Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH PSIKOLOGI

EATING DISORDER

NAMA

Arisanti Aritonang :

Nadya Nur Kholilah : 195059098


KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah melimpahkan
rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan memberikan ide-
idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun terlepas dari
itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat
mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang
lebih baik lagi.
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kini banyak budaya yang disibukkan dengan urusan makan. Di negara-negara maju dewasa ini,
restoran dengan berbagai menu makanan menjamur, demikian juga tempat-tempat makan cepat
saji, dan banyak majalah dan program televisi khusus tentang masak- memasak. Pada saat yang
sama, banyak orang yang mengalami kelebihan berat badan. Pengaturan pola makan untuk
menurunkan berat merupakan hal yang umum dan keinginan banyak orang, terutama kaum
perempuan, untuk bertubuh lebih langsing telah menciptakan bisnis bernilai jutaan dolar setahu.
Melihat minat yang sangat besar terhadap makanan dan makan itu sendiri tidak mengherankan
bahwa aspek perilaku manusia ini dapat mengalami gangguan.

Gangguan makan adalah gangguan mental saat mengonsumsi makanan. Penderita gangguan ini dapat
mengonsumsi terlalu sedikit atau terlalu banyak makanan dan terobsesi pada berat badan atau bentuk
tubuhnya. Ada beberapa jenis gangguan makan, namun tiga jenis yang paling sering dijumpai
adalah anoreksia nervosa, bulimia nervosa, dan gangguan makan berlebihan. Gangguan ini bisa
saja terjadi pada usia berapa pun, namun lebih sering dialami oleh remaja, sekitar usia 13 hingga
17 tahun. Penyebab gangguan makan ini biasanya merupakan gabungan dari faktor genetik,
faktor biologis, serta masalah psikologi. Untuk menanganinya, psikiater dapat melakukan
psikoterapi, dan pemberian obat antidepresan atau antikecemasan.
BAB II
PEMBAHASAN

Stres merupakan gejala gangguan psikologi yang sering kita temui dalam kehidupan
sehari-hari, dimana setiap individu pasti pernah mengalaminya. Secara psikologis, stres telah
terbukti mampu menciptakan perilaku makan pada manusia. Tidak hanya manusia, bahkan stres
pun dapat menyebabkan perilaku makan pada hewan (Mark, Allan, & John, 2006). Kebanyakan
orang yang sedang dalam kondisi stres akan lebih sering makan karena mereka percaya bahwa
makan bisa mengatasi stres yang dialami (Brittany Gower, Zachariah, & University).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1998), stres diartikan sebagai tekanan
atau gangguan atau kekacauan mental dan emosional. Pengertian stres menurut salah satu ahli,
Hans Selye (dalam Mumtahinnah, 2008) mendefinisikan stres sebagai respon yang tidak spesifik
dari tubuh pada tiap tuntutan yang dikenakan atau terjadi kepadanya. Berdasarkan pengertian
tersebut dapat dikatakan stres, apabila seseorang mengalami beban yang berat tetapi orang
tersebut tidak dapat atau sulit mengatasi sesuatu yang dibebankan itu, maka tubuh akan berespon
dengan tidak mampu terhadap beban tersebut, sehingga orang tersebut dapat mengalami stres.
Respons atau tindakan ini termasuk respons fisiologis dan psikologis. Sedangkan Korchin (dalam
Mumtahinnah, 2008) menyatakan bahwa keadaan stres muncul apabila tuntutan-tuntutan yang
luar biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan atau integritas seseorang.

Stres dapat dibedakan menurut tingkatannya, tingkat stres yang dialami setiap individu
berbeda-beda. Tingkat stres sangat ringan, terjadi apabila tidak terdapat gejala berat yang
dialami. Seseorang yang mengalami stres tingkat ringan masih dapat melakukan pekerjaan dan
kegiatannya sehari-hari. Sedangkan tingkat stres yang sangat tinggi terjadi jika semua gejala-
gejala stres yang dialami berintensitas berat. Pada individu yang mengalami tingkat stres yang
berat ini akan mengalami perubahan pola hidup (Dewi, Lilik, & Karyanta, 2013)

Sumbangan pertama dalam penelitian tentang stres diberikan oleh Cannon pada tahun
1932 mengenai respon fight-or-flight, yang menyatakan bahwa organisme merasakan adanya
suatu ancaman, maka secara cepat tubuh akan terangsang dan termotivasi melalui sistem saraf
sistematik dan endokrin. Melalui respon fisiologis ini, organisme didorong untuk menyerang
ancaman tadi atau melarikan diri. Selanjutnya, sumbangan paling penting dalam penelitian stres
dilakukan oleh Hans Seyle pada tahun 1936 tentang General Adaptation Syndrome (GAS). Seyle
menyatakan bahwa ketika organisme berhadapan dengan stresor, dia akan mendorong dirinya
sendiri untuk melakukan tindakan yang diatur oleh kelenjar adrenal yang menaikkan aktivitas
sistem saraf simpatetik. Tanpa memperhatikan penyebab dari ancaman, individu akan merespon
dengan pola reaksi fisiologis yang sama, selebihnya dengan mengulangi atau memperpanjang
stres sehingga akan melicinkan dan mematahkan sistem (Ninggalih, 2013).
Pada beberapa orang stres sering kali bisa terlihat melalui fisik tubuhnya. Misalnya
munculnya jerawat, problem pencernaan, insomnia, kelelahan, sakit kepala, dan masalah
sewaktu buang air, maupun reaksi psikosomatik lainnya mungkin merupakan tanda-tanda bahwa
ada tekanan pada diri sesorang (Hardjana 1994 dalam Solihat, 2009). Sedangkan stres dilihat dari
sisi psikologis seringkali dikaitkan dengan konsumsi makanan yang meningkat, terutama dalam
mengkonsumsi makanan berlemak tinggi (Sims, et al., 2008). Perbedaan individu dalam faktor-
faktor  psikologis dan fisiologi menjelaskan mengenai perilaku makan dalam respon terhadap
stres (Roemmich, Lambiase, Lobarinas, & Balantekin). Menurut Marci (2006) stres muncul
untuk mengubah asupan makanan secara keseluruhan dengan cara makan berlebihan, yang
mungkin dipengaruhi oleh tinggi atau rendahnya tingkat keparahan stres.
Tingkat keparahan stres ini akan mempengaruhi pola makan yang tidak normal yang
dapat menyebabkan gangguan makan (eating disorder). Eating disorder adalah suatu gejala
gangguan pola makan yang tidak normal. Eating disorder diartikan sebagai kelainan yang terjadi
pada kebiasaan makan seseorang yang diakibatkan oleh kekhawatiran orang tersebut akan bentuk
tubuhnya (Fairburn, 2000 dalam Garrow, 2000). Terdapat tiga jenis gangguan makan menurut
DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 5,  2014) yaitu : anorexia
nervosa, bulimia nervosa dan binge eating disorder. Anorexia nervosa adalah kelainan atau
gangguan makan yang membuat seseorang terobsesi akan berat badan yang sangat kecil sehingga
membuat mereka rela kelaparan atau bahkan berolahraga berlebihan; bulimia nervosa adalah
kelainan atau gangguan makan pada seseorang yang membuat dia memuntahkan setiap makanan
yang telah dikonsumsi untuk menjaga berat badannya agar tidak berubah; sedangkan binge
eating disorder adalah suatu kelainan atau gangguan pola makan tidak normal dimana seseorang
memakan makanan dengan jumlah yang sangat banyak dalam suatu waktu yang terbatas,
dibanding yang dimakan oleh orang pada umumnya. Jangka waktu untuk suatu binge itu
biasanya 1-2 jam.
Dari ketiga jenis eating disorder diatas yang berhubungan dengan tingkat tekanan stres
yang kita biasa lihat dengan makan yang berlebihan adalah binge eating disorder (Marci, 2006).
Dimana disaat seseorang mengalami stres, kadang seseorang makan dengan pola yang tidak
wajar atau berlebihan dan bisa juga makan dengan sembunyi-sembunyi, lalu setelah itu
seseorang akan menyesal dengan apa yang ia sudah makan dengan bertambahnya berat badan.
A. Deskripsi gangguan
Anoreksia nervosa, bulimia nervosa dan binge eating disorders(BED) semua termasuk
makan yang dapat diamati, sering menggunakan obat pencahar dan perilaku-perilaku yang lain.
bagaimanapun, untuk mengembangkan konsep secara lengkap dari setiap gangguan ditambahkan
dari sisi sosiokultural, behavioral, kognitif dan proses emosi.
Prevalensi dari anoreksia nervosa pada perempuan dewasa diperkirakan sekitar 0.3 %-
1.62 % (Hoek & van hoeken,2003;Kaye, Klump,Frank &Strober,2000). Bulimia berdasarkan
penelitian merupakan gangguan makan yang lebih umum jika dibandingkan dengan anoreksia
nervosa, yaitu 1-5% pada perempuan usia sekolah, 1-3% pada perempuan dewasan(Harris &
Kuba,1993) dan 0.2% pada laki-laki muda (warheit,langer,Zimmerman &Biafora,1993).
1. Anoreksi nervosa
Anorexia Nervosa adalah gangguan psikis dimana penderitanya merasa bahwa dirinya
terlalu gemuk dan membiarkan diri mereka kelaparan. Penderita anoreksia mencoba
mempertahankan berat badan jauh di bawah normal sehingga terlihat sangat kurus. Mereka
cenderung menolak makanan meskipun terasa lapar ini merupakan cara tidak sehat untuk
mengatasi masalah emosional. Ketika anda memiliki anorexia nervosa, anda sering menyamakan
kekurusan adalah bernilai. Anorexia nervosa  sulit diperbaiki. Tetapi dengan pengobatan,
seseorang dapat meningkatkan pemikiran yang lebih baik mengenai siapa dirinya,
mengembalikan kebiasaan makan yang sehat dan menyembuhkan beberapa komplikasi serius
anorexia. Orang-orang yang menderita anoreksia mengalami ketakutan yang teramat sangat
terhadap kenaikan berat badan, bahkan saat mereka sebenarnya sudah sangat kurus. Penderita
anoreksia akan melakukan berbagai usaha untuk diet, melakukan kegiatan fisik secara
berlebihan, atau melakukan berbagai usaha lain untuk mencegah kenaikan berat badan (seperti
mengkonsumsi obat pencuci perut dan muntah yang disengaja) untuk menurunkan berat badan.
Penyebab utama dari anoreksia nervosa sampai saat ini masih belum diketahui. Berbagai
faktor yang mempengaruhi termasuk depresi dan berbagai gangguan mental lainnya. Gen dan
hormon juga memegang peran penting. Media sosial juga dapat memengaruhi persepsi seseorang
mengenai standar kecantikan yaitu postur tubuh yang sangat kurus dan telah menadi sebuah
budaya ( Brownell,1991) Penyakit ini biasanya menyerang remaja-remaja terutama remaja
wanita pada masa puber karena di masa itu lah seorang remaja umumnya mulai menetapkan
standar tubuh ideal mereka sendiri, biasanya langsing dan cenderung kurus. Orang-orang
penderita anoreksia sangat takut gemuk dan sebagai hasilnya, mereka bisa menerapkan cara-cara
diet ekstrim untuk menurunkan berat badan secara drastis dalam waktu sesingkat mungkin. Cara-
cara tersebut antara lain dengan olahraga berlebihan, mengonsumsi laksatif untuk mendorong
keluarnya sisa makanan, atau bahkan menghindari makan. Dengan melakukan diet berbahaya
tersebut, berat badan mereka bisa turun hingga 15% dari berat badan normal sehingga tubuh
mereka terlihat sangat kurus. Walau demikian, seorang penderita anoreksia biasanya tetap
berpikir bahwa tubuh mereka masih terlalu gemuk meskipun faktanya mereka sudah terlampau
kurus, terserang penyakit, dan bahkan mendekati kematian.
Gejala fisik anoreksia meliputi rendahnya tingkat metabolisme kenikmatan darah rendah,
intoleransi dingin, insomnia bradikardia pola patologis alopeci dan kulit kering. Pengalaman
gangguan makan selama sekejap, khususnya satu chacateritizad oleh penurunan berat badan yang
ekstrem dan atau muntah berulang sering juga berakibat pada peningkatan risiko gejala fisik host
selama awal masa dewasa. Gejala ini meliputi rasa sakit kelelahan dan insomnia, gejala neurogis
dan kesehatan kardiovaskular yang buruk (Johnson, coben). Seseorang dapat dianggap anoreksia
saat ia membatasi asupan makanannya sedemikian rupa supaya berat badannya sangat rendah
disertai dengan rasa takut yang intens untuk berat badan yang naik dan perhatian yang berlebihan
tehadap berat badan atau bentuk badan.Tantangan terbesar dalam menangani seseorang dengan
anoreksia nervosa adalah menyadarkan mereka bahwa mereka memiliki sebuah gangguan.
Banyak penderita anoreksia menyangkal bahwa mereka memiliki pola makan yang tidak sehat.
Para penderita yang pada akhirnya melakukan perawatan medis hanya mereka yang benar-benar
serius. Idealnya, seseorang dapat menyingkirkan anoreksia dengan bantuan tim yang meliputi
seorang profesional kesehatan mental (seperti psikolog atau konselor berlisensi), kesehatan
medis profesional (seperti dokter atau perawat), dan seorang ahli gizi.
a. Gejala Anoreksia Nervosa

Gejala anoreksia meliputi gejala fisik dan emosional. Selain itu, gejala penyakit ini juga
bisa terlihat dari perilaku yang ditunjukkan penderitanya.

1. Gejala fisik
 Kehilangan berat badan yang berlebihan.
 Tampak kurus dan berat badan tidak ideal.
 Kehilangan gairah seksual.
 Gangguan pada organ jantung, seperti jantung berdebar.
 Tekanan darah rendah.
 Gagal ginjal.
 Kulit kering pada tangan dan kaki akibat kurang aliran darah.
 Dehidrasi.
 Mudah lelah, bahkan pingsan tanpa sebab.
 Gigi mudah rusak.
 Muncul rambut halus di wajah dan bagian tubuh lain.
 Tidak tahan udara dingin.
 Rambut menipis dan mudah rontok.
 Sembelit atau sakit perut.
 Bengkak pada lengan dan tungkai.
 Gangguan menstruasi.
 Jari tangan dan kaki kebiruan.
2. Gejala psikologis
 Merasa rendah diri.
 Mudah cemas dan depresi.
 Takut berat badan naik.
 Terlalu memikirkan bentuk tubuh dan berat badan.
 Merasa gemuk meski berat badan di bawah normal.
 Kemampuan konsentrasi menurun.
 Mudah marah saat jam makan.
 Berlebihan dalam menjalankan diet dan menjaga berat badan.
3. Gejala pada perilaku
 Berlebihan dalam diet, seperti menghitung jumlah kalori.
 Merasa makan banyak meski hanya makan dalam porsi kecil.
 Menyembunyikan makanan.
 Penyalahgunaan obat pelangsing, diuretik, dan pencahar.
 Sering bercermin untuk melihat bentuk tubuh.
 Berbohong dengan mengatakan sudah makan meski sebenarnya belum.
 Menarik diri dari lingkungan sosial.
 Latihan fisik yang berlebihan, dan stres bila tidak bisa melakukannya.
 Melukai diri sendiri, bahkan hingga percobaan bunuh diri.
 Sering menimbang berat badan.
 Tidak mau makan di depan umum.

b. Penyebab Anoreksia Nervosa

Belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkan anoreksia. Namun para ahli
mengaitkan penyakit ini dengan kombinasi faktor lingkungan, psikologis, dan biologis.

 Lingkungan. Budaya modern memandang kecantikan atau ketampanan, kesuksesan, dan


kekayaan terkait dengan tubuh kurus. Dorongan dari teman sebaya dapat memperkuat
keinginan untuk memiliki tubuh kurus, khususnya pada remaja putri.
 Psikologis. Sejumlah penderita anoreksia memiliki kecemasan yang membuatnya
menjalani diet ketat. Penderita juga memiliki dorongan kuat untuk tampil sempurna,
karena mereka merasa tidak cukup kurus.
 Biologis. Meski belum bisa dipastikan jenis gen yang terkait dengan anoreksia, para ahli
menduga kondisi ini dipicu oleh perubahan gen.

c. Faktor Risiko Anoreksia Nervosa

Meskipun bisa dialami juga oleh pria, anoreksia umumnya dialami oleh wanita. Diketahui
sebanyak 85-95% penderita anoreksia berjenis kelamin wanita. Gangguan mental ini juga
dapat menimpa individu dari berbagai usia, tapi lebih sering terjadi pada remaja, dan jarang
dialami oleh mereka yang di atas usia 40 tahun.

Selain jenis kelamin dan usia, sejumlah faktor lain yang dapat meningkatkan risiko
seseorang mengalami anoreksia adalah:

 Lingkungan keluarga yang tidak harmonis seperti komunikasi yang kurang baik, sering
bertengkar, dan sulit mengatasi konflik rumah tangga.
 Pernah mengalami peristiwa yang menyebabkan trauma, seperti diperkosa atau
mengalami perundungan (bullying) terkait berat badan atau bentuk tubuh.
 Masalah psikologis, seperti sulit mengungkapkan perasaan, tidak menyukai bentuk tubuh
sendiri, rendah diri, menerapkan standar tinggi pada bentuk tubuh (perfeksionis), serta
mudah merasa cemas, kesepian, depresi, dan marah.
 Anggapan dan tekanan di masyarakat bahwa bentuk tubuh yang langsing adalah
sempurna.
 Terlahir prematur, memiliki berat lahir rendah, atau terlahir kembar.
 Ketidakseimbangan kimia otak yang mengatur rasa lapar.
 Riwayat anoreksia dalam keluarga.
 Terlalu banyak diet.

d. Diagnosis Anoreksia Nervosa

Sebagaimana pada gangguan mental lainnya, dokter menggunakan standar Diagnostic and


Statistic Manual of Mental Disorder (DSM-5) untuk memperoleh diagnosis anoreksia. Pasien
akan dinyatakan mengalami anoreksia bila mengalami sejumlah kriteria berikut ini:

 Membatasi asupan makanan untuk mendapatkan atau mempertahankan berat badan di


bawah normal, tanpa mempedulikan energi yang dibutuhkan.
 Memiliki rasa takut yang besar bila berat badan bertambah atau bila tubuh menjadi
gemuk. Ketakutan ini memicu penderita melakukan kegiatan yang bisa menurunkan atau
mempertahankan berat badannya, meskipun berat badan sudah di bawah normal.
 Mengalami gangguan dalam memandang tubuhnya sendiri, seperti terus menerus
mengamati bentuk tubuh dan berat badan, serta menyangkal bahwa berat badannya sudah
di bawah normal.

Dokter juga dapat menjalankan pemeriksaan fisik, meliputi pengukuran tinggi dan berat badan,
serta mengukur tanda vital pasien, seperti tekanan darah dan detak jantung.

Sejumlah tes juga dapat dilakukan, untuk memastikan diagnosis, menyingkirkan kemungkinan
kondisi lain yang menyebabkan penurunan berat badan, serta memeriksa kemungkinan terjadi
komplikasi. Beberapa tes tersebut adalah:

 Tes laboratorium, seperti hitung darah lengkap, kadar elektrolit dan protein dalam


darah, pemeriksaan fungsi hati, ginjal, kelenjar tiroid, serta tes urine.
 Evaluasi psikologis pasien, meliputi tanya jawab untuk mengetahui pola pikir, perasaan,
dan kebiasaan makan pasien.
 Foto Rontgen, untuk mengetahui kepadatan tulang, kemungkinan infeksi paru-paru
(pneumonia), dan untuk mengetahui kondisi jantung.

e. Pengobatan Anoreksia Nervosa

Pengobatan anoreksia adalah dengan menangani masalah fisik dan mental pasien. Tujuan
pengobatan adalah untuk mencegah komplikasi, menangani gejala yang dialami, mengembalikan
pola makan dan berat badan normal, serta memperkuat fisik dan mental pasien.

f. Penanganan medis

Pada pasien yang mengalami keadaan darurat, seperti gangguan irama jantung, gangguan
elektrolit, atau dehidrasi, penanganan di rumah sakit harus segera diberikan. Begitu juga pada
pasien yang mengalami gangguan mental serius, kekurangan nutrisi, dan menolak makan dalam
jangka panjang. Pasien mungkin diminta menjalani rawat inap, agar dokter bisa melakukan
pemantauan rutin pada tanda vital pasien.

Bila kondisinya cukup parah, dokter akan memasang nasogastric tube pada


pasien.Nasogastric tube adalah pemasangan selang dari hidung pasien yang tersambung hingga
ke lambung, untuk pemberian asupan makanan.
g. Psikoterapi

Pada pasien dewasa, jenis terapi yang dipilih adalah terapi perilaku kognitif (cognitive
behavior therapy). Terapi ini bertujuan untuk mengembalikan pola makan normal pasien, agar
berat badan pasien bertambah. Selain itu, terapi ini juga akan membantu mengubah pola pikir
dan perilaku pasien yang tidak sehat, serta membangun kepercayaan diri mengenai bentuk tubuh
pasien.

Sedangkan untuk pasien anak-anak dan remaja, terapi yang dilakukan adalah terapi
berbasis keluarga. Terapi ini melibatkan keluarga pasien untuk mengatasi gangguan makan dan
membantu pasien mencapai berat badan normal.

Terapi perilaku kognitif dan terapi berbasis keluarga bisa dikombinasikan dengan terapi dalam
kelompok, bersama dengan sesama penderita anoreksia.

Selain dua metode di atas, dokter juga bisa meresepkan obat-obatan, seperti antidepresan untuk
membantu menangani gangguan mental pada pasien, atau pemberian suplemen untuk membantu
penguatan tulang.

Meski anoreksia tidak bisa dicegah, namun diagnosis dan penanganan dini dapat dilakukan
dengan memperhatikan gejalanya. Kondisi ini biasanya ditangani oleh dokter penyakit
dalamdan psikiater.

h. Komplikasi Anoreksia Nervosa

Anoreksia dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang cukup serius bila tidak
ditangani, bahkan bisa mengakibatkan kematian. Sejumlah gangguan kesehatan yang dapat
terjadi akibat anoreksia, antara lain adalah:

 Pengeroposan tulang (osteoporosis), yang dapat memicu patah tulang (fraktur)


 Gangguan menstruasi pada wanita.
 Penurunan kadar hormon testosteron pada pria.
 Gangguan ginjal.
 Masalah pada sistem pencernaan, seperti perut kembung, sembelit, dan mual
 Gangguan elektrolit.
 Anemia.
 Masalah pada jantung, seperti gangguan irama jantung (aritmia), penyakit katup
jantungmisalnya mitral valve prolapse (MVP), atau gagal jantung.
 Kerusakan pada sejumlah organ, seperti otak, jantung, dan ginjal akibat kekurangan
nutrisi.
 Kekurangan asupan protein, mineral, dan nutrisi penting bagi tubuh (malnutrisi).
 Dehidrasi parah.
 Penurunan jumlah sel darah putih yang memicu infeksi.
 Gangguan hormon tiroid.
 Kejang akibat kekurangan cairan yang dipicu diare dan muntah terus menerus.
 Kerusakan gigi.

Selain berbagai gangguan fisik di atas, anoreksia juga dapat menimbulkan gangguan mental.
Di antaranya adalah gangguan suasana hati (misalnya mudah marah atau depresi), gangguan
obsesif-kompulsif, gangguan kepribadian, keinginan melukai diri sendiri atau bahkan bunuh diri,
serta penyalahgunaan NAPZA.

2. Bulimia Nervosa
Dalam beberapa tahun terakhir, bulimia nervosa telah mendapatkan perhatian yang
meningkat seiring besarnya kejadian dan tingkat keparahan simtomatologinya yang telah
diketahui, meskipunbulimia secara harfiah diterjemahkan berarti "sapi kelaparan," untuk
sebagian besar dengan kondisi ini. Makan memiliki keterkaitan dengan pemenuhan kelaparan
biologis secara normal. Pesta makan mungkin lebih merupakan akibat dari pembatasan
diet secara sukarela, persepsi yang menyimpang, ukuran tubuh, dan kebutuhan untuk mencapai
tubuh ideal. Perilaku ini dipelajarisebagai cara untuk membersihkan tubuh dari kelebihan
kalori terhadap pesta makan tersebut. Namun, setiap melakukan pesta makan akan terjadi
pembersihan dan pembatasan diet, ini berlangsung terus menerus sehingga tergambar sebagai
siklus.
Mereka mencoba melepaskan tubuh mereka dari apa yang baru saja mereka
makan dengan memuntahkannya sendiri, menggunakan obat pencahar atau diuretik, sedangkan
mereka yang memiliki tipe tidak terbantahkan mencoba mengimbangi apa yang mereka makan
dengan berpuasa atauolahraga berlebihan.Mereka terlibat dalam episode berulang pesta makan
yang ditandai dengan (1) makan secara substansial jumlah makanan yang lebih banyak dalam
kerangka waktu tertentu dan (2) mengalami kekurangan kontrol atas makan selama episode ini
Mereka terlibat dalam perilaku kompensasi yang tidak tepat yang bertujuan untuk
mencegah berat badan. Keuntungan (muntah yang disebabkan sendiri, puasa, olah raga yang
berlebihan, atau penggunaan obat pencahar, diuretik, atau enema). Perilaku makan dan
kompensasi pesta makan keduanya rata-rata terjadi setidaknya dua kali dalam seminggu selama 3
bulan.
Data dari literatur yang tersedia dan survei profesional yang terkait dengan gangguan
makan menunjukkan bahwa kebutuhan pesta makan terdiri dari yang besarjumlah makanannya,
atau frekuensi pestanya yang minim, dapat dipenuhi sebelum diagnosis bulimia nervosa dibuat
(Wilson, 1992). Pesta makan bisa terdiri dari jumlah makanan yang relatif sedikit; danmungkin
jarang terjadi sekali dalam seminggu. Faktor psikologisnya merasa bahwa makan itu di luar
kendali dan makanan itu "dilarang". Meskipun tidak ada kriteria yang ditetapkan untuk
menetapkan asupan minimal selamapesta makan, Bagi kebanyakan orang bulimia, ada biaya
psikologis dari praktik mereka yang sejajar.Budaya kita mempromosikan standar perilaku yang
dapat diterimapenyerapan dan eliminasi (termasuk muntah). Perilaku meluas, dengan beberapa-
kali konsumsi luar biasa dan penghapusan paksa, melintasi batas-bataspenerimaan. Sebagian
besar yang terlibat dalam praktik ini sangat menyadari hal tersebuttidak dapat diterima; Banyak
yang merasa malu karenanya. Kesadaran seperti itu terkait dengan rendahnyaharga diri, perasaan
tidak mampu, dan derogasi diri diamati di antara banyak orangbulimia. Rasa malu yang
menyertai praktik ini mungkin adalah alasan utama masalah ini tetap ada.
Meski perasaan malu dialami banyak bulimics, ini dapat menyebabkan
keterlambatan mereka dalam mencari pengobatan. Namun, dari mereka yang hadir untuk
konseling, kemungkinan terlalu banyak individu dengan komplikasi dari bersamaan
penyalahgunaan zat dan luka sendiri (Fairburn & Harrison, 2003). Stice, Burton, dan Shaw
(2004) mengemukakan bahwa faktor risiko bulimia, penyalahgunaan zat, dan depresi sampai
batas tertentu terjalin dan saling bergantung satu sama lain. Tingkat utama Depresi dan
ketergantungan alkohol di kalangan bulimia adalah sekitar 20% dan4% (Garfinkel et al, 1995).
Dengan demikian, klinisi melakukan suatu wawancaragangguan makanharus menilai
kemungkinan komorbiditas.Keel dan Klump (2003) menyajikan bukti kuat untuk kontribusi
faktor budaya dalam pengembangan bulimia. Misalnya, bulimia jarang dicatat pada populasi
tanpa pengaruh Barat. Faktor lain yang bisa meningkatkan risikonya bulimia meliputi masa kecil
dan obesitas orang tua, alkoholisme orang tua, dan awal menarche (Fairburn & Harrison, 2003).
Apalagi, kontribusi genetik terhadap bulimia tampaknya terbatas, terutama dibandingkan dengan
tingkat anoreksia. Tingkat konkordansi untuk MZ dan DZ kembar masing-masing 35% dan 30%
(Fairburn & Harrison, 2003).

a. Penyebab Bulimia

Penyebab utama bulimia belum diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa faktor yang
diduga dapat memicu seseorang terkena bulimia, yaitu:

 Faktor keturunan, jika salah satu anggota keluarga inti (orang tua atau saudara kandung)
menderita atau memiliki riwayat bulimia, maka risiko seseorang untuk menderita
kelainan yang sama akan meningkat.
 Faktor emosional dan psikologi, resiko terkena bulimia, makin tinggi jika seorang
mengalami gangguan emosional dan psikologi, seperti depresi, rasa cemas, gangguan
stres pascatrauma (PTSD), dan obsessive compulsive disorder (OCD)
 Faktor lingkungan sosial, bulimia dapat muncul akibat pengaruh terkenaan dan kritik dari
orang orang sekitar menganai kebiasaan makan, bentuk tumbuh, atau berat badan.
 Faktor beberapa jenis pekerjaan menurut pekerjaannya untuk tetap menjaga berat badan
ideal, misalnya model atau atlet. Tuntutan ini dapat menyebabkan pekerja tersebut
mengalami depresi atau bulimia.

b. Gejala Bulimia

Gejala awal seseorang menderita bulimia adalah kebiasaan melakukan diet ketat dengan
tidak makan sama sekali atau hanya mengonsumsi makanan tertentu dalam jumlah yang sangat
sedikit. Kondisi ini terus berlangsung hingga penderita kehilangan kendali dan mengonsumsi
makanan secara berlebihan, meskipun dirinya tidak merasa lapar. Kebiasaan ini muncul karena
masalah emosional, seperti stres atau depresi.
Penderita akan merasa bersalah, menyesal, dan membenci diri sendiri, sehingga memaksa
tubuhnya untuk mengeluarkan semua makanan dengan cara tidak alami, seperti menggunakan
obat pencahar atau memaksa diri untuk muntah.

Gejala psikologis lainnya yang dapat muncul pada bulimia adalah:

 Merasa takut gemuk.


 Selalu beranggapan negatif terhadap berat badan dan bentuk tubuhnya sendiri.
 Kecenderungan menyendiri dan menarik diri dari lingkungan sosial.
 Rasa percaya diri rendah dan cemas.
 Tidak mau makan di tempat umum atau di hadapan orang lain.

Selain itu, penderita bulimia juga dapat menunjukkan gejala fisik, berupa:

 Tubuh terasa lemah.


 Radang tenggorokan.
 Sakit perut atau perut kembung.
 Pembengkakan di bagian pipi dan rahang.
 Gigi rusak dan bau mulut.

c. Diagnosis Bulimia

Seseorang dikatakan menderita bulimia apabila mengalami gejala memuntahkan


makanannya sekali dalam seminggu selama setidaknya tiga bulan. Untuk menentukan apakah
seseorang menderita bulimia atau tidak, dokter akan mengajukan pertanyaan kepada pasien dan
keluarga pasien.

Dokter juga akan melakukan pemeriksaan fisik, seperti memeriksa kondisi gigi yang
rusak atau terkikis akibat paparan asam dalam muntah. Pemeriksaan mata juga mungkin
dilakukan untuk mengetahui apakah ada pembuluh darah mata yang pecah. Ketika muntah,
pembuluh darah akan tegang dan berisiko pecah.
Selain memeriksa gigi dan mata pasien, dokter juga akan memeriksa tangan pasien.
Penderita bulimia cenderung memiliki luka kecil dan kapalan di bagian atas sendi jari karena
sering digunakan untuk memaksa diri agar muntah.

Tidak hanya pemeriksaan fisik, tes darah dan urine juga dilakukan untuk mendeteksi
kondisi lain yang dapat menyebabkan bulimia dan memeriksa dampak bulimia dalam tubuh,
seperti dehidrasi atau gangguan elektrolit. Dokter juga melakukan echo jantung untuk
mendeteksi gangguan pada jantung.

d. Pengobatan Bulimia

Fokus utama pengobatan bulimia adalah mengobati gangguan mental yang dialami
penderita dan memperbaiki pola makan. Upaya pengobatan ini melibatkan peran dari berbagai
pihak, yaitu keluarga, psikiater, dan dokter gizi. Ada beberapa metode pengobatan untuk
menangani bulimia, yaitu:

e. Psikoterapi

Psikoterapi atau konseling bertujuan untuk membantu penderita bulimia dalam


membangun kembali sikap dan pikiran positif terhadap makanan dan pola makan. Ada dua jenis
psikoterapi yang dapat dilakukan, yaitu:

 Terapi perilaku kognitif digunakan untuk membantu mengembalikan pola makan


penderita, serta mengubah perilaku yang tidak sehat menjadi sehat dan pola pikir yang
negatif menjadi positif.
 Terapi Interpersonal ini bertujuan untuk membantu pasien dalam berinteraksi dengan
orang lain, serta meningkatkan kemampuan penderita dalam berkomunikasi dan
menyelesaikan masalah.

f. Obat-obatan

Untuk meredakan gejala yang dialami penderita bulimia, dokter akan memberikan
fluoxetine. Obat ini merupakan jenis obat antidepresan yang paling sering digunakan untuk
mengobati bulimia, namun tidak diperuntukkan bagi penderita bulimia di bawah usia 18 tahun.
Fluoxetine juga dapat meredakan depresi dan gangguan cemas yang dialami penderita.
Selama pengobatan dengan antidepresan, dokter akan memantau perkembangan kondisi dan
reaksi tubuh penderita terhadap obat secara berkala.

g. Konseling gizi

Konseling gizi bertujuan untuk mengubah pola makan dan pola pikir terhadap makanan,
meningkatkan asupan nutrisi dalam tubuh, serta meningkatkan berat badan secara perlahan.

Jika gejala bulimia semakin memburuk atau disertai komplikasi yang serius, maka
penanganan secara khusus di rumah sakit perlu dilakukan. Langkah ini perlu dilakukan untuk
mencegah akibat fatal dari komplikasi, misalnya bunuh diri.

Pengobatan bulimia membutuhkan waktu yang cukup lama. Dukungan dan motivasi dari
keluarga, teman, dan kerabat terdekat sangat penting dalam proses penyembuhan penderita.

h. Komplikasi Bulimia

Bulimia dapat menimbulkan malnutrisi yang dapat merusak sistem organ dalam tubuh.
Selain itu, bulimia dapat menyebabkan penderitanya mengalami dehidrasi akibat terlalu banyak
cairan yang keluar melalui muntah.

Bulimia juga dapat memicu komplikasi yang bersifat serius dan bahkan berakibat fatal
jika tidak segera ditangani. Beberapa komplikasi yang dapat muncul adalah:

 Penyakit jantung, seperti aritmia atau gagal jantung.


 Gagal ginjal.
 Depresi atau gangguan kecemasan umum.
 Penyalahgunaan NAPZA atau alkohol.
 Muncul dorongan untuk bunuh diri.

Penderita bulimia yang sedang hamil juga berisiko tinggi mengalami komplikasi selama
kehamilan, seperti keguguran, kelahiran prematur, cacat lahir pada janin, dan depresi
pascamelahirkan.
i. Pencegahan Bulimia

Langkah pencegahan bulimia belum diketahui secara pasti hingga saat ini. Namun, peran
keluarga dan teman dapat membantu mengarahkan penderita bulimia ke arah perilaku yang lebih
sehat. Cara yang dapat dilakukan adalah:

 Meningkatkan rasa percaya diri dengan saling memberikan motivasi untuk selalu hidup
sehat setiap hari.
 Menghindari pembicaraan yang berhubungan dengan fisik atau yang memengaruhi
psikologis penderita, misalnya badannya terlalu kurus atau gemuk, serta wajahnya tidak
cantik.
 Mengajak anggota keluarga untuk selalu makan bersama keluarga.
 Melarang diet dengan cara tidak sehat, seperti menggunakan obat pencahar atau
memaksakan diri untuk muntah.

3. Pica

Pica adalah kelainan yang terjadi di mana seseorang memiliki pola makan yang tidak
wajar dan mengonsumsi makanan non-makanan atau benda asing yang tidak memiliki nilai gizi.
Bahkan kelainan pola makan ini, jika terus dilakukan dapat berdampak bagi kesehatan dan
dapat menyebabkan penyakit pada tubuh.

Orang-orang yang mengalami Pica dapat mengonsumsi makanan non-makanan atau


benda asing, mulai dari benda dengan efek samping ringan seperti es hingga benda-benda yang
dapat menimbulkan efek samping yang sangat berbahaya seperti cat ataupun potongan logam
yang dapat menyebabkan tubuh mengalami keracunan timbal atau zat beracun lainnya.

a. Faktor Penyebab

Penyakit gangguan makan adalah kondisi kompleks yang diakibatkan dari kombinasi antara
perilaku lama, biologis, emosi, psikologis, interpersonal dan factor social. Para ilmuwan dan ahli
riset masih sedang mempelajari penyebab dasar kondisi emosi dan fisik yang merusak ini.
Tetapi, kami telah mengetahui isu umum yang dapat mengkontribusi terhadap pengembangan
ketidakaturan makan. Sebenarnya ketidakaturan makan walaupun dimulai dengan pemikiran
tentang makanan dan berat badan, namum ia lebih dari itu. Orang yang mengalami ketidakaturan
makan sering menggunakan makanan dan penguasaan atas makanan sebagai upaya
mengkompensasi atas perasaan dan emosi yang sepertinya tetrlalu tak terkendali. Bagi sebagian
orang, berdiet tidak makan atau memuntahkan, mula-mula adalah cara untuk mengatasi emosi
yang menyakitkan dan merasa mengendalikan hidupnya, tapi pada akhirnya perilaku tersebut
akan merusak kesehatan fisik dan emosi seseorang, harga diri dan rasa kemampuan dan kendali.

1. Faktor Psikologis yang dapat mengakibatkan penyakit gangguan makan:

 Harga diri yang rendah


 Rasa kekurangan atau kurang kendali hidup
 Depresi, kecemasan, kemarahan atau kesepian

2. Faktor Interpersonal yang dapat mengakibatkan penyakit gangguan makan:

 Hubungan keluarga dan pribadi yang bermasalah


 Kesulitan mengekspresikan emosi dan perasaan
 Sejarah diledek mengenai ukuran atau berat badan
 Sejarah pelecehan seksual atau fisikal

3. Faktor Sosial yang dapat mengakibatkan penyakit gangguan makanan:

 Tekanan budaya yang membanggakan “kelangsingan” dan member nilai tinggi atas
pencapaian tubuh yang sempurna
 Definisi kecantikan yang sempit yang hanya mencantumkan wanita dan pria dengan 
ukuran dan bentuk tubuh tertentu
 Kebiasaan budaya yang menghargai orang atas dasar penampilan fisik dan bukan kualitas
dan kekuatan dalam

4. Faktor Biologis yang dapat mengakibatkan penyakit gangguan makan:


 Para ilmuwan masih sedang meneliti segala biokimia dan biologis penyebab
ketidakaturan makan. Di sebagian individu yang mengalami ketidakaturan makan, kimia
tertentu diotak yang mengendalikan kelaperan, selera dan pencernaan terbukti tidak
seimbang. Arti dan implikasi dari ketidakseimbangan tersebut masih dalam investigasi
 Ketidakaturan makan sering terbawa dalam keluarga. Riset terkini member indikasi
adanya penyebab genetik terhadap ketidakaturan makan

Penyakit gangguan makan adalah konsisi komplexs yang dapat diakibatkan dari berbagai
penyebab yang potensial. Tetapi sekali dimulai, akan menciptakan suatu siklus yang
menghancurkan fisik dan emosi Bantuan dari ahli professional direkomendasikan untuk
mengatasi penyakit gangguan makanan.

Gangguan makan pada anak tidak sekadar sulit makan, melainkan juga makan berlebihan dan
pica (kebiasaan makan benda yang tidak bisa dimakan). Pica disebabkan oleh gangguan perilaku.
Kebiasaan anak mengonsumsi berbagai jenis benda yang tidak lazim, dan tidak memiliki
kandungan gizi, seperti; tanah, kapur, cat, kertas, dll. Hal ini terjadi karena kebiasaan anak
mencoba-coba dan tidak disertai penjelasan, atau dibiarkan karena tidak diketahui oleh orang tua
(orang dewasa yang mengasuh anak).

Pica biasa terjadi pada anak-anak, ibu hamil dan orang dewasa. Penderita Pica biasanya
mengonsumsi makanan yang tidak masuk akal. Pica sering terjadi pada anak-anak dan juga
orang dewasa. Sebanyak 10 hingga 32 persen anak-anak usia 1-6 tahun punya kebiasaan makan
yang aneh ini. Tak hanya anak-anak, Pica juga bisa terjadi pada ibu hamil, terutama yang
mengalami gangguan psikologis. Pica juga terjadi pada orang dewasa yang sedang diet,
ketagihan tekstur tertentu pada mulutnya atau yang punya masalah sosial atau ekonomi.

Penyebabnya hingga kini masih belum diketahui dengan jelas. Tapi beberapa peneliti
menduga kurangnya zat besi dan anemia memicu pola makan tersebut. Penderita Pica biasanya
sering makan tanah, pasir, daun, batu, kapur, puntung rokok, lampu, pensil, besi, es, cat, tanah
liat, bulu binatang, lumpur bahkan kotoran binatang.
Penyakit Pica tidak ada tanda maupun gejalanya. Satu-satunya cara untuk mengetahuinya adalah
dengan melakukan tes darah guna mengetahui kandungan besi dan seng. Meskipun anak-anak
memang sering memasukkan semua benda ke dalam mulutnya, tapi orang tua harus waspada dan
curiga jika hal itu menjadi kebiasaan.

b. Gejala Pica

Seseorang dinyatakan mengalami Pica adalah ketika orang tersebut mengonsumsi


makanan non-makanan atau benda asing secara teratur dan berlangsung terus-menerus,
setidaknya selama satu bulan.

Seseorang yang mengalami Pica biasanya mengonsumsi makanan berikut:

 Es batu
 Tepung terigu yang belum diolah
 Sabun mandi
 Tanah liat
 Rambut
 Kotoran
 Pasir
 Sisa puntung rokok maupun abu rokok
 Cat
 Lem
 Kapur
 Atau makanan non-makanan lainnya

Jika seseorang mengalami Pica, pemeriksaan medis perlu dilakukan untuk mengetahui
kemungkinan terjadinya anemia, penyumbatan usus, atau potensi toksisitas dari zat-zat yang
dicerna dan masuk ke dalam tubuh.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan fisik dan riwayat medis
lengkap hingga melakukan tes tertentu, seperti x-ray dan tes darah untuk memeriksa anemia,
mencari racun atau zat lain dalam darah, memeriksa penyumbatan yang terjadi pada saluran
usus, serta kemungkinan adanya infeksi yang disebabkan oleh makanan yang terkontaminasi
bakteri atau organisme lain.

c. Pencegahan Pica

Hingga saat ini belum ada cara khusus untuk mencegah Pica. Namun, diperlukan
kesadaran diri untuk dapat membantu menghindari terjadinya Pica dengan mengetahui mana
makanan yang boleh dikonsumsi dan mana yang tidak.

Selain itu, bagi para orang tua patut memperhatikan kebiasaan anak-anaknya dalam memasukkan
benda-benda asing ke dalam mulut sehingga dapat membantu mengatasi terjadinya Pica yang
memungkinkan menimbulkan gangguan kesehatan di kemudian hari.

d. Faktor Resiko

1. Terdapat pada golongan anak di bawah umur 3 tahun, biasanya di atas 1 tahun, sebab
bayi yang sedang belajar merangkak dan anak sapihan wajar bila suka memasukkan
benda-benda yang dipegangnya ke dalam mulutnya.
2. Penderita defisiensi gizi
3. Penderita retardasi mental (Hasan dan Alatas, 1985).
4. Ibu hamil
5. Orang yang dietnya rendah mineral
6. Orang yang memiliki gangguan kejiwaan seperti histeria
7. Orang dengan cacat perkembangan atau gangguan serupa
8. Orang-orang yang keluarga atau etnisnya memakan zat non-makanan
9. Orang yang diet, menjadi lapar, dan mencoba untuk meringankan kelaparan dan ngidam
dengan zat rendah kalori (zat non-makanan) (HopeInterprises Inc)

e. Penegakan Diagnosis

Presentasi klinis pica sangat bervariasi dan berhubungan dengan sifat spesifik dari
kondisi medis yang dihasilkan dan zat tertelan. Pada keracunan atau paparan agen infeksi, gejala
dilaporkan sangat bervariasi dan berhubungan dengan jenis toksin atau agen infeksi
tertelan. Gejala pada saluran Gastrointestinal (GI) seperti sembelit, sakit perut kronis atau akut
yang mungkin menyebar atau terfokus, mual dan muntah, distensi perut, dan kehilangan nafsu
makan.

Pasien mungkin menyembunyikan informasi mengenai perilaku pica dan menyangkal


adanya pica ketika ditanya. Kerahasiaan ini sering mengganggu diagnosis yang akurat dan
pengobatan yang efektif. Kisaran luas komplikasi yang timbul dari berbagai bentuk pica dan
keterlambatan diagnosis yang akurat dapat menyebabkan gejala ringan sampai mengancam
nyawa.

f. Pemeriksaan fisik

Temuan fisik yang terkait dengan pica sangat bervariasi dan berhubungan langsung
dengan bahan yang tertelan dan konsekuensi medis selanjutnya. Temuan ini seperti berikut:

1. Tanda keracunan
2. Tanda  infeksi atau infestasi dari parasit
3. Manifestasi pada Gastrointestinal (GI)
4. Manifestasi pada gigi

Toksisitas iasna adalah keracunan yang paling umum yang terkait dengan pica. Tanda
fisiknya tidak spesifik dan iasn tak terlihat, dan kebanyakan anak dengan keracunan timah tidak
menunjukkan gejala. Manifestasi fisik dari keracunan iasna dapat seperti gejala neurologis
(misalnya, mudah tersinggung, lesu, ataksia, inkoordinasi, sakit kepala, kelumpuhan saraf
iasna, papilledema , ensefalopati, kejang, koma, atau kematian) dan gejala pada saluran GI
(misalnya, sembelit, sakit perut, kolik , muntah, anoreksia, atau diare).

Toxocariasis (termasuk larva migrans visceral dan ocular larva migrans) dan
ascariasis merupakan infeksi parasit paling sering yang terkait dengan pica. Gejala Toxocariasis
beragam dan tampaknya terkait dengan jumlah larva yang tertelan dan organ mana tempat larva
bermigrasi. Temuan fisik yang terkait dengan migrans larva visceral adalah demam,
hepatomegali, malaise, batuk, miokarditis , dan encephalitis. Ocular larva migrans dapat
menyebabkan lesi retina dan kehilangan penglihatan.
Manifestasi pada saluran cerna berupa kelainan mekanik usus, sembelit, ulserasi,
perforasi, dan pengahalang usus yang disebabkan oleh pembentukan bezoar dan konsumsi bahan
yang dicerna ke dalam saluran pencernaan. Kelainan gigi dapat terlihat pada pemeriksaan fisik,
termasuk abrasi gigi yang parah, abfraksi, dan kehilangan permukaan gigi.

Pengobatan Pica

Untuk menangani Pica itu sendiri, para peneliti masih belum menemukan obatnya, tetapi para
dokter dapat memberikan pengobatan tergantung penyakit apa yang ditimbulkan akibat Pica.
Sehingga ketika berkonsultasi ke dokter, diwajibkan memberi tahu seluruh makanan non-
makanan atau benda asing apa saja yang telah konsumsi. Hal ini dapat membantu
mengembangkan diagnosa yang tepat dan akurat, lalu menentukan cara pengobatan apa yang
sebaiknya dijalani.

Jika mengalami keracunan timbal akibat mengonsumsi cat kering atau zat logam lainnya, dokter
akan melakukan terapi khelasi untuk menghilangkan timbal/logam berat dalam tubuh atau
dengan memberikan resep obat yang dapat mengikat dengan timbal sehingga timbal dapat
dikeluarkan melalui urin.

Jika mengalami ketidakseimbangan nutrisi dalam tubuh, dokter mungkin akan menyarankan
untuk mengonsumsi suplemen vitamin atau mineral.

Jika memiliki gangguan obsessive-compulsive disorder (OCD) atau gangguan kesehatan mental


lainnya, mungkin saja Anda diharuskan untuk melakukan terapi, meminum resep obat, atau
bahkan menjalani keduanya.

Anda mungkin juga menyukai