TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diare
2.1.1 Definisi
Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan
konsistensi lembek atau cair, dan frekuensinya lebih dari 3 kali sehari. Menurut WHO
(2009), penyakit diare adalah gejala yang umum, dimana penderita buang air besar
(defekasi) lebih sering dari biasanya, dan konsistensi tinjanya encer, berat tinjanya
lebih dari 200 gram atau berat tinjanya kurang dari 200 gram tapi buang air besar lebih
feses dan frekuensi buang air besar. Seseorang mengalami diare bila feses lebih cair
dari biasanya, diare juga berarti bahwa frekuensi buang air besar tiga kali atau lebih
(Depkes, 2009).
2.1.2 Etiologi
diare disebabkan dua kejadian yaitu adanya gangguan pada proses absorpsi atau
sekresi. Rotavirus merupakan etiologi paling penting yang menyebabkan diare pada
anak dan balita. Infeksi rotavirus biasanya terdapat pada anak umur 6 bulan-2 tahun
(Suharyono, 2008).
5
6
a. Absorpsi
b. Gangguan sekresi
b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi non
infeksi.
infeksi.
tetapi yang sering ditemukan secara klinis adalah diare yang disebabkan infeksi virus
dan bakteri. Infeksi baik itu oleh virus, bakteri dan parasit merupakan penyebab diare
tersering. Virus, terutama rotavirus merupakan penyebab utama (60- 70%) diare
infeksi pada anak, sedangkan sekitar 10-20% adalah bakteri dan kurang dari 10%
1. Faktor infeksi
b. Bakteri
Camphylobacter, Aeromanos
7
c. Parasit
Cryptosporidium
hominis
2. Malabsorpsi
3. Keracunan makanan
1) Jasad renik
2) Ikan
3) Buah-buahan
4) Sayur-sayuran
Diare bisa terjadi secara umum dari satu atau beberapa proses kejadian yang
saling tumpang tindih. Berdasarkan proses terjadinya diare dikenal: diare akibat
gangguan absorpsi yaitu volume cairan yang berada di kolon lebih besar daripada
kapasitas absorpsi. Disini diare dapat terjadi akibat kelainan di usus halus,
mengakibatkan absorpsi menurun atau sekresi yang bertambah. Apabila fungsi usus
halus normal, diare dapat terjadi akibat absorpsi di kolon menurun atau sekresi di kolon
meningkat. Diare juga dapat dikaitkan dengan gangguan motilitas, inflamasi dan
imunologi.
8
elektrolit atau efek samping konsumsi obat. Komplikasi yang perlu diwaspadai
2.1.3 Epidemiologi
Sekitar lima juta anak di seluruh dunia meninggal karena diare akut. Di
bahwa setiap anak mengalami serangan diare sebanyak 1,6-2 kali setahun. Angka
kesakitan dan kematian akibat diare mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Tetapi
masih seringnya terjadi wabah atau KLB diare sehingga pemberantasannya menjadi
Data WHO tahun 2017, diare masih menjadi penyebab kematian terbesar kedua
pada balita. Tiap tahunnya diare menyebabkan kematian pada 760.000 balita di seluruh
dunia. Angka ini lebih besar dibandingkan dengan gabungan angka kematian balita
Berdasarkan data riset kesehatan dasar tahun 2018, insiden diare pada balita di
Indonesia tahun 2018 adalah 6,8% dengan period prevalence 7,0%. Menurut
karakteristik umur, kejadian diare tertinggi di Indonesia terjadi pada balita (7,0%).
Balita dengan insiden diare tertinggi berada pada kelompok umur 12 sampai 23 bulan
2018, di Pulau Jawa, kasus diare di Provinsi Jawa Timur menduduki urutan kedua
terbanyak setelah Provinsi Jawa Barat. Diare termasuk dalam 10 kejadian yang sering
menyebabkan KLB. Berdasarkan data dari profil kesehatan Indonesia 2018, Jawa
Timur mempunyai 479.355 kasus perkiraan diare pada balita dan sekitar 59,41% kasus
yang ditangani tenaga kesehatan (Dinkes Jawa Timur, 2019). Berdasarkan profil Dinas
Kesehatan Kota Malang tahun 2018, Penemuan kasus diare di Kota Malang pada tahun
2018 sebanyak 11.233 kasus atau 48,03% dari kasus yang telah diperkirakan. Hal ini
menandakan bahwa prevalensi diare masih tetap tinggi di Kota Malang meskipun
sudah dilakukan berbagai upaya pencegahan dan penatalaksanaan diare (Dinkes Kota
Malang, 2018).
Juffrie dan Mulyani (2011), faktor risiko yang dapat meningkatan penularan
enteropatogen antara lain: tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4-6 bulan
pertama kehidupan bayi, tidak memadainya penyediaan air bersih, pencemaran air oleh
tinja, kurangnya sarana kebersihan (MCK), kebersihan lingkungan dan pribadi yang
buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak higenis dan cara penyapihan
yang tidak baik. Selain hal-hal tersebut beberapa faktor pada penderita dapat
menderita campak dalam 4 minggu terakhir dan faktor genetik. Beberapa faktor yang
1. Faktor umur
Episode diare sebagian besar dapat terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan.
Insidensi tertinggi terjadi pada kelompok umur 6-11 bulan pada saat diberikan
makanan pendamping ASI. Pola ini menggambarkan kombinasi efek penurunan kadar
antibodi ibu, kurangnya kekebalan aktif bayi, pengenalan makanan yang mungkin
terkontaminasi bakteri tinja dan kontak langsung dengan tinja manusia atau binatang
pada saat bayi mulai merangkak. Kebanyakan enteropatogen merangsang paling tidak
sebagian kekebalan melawan infeksi atau penyakit yang berulang, yang membantu
menjelaskan menurunnya insiden penyakit pada anak yang lebih besar dan pada orang
dewasa.
2. Infeksi asimtomatik
Sebagian besar infeksi usus bersifat asimtomatik dan proporsi asimtomatik ini
meningkat setelah umur 2 tahun dikarenakan pembentukan imunitas aktif. Pada infeksi
asimtomatik yang mungkin berlangsung beberapa hari atau minggu, tinja penderita
mengandung virus, bakteri atau kista protozoa yang infeksius. Orang dengan infeksi
mereka tidak menyadari adanya infeksi, tidak menjaga kebersihan dan berpindah-
pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Escheria coli dapat menyebabkan
bakteremia dan infeksi sistemik pada neonatus. Meskipun E. coli sering ditemukan
pada lingkungan ibu dan bayi, belum pernah dilaporkan bahwa ASI sebagai sumber
3. Faktor musim
Variasi pola musiman diare dapat terjadi menurut letak geografis. Di daerah
subtropis, diare karena bakteri lebih sering terjadi pada musim panas, sedangkan diare
karena virus terutama rotavirus puncaknya terjadi pada musim dingin. Di daerah tropis
(termasuk Indonesia), diare yang disebabkan oleh rotavirus dapat terjadi sepanjang
tahun dengan peningkatan sepanjang musim kemarau, sedangkan diare karena bakteri
higiene sanitasi makanan dan minuman buruk menyebabkan adanya kejadian diare
sebesar 95,2%, sedangkan higiene sanitasi makanan dan minuman baik dengan adanya
Variabel Frekuensi %
Tingkat Pendidikan 45 75
Pemberian ASI Ekslusif 38 63,3
Higiene Sanitasi Makanan dan Minuman 42 70
(Melvani, Zulkifli, Faizal, 2019)
Menurut penelitian Dewi, Yusuf & Sabril (2017), secara umum membagi faktor
1. Faktor risiko kurangnya pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian diare pada balita
adalah definisi WHO yang menyebutkan ASI eksklusif adalah pemberian hanya ASI
saja tanpa cairan atau makanan padat apapun kecuali vitamin, mineral, atau obat dalam
bentuk tetes atau sirup sampai usia 6 bulan. Pada saat lahir hingga beberapa bulan
berikutnya, bayi belum dapat membentuk kekebalan sendiri secara sempurna. ASI
12
memberikan zat-zat kekebalan yang belum dapat dibuat oleh bayi tersebut, sehingga
bayi yang minum ASI lebih jarang sakit, terutama pada awal dari kehidupannya.
Komponen zat anti infeksi yang banyak dalam ASI akan melindungi bayi dari diare
Pada tahun 2001, setelah melakukan telaah artikel secara sistemik dan
berkonsultasi dengan para pakar, WHO merevisi rekomendasi ASI eksklusif dari 4-6
bulan menjadi 6 bulan. Hasil dari artikel tersebut menyimpulkan bahwa bayi yang
disusui secara eksklusif sampai 6 bulan umumnya lebih sedikit menderita penyakit
Penelitian Dewi, Yusuf & Sabril (2017), menyebutkan bahwa berdasarkan hasil
penelitian didapatkan bahwa balita yang terbanyak di teliti dari 104 balita yang
dinyatakan berisiko menderita diare berjumlah 61 balita (58,7%) dan balita yang tidak
Cuci tangan sering dianggap sebagai hal yang sepele di masyarakat, padahal
cuci tangan bisa memberi kontribusi pada peningkatan status kesehatan masyarakat.
penyakit diare. Cuci tangan merupakan tekhnik dasar yang paling penting dalam
Dari hasil penelitian di dapatkan bahwa balita yang telah di teliti responden
menurut kebersihan mencuci tangan menunjukkan bahwa dari 104 balita yang
dinyatakan berisiko menderita diare karena tidak mencuci tangan dengan baik yaitu
berjumlah 56 balita (53,8%), sedangkan balita yang tidak berisiko berjumlah 48 balita
(46,2%). Hal tersebut dapat di simpulkan bahwa dalam mencuci tangan pada balita
belum baik sehingga dapat berisiko menderita diare. (Dewi, Yusuf & Sabril, 2017).
terdiri dari faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor pendukung. Faktor
pendidikan, sikap, keyakinan, serta nilai yang dianut oleh individu. Sedangkan faktor
seperti kepemilikan jamban, dan ketersediaan prasarana. Dan faktor pendukung adalah
faktor yang datangnya dari luar dan bersifat mendukung faktor-faktor lain, seperti
Faktor risiko lain dari hasil penelitian yang didapatkan bahwa balita yang
terbanyak diteliti dari 104 balita yang dinyatakan menderita diare karena tidak
menggunakan jamban sehat telah diteliti yang dinyatakan berisiko menderita diare
berjumlah 41 balita (39,4%) dan balita yang tidak berisiko berjumlah 63 balita (60,6%)
2.1.5 Patofisiologi
kadar air dalam tinja. Kadar air tinja >70% menyebabkan meningkatnya fluiditas tinja.
14
Berkurangnya jumlah elektrolit yang terkandung dalam tinja yang berfungsi mengikat
penyerapan cairan oleh mukosa usus sehingga jumlah cairan dalam usus meningkat,
peningkatan sekresi cairan oleh mukosa usus, kejadian ini dipengaruhi oleh aktivitas
peningkatan sekresi cairan mukosa, lama waktu penyerapan cairan, serta masa transit
cairan dalam usus. Perubahan tekanan osmotik dalam rongga usus terjadi akibat adanya
bahan kimia yang berfungsi menahan air dalam lumen usus yang mengakibatkan
mengakibatkan peningkatan jumlah cairan dalam rongga usus dan menimbulkan gejala
diare. Jumlah cairan pada bagian usus seperti terlihat dari gambar 3.1 berikut:
Dalam rongga usus terdapat 9 – 10 L cairan yang bersumber dari makanan dan
minuman, air liur, cairan lambung, empedu dan cairan dari pankreas, selain itu juga
didapatkan dari succus entericus. Sebagian besar nutrisi dicerna dan diserap rongga
15
usus, volume cairan yang diserap + 4 L sehari. Usus kecil menyerap nutrisi dan cairan
+ 2,5 L serta menyisakan 1 – 1,5 L cairan untuk disalurkan ke usus besar setiap hari.
Usus besar menyerap hampir semua sisa cairan hanya menyisakan 0,1 L cairan. Air
dalam usus halus 99% diserap kembali, jika terjadi penurunan penyerapan air sebesar
1%, menyebabkan feses menjadi lebih encer dan hal itu dapat menyebabkan terjadinya
diare.
tergantung permeabilitas mukosa usus. Jejunum adalah bagian dari usus yang paling
yang berfungsi membantu penyerapan glukosa, galaktosa dan penyerapan asam amino.
Usus besar merupakan bagian pencernaan yang kurang permeabel terhadap air
sehingga memiliki sedikit kemampuan menyerap cairan. Penyakit atau reseksi yang
melibatkan daerah usus menyebabkan pola diare berbeda. Diare dapat terjadi akibat
karena konsumsi zat terlarut yang ada mengubah transportasi mukosa, atau motilitas
1. Diare osmotik
Salah satu hal yang menyebabkan peningkatan kadar air pada tinja adalah
kesalahan konsumsi makanan seperti zat aktif osmotik pada garam, obat pencahar
selain itu juga disebabkan oleh gangguan penyerapan karbohidrat seperti gangguan
16
penyerapan laktosa pada pasien dengan defisiensi laktase. Ketika jumlah partikel aktif
osmotik berlebihan terdapat dalam lumen usus, maka sebagian besar cairan bergerak
secara pasif ke dalam usus, hal ini mengakibatkan beban zat terlarut melebihi kapasitas
penyerapan usus dan mengakibatkan diare. Oleh karena itu, diare osmotik akan
berhenti ketika anak tidak diberi makan. Jumlah partikel osmotik aktif yang berlebih
a. Konsumsi zat terlarut yang tidak dapat diserap seperti obat pencahar
galaktosa-glukosa.
disebabkan karena faktor usia, intoleransi protein susu sapi, penyakit crohn.
2. Secretory diare
Secretory diare terjadi akibat mukosa usus berlebihan mengeluarkan cairan, hal
tersebut terjadi karena iritasi enterosit oleh racun (seperti toksin kolera), atau karena
kelainan yang melekat pada enterosit, atau karena proses inflamasi lain pada dinding
enterosit.
Diagnosa Diagnosa
1. Konsumsi pencahar 1. Adanya toksin kolera
2. Berlebihan karbohidrat yang terlarut 2. Penyebab infeksi lainnya
dalam lumen 3. Peningkatan jumlah klorida
3. Peradangan di mukosa usus 4. Enteropathies
4. Gangguan motilitas
Sumber : Schiller, L. R. (2015)
Masalah mendasar yang menjadi penyebab diare adalah feses encer dengan
kadar air >70% (Schiller, 2018). Diare terjadi akibat gangguan osmotik (makanan yang
tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat
sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus, isi rongga usus
berlebihan sehingga timbul diare). Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat
toksin di dinding usus meningkat kemudian terjadi diare. Ganguan motilisasi usus yang
Diare dapat terjadi akibat penyerapan air dalam rongga usus berkurang, hal
tersebut terjadi karena adanya perubahan tekanan osmotik di rongga usus. Perubahan
menjelaskan peningkatan kadar air pada feses akibat penyerapan air yang kurang serta
Gambar 2.2 Perbedaan Jumlah Elektrolit dan Tekanan Osmotik pada Diare
Sumber : Schiller, 2018
Salah satu penyebab peningkatan kadar air pada feses adalah menurunnya
tekanan osmotik dalam rongga usus akibat berkurangnya jumlah elekrolit seperti garam
cerna (misalnya, laktosa pada pasien dengan defisiensi laktase). Jumlah elektrolit yang
sekretorik, akibatnya akan terjadi penigkatan sekresi cairan yang melebihi kemampuan
Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare
non inflamasi dan diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri dan
sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai
lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti mulas sampai
nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi.
19
Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, serta
mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Keluhan
abdomen biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda
dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti.
osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas
dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah
Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang
berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang
dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu, asam lemak
rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti gastrin
halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri
atau bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, Inflamatory Bowel
transit usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, sindroma
Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri paling
tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan penurunan
absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang
Guerrant (2003), terjadi karena melekatnya bakteri pada sel epitel baik disertai
enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat menggunakan satu atau lebih
mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan mukosa usus meliputi proses
berikut:
1. Adhesi
Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan antara struktur polimer
fimbria atau pili dengan reseptor atau ligan spesifik pada permukaan sel epitel. Fimbria
terdiri atas lebih dari 7 jenis, disebut juga sebagai Colonization Factor Antigen (CFA)
yang lebih sering ditemukan pada enteropatogen seperti Enterotoxic E. Coli (ETEC)
membran mikrovilus. Invasi intraselluler yang ekstensif tidak terlihat pada infeksi
Mekanisme adhesi yang ketiga adalah dengan pola agregasi yang terlihat pada
jenis kuman enteropatogenik yang berbeda dari ETEC atau Enterohemorrhagic E. Coli
(EHEC).
2. Invasi
Kuman shigella melakukan invasi melalui membran basolateral sel epitel usus.
Di dalam sel terjadi multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke sel epitel
kematian sel epitel. Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya mediator seperti
leukotrien, interleukin, kinin, dan zat vasoaktif lain. Kuman shigella juga memproduksi
shigella toksin yang menimbulkan kerusakan sel. Proses patologis ini akan
menimbulkan gejala sistemik seperti demam, nyeri perut, rasa lemah, dan gejala
3. Sitotoksin
Prototipe kelompok toksin ini adalah shigella toksin yang dihasilkan oleh
shigella dysentrie yang bersifat sitotoksik. Kuman lain yang menghasilkan sitotoksin
adalah EHEC serogroup 0157 yang dapat menyebabkan kolitis hemoragik dan
4. Enterotoksin
Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera Toxin (CT)
yang secara biologis sangat aktif meningkatkan sekresi epitel usus halus. Toksin kolera
terdiri dari satu subunit A dan 5 subunit B. Subunit A1 akan merangsang aktivitas
22
absorbsi Na dan klorida pada sel vilus serta peningkatan sekresi klorida dan HCO3
ETEC menghasilkan Heat Labile Toxin (LT) yang mekanisme kerjanya sama
dengan CT serta Heat Stabile Toxin (ST). ST akan meningkatkan kadar cGMP selular,
reseptor neural 5-HT pada saraf sensorik aferen, interneuron kolinergik di pleksus
Efek sekretorik toksin enterik CT, LT, ST paling tidak sebagian melibatkan
prostaglandin. Hal ini membuka kemungkinan penggunaan obat antidiare yang bekerja
DIARE
Menurut Widoyono (2008) beberapa gejala dan tanda diare antara lain:
1. Gejala umum
bahkan gelisah
24
2. Gejala spesifik
a. Vibro cholera: diare hebat, warna tinja seperti cucian beras dan berbau
amis
2. Gangguan sirkulasi
Pada diare akut, kehilangan cairan dapat terjadi dalam kurun waktu yang
singkat. Bila kehilangan cairan ini lebih dari 10% berat badan, pasien
Hal ini terjadi akibat kehilangan cairan elektrolit (bikarbonat) dari dalam
5. Gangguan gizi
Gangguan ini terjadi karena asupan makanan yang kurang dan output
yang berlebihan. Hal ini akan bertambah berat bila pemberian makanan
gizi (malnutrisi).
sebagai berikut:
harus diperiksa.
2. Volume feses: jika cairan diare tidak terdapat leukosit atau eritrosit, infeksi
24 jam harus dikumpulkan untuk mengukur output harian. Sekali diare harus
dicatat (>250 ml/day), kemudian perlu juga ditentukan apakah terjadi steatore
3. Mengukur berat dan kuantitatif fecal fat pada feses 24 jam: jika berat feses
mengesankan proses sektori. Jika fecal fat lebih dari 10g/24h menunjukkan
proses malabsorbstif.
4. Lemak feses: sekresi lemak feses harian < 6g/hari. Untuk menetapkan suatu
steatore, lemak feses kualitatif dapat menolong yaitu >100 bercak merah orange
per ½ lapang pandang dari sample Negara Sudan adalah positif. False negatif
dapat terjadi jika pasien diet rendah lemak. Test standard untuk mengumpulkan
feses selama 72 jam biasanya dilakukan pada tahap akhir. Eksresi yang banyak
insufisiensi pankreas.
atau diare sekretori. Elekrolit feses Na, K dan osmolalitas harus diperiksa.
Osmolalitas feses normal adalah –290 mosm. Osmotic gap feses adalah 290
normalnya <50 mosm. Anion organic yang tidak dapat diukur, metabolit
karbohidrat primer (asetat, propionat dan butirat) yang bernilai untuk anion gap,
dalam suatu tempat. Jika feses bertahan beberapa jam sebelum osmolalitas
diperiksa, osmotic gap seperti tinggi. Diare dengan normal atau osmotic gap
6. Pemeriksaan parasit atau telur pada feses: untuk menunjukkan adanya giardia
Skrining awal CBC, protrombin time, kalsium dan karotin akan menunjukkan
abnormalitas absorbsi. Fe, VitB12, asam folat dan vitamin yang larut dalam
lemak (ADK). Pemeriksaan darah tepi menjadi penunjuk defak absorbsi lemak
pada stadium luminal, apakah pada mukosa, atau hasil dari obstruksi limfatik
postmukosa. Protombin time, karotin dan kolesterol mungkin turun tetapi Fe,
folat dan albumin mungkin sekali rendah jika penyakit adalah mukosa primer
dan normal jika malabsorbsi akibat penyakit mukosa atau obstruksi limfatik.
8. Tes laboratorium lainnya: pada pasien yang diduga sekretori maka dapat
dengan NaOH yang akan berubah warna menjadi merah. Skrining laksatif feses
Diantaranya Mg, SO4 dan PO4 dapat mendeteksi katartik osmotik seperti
1. Biopsi usus halus: biopsi usus halus diindikasikan pada (a) pasien dengan diare
yang tidak dapat dijelaskan atau steatore, (b) anemia defisiensi Fe yang tidak
kemudian diijeksikan suspensi barium melalui tube dan sesudah itu 1-2 liter
5. Imaging: penyebab diare dapat secara tepat dan jelas melalui pemeriksaan
duodenum dan biopsi usus halus berguna pada pasien AIDS, cryptosporidium,
dehidrasi. Selain itu diare yang berkepanjangan bisa mnyebabkan anak mengalami
penencegahan diare. Pencegahan diare secara garis besar dibagi menjadi tiga tingkatan
tingkat kedua (secondary prevention) yang merupakan diagnosis dini serta pengobatan
yang tepat untuk penanggulangan diare, terakhir adalah pencegahan tingkat ketiga
dengan cara menghindari atau mengatasi faktor risiko penyebab diare, pencegahan
primer pada diare ditujukan pada faktor pnyebab terjadinya diare, lingkungan serta
masyarakat untuk menciptakan lingkungan sehat dan terbebas dari penyakit. Promosi
a. Pemberian ASI
dan zat- zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap
diare pada bayi yang baru lahir. Pemberian ASI eksklusif mempunyai daya lindung 4
kali lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol.
Flora usus pada bayi-bayi yang disusui mencegah tumbuhnya bakteri penyebab diare
ASI mengandung 87,5% air sehingga pada pemberian periode ASI eksklusif
selama 6 bulan, bayi tak perlu diberi minuman atau makanan lain, kecuali dalam
kondisi medis tertentu. ASI juga mengandung immunoglobulin A yang terdapat pada
kolostrum, karbohidrat juga terkandung dalam ASI yang terdiri atas laktosa. Sementara
protein penting yang terkandung dalam ASI, yaitu whey dan kasein, taurin yang
berperan untuk pertumbuhan otak serta nukleotida yang berfungsi untuk perkembangan
usus. Kandungan ASI berikutnya adalah lemak, kadar lemak pada ASI berfungsi untuk
Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh, pada 6 bulan pertama kehidupan
risiko terkena diare adalah 30 kali lebih besar. Pemberian susu formula merupakan cara
lain dari menyusui namun pemberian susu formula diberikan dengan menggunakan
botol susu. Penggunaan botol untuk susu formula biasanya menyebabkan risiko tinggi
terkena diare sehingga bisa mengakibatkan terjadinya gizi buruk (Depkes RI, 2006).
31
Ada berbagai alasan orang tua terpaksa tidak memberikan ASI kepada anaknya,
sehingga peran ASI diganti dengan susu formula bayi, jika menggunakan susu formula
bayi maka kebersihan peralatan dan proses penyajian susu harus diperhatikan. Panduan
untuk membersihkan dan sterilisasi peralatan, serta menyiapkan dan menyajikan susu
b. Mencuci semua peralatan (botol, dot, sikat botol dan sikat dot) dengan
sabun, dan
botol
c. Panci biarkan tertutup, biarkan botol dan dot didalamnya sampai segera
akan digunakan
d. Biarkan air tersebut didalam panci tertutup selama 10-15 menit agar
e. Tuangkan air tersebut (suhunya tidak kurang dari 70°C) sebanyak yang
pada label
g. Tutup kembali botol susu dan kocok sampai susu formula bayi larut
dengan baik
air bersih dingin, sampai suhunya sesuai untuk diminum (dicoba dengan
i. Sisa susu formula bayi yang telah dilarutkan dibuang setelah 2 (dua)
jam
Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara bertahap mulai
dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Pada masa tersebut merupakan masa yang
berbahaya bagi bayi sebab perilaku pemberian makanan pendamping ASI dapat
33
1. Memperkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 4-6 bulan tetapi masih
berumur 6 bulan atau lebih. Memberikan makanan lebih sering (4 kali sehari)
untuk energi. Menambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging, kacang–
menyuapi anak dengan sendok yang bersih. Memasak atau merebus makanan
dengan benar, menyimpan sisa makanan pada tempat yang dingin dan
memanaskan dengan benar sebelum diberikan kepada anak (Depkes RI, 2006).
Air adalah salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, bahkan hampir 70%
tubuh manusia mengandung air. Air dipakai untuk keperluan makan, minum, mandi,
dan pemenuhan kebutuhan yang lain, maka untuk keperluan tersebut WHO
menetapkan kebutuhan per orang per hari untuk hidup sehat 60 liter. Sebagian besar
kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fecal-oral mereka dapat
ditularkan dengan memasukkan kedalam mulut, cairan atau benda yang tercemar
34
dengan tinja misalnya air minum, jari-jari tangan, makanan yang disiapkan dalam panci
yang dicuci dengan air tercemar (Depkes RI, 2006). Masyarakat yang terjangkau oleh
penyediaan air yang benar-benar bersih mempunyai risiko menderita diare lebih kecil
dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih (Depkes RI,
2006).
menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai dari
sumbernya sampai penyimpanan di rumah (Depkes RI, 2006). Yang harus diperhatikan
lokasi kakus agar jaraknya lebih dari 10 meter dari sumber yang digunakan
serta lebih rendah, dan menggali parit aliran di atas sumber untuk
3. Air harus dikumpulkan dan disimpan dalam wadah bersih. Dan gunakan
4. Air untuk masak dan minum bagi anak harus dididihkan (Depkes RI, 2006).
e. Mencuci tangan.
dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun,
terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan
makanan, sebelum menyuapi makanan anak dan sebelum makan, mempunyai dampak
f. Menggunakan jamban
jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan risiko terhadap penyakit
diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus membuat jamban, dan keluarga
1. Keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan dapat dipakai oleh
3. Bila tidak ada jamban, jangan biarkan anak-anak pergi ke tempat buang air
besar sendiri, buang air besar hendaknya jauh dari rumah, jalan setapak dan
tempat anak-anak bermain serta lebih kurang 10 meter dari sumber air, hindari
Banyak orang beranggapan bahwa tinja anak bayi itu tidak berbahaya. Hal ini
tidak benar karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak dan orang
tuanya. Tinja bayi harus dibuang secara bersih dan benar, berikut hal-hal yang harus
diperhatikan:
1. Kumpulkan tinja anak kecil atau bayi secepatnya, bungkus dengan daun
2. Bantu anak untuk membuang air besarnya ke dalam wadah yang bersih dan
atau anak dapat buang air besar di atas suatu permukaan seperti kertas koran
3. Bersihkan anak segera setelah anak buang air besar dan cuci tangannya
melindungi secara khusus terhadap ancaman suatu penyakit. Berikut ini adalah spesific
a. Imunisasi
pemberian imunisasi campak dapat mencegah terjadinya diare. Anak harus diimunisasi
terhadap penyakit campak secepat mungkin setelah usia sembilan bulan. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Akbar (2017), menyebutkan bahwa imunisasi campak
merupakan langkah penting untuk melindungi anak balita dari episode diare dan
kematian akibat diare. Diare dapat terjadi akibat invasi virus campak ke mukosa saluran
Pencegahan tingkat kedua ini ditujukan kepada anak yang telah menderita diare
atau yang terancam akan menderita yaitu dengan menentukan diagnosa dini dan
pengobatan yang cepat dan tepat, serta untuk mencegah terjadinya efek samping dan
Indonesia bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan angka kematian karena
benar.
diare.
Tanda diare tanpa dehidrasi, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih:
b. Mata : normal
Diare dengan dehidrasi ringan/sedang, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau
lebih:
2. Mata : cekung
dehidrasi.
Diare dehidrasi berat, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih:
2. Mata : cekung
Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk ke Puskesmas
untuk di infus.
39
e. Timbul demam
f. Berak berdarah
g. Tidak membaik dalam 3 hari
Sumber: Panduan Sosialisasi Tatalaksanan Diare pada Balita Kemenkes RI (2011)
RENCANA TERAPI 2
UNTUK TERAPI DIARE DEHIDRASI RINGAN/BERAT
JUMLAH OBAT YANG DIBERIKAN DALAM 3 JAM PERTAMA DI
SARANA KESEHATAN
Rencana Terapi 3
Untuk Terapi Diare Dehidrasi Berat Di Sarana Kesehatan
Ikuti tanda panah a. Beri cairan intravena segera: RL / NaCl
0,9% (bila RL tidak tersedia)
Jika jawaban "YA" 100ml/kgBB, dibagi sebagai berikut:
Lanjutkan ke KANAN
Umur Pemberian I Kemudian
30 ml/kgBB 70ml/kgBB
Dapatkah saudara memberikan Bayi<1 tahun 1 jam* 5 jam
cairan intravena Anak >2 30 menit* 2 1/2 jam
tahun
YA * Diulangi lagi bila denyut nadi masih lemah
atau tidak teraba
b. Nilai kembali tiap 15 - 30 menit. Bila nadi
belum teraba, beri tetesan lebih cepat
c. Juga beri ORALIT (5ml/kg/jam) bila
penderita bisa minum; biasanya setelah 3-
4 jam (bayi) atau 102 jam (anak)
d. Berikan obat ZINC selama 10 hari
berturut- turut
TIDAK e. Setelah 6 jam (bayi) atau 3 jam (anak)
nilai lagi derajat dehidrasi
Kemudian pilihlah rencana terapi yang sesuai
(1, 2 atau 3) untuk melanjutkan terapi
Adakah terapi terdekat (dalam 30 f. Rujuk penderita untuk terapi intravena
menit) g. Bila penderita bisa minum, sediakan
YA ORALIT dan tunjukkan cara
memberikannya selama di perjalanan
TIDAK
Apakah penderita bisa minum j.Setelah 6 jam nilai kembali dan pilih
YA rencana terapi yang sesuai (1, 2, atau 3)
→ k. Mulai rehidrasi dengan ORALIT melalui
TIDAK mulut. Berikan sedikit demi sedikit, 20
↓ ml/kg BB/jam selama 6 jam
l. Nilai setiap 1- 2 jam:
Bila muntah atau perut kembung, berikan
cairan lebih lambat
Bila rehidrasi tidak tercapai setelah 3 jam
rujuk untuk terapi intravena
m. Setelah 6 jam nilai kembali dan pilih
rencana terapi yang sesuai
Segera rujuk anak untuk rehidrasi Catatan:
melalui nasogastrik/ orogastrik Bila mungkin amati penderita sedikitnya 6
atau intravena jam setelah rehidrasi untuk memastikan
bahwa ibu dapat menjaga mengembalikan
YA cairan yang hilang dengan memberi
ORALIT
Bila umur anak diatas 2 tahun dan kolera
baru saja berjangkit di daerah saudara,
pikirkan kemungkinan kolera dan berikan
antibiotika yang tepat secara oral begitu
anak sadar
Sumber: Panduan Sosialisasi Tatalaksanan Diare pada Balita Kemenkes RI (2011)
1. Berikan oralit
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah tangga
dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia berikan cairan
rumah tangga seperti air tajin, kuah sayur, air matang. Oralit saat ini yang beredar di
pasaran sudah oralit yang baru dengan osmolaritas yang rendah, yang dapat
mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi
penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang. Bila penderita tidak bisa minum
43
harus segera dibawa ke sarana kesehatan untuk mendapat pertolongan cairan melalui
infus.
Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh. Zinc dapat
menghambat enzim INOS (Inducible Nitric Oxide Synthase), dimana ekskresi enzim
ini meningkat selama diare dan mengakibatkan hipersekresi epitel usus. Zinc juga
berperan dalam epitelisasi dinding usus yang mengalami kerusakan morfologi dan
Pemberian zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat
keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta
diare sebanyak 11% dan menurut hasil pilot study menunjukkan bahwa zinc
mempunyai tingkat hasil guna sebesar 67% (Hidayat 1998 dan Soenarto 2007).
Berdasarkan bukti ini semua anak diare harus diberi zinc segera saat anak mengalami
diare.
3. Pemberian ASI/makanan:
penderita terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah berkurangnya
berat badan. Anak yang masih minum ASI harus lebih sering diberi ASI. Anak yang
minum susu formula juga diberikan lebih sering dari biasanya. Anak usia 6 bulan atau
lebih termasuk bayi yang telah mendapatkan makanan padat harus diberikan makanan
yang mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih sedikit dan lebih sering. Setelah diare
44
Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare
pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat pada penderita
Obat-obatan Anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang menderita
diare karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak di anjurkan kecuali
muntah berat. Obat-obatan ini tidak mencegah dehidrasi ataupun meningkatkan status
gizi anak, bahkan sebagian besar menimbulkan efek samping yang bebahaya dan bisa
berakibat fatal. Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit
(amuba, giardia).
5. Pemberian nasehat
Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita harus diberi nasehat
tentang:
b. Muntah berulang
c. Sangat haus
d. Makan/minum sedikit
e. Timbul demam
f. Tinja berdarah
45
Pencegahan tingkat ketiga adalah pencegahan tertier pada tahap penderita diare
harus diupayakan tidak mengalami kecatatan atau kematian akibat dehidrasi. Pada
tahap ini dilakukan pengembalian fungsi fisik, dan psikologis penderita diare. Pada
tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya efek lanjutan
berat penyakit diare dan menurunkan komplikasi. Bahaya diare adalah kurang gizi serta
kematian disebabkan dehidrasi, yaitu kehilangan banyak cairan dan garam dari tubuh.
Diare juga dapat menyebabkan kurang gizi atau memperburuk keadaan gizi yang
terjadi sebelumnya akibat penderita susah makan dan tidak merasa lapar sehingga
terutama anak-anak sehingga tetap kuat dan tumbuh serta mencegah penurunan
berat badan.
c. Saat diare berhenti, memberikan makanan tambahan selama dua minggu untuk