faktor apa
saja yang berperan terhadap depresi, kecemasan dan stres penderita diabetes
melitus tipe 2 pada lansia.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Lanjut Usia
1. Pengertian Lanjut Usia
Lanjut usia (lansia) merupakan tahap akhir dalam kehidupan manusia.
Manusia yang memasuki tahap ini ditandai dengan menurunnya kemampuan kerja
tubuh akibat perubahan atau penurunan fungsi organ-organ tubuh (Arisman, 2004).
Seseorang dikatakan lansia ialah apabila seseorang itu sudah berusia 60 tahun atau
lebih. Karena faktor-faktor tertentu yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya
baik secara jasmani, rohani, maupun sosial (Nugroho, 2000).
Dapat disimpulkan bahwa lansia adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau
lebih, baik yang mampu maupun tidak mampu secara fisik berperan dalam
pembangunan dan memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri, yang disebabkan oleh
faktor-faktor tertentu.
2. Batasan Usia Lanjut
Menurut WHO batasan usia lanjut yaitu middle/young elderly kelompok usia
antara 45 sampai 59 tahun, lansia (elderly) antara 60 sampai 74 tahun, lansia tua (old)
antara 75 sampai 90, dan usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun. Pada saat ini
ilmuwan sosial yang mengkhususkan diri mempelajari penuaan merujuk kepada
kelompok lanjut usia/lansia: lansia muda (young old) secara umum bahkan kepada
usia antara 65 sampai 74 tahun, yang biasanyan aktif dan bugar. Lansia tua (old old)
berusia antara 75 sampai 84 tahun, dan lansia tertua (oldest old) berusia 85 tahun
keatas (papalia & feldman, 2005).
3. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia
Semakin bertambahnya umur manusia, maka terjadi proses penuaan secara
degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri manusia, tidak
hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan, sosial dan seksual.
a. Perubahan fisik
1) Sistem indra
Perubahan sistem penglihatan pada lansia erat kaitannya dengan presbiopi.
Lensa kehilangan elastisitas dan kaku. Otot penyanggah lensa lemah, ketajaman
penglihatan dan daya akomodasi jarak jauh atau dekat berkurang, penggunaan
kacamata dan penerangan yang baik dapat digunakan. Sistem pendengaran:
5
presbiakusis (gangguan pada pendengaran) oleh karena hilangnya kemampuan
(daya) pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suatu atau nada-
nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, kata-kata yang sulit dimengerti, 50%
terjadi pada usia diatas 50 tahun. Sistem integumen: pada lansia kulit mengalami
atrofi, kendur, tidak elastik kering dan berkerut. Kulit akan kekurangan cairan
sehingga menjadi tipis dan bebercak. Kekeringan kulit disebabkan atrofi glandula
sebasea dan glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat pada kulit dikenal
dengan liver spot.
2) Sistem musculoskeletal
Perubahan sistem musculoskeletal pada lansia yaitu :
a. Jaringan penghubung (kolagen dan elastin), kolagen sebagai pendukung utama
pada kulit, tendon, tulang, kartilago, dan jaringan pengikat mengalami
perubahan menjadi bentangan yang tidak teratur.
b. Kartilago, jaringan kartilago pada persendian lunak dan mengalami granulasi
dan akhirnya permukaan menjadi rata, kemudian kemampuan kartilago untuk
regenerasi berkurang dan degenerasi terjadi cenderung ke arah progresif.
c. Tulang, berkurangnya kepadatan tulang dan dampaknya mengakibatkan
osteoporosis.
d. Otot, perubahan struktur otot mengakibatkan berkurangnya kekuatan otot dan
penurunan fleksibilitas.
e. Sendi, pada lansia terjadi penurunan elastisitas sendi sehingga mengakibatkan
nyeri, bengkak dan gangguan dalam berjalan.
3) Sistem kardiovaskuler dan respirasi
Perubahan system kardiovaskuler dan respirasi mencakup :
a. Sistem kardiovaskuler mengalami perubahan seperti arteri yang kehilangan
keelastisitasannya. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan nadi dan tekanan
sistolik darah.
b. Sistem respirasi terjadi pendistribusian tulang kalsium dan sebaliknya, tulang
rawan kosta berlimpah kalsium. Berdasarkan hal ini lansia mengalami
gangguan pernafasan akibat penurunan ventilasi paru.
6
4) Pencernaan dan metabolisme
Perubahan yang terjadi pada sistem perencanaan, seperti penurunan produksi
sebagai kemunduran fungsi yang nyata. Pada lansia terjadi penurunan
pengecapan, kehilangan gigi, hilangnya sensitifikasi dari saraf pengecap dilidah,
asam lambung menurun, peristaltic lemah dan biasanya timbul konstipasi
(Azizah, 2011).
5) Sistem perkemihan
Pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang signifikan dimana banyak
fungsi yang mengalami kemunduran. Pola berkemih menjadi tidak normal,
seperti banyak berkemih di malam hari, sehingga mengharuskan mereka pergi
ketoilet sepanjang malam. Hal ini menunjukkan bahwa inkontinensia urin
meningkat (Azizah, 2011).
6) Sistem saraf
Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atrofi yang
progresif pada serabut saraf lansia. Lansia mengalami penurunan koordinasi dan
kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Penuaan menyebabkan
penurunan persepsi sensori dan respon motorik pada susunan saraf pusat dan
penurunan reseptor proprioseptif, hal ini terjadi karena susunan saraf pusat pada
lansia mengalami perubahan yang mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi
kognitif (Azizah, 2011).
7) Sistem reproduksi
Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan menciutnya ovari dan
uterus, dan terjadi atrofi payudara. Pada laki-laki testis masih dapat memproduksi
spermatozoa, meskipun adanya penurunan secara perlahan-lahan. Dorongan
seksual menetap sampai usia di atas 70 tahun (asal kondisi kesehatan baik), yaitu
dengan kehidupan seksual dapat diupayakan sampai masa lanjut usia. Selaput
lendir vagina menurun, permukaan menjadi halus, sekresi menjadi berkurang dan
reaksi sifatnya menjadi alkali (Azizah, 2011).
a. Perubahan kognitif
1) Memori (daya ingat dan ingatan)
Pada lanjut usia, daya ingat (memori) merupakan salah satu fungsi kognitif
yang sering kali paling awal mengalami penurunan. Ingatan jangka panjang
(long term memory) kurang mengalami perubahan, sedangkan ingatan jangka
pendek (short term memory) atau seketika 0-10 menit memburuk.
7
2) IQ (intelligent quocient)
Lansia tidak mengalami perubahan dengan informasi matematika (analitis,
linear, sekuensial) dan perkataan verbal, tetapi persepsi dan daya
membayangkan (fantasi) menurun. Walaupun mengalami kontroversi, tes
intelegensia kurang memperhatikan adanya penurunan kecerdasan pada
manusia.
3) Kemampuan belajar (learning)
4) Kemampuan pemahaman (comprehension)
Kemampuan atau pemahaman atau menangkap pengertian dini pada lansia
mengalami penurunan. Hal ini dipengaruhi oleh konsentrasi dan fungsi
pendengaran lansia yang mengalami penurunan.
5) Pemecahan masalah (problem solving)
Pada lanjut usia, masalah-masalah yang dihadapi tentu semakin banyak.
Banyak hal yang dahulunya dengan mudah dapat dipecahkan menjadi
terhambat karena terjadinya penurunan fungsi indra pada lanjut usia.
Hambatan yang lain dapat berasal dari penurunan daya ingat, pemahaman dan
lain-lain, yang berakibat pada pemecahan masalah menjadi lebih lama.
6) Pengambilan keputusan (decision making)
Pengambilan keputusan termasuk dalam proses pemecahan masalah.
Pengambilan keputusan pada lanjut usia sering lambat atau seolah-olah terjadi
penundaan. Oleh sebab itu, mereka membutuhkan petugas atau pendamping
yang sabar dan sering mengingatkan mereka.
7) Kebijaksanaan (wisdom)
Pada lansia semakin bijaksana dalam menghadapi suatu permasalahan
dimana kebijaksanaan tersebut sangat tergantung dari tingkat kematangan
kepribadian seseorang dan pengalaman hidup yang dijalaninya.
8) Kinerja (performance)
Pada lanjut usia akan terlihat penurunan kinerja. Penurunan itu bersifat
wajar sesuai dengan perubahan organ-organ biologis ataupun perubahan yang
sifatnya patologis.
9) Motivasi
Lanjut usia memiliki motivasi yang cukup besar baik kognitif maupun
afektif untuk mencapai/memperoleh sesuatu, namun motivasi seringkali
kurang diperoleh dari dukungan kekuatan fisik maupun psikologis.
8
b. Perubahan spiritual
Agama atau kepercayaan lansia makin berintegrasi dalam kehidupannya.
Lansia akan semakin teratur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini dapat dilihat
dalam berfikir dan bertindak sehari-hari. Spiritual pada lansia bersifat universal,
intrinsik dan merupakan proses individual yang berkembang sepanjang rentang
kehidupan. Karena aliran siklus kehilangan terdapat pada kehidupan lansia.
c. Perubahan psikososial
Perubahan psikososial yang dialami oleh lansia antara lain :
1) Pensiun
2) Perubahan aspek kepribadian
3) Perubahan dalam peran social di masyarakat
4) Perubahan minat
9
3. Faktor resiko Diabetes Mellitus Tipe II
Beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi DM tipe II
(Smeltzer & Bare, 2002) antara lain:
a. Kelainan genetik
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap
diabetes,karena gen yang mengakibatkan tubuh tak dapat menghasilkan insulin
dengan baik.
b. Usia
Umumnya penderita DM tipe II mengalami perubahan fisiologi yang secara
drastis, DM tipe II sering muncul setelah usia 30 tahun ke atas dan pada mereka
yang berat badannya berlebihan sehingga tubuhnya tidak peka terhadap insulin.
c. Gaya hidup stress
Stres kronis cenderung membuat seseorang makan makanan yang manis-
manis untuk meningkatkan kadar lemak seretonin otak. Seretonin ini mempunyai
efek penenang sementara untuk meredakan stresnya. Tetapi gula dan lema
berbahaya bagj mereka yang beresiko mengidap penyakit DM tipe II.
d. Pola makan yang salah
Pada penderita DM tipe II terjadi obesitas (gemuk berlebihan) yang dapat
mengakibatkan gangguan kerja insulin (resistensi insulin). Obesitas bukan karena
makanan yang manis atau kaya lemak, tetapi lebih disebabkan jumlah konsumsi
yang terlalu banyak, sehingga cadangan gula darah yang disimpan didalam tubuh
sangat berlebihan.Sekitar 80% pasien DM tipe II adalah mereka yang tergolong
gemuk.
10
5. Komplikasi Diabetes Mellitus Tipe II
DM tipe II bisa menimbulkan komplikasi. Komplikasi menahun D merajalela
ke mana-mana bagian tubuh. Selain rambut rontok, telinga berdenging atau tuli,
sering berganti kacamata (dalam setahun beberapa kali ganti), katarak pada usia
dini, dan terserang glaucoma (tekanan bola mata meninggi, dan bisa berakhir
dengan kebutaan), kebutaan akibat retinopathy, melumpuhnya saraf mata terjadi
setelah 10-15 tahun. Terjadi serangan jantung koroner, payah ginjal neuphropathy,
saraf-saraf lumpuh,atau muncul gangrene pada tungkai dan kaki, serta serangan
stroke. Pasien DM tipe II mempunyai risiko terjadinya penyakit jantung koroner
dan penyakit pembuluh darah otak 2 kali lebih besar, kematian akibat penyakit
jantung 16,5% dan kejadian komplikasi ini terus meningkat. Kualitas pembuluh
darah yang tidak baik ini pada penderita diabetes mellitus diakibatkan 20 faktor
diantaranya stress, stress dapat merangsang hipotalamus dan hipofisis untuk
peningkatan sekresi hormonhormon kontra insulin seperti ketokelamin, ACTH,
GH, kortisol,dan lainlain.Akibatnya hal ini akan mempercepat terjadinya
komplikasi yang buruk bagi penderita diabetes mellitus (Nadesul, 2002).
11
adalah insulin, sedangkan untuk pengobatan utama diabetes mellitus tipe II adalah
penurunan berat badan (Brunner & Suddart, 2002).
Pada pasien DM tipe II cukup dengan menurunkan berat badan sampai
mencapai berat badan ideal, tapi bila harus dengan obat ada dua jenis obat yaitu
untuk pasien gemuk dan untuk pasien kurus. Beberapa prinsip pengelolahan
kencing manis adalah :
(1) Edukasi kepada pasien, keluarga dan masyarakat agar menjalankan
perilaku hidup sehat,
(2) Diet (nutrisi) yang sesuai dengan kebutuhan pasien, dan pola makan yang
sehat,
(3) Olah raga seperti aerobik (berenang, bersepeda,jogging, jalan cepat) paling
tidak tiga kali seminggu, setiap 15-60 menit sampai berkeringat dan terengah
tanpa membuat nafas menjadi sesak atau sesuai dengan petunjuk dokter,
(4) Obat-obat yang berkhasiat menurunkan kadar gula darah, sesuai dengan
petunjuk dokter.
C. Stres
1. Pengertian Stres
Stres merupakan realitas kehidupan setiap hari. Stres adalah perubahan yang
memerlukan penyesuaian, kejadian yang menimbulkan stres dianggap sebagai
kejadian yang negatif seperti cedera, sakit atau kematian orang yang dicintai,
dapat juga kejadian yang positif sebagai contoh perubahan status dan tanggung
jawab baru (Hamid, 1995).
Baum et al (1984) yang dikutip oleh Neil (2000) dalam buku Psikologi
Kesehatan menyatakan bahwa stres dijelaskan sebagai variasi luas dari hasil akhir,
yang kebanyakan negatif, tidak membutuhkan penjelasan, mereka mengatakan
bahwa stres untuk gejala psikologis yang mendahului penyakit, reaksi ansietas,
ketidaknyamanan dan banyak keadaan lain (Neil, 2000).
Stres terjadi jika seseorang dihadapkan dengan peristiwa yang mereka rasakan
sebagai ancaman terhadap kesehatan fisik atau psikologisnya, peristiwa tersebut
biasanya dinamakan stesor, dan reaksi orang terhadap peristiwa dinamakan respon
stres (Suryabrata, 2002). Stres merupakan suatu stimulus yang menuntut, akibat
dari respon fisiologis dan emosional kita pada stimulasi lingkungan, interaksi
antara orang dengan lingkungannya (Abraham, 1997).
12
2. Penyebab Umum stress
Peristiwa yang dirasakan sebagai stres biasanya masuk ke dalam salah satu
atau lebih kategori berikut (widjaja, 1999) :
a. Peristiwa traumatik
Situasi bahaya ekstrim yang berada di luar rentang pengalaman manusia
yang lazim. Peristiwa tersebut antara lain : bencana alam, bencana buatan
manusia, penyerangan fisik (pemerkosaan/upaya pembunuhan).
13
d. Konflik internal
Stres juga dapat ditimbulkan oleh proses internal-konflik yang tidak
terpecahkan yang mungkin disadari atau tidak disadari. Konflik terjadi jika
seseorang harus memilih antara tujuan/tindakan yang tidak
sejalan/bertentangan.
a. Faktor predisposisi
Faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat
dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stres. Faktor risiko ini antara lain
faktor biologi, psikologi dan sosio kultural.
b. Stresor prepitasi
Stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman, atau
tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Tantangan, ancaman, atau
tuntutan ini tergantung dari sifat, asal, waktu serta jumlah stresor.
d. Sumber koping
Sumber koping merupakan suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi
seseorang. Sumber koping meliputi kemampuan ekonomi, kemampuan dan
keahlian, teknik pertahanan, suport sosial serta motivasi.
14
e. Mekanisme koping
Tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stres, termasuk upaya
penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk
melindungi diri.
Model adaptasi stres dibuat untuk beberapa tujuan. Pertama model dapat
menolong mengklarifikasi hubungan, membentuk hipotesis dan memberi perspektif
terhadap ide yang abstrak. Kedua, model juga menyediakan struktur berpikir,
observasi dan interpretasi terhadap apa yang dilihat. Model keperawatan
konseptual merupakan gambaran kerangka kerja antara pasien dengan lingkungan
dan status kesehatan serta aktifitas keperawatan yang dilakukan (Stuart, 2001).
D. Koping
1. Pengertian
Menurut Lazarus seperti yang dikutip oleh Friedman (1998) koping terdiri
atas usaha kognitif dan perilaku yang dilakukan untuk mengatur hubungan
eksternal dan internal tertentu yang membatasi sumber seseorang. Koping dapat
adaptif dan maladaptif, sedangkan Pearlin dan Schooler (1978) mengemukakan
bahwa koping adalah suatu respon (perilaku atau persepsi kognitif) terhadap
ketegangan hidup eksternal yang bertindak untuk mencegah, menghindari,
mengontrol distress emosi.
Koping individu didefinisikan sebagai respon yang positif, sesuai dengan
masalah, afektif, persepsi dan respon perilaku yang digunakan individunya dan
subsistemnya untuk memecahkan suatu masalah atau mengurangi stress yang
diakibatkan oleh masalah atau peristiwa (Isaac, 1996). Koping individu
merupakan proses yang aktif dimana individu menggunakan sumber-sumber
dalam individu dan mengembangkan perilaku baru yang bertujuan untuk
menumbuhkan kekuatan dalam individu, mengurangi dampak stress pada
kehidupan (Friedman, 2003).
15
2. Sumber koping
Menurut Friedman sumber koping individu terdiri dari dua jenis yaitu
sumber koping internal dan eksternal. Sumber koping internal terdiri dari
kemampuan keluarga yang menyatu sehingga menjadi kohesif dan terintregrasi,
fleksibilitas peran nidividu yaitu mampu memodifikasi peranperan individu ketika
dibutuhkan. Sedangkan sumber koping eksternal sistem pendukung sosial oleh
seseorang. Setiap individu akan berbeda dalam menggunakan sistem pendukung
sosial ini, tergantung dari sejauh mana mereka mampu memperoleh bantuan dari
lingkungan mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan terhadap informasi,
barang dan pelayanan (Friedman,1998)
3. Strategi koping
Ada berbagai macam strategi koping yang dilakukan individu pada saat
mengalami masalah. Dua tipe strategi koping individu yaitu koping internal atau
intra familial dan eksternal atau ekstrafamilial. Strategi koping internal meliputi
strategi hubungan antara individu, strategi kognitif dan strategi komunikasi. Untuk
strategi hubungan antar individu hal-hal yang dilakukan oleh keluarga antara lain
membentuk hubungan saling percaya, sharing antar individu dan fleksibelitas
peran. Strategi kognitif meliputi normalisasi, mengontrol makna dari masalah dan
penyusunan kembali kognitif, menyelesaikan masalah secara bersama dan
mencari informasi, sedangkan hal-hal yang dilakukan individu untuk strategi
komunikasi adalah keterbukaan dan penggunaan humor (Friedman, 2003).
16
yang tidak ditangani oleh petugas perawatan kesehatan professional dan upaya-
upaya terorganisir kaum professional dalam bidang kesehatan. Berkaitan dengan
dukungan spiritual, kepercayaan terhadap Tuhan dan berdoa diidentifikasikan oleh
keluarga sebagai cara paling penting untuk mengatasi stressor yang berkaitan
dengan kesehatan (Friedman,1998). Pearlin dan Schooler (1978) ditulis kembali
oleh Friedman (2003), mengidentifikasikan tiga tipe strategi koping yang
digunakan secara luas oleh individu-individu dalam menjalankan fungsi sosialnya,
yaitu mengubah situasi yang penuh dengan stress, mengontrol makna dari
masalah, mengakomodasi dan mengatur stress yang ada (Friedman, 2003).
17
4. Koping penderita DM tipe II
18
E. Kerangka Teori
Penderita DM tipe II
Stres
19
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah suatu uraian yang berhubungan
antara suatu konsep terhadap konsep yang lainnya, dan variabel yang satu dengan
variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui faktor yang berperan terhadap depresi, kecemasan dan
stres penderita diabetes melitus tipe 2 pada lansia.
B. Hipotesa Penelitian
Hipotesa adalah jawaban sementara yang sebenarnya akan dibuktikan dalam
penelitian yang akan dilakukan. Setelah melalui pembuktian dari hasil penelitian
maka hipotesa ini dapat benar atau salah, dapat diterima atau ditolak (setiadi, 2007).
Dari penelitian yang akan dilakukan diharapkan mendapatkan hipotesis sebagai
berikut :
1) Partisipan mengalami depresi terkait dengan penyakit diabetes melitus
tipe 2 yang dideritanya.
2) Partisipan juga merasakan kecemasan dan stres namun depresi yang
tinggi tidak selalu diikuti oleh kecemasan atau stres yang tinggi.
3) Faktor yang mempengaruhi depresi, kecemasan, dan stres pada pada
partisipan yang mengalami Diabetes Melitus tipe 2 dapat dilihat
diantaranya adalah lama berobat atau lama menderita penyakit.
4) Faktor yang juga mempengaruhi depresi, kecemasan, dan stres pada
partisipan ialah faktor kognitif.
20
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian terapan dengan metode kualitatif deskriptif.
C. Instrumen Penelitian
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini antara lain tes psikologi berupa
tes DASS (Depression, Anxiety, Stress Scale).Tes DASS digunakan untuk mengukur
depresi, kecemasan, dan stres pada partisipan. Selain itu peneliti juga menggunakan
wawancara dengan panduan yang telah disusun serta kuesioner data diri.
21