Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Trauma
Thorax” pada bagian “PNEUMOTHORAKS” ini dengan baik. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga terselesaikannya makalah ini.
Akhir kata penulis menyadari tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca guna kesempurnaan makalah
ini dan perbaikan pada makalah ke depannya.

Bukittinggi, 7 November 2017


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................ 1


DAFTAR ISI........................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ................................................................ 3
B. TUJUAN ..................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFENISI ................................................................................... 4
B. ANATOMI & FISIOLOGI ......................................................... 6
C. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI............................................... 8
D. PATOFOSIOLOGI ..................................................................... 8
E. MANIFESTASI KLINIS ............................................................ 9
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK .............................................. 10
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG................................................ 11
H. PENATALAKSANAAN ............................................................ 11
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN ............................................................................ 16
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN ................................................ 18
C. INTERVENSI ............................................................................. 19
D. IMPLEMENTASI ....................................................................... 24
E. EVALUASI................................................................................. 27
BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN ........................................................................... 28
B. SARAN ....................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 29
BAB I
PENDAHULUAN
KONSEP KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN DENGAN TRAUMA
THORAX
A. Latar Belakang
Trakeostomi adalah tindakan bedah membuat lubang di trakea untuk membebaskan
jalan napas. Tindakan ini dapat menyebabkan komplikasi berupa emfisema subkutis,
pneumotoraks dan pneumomediastinum. Risiko komplikasi meningkat pada trakeostomi
darurat. (menurut jurnal Pneumotoraks dan pneumomediastinum sebagai komplikasi
trakeostomi darurat Arie Cahyono, Hastuti Rahmi).Rongga toraks merupakan suatu rongga
yang diisi oleh berbagai organ tubuh yang sangat vital, diantarannya : jantung, paru,
pembuluh darah besar.Rongga toraks dibentuk oleh suatu kerangka dada berbentuk cungkup
yang tersusun dari tulang otot yang kokoh dan kuat, namun dengan konstruksi yang lentur
dan dengan dasar suatu lembar jaringan ikat yang sangat kuat yang disebut Diaphragma.
Konstruksi kerangka dada tersebut diatas sangat menunjang fleksibelitas fungsinya,
diantaranya : fungsi perlindungan terhadap trauma dan fungsi pernafasan.
Hanya trauma tajam dan trauma tumpul dengan kekuatan yang cukup besar saja yang mampu
menimbulkan cedera pada alat / organ dalam yang vital tersebut diatas.
Secara keseluruhan angka mortalitas trauma thorax adalah 10 %, dimana trauma thorax
menyebabkan satu dari empat kematian karena trauma yang terjadi di Amerika Utara.
Banyak penderita meninggal setelah sampai di rumah sakit dan banyak kematian ini
seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostik dan terapi. Kurang
dari 10 % dari trauma tumpul thorax dan hanya 15 – 30 % dari trauma tembus thorax yang
membutuhkan tindakan torakotomi. Mayoritas kasus trauma thorax dapat diatasi dengan
tindakan teknik prosedur yang akan diperoleh oleh dokter yang mengikuti suatu kursus
penyelamatan kasus trauma thorax.
Dengan semakin meningkatnya teknologi dan industri di negara kita terutama
kendaraan bermotor, maka akan meningkat pula angka kejadian dari trauma toraks. Di
Amerika Serikat, penderita trauma secara keseluruhan mendekati 70 juta jiwa setiap
tahunnya dengan menghabiskan dana kira-kira 100 milyar dolar setahun, dan 1 dari 100
kematian oleh trauma disebabkan oleh trauma thoraks.
(http://www.medicine.ucsd.edu/clinicalmed/lung)
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian trauma thorak?
2. Apa saja jenis-jenis trauma thorak?
3. Bagaimana pemeriksaan primary survey?
4. Bagaimana pemeriksaan secondary survey?
5. Bagaimana penatalaksanaan trauma thorak?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian trauma thorak
2. Untuk mengetahui jenis-jenis trauma thorak
3. Untuk mengetahui pemeriksaan primary survey
4. Untuk mengetahui pemeriksaan secondary survey
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan trauma thorak
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Trauma Thorak


Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat
menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan
oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thoraxyang dapat
menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan
oleh benda tajam atau bennda tumpul dandapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.
Trauma thorax kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya berupa
trauma tumpul dinding thorax. Dapat juga disebabkanoleh karena trauma tajam melalui
dinding thorax.
Kerangka rongga thorax,meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri
dari sternum, 12vertebra thoracalis, 10 pasang iga yang berakhir di anterior dalam segmen
tulang rawan dan 2 pasang yang melayang. Kartilago dari 6 iga memisahkan articulasio dari
sternum, kartilago ketujuh sampai sepuluh berfungsi membentuk tepi kostal sebelum
menyambung pada tepi bawah sternum.Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan
oleh trauma thorax. Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya
pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipovolemia (kehilangan darah),
pulmonaryventilation/perfusion mismatch dan perubahan dalam tekanan intratthorax.
Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan
intrathorax atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosismetabolik disebabkan oleh hipoperfusi
dari jaringan (syok).(buku kumpulan kuliah ilmu bedah)

B. Jenis-Jenis Trauma Thorak


Trauma toraks dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu trauma tembus atau tumpul.
1. Trauma tembus (tajam)
• Terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung akibat penyebab trauma
• Terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, dsb) atau peluru
• Sekitar 10-30% memerlukan operasi torakotomi
2. Trauma tumpul
• Tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks.
• Terutama akibat kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, olahraga, crush atau blast injuries.
• Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio paru.
• Sekitar <10% yang memerlukan operasi torakotomi
Berdasarkan mekanismenya terdiri dari :
1. Akselerasi
Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab trauma. Gaya perusak
berbanding lurus dengan massa dan percepatan (akselerasi); sesuai dengan hukum Newton II
(Kerusakan yang terjadi juga bergantung pada luas jaringan tubuh yang menerima gaya
perusak dari trauma tersebut.
Pada luka tembak perlu diperhatikan jenis senjata dan jarak tembak; penggunaan senjata
dengan kecepatan tinggi seperti senjata militer high velocity (>3000 ft/sec) pada jarak dekat
akan mengakibatkan kerusakan dan peronggaan yang jauh lebih luas dibandingkan besar
lubang masuk peluru.
2. Deselerasi
Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan. Biasanya terjadi pada
tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat trauma. Kerusakan terjadi oleh karena pada
saat trauma, organ-organ dalam yang mobile (seperti bronkhus, sebagian aorta, organ visera,
dsb) masih bergerak dan gaya yang merusak terjadi akibat tumbukan pada dinding
toraks/rongga tubuh lain atau oleh karena tarikan dari jaringan pengikat organ tersebut.
3. Torsio dan rotasi
Gaya torsio dan rotasio yang terjadi umumnya diakibatkan oleh adanya deselerasi organ-
organ dalam yang sebagian strukturnya memiliki jaringan pengikat/fiksasi, seperti Isthmus
aorta, bronkus utama, diafragma atau atrium. Akibat adanya deselerasi yang tiba-tiba, organ-
organ tersebut dapat terpilin atau terputar dengan jaringan fiksasi sebagai titik tumpu atau
porosnya.
4. Blast injury
Kerusakan jaringan pada blast injury terjadi tanpa adanya kontak langsung dengan penyebab
trauma. Seperti pada ledakan bom. Gaya merusak diterima oleh tubuh melalui penghantaran
gelombang energi. (buku kumpulan kuliah ilmu bedah)
C. Pemeriksaan Primary Survey
Yaitu dilakukan pada trauma yang mengancam jiwa, pertolongan ini dimulai dengan airway,
breathing, dan circulation.
1. Open Pneumothorax
Dapat timbul karena trauma tajam, sedemikian rupa, sehingga ada hubungan udara luar
dengan rongga pleura, sehingga paru menjadi kuncup. Seringkali hal ini terlihat sebagai luka
pada dinding dada yang mengisap pada setiap inspirasi (sucking chest wound). Apabila
lubang ini lebih besar daripada 1/3 diameter trachea, maka pada inspirasi, udara lebih mudah
melewati lubang pada dinding dada dibandingkan melewati mulut, sehingga terjadi sesak
yang hebat. Dengan demikian maka pada oper pneumothorax, usaha pertama adalah menutup
lubang pada dinding dada ini, sehingga open pneumothorax menjadi close pneumothorax
(tertutup). Harus segera ditambahkan bahwa Apabila selain lubang pada dinding dada, juga
ada lubang pada paru, maka usaha menutup lubang ini dapat mengakibatkan terjadinya
tension pneumothorax. Dengan demikian maka yang harus dilakukan adalah:
• Menutup dengan kasa 3 sisi. Kasa ditutup dengan plester pada 3 sisinya, sedangkan pada
sisi yang atas dibiarkan terbuka (kasa harus dilapisi zalf/sofratulle pada sisi dalamnya supaya
kedap udara)
• Menutup dengan kasa kedap udara. Apabila dilakukan cara ini maka harus sering dilakukan
evaluasi paru. Apabila ternyata timbul tanda tension pneumothorax, maka kasa harus dibuka
pada luka yang sangat besar, maka dapat dipakai palastik infuse yang digunting sesuai
ukuran.
2. Tension Pneumothorax
Berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil), kebocoran udara yang berasal
dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat
keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak
dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps,
mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena ke
jantung (venous return), serta akan menekan paru kontralateral.
Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi penggunaan ventilasi
mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita dengan kerusakan pada
pleura viseral. Tension pneumothorax dapat timbul sebagai komplikasi dari penumotoraks
sederhana akibat trauma toraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa
robekan atau setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vnea jugularis
interna.
Tension pneumothorax juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang
mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures). Diagnosis tension pneumotorax
ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan tetapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu
konfirmasi radkologi. Tension pneumothorax ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak,
distres pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakes, hilangnya suara nafas pada satu sisi
dan distensi vena leher. Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan
penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga
dua garis midclavicular pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan
mengubah tension pneumothorax menjadi pneumothoraks sederhana (catatan : kemungkinan
terjadi pneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu
diperlukan. Tetapi definitif selalu dibutuhkan dengan pemsangan selang dada (chest tube)
pada sela iga ke 5 (garis putting susu) diantara garis anterior dan midaxilaris.
3. Hematothorax massif
Hematothorax massif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1.500 cc di dalam
rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah
sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Hal ini juga dapat disebabkan trauma tumpul.
Diagnosis hemotoraks ditegakkan dengan adanya syok yang disertai suara nafas menghilang
dan perkusi pekak pada sisi dada yang mengalami trauma. Terapi awal hemotoraks masif
adalah dengan penggantian volume darah yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi
rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan
kemudian pemberian darah dengan golongan spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura
dapat dikumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk autotransfusi. Jika pada awalnya
sudah keluar 1.500 ml, kemungkinan besar penderita tersebut membutuhkan torakotomi
segera.
Keputusan torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan darah terus menerus sebanyak 200
cc/jam dalam waktu 2 sampai 4 jam, tetapi status fisiologi penderita tetap lebih diutamakan.
Transfusi darah diperlukan selama ada indikasi untuk toraktomi. Selama penderita dilakukan
resusitasi, volume darah awal yang dikeluarkan dengan selang dada (chest tube) dan
kehilangan darah selanjutnya harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang akan
diberikan. Warna darah (arteri atau vena) bukan merupakan indikator yang baik untuk
dipakai sebagai dasar dilakukannya torakotomi. Luka tembus toraks di daerah anterior medial
dari garis puting susu dan luka di daerah posterior, medial dari skapula harus di sadari oleh
dokter bahwa kemungkinan dibutuhkan torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai
pembuluh darah besar, struktur hilus dan jantung yang potensial menjadi tamponade jantung.
4. Flail Chest
Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan
dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang
iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya semen flail chest (segmen mengambang)
menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di
bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabkan hipoksia
yang serius.
Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim paru yang mungkin
terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan
paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan
menyebabkan hipoksia.
Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang
mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya. Flail Chest
mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding dada.
Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan tidak
terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang
rawan membantu diagnosisi.
Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi
terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yaitu
adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam diagnosis Flail Chest.
Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan
dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka pemberian cairan kristoloid intravena
harus lebih berhati-hati untuk mencegah kelebihan pemberian cairan. Bila ada kerusakan
parenkim paru pada Flail Chest, maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun
kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian
cairan benar-benar optimal. Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan
berupa oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki
ventilasi. Tidak semua penderita membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia
merupakan hal penting pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan
untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut
ditemukan secara lengkap. Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen
arterial dan penilaian kinerja pernafasan akan memberikan suatu indikasi timing / waktu
untuk melakukan intubasi dan ventilasi. (buku kumpulan kuliah ilmu bedah)
5. Temponade Jantung
Tamponade jantung adalah kompresi jantung disebabkan oleh darah atau cairan yang
terakumulasi di ruang antara miokardium (otot jantung) dan pericardium (lapisan luar
jantung). Ini merupakan keadaan darurat medis,dengan meningkatnya produksi cairan
sehingga akan menekan jantung lebihkuat dan proses pengisian tidak normal. Jika tidak
diobati, ventrikel akan terganggu, mengakibatkan shock dan kematian.
Etiologinya bermacam-macam yang paling sering adalah maligna, perikarditis, uremia dan
trauma, perdarahan ke dalam ruang pericardial akibattrauma, operasi, atau infeksi,
pemasangan pacu jantung, tuberculosis, dan penggunaan antikoagulan.
Patofisiologi Tamponade jantung terjadi bila jumlah efusi pericardium menyebabkan
hambatan serius aliran darah ke jantung ( gangguandiastolik ventrikel ). Penyebab tersering
adalah neoplasma, dan uremi. Neoplasma menyebabkan terjadinya pertumbuhan sel secara
abnormal pada otot jantung. Sehingga terjadi hiperplasia sel yang tidak terkontrol, yang
menyebabakan pembentukan massa (tumor). Hal ini yang dapatmengakibatnya ruang pada
kantong jantung (perikardium) terdesak sehingga terjadi pergesekan antara kantong jantung
(perikardium) dengan lapisan paling luar jantung (epikardium). Pergesekan ini dapat
menyebabkan terjadinya peradangan pada perikarditis sehingga terjadi penumpukan cairan
pada pericardium yang dapat menyebakan tamponade jantung. Uremia juga dapat
menyebabkan tamponade jantung. Dimana orang yang mengalami uremia, didalam darahnya
terdapat toksik metabolik yang dapat menyebabkan inflamasi (dalam hal ini inflamasi terjadi
pada perikardium). Manifestasi klinis dari tamponade jantung adalah takikardi, peningkatan
volume intravascular, peningkatan tekanan vena jugularis. (buku kumpulan kuliah ilmu
bedah)

D. Pemeriksaan Secondary Survey


Pemeriksaan secondary survey merupakan suatau kegiatan mencari perubahan-perubahan
yang dapat berkembang menjadi lebih gawat dan mengancam jiwa apabila tidak segera
diatasi dengan pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe) biasanya dilakukan setelah
pemeriksaan primer (primary survey) dan setelah memulai resusitasi.
Pemeriksaan sekunder dilakukan untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang mungkin
tidak diidentifikasi sebagai masalah yang mengancam jiwa (masalah-masalah yang tidak
mengharuskan untuk dilakukan perawatan atau penanganan segera agar korban selamat,
tetapi mungkin mengancam jiwa jika tidak ditangani) dan juga untuk mendeteksi penyakit
atau trauma yang diderita pasien sehingga dapat ditangani lebih lanjut.
1. Fraktur Iga
Costa merupakan salah satu komponen pembentuk rongga dada yang memiliki fungsi untuk
memberikan perlindungan terhadap organ didalamnya dan yang lebih penting adalah
mempertahankan fungsi ventilasi paru.
Fraktur Costa adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang / tulangrawan yang disebabkan
oleh rudapaksa pada spesifikasi lokasi pada tulangcosta. Fraktur costa akan menimbulkan
rasa nyeri, yang mengganggu prosesrespirasi, disamping itu adanya komplikasi dan gangguan
lain yang menyertai. Diperlukan perhatian khusus dalam penanganan terhadap fraktur ini.
Pada anak fraktur costa sangat jarang dijumpai oleh karena costa pada anak masih sangat
lentur. Fraktur costa dapat terjadi dimana saja disepanjang costa tersebut..Dari keduabelas
pasang costa yang ada, tiga costa pertama paling jarang mengalami fraktur hal ini disebabkan
karena costa tersebut sangat terlindung. Costa ke 4-9 paling banyak mengalami fraktur,
karena posisinya sangat terbuka dan memiliki pelindung yang sangat sedikit, sedangkan tiga
costa terbawah yakni costa ke 10-12 juga jarang mengalami fraktur oleh karena sangat labil.
Secara garis besar penyebab fraktur costa dapat dibagi dalam 2 kelompok :
a. Disebabkan trauma
1) Trauma tumpul
Penyebab trauma tumpul yang sering mengakibatkan adanya fraktur costa antara lain :
Kecelakaan lalulintas,kecelakaan pada pejalan kaki ,jatuh dari ketinggian, atau jatuh pada
dasar yang keras atau akibat perkelahian.
2) Trauma Tembus
Penyebab trauma tembus yang sering menimbulkan fraktur costa luka tusuk dan luka tembak

b. Disebabkan bukan trauma


Yang dapat mengakibatkan fraktur costa, terutama akibat gerakan yang menimbulkan putaran
rongga dada secara berlebihan atau oleh karena adanya gerakan yang berlebihan dan stress
fraktur, seperti pada gerakan olahraga : Lempar martil, soft ball, tennis, golf. Fraktur costa
dapat terjadi akibat trauma yang datangnya dari arah depan, samping ataupun dari arah
belakang. Trauma yang mengenai dada biasanya akan menimbulkan trauma costa, tetapi
dengan adanya otot yang melindungi costa pada dinding dada, maka tidak semua trauma dada
akan terjadi fraktur costa. Fraktur costa yang “displace” akan dapat mencederai jaringan
sekitarnya atau bahkan organ dibawahnya. Fraktur pada costa ke 4-9 dapat mencederai
intercostalis, pleura visceralis, paru maupun jantung, sehingga dapat mengakibatkan
timbulnya hematotoraks, pneumotoraks ataupun laserasi jantung.
2. Kontusio Paru
Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan potentially lethal
chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak
langsung terjadi setelah kejadian, sehingga rencana penanganan definitif dapat berubah
berdasarkan perubahan waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan
evaluasi penderita yang berulang-ulang. Penderita dengan hipoksia bermakna (PaO2 < 65
mmHg atau 8,6 kPa dalam udara ruangan, SaO2 < 90 %) harus dilakukan intubasi dan
diberikan bantuan ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma.
Kondisi medik yang berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit paru kronis dan
gagal ginjal menambah indikasi untuk melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi mekanik.
Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani secara selektif tanpa intubasi
endotrakeal atau ventilasi mekanik. Monitoring dengan pulse oximeter, pemeriksaan analisis
gas darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan diperlukan untuk
penanganan yang optimal. Jika kondisi penderita memburuk dan perlu ditransfer maka harus
dilakukan intubasi dan ventilasi terlebih dahulu.
3. Ruptur Aorta
Ruptur aorta sering menyebabkan kematian penderitanya, dan lokasi ruptura tersering adalah
di bagian proksimal arteri subklavia kiri dekat ligamentum arteriosum. Hanya kira-kira 15%
dari penderita trauma toraks dengan ruptura aorta ini dapat mencapai rumah sakit untuk
mendapatkan pertolongan. Kecurigaan adanya ruptur aorta dari foto toraks bila didapatkan :
a. mediastinum yang melebar
b. fraktur iga 1 dan 2
c. trakea terdorong ke kanan
d. gambaran aorta kabur
e. penekanan bronkus utama kiri
f. gambaran pipa lambung (NGT) pada esofagus yang terdorong ke kanan.
Ruptur aorta disebabkan kekuatan deselerasi yang besar ketika terjadi benturan dan kemudian
kekuatan tersebut didistribusikan secara tidak merata di sepanjang aorta, mengingat pelekatan
aorta pada struktur interna. Trauma akselerasi-deselerasi vertikal seperti jatuh dapat
menyebabkan robeknya aorta asendens dengan tamponade perikardial akut.
Mekanisme yang menyebabkan ruptur adalah:
a. shear forces dalam hubungannyadengan segmen mobile arkus aorta dan aorta torakalis
desendens (mis titik fiksasi padaligamentum arteriosum);
b. kompresi aorta dan pembuluh darah besar lainnya padakolumna vertebralis; dan
c. hiperekstensi intraluminal yang cukup besar selama momentubrukan.
4. Ruptur Diagfragma
Ruptur diafragma jarang merupakan trauma tunggal biasanya disertai trauma lain, trauma
thorak dan abdomen, dibawah ini merupakan organ-organ yang paling sering terkena
bersamaan dengan ruptur diafragma : (1) fraktur pelvis 40%, (2) ruptur lien 25%,, (3) ruptur
hepar 25%, (4) ruptur aorta pars thorakalis 5-10%.
Beberapa ahli membagi ruptur diafragma berdasarkan waktu mendiagnosisnya menjadi :
a. Early diagnosis
• Diagnosis biasanya tidak tampak jelas dan hanpir 50% pasien ruptur diafragma tidak
terdiagnosis dalam 24 jam pertama
• Gejala yang mencul biasanya adanya tanda gangguan pernapasan
• Pemeriksaan fisik yang menudukung : adanya suara bising usus di dinding thorak dan
perkusi yang redup di dinding thorak yang terkena

b. Delayed diagnosis
• Bila tidak terdiagnosa dalam 4 jam pertama, biasanya diagnosa akan muncul beberapa bulan
bahkan tahun kemudian
Sekitar 80-90% ruptur diafragma terjadi akibat kecelakaan sepeda motor. Mekanisme
terjadinya ruptur berhubungan dengan perbedaan tekanan yang timbul antara rongga pleura
dan rongga peritoneum. Trauma dari sisi lateral menyebabkan ruptur diafragma 3 kali lebih
sering dibandingkan trauma dari sisi lainnya oleh karena langsung dapat menyebabkan
robekan diafragma pada sisi ipsilateral. Trauma dari arah depan menyebabSkan peningkatan
tekan intra abdomen yang mendadak sehingga menyebabkan robekan radier yang panjang
pada sisi posterolateral diafragma yang secara embriologis merupakan bagian terlemah.
75 % ruptur diafragma terjadi disisi kiri, dan pada beberapa kasus terjadi pada sisi kanan
yang biasanya disebabkan oleh trauma yang hebat dan biasanya menyebabkan gangguan
hemodinamik, hal ini disebabkan oleh karena letak hepar disebelah kanan yang sekaligus
menjadi suatu proteksi. Pada trauma kendaraan bermotor arah trauma menentukan lokasi
injuri di kanada dan Amerika Serikat biasanya yang terkena adalah sisi kiri khususnya pada
pasien yang menyetir mobil, sedangkan pada penumpang biasanya yang terkena sisi kanan.
Pada trauma tumpul biasanya menyebabkan robekan radier pada mediastinum dengan ukuran
5 – 15 cm, paling sering pada sisi posterolateral, sebaliknya trauma tembus menyebabkan
robekan linear yang kecil dengan ukuran kurang dari 2 cm dan bertahun-tahun kemudian
menimbulkan pelebaran robekan dan terjadi herniasi.
Berikut ini mekanisme terjadinya ruptur diafragma : (1) robekan dari membran yang
mengalami tarikan (stretching ), (2) avulsi diafragma dari titik insersinya, (3) tekanan
mendadak pada organ viscera yang diteruskan ke diafragma.
5. Perforasi Eosofagus
Ruptur esofagus (Boerhaave syndrome) atau perforasi esofagus adalah pecahnya dinding
esofagus karena muntah-muntah. 90 % penyebab ruptur esofagus adalah iatrogenik, yang
biasanya diakibatkan oleh instrumentasi medis seperti paraesophageal endoskopi atau
pembedahan. Dan 10%nya disebabkan oleh muntah-muntah.
Ruptur esofagus umumnya disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan intraesophageal
dan tekanan negatif intrathoracic. Penyebab lain dari ruptur esofagus meliputi trauma tajam,
pil esofagitis, Barrett’s ulkus, infeksi ulkus pada pasien dengan AIDS, dan pelebaran striktur
esofagus.
Sebagian besar kasus ruptur esofagus, terjadi pada bagian posterolateral kiri dan meluas
sampai beberapa sentimeter ke arah distal esofagus. Keadaan ini dikaitkan dengan morbiditas
dan mortalitas yang tinggi dan berakibat fatal pada ketiadaan terapi. Kadang-kadang gejala
non spesifik dapat menyebabkan keterlambatan dalam diagnosis dan dapat memberikan hasil
yang buruk. Penyakit esofagus yang sudah ada sebelumnya bukan merupakan prasyarat untuk
ruptur esofagus, tapi memberikan kontribusi pada peningkatan angka kematian ruptur
esofagus tersebut.
Ruptur esofagus yang disebabkan oleh trauma akibat benda tajam masih tetap merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang penting di Amerika Serikat dan dunia, meskipun
berbagai pendidikan dan peraturan telah diberikan sebagai upaya untuk mengurangi
terjadinya kasus ini.
Penyebab ruptur esofagus umumnya disebabkan oleh trauma tajam/tembus, antara lain:
a. kerusakan iatrogenic dari struktur esofagus atau trauma dari luar
b. peningkatan tekanan intraesofagus disertai muntah hebat
c. penyakit esofagus seperti esofagitis korosif, esophageal ulcer dan neoplasma.
Letak ruptur tergantung dari kasus ruptur esofagus. Ruptur esofagus biasanya terjadi di
pharing atau esefagus bagian bawah tepat di dinding posterolateral di atas diafragma.
Gejala ruptur esofagus juga berupa nyeri dada yang hebat pada saat menelan atau bernapas.
Udara yang masuk ke mediastinum dapat menuju ke leher dan dapat menyebabkan emfisema
subkutaneus atau ke dalam rongga pleura dan dapat menyebabkan pneumothorak.
Ruptur esofagus juga bisa disebabkan oleh varises esofagus. Varises esofagus bisa
menyebabkan hematemesis. Pada kasus ini hematemesis dapat berakibat fatal untuk
penderita. (buku kumpulan kuliah ilmu bedah)

E. Penatalaksanaan Trauma Thorak


1. Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :
a. Diagnostik :
Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat ditentukan
perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam shock.
b. Terapi :
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura. Mengembalikan tekanan
rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" dapat kembali seperti yang seharusnya.
c. Preventive :
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga "mechanis of
breathing" tetap baik.
2. Perawatan WSD dan pedoman latihanya :
a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.
Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari sekali, dan perlu
diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya slang dan tube tidak boleh
dikotori waktu menyeka tubuh pasien.
b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat akan diberi
analgetik oleh dokter.
c. Dalam perawatan yang harus diperhatikan :
• Penetapan slang.
Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan tidak terganggu dengan
bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang dapat dikurangi.
• Pergantian posisi badan.
Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal kecil dibelakang, atau
memberi tahanan pada slang, melakukan pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil
mengangkat badan, atau menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera.
d. Mendorong berkembangnya paru-paru.
• Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
• Latihan napas dalam.
• Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk waktu slang diklem.
• Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.
e. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika perdarahan dalam 1
jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi. Jika banyaknya hisapan
bertambah/berkurang, perhatikan juga secara bersamaan keadaan pernapasan.
f. Suction harus berjalan efektif :
Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan setiap 1 - 2 jam selama
24 jam setelah operasi.
• Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna muka, keadaan
pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.
• Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika suction kurang baik,
coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2 terlentang atau 1/2 duduk ke posisi miring
bagian operasi di bawah atau di cari penyababnya misal : slang tersumbat oleh gangguan
darah, slang bengkok atau alat rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena perlekatanan di
dinding paru-paru.
g. Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage.
• Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang keluar kalau ada
dicatat.
• Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya gelembung udara
yang keluar dari bullow drainage.
• Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara masuk yaitu meng"klem" slang
pada dua tempat dengan kocher.
• Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol dan slang harus tetap
steril.
• Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri, dengan memakai
sarung tangan.
• Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada, misal : slang terlepas,
botol terjatuh karena kesalahan dll.
h. Dinyatakan berhasil, bila :
• Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan radiologi.
• Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.
• Tidak ada pus dari selang WSD.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Trauma thorax dapat timbul karena trauma tajam, sedemikian rupa sehingga ada
hubungan udara luar dan dengan rongga pleura, sehingga paru menjadi kuncup,
Seringkali hal ini terlihat sebagai luka pada dinding dada yang menghisap pada setiap
inspirasi/sucking chost woundl.
Menghadapi pasien dengan trauma toraks, triase pertama adalah evaluasi terhadap fungsi
kardio-pulmoner secara sangat cermat dan teliti. Bila telah dapat ditegakkan “Assesment”
kardio pulmoner dan telah dilaksanakan tindakan penanggulangan kegawat daruratan
medis utama, perlu dilakukan “Assesment” kerangka dan rongga toraks secara seksama.
Penguasaan ilmu dan teknik pemeriksaan fisik dada akan sangat menunjang kualitas hasil
pertolongan yang diberikan.

Anda mungkin juga menyukai