Asisten:
Ira Ayu Wulandari
01
Hakekat Iman Kepada
Allah
Menurut Sayyid Sabiq secara Bahasa iman berarti pembenaran hati, sedangkan secara istilah menurut
pendapat jumhur ulama adalah:
Iman kepada Allah adalah asas pokok ajaran Islam, merupakan akar dan seluruh amal dan ibadah. Allah
SWT. adalah satu-satunya Dzat yang berhak disembah dan tidak ada sekutu bagi-Nya, semua sembahan
selain-Nya adalah batil.
Wujud Allah SWT bersifat Muthlaq, artinya Dia adalah sumber keberadaan segala sesuatu. Jadi mustahil
adanya alam semesta dan tatannya tanpa keberadaan-Nya. Tanda-tanda akan wujud-Nya sedemikian
jelas dan terasa sehingga dapat ditunjukkan dengan akal, hati, fitrah dan pancaindra manusia. Akan tetapi
wujud Dzat Allah SWT yang bersifat ghaib, hanya dapat disentuh oleh iman. Al-Quran mengisyaratkan
bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap Insan dan hal tersebut fitrah (bawaan) manusia sejak asal
kejadiannya.
Perhatikan firman Allah SWT di bawah ini:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka
(karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang
mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada
mereka. Itulah orang –orang yang beriman dengan sebenar-benarnya, mereka akan memeroleh
beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.”
(QS. Al-Anfal (8): 2-4)
Fitrah Allah, menurut Tafsir Departemen Agama: “Ciptaan Allah. Manusia diciptakan
Allah mempunyai naluri beragama, yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak
beragama tauhid, itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.” Sebagaimana
firman Allah dalam QS. Al-Ruum (30): 30
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.”
Muara iman adalah fitrah manusia, dengan keyakinan bahwa Allah
SWT adalah Dzat Yang Ghaib, tidak mungkin dibuktikan dengan panca
indra, mengapa demikian? Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Agung
dan Maha Suci, tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Sementara orang
yang menuntut bukti wujud dengan pembuktian material, seakan-akan
menginginkan, Allah SWT tampil dalam batasan ruang waktu.
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan
telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau)
kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup
melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu
dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya Menampakkan diri kepada gunung itu dijadikan gunung itu hancur
luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, Dia berkata: “ Maha Suci Engkau, aku
bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama beriman”. (QS. Al-A’raf (7): 143)
Peristiwa tersebut membuktikan bahwa manusia
agungpun tidak mampu untuk melihat-Nya
dalam kehidupan dunia ini. Dalam kenyataan
sehari-hari kita sering mengakui keberadaan
sesuatu tanpa melihatnya seperti angin, suara,
energi listrik dll. Jadi, sesuatu yang tidak terlihat
belum tentu tidak ada.
Jika manusia tidak mungkin melihat Allah
SWT secara langsung dengan mata
kepala, maka Al-Quran menggunakan
seluruh wujud sebagai bukti keberadaan-
Nya, sehingga disebut sebagai ayat-ayat
Allah SWT dalam bentuk al-kaun (alam).
02
Iman Kepada Asma’
(Nama-Nama) Allah dan
Sifat-Nya
Kemampuan manusia untuk mengetahui Dzat Allah SWT hanya bisa dilakukan
dengan memahami sifat-Nya. Sifat menggambarkan hakikat dzat, tidak mungkin
ada dzat tanpa ada sifat, maupun sebaliknya. Demikian juga tentang Allah SWT,
untuk mengetahui hakekat dan wujud-Nya dapat diketahui melalui sifat-sifat
dan asma-Nya.
a. Sifat Nafsiyah, sifat kedirian bagi Allah. Sifat Nafsiyah ini hanya satu yaitu:
1. wujud (ada). Dalil naqli yang menunjukkan antara lain QS. Ali Imran (3): 2,
Dalil naqlinya (menurut akal) yang wujud mutlak itu pasti/mesti ada (wajib)
sedang yang adam (tidak ada mutlak) adalah mustahil.
b. Sifat Salbiyah, yaitu yang mencabut atau menolak. Maksudnya adalah “Sifat
Salbiyah adalah sifat Allah yang yang menolak segala sifat yang tidak layak
disifatkan kepada-Nya”. Sifat Salbiyah itu ada 5, yaitu:
02 03
Qidam, maha terdahulu sebelum segala Baqa, yaitu kekal, tidak habis dan tidak
sesuatu ada. Dalil naqlinya antara lain QS. berubah, tetap sebagaimana semula. Dalil
Al-Hadid (57): 3, naqlinya yaitu QS. Al-Hadid (57):3
“Dialah yang Awal dan yang Akhir yang Zhahir dan yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu
Qiyamuhu bi nafsihi, berdiri sendiri/ada sendiri, tanpa didirikan
dan tanpa diadakan oleh siapapun.
04 05
Mukhalafatul lil Hawadits, yaitu berbeda dengan
makhluk, tidak ada yang menyerupai-Nya
“… dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (QS. An-Nisa (4):
164)
d. Sifat Ma’nawiyah, yaitu sifat yang dinisbahkan kepada sifat
ma’aniy, karena sifat ini merupakan penjelasan lebih lanjut dari
sifat ma’aniy. Sifat manawiyah ada tujuh diantaranya:
Kaunuhu
Kaunuhu ‘Aliman, Mutakalliman,
keadaan Allah itu keadaan Allah itu Kaunuhu Bashiran,
Kaunuhu Qadirah,
Maha Mengetahui Maha Berfirman keadaan Allah itu
keadaan Allah itu
Maha Berkuasa Maha Melihat
14 16 18 20
15 17 19
Kaunuhu Muridan, Kaunuhu Sami’an,
keadaan Allah itu keadaan Allah itu
Kaunuhu Hayyan,
Maha Berkehendak Maha Mendengar
keadaan Allah itu
Maha Hidup
Alhamdulillah!