Anda di halaman 1dari 3

JERIT TANGIS PANCASILA

Oleh : Rizqi Al Fares (Anggota PMII STAI Al-Falah)

Malam tiba menutupi indahnya sinar senja. Perlahan malam memeluk erat dengan
gelapnya yang menakutkan. Suara indah kicauan burung mulai mereda terbawa sunyi.
Berganti dengan riuh ramai suara kendaraan yang menyapa daun telinga silih berganti.
Mariani masih mendorong gerobak perlahan dengan sedikit sisa tenanganya. Mengambil
plastik yang berserakan di tepian sudut jalan, tempat bak sampah sampai emperan Gedung-
gedung perkantoran. Nasibnya sungguh sangat malang bersama dengan anak yang tenah
berusia enam tahun. Sungguh mengerikan.

Anak yang pada lazimnya ketika waktu menjelang adzan maghrib belajar dan
bermain Handphone bersama keluarganya, namun anak itu tidak bisa. Dia masih sibuk
dengan gerobaknya di tepian jalan. Ia harus memikul beban yang berat, menemani ibunya
mencari puing-puing rejeki untuk dapat bertahan hidup. 17 Agustus ini genap lima tahun
mariani menjalani kehidupan sebagai pemulung bersama dengan anak dan suaminya.
Suaminya hanya dapat berbaring lemas di pembaringan gubuk kecil tempat tinggal mereka.
Tiga tahun yang lalu ia mengalami kecelakaan hingga mengakibatkan kedua kakinya
lumpuh tak berdaya.

Bagi Mariani menjadi pemulung merupakan bentuk rasa pasrah terhadap keadaan.
Karena tidak ada pilihan lagi. Sedang kesejahteraan yang dikatakan manis oleh pemerintah
hanyalah gigitan jari semata. Berbagai harapan yang dijanjikan, bagi mariani hanyalah bius
untuk menjilat pikiran masyarakat atas misi besar pribadi yang terbungkus rapat bersama
ambisi dan nafsunya. Mariani berhenti sejenak kemudian duduk diatas trotoar jalan yang
sudah berantakan. Kedua matanya menyorot Gedung megah yang dihiasi lamu mewah.

Gedung itu berdiri kokoh dan tinggi seperti melawan langit. Mariani termenung
dengan raut wajah yang penuh dengan kehampaan meratapi nasib sambil memangku
anaknya yang tertidur nyenyak. Hati kecilnya berbisik, akankah penderitaan ini terus terjadi
tanpa ada jawaban. Tak lama pak Jon datang dari arah yang sama dengan mengendarai
sepeda motor. Sorot matanya mengarah tajam pada inu Mariani yang lagi menggendong
anaknya. Ia kemudian berhenti dan mengambil lembaran uang kertas dalam dompetnya
dan memberikannya kepada ibu Mariani.

Ini ada sdikit rezeki, mudah-mudahan dapat sedikit membantu ekonomi keluarga
ibu. Kata pak Jon dengan lemah lembut

Terimakasih banyak pak, semoga kebaikan bapak berbalaskan rahmat yang banyak
dari tuhan. Ucap ibu Mariani dengan kesih

Pak Jon bergegas mengendarai lagi sepeda motornya. Setibanya di depan rumah, ia
melihat pak Cahya yang sedang asyik membaca koran sambil duduk dengan menikmati
sajian kopi dan makanan didepannya.

Topik apa yang menarik hari ini ? tanya pak Jon

Ini ada berita mengenai pidato seorang pejabat negeri yang menekankan nilai
Pancasila dalam bermasyarakat. Jawab pak Cahya.

Pak Jon sedikit tersenyum sinis mendengar kalimat berita yang disuguhkan koran
pada hari itu.

Yeah, itu hanya nyari panggung saja. Dia bohong. Kata pak Jon

Kenapa bisa begitu ? Pak Cahya bertanya dengan nada yang sedikit kesal.

Lihat saja keadaan sosial masyarakat kita pada hari ini, hidup dalam lingkaran
penderitaan yang terus menerus tanpa henti, terlebih para pemulung, pengampen jalanan
dan masyarakat kelas bawah yang tak tersentuh dengan serius dari pemerintah. Mereka
harus berjuang dengan keras untuk bertahan hidup dalam tiap harinya. Dari mulai fajar
sampai dengan malam mereka terus berjalan di jalanan. Apalagi kebijakan yang diambil
oleh pemerintah sekarang di saat masa pandemi. Kegiatan masyarakat dibatasi tapi makan
sehari-hari tak dia kasihi. Terang pak Jon.

Ia kembali melanjutkan.

Sebenarnya kita juga yang lulusan sarjana, disadari atau tidak, berjuang sendiri
untuk mendapatkan pekerjaan. Tidak ada tempat pelayanan yang disediakan pemerintah
untuk masyarakat yang membutuhkan pekerjaan agar kemudian di fasilitasi agar
mendapatkan pekerjaan yang layak. Disatu sisi para penentu kebijakan (pemerintah)
berteriak dengan keras tentang mantra Pancasila bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Namun faktanya hanya slogan belaka. Mereka menggunakan Pancasila sebagai
topeng untuk menutupi ambisinya sembari berbagi makan dengan para konglemerat
mengeruk kekayaan alam bangsa ini, menarik berbagai subsidi, memperbanyak pajak,
menaikan BBM, mahalnya biaya Pendidikan, sulitnya mencari keadilan hukum, bahkan
untuk biaya kesehatan pun kita harus menanggunya melalui mekanisme PBJS. Sangat
ironis. Tutur pak Jon dengan nada emosi.

Benar juga ya. Jawab pak Cahya sambil merenung

Ya memang benar. Itu merupakan keadaan sosial yang sedang kita rasakan saat ini.
Lihatlah bagaimana lahan-lahan pertanian produktif dialihkan menjadi area industri.
Mereka rajin menanam beton sampe lupa menanam pohon. Maraknya impor pangan
ditengah petani surplus dan yang tak kalah mengagetkan adalah utang negeri ini yang
semakin melambung tinggi. Dan yang bertanggung jawabnya Sebagian besar adalah kita,
rakyat Indonesia lewat sistem pajak yang diberlakukan. Segalanya sebisa mungkin dipajaki.
Bahkan baru-baru ini beredar informasi bahwa Pangan pokok pun akan dikenai pajak.
Sungguh aneh.

Pak Cahya terdiam sambil minum kopi hitam yang sejak tadi sudah mendingin.

Jika Pancasila di ibaratkan manusia, maka saat ini pasti sedang berjerit menangis
dengan tersedu-sedu melihat keadaan Indonesia dan gelagat para pemimpin yang
menjadikan Pancasila sebagai pelumas untuk membohongi rakyat dengan janji-janji
manisnya. Tutup pak Jon dengan nada kesal.

Anda mungkin juga menyukai