Anda di halaman 1dari 14

PENGERTIAN RIBA

Pengertian riba menurut Islam secara lebih rinci diuraikan oleh seorang fakih masyhur, Ibn Rushd
(al-hafid), dalam kitabnya Bidaya al-Mujtahid, Bab Perdagangan. Ibn Rushd mengkategorisasikan
sumber riba ke dalam delapan jenis transaksi: (1) Transaksi yang dicirikan dengan suatu pernyataan
’Beri saya kelonggaran [dalam pelunasan] dan saya akan tambahkan [jumlah pengembaliannya]; (2)
Penjualan dengan penambahan yang terlarang; (3) Penjualan dengan penundaan pembayaran yang
terlarang; (4) penjualan yang dicampuraduk dengan utang; (5) penjualan emas dan barang dagangan
untuk emas; (6) pengurangan jumlah sebagai imbalan atas penyelesaian yang cepat; (7) penjualan
produk pangan yang belum sepenuhnya diterima; (8) atau penjualan yang dicampuraduk dengan
pertukaran uang. Perlu diketahui bahwa Ibn Rushd menuliskan Bidayat al-Mujtahid dengan
menganalisis berbagai pendapat para imam dari keempat madhhab utama.

Dalam formulasi sederhananya Ibn Rushd menggolongkan kemungkinan munculnya riba dalam
perdagangan di atas ke dalam dua jenis:
(1) Penundaan pembayaran (riba nasi’ah); dan
(2) Perbedaan nilai (riba tafadul).

Riba yang pertama, al nasi’ah, merujuk pada selisih waktu; dan riba yang kedua, tafadul atau al-
fadl , merujuk pada selisih nilai. Dengan dua jenis sumber riba ini, Ibn Rushd merumuskan adanya
empat kemungkinan:
1. Hal-hal yang pada keduanya, baik penundaan maupun perbedaan, dilarang adanya.
2. Hal-hal yang padanya dibolehkan ada perbedaan tetapi dilarang ada penundaan.
3. Hal-hal yang pada keduanya, baik penundaan maupun perbedaan, diperbolehkan adanya.
4. Hal-hal (yang dipertukarkan) yang terdiri atas satu jenis (genus) yang sama (semisal pertukaran
uang, sewa-menyewa, dan utang-piutang).

Rumusan di atas menunjukkan bahwa istilah penundaan maupun perbedaan nilai (penambahan)
digunakan di dalam fikih untuk hal-hal baik yang bisa dibenarkan maupun tidak, tergantung kepada
jenis transaksi dan barang yang ditransaksikan. Ini bermakna bahwa:
a)    Dalam suatu transaksi yang mengandung unsur penundaan yang dilarang timbul riba yang
termasuk riba al nasi’ah.
b)    Dalam transaksi yang mengandung unsur penambahan yang dilarang timbul riba yang termasuk
riba al-fadl.
c)    Dalam suatu transaksi yang mengandung keduanya berarti timbul riba yang merupakan riba al-
nasi’ah dan riba al-fadl sekaligus.

Pengertian yang benar tentang jenis riba ini penting terutama dalam konteks transaksi yang
melibatkan jenis (genus) yang sama di atas. Berikut kita aplikasikan pengertian ini dalam beberapa
jenis transaksi dalam kehidupan sehari-hari. Contoh kongkrit diberikan untuk memperjelas
pengertiannya.

Transaksi utang-piutang mengandung penundaan (selisih) waktu, tapi tidak ada unsur penambahan.
Seseorang meminjamkan uang Rp 1 juta rupiah, dan peminjam melunasinya, setelah tertunda
beberapa waktu lamanya, dalam jumlah yang sama, Rp 1 juta. Penundaan waktu dalam utang-
piutang ini dibenarkan dan hukumnya halal, tetapi penambahan atasnya tidak dibenarkan dan
hukumnya haram. Penambahan dalam utang-piutang adalah riba al-fadl.

W Kelompok Pengajian Banaran – Solo 1


Transaksi pertukaran tidak melibatkan baik penundaan (selisih) waktu maupun penambahan nilai.
Seseorang memberikan sejumlah uang, Rp 1 juta, kepada seseorang yang lain. Tanpa ada selisih
waktu, artinya pada saat uang diserahkan, dan tanpa perbedaan nilai, tetap Rp 1 juta, seseorang lain
menerimanya, sambil menyerahkan uang yang sama Rp 1 juta. Selisih waktu dalam pertukaran
dilarang dan hukumnya haram; demikian juga penambahan di dalam pertukaran dilarang dan
hukumnya haram. Kalau penyerahannya (dari salah satu atau kedua belah pihak) ditunda maka yang
harus dilakukan adalah menjadikan transaksi tersebut secara jelas sebagai utang-piutang. Utang-
piutang tidak boleh disembunyikan sebagai pertukaran. Kalau hal ini terjadi maka timbul riba, dalam
hal ini riba al-nasi’ah.

Transaksi sewa-menyewa melibatkan kedua unsur, baik penundaan maupun penambahan nilai.
Seseorang yang menyewa rumah, misalnya Rp 10 juta untuk setahun, akan mengambil hak
pemilikan sementara (selama setahun) atas rumah tersebut dan ketika mengembalikannya, setelah
setahun kemudian, bersama dengan penambahan nilai, berupa uang sewanya, Rp 10 juta. (Bahwa
umumnya saat ini sewa rumah dibayar di muka, adalah persoalan lain). Keduanya, penundaan waktu
dan penambahan nilai dalam transaksi ini dibolehkan, hukumnya halal. Tetapi, harus dipahami,
bahwa transaksi sewa-menyewa hanya dapat dilakukan atas benda-benda tertentu saja (bangunan,
kendaraan, binatang, dan sejenisnya; dan tidak atas benda-benda lain yang fungible – habis terpakai
dan tidak bisa dimanfaatkan bagian per bagiannya – seperti makanan dan benda yang dipakai
sebagai alat tukar, yakni uang. Sewa-menyewa uang berarti merusak fitrah transaksi, dan
menjadikannya sebagai riba. Dalam hal ini riba yang terjadi adalah riba al-fadl, karena menyewakan
uang serupa dengan menambahkan nilai pada utang-piutang.

Sedangkan dalam jual-beli, yang melibatkan benda tidak sejenis, penundaan dibolehkan, tetapi
penambahan nilai dilarang. Pemesanan barang dengan pembayaran uang muka, atau pembelian
barang yang diserahkan kemudian, yang melibatkan penundaan waktu dibolehkan, dan hukumnya
halal. Tetapi jual-beli yang melibatkan dua harga yang berbeda, misalnya Rp 1 juta bila dibayar
tunai, dan menjadi Rp 1.5 juta bila dicicil atau dibayar beberapa waktu kemudian, diharamkan. Atau
bila seorang penjual memberikan penundaan pembayaran, dalam fikih disebut transaksi salam, yang
dibolehkan namun pada saat jatuh tempo ia menyatakan kepada pembeli ’Anda boleh
memperpanjang tempo tapi dengan tambahan harga’ atau, sebaliknya pada awal transaksi, ’Anda
boleh membayar lebih cepat dan saya akan berikan diskon (selisih harga)’, transaksi ini menjadi
haram hukumnya. Dalam hal ini masuk unsur riba, yaitu riba al-fadl. Dalam fikih bentuk transaksi
ini dikenal sebagai ’dua penjualan dalam satu transaksi’.

Dengan dipahaminya pengertian riba menurut syariah sebagaimana dirumuskan oleh para ulama di
atas, posisi para pembaru akan dengan jelas dapat dilihat. Sebagaimana akan diuraikan di bawah ini
mereka meredefinisi pengertian riba dengan tujuan untuk mengakomodasi sistem ekonomi modern
(baca: kapitalisme) yang sepenuhnya berdasarkan riba

Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan


persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara
bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti
tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari
harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara
umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik
dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip
muamalat dalam Islam.

W Kelompok Pengajian Banaran – Solo 2



Riba dalam pandangan agama
Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang
serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000
tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi.
Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.
Riba dalam Islam
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini
dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 : ...padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba.... Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah
dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti
pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia),
bunga bank termasuk ke dalam riba. bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang
mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal.
jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui
hasilnya dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil
bagi deposannya. dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila akad
ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi
sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan
apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang
hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan dari
yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. contoh
nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari total keuntungan yang didapat oleh
pihak ban.
Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli.Riba
hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba jual-beli terbagi
atas riba fadhl dan riba nasi’ah.
 Riba Qardh
o Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang
berhutang (muqtaridh).
 Riba Jahiliyyah
o Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar
hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
 Riba Fadhl
o Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan
barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
 Riba Nasi’ah
o Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan
dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya
perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang
diserahkan kemudian.
Riba dalam agama Yahudi
Agama Yahudi melarang praktek pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab
suci agama Yahudi, baik dalam Perjanjian Lama maupun undang-undang Talmud. Kitab Keluaran
22:25 menyatakan:
“Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang miskin di antaramu,
maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan
bunga terhadapnya.” Kitab Ulangan 23:19 menyatakan:

W Kelompok Pengajian Banaran – Solo 3


“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa
pun yang dapat dibungakan.” Kitab Imamat 35:7 menyatakan:
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan
Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang-mu
kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.”
Konsep Bunga di Kalangan Kristen
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian kalangan
Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam
praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan : “Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu
kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-
orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama
banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak
mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang
Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-
orang jahat.” Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan
tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan
pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan
menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang
mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII - XVI) yang berkeinginan agar
bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI - tahun 1836) yang
menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga.
Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I - XII)
Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan bunga
kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen. St. Basil (329 - 379)
menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak berperi-kemanusiaan. Baginya,
mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari orang yang memerlukan. Demikian juga
mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan orang miskin.

St. Gregory dari Nyssa (335 - 395) mengutuk praktek bunga karena menurutnya pertolongan melalui
pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat menagih dan meminta
imbalan bunga bertindak sangat kejam. St. John Chrysostom (344 - 407) berpendapat bahwa
larangan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku
bagi penganut Perjanjian Baru. St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit
(rentenir). St. Augustine berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam
dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena dua-duanya sama-sama
merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang miskin. St. Anselm dari Centerbury
(1033 - 1109) menganggap bunga sama dengan perampokan. Larangan praktek bunga juga
dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (Canon): Council of Elvira (Spanyol tahun
306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja gereja mem-praktekkan pengambilan
bunga. Barangsiapa yang melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan. Council of Arles (tahun
314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan
bunga. First Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat
para pekerja gereja yang mempraktekkan bunga. Larangan pemberlakuan bunga untuk umum baru
dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311) yang menyatakan barangsiapa menganggap bahwa
bunga itu adalah sesuatu yang tidak berdosa maka ia telah keluar dari Kristen (murtad).

Pandangan para pendeta awal Kristen dapat disimpulkan sebagai berikut


Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang yang
dipinjamkan. Mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang, baik dalam Perjanjian Lama

W Kelompok Pengajian Banaran – Solo 4


maupun Perjanjian Baru. Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang
dipinjamkan adalah suatu dosa. Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya. Harga barang yang
ditinggikan untuk penjualan secara kredit juga merupakan bunga yang terselubung.
Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII - XVI)
Pada masa ini terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang perekonomian dan perdagangan.
Pada masa tersebut, uang dan kredit menjadi unsur yang penting dalam masyarakat. Pinjaman untuk
memberi modal kerja kepada para pedagang mulai digulirkan pada awal Abad XII. Pasar uang
perlahan-lahan mulai terbentuk. Proses tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara
meluas. Para sarjana Kristen pada masa ini tidak saja membahas permasalahan bunga dari segi moral
semata yang merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, mereka juga
mengaitkannya dengan aspek-aspek lain. Di antaranya, menyangkut jenis dan bentuk undang-
undang, hak seseorang terhadap harta, ciri-ciri dan makna keadilan, bentuk-bentuk keuntungan, niat
dan perbuatan manusia, serta per-bedaan antara dosa individu dan kelompok.

Mereka dianggap telah melakukan terobosan baru sehubungan dengan pendefinisian bunga. Dari
hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus dan melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi
interest dan usury. Menurut mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan usury
adalah bunga yang berlebihan. Para tokoh sarjana Kristen yang memberikan kontribusi pendapat
yang sangat besar sehubungan dengan bunga ini adalah Robert of Courcon (1152-1218), William of
Auxxerre (1160-1220), St. Raymond of Pennaforte (1180-1278), St. Bonaventure (1221-1274), dan
St. Thomas Aquinas (1225-1274). Kesimpulan hasil bahasan para sarjana Kristen periode tersebut
sehubungan dengan bunga adalah sebagai berikut : Niat atau perbuatan untuk mendapatkan
keuntungan dengan memberikan pinjaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan
konsep keadilan. Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan, namun haram atau tidaknya
tergantung dari niat si pemberi hutang.

Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI - Tahun 1836)


Pendapat para reformis telah mengubah dan membentuk pandangan baru mengenai bunga. Para
reformis itu antara lain adalah John Calvin (1509-1564), Charles du Moulin (1500 - 1566), Claude
Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546), Melanchthon (1497-1560), dan Zwingli (1484-
1531).
Beberapa pendapat Calvin sehubungan dengan bunga antara lain:
 Dosa apabila bunga memberatkan.
 Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles).
 Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi.
 Jangan mengambil bunga dari orang miskin.

Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga yang sederhana diperbolehkan asalkan bunga
tersebut digunakan untuk kepentingan produktif. Saumise, seorang pengikut Calvin, membenarkan
semua pengambilan bunga, meskipun ia berasal dari orang miskin. Menurutnya, menjual uang
dengan uang adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang orang yang
akan menggunakan uangnya untuk membuat uang. Menurutnya pula, agama tidak perlu repot-repot
mencampuri urusan yang berhubungan dengan bunga.

Perbedaan Investasi dengan Membungakan Uang


Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dengan mem-bungakan uang. Perbedaan tersebut
dapat ditelaah dari definisi hingga makna masing-masing.

W Kelompok Pengajian Banaran – Solo 5


1. Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko karena berhadapan dengan unsur
ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak
tetap.
2. Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko karena perolehan
kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap.
Islam mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produktif. Islam mendorong seluruh
masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang membungakan uang. Sesuai dengan definisi di
atas, menyimpan uang di bank Islam termasuk kategori kegiatan investasi karena perolehan
kembaliannya (return) dari waktu ke waktu tidak pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya perolehan
kembali itu ter-gantung kepada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai
mudharib atau pengelola dana.
Dengan demikian, bank Islam tidak dapat sekadar menyalurkan uang. Bank Islam harus terus
berupaya meningkatkan kembalian atau return of investment sehingga lebih menarik dan lebih
memberi kepercayaan bagi pemilik dana.
Perbedaan Hutang Uang dan Hutang Barang
Ada dua jenis hutang yang berbeda satu sama lainnya, yakni hutang yang terjadi karena pinjam-
meminjam uang dan hutang yang terjadi karena pengadaan barang. Hutang yang terjadi karena
pinjam-meminjam uang tidak boleh ada tambahan, kecuali dengan alasan yang pasti dan jelas,
seperti biaya materai, biaya notaris, dan studi kelayakan. Tambahan lainnya yang sifatnya tidak pasti
dan tidak jelas, seperti inflasi dan deflasi, tidak diperbolehkan. Hutang yang terjadi karena
pembiayaan pengadaan barang harus jelas dalam satu kesatuan yang utuh atau disebut harga jual.
Harga jual itu sendiri terdiri dari harga pokok barang plus keuntungan yang disepakati. Sekali harga
jual telah disepakati, maka selamanya tidak boleh berubah naik, karena akan masuk dalam kategori
riba fadl. Dalam transaksi perbankan syariah yang muncul adalah kewajiban dalam bentuk hutang
pengadaan barang, bukan hutang uang.
Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil
Sekali lagi, Islam mendorong praktek bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama
memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata.
Perbedaan itu dapat dijelaskan dalam tabel berikut. SISTEM BUNGA / Bagi Hasil
 Bunga : Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung / Bagi
Hasil : Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan
berpedoman pada kemungkinan untung rugi
 Bunga : Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. /
Bagi Hasil : Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
 Bunga : Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek
yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi. / Bagi hasil : tergantung pada
keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama
oleh kedua belah pihak.
 Bunga : Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat
atau keadaan ekonomi sedang “booming”. /Bagi hasil : Jumlah pembagian laba meningkat
sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
 Bunga : Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh beberapa kalangan. / Bagi
hasil : Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil

Riba dalam perspektif  Al-qur’an


Posted by luqman H2O under Fiqh Muamalah
[6] Comments 
 I.   PENDAHULUAN

W Kelompok Pengajian Banaran – Solo 6


Sejak dekade 1960-an, perbincangan mengenai larangan riba bunga bank semakin memanas
saja. Setidaknya ada dua pendapat mendasar yang membahas masalah tentang riba. Pendapat
pertama berasal dari mayoritas ulama yang mengadopsi dan intrepertasi para fuqaha tentang riba
sebagaimana yang tertuang dalam fiqh. Pendapat lainnya mengatakan, bahwa larangan riba dipahami
sebagai sesuatu yang berhubungan dengan adanya upaya eksploitasi, yang secara ekonomis
menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi masyarakat[1]. Dan juga ada kalangan yang
mengatakan bahwa riba yang dilarang itu hanyalah riba yang berlipat ganda saja. Sedang riba yang
sedikit tidak dilarang.
Maka dari itu pada pembahasan kali ini penulis berusaha menjelaskan bagaimana sebenarnya riba
yang dilarang itu apakah riba yang berlipat ganda saja atau semua jenis riba yang dilarang oleh
syariat. Penulis mulai dari ayat mana sajakah yang mengharamkan riba. Kemudian bagaimana
kronologi penurunan ayat tersebut apakah turun atas kehendak Allah secara langsung, adanya suatu
peristiwa atau atas jawaban pertanyaan para sahabat. Setelah itu bagiamana hukumnya menurut para
mufassir zaman dahulu. Dari sini diharapkan kita dapat mengetahui sebenarnya tentang
pengharaman riba itu yang bagaimana.
II. AYAT-AYAT RIBA DAN SABABUN NUZUL 1. Qs Ar-Ruum 39

39.  Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia,
Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang
yang melipat gandakan (pahalanya).

Penulis belum menemukan sebab diturunkan ayat ini. Berarti ayat ini turun langsung atas kehendak
Allah.3. Qs An-Nissa 160-161160.  Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami
haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan
Karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,161.  Dan disebabkan mereka
memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka
memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang
yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.

Pada waktu itu orang orang yahudi biasa melakukan perbuatan perbuatan dosa besar. Mereka
mengharamkan apa yang dihalalkan dan menghalalkan apa yang diharamkan. Sebagian budaya yang
diharamkan adalah Riba. Hanya orang berimanlah yang tidak mau melakukannya seperti Abdillah
bin salam, tsa’labah bin sa’yah. Sehubungan dengan itu maka Allah menurunkan  ayat 160-162
sebagai kabar bahwa perbuatan merekasalah dan berita gembira bagi mereka yang beriman
( HR. Ibnu Abi Hatim dari Muhammad Bin Abdillah Bin Yazid Al Murqi Dari Sofyan Bin Unaiyah
Dari Amrin Dari Ibnu Abbas)[2]
3. Qs Ali Imran 130130.  Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.Disini
penulis juga belum menemukan sebab diturunkan ayat diatas. Namun perlu diketahui adalah ayat ini
turun 11 setelah larangan riba pertama kali di makkah. Yaitu setelah peristiwa perang uhud[3]

W Kelompok Pengajian Banaran – Solo 7


4. Qs. Al-Baqarah 275-279275.  Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat),
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba),
Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.276.  Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap
dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.277.  Sesungguhnya orang-orang yang beriman,
mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi
Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.278. 
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.279.  Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan
jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.280.  Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran,
Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang)
itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.281.  Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi
pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing
diri diberi balasan yang Sempurna terhadap apa yang Telah dikerjakannya, sedang mereka
sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).

Ayat ini turun setelah terbukanya kota mekkah. Sebab turunnya adalah sehubungan dengan
pengaduan Bani Mughirah kepada gubernur kota mekkah Atab Bin Usaid terhadap bani Tsaqif
tentang utang utang yang dilakukan dengan riba sebelum turun ayat pengharaman riba. Kemudian
gubernur mengirimkan surat kepada Rasulullah SAW melaporkan kejadian tersebut. Surat tersebut
dijawab setelah turunnya ayat 278-279 (HR. Abu Ya’la dalam kitab musnadnya dan Ibnu Madah
Dari Kalabi Dari Abi Salih Dan Ibnu Abbas)[4]

dalam literatur lainnya menurut Muhammad Ali Ash Shabuni ayat ini turun berkaitan dengan
perkongsian dua orang yaitu al-Abbas dan Khalid Bin Walid secara riba kepada suku tsaqif sampai
Islam datang, kedua orang ini masih mempunyai sisa Riba dalam jumlah besar. Kemudian turunlah
ayat: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut……… kemudian Rasulullah SAW bersabda[5]:

Ketahuilah!! Sesungguhnyatiap tiap riba dari riba jahiliyah harus sudah dihentikan dan pertma kali
riba yang aku henikan ialah riba Al-abbas dan setiap penuntutan darah dari darah jahiliyah harus
dihentikan dan pertam petma darah yang kuhentikan ialah darah Rabi’ah bin al-harits

III. TAHAPAN PENGAHARAMAN RIBA

W Kelompok Pengajian Banaran – Solo 8


Dalam pengharaman riba terdapat beberapa tahap, sehingga dapat kita ketahui rahasia
pengharaman riba nantinya. Riba diturunkan dalam empat tahap sebagaimana halnya dengan
pengharaman arak, juga diturunkan dalam empat tahap.
Tahap pertama, yaitu turunnya Ar-Ruum 39, ayat ini diturunkan dimekkah yang secara
dhahirnya tidak ada isyarat yang menunjukan diharamnkan riba secara jelas[6].tetapi  sudah
mengingatkan bahwa Allah membeci Riba dan menyukai zakat, sehingga ayat ini sebagai
conditioning. Artinya menciptakan kondisi ummat agar siap mental untuk mentaati larangan riba[7].
Tahap kedua, setelah turun ayat peringatan diatas turunlah ayat kedua yaitu surat an-Nisa
160-161. Ayat ini diturunkan di medinah dan merupakan pelajaran yang dikisahkan Allah kepada
kita tentang perbuatan kaum yahudi. Larangan riba disini juga masih berbentuk isyarat, bukan
terangan terangan atau dalil qoth’I karena ini adalah sebuah kisah, ini juga sama halnya dengan
larangan terhadap arak[8]
Tahap ketiga, baru pada tahap ketiga inilah larangan riba dinyatakan secara tegas, dengan
turunnya surat Ali Imran 130 di Madinah. Tetapi larangan ini masih bersifat Juz’iy bukan kulliy.
Karena haramnya disini baru satu dari jenis riba yaitu riba yang paling buruk (fahisy) suatu bentuk
riba yang paling jahat, dimana hutang itu bisa berlipat ganda yang diperbuat oleh yang
mengutangkan, sedang orang berhutang itu karena sangat membutuhkan dan terpaksa.[9]
Tahap keempat, pada tahap ini riba telah diharamkan secara keseluruhan yaitu surat Al-Baqarah 278-
279. Dimana pada ayat ini tidak lagi membedakan banyak sedikitnya jumlah riba. Dan inilah
merupakan ayat terakhir turunnya, yang berarti merupakan syariat yang terakhir pula. Ayat ini
adalah ayat terakhir, senada dengan pengharaman arak.[10]. Surat ini dapat dipakai dalil untuk
mengharamkan riba secara mutlak, yaitu haram hukumnya.[11]
IV.  TAFSIR AYAT
Dalam bukunya As-Shabuni telah menjelaskan secara rinci akan penafsiran surat al-Baqarah
275-281. Yang mana sebelumnya telah disebutkan bahwa pada surat inilah riba diharamkan secara
keseluruhan (kulliy)[12]. Maka dari itu tidak perlu menafsirkan semua ayat riba diatas cukup ayat
terakhir saja yang perlu kita tafsirkan sedang ayat lainnya sebagai penguat akan diharamkannya riba.
(1)   Maksud “ya’kuluna” pada surat Al-Baqarah ayat 275 diatas adalah mengambil dan
membelanjakannya. Tetapi disini dipakai dengan kata makan karena maksud utama harta adalah
untuk dimakan.  Kata makan ini sering pula dipakai dengan arti mempergunakan harta orang lain
denagn cara yang tidak benar.
(2)    Pemakan riba disamakan dengan orang orang yang kesurupan adalah suatu ungkapan yang halus
sekali, yaitu Allah memasukan riba ke dalam perut mereka itu, lalu barang itu memberatkan
mereka.hingga mereka sempoyongan bangun jatuh. Itu menjadi tanda dihari kiamat sehingga
semua orang mengenalnya. Begitulah seperti yang dikatakan sa’id bin jubair.

W Kelompok Pengajian Banaran – Solo 9


(3)    Perkataan “innama l bai’u mitslu riba” itu disebut tasybih maqlub (persamaan terbalik. Sebab
musyabah bih-nya memiliki nilai lebih tinggi. Sedang yang dimaksud disini ialah: riba itu sama
dengan jual beli. Sama sama halalnya.  Tetapi mereka berlebihan dalam kenyakinannya, bahwa
riba itu dijadikan sebagai pokok dan hukumnya halal, sehingga dipersamakan dengan jual beli.
Disinilah letak kehalusannya.
(4)    Yang menjadi titik tinjauan dalam ayat 276 bahwa periba mencari keuntungan harta dengan cara
riba dan pembangkang sedekah mencari keuntungan dengan tidak mengeluarkan sedekah. Untuk
itulah Allah menjelaskan bahwa riba menyebabkan kurangnya harta dan tidak berkembangnya
harta.sedang sedekah menyebabkan berkemabngnya harta bukan pengurang harta.
(5)    Kata “harb” dalam bentuk nakirah.adalah untuk menunjukan besarnya persoalan ini. Lebih lebih
ini di nisbatkan kepada Allah dan rasul-Nya. Seolah olah Allah mengatakan; Percayalah akan ada
suatu peperangan dasyat dari Allah dan Rasul-Nya yang tidak dapat dikalahkan.
(6)    Perkataan “kaffar” dan “atsiem” kedua kata ini termasuk sighat mubalaghah yang artinya; banyak
kekufuran dan banyak dosa. Ini menunjukan bahwa perbuatan haramnya riba ini sangatlah keras
sekali. Dan termasuk perbuatan orang orang kafir bukan perbuatan orang orang muslim.
(7)   Perkataan “wa inkana dzuu ‘usratin fa nadhiratun ila maysarah”  itu memberikan semangat
kepada pihak yang menghutangi supaya benar benar memberikan tempo kepada pihak yang
berhutang sampai ia  benar benar mampu. Anjuran ini juga ada pada sunnah Nabi, HR Bukhari
(8)   Sebagian ulama berkata; barang siapa yang merenungkan ayat ayat diatas dengan segala
kandungannya seperti tentang siksaaan pemakan riba orang yang menghalalkan iba serta besarnya
dosanya, maka ia akan tahu akan keadaan mereka nanti di Akherat.
(9)   Ayat ayat riba ditutup dengan ayat 281 dan ayat ini adalah ayat terakhir yang diturunkan oleh
Allah[13]. Ayat ini memberikan peringatan betapa besarnya pertemuan dihadapan Allah dimana
harta benda dan anak anak tidak berguna lagi kecuali orang orang yang datang kehadapan Allah
dengan hati penuh kedamaian. 
V.  KANDUNGAN HUKUMMNYA (FIQHUL AYAT)
5. 1. Pengertian riba
Riba secara bahasa memiliki beberepa arti salah satunya adalah “ziyadah” yang berarti
tambahan pembayaran atas utang pokok pinjaman[14]. Sedangkan dalam istilah al-Jurjani
mendefinisikan riba dengan kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan, yang
disyaratkan bagi salah seorang dari kedua belah pihak yang membuat akad/transaksi[15].
Istilah riba pertama kalinya di ketahui berdasarkan wahyu yang diturunkan pada masa awal risalah
kenabian dimakkah kemungkinan besar pada tahun IV atau awal hijriah ini berdasarkan pada awal
turunya ayat riba[16]. Para mufassir klasik berpendapat, bahwa makna riba disini adalah pemberian.
Berdasarkan interpretasi ini, menurut Azhari (w. 370H/980 M) dan Ibnu Mansur (w. 711H/1331M)
riba terdiri dari dua bentuk yaitu riba yang dilarang dan yang tidak dilarang[17]. Namun dalam

W Kelompok Pengajian Banaran – Solo 10


kenyataannya istilah Riba hanya dipakai untuk memaknai pembebanan hutang atas nilai pokok yang
dipinjamkan[18].
5. 2. Riba yang diharamkan dalam syariat Islam.
Secara garis besar Riba yang diharamkan oleh Islam itu ada dua macam
a.. Riba Nasiah; riba yang sudah ma’ruf dikalangan jahiliyah. Yaitu, seseorang mengutangi uang
dalam jumlah tertentu kepada seseorang dengan batas tertentu, misalnya dalam sebulan, sebagai
imbalan limit waktu yang diberikan[19]. Masjfuk Zuhdi mengutip pengertian Sayyid Sabiq riba
nasiah adalah tambahan yang disyaratkan yang diambil oleh orang yang mengutangi dari orang
yang berutang, sebagai imbangan atas penundaan pembayaraan utang. Menurut Ibnu Qoyyim
yang dikutip oleh Abdurahman Isa riba ini adalah riba yang jelas. Diharamkan karena
keadaannya sendiri[20]
                  Sebagaimana yang telah di jelaskan pada asbabun nuzul riba ini telah biasa dilakukan
pada masa jahiliyah sampai sekarang. Dan Riba itulah yang kini sedang dipraktekan di bank-
bank konvensional. Mereka mengambil keuntungan dengan prosentase tertentu dari pokok
pinjaman[21] yang ada.
b.  Riba fadhal; menurut Sayyid Sabiq sebagaimana yang dikutip oleh Masjfuk Zuhdi adalah jual
beli emas/perak atau jual beli bahan makanan dengan bahan makanan yang sejenis dengan
adanya tambahan. Kalau riba nasiah diharamkan berdasarkan Al-Quran secara jelas sedang
riba fadhl secara jelas ditegaskan dalam hadits Nabi SAW seperti dibawah ini; menurut Ibnu
Qoyyim riba ini termasuk riba samar, yang diharamkan karena sebab lainnya[22].
            Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, beras (sya’ir) dengan
beras (sya’ir) kurma dengan kurma, garam dengan garam harus ditukar dengan sama dan kontan.
Barang siapa menambah atau meminta tambah, maka berarti dia berbuat riba, yang menerima dan
memberi adalah sama(HR. muslim).
                Dalam hadits lainnya dikatakan
            Emas dengan emas, perak dengan perak, beras gandum dengn beras gandum, pad gandum
dengan padi gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama dan tunai. Tetapi
kalau jenis jenis itu berbeda, maka juAllah/tukarlah sesukamu, asal secara kontan (HR. Muslim,
Ahmad, abu daud, dan ibnu majah dari ‘ubadah bin ash-shamit)    
Riba fadhl tidak terbatas pada enam macam barang yang tersebut dalam hadits diatas saja, tetapi
mencakup semau mata uang dan semua bahan makanan yang mempunyai persamaan illat-nya.
5. 3. Halalkah riba yang sedikit?
Banyak kalangan berpendapat bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang keji yang
berlipat ganda, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. Mereka berpendapat bahwa riba yang
sedikit adalah boleh. Mereka berpedoman pada surat Ali Imran ayat 130 “Janganlah kamu makan
riba yang berlipat ganda”. Larangan diatas adalah bersyarat dan terikat yaitu berlipat ganda. Jadi
kalau tidak berlipat ganda atau dalam kata lainnya jikalau bunganya itu kecil maka tidak jalan
menuju pengharamannya. Pendapat diatas telah dijawab oleh Ash-Shabuni sebagai berikut[23];

W Kelompok Pengajian Banaran – Solo 11


a. Kata “berlipat ganda (adh’afam Mudha’afan)” itu tidak dapat dikatakan sebagai syarat
atau pengikat. Ini hanyalah waqi’atul ain (peristiwa yang pernah terjadi pada masa jahiliyah).
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya pada sebab sebab turunnya ayat. Menurut didin
hafiduddin kata diatas menunjukan adanya kebiasaan yang terjadai pada masyarakat waktu itu.
Bukan menunjukan sifat dari riba. Jadi pada ayat diatas tidak ada yang namanya mafhum
mukhalafah[24]. Penulis kira kalau dilihat dari nasikh dan mansukh surat ali imran 130 ini telah
disempurnakan dengan surat albaqarah 278-279. karena surat ali imran 130 turun lebih dahulu
setelah itu surat albaqarah 278-279
b. Jumhur ulama sepakat bahwa riba adalah haram hukumnya baik sedikit atau banyak.
Alasan untuk membenarkan riba sedikit adalah untuk mencari keuntungan sendiri saja. Jadi jika
membenarkan riba sedikit maka ia telah keluar dari ijma’ yang berarti menunjukan atas
kebodohannya terhadap pokok-pokok syariah. Sebab riba sedikit akan membawa atau menyeret pada
riba yang banyak. Islam mengharamkan sesuatu yang diharamkan secara keseluruhan. Berdasarkan
kaidah ”syaddud dzari’ah”). Sekarang kalau ditanya Apakah minum arak itu jika sedikit saja
hukumnya juga halal?
c. Ash-Shabuni melontarkan pertanyaan yang ditujukan kepada orang yang belum mengerti juga
akan keharaman riba ini. Apakah kalian mengaku beriman kepada sebagian kitab dan kufur pada
sebagian kitab yang lainnya? Mengapa anda memakai ayat (ali imran 130) sebagai dalil. Bukannya
berdalil dengan surat albaqarah ayat “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba”,“takutlah kepada Allah dan tinggalkan apa yang tersisa dari riba”, “Allah menghapus riba
dan menyuburkan sedekah” juga hadits Nabi   Rosulullah SAW melaknat orang yang makan riba,
yang memberi makan dengan harta riba, penulis riba dan dua saksi riba, semua itu adalah sama
saja. mari kita reka ulang cara berpikir kita
.5. 4. Hikmah pengharaman riba
Syariat Islam memandang riba adalah salah satu dosa yang sangat besar dan berbahaya.
Maka dari itu Islam memerangi dan memberantasnya tanpa ampun. Praktek riba ini sangat
merugikan masyarakat. Maka dari itu Islam menganggap perbuatan riba sebagai perbuatan dosa
besar-bahkan termasuk 7 dosa besar yang dilaknat oleh Allah SWT. Sedangkan sedekah kebalikan
dari riba, makanya Allah sangat mengajurkan perbuatan ini. Karena dengan berlakunya sedekah
akan menghidupkan roda kehidupan masyarakat.
Berikut ini beberapa dampak akan bahayanya riba bagi masyarakat;
1.      Bagi jiwa manusia hal ini akan menimbulkan perasaan egois pada diri, sehingga tidak mengenal
melainkan diri sendiri. Riba ini menghilangkan jiwa kasih sayang, dan rasa kemanusiaan dan
sosial. Lebih mementingkan diri sendiri daripada orang lain[25].   
2.      Bagi masyarakat

W Kelompok Pengajian Banaran – Solo 12


Dalam kehidupan masyarakat hal ini akan menimbulkan kasta kasta yang saling bermusuhan.
Sehingga membuat keadaan tidak aman dan tentram. Bukannya kasih sayang dan cinta
persaudaraan yang timbul akan tetapi permusuhan dan pertengkaran yang akan tercipta
dimasyarakat[26].
3.      Bagi roda pergerakan ekonomi
Dari segi ekonomi, hal ini akan menyebabkan manusia dalam dua golongan besar yaitu orang miskin
sebagai pihak yang tertindas dan orang kaya sebagai pihak yang menindas. Dengan adanya riba
menyebabkan eksploitasi kekayaan oleh sikaya terhadap simiskin. Modal besar yang dikuasai oleh
the haves tidak tersalurkan kepada usaha usah yang produktif. Bisa menyebabkan kebangkrutan
usaha dan pada gilirannya bias mengakibatkan keretakan rumah tangga jika sipeminjam tidak
mampu membayarnya[27]
VI.   KESIMPULAN
Sudah jelaslah bagiamana riba itu dilarang dengan tahapan tahapan yang sama dengan
pengharaman arak. Dari uraian diatas dapat penulis ambil kesimpulan bahwa:
1. Riba bagaimanapun keadaannya baik itu sedikit atau banyak adalah haram hukumnya.
2. Riba adalah perbuatan dosa besar yang mana barang siapa melakukannya akan disiksa dalam
neraka.
3. Seluruh ummat Islam wajib untuk meninggalkannya, serta menjauhinya. Dengan cara
bertaqwa kepada Allah.
VII.  REFERENSI -         Muhammad Ali Ash-ashabuni, Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, terj. Cet
ke-4, PT. Bina ilmu. Surabaya,  2003
-         A. mudjab mahali. Asbabun Nuzul; Studi Pendalaman al-Qur’an Surat al-Baqarah-An
Naas. Cet 1, Raja grafindo. Jakarta, 2002
-         Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi, Masail Fiqhiyah. Cet 10, PT gunung agung. Jakarta, 1970
-         Abdullah saeed, Bank Islam Dan Bunga, terj Cet 1. Pustaka pelajar. Jakarta 2003
-         KH. Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri, det 1. Yayasan Kalimah Thayyibah. Jakarta 2000
-         Syaikh Ali Bin Musthofa Kholuf. Tafsir jalalain. Cet 1,Damaskus 2002
-         Drs. H. Kahar Masyhur. Beberapa Pendapat Menegenai Riba. Cet 3, Kalam Mulia Jakarta
1999
-         Sayyid Quthb. Tafsir fi Dzilalil Qur’an. Terj, Jilid 1,3,9. Gema Insani Press. Jakarta 2004
-         Imaduddin Abil Fida Bin Katsir. Tafisr Qurani L Adhiim. Jilid 5-6. Makatabah Shafa. Kairo
2004

[1] Abdullah saeed, Bank Islam Dan Bunga, Terj Jakarta, 2003, hal 27
[2] A. mujab mahali, asbabun nuzul :studi pendalaman agama, Jakarta, hal 285-286
[3] Abdullah saeed, Op.Cit. Hal 36
[4] A. mujab mahali, asbabun nuzul :studi pendalaman agama, jakarta, hal 125-126
[5] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Opcit, juz 1. hal 321-322. juga lihat pada majma bayan 2:392,
zaadul maser 1:332
[6] Ibid, juz I hal 325
[7] Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi, Masail  Fiqhiyah. Cet 10, PT gunung agung. Jakarta, hal 104

W Kelompok Pengajian Banaran – Solo 13


[8] Muhammad Ali Ash-shabuni, Opcit, juz I. Hal 326
[9] Ibid, juz I. Hal 326
[10] Ibid, juz I. Hal 326-327
[11] Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi hal 104
[12] Muhammad Ali Ash-shabuni, Opcit, Juz I Hal 322-325. lihat juga pada,  Sayyid Quthb. Tafsir fi
Dzilalil Qur’an. Terj, Jilid ,9. Gema Insani Press hal 372-390
[13] Ini menurut yang diriwayatkan Oleh Ibnu Abbas, Ibnu Juraij mengatakan sesudah ayat ini turun,
sembilan hari kemudian Nabi SAW wafat (Ibnu Katsir)
[14] Syaikh Ali Bin Musthofa Kholuf. Tafsir jalalain, damaskus, Hal 46
[15] Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi, Op.Cit. hal 102
[16] Qs. 30;39
[17] Maksud tidak dilarang disini adalah pemberian yang mengharapkan sesuatu yang lebih baik
pada waktu mendatang (akherat)
[18] Abdullah saeed, Op.Cit, Hal 27. Lihat juga pada, Imaduddin Abil Fida Bin Katsir. Tafisr Qurani
L Adhiim, hal 138
[19] Muhammad Ali Ash-shabuni, Opcit, Juz I Hal 327
[20] Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi. Op.Cit. Juz I Hal 104-105
[21] Perlu di Ingat akad yang dipakai dalam perbankan konvensional hanya satu saja yaitu  akad
pinjam meminjam, meskipun jenis produknya banyak.
[22] Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi Op.Cit. hal 105-107. lihat juga  Muhammad Ali Ash-shabuni,
Op.Cit, Juz I Hal 328-329.
[23] Muhammad Ali Ash-shabuni, Op.Cit, Juz I Hal 329-330
[24] KH. Didin Hafidhuddin, Tafsir al-Hijri, Cet 1. Yayasan Kalimah Thayyibah. Jakarta hal 213

W Kelompok Pengajian Banaran – Solo 14

Anda mungkin juga menyukai