Anda di halaman 1dari 6

Pemerintah Diminta Evaluasi Uji

Kompetensi Perawat dan Bidan


Penulis:  Indriyani Astuti - 18 March 2019, 21:30 WIB

 ist

UJI kompetensi sebagai syarat kelulusan mahasiswa ilmu kesehatan dikeluhkan Himpunan
Perguruan Tinggi Kesehatan Indonesia (HPTI). HPTI meminta agar sistem uji kompetensi
ditinjau ulang. Saat ini, uji kompetensi yang menjadi syarat kelulusan mahasiswa kesehatan
dilakukan oleh tim panitia nasional, bukan perguruan tinggi sebagai penyelenggara
pendidikan.

Kebijakan itu menuai pro dan kontra terutama bagi mereka yang dinyatakan telah lulus kuliah
tapi tidak lulus uji kompetensi sehingga tidak bisa bekerja sebagai tenaga kesehatan karena
belum memperoleh sertifikasi kompetensi dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan
Tinggi (Kemenristekdikti), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan panitia uji kompetensi.
Dasar dalam pelaksanaan uji kompetensi diatur dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi,
dan Perguruan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 12 Tahun 2016 tentang Tata Cata
Pelaksanaan uji Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan yang merupakan turunan dari
Undang–Undang No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan.

Menurut Sekretaris HTPI Gunarmi, Permenristekdikti itu bertentangan dengan amanah UU


No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional karena mereduksi peran perguruan tinggi
sebagai penentu kelulusan.

"Kami ingin uji kompetensi menjadi otonomi kampus. Kami juga menuntut pencabutan
Permenristekdikti No. 12 Tahun 2016," ujarnya saat audensi dengan DPR RI, di Kompleks
Parlemen, Senayan, Jakarta, hari ini. Dalam audensi itu  dilakukan juga aksi damai yang
dihadiri oleh anggota HPTKes.

Gunarmi mengatakan, sejak aturan itu diberlakukan terdapat 357.028 lulusan yang tidak lulus
uji kompetensi. Mereka terdiri atas para lulusan pendidikan D3 keperawatan dan D3
kebidanan.

Uji kompetensi nasional, terangnya, dilakukan dengan sistem Computer Based Test (CBT),
sehingga peserta dari perguruan tinggi kesehatan yang tidak mempunyai sarana dan prasarana
memadai harus ikut tes tersebut lintas perguruan tinggi bahkan lintas kota.

"Hal yang diujikan menurut kami hanya berbasis knowledge atau pengetahuan karena
diujikan dengan komputer. Sedangkan, uji kompetensi sesungguhnya ialah pengetahuan,
sikap dan keterampilan bagaimana berinteraksi dengan pasien," tuturnya.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Bidang Akreditasi HPTI yang juga Ketua Sekolah Tinggi
Kesehatan, Ferry Mendrova, yang juga Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Karya Husada
Semarang, menuturkan, untuk mengukur kompetensi lulusan tidak harus melalui uji
kompetensi secara nasional. Pasalnya, setiap semester para mahasiswa harus mengikuti ujian
di perguruan tinggi masing-masing.

"Kelulusan ditentukan oleh ujian kompetensi nasional yang hanya berlangsung satu hari. Kita
tidak melihat ekspresi mahasiswa bagaimana melayani pasien. Hanya berhenti pada ujian
berbasis komputer itu dan mengabaikan proses pendidikan yang telah dipelajari sebelumnya"
terangnya.

Selain itu, untuk mengukur perguruan tinggi yang kredibel atau berkualitas, Ferry
mengatakan sudah ada akreditasi dari pemerintah yang bisa menentukan jumlah lulusan
sehingga ia mempertanyakan otonomi kampus dalam menentukan kelulusan para mahasiswa.

Secara terpisah, Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti,


Ismunandar, menjelaskan, uji kompetensi tetap dilaksanakan sebagai amanah Pasal 21 UU
No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, mahasiswa bidang kesehatan pada akhir masa
pendidikan vokasi dan profesi harus mengikuti uji kompetensi secara nasional.

Selain itu, uji kompetensi secara nasional diperlukan dalam upaya standardisasi dan
penjaminan mutu lulusan pendidikan tinggi bidang kesehatan. Sejak 2014, telah dilaksanakan
uji kompetensi secara nasional untuk program diploma III keperawatan dan diploma III
kebidanan.

Ia mengakui masih ada banyak hal yang harus disempurnakan.

"Penyempurnaan akan dilakukan berkelanjutan  dengan masukan dari semua stakeholder


(pihak terkait)," terangnya.

Pemerintah, imbuhnya, berencana akan memberlakukan uji kompetensi untuk program studi
kesehatan lain sebagai exit exam. Kebijakan itu mulai diberlakukan pada 2019 dan 
pelaksanaan secara penuh dilaksanakan setelah regulasi baru terbit dan sosialisasi telah
dilakukan dengan komprehensif.

"Target awal dilaksanakan secara penuh pada 2020," ucapnya.

Kemenristekdikti dan Kemenkes akan memfasilitasi sosialisasi dan persiapan implementasi


uji kompetensi nasional bidang kesehatan sebagai exit exam. Apabila seorang peserta tidak
dapat memenuhi nilai batas lulus dari ujian ini, ia dinyatakan tidak dapat lulus dari
pendidikan keperawatan atau kebidanan. (OL-1)

 
Ribuan Sarjana Kesehatan jadi
 

Pengangguran, Begini Alasannya


Senin, 18 Maret 2019 – 15:11 WIB

jpnn.com, JAKARTA - Ratusan mahasiswa dan dosen dari berbagai Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan (STIKES) maupun perguruan tinggi yang memiliki program studi (prodi)
kesehatan melakukan aksi damai di DPR RI, Senin (18/3).

Aksi yang dimulai sejak pukul 08.00 WIB ini menuntut Peraturan Menteri Riset, Teknologi,
dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Uji Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan dicabut.

Menurut Sekjen Himpunan Perguruan Tinggi Kesehatan Indonesia (HPTKes Indonesia)


Gunarmi, Permenristekdikti itu berdampak luas. Di mana ada 300 ribu sarjana kesehatan
(perawat, bidan, nurse) jadi pengangguran karena tidak lulus uji kompentensi yang dilakukan
panitia seleksi nasional. Padahal sebelumnya, lulusan sarjana kesehatan bisa bekerja dan buka
praktik sendiri.

“Banyak sarjana kesehatan ini sudah ikut tes kompetensi sebanyak 11 kali. Namun, mereka
berkali-kali gagal. Padahal setiap kali tes harus mengeluarkan uang Rp 225 ribu untuk lulusan
D3 dan Rp 275 ribu untuk S1,” ungkap Gunarmi yang ditemui di sela-sela aksi damai.

Dampak lainnya dari Permenristekdikti 12/2016 adalah akan banyak sarjana yang tidak bisa
diwisuda bila gagal dalam tes kompetensi. Tidak hanya bisa buka praktik, ijazah juga tak
akan dikantongi.

“Bisa dibayangkan bagaimana beban orang tua mahasiswa yang sudah mengeluarkan dana
puluhan juta tapi anaknya tidak bisa diwisuda dan tidak bekerja sesuai keahlian," ujarnya.
Gunarmi mengungkapkan, ada banyak sarjana kesehatan yang terpaksa bekerja jadi sales,
pelayan toko maupun restoran. Mereka tidak bisa bekerja sesuai keahliannya di rumah sakit,
puskesmas, buka praktik, dan lainnya.

Permenristekdikti 12/2016 mengharuskan uji kompetensi yang dilakukan Panitia Uji


Kompetensi Nasional. Panitia Uji Kompetensi Nasional terdiri atas unsur Kementerian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Kesehatan, Perguruan Tinggi, dan
Organisasi Profesi/lembaga pelatihan/lembaga sertifikasi. Kelemahannya, perguruan tinggi
diberikan hak untuk memberikan penilaian terhadap mahasiswa.

“Ujian nasional saja tidak sepenuhnya ditentukan oleh Kemendikbud, tapi sekolah diberikan
kewenangan juga. Kok uji kompetensi malah Panitia Nasional yang tidak tahu jelas
kemampuan mahasiswa kami diberikan kewenangan penuh. Kami hanya disuruh teken hasil
uji kompetensinya," kritiknya.

Untuk mencegah terjadinya darurat tenaga kesehatan (nakes), HPTKes Indonesia mendesak agar
Permenristekdikti 12/2016 dicabut. Uji kompetensi diminta dikembalikan kepada perguruan tinggi
yang bekerja sama dengan organisasi profesi maupun lembaga sertifikasi.
Perawat yang Tak Lulus Ukom Diusulkan Mendapatkan
STR Sementara
"AIPNI dan HPTKes juga sedang berupaya agar biaya uji kompetensi ini dbiayai oleh
negara"
Oleh Iwan R pada Friday, 03 May 2019 jam 19:20:51 WIB

Ketua AIPNI Muhammad Hadi saat talkshow dan dialog interaktif di kampus STIKes Fort de
Kock Bukittinggi, Jumat 3 Mei 2019. (KLIKPOSITIF/Haswandi)

BUKITTINGGI, KLIKPOSITIF -- Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI)


dan Himpunan Perguruan Tinggi Kesehatan (HPTKes) Indonesia akan mengusulkan
penerbitan Surat Tanda Registrasi (STR) Sementara bagi perawat yang tidak lulus uji
kompetensi (ukom).

Dengan adanya STR Sementara itu, diharapkan para perawat bisa mencari atau melanjutkan
pekerjaannya, karena saat ini STR merupakan syarat wajib yang harus dimiliki perawat untuk
bekerja.

"Kita mengusulkan agar retekar, yang tidak lulus ujian kompetensi, tetap diberi kesempatan
untuk bekerja. Karena bagaimanapun dia sudah menempuh pendidikan yang cukup lama. Ia
diberikan lisensi, tapi waktunya terbatas, yakni setahun, supaya dia bisa dibina, kemudian
bisa lagi ikut ukom, lulus bisa bekerja. Kalau tidak lulus bisa mengajukan lagi," ujar Ketua
AIPNI Muhammad Hadi saat talkshow dan dialog interaktif di kampus STIKes Fort de Kock
Bukittinggi, Jumat 3 Mei 2019.

Selain itu, lanjut Hadi, AIPNI dan HPTKes juga sedang berupaya agar biaya uji kompetensi
ini dbiayai oleh negara.

Namun ia kembali menegaskan, jika hal tersebut masih dalam tahap pembahasan dan sedang
diupayakan di tingkat kementerian.

"Mudah-mudahan bulan depan kami akan membahasnya di tingkat kementerian. Di


kementerian terkait kita juga akan berkoordinasi, karena ada kemenristek, ada kementerian
kesehatan, ada Menpan RB juga," jelasnya.

AIPNI dan HPTKes juga sepakat agar ukom bukan satu-satunya penentu kelulusan.

"Supaya tidak terjebak, ukom merupakan sesuatu yang menakutkan, kami menginginkan
menghargai proses. Dalam hal ini, AIPNI mengusulkan penentu kelulusan, 40 persen dari
IPK sarjana maupun profesi, sementara yang 60 persen lagi dari ujian ukom," tambahnya.

Kegiatan talkshow dan dialog ini juga menghadirkan Sekjen HPTKes Indonesia Gunarmi
Solikhin dan Bidang Sertifikasi HPTKes Indonesia, Zainal Abidin. (*)
Mahasiswa Calon Tenaga Kesehatan Boleh
Wisuda Dulu, Uji Kompetensi Menyusul
Kamis, 28 Maret 2019 – 07:49 WIB

jpnn.com, JAKARTA - Menristekdikti Mohamad Nasir mencabut Permenristekdikti Nomor


12 Tahun 2016 tentang uji kompetensi tenaga kesehatan (nakes) . Selama belum keluar
regulasi baru, mahasiswa calon nakes diperbolehkan lulus terlebih dahulu. Uji kompetensi
bisa menyusul saat regulasi sudah terbit.

Nasir menjelaskan, persoalan yang muncul saat ini adalah ujian kompetensi dilakukan secara
nasional. Imbasnya, ada keluhan ujiannya sulit, banyak yang tidak lulus, dan sebagainya.
Nasir mengakui masih ada diversifikasi kualitas perguruan tinggi, khususnya yang mencetak
calon nakes.

Apakah uji kompetensi akan dihapus? "Tidak," tegas Nasir saat ditemui seusai membuka
kegiatan Healthy Talk di kantornya, Selasa (26/3). Nasir menegaskan, UU 36/2014 tentang
Tenaga Kesehatan mewajibkan ada uji kompetensi. Hanya, ke depan ujian tersebut tidak
berlaku nasional.

Anda mungkin juga menyukai