Anda di halaman 1dari 14

Jurnal Imajinasi Vol. XIII No.

2 - Juli 2019

Jurnal Imajinasi
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/imajinasi

NILAI MULTUKULTURAL ORNAMEN TRADISIONAL


MASJID-MASJID WARISAN PARA WALI DI PESISIR UTARA JAWA
Supatmo 1 dan Syafii 2
1,2
Jurusan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang

Info Artikel Abstrak


Dalam kehidupan masyarakat, kebudayaan diwujudkan dalam ranah
Sejarah Artikel: gagasan, sosial, dan fisik. Kebudayaan berisi kompleksitas gagasan
Diterima April 2018 yang diejawantahkan pada perilaku berpola dan benda-benda. Artefak
Disetujui Juni 2018 utama warisan masa awal penyebaran Islam di Jawa oleh para wali
Dipublikasikan Juli 2019 berupa masjid yang tersebar di pesisir utara. Bangunan masjid beserta
ornamentasinya merupakan ekspresi gagasan ideal dari tradisi budaya
Keywords: masyarakat pendukungnya. Di antara masjid-masjid tersebut terdapat
ornamen tradisional, masjid, tiga masjid fenomenal karena keunikan ornamentasinya, yaitu Masjid
multikultural Sendhang Dhuwur-Jawa Timur, Masjid Menara Kudus-Jawa Tengah, dan
Masjid Agung Cirebon-Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan menganalisis
nilai multikultural ornamen tradisional masjid-masjid tersebut.
Metode analisis dilakukan dengan pendekatan ikonografis (Panofsky),
yakni pre-iconographical description; iconographical analysis; dan
iconological interpretation. Penelitian menghasilkan temuan bahwa
ornamen tradisional masjid-masjid warisan para wali di pesisir utara
Jawa memiliki keragaman wujud estetis, fungsi, dan makna simbolis.
Motif ornamen merupakan perpaduan harmonis dan kesinambungan
seni hias yang bersumber dari tradisi pra-Islam (Hindu-Budha, Jawa,
China) dan Islam (Arab). Perwujudan ornamen pra-Islam sangat jelas
terdapat pada kompleks Masjid Sendhang Dhuwur berupa gerbang
bersayap, beberapa motif Surya Majapahit, dan domunasi motif
sulur-suluran. Pada kompleks Masjid Menara Kudus terdapat menara
berwujud candi Hindu-Budha (Jayaghu), ornamen dengan motif
makhuk mitologis Hindu-Budha, dan piring-piring keramik Indochina.
Masjid Agung Cirebon sangat kaya dengan keragaman ornamen tradisi
seni Hindhu-Budha, Indochina, dan Eropa yang dipadu dengan ornamen
Islam. Keberagaman nilai budaya sebagai sumber gagasan ornamen
tradisional masjid-masjid warisan para wali tersebut merupakan
ekspresi masyarakat pendukungnya. Sesuai dengan ajaran para wali,
masyarakat pendukung sangat menjunjung tinggi nilai kebhinekaan,
toleransi, dan multikultural. Nilai-nilai tersebut dimanifestasikan
secara simbolik melalui seni ornamen.

PENDAHULUAN
Kebudayaan terdiri atas tujuh unsur Kebudayaan hadir dalam kehidupan
universal mencakupi sistem religi, sistem masyarakat melalui tiga perwujudan,
dan organisasi kemasyarakatan, sistem yaitu: (1) wujud kebudayaan sebagai
pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem suatu kompleksitas ide (gagasan), nilai,
mata pencaharian, dan sistem teknologi. norma, peraturan dan sebagainya; (2)
© 2019 Semarang State University. All rights reserved

Corresponding author :
UNNES JOURNALS
Address: Jurusan Seni Rupa FBS UNNES
email : supatmo@mail.unnes.ac.id - syafii@mail.unnes.ac.id
2 Supatmo dan Syafii, Nilai Multikultural Ornamen Tradisional Masjid-masjid Warisan Para Wali di
Pesisir Utara Jawa

wujud kebudayaan sebagai suatu aktivitas dan kelompok pembawa unsur budaya luar
kompleks (perilaku berpola) berupa sistem (agent of acculturation) yang masing-masing
sosial yang berlaku dalam masyarakat bersifat otonom.
(aktivitas); (3) wujud kebudayaan sebagai Menurut Lauer (2001), perubahan
barang hasil karya manusia dalam budaya terjadi melalui pola evolusi, difusi, dan
masyarakatnya, berwujud kebudayaan fisik akulturasi. Pola evolusi dipandang sebagai
benda nyata (artefact) (Honigman dalam perubahan menurut garis lurus majemuk
Soekiman, 2000:40-41). (multilinear). Proses evolusi kebudayaan
Kebudayaan bukan suatu hal yang ditandai gejala peningkatan heterogenitas
bersifat konstan namun selalu mengalami dan terciptanya keanekaragaman melalui
perubahan. Perubahan budaya terjadi kemampuan adaptasi dari pola sederhana
antara lain karena ada kontak dua atau ke pola yang lebih kompleks. Pola difusi
lebih kebudayaan yang berbeda (Lombard, merupakan proses penyebaran penemuan
2000). Menurut Koentjaraningrat (1977), (inovasi) berbagai aspek budaya ke seluruh
perubahan budaya dapat terjadi melalui lapisan masyarakat. Proses itu mengacu pada
berbagai proses. (1) Proses belajar terhadap penyebaran unsur atau ciri kebudayaan satu
kebudayaan sendiri, yang mencakupi (a) ke kebudayaan lain. Akulturasi merupakan
proses internalisasi, yaitu proses belajar fenomena pola budaya baru yang dihasilkan
perbentukan kepribadian yang bersifat ketika dua kelompok dengan budaya otonom
individual dalam suatu kelompok; (b) proses berbeda melakukan kontak langsung yang
sosialisasi, terjadi atas pandangan bahwa diikuti perubahan pola kebudayaan asli
kebudayaan merupakan bagian dari proses salah satu atau kedua kelompok itu.
sosialisasi berbagai individu dan berkaitan Proses penyebaran agama dan
dengan pola tindakan dalam bermasyarakat; budaya Islam di nusantara pada dasarnya
dan (c) proses pembudayaan (enkulturasi), terjadi dalam kerangka akulturasi. Dalam
yaitu proses belajar dan penyesuaian alam proses akulturasi masyarakat nusantara
pikiran dan sikap terhadap adat-istiadat, membentuk, memanfaatkan, dan menggu-
sistem norma, dan peraturan yang terdapat bah budaya Islam (Arab) sesuai dengan
dalam suatu kebudayaan. (2) Proses evolusi, kebutuhannya (Ambary, 1998: 251-252).
yaitu perubahan budaya yang terjadi secara Ketika kebudayaan dipahami sebagai
berulang namun dalam interval waktu yang keseluruhan sistem gagasan (ideas), sistem
amat panjang. (3) Proses difusi, yaitu proses perilaku dan tindakan, sistem sosial (social
perubahan budaya yang terjadi sebagai system), serta benda fisik karya manusia
akibat dari penyebaran (migrasi) kelompok (material cultur), maka di dalamnya
manusia yang membawa serta unsur terkandung unsur keindahan (estetis).
kebudayaannya. (4) Proses pembaruan Nilai estetis dalam peradaban manusia
(inovasi), yaitu perubahan budaya sebagai diungkapkan melalui perwujudan berbagai
akibat dari penemuan baru atas unsur karya seni, termasuk seni bangunan
kebudayaan, khususnya sistem teknologi dan dengan ornamentasinya. Seni bangunan
sistem ekonomi. (5) Proses akulturasi dan merupakan salah satu wujud budaya fisik
asimilasi, yaitu perubahan budaya karena yang menyimpan dan mencerminkan sistem
adanya pengenalan atau percampuran unsur tata nilai sosio-kultural dan sosio-religi,
budaya asing terhadap budaya masyarakat serta menggambarkan budaya masyarakat
tertentu. Proses ini ditandai adanya kontak pendukungnya (Khaldun dalam Suhaimi,
secara langsung antarunsur budaya. 1995: 25).
Kontak budaya tersebut menjadi titik awal Salah satu artefak warisan para
terjadinya proses akulturasi (baseline of penyebar agama Islam di Jawa (wali), pada
acculturation), antara kelompok penerima masa awal perkembangan adalah bangunan

UNNES JOURNALS
Jurnal Imajinasi Vol. XIII No. 2 - Juli 2019 3

masjid dengan beragam ornamentasinya. Timur; (2) kompleks masjid-makam Sunan


Masjid-masjid tersebut tersebar di sepanjang Kudus-Jawa Tengah; dan (3) kompleks
wilayah pesisir utara. Beberapa bangunan Masjid Agung Kesultanan Kasepuhan
masjid hingga kini masih terpelihara dan Cirebon-Jawa Barat. Wawancara dilakukan
menjadi tempat ibadah kaum muslim, seperti dengan beberapa narasumber kunci dan
Masjid Sunan Giri-Gresik, Masjid Sunan masyarakat pendukung. Narasumber kunci
Ampel-Surabaya, Masjid Sunan Bonang- merupakan ahli atau pihak yang memahami
Tuban, Masjid Sendhang Dhuwur-Paciran dan memiliki pengetahuan mendalam
Lamongan, Masjid Agung Demak, Masjid tentang sasaran penelitian. Narasumber
Mantingan-Jepara, Masjid Menara-Kudus, dimaksud adalah pemangku masjid-makam
Masjid Sunan Muria-Kudus, Masjid Agung- terkait. Penelusuran dokumen dilakukan
Cirebon, dan Masjid Agung-Banten. Dari pada museum Sunan Drajad-Jawa Timur,
aspek arsitektural dan seni ornamennya, Indonesia Islamic Art Museum-Jawa Timur,
terdapat tiga masjid yang sangat fenomenal dan museum Kesultanan Kasepuhan
dan ikonik karena keunikan masing-masing, Cirebon-Jawa Barat. Responden yang
yaitu Masjid Sunan Sendhang Dhuwur di diwawancarai adalah para pengunjung
Paciran, Lamongan-Jawa Timur; Masjid sebagai masyarakat pendukung. Oleh
Menara Kudus-Jawa Tengah; dan Masjid karena obyek penelitian berupa artefak
Agung Kesultanan Kasepuhan Cirebon-Jawa (ikon karya seni rupa berupa ornamen)
Barat. Masjid Sendhang Dhuwur dengan tradisional yang memiki keterkaitan dengan
keunikan ornamen gerbang bersayap; Masjid aspek kesejarahan, estetis, simbolis, dan
Menara Kudus dengan keunikan menara nilai budaya masyarakat maka analisis yang
berwujud candi Hindu-Budha (Jayaghu) digunakan adalah pendekatan ikonografis
dengan keragaman ornamen figuratif; (Panofsky, 1955). Analisis ini menggunakan
dan Masjid Agung Kesultanan Kasepuhan pola pre-iconographical description; ico-
Cirebon dengan ornamen bermotif kala nographical analysis; dan iconological
serta gapura berornamen keramik hias. interpretation.
Penelitian ini bertujuan mendeskripsi-
kan, menganalisis, dan menginterpretasi: HASIL DAN PEMBAHASAN
(1) perwujudan estetis dan makna simbolis Secara fungsional, konsep pembangun-
ornamen tradisional masjid-masjid warisan an masjid adalah sebagai fasilitas umat Islam
para wali masa awal perkembangan Islam di melaksanakan shalat dan bersosialisasi
Jawa; dan (2) manifestasi nilai multikultural tentang ajaran Islam. Bangunan masjid
ornamen tradisional masjid-masjid tersebut. awal tidak memiliki ciri-ciri arsitektural
khusus walaupun pada perkembangannya
METODE PENELITIAN terdapat ciri-ciri berupa unsur manarah,
Penelitian ini merupakan penelitian mighrab, qubbah, dan maqsurah. Seiring
kualitatif. Pengumpulan data dilakukan perkembangan budaya Islam, seni bangunan
dengan metode observasi, wawancara, dan masjid menyebar ke berbagai wilayah
penelusuran dokumen. Observasi dilakukan dengan arsitektural dan ornamen yang
pada obyek ornamen masjid-masjid warisan disesuaikan dengan budaya masyarakat
para wali masa awal perkembangan setempat (Hillenbrand, 1994; Situmorang,
Islam dipesisir utara Jawa. Berdasarkan 1993: 22).
karakteristik, gejala-gejala, dan fenomena- Ornamen adalah komponen produk
fenomena yang dikaji maka obyek yang seni yang ditambahkan atau sengaja dibuat
ditentukan adalah ornamen tradisional untuk tujuan sebagai hiasan (Gustami, 1980).
bangunan: (1) kompleks masjid-makam Sunaryo (2009: 3) menegaskan bahwa
Sendhang Dhuwur, Paciran, Lamongan-Jawa ornamen merupakan penerapan hiasan

UNNES JOURNALS
4 Supatmo dan Syafii, Nilai Multikultural Ornamen Tradisional Masjid-masjid Warisan Para Wali di
Pesisir Utara Jawa

pada suatu produk. Kehadiran ornamen dan Masjid Agung Kesultanan Kasepuhan,
berfungsi utama untuk memperindah Cirebon-Jawa Barat. Selain aspek arsitektur-
benda. Sebagai karya seni rupa, ornamen nya masjid-masjid tersebut juga memiliki
berarti hiasan yang bersifat indah. Ornamen tradisi seni ornamen yang menarik dan unik
memiliki fungsi estetis menghiasi benda secara estetis.
atau barang sehingga menjadikannya lebih Bahan utama bangunan masjid-masjid
bernilai indah, lebih berharga, dan lebih warisan para wali, yaitu Masjid Sendhang
bermakna. Ornamen juga memiliki fungsi Duwur-Jawa Timur, Masjid Menars Kudus-
teknis konstruksi dan fungsi simbolis. Jawa Tengah, dan Masjid Agung Kesultanan
Seni hias (ornamen) tradisi Islam Kasepuhan-Jawa Barat berupa perpaduan
memiliki fungsi nonfisik sebagai pengingat kayu dan batu (termasuk batu bata).
keesaan dan keabsolutan Tuhan (tawhid), Tata letak masjid umumnya menjadi satu
transfigurasi bahan dan struktur, fungsi kompleks dengan makam tokoh pendiri
keindahan (estetis). Ornamen Islam masjid. Elemen-elemen arsitektur yang
merupakan manifestasi secara esensial terdapat pada masjid-masjid tersebut pada
nilai estetis muslim untuk menciptakan umumnya berupa atap susun (tumpang)
kesadaran transendensi ilahiah, dan dengan hiasan mustaka di puncaknya,
menjadi inti spiritualitas dan kreasi artistik struktur rangka atap memusat (brunjung),
dengan lingkungannya. Ornamen bergaya memiliki pilar utama (saka guru), serta
seni tradisi Islam menekankan pada sifat terdapat beragam ornamen. Keberadaan
abstraksi dan denaturalisasi. Sifat itu ornamen menjadi salah satu tradisi
berkaitan dengan trasfigurasi penyajian tersendiri. Ornamen-ornamen tradisional
yang mampu membawa perenungan pada yang ditemukan berwujud relief berbahan
esensi nilai tawhid. Dalam perkembangannya batu, ukiran berbahan kayu, dan hiasan
seni ornamen Islam mengalami keragaman porselin (keramik) tempel atau ornamen
perwujudan karena pengaruh selera etnik, lain berupa terakota. Ornamen-ornamen
ras, dan budaya regional (Al-Faruqi dan jenis lain biasanya merupakan elemen baru
Lamya Lois al-Faruqi, 1992: 406). yang dibuat pada masa kemudian.
Ornamen-ornamen yang menyelimuti
Deskripsi Pra-Ikonografis: Keragaman bagunan masjid atau makam tersusun dari
Ornamen Masjid-masjid Warisan Para beragam jenis motif dan pola hias. Jenis-jenis
Wali di Pesisir Utara Jawa motif dan pola hias yang ditemukan antara
Masjid-masjid warisan masa awal lain berupa motif kaligrafi Arab, motif dan
perkembangan budaya Islam di Jawa pada pola geometris, motif dan pola arabesque,
umunya tersebar di sepanjang pesisir motif tetumbuhan, motif binatang (makhluk
utara. Elemen-elemen bangunan yang mitologis), motif benda alam, serta motif
berbahan kayu telah mengalami renovasi benda buatan manusia. Pada penerapannya
bahkan beberapa di antaranya tidak dapat motif-motif itu dikombinasi dan dipadukan.
diidentifikasi lagi wujud aslinya. Secara Ornamen dalam satu panil bidang, misalnya,
fisik, terdapat bangunan masjid yang bisa terdiri atas beberapa motif. Motif
masih otentik nilai kesejarahannya dan tetumbubahan berwujud sulur-suluran
representatif nilai fungsinya hingga saat ini, dengan pola pengulangan berjajar terlihat
bahkan ditetapkan sebagai cagar budaya sangat dominan dibanding motif-motif lain.
yang dilindungi undang-undang. Masjid-
masjid tersebut antara lain Masjid Agung
Demak, Masjid Al-Aqsha (Masjid Menara
Kudus), Masjid Mantingan-Jepara, Masjid
Sendhang Dhuwur, Lamongan- Jawa Timur,

UNNES JOURNALS
Jurnal Imajinasi Vol. XIII No. 2 - Juli 2019 5

Analisis Ikonografis: Perwujudan dan pencapaian besar tradisi seni Islam.


Estetis dan Makna Simbolis Keragaman Arabesque merupakan bentuk bergaya
Ornamen Masjid-masjid Warisan Para dari vegetal, dan dianggap sebagai ciptaan
Wali di Pesisir Utara Jawa asli spirit budaya Arab. Fitur mendasar
arabesque adalah geometri dan tangkai
Ornamen Tradisi Islam: Geometris, tetumbuhan tertentu. Arabesque berwujud
Arabesque, Kaligrafi non-figuratif (menghindari penggambaran
Hee Sook Lee-Niinioja (2017) makhluk bernyawa). Kerumitan motif dan
menyatakan bahwa secara umum ornamen keunikan pola artistik arabesque menjadi
tradisi Islam memiliki tiga kategori yaitu daya tarik yang mengagumkan. Pola dan
pola geometris, arabesque, dan seni motif arabesque menjadi manifestasi
kaligrafi. Dari segi perbentukan, ornamen ketakterhinggaan menuju keagungan
tradisi Islam biasanya menghindari illahiah. Secara teknis, arabesque dapat
penggambaran makhluk hidup bernyawa dipandang sebagai penggabungan antara
(manusia, hewan). Menurut Grabar (1992), seni dan sains. Di dalamnya terkandung nilai
motif dan pola geometris dalam komposisi keindahan (estetis), makna simbolis, dan
ornamen memiliki tiga fungsi estetis aspek perhitungan atau pembagian yang
yakni mengarahkan (framing), mengisi, presisi secara matematis.
dan menghubungkan. Penerapan pola Tulisan indah (kaligrafi) Islam menjadi
abstraksi geometris secara harmoni dalam sarana ekspresi paling kuat tentang pesan
ornamen menjadi metafora bagi pemikiran Tuhan untuk muslim (Hee Sook Lee-
transendental kaum muslim menuju Niinioja 2017). Perkembangan kaligrafi
ketidakterhinggaan dan keesaan illahiah Islam sangat terkait dengan kitab suci Al-
(tawhid) Tuhan Sang Pencipta alam semesta. Qur’an. Tema dan kutipan-kutipan dari
Motif geometris diaplikasikan dengan pola ayat Al-Qur’an adalah teks umum dan
repetitif dan dikombinasi dengan motif- hampir universal mendasari kaligrafi Islam.
motif lain dalam komposisi yang harmonis. Hubungan religius yang mendalam dengan
Pada situs masjid-makam Sunan Sendhang Al-Qur’an dan adanya anggapan bahwa
Dhuwur motif geometris diwujudkan secara seni figuratif (penggambaran makhluk
detil dan cermat sebagai hiasan ukir kayu bernyawa) sebagai penyembahan berhala
penyangga bagian atap paduraksa bersayap. bagi sebagian umat muslim menjadikan
Motif serupa juga ditemukan pada daun pintu kaligrafi sebagai salah satu bentuk utama
paduraksa lawang kembar Masjid Menara ekspresi artistik dalam budaya Islam. Seni
Kudus. Pada Masjid Agung Cirebon, bagian Islam bersifat nonfiguratif dan “menolak”
atas pintu-pintu masuk yang berukuran ikon. Perkembangan dan eksistensi kaligrafi
relatif kecil tampak berpola geometris. Islam juga termotivasi oleh latar belakang
Arabesque adalah dekorasi yang iconophobia dan iconoclasm pada masa lalu.
menghiasi permukaan berdasarkan Iconophobia mengacu pada keengganan,
pola linear dengan perhitungan presisi kecurigaan, dan kebencian terhadap
(matematis) berirama secara bertautan gambar (yang bersifat ikonik), terutama
(jalin-menjalin) dengan motif pokok ikon keagamaan. Pada tahapan tertentu
tumbuhan merambat dikombinasikan iconophobia bisa mengarah pada tindakan
dengan unsur garis-garis geometris atau radikal penghancuran total terhadap ikon
kaligrafi. Arabesque dibentuk dari susunan (iconoclasm). Iconoclasm adalah keyakinan
motif yang diulang-ulang dengan format sosial terhadap pentingnya penghancuran
pergeseran, perputaran, pencerminan, atau ikon dan gambar atau monumen lainnya
format lain. Arabesque diidentifikasi dan karena alasan agama atau politik. Kaligrafi
dipandang sebagai ornamen utama ciri merupakan seni yang sangat dihormati

UNNES JOURNALS
6 Supatmo dan Syafii, Nilai Multikultural Ornamen Tradisional Masjid-masjid Warisan Para Wali di
Pesisir Utara Jawa

dalam tradisi budaya Islam. Oleh karenanya motif tumpal juga terdapat pada beberapa
sebagian besar karya seni kaligrafi Islam bagian bangunan kompleks masjid-makam
tradisional mengikuti contoh atau gaya ahli Sunan Kudus, Masjid Agung Demak, juga
kaligrafi yang mapan. Masjid Agung Cirebon. Motif tumpal juga
Pada bangunan kompleks Masjid dikombinasi dengan isen-isen motif sulur-
Sendhang Dhuwur, keberadaan ornamen suluran.
kaligrafi tidak tampak dominan bahkan (2) Ornamen Motif Kala
hanya sebagian kecil saja. Di beberapa Dalam mitologi Hindu, Kala adalah
bagian masjid, ornamen kaligrafi yang putera Dewa Syiwa sebagai penguasa waktu.
ditemukan merupakan elemen baru. Masjid Dewa Kala digambarkan sebagai raksasa
Menara Kudus juga memiliki hiasan kaligrafi yang berwajah menyeramkan, bermata
Arab di beberapa elemen bangunan lama melotot, bergigi dan bertaring tajam,
maupun pada bangunan baru. Kaligrafi Arab hampir tidak menyerupai seorang dewa.
juga terdapat pada ornamen Masjid Agung Apabila sudah pada waktunya seseorang
Cirebon dan masjid-masjid bersejarah meninggalkan dunia fana, maka pada saat
lainnya. itu pula Kala akan datang menjemputnya.
Ornamen Tradisi Pra-Islam Dalam seni tradisi seni hias bangunan pra-
Bangunan masjid dan makam warisan Islam (Hindu), perwujudan Kala biasanya
budaya awal Islam di Jawa (masa peralihan), dipasangkan dengan makara (kala-makara).
tampak sangat kuat pengaruh tradisi Makara adalah makhluk mitologis
arsitektur dan ornamen pra-Islam (Hindu, dalam agama Hindu yang divisualisasi
Budha, Jawa, Tiongkok). Keberadaan berupa gabungan dua hewan, di bagian
ornamen dengan pola dan motif bergaya kepala berwujud binatang seperti gajah
tradisi pra-Islam justru lebih dominan atau buaya dan di bagian ekor digambarkan
dibanding dengan ornamen tradisi Islam. seperti ikan atau naga. Makara dipercaya
(1) Ornamen Motif Tumpal sebagai wahana (kendaraan) Dewi Gangga-
Tumpal adalah hiasan berpola segitiga Dewa Baruna, pengejawantahan Dewa
yang disusun secara berulang. Dalam Makaradhvaja (https://id.wikipedia.org/
segitiga tersebut terdapat motif tumbuhan wiki/Batara_Kala, diakses tanggal 3 Juni
atau suluran sebagai isen-isen (hiasan 2019). Di Jawa dan Bali, makara dijadikan
pengisi). Hee Sook Lee-Niinioja (2017: 118) elemen hias candi-candi Hindu). Di Bali,
menjelaskan bahwa motif tumpal merupakan makara digambarkan secara visual berwujud
ornamen tradisional warisan dari masa makhluk berkepala gajah dan berekor ikan
prasejarah (animisme) yang berkembang dan disebut gajah mina (mina berarti ikan).
pada masa Hindu-Budha hingga masa Pada bangunan gerbang paduraksa
Islam. Masyarakat sekitar Masjid Sendhang kompleks masjid Sunan Sendhang Dhuwur
Dhuwur dan masyarakat di beberapa daerah terdapat ornamen kala-makara. Manifestasi
lain mengenalinya sebagai motif pucuk kala-makara juga terdapat pada ornamen
rebung (ujung semai bambu). Hingga saat mimbar masjid. Berbeda dengan kala-
ini motif tumpal banyak diaplikasikan pada makara pada umumnya, makara pada
ornamen tradisional kain batik, kain tenun, gerbang paduraksa bersayap digambarkan
dan berbagai benda kerajinan lainnya. dalam wujud kepala kijang (marga)
Pada bangunan Masjid Sendhang Dhuwur, sehingga dinamakan kala-marga. Di bawah
ornamen dengan motif atau pola tumpal kala-marga tersebut terdapat ornamen dua
terdapat pada bagian bangunan gerbang makara berwujud kepala naga bermahkota
utara, bagian penghubung gerbang utara ke dalam tampilan arca tiga dimensi. Sepasang
arah barat, bagian bawah dinding cungkup makara tersebut berada di kanan-kiri
makam, juga pada batu nisan. Hiasan bagian depan pintu masuk. Motif kala juga

UNNES JOURNALS
Jurnal Imajinasi Vol. XIII No. 2 - Juli 2019 7

ditemukan di Masjid Menara Kudus sebagai Masjid Sendhang Dhuwur juga terdapat
hiasan pancuran air wudlu, berjumlah ornamen dengan motif-motif binatang atau
8 kali 2 berderet. Masyarakat setempat makhluk lain seperti bintulu (kala bermata
menyebutnya sebagai kedhok (topeng). satu) merak, singa, elang (garuda), kera,
Solichin Salam (1986:28) menghubungkan kelinci hutan, ular naga, dan buaya. Bintulu
8 pancuran air wudhu itu dengan ajaran adalah makhluk imajinatif-mitologis yang
astasanghikamarga atau delapan jalan digambarkan menyerupai kala dengan satu
keutamaan. Astasanghikamarga adalah mata besar di atas hidung. Ornamen bermotif
ajaran Sang Budha yang pertama-tama bintulu terdapat di sisi bawah gerbang
diberikan depada murid-muridnya di paduraksa. Motif bintulu juga ditemukan
Benares (India), terdiri atas pengetahuan pada ornamen Masjid Mantingan-Jepara.
yang benar, keputusan yang benar, perkataan Di Bali ornamen karang bintulu sering
yang benar, perbuatan yang benar, pekerjaan digunakan pada bangunan-bangunan pura.
yang benar, usaha yang benar, meditasi Merak digambarkan dengan bulu-
secara benar, dan kontemplasi yang benar bulu sayap dan ekor yang mengembang.
(suci murni, luhur). Pada Masjid Agung Merak merupakan binatang nyata. Ornamen
Cirebon, perwujudan kala-makara menjadi dengan motif merak dijumpai pada dinding
ornamen yang indah pada mihrab. Kala- gerbang paduraksa kompleks Masjid
makara disamarkan secara dekoratif hingga Sendhang Dhuwur. Motif sepasang merak
terkesan menjadi hiasan tetumbuhan dan juga terdapat pada penyangga bedug (gayor)
sulur-suluran. Pada Masjid Mantingan-Jepara di masjid Sunan Muria Kudus. Ornamen
juga terdapat ornamen bermotif kala yang singa bersayap terdapat di sisi samping
ditempel di salah satu dinding samping. dinding gapura paduraksa ke arah makam
(3) Ornamen Motif Binatang (Makhluk Sunan Sendhang Dhuwur. Terdapat juga
Mitologis) motif kera yang digambarkan dalam pose
Motif sosok manusia, binatang, atau berdiri. Penggambaran kera ini mirip dengan
makhluk lain yang bersifat nyata atau khayali penggambaran kera yang terdapat pada
sangat lazim ditampilkan pada bangunan masjid Mantingan-Jepara. Ornamen ini juga
candi Hindu-Budha sebagai elemen estetis terdapar pada dinding gapura paduraksa.
atau manifestasi simbolis. Dalam tradisi Terdapat motif ular naga berpasangan
seni hias Islam, penggambaran seperti itu dalam ukuran yang relatif kecil, menempel
dihindari karena berkonotasi dengan berhala. pada dinding bangunan kompleks makam.
Menyembah berhala adalah perbuatan yang Naga digambarkan memakai mahkota. Motif
sangat dilarang karena tidak sesuai dengan lainnya adalah buaya dengan moncong
ajaran tawhid. Dalam beberapa kasus, terbuka penuh, tampak taring dan gigi-
terdapat motif-motif binatang atau makhluk giginya. Ornamen ini berada pada sudut-
khayali pada bangunan masjid-makam sudut atap paduraksa, kanan-kiri luar
warisan awal perkembangan budaya Islam secara simetris, satu rangkaian dengan
di Jawa. Sosok tersebut tidak digambarkan kala-marga yang menghadap ke bawah.
secara realis namun digubah dan digayakan Penggambaran kepala buaya mengalami
dalam pendekatan dekoratif hingga terjadi penggubahan secara dekoratif namun tetap
penyamaran bentuk. Penggubahan dan representafif. Pada pertemuan sudut bagian
penggayaan (stilisasi) dilakukan dengan kanan-atas gerbang paduraksa terdapat
cara distorsi, transformasi, hingga deformasi ornamen relief dengan motif kepala burung
bentuk. bermahkota (garuda) dikombinasi dengan
Selain motif kala-makara dan kala- bentuk-bentuk antefiks. Kepala garuda
marga sebagai pengejawantahan makhluk digambarkan secara dekoratif dengan paruh
mitologis, pada bangunan kompleks tajam melengkung sidikit terbuka, bermata

UNNES JOURNALS
8 Supatmo dan Syafii, Nilai Multikultural Ornamen Tradisional Masjid-masjid Warisan Para Wali di
Pesisir Utara Jawa

bulat, dan memakai hiasan mahkota berpola Agung Cirebon. Motif sulur-suluran juga
antefiks. Bulu-bulu garuda dimanifestasikan menjadi hiasan utama pada tiang-tiang
dalam bentuk motif-motif ukel. serambi dan mendominasi pada ornamen
(4) Ornamen Motif Tetumbuhan (Sulur- lawang bledheg Masjid Agung Demak. Pada
suluran) Masjid Sunan Muria di Kudus, motif sulur-
Ornamen dengan motif berbagai suluran menjadi hiasan khas pada umpak
tumbuhan atau yang terkait dengan bagian- tiang-tiang utama (saka guru).
bagian tumbuhan (tetumbuhan) seperti Motif sulur-suluran dengan pendekatan
tumbuhan utuh, pohon, ranting, cabang, dekoratif sebagai penggambaran tetumbuh-
dedaunan, bunga, hingga buah tampak an menjalar benar-benar menjadi tradisi
dominan menghiasi bangunan di kompleks seni hias yang sangat kuat, sehingga
Makam Sunan Sendhang Dhuwur. Seperti keberadaannya sangat dominan. Pada masa
motof-motif lain, motif tetumbuhan pra-Islam, ornamen motif sulur-suluran
yang ditampilkan juga telah mengalami sangat banyak ditemukan pada panil-panil
penggubahan bentuk (wujud), dan yang dinding bangunan percandian Hindu dan
paling dominan adalah motif tumbuhan Budha. Motif tersebut berkesinambungan
merambat yang digubah menjadi bentuk menjadi bagian penting pada ornamen
ukel dan sulur-suluran (lung-lungan). bangunan masjid pada masa awal
Beberapa perwujudan tetumbuhan yang perkembangan Islam di Jawa.
telah digubah bentuknya bisa dengan mudah (5) Ornamen Porselin/ Keramik Tempel
diidentifikasi subyek acuannya, namun Pada dinding Menara Kudus terdapat
beberapa di antaranya telah mengalami hiasan porselin atau keramik temple,
stilisasi, transformasi, deformasi sehingga seperti piring dengan berbagai motif. Secara
sulit didentifikasi subyek acuannya. Motif keseluruhan tempelan piring itu berjumlah
tetumbuhan yang teridentifikasi antara lain 32 buah, 20 buah berwarna biru bermotif
berupa tumbuhan berpohon secara utuh pemandangan alam, sedangkan 12 buah
seperti siwalan, pandan, kelapa, dan maja; lainnya berwarna merah putih bermotif
bagian dari tubuhan seperti bunga dan bunga. Ornamen tempelan piring porselen
daun teratai, buah jambu air (mirip dengan juga ditemukan pada mihrab Masjid Sunan
buah kawung), dan tumbuhan merambat. Muria, berjumlah 30 buah dengan berbagai
Motif tetumbuhan yang tampak paling motif. Pada Masjid Agung Demak, kompleks
dominan adalah tetumbuhan merambat Masjid Masjid Agung Kesultanan Kasepuhan
yang difanifestasikan dalam wujud dekoratif Cirebon, gerbang makam Sunan Bonang di
sulur-suluran. Selain itu terdapat pula motif Tuban, dan kompleks masjid-masjid tua lain
tumbuhan khayali berupa pohon hayat juga ditemukan ornamen serupa. Keramik-
(pohon surgawi). Pada gerbang bagian atap keramik hias tersebut pada umumnya
paduraksa bersayap di kompleks masjid- bermotif gaya Indochina namun ada juga
makam Sunan Sendhang Dhuwur sangat motif gaya Eropa (sebagai restorasi keramik
kaya dengan motif sulur-suluran yang yang telah rusak).
dipadukan dalam komposisi yang harmonis. Tradisi pemakaian hiasan piring
Motif sulur-suluran pada masjid Menara porselen pada bangunan masjid diilhami
Kudus ditampilkan dalam pola medalion oleh hiasan keramik tembok yang banyak
yang menghias paduraksa lawang kembar. digunakan pada seni bangun Islam di Asia
Motif sulur-suluran pada ornamen Masjid Barat dan Asia Tengah pada masa awal
Menara Kudus tampak bergaya seni hias perkembangan. (Miksic, 2002: 87). Pada
Majapahit. Ornamen bermotif sulur-suluran bangunan Menara Kudus, piring-piring
yang dipadukan dengan motif kala banyak porselen itu tertempel pada panil-panil
menghiasi dinding depan bangunan masjid berbentuk belah ketupat dan lingkaran

UNNES JOURNALS
Jurnal Imajinasi Vol. XIII No. 2 - Juli 2019 9

pada dinding luar badan menara. Tidak menjelaskan tentang sifat, keadaan, atau
semua hiasan porselen berbentuk piring kondisi masyarakat yang menekankan
(lingkaran), ada juga bentuk segi empat penerimaan terhadap adanya keragaman
dengan motif meander dikombinasi dengan budaya yang hidup dan berkembang dalam
stilisasi bunga dan bentuk organik. Porselen masyarakat, menyangkut aspek-aspek nilai,
hias berbentuk seperti kupu-kupu dan norma, sistem, tradisi, kebiasaan, keyakinan,
bentuk segi empat, yang terdapat di atas maupun politik yang mereka anut (Azra,
gerbang paduraksa depan, sebagaimana 2007).
terdapat pada masjid Agung Demak, Multikulturalisme mencakupi suatu
teridentifikasi sebagai porselen dari pemahaman, penghargaan serta penilaian
Indochina dan Vietnam. atas budaya suatu masyarakat, serta
suatu penghormatan dan keingintahuan
Interpretasi Ikonologi: Nilai Multikultural tentang budaya masyarakat lain (Lubis,
Keragaman Ornamen Masjid-masjid 2006:174). Dalam perspektif ideologi,
Warisan Para Wali di Pesisir Utara Jawa Suparlan (2002), menyatakan bahwa
Secara kebahasaan multikultural multikulturalisme merupakan sebuah
dapat dipahami sebagai suatu keadaan atau ideologi yang mengakui dan mengagungkan
kondisi masyarakat dengan keragaman perbedaan dalam kesederajadan baik secara
(multi) budaya (culture). Dalam perspektif individual maupun secara kebudayaan.
sosiologis, multikultural terkait erat dengan Harahap (2007) menguatkan pendapat
karakteristik masyarakat, oleh karena tersebut dengan menegaskan bahwa
itu pemahaman tentang multikultural multikulturalisme mencakup gagasan,
dilekatkan dengan masyarakat multikultural. cara pandang, kebijakan, penyikapan, dan
Dalam khasanah keilmuan, istilah tindakan oleh masyarakat suatu negara
multikultural dibedakan ke dalam beberapa yang majemuk dari segi etnis, budaya,
ungkapan yang lebih sederhana, seperti agama, dan sebagainya, namun mempunyai
pluralitas (plurality) memadankan adanya cita-cita untuk mengembangkan semangat
hal-hal yang lebih dari satu, keragaman kebangsaan yang sama dan mempunyai
(diversity) menunjukkan keberadaan yang kebanggaan untuk mempertahankan
berbeda-beda, heterogen, dan yang tidak kemajemukan tersebut.
dapat disamakan. Masyarakat multikultural Azra (2007:183-185) mengelompok-
adalah masyarakat yang terdiri dari kan karakteristik multikulturalisme dalam
banyak kebudayaan dan antarpendukung 5 kategori. (1) Multikulturalisme isolasionis
kebudayaan saling menghargai satu mengacu pada masyarakat dengan kondisi
dengan yang lain. Masyarakat multikultural berbagai kelompok kultural menjalankan
merupakan masyarakat yang menganut hidup secara otonom dan terlibat dalam
multikulturalisme, yaitu paham yang interaksi yang hanya minimal satu dengan
beranggapan bahwa berbagai budaya yang lain. (2) Multikulturalisme akomodatif,
yang berbeda memiliki kedudukan yang yaitu masyarakat yang memiliki budaya
sederajat. Masyarakat multikultural adalah dominan, membuat penyesuaian dan
suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa akomodasi-akomodasi tertentu bagi
macam kumunitas budaya dengan segala kebutuhan kultural kaum minoritas
kelebihannya dan sedikit perbedaan namun kaum minoritas tidak menantang
konsepsi mengenai dunia, suatu sistem budaya dominan. (3) Multikulturalisme
arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, otonomis, yaitu masyarakat plural dengan
adat serta kebiasaan. Dengan demikian kondisi kelompok-kelompok kutural
dapat ditegaskan bahwa multikultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan
adalah istilah yang digunakan untuk (equality) dengan budaya dominan dan

UNNES JOURNALS
10 Supatmo dan Syafii, Nilai Multikultural Ornamen Tradisional Masjid-masjid Warisan Para Wali di
Pesisir Utara Jawa

menginginkan kehidupan otonom dalam (Sofwan, et al., 2000). Demikian halnya yang
kerangka kebudayaan yang secara kolektif dilakukan oleh Sunan Sendhang Dhuwur.
bisa diterima. (4) Multikulturalisme Dengan pendekatan kultural, Masjid
kritikal atau interaktif, yaitu masyarakat Sendhang Dhuwur bukan hanya difungsikan
plural dengan kondisi kelompok kultural sebagai tempat ibadah semata namun juga
tidak terfokus dengan kehidupan kultural sebagai ruang budaya untuk menjaga tradisi
otonom tetapi lebih membentuk penciptaan dan membangun toleransi dengan pola
kolektif yang mencerminkan khusus akulturasi antara nilai-nilai lama (budaya
masyarakat itu. (5) Multikulturalisme Pra-Islam) dengan nilai-nilai baru (budaya
kosmopolitan, yaitu multikulturalisme yang Islam). Menurut penuturan seoarang
berusaha menghapus batas-batas kultural pemangku masjid Sendhang Dhuwur,
untuk menciptakan masyarakat dengan salah satu ajaran Sunan Sendhang Dhuwur
karakteristik setiap individu tidak lagi terikat yang selalu dipedomani oleh masyarakat
kepada budaya tertentu namun secara pendukungnya hingga kini, diungkapkan
bebas terlibat dalam percobaan-percobaan dalam Bahasa Jawa: “mlakuha dalan kang
interkultural sekaligus mengembangkan benar, elinga wong kang sak mburimu”
kehidupan kultural masing-masing. (berjalanlah di jalan yang benar, ingatlah
Inti multikultural dan multikulturalisme orang yang ada di belakangmu/ sesudahmu).
adalah penerimaan dan penghargaan Ajaran yang sederhana itu mengandung
terhadap keragaman kebudayaan. Setiap makna mendalam bagi para pengikutnya
kelompok masyarakat memiliki kesadaran untuk berperilaku dalam kebenaran (sesuai
saling menghargai dan menghormati, tanpa ajaran agama), menjaga harmoni dengan
membeda-bedakan suatu kebudayaan sesama manusia, menjaga keselarasan alam,
dengan yang lain. Pada dasarnya, masyarakat dan menjaga toleransi atas perbedaan.
Indonesia adalah masyarakat multikultural. Sunan Sendhang Dhuwur juga berdakwah
Masyarakat Indonesia merupakan kesatuan dengan pendekatan “tut wuri handayani
dari keanekaragaman suku bangsa, lan tut wuri hangiseni”. Sunan Sendhang
agama, bahasa, tradisi, seni, adat-istiadat, Dhuwur memahami secara mendalam nilai-
maupun letak geografis. Multikulturalisme nilai budaya masyarakat setempat kemudian
yang terjadi pada masyarakat Indonesia mengadopsinya menjadi media dakwah
merupakan proses kristalisasi atas kondisi serta mengisinya dengan nilai-nilai budaya
sosiokultural maupun geografis yang Islam.
begitu beragam dan luas. Multikulturalisme Masjid merupakan representasi
ini memiliki makna strategis terkait erat arsitektur Islam yang mengandung unsur
dengan pembangunan masyarakat yang estetika dan ekspresi budaya masyarakat
berlandaskan Bhineka Tunggal Ika dalam pendukungnya (Rachim, 1983: 1), maka
mewujudkan suatu kebudayaan nasional tanda-tanda arsitektural dan ornamentasi
sebagai pemersatu bangsa Indonesia. bangunan kompleks Masjid Sendhang
Dalam kehidupan sehari-hari masya- Dhuwur merupakan manifestasi nilai
rakat Jawa pada umumnya menerapkan budaya yang dianut masyarakat pendukung.
kaidah sosiokultural nilai toleransi, baik Arsitektural dan ornamentasi Masjid
toleransi kultural (tantularisme) maupun Sendhang Dhuwur memadukan secara
toleransi religi, seperti konsep ajaran Empu harmonis tradisi seni pra-Islam (Hindu,
Tantular sejak zaman Majapahit (Suseno, Budha, Jawa, China) dengan tradisi seni
2001:38-40). Keberhasilan penyebaran Islam (Arab). Motif-motif dan pola ornamen
agama Islam (islamisasi) di Jawa oleh para yang menghiasi bangunan tersebut bahkan
wali (dipelopori Walisanga) terutama lebih dominan berlatar belakang tradisi
karena penerapan pendekatan kultural dan simbol-simbol budaya pra-Islam. Hal

UNNES JOURNALS
Jurnal Imajinasi Vol. XIII No. 2 - Juli 2019 11

ini hanya bisa terjadi karena kuatnya nilai keseimbangan bumi dan lautan. Ada salah
toleransi budaya masyarakat pendukung satu penjelmaan (avatara) Dewa Vishnu,
sesuai yang diteladankan oleh Sunan yang dikenal sebagai Kurma, merupakan
Sendhang Dhuwur. Nilai toleransi budaya kura-kura raksasa. Avatara Kurma memiliki
dimanifestasikan pada ornamen tradisional sebuah kuil, Sri Kurman Temple di Andhra
yang menghiasi bangunan Masjid Sendhang Pradesh, India yang didedikasikan baginya.
Dhuwur. Bentuk estetis gerbang paduraksa Kura-kura juga menjadi perlambangan dari
bersayap pada kompleks Masjid Sendhang umur panjang, perlindungan, kesejahteraan,
Dhuwur merupakan representasi tradisi dan keberuntungan.
seni Hindu. Gapura paduraksa bersayap Ornamen tersebut merupakan
merupakan simbolisasi perjalanan sakral penanda angka tahun (chronogram) berupa
menuju alam kedewataan (kayangan) sengkalan memet, dibaca “Sarira Sunyi
atau alam surgawi setelah kematian Kiblating Gusti. Gusti” dibaca angka 1, Kiblat
duniawi. Simbolisasi ini berkesesuaian dan dibaca sebagai angka 4, Sunyi dibaca sebagai
berkesinambungan dengan keyakinan Islam angka 0, dan Sarira dibaca sebagai angka 1,
tentang alam akhirat. Hal ini merupakan kemudian diurutkan dari belakang menjadi
manifestasi nilai toleransi terhadap transisi angka tahun 1401 (Saka) atau 1479 Masehi.
akulturasi budaya Hindu-Islam dalam Selain itu juga ditemukan teks dalam bahasa
lingkup keselarasan dan keseimbangan Jawa “iku thothok bulus sikil papat endhas
kultural masyarakat pendukung. Secara sidji, tahun Çaka angka 1401 sengkalan
estetis terdapat perpaduan harmonis adegipun masjid Demak” (itu tempurung
(serasi, selaras, seimbang) antara motif hias bulus kaki empat kepala satu, tahun Çaka
tradisi pra-Islam seperti motif binatang 1401 sengkalan berdirinya masjid Demak).
dan khayali (mitologis) kala-makara, kala Selain itu juga terdapat ornamen ukiran
marga, kepala garuda, ular naga, bintulu, kayu bergaya China, yang disebut lawang
pohon hayat (kalpawreksa), dan lain-lain bledheg (pintu petir). Lawang bledheg
dengan perwujudan motif-pola hias tradisi sangat dikenal karena hiasannya bermotif
Islam yaitu pola geometris, arabesque, dan seperti hewan mitologi naga, sebagai
kaligrafi. Gejala ini merupakan manifestasi penjelmaan petir (bledheg). Hiasan tersebut
nilai toleransi seni tradisi-budaya baru sesungguhnya adalah prasasti sengkalan
(Islam) terhadap seni tradisi-budaya lama memet yang dibaca “naga mulat salira wani”
(pra-Islam) dalam mencapai keselarasan sebagai pengingat tahun 1388 S (1466 M),
dan keseimbangan kultural setempat. Hal ini yang dipercaya sebagai masa cikal bakal
menunjukkan bahwa mayarakat pendukung berdirinya masjid sebelum secara resmi
masjid-makam Sunan Sendhang Dhuwur menjadi masjid Kesultanan (Masjid Agung)
merupakan masyarakat multikultural. Demak. Dalam konsep sengkalan memet,
Pola paduan ornamen tradisi pra-Islam naga diasosiasikan dengan angka 8, mulat
dan Islam juga terjadi pada masjid-masjid diasosiasikan angka 8, salira diasosiasikan
warisan para wali lainnya. Pada Masjid angka 3, dan wani dengan angka 1. Lawang
Agung Demak terdapat ornamen tradisi pra- bledheg merupakan pintu utama masuk
Islam berupa motif bulus di dinding mihrab. masjid, terbuat dari bahan kayu dengan
Dikutif dari https://id.wikipedia.org/ wiki/ hiasan ukiran. Saat ini lawang bledheg asli
Kurma_(awatara), dalam mitologi Hindu, telah dimasukkan museum, dan pintu utama
dunia ditopang oleh empat ekor gajah yang diganti dengan replikanya. Keberadaan
berdiri di atas tempurung bulus (kura-kura). lawang bledheg dikaitkan dengan kisah
Akupara adalah seekor kura-kura darat dalam Ki Ageng Selo menangkap petir (bledheg).
legenda Hindu (India) yang memanggul Ornamen motif Surya Majapahit terdapat
dunia di punggungnya dan menjaga pada dinding bagian dalam masjid.

UNNES JOURNALS
12 Supatmo dan Syafii, Nilai Multikultural Ornamen Tradisional Masjid-masjid Warisan Para Wali di
Pesisir Utara Jawa

Perwujudan estetis Masjid Agung pendukungnya. Hingga sekarang, setiap


Cirebon memilki banyak keunikan yang hari kompleks Masjid Menara dan makam
bersifat fenomenal, baik dari dimensi seni Sunan Kudus selalu ramai dikunjungi
bangun (arsitektural) maupun dari dimensi oleh masyarakat dari berbagai penjuru
seni hias (ornamen), sebagai salah satu Nusantara.
representasi masa awal perkembangan
budaya Islam di Jawa. Perwujudan estetis SIMPULAN
arsitektural dan ornamental Masjid Agung Masjid warisan para wali di sepanjang
Cirebon terlihat meiliki kesinambungan pesisir utara Jawa memiliki keragaman
tradisi seni pra-Islam dan pengaruh Eropa ornamen tradisional. Perwujudan estetis
(pada perbaikan-perbaikan selanjutnya). ornamen tersebut bersumber dari tradisi
Ornamen motif kala yang digayakan seni hias pra-Islam (Jawa, Hindu-Budha,
terdapat di dinding dalam masjid. Pada China) yang dipadukan secara harmonis
gapura terdapat ornamen porselen piring (serasi, selaras, dan seimbang) dengan
tempel dengan berbagai motif. Paduan tradisi seni hias Islam (Arab) secara
dan kesinambungan ornamen tradisi pra- berkesinambungan. Motif-motif tradisi
Islam dan Islam ini, menurut salah seorang seni pra-Islam seperti makhluk imajinatif-
pemangku masjid, merupakan wujud mitologis, tetumbuhan (sulur-suluran),
ungkapan toleransi kultural masyarakat piring tempel, hingga motif Surya Majapahit
pendukung terhadap nilai-nilai tradisi lama. dipadu dengan motif-motif tradisi seni
Sunan Kudus sebagai pendiri Masjid Islam seperti motif geometris, arabesque,
Menara Kudus, dikenal sebagai anggota dan kaligrafi. Motif-motif hias sebagai
Walisanga yang sangat menjunjung tinggi elemen dasar ornamen yang diterapkan
toleransi dan nilai multikultural. Ajarannya pada bangunan masjid-masjid warisan para
untuk tidak menyembelih/ memakan wali, selain mimiliki fungsi estetis untuk
daging sapi sebagai penghormatan kepada memperindah bangunan, juga memiliki
masyarakat penganut Hindu di sekitar Masjid fungsi simbolis terkait nilai budaya dan
Manara Kudus pada masa itu masih ditaati keyakinan pra-Islam dan Islam. Ornamen
oleh para pengikutnya hingga sekarang. masjid-masjid tersebut hadir dalam
Masjid yang dibangunnya bernama asli Al- kerangka tawhid, mengagungkan keesaan
Aqsha namun masyarakat menyebutnya Allah (Tuhan Yang Maha Kuasa), sekaligus
dengan nama Masjid Menara Kudus sebagai manifestasi nilai kebhinekaan
karena fenomena arsitektural menaranya. budaya (multikultural) yang dijunjung tinggi
Arsitektural menara tersebut sangat nyata oleh masyarakat pendukungnya. Seperti
berbentuk candi atau balai kul-kul, bangunan ajaran para wali, penyebar agama Islam
khas keagamaan Hindu. Ornamentasinya pada masa awal perkembangan di Jawa,
sangat akulturatif antara tradisi seni hias masyarakat tersebut adalah masyarakat
pra-Islam dan Islam. Ornamen motif kelinci multikultural, yaitu masyarakat dengan
hutan (hare) seperti yang sering ditemukan kehidupan sosial saling menghargai dan
sebagai ornamen dasar candi Hindu-Budha, toleransi terhadap perbedaan budaya.
ornamen motif kala (kedhok), ornamen pola
medallion motif sulur-suluran, ornamen DAFTAR PUSTAKA
piring tempel (khas Indochina), hingga Al-Faruqi, Ismai’l R. dan Lamya Lois-al-
motif Surya Majapahit menghiasi bangunan Faruqi. 1992. The Cultural Atlas of
tersebut hingga sekarang. Arsitektural dan Islam, alih Bahasa Malaysia: Othman,
keragaman ornamen tersebut perwujudan Ridzuan, et al. 1992. Atlas Budaya
nilai mulktikultural sesuai yang diajarkan Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
oleh Sunan Kudus pada masyarakat dan Pustaka Kementerian Pendidikan

UNNES JOURNALS
Jurnal Imajinasi Vol. XIII No. 2 - Juli 2019 13

Malaysia Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa


Ambary, Hasan Mu’arif. 1998. Menemukan dan Pustaka Kementerian Pendidikan
Peradaban Jejak Arkheologis & Historis Malaysia.
Islam Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Miksic, John. 2002. “Arsitektur Periode Awal
Ilmu. Islam” dalam Indonesian Heritage
Azra, Azyumardi. 2007. “Identitas dan Volume Arsitektur. Jakarta: Grolier
Krisis Budaya, Membangun Multi- International.
kulturalisme Indonesia” (dalam http:// Panofsky, Erwin. 1995. Meaning in The Visual
w w w. ko n g re s b u d . b u d p a r. g o . i d / Arts: Papers in and on Art History.
58%20 ayyumardi%20azra.htm). Garden City, New York: Doubleday
Gustami, SP. 1997. “Industri Seni Kerajinan Anchor Books Doubleday & Company,
Ukir Jepara, Kelangsungan dan Inc.
Perubahannya”, Pidato Pengukuhan Rochim, Abdul. 1983. Sejarah Arsitektur
Jabatan Guru Besar pada Fakultas Seni Islam. Bandung: Angkasa.
Rupa ISI Yogyakarta. Yogyakarta: tidak
diterbitkan. Salam, Solichin. 1986. Seputar Walisanga.
Kudus: Menara Kudus.
Harahap, Ahmad Rivai. 2004.
“Multikulturalisme dan Penerapannya Situmorang, Oloan. 1993. Seni Rupa Islam
dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Pertumbuhan dan Perkembangannya.
Beragama”. Bandung: Angkasa.

Hee Sook Lee-Niinioja. 2017. Syncretic Soekiman, Djoko. 2000. Kebudayaan


Ornamen of Sendang Duwur: Indis dan Gaya Hidup Masyarakat
Communication of Cultural Heritage. Pendukungnya di Jawa.Yogyakarta:
Published by Novel&Noble, Lee- Bentang.
Niinioja Communication, Ebook Sofwan, Ridin, et al. 2000. Islamisasi di Jawa.
version with new images. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hillenbrand, Robert, 1994. Islamic Sofwan, Ridin, et al. 2002. Merumuskan
Architecture Form Function Meaning. Kembali Interelasi Islam-Jawa.
Edinburg: Edinberg University Press. Semarang: Pusat Kajian Islam dan
Koentjaraningrat. 1977. Beberapa Pokok Budaya Jawa IAIN Walisongo-Gama
Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Media.
Rakyat. Sunaryo, Aryo. 2009. Ornamen Nusantara.
Lauer, Robert H. 2001. Perspektif tentang Semarang: Dahara Press.
Perubahan Sosial, terjemahan Suparlan, Parsudi. 1987. “Menuju Masyarakat
Alimandan. Jakarta: Rineka Cipta. Indonesia yang Multikultural”,
Lombard, Dennys. 2000. Nusa Jawa: Silang Simposium Internasional Bali ke-3,
Budaya Jilid 1: Batas-batas Pembaratan. Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Bali, 16-21 Juli 2002, 1987 (dalam
http:www.duniaesai.com/antro/
Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Deskontruksi antro3.html).
Epistemologi Modern. Jakarta: Pustaka
Indonesia Satu. Suseno, Franz Magnis. 2001. Etika Jawa
Sebuah Analisis Falsafah tentang
Ludin, Manja Mohd. dan Mohd. Nor, Ahmad Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta:
Suhaimi, 1995. Aspek-Aspek Kesenian Gramedia.

UNNES JOURNALS
14 Supatmo dan Syafii, Nilai Multikultural Ornamen Tradisional Masjid-masjid Warisan Para Wali di
Pesisir Utara Jawa

GAMBAR-GAMBAR

Gambar 5.
Ornamen motif sulur-suluran, manifestasi kala-
makara, pada mihrab Masjid Agung Cirebon
(dokumentasi penulis, 2018)
Gambar 1.
Ornamen motif kala-marga pada gerbang
bersayap, kompleks Masjid Sendhang Dhuwur
(foto: dokumen penulis, 2018)

Gambar 2.
Ornamen motif kaligrafi Arab pada bagian
mimbar Masjid Sendang Duwur
(dokumentasi penulis, 2018) Gambar 6.
Salah satu ornamen pola arabesque
pada Masjid agung Cirebon
(dokumentasi penulis, 2018)

Gambar 3.
Ornamen motif kelinci hutan (hare) pada
gerbang, kompleks Masjid Menara Kudus
(dokumentasi penulis, 2018)

Gambar 7.
Ornamen motif geometris pada gerbang
Gambar 4. bersayap Masjid Sendhang Dhuwur (atas) dan
Ornamen motif kedhok (kala bermata satu) pada pada daun pintu paduraksa Masjid Menara
padasan Masjid Menara Kudus Kudus (bawah)
(dokumentasi penulis, 2018) (dokumen penulis, 2018)

UNNES JOURNALS

Anda mungkin juga menyukai