Anda di halaman 1dari 9

PENYAKIT JANTUNG KORONER

1. Pengertian
Apa penyakit jantung koroner? Penyakit Infark Miokard Akut atau
Jantung Koroner (PJK)/Acute Coronary Syndrome (ACS) adalah gejala yang
disebabkan adanya penyempitan atau tersumbatnya pembuluh darah arteri koroner
baik sebagian/total yang mengakbatkan suplai oksigen pada otot jantung tidak
terpenuhi. (M. Bachrudin, 2016)
2. Etiologi Penyakit Jantung Koroner
Penyebab terjadinya penyakit kardiovaskuler pada perinsipnya disebabkan
oleh dua faktor utama yaitu:
1) Aterosklerosis
Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteri
koroneria yang paling sering ditemukan. Aterosklerosis menyebabkan
penimbunan lipid dan jaringan fibrosa dalam arteri koronaria, sehingga secara
progresif mempersempit lumen pembuluh darah. Bila lumen menyempit
maka resistensi terhadap aliran darah akan meningkat dan membahayakan
aliran darah miokardium
2) Trombosis
Endapan lemak dan pengerasan pembuluh darah terganggu dan
lamakelamaan berakibat robek dinding pembuluh darah. Pada mulanya,
gumpalan darah merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk mencegahan
perdarahan berlanjut pada saat terjadinya luka. Berkumpulnya gumpalan
darah dibagian robek tersebut, yang kemudian bersatu dengan keping-keping
darah menjadi trombus. Trombosis ini menyebabkan sumbatan di dalam
pembuluh darah jantung, dapat menyebabkan serangan jantung mendadak,
dan bila sumbatan terjadi di pembuluh darah otak menyebabkan stroke.
3. Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner
3.1 Sindrom Iskemik
Berdasarkan proses patofisiologi dan derajat keparahan myokard iskemik
dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Stable Angina
Stable angina kronik adalah manifestasi yang dapat diramalkan,
nyeri dada sementara yang terjadi selama kerja berat atau stres emosi.
Umumnya disebabkan oleh plak atheromatosa yang terfiksir dan obstruktif
pada satu atau lebih arteri koroner. Pola nyerinya berhubungan dengan
derajat stenosis. Seperti yang digambarkan saat atherosclerosos stenosis
menyempitkan lumenarteri koroner lebih dari 70% menurunkan kapasitas
aliran untuk memenuhi kebutuhan oksigen. Saat aktivitas fisik berat,
aktivitas sistim saraf meningkatkan denyut jantung, tekanan darah dan
kontraktilitas yang meningkatkan kebutuhan konsumsi oksigen. Selama
kebutuhan oksigen tak terpenuhi, terjadi iskemik miokard diikuti angina
pectoris yang mereda bila keseimbangan oksigen terpenuhi. Sebenarnya
oksigen yang inadekuat selain disebabkan oleh atheroscleosis juga
disebabkan oleh kerusakan endotel namun pada kasus ini vasodilatasi
distal dan aliran kolateral masih berlangsung baik sehingga kebutuhan
oksigen masih bisa diseimbangkan dengan cara beristirahat.
b. Unstable Angina
Pasien dengan unstable angina akan mengalami nyeri dada saat
aktivitas berat namun kemudian masih tetap berlangsung saat istirahat. Ini
adalah tanda akan terjadi infark miokard akut . Unstable angina dan MI
akut merupakan sindrom koroner akut karena ruptur dari atherosclerotic
plak pada pembuluh darah koroner.
c. Infark Miokard Akut
Infark miokard akut dengan elevasi ST (ST elevation myocardial
infarction =STEMI) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner
akut (SKA) yang terdiri dari angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi
ST dan IMA dengan elevasi ST.
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI) umumnya
terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi
trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis
arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak
memacu STEMI karena berkembangnya banyak aliran kolateral sepanjang
waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada
lokasi injuri vaskular, di mana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor
seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid. Pada sebagian besar
kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau
ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis,
sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang
mengakibatkanoklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan
plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap
yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran
patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya
menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respons terhadap terapi
trombolitik. Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen,
ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit yang selanjutnya
akan memproduksi dan melepaskan tromboxan A2 (vasokonstriktor lokal
yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi
reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya,
reseptor memiliki afinitas tinggi terhadap sekuens asam amino pada
protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF)
dan fibrinogen di mana keduanya adalah molekul multivalen yag dapat
mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan menghasilkan ikatan
silang platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel
endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi mengakibatkan konversi
protrombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonfirmasi fibrinogen
menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan
mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan
fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh
oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli arteri koroner,
abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi
sistemik.
Non STEMI dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan
atau peningkatan oksigen demand miokard yang diperberat oleh obstruksi
koroner. NSTEMI terjadi karena thrombosis akut dan proses
vasokonstriksi koroner. Trombosis akut diawali dengan rupture plak
aterom yang tidak stabil dengan inti lipid besar dan fibrous cap tipis dan
konsenterasi tissue factor tinggi. Inti lemak yang cenderung rupture
mempunyai konsenterasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak
jenuh yang tinggi. Pada lokasi rupture plak terdapat proses inflamasi
dilihat dari jumlah makrofag dan limfosit T. Sel-sel ini akan mengeluarkan
sitokin proinflamasi seperti TNF dan IL-6.IL-6 akan merangsang
pengeluaran hsCRP di hati.
4. Manifestasi Klinik
Manifestasi PJK bervariasi tergantung derajat penyempitan aliran arteri
koroner. Bila suplai oksigen dan nutrisi masih mencukupi, maka manifestasi klinis
tidak timbul. Manifestasi klinis yang berarti biasanya muncul apabila
penyempitan sudah melebihi 50%. Manifestasi klinis juga dipengaruhi tingkat
kebutuhan oksigen dan nutrisi miokardium. Olahraga, berfikir, makan, dan kerja
berat lainnya dapat meningkatkan kebutuhan miokardium. Manifestasi klisnis PJK
dapat berupa nyeri dada yang menjalar ke lengan kiri (angina), ansietas, takikardi/
bradikardi, sesak nafas, mual, pusing dan pingsan
5. Faktor Resiko
Coba anda cermati, mengapa sampai terjadi sumbatan pada pembuluh
darah jantung? Bahwa penyumbatan dapat terjadi karena adanya beberapa faktor
resiko. Faktor resiko untuk terjadinya sumbatan terbagi menjadi dua yaitu: 1)
faktor resiko yang dapat di rubah, dan 2) faktor yang tidak dapat dirubah. Adapun
faktor resiko yang dapat dirubah, antara lain sebagai berikut:

a) Hipertensi, komplikasi yang terjadi pada hipertensi biasanya akibat


perubahan struktur arteri dan arterial sistemik, terutama terjadi pada
hipertensi yang tidak diobati akan menimbulkan penyempitan pembuluh
darah. Tempat yang paling berbahaya adalah bila mengenai arteri
miokardium.
b) Hiperkolesterolemia merupakan masalah yang cukup panting karena
termasuk faktor resiko utama PJK. Kadar kolesterol darah dipengaruhi
oleh susunan makanan sehari-hari yang masuk dalam tubuh (diet),
hiperkolesterol akan menimbulkan pengendapan pada arteri yang pada
akhirnya akan mengakibatkan penyempitan arteri.
c) Merokok, pada saat ini merokok telah dimasukkan sebagai salah satu
faktor resiko utama PJK. Orang yang merokok > 20 batang perhari dapat
mempengaruhi atau memperkuat efek hipertensi. Penelitian framingham
mendapatkan kematian mendadak akibat PJK pada laki-laki perokok 10X
lebih besar dari pada bukan perokok dan pada perempuan perokok 4.5X
lebih dari pada bukan perokok.
d) Obesitas adalah kelebihan jumlah lemak tubuh > 19 % pada laki-laki dan >
21 % pada perempuan. Obesitas sering didapatkan bersama-sama dengan
hipertensi, Diabetus Militus, dan hipertrigliseridemi. Obesitas juga dapat
meningkatkan kadar kolesterol dan LDL kolesterol.
e) Diabetus Militus, pasien diabetes militus akan menyebabkan kerusakan
pada pembuluh darah yaitu atherioskelerosis baik total atau sebagian
sehingga aliran darah ke jantung mengalami penurunan.
f) Exercise/Latihan dapat meningkatkan kadar HDL kolesterol dan
memperbaiki kolesterol koroner sehingga resiko PJK dapat dikurangi.
Exercisejuga bermanfaat bagi fungsi paru dan pemberian O2 ke miokard,
Menurunkan berat badan sehingga lemak tubuh yang berlebihan berkurang
bersama-sama dengan menurunkan LDL kolesterol. Membantu
menurunkan tekanan darah dan meningkatkan kesegaran jasmani.

Apa faktor-faktor resiko yang tidak dapat di rubah? Sedangkan faktor


resiko yang tidak dapat di rubah antara lain sebagai berikut:

a) Umur, telah dibuktikan adanya hubungan antara umur dan kematian akibat
PJK. Sebagian besar kasus kematian terjadi pada laki-laki umur 35-44
tahun dan meningkat dengan bertambahnya umur. Kadar kolesterol pada
laki-laki dan perempuan mulai meningkat umur 20 tahun. Pada laki-laki
kolesterol meningkat sampai umur 50 tahun. Pada perempuan sebelum
menopause (45 tahun) lebih rendah dari pada laki-laki dengan umur yang
sama. Setelah menopause kadar kolesterol perempuan meningkat menjadi
lebih tinggi daripada laki-laki.
b) Jenis kelamin, di amerika serikat gejala PJK sebelum umur 60 tahun
didapatkan pada 1 dari 5 laki-laki dan 1 dari 17 perempuan. Ini berarti
bahwa laki-laki mempunyai resiko PJK 2-3 X lebih besar dari perempuan.
6. Gejala
Tanda atau gejala yang akan muncul pada pasien PJK dibagi menjadi 3
bagian yaitu : keluhan pasien, hasil perekaman EKG, dan hasil pemeriksaan
labolatorium darah.
Sumber rasa sakit berasal dari pembuluh koroner yang menyempit atau
tersumbat. Rasa sakit tidak enak seperti ditindih beban berat di dada bagian tengah
adalah keluhan klasik penderita penyempitan pembuluh darah koroner. Kondisi 7
yang perlu diwaspadai adalah jika rasa sakit di dada muncul mendadak dengan
keluarnya keringat dinggin yang berlangsung lebih dari 20 menit serta tidak
berkurang dengan istirahat. Serangan jantung terjadi apabila pembuluh darah
koroner tiba-tiba menyempit parah atau tersumbat total. Sebagian penderita PJK
mengeluh rasa tidak nyaman di ulu hati, sesak nafas, dan mengeluh rasa lemas
bahkan pingsan.
7. Differential Diagnosa
Langkah pertama dalam pengelolaan PJK ialah penetapan diagnosis pasti.
Diagnosis yang tepat amat penting, jika diagnosis PJK telah dibuat terkandung
pengertian bahwa penderitanya mempunyai kemungkinan akan dapat mengalami
infark jantung atau kematian mendadak. Dokter harus memilih pemeriksaan yang
perlu dilakukan terhadap penderita untuk mencapai ketepatan diagnostik yang
maksimal dengan resiko dan biaya yang seminimal mungkin. Berikut ini cara-cara
diagnostik:
1. Anamnesis
Anamnesis berguna mengetahui riwayat masa lampau seperti
riwayat merokok, usia, infark miokard sebelumnya dan beratnya angina
untuk kepentingan diagnosis pengobatan.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat digunakan sebagai acuan pada PJK
adalah denyut jantung, tekanan darah, suhu tubuh dan kecepatan respirasi.
3. Laboratorium
Pada pasien angina stabil sebaiknya dilakukan pemeriksaan profil
lipid seperti LDL, HDL, kolesterol total, dan trigliserida untuk
menentukan faktor resiko dan perencanaan terapi. Selain pemeriksaan
diatas dilakukan pula memeriksaan darah lengkap dan serum kreatinin.
Pengukuran penanda enzim jantung seperti troponin sebaiknya dilakukan
bila evaluasi mengarah pada sindrom koroner akut.
4. Foto sinar X dada
X-ray dada sebaiknya diperiksa pada pasien dengan dugaan gagal
jantung, penyakit katup jantung atau gangguan paru. Adanya
kardiomegali, dan kongesti paru dapat digunakan prognosis.
5. Pemeriksaan jantung non-invasif
a. EKG merupakan pemeriksaan awal yang penting untuk mendiagnosis
PJK.
b. Teknik non-invasi penentuan klasifikasi koroner dan teknik imaging
(computed tomografi (CT) dan magnetic resonance arteriography. Sinar
elektron CT telah tervalidasi sebagai alat yang mampu mendeteksi
kadar kalsium koroner.
6. Pemeriksaan invasif menentukan anatomi koroner
Arteriografi koroner adalah Pemeriksaan invasif dilakukan bila tes
non invasif tidak jelas atau tidak dapat dilakukan. Namun arteriografi
koroner tetap menjadi pemeriksaan fundamental pada pasien angina stabil.
Arteriografi koroner memberikkan gambaran anatomis yang dapat
dipercaya untuk identifikasi ada tidaknya stenosis koroner, penentuan
terapi dan prognosis.
8. Penatalaksanaan Terapi
Terapi didasarkan pada pengetahuan tentang mekanisme,
manifestasi klinis, perjalanan alamiah dan patologis baik dari sisi selular,
anatomis dan fisiologis dari kasus PJK. Pada prinsipnya terapi ditujukan
untuk mengatasi nyeri angina dengan cepat, intensif dan mencegah
berlanjutnya iskemia serta terjadinya infark miokard akut atau kematian
mendadak.
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
PJK atau penyakit jantung koroner disebabkan oleh adanya sumbatan
sebagian atau total pada pembuluh darah arteri jantung yang menimbulkan gejala
khas nyeri dada menjalar ke lengan kiri, dengan pemeriksaan penunjang
perekaman EKG dan laboratorium darah untuk pemeriksaan CPK-CKMB. Faktor
resiko PJK antara lain obesitas, hipertensi, diabetus millitus, perokok,
hiperkolesterol, dan usia. Masalah keperawatan yang muncul pada kasus PJK
adalah nyeri dada (akut) b.d iskhemia otot sekunder terhadap sumbatan arteri
koroner, penurunan curah jantung b.d infark otot jantung, intolerasnsi aktivitas b.d
ketidakseimbangan suplai O2 miokard dengan kebutuhan, ansietas b.d perubahan
kesehatan dan status sosial ekonomi, kurang pengetahuan mengenain kondisi
kesehatan b.d kurangnya informasi tentang penyakit jantung koroner.
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Bachrudin, M, & Moh Najib, D 2016, Keperawatan Medikal Bedah 1. Jakarta
Selatan, KEMENKES
Satoto, H, M 2014, ‘Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner’, Jurnal
Anestesiologi Indonesia, vol. 6, no. 3, h h. 216-219.

Anda mungkin juga menyukai