Anda di halaman 1dari 3

BAB IV

ANALISIS KASUS

Pasien Tn. RBM, Laki-laki usia 38 Tahun, dibawa dengan keluhan utama
Nyeri perut kanan bawah sejak ± 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya
nyeri dirasakan di ulu hati lalu berpindah ke perut kanan bawah. Nyeri terasa
semakin hebat sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Demam (+), tidak
menggigil, tidak terus-menerus dan tidak berkeringat. Mual (+), muntah (+), nafsu
makan berkurang (+). BAB dan BAK tidak ada keluhan. Karakteristik jenis
kelamin dan usia pasien sesuai dengan teori dengan insidensi terjadi pada dekade
kedua dan ketiga masa kehidupan. Insiden apendisitis paling tinggi pada usia 20-
30 tahun, dan jarang ditemukan pada anak usia kurang dari 2 tahun. Pada remaja
dan dewasa muda rasio perbandingan antara laki-laki dan perempuan sekitar 3:2.
Dari anamnesis didapatkan keluhan nyeri diawali ulu hati lalu berpindah
ke perut kanan bawah. Karakteristik gejala klasik apendisitis adalah nyeri
samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium
sekitar umbilikus. Nyeri perut ini sering disertai mual serta satu atau lebih
episode muntah dengan rasa sakit, dan setelah beberapa jam, nyeri akan beralih
ke perut kanan bawah pada titik McBurney. Dari anamnesis juga didapatkan
karakteristik umum seperti nafsu makan menurun.
Diagnosis banding pasien ini adalah gastroenteritis akut dan batu ureter.
Pada pasien dengan gastroenteritis akut, ditandai diare, mual, muntah dan tidak
ada nyeri perut yang terlokalisir. Pada pasien ini, tidak terdapat diare dan nyeri
yang timbul terlokalisir sehingga dapat menyingkirkan diagnosis banding
gastroenteritis. Sedangkan pada pasien dengan batu ureter, ditandai dengan
keluhan BAK berupa nyeri saat BAK, jika batu terletak di distal ureter dan nyeri
yang terdapat pada batu ureter adalah nyeri kolik. Pada pasien ini, nyeri yang
dirasakan adalah nyeri yang terus menerus sehingga dapat menyingkirkan
diagnosis banding batu ureter.

28
29

Dari riwayat perjalanan penyakit didapatkan pasien tidak pernah


mengalami keluhan yang sama sebelumnya, yang menguatkan diagnosis
apendisitis akut dan belum ke tahap apendisitis kronik yang baru dapat ditegakkan
jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua
minggu.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat
dengan VAS skor 7. Keadaan umum tampak sakit berat sesuai dengan penilaian
skor nilai nyeri yang termasuk dalam tingkat nyeri hebat. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan temperatur 38,1o C yang menunjukkan elevated temperature.
Pemeriksaan fisik spesifik pada palpasi abdomen didapatkan nyeri tekan (+) regio
iliaka dextra. Hasil pemeriksaan fisik spesifik di regio abdomen mengarah pada
diagnosis apendisitis yang ditandai nyeri makin hebat berupa nyeri tekan dan
defans muskuler yang meliputi seluruh perut, disertai pungtum maksimum di
regio iliaka kanan, dan perut menjadi tegang. Defans muskuler menunjukkan
adanya rangsangan parietal. Serta dilakukan manuver pemeriksaan untuk menilai
nyeri didapatkan hasil Uji Rovsing (+), Uji Psoas (+), Uji Obturator (+), dan Uji
Dunphy (+). Uji Psoas (+) menggambarkan iritasi pada otot psoas kanan dan
indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari phlegmon, Dasar anatomis
terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi yang terletak
retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat dilakukan manuver ini.
Uji Obturator (+) menunjukkan peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis.
Uji Dunphy menandakan adanya rasa nyeri pada abdomen karena rangsangan
berupa batuk. Semua manuver pemeriksaan ini merupakan indikator apendisitis.
Dari Pemeriksaan penunjang berupa pmemeriksaan laboratorium darah
lengkap didapatkan hasil abnormal berupa Leukosit 15.000/mm3 yang
menunjukkan kondisi leukositosis dan peningkatan neutrofil pada hitung jenis
leukosit mencapai 82,1% (shift to the left) dengan tambahan hasil pemeriksaan
radiologi berupa Ultrasonografi yang menunjukkan kesan apendisitis. Dari semua
komponen penegakkan diagnosis, data yang didapatkan diinterpretasikan ke
dalam sistem skor Alvarado. Pada kasus ini skor Alvarado mencapai nilai 10
30

dengan interpretasi hampir pasti menderita apendisitis dengan diagnosis kerja


apendisitis akut.

Untuk tatalaksana definitif pada pasien ini berdasarkan skor Alvarado


ialah dilakukan apendektomi cito. Untuk persiapan tindakan apendektomi pasien
dipuasakan minimal 6 jam. Terapi yang saat ini diberikan pada pasien yaitu cairan
intravena IVFD RL gtt XX/m. Lalu diberikan antibiotik terapeutik dan profilaksis
untuk rencana tindakan apendektomi yaitu berupa injeksi cefoperazone 1 g/12 jam
IV, injeksi metronidazole 500 mg/8 jam IV dan paracetamol tablet 500 mg/8 jam
PO. Dasar pemberian antiobiotik berdasarkan tatalaksana empirik profilaksis
infeksi pasca tindakan operasi dengan menggunakan antibiotik spektrum luas.
Untuk tindakan apendektomi berdasarkan SAGES 2010 (Society of American
Gastrointestinal and Endoscopic Surgeon) apendisitis akut merupakan indikasi
untuk dilakukan open appendektomi, sehingga pada kasus dilakukan tindakan
open appendektomi. Setelah dilakukan tindakan, terapi antibiotik profilaksis tetap
dilanjutkan, ditambah dengan pemberian analgetik injeksi berupa Injeksi ketorolac
30 mg/ 8 jam IV. Prognosis pada kasus ini Quo ad vitam, functionam dan
sanationam adalah bonam.

Anda mungkin juga menyukai