Pengertian riba menurut Islam secara lebih rinci diuraikan oleh seorang fakih masyhur, Ibn Rushd
(al-hafid), dalam kitabnya Bidaya al-Mujtahid, Bab Perdagangan. Ibn Rushd mengkategorisasikan
sumber riba ke dalam delapan jenis transaksi: (1) Transaksi yang dicirikan dengan suatu pernyataan
’Beri saya kelonggaran [dalam pelunasan] dan saya akan tambahkan [jumlah pengembaliannya]; (2)
Penjualan dengan penambahan yang terlarang; (3) Penjualan dengan penundaan pembayaran yang
terlarang; (4) penjualan yang dicampuraduk dengan utang; (5) penjualan emas dan barang dagangan
untuk emas; (6) pengurangan jumlah sebagai imbalan atas penyelesaian yang cepat; (7) penjualan
produk pangan yang belum sepenuhnya diterima; (8) atau penjualan yang dicampuraduk dengan
pertukaran uang. Perlu diketahui bahwa Ibn Rushd menuliskan Bidayat al-Mujtahid dengan
menganalisis berbagai pendapat para imam dari keempat madhhab utama.
Dalam formulasi sederhananya Ibn Rushd menggolongkan kemungkinan munculnya riba dalam
perdagangan di atas ke dalam dua jenis:
(1) Penundaan pembayaran (riba nasi’ah); dan
(2) Perbedaan nilai (riba tafadul).
Riba yang pertama, al nasi’ah, merujuk pada selisih waktu; dan riba yang kedua, tafadul atau al-
fadl , merujuk pada selisih nilai. Dengan dua jenis sumber riba ini, Ibn Rushd merumuskan adanya
empat kemungkinan:
1. Hal-hal yang pada keduanya, baik penundaan maupun perbedaan, dilarang adanya.
2. Hal-hal yang padanya dibolehkan ada perbedaan tetapi dilarang ada penundaan.
3. Hal-hal yang pada keduanya, baik penundaan maupun perbedaan, diperbolehkan adanya.
4. Hal-hal (yang dipertukarkan) yang terdiri atas satu jenis (genus) yang sama (semisal pertukaran
uang, sewa-menyewa, dan utang-piutang).
Rumusan di atas menunjukkan bahwa istilah penundaan maupun perbedaan nilai (penambahan)
digunakan di dalam fikih untuk hal-hal baik yang bisa dibenarkan maupun tidak, tergantung kepada
jenis transaksi dan barang yang ditransaksikan. Ini bermakna bahwa:
a) Dalam suatu transaksi yang mengandung unsur penundaan yang dilarang timbul riba yang
termasuk riba al nasi’ah.
b) Dalam transaksi yang mengandung unsur penambahan yang dilarang timbul riba yang termasuk
riba al-fadl.
c) Dalam suatu transaksi yang mengandung keduanya berarti timbul riba yang merupakan riba al-
nasi’ah dan riba al-fadl sekaligus.
Pengertian yang benar tentang jenis riba ini penting terutama dalam konteks transaksi yang
melibatkan jenis (genus) yang sama di atas. Berikut kita aplikasikan pengertian ini dalam beberapa
jenis transaksi dalam kehidupan sehari-hari. Contoh kongkrit diberikan untuk memperjelas
pengertiannya.
Transaksi utang-piutang mengandung penundaan (selisih) waktu, tapi tidak ada unsur penambahan.
Seseorang meminjamkan uang Rp 1 juta rupiah, dan peminjam melunasinya, setelah tertunda
beberapa waktu lamanya, dalam jumlah yang sama, Rp 1 juta. Penundaan waktu dalam utang-
piutang ini dibenarkan dan hukumnya halal, tetapi penambahan atasnya tidak dibenarkan dan
hukumnya haram. Penambahan dalam utang-piutang adalah riba al-fadl.
Transaksi sewa-menyewa melibatkan kedua unsur, baik penundaan maupun penambahan nilai.
Seseorang yang menyewa rumah, misalnya Rp 10 juta untuk setahun, akan mengambil hak
pemilikan sementara (selama setahun) atas rumah tersebut dan ketika mengembalikannya, setelah
setahun kemudian, bersama dengan penambahan nilai, berupa uang sewanya, Rp 10 juta. (Bahwa
umumnya saat ini sewa rumah dibayar di muka, adalah persoalan lain). Keduanya, penundaan waktu
dan penambahan nilai dalam transaksi ini dibolehkan, hukumnya halal. Tetapi, harus dipahami,
bahwa transaksi sewa-menyewa hanya dapat dilakukan atas benda-benda tertentu saja (bangunan,
kendaraan, binatang, dan sejenisnya; dan tidak atas benda-benda lain yang fungible – habis terpakai
dan tidak bisa dimanfaatkan bagian per bagiannya – seperti makanan dan benda yang dipakai
sebagai alat tukar, yakni uang. Sewa-menyewa uang berarti merusak fitrah transaksi, dan
menjadikannya sebagai riba. Dalam hal ini riba yang terjadi adalah riba al-fadl, karena menyewakan
uang serupa dengan menambahkan nilai pada utang-piutang.
Sedangkan dalam jual-beli, yang melibatkan benda tidak sejenis, penundaan dibolehkan, tetapi
penambahan nilai dilarang. Pemesanan barang dengan pembayaran uang muka, atau pembelian
barang yang diserahkan kemudian, yang melibatkan penundaan waktu dibolehkan, dan hukumnya
halal. Tetapi jual-beli yang melibatkan dua harga yang berbeda, misalnya Rp 1 juta bila dibayar
tunai, dan menjadi Rp 1.5 juta bila dicicil atau dibayar beberapa waktu kemudian, diharamkan. Atau
bila seorang penjual memberikan penundaan pembayaran, dalam fikih disebut transaksi salam, yang
dibolehkan namun pada saat jatuh tempo ia menyatakan kepada pembeli ’Anda boleh
memperpanjang tempo tapi dengan tambahan harga’ atau, sebaliknya pada awal transaksi, ’Anda
boleh membayar lebih cepat dan saya akan berikan diskon (selisih harga)’, transaksi ini menjadi
haram hukumnya. Dalam hal ini masuk unsur riba, yaitu riba al-fadl. Dalam fikih bentuk transaksi
ini dikenal sebagai ’dua penjualan dalam satu transaksi’.
Dengan dipahaminya pengertian riba menurut syariah sebagaimana dirumuskan oleh para ulama di
atas, posisi para pembaru akan dengan jelas dapat dilihat. Sebagaimana akan diuraikan di bawah ini
mereka meredefinisi pengertian riba dengan tujuan untuk mengakomodasi sistem ekonomi modern
(baca: kapitalisme) yang sepenuhnya berdasarkan riba
St. Gregory dari Nyssa (335 - 395) mengutuk praktek bunga karena menurutnya pertolongan melalui
pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat menagih dan meminta
imbalan bunga bertindak sangat kejam. St. John Chrysostom (344 - 407) berpendapat bahwa
larangan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku
bagi penganut Perjanjian Baru. St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit
(rentenir). St. Augustine berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam
dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena dua-duanya sama-sama
merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang miskin. St. Anselm dari Centerbury
(1033 - 1109) menganggap bunga sama dengan perampokan. Larangan praktek bunga juga
dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (Canon): Council of Elvira (Spanyol tahun
306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja gereja mem-praktekkan pengambilan
bunga. Barangsiapa yang melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan. Council of Arles (tahun
314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan
bunga. First Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat
para pekerja gereja yang mempraktekkan bunga. Larangan pemberlakuan bunga untuk umum baru
dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311) yang menyatakan barangsiapa menganggap bahwa
bunga itu adalah sesuatu yang tidak berdosa maka ia telah keluar dari Kristen (murtad).
Mereka dianggap telah melakukan terobosan baru sehubungan dengan pendefinisian bunga. Dari
hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus dan melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi
interest dan usury. Menurut mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan usury
adalah bunga yang berlebihan. Para tokoh sarjana Kristen yang memberikan kontribusi pendapat
yang sangat besar sehubungan dengan bunga ini adalah Robert of Courcon (1152-1218), William of
Auxxerre (1160-1220), St. Raymond of Pennaforte (1180-1278), St. Bonaventure (1221-1274), dan
St. Thomas Aquinas (1225-1274). Kesimpulan hasil bahasan para sarjana Kristen periode tersebut
sehubungan dengan bunga adalah sebagai berikut : Niat atau perbuatan untuk mendapatkan
keuntungan dengan memberikan pinjaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan
konsep keadilan. Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan, namun haram atau tidaknya
tergantung dari niat si pemberi hutang.
Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga yang sederhana diperbolehkan asalkan bunga
tersebut digunakan untuk kepentingan produktif. Saumise, seorang pengikut Calvin, membenarkan
semua pengambilan bunga, meskipun ia berasal dari orang miskin. Menurutnya, menjual uang
dengan uang adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang orang yang
akan menggunakan uangnya untuk membuat uang. Menurutnya pula, agama tidak perlu repot-repot
mencampuri urusan yang berhubungan dengan bunga.
39. Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia,
Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang
yang melipat gandakan (pahalanya).
Penulis belum menemukan sebab diturunkan ayat ini. Berarti ayat ini turun langsung atas kehendak
Allah.3. Qs An-Nissa 160-161160. Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami
haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan
Karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,161. Dan disebabkan mereka
memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka
memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang
yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
Pada waktu itu orang orang yahudi biasa melakukan perbuatan perbuatan dosa besar. Mereka
mengharamkan apa yang dihalalkan dan menghalalkan apa yang diharamkan. Sebagian budaya yang
diharamkan adalah Riba. Hanya orang berimanlah yang tidak mau melakukannya seperti Abdillah
bin salam, tsa’labah bin sa’yah. Sehubungan dengan itu maka Allah menurunkan ayat 160-162
sebagai kabar bahwa perbuatan merekasalah dan berita gembira bagi mereka yang beriman
( HR. Ibnu Abi Hatim dari Muhammad Bin Abdillah Bin Yazid Al Murqi Dari Sofyan Bin Unaiyah
Dari Amrin Dari Ibnu Abbas)[2]
3. Qs Ali Imran 130130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.Disini
penulis juga belum menemukan sebab diturunkan ayat diatas. Namun perlu diketahui adalah ayat ini
turun 11 setelah larangan riba pertama kali di makkah. Yaitu setelah peristiwa perang uhud[3]
Ayat ini turun setelah terbukanya kota mekkah. Sebab turunnya adalah sehubungan dengan
pengaduan Bani Mughirah kepada gubernur kota mekkah Atab Bin Usaid terhadap bani Tsaqif
tentang utang utang yang dilakukan dengan riba sebelum turun ayat pengharaman riba. Kemudian
gubernur mengirimkan surat kepada Rasulullah SAW melaporkan kejadian tersebut. Surat tersebut
dijawab setelah turunnya ayat 278-279 (HR. Abu Ya’la dalam kitab musnadnya dan Ibnu Madah
Dari Kalabi Dari Abi Salih Dan Ibnu Abbas)[4]
dalam literatur lainnya menurut Muhammad Ali Ash Shabuni ayat ini turun berkaitan dengan
perkongsian dua orang yaitu al-Abbas dan Khalid Bin Walid secara riba kepada suku tsaqif sampai
Islam datang, kedua orang ini masih mempunyai sisa Riba dalam jumlah besar. Kemudian turunlah
ayat: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut……… kemudian Rasulullah SAW bersabda[5]:
Ketahuilah!! Sesungguhnyatiap tiap riba dari riba jahiliyah harus sudah dihentikan dan pertma kali
riba yang aku henikan ialah riba Al-abbas dan setiap penuntutan darah dari darah jahiliyah harus
dihentikan dan pertam petma darah yang kuhentikan ialah darah Rabi’ah bin al-harits
[1] Abdullah saeed, Bank Islam Dan Bunga, Terj Jakarta, 2003, hal 27
[2] A. mujab mahali, asbabun nuzul :studi pendalaman agama, Jakarta, hal 285-286
[3] Abdullah saeed, Op.Cit. Hal 36
[4] A. mujab mahali, asbabun nuzul :studi pendalaman agama, jakarta, hal 125-126
[5] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Opcit, juz 1. hal 321-322. juga lihat pada majma bayan 2:392,
zaadul maser 1:332
[6] Ibid, juz I hal 325
[7] Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi, Masail Fiqhiyah. Cet 10, PT gunung agung. Jakarta, hal 104