Bab Ii

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lahan Pertanian Pangan

Sumberdaya pangan dalam rantai sistem pangan dan pertanian terdiri

dari dua jenis yaitu sumberdaya manusia/sosial (penduduk, finansial,

infrastruktur, teknologi, kelembagaan, industri pangan, pasar dan kerjasama), dan

sumberdaya alam (sumberdaya lahan, iklim, air dan perairan umum, kelautan dan

sumberdaya hayati) (Baliwati, 2008).

Sumberdaya lahan akan semakin menurun kontribusinya terhadap

pangan yang diakibatkan terjadinya tekanan jumlah penduduk yang

memperkecil kepemilikan lahan perkapita serta akibat adanya kompetisi

penggunaan lahan. Hal ini menurut teori Thomas Malthus (Neo-Malthusian)

diacu dalam Baliwati (2008) bahwa penduduk cenderung bertambah menurut

deret ukur dan berlipat ganda setiap 30-40 tahun (kecuali jika terjadi kelaparan),

karena adanya ketentuan pertambahan hasil yang semakin berkurang dari

faktor produksi lahan yang jumlahnya tetap, maka persediaan pangan akan

meningkat menurut deret hitung yang membutuhkan daya dukung sumberdaya

alam dan lingkungan.

Aspek-aspek pengelolaan sumberdaya lahan pertanian pangan menurut

Rustiadi (2008) merupakan faktor nyata yang dibutuhkan dalam proses

penyediaan pangan. Lahan pertanian pangan, khususnya sawah memiliki

karakteristik sumberdaya yang dikategorikan sebagai common pool resources

10
(CPRs) karena memiliki dua kriteria utamanya yaitu unsur subtractability karena

ketersediaan lahan yang sesuai untuk pertanian pangan sangat dan semakin

terbatas, setiap konversi penggunaan lahan ke penggunaan lahan lainnya

akan mengurangi kemampuan dalam penyediaan pangan. Unsur non excludable

karena dalam perspektif publik sangatlah sulit mencegah terjadinya alih

fungsi lahan-lahan pertanian pangan yang subur.

Daya dukung (carrying capacity) berkembang seiring dengan

bertambahnya tekanan terhadap sumberdaya dan lingkungan yang disebabkan

oleh aktivitas manusia (anthropogenik). Definisi daya dukung dalam perspektif

biofisik wilayah adalah jumlah maksimum populasi yang dapat didukung oleh

suatu wilayah, sesuai dengan kemampuan teknologi yang ada (Binder & Lopez

2000 diacu dalam Rustiadi et al. 2006). Dalam perspektif lingkungan, daya

dukung meliputi dua komponen yaitu kapasitas penyediaan (supportive

capacity) dan kapasitas tampung (assimilative capacity).

Pendekatan perhitungan daya dukung lingkungan/lahan harus dilakukan

dari sisi permintaan (demand) dan sisi penawaran (supply) sumberdaya dan

jasa lingkungan. Langkah perhitungan dalam Pedoman Kementerian Negara

Lingkungan Hidup (2007) diacu dalam Rustiadi et al. (2006) yaitu: daya dukung

lahan ditentukan oleh kebutuhan (demand) dan ketersediaan (supply). Kebutuhan

lahan ditentukan oleh jumlah penduduk dan tingkat konsumsi tiap

penduduk. Ketersediaan lahan ditentukan oleh tingkat produksi dan

produktivitas lahan. Terakhir daya dukung lahan diperoleh dari perbandingan

antara ketersediaan lahan dan kebutuhan lahan.

11
2.1.1 Ketersediaan Lahan Pertanian Pangan

Lahan sebagai unsur ruang dan modal utama pembangunan

merupakan kebutuhan pokok yang menyangkut hajat hidup penduduk dan

wahana bagi penyelenggaraan kegiatan sosial. Dengan demikian lahan

memiliki peranan strategis bagi pembangunan dan karena itu pula

pengelolaannya harus dapat menjamin terselenggaranya pelaksanaan

pembangunan yang berwawasan lingkungan secara berkesinambungan. Ruang

memiliki keterbatasan serta kesempatan ekonomi yang tidak sama, sehingga

memiliki potensi untuk menimbulkan konflik dalam pemanfaatan antar kegiatan

sektor pembangunan dan antar jenis pengelolaannya di masyarakat.

Menurut Riyadi (2002) salah satu isu penting yang terintegrasi

dengan pengembangan kebijakan ketahanan pangan yaitu penataan ruang

wilayah terutama melalui proses pembangunan wilayah pertanian yang

didasarkan atas competitive forces dengan mengelola hegemonic forces

melalui pengembangan kebijakan yang sejalan dengan sistem nilai

pengembangan pangan. Kaitannya dengan hal tersebut, maka guna menjamin

pengembangan wilayah pertanian dan ketersediaan pangan di suatu daerah

diperlukan tata ruang yang jelas peruntukannya.

Tata ruang adalah wujud susunan pusat-pusat permukiman dan sistem

jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial

ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional,

serta distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan

12
ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang fungsi budidaya (UU 26 tahun

2007).

Dengan demikian kejelasan besaran lahan yang diperuntukan sebagai

ruang fungsi budidaya akan sangat menentukan produksi pangan suatu wilayah.

Penataan ruang merupakan tanggung jawab sepenuhnya pemerintah kabupaten

(UU Nomor 26 tahun 2007). Riyadi (2002) mengatakan bahwa aspek penting

untuk menjamin ketahanan pangan adalah penataan ruang. Penataan ruang

bermanfaat terutama dalam pengelolaan pemanfaatan ruang yang berkaitan

dengan mempertahankan pemanfaatan fungsi lahan irigasi teknis dan

kawasan-kawasan lindung yang pada akhirnya dapat menciptakan tata ruang

pertanian yang efektif sebagai dasar pengembangan wilayah pertanian. Hal ini

akan dapat mengurangi konversi lahan pertanian ke non pertanian.

Penataan ruang adalah upaya aktif manusia untuk mengubah pola

dan struktur pemanfaatan ruang ke arah yang lebih baik secara sengaja. Sesuai

dengan prinsip pembangunan menurut Rustiadi (2004), tujuan dari penataan

ruang pada dasarnya adalah: 1) optimasi pemanfaatan sumberdaya melalui

mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip efisiensi dan

produktivitas), 2) alat dan wujud distribusi sumberdaya sesuai dengan asas

pemerataan, keberimbangan dan keadilan, dan 3) keberlanjutan (sustainability)

karena adanya sifat-sifat irreversibility.

Sehubungan dengan pembangunan ketahanan pangan, Suntoro (2004)

mengatakan bahwa terdapat lima strategi yang dapat dilakukan, antara lain:

1) penataan zona areal pertanian, 2) pembangunan sarana dan prasarana, 3)

13
pembentukan kelembagaan ketahanan pangan, 4) pemberdayaan masyarakat,

dan 5) kemitraan usaha dalam upaya menggalang dan mengoptimalkan berbagai

sumberdaya yang ada di daerah. Ketika menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW) baik provinsi maupun kabupaten, hendaknya benar-benar bijaksana

dalam menetapkan zona areal pertanian. Berdasarkan areal yang dialokasikan

itulah produksi dan ketersediaan pangan daerah bisa diprediksi dan ipetakan,

sehingga dapat diketahui apakah pengadaan pangan suatu daerah akan mengalami

surplus atau defisit. Penanggulangan terjadinya konversi lahan pertanian ke non

pertanian dapat dilakukan dengan dikeluarkannya produk hukum guna

menetapkan lahan abadi bagi usahatani. Salah satu kendala untuk mencukupi

kebutuhan pangan masyarakat khususnya di daerah terpencil adalah masih

terbatasnya sarana dan prasarana distribusi pangan. Upaya yang perlu dilakukan

agar setiap masyarakat dapat mengakses pangan baik secara fisik maupun

ekonomi, pembangunan infrastruktur jalan dan pengadaan sarana transportasi

secara bertahap berdasarkan skala prioritas, disamping itu pengembangan potensi

pangan lokal sesuai dengan spesifikasi dan budaya setempat serta

pembentukan kelembagaan ketahanan pangan sebagai wadah koordinasi

maupun operasional kegiatan di lapangan. Pengembangan kemitraan usaha

antara pemerintah daerah dengan perguruan tinggi, perusahaan swasta,

organisasi kemasyarakatan lainnya sangat penting dilakukan guna mempercepat

pembangunan ketahanan pangan dan ekonomi daerah.

Arahan tata ruang pertanian nasional telah dibangun oleh Badan

Litbang Pertanian melalui Puslitbangtanak pada skala 1:1.000.000. Penilaian

kesesuaian lahan menggunakan beberapa karakteristik lahan seperti tanah,

14
bahan induk, fisiografi, bentuk wilayah, iklim dan ketinggian tempat. Lahan yang

sesuai untuk budidaya pertanian dikelompokkan berdasarkan kelompok

tanaman yaitu untuk lahan basah dan lahan kering (tanaman semusim dan

tanaman tahunan/perkebunan). Pengelompokkan lahan tersebut, secara garis

besar ditentukan oleh bentuk wilayah dan kelas kelerengan. Tanaman pangan

diarahkan pada lahan dengan bentuk wilayah datar-bergelombang (lereng

<15%) dan tanaman tahunan/perkebunan pada lahan bergelombang-berbukit

(lereng 15-30%) (Dirjen PLA, 2006).

Ketersediaan lahan pertanian pangan tersebut menurut Rustiadi (2008)

berkaitan sangat erat dengan beberapa hal dalam mewujudkan ketahanan pangan

nasional yaitu: 1) potensi sumberdaya lahan pertanian pangan, 2)

produktivitas lahan, 3) fragmentasi lahan, 4) skala luasan penguasaan lahan, 5)

sistem irigasi, 6) land rent lahan pertanian, 7) konversi, 8) pendapatan petani,

9) kapasitas sumberdaya manusia pertanian, serta 10) kebijakan di bidang

pertanian.

2.1.2 Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

Upaya membangun kedaulatan dan kemandirian pangan untuk

meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia merupakan hal yang sangat

penting untuk direalisasikan, sehingga dapat tercapai kemakmuran,

kepercayaan diri dan kemandirian dalam menentukan nasib pertanian dimasa

depan, yaitu terwujudnya kedaulatan, kemandirian dan ketahanan pangan

nasional. Untuk itu perlu diselenggarakan pembangunan pertanian berkelanjutan.

15
Lahan sebagai faktor strategis dalam mewujudkan ketahanan pangan

yang berkelanjutan. Permasalahan konversi lahan pertanian akan berdampak

terhadap produksi pangan dan semakin sempitnya lahan garapan usahatani

sehingga dapat mengakibatkan melemahnya kondisi ketahanan pangan daerah.

Untuk itu perlu dilakukan pengendalian konversi lahan pertanian pangan

melalui perlindungan lahan pertanian pangan (RUU, 2008).

Bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan

dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi

kedaulatan dan ketahanan pangan merupakan lahan pertanian pangan

berkelanjutan. Lahan pertanian yang ditetapkan sebagai kawasan maupun lahan

pertanian pangan berkelanjutan dapat berupa: 1) sawah beririgasi teknis, 2) sawah

beririgasi semi teknis, sederhana, dan pedesaan, 3) sawah tadah hujan, 4)

lahan rawa, dan/atau 5) lahan kering. Perlindungan lahan pertanian pangan

berkelanjutan diselenggarakan dengan tujuan yaitu: a) melindungi kawasan

dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, b) menjamin tersedianya

lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, c) mewujudkan kemandirian,

kedaulatan dan ketahanan pangan, d) melindungi kepemilikan lahan pertanian

pangan milik petani, e) meningkatkan kemakmuran, kesejahteraan petani dan

masyarakat, f) meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani, g)

meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak, h)

mempertahankan keseimbangan ekologis, dan i) mempertahankan multifungsi

pertanian (RUU, 2008).

16
Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan

berdasarkan perencanaan terhadap lahan pertanian pangan yang sudah dan yang

potensial atas dasar kriteria yaitu: 1) kesesuaian lahan, 2) ketersediaan

infrastruktur, 3) penggunaan lahan, 4) potensi teknis lahan, dan 5) luasan

kesatuan hamparan lahan. Perencanaan yang terdiri atas perencanaan jangka

panjang, jangka menengah, dan tahunan ini didasarkan pada: a) pertumbuhan

penduduk dan kebutuhan konsumsi pangan penduduk, b) pertumbuhan

produktivitas, c) kebutuhan pangan nasional, d) kebutuhan dan ketersediaan

lahan pertanian pangan, e) pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

dan f) musyawarah petani (RUU, 2008).

2.2 Ketahanan Pangan

2.2.1 Definisi Ketahanan Pangan

Declaration of Human Right 1998 menyatakan bahwa pemenuhan

kebutuhan pangan merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM). Hal ini berarti

bahwa negara (pemerintah dan masyarakat) bertanggungjawab memenuhi

kebutuhan pangan bagi penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan

pangannya baik akibat adanya kondisi pangan yang sulit diperoleh penduduk dan

rendahnya daya beli masyarakat (baik karena pendapatan rendah atau

kebijakan harga-harga pangan).

Ketahanan pangan pada awalnya terfokus pada kondisi pemenuhan

kebutuhan pangan pokok. Perserikatan Bangsa-bangsa (1975) mendefinisikan

17
ketahanan pangan adalah ketersediaan cukup makanan utama pada setiap saat dan

mengembangkan konsumsi pangan secara konsisten dan dapat mengimbangi

fluktuasi produksi dan harga (Maxwell & Smith, 1992). FAO (1983) menyatakan

bahwa ketahanan pangan dapat dicapai hanya jika semua rumah tangga

mempunyai kemampuan untuk membeli pangan dan pada tahun 1986 World Bank

mendefinisikan ketahanan pangan adalah akses terhadap cukup pangan oleh

penduduk agar dapat melakukan aktivitas dan kehidupan yang sehat (Maxwell &

Smith, 1992).

Selanjutnya berdasarkan kesepakatan pada International Food Submit

dan International Conference of Nutrition 1992 (FAO, 1997) pengertian

ketahanan pangan diperluas menjadi kondisi tersedianya pangan yang memenuhi

kebutuhan setiap orang setiap saat untuk hidup sehat, aktif dan produktif.

Ketahanan pangan pada tingkat nasional diartikan sebagai kemampuan suatu

bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup,

mutu, yang layak.

Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi

setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup,

baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau (Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1996). Hal ini berarti bahwa ketahanan pangan mengandung

aspek ketersediaan, distribusi dan konsumsi. Tersedianya pangan yang cukup

merupakan syarat terpenuhinya kebutuhan pangan dan gizi penduduk yang

jumlahnya terus bertambah.

18
Berbagai tantangan yang muncul menurut Rustiadi (2008) adalah

untuk membangun sistem ketahanan pangan nasional yang lebih baik, antara lain

upaya untuk tetap mempertahankan stabilitas kesetimbangan ketersediaan pangan

antara kebutuhan dan pemenuhannya dengan laju pertumbuhan penduduk,

permasalahan degradasi lingkungan dan alih fungsi lahan. Untuk itu

pengembangan dan pemantapan ketahanan pangan mempunyai perspektif

pembangunan yang mendasar dan strategis dalam pembangunan nasional,

karena: 1) akses terhadap pangan dengan gizi seimbang bagi penduduk

merupakan hak asasi, 2) keberhasilan dalam pengembangan kualitas

sumberdaya manusia sangat ditentukan oleh keberhasilan pemenuhan

kecukupan dan konsumsi pangan dan gizi, dan 3) ketahanan pangan

merupakan basis atau pilar utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi dan

ketahanan nasional yang berkelanjutan.

Permasalahan internal maupun eksternal dalam pembangunan

ketahanan pangan menurut Nainggolan (2008) dikelompokan dalam tiga

kelompok yaitu: 1) masalah ketersediaan pangan diupayakan sekuat-kuatnya

dari dalam negeri; 2) masalah distribusi guna melancarkan alir pangan dari

sentra-sentra produksi ke sentra konsumsi; dan 3) masalah akses pangan agar

rumah tangga dalam memenuhi standaar konsumsi gizi untuk hidup sehat dan

produktif. Permasalahan tersebut dalam rapat Dewan Ketahanan Pangan (DKP)

dirumuskan kedalam tujuh fokus masalah strategis menyangkut ketahanan

pangan nasional, yaitu: 1) ketersediaan pangan pokok harus dapat mengejar laju

konsumsi akibat masih tingginya laju pertumbuhan penduduk, 2) masalah

lambatnya penganekaragaman pangan menuju gizi seimbang, 3) masalah

19
keamanan pangan, 4) kerawanan pangan dan gizi buruk yang masih

memprihatinkan, 5) masalah alih fungsi lahan pertanian dan konservasi lahan

dan air, 6) pengembangan infrastruktur pedesaan, dan 7) belum berkembangnya

kelembagaan ketahanan pangan baik struktural, maupun kelembagaan pangan

masyarakat.

Ada beberapa definisi ketahanan pangan, antara lain :

1. Dalam undang undang No : 7 tahun 1996 tentang pangan, pengertian

ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga

yang tercermin dari ketersediaan yang cukup, baik dalam jumlah maupun

mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dari pengertian tersebut, tersirat

bahwa upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus lebih dipahami

sebagai pemenuhan kondisi kondisi : (1) Terpenuhinya pangan dengan

kondisi ketersediaan yang cukup, dengan pengertian ketersediaan pangan

dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan

dan memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, vitamin dan mineral serta turunan,

yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. (2)

Terpenuhinya pangan dengan kondisi aman, diartikan bebas dari pencemaran

biologis, kimia, dan benda lain yang lain dapat mengganggu, merugikan, dan

membahayakan kesehatan manusia, serta aman untuk kaidah agama. (3)

Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diart ikan bahwa distribusi

pangan harus mendukung tersedianya pangan pada setiap saat dan merata di

seluruh tanah air. (4) Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau,

20
diartikan bahwa pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang

terjangkau.

2. Internasional Confrence in Nutrition, (FAO/WHO, 1992) mendefenisikan

ketahanan pangan sebagai akses setiap rumah tangga atau individu untuk

memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup sehat.

3. World Food Summit 1996 memeperluas defenisi diatas dengan persyaratan

penerimaan pangan sesuai dengan nilai dan budaya setempat.

4. World Bank 1996: Ketahanan Pangan adalah: akses oleh semua orang pada

segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang sehat dan aktif.

5. Oxfam 2001: Ketahanan Pangan adalah kondisi ketika: “setiap orang dalam

segala waktu memiliki akses dan kontrol atas jumlah pangan yang cukup dan

kualitas yang baik demi hidup yang aktif dan sehat. Dua kandungan makna

tercantum di sini yakni: ketersediaan dalam artian kualitas dan kuantitas dan

akses (hak atas pangan melalui pembelian, pertukaran maupun klaim).

6. FIVIMS (Food Insecurity and Vulnerability Information and Mapping

Systems, 2005 ): Ketahanan Pangan adalah: kondisi ketika semua orang pada

segala waktu secara fisik, sosial dan ekonomi memiliki akses pada pangan

yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi (dietary

needs) dan pilihan pangan (food preferences) demi kehidupan yang aktif dan

sehat.

7. Hasil Lokakarya Ketahanan Pangan Nasional (DEPTAN, 1996)

mendefenisikan ketahanan pangan adalah kemampuan untuk memenuhi

kebutuhan pangan anggota rumah tangga dalam jumlah, mutu dan ragam

sesuai dengan budaya setempat dari waktu kewaktu agar dapat hidup sehat.

21
Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ketahanan

pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi :

1. Berorientasi pada rumah tangga dan individu

2. Dimensi watu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses

3. Menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik,

ekonomi dan sosial

4. Berorientasi pada pemenuhan gizi

5. Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif

Ketahanan pangan pada tataran nasional merupakan kemampuan suatu

bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah

yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada

optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber daya domestik.

Salah satu indikator untuk mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan

ketersediaan pangan nasional terhadap impor (Litbang Deptan, 2005).

2.2.2. Sistem Ketahanan Pangan

Secara umum, ketahanan pangan mencakup 4 aspek, yaitu Kecukupan

(sufficiency), akses (access), keterjaminan (security), dan waktu (time)

(Baliwaty , 2004). Dengan adanya aspek tersebut maka ketahanan pangan

dipandang menjadi suatu sistem, yang merupakan rangkaian dari tiga komponen

utama yaitu ketersediaan dan stabilitas pangan (food availability dan stability),

kemudahan memperoleh pangan (food accessibility) dan pemanfaatan pangan.

22
Maxwell & Smith (1992) mengatakan bahwa ketahanan pangan

menunjukkan adanya akses setiap individu untuk dapat memenuhi kebutuhan

pangan setiap waktu. Hal ini berarti ketahanan pangan memiliki empat

dimensi yaitu (a) kecukupan pangan, yang ditunjukkan oleh tingkat

kecukupan energi untuk aktif dan hidup sehat; (b) akses pangan, yang

berarti adanya kemampuan untuk memproduksi, membeli pangan maupun

menerima pemberian pangan; c) jaminan, yaitu adanya jaminan untuk

memperoleh cukup pangan; dan d) waktu, yaitu adanya jaminan untuk

memperoleh cukup pangan secara berkelanjutan.

Terwujudnya ketahanan pangan merupakan hasil kerja dari suatu sistem

yang terdiri dari berbagai subsistem yang saling berinteraksi, yaitu subsistem

ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan

pangan. Ketersediaan pangan menyangkut masalah produksi, stok, impor dan

ekspor, yang harus dikelola sedemikian rupa, sehingga walaupun produksi pangan

sebagaian bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, pangan yang

tersedia bagi keluarga harus cukup volume dan jenisnya, serta stabil dari waktu

kewaktu.

Sementara itu subsistem distribusi mencakup upaya memperlancar

proses peredaran pangan antar wilayah dan antar waktu serta stabilitas harga

pangan. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan daya akses masyarakat terhadap

pangan yang cukup. Surplus pangan tingkat wilayah, belum menjamin

kecukupan pangan bagi individu/masyarakatnya.

23
Sedangkan subsistem konsumsi menyangkut pendidikan masyarakat

agar mempunyai pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat

mengelola konsumsi individu secara optimal sesuai dengan tingkat

kebutuhannya. Konsumsi pangan tanpa memperhatikan asupan zat gizi yang

cukup dan berimbang tidak efektif bagi pembentukan manusia yang sehat, daya

tahan tubuh yang baik, cerdas dan produktif (Thaha, dkk, 2000).

Apabila ketiga subsistem diatas tidak tercapai, maka ketahanan pangan

tidak mungkin terbangun dan akibatnya menimbulkan kerawanan pangan

(Suryana, 2003).

24

Anda mungkin juga menyukai