Anda di halaman 1dari 5

SMA N 3 KOTA SOLOK

cerpen

Nama : OKTAVIA MEDRI YENI


Kelas : XII IPA 6
Hobi : Masak
Tempat tanggal lahir : Air Dingin, 5 Oktober 1998
Kebahagiaan
Karya : Nisa Azkia

Dirumahku ini, terkadang berisik. Terkadang sepi. Ayah dan Ibu selalu
bertengkar. Terkadang Ibu mencoba meminta maaf, tapi Ayah tidak begitu
peka, masih menyalahkan Ibu. Seolah-olah Ibu melakukan kesalahan besar,
seperti sudah membunuh seseorang. Aku tahu, semua ini hanyalah
kesalahpahaman. Tapi Ayah begitu keras kepala. Aku harus bersabar di
dalam rumah ini. Yang hanya bisa aku lakukan hanyalah bersembunyi di
balik selimut hangatku di dalam kamar. Aku ingin mencoba
menghentikannya, tapi aku tak yakin. Aku terlalu lemah dan takut.

Seperti biasa, aku berangkat sekolah sendirian, walaupun sekolahku


begitu jauh. Oleh karena itu, aku berangkat sekolah jam 6 pagi. Langit masih
agak gelap. Aku menyukai suasana pagi ini. Sepi. Orang-orang masih
bersembunyi dibalik rumah mereka. Embun pagi masih tersisa. Bahkan suara
langkah kakiku yang seharusnya tidak terdengar menjadi terdengar. Ketika
aku sampai di gerbang sekolah, seseorang menepuk pundakku dengan lembut.
Gina. Dia adalah teman sekelasku, tak lebih dari itu. Dia tersenum lebar
menatapku. Aku tak membalas senyuman itu, hanya menatap kosong
wajahnya yang bersinar. “Seperti biasa, pagi-pagi wajahmu masam ya, Ren.”
Aku tak menjawabnya dan melangkah pergi menuju kelasku. Gina
mengikutiku dan mulai bercerita ria tentang pengalamannya. Setiap pagi
selalu seperti ini. Aku dan Gina adalah murid yang memecahkan rekor ‘selalu
datang pagi’.

Pagi ini Gina menceritakan tentang Ibunya yang selalu protes kalau
Ayahnya mendengkur keras setiap malam. Karena Gina selalu bercerita
banyak kepadaku, aku menjadi tahu bagaimana keluarganya. Keluarga Gina
selalu ceria, jarang diselimuti kesedihan. Ayahnya seorang polisi, sedangkan
Ibunya seorang dokter psikiater. Kadang Ayah dan Ibunya sibuk bekerja,
Gina dititipkan ke rumah tantenya. Dia juga akrab dengan keluarga tantenya.
Dia tak pernah sendirian. Dia jarang bersedih. Dia selalu bahagia. Aku iri
kepadanya. “...Jadi, Ren. Hari senin minggu depan itu adalah hari yang
saaaaangat spesial bagiku! Kumohon, datang ya?” Dia menyodorkan kartu
undangan ulangtahunnya yang berwarna merah muda. Dengan spontan, aku
menerima kartu undangan itu.
Wajah Gina semakin bersinar, dia sangat senang, seperti aku sudah
memberinya penghargaan yang sangat langka. Dengan terpaksa aku
menghadiri acara ulang tahunnya yang ke- 11, ulangtahunnya orang yang aku
irikan. Ketika aku tiba di rumahnya, ia langsung berlari menyambutku dan
menyalamiku erat-erat. Aku tak mengerti mengapa ia terlihat begitu senang
berada di dekatku. Padahal aku selalu memasang wajah masam, dan
terkadang aku tak menyimak apa yang ia bicarakan.

Rumah itu sudah dihiasi banyak pita dan balon warna-warni. Yang
lainnya kebingungan kenapa orang yang seperti aku ini diundang ketempat
ulang tahunnya sang bidadari di sekolah. Terlihat dibalik keramaian, kedua
orangtua Gina menatapku dengan tatapan senang. Mereka menghampiriku
dan tersenyum. “Halo, Ren. Terima kasih sudah datang.” Ucap sang Ayah.
Masih memasang tatapan senang. Sang Ibu tampak lebih senang melihatku.
“Gina sudah banyak cerita tentangmu, lo. Katanya, kamu hebat dalam
menulis puisi, itu benar?” Aku menjawab hanya dengan anggukan. Aku tahu,
aku tanpa kikuk di hadapan mereka. Aku berpikir, apa yang telah aku lakukan
sampai mereka mengagumi dan senang kepadaku seperti ini? Aku malu dan
tak mengerti. Di hari itu, aku merasakan betapa hangatnya keluarga ini.

Pesta ulang tahun itu usai sore harinya. Gina dan kedua orangtuanya
mengantarkanku kerumah dengan mobil. “Sampai jumpa besok, Ren!” Gina
melambai ke arah ku, aku hanya membalas dengan senyuman. Dan mobil itu
pergi dari hadapanku. Melihat keluarga yang hangat itu, aku tak berani
memandang kedua orangtuaku. Suasana rumah hari ini... ribut, berisik. Aku
melangkah lebar ke kamarku, sekilas aku melihat ayah memegang beberapa
botol bir, dan ibu menunduk menangis, menutup wajahnya dengan kedua
tangannya yang bergemetaran. Tapi aku tetap pergi melangkah kekamarku
yang gelap.

Dari kamar, aku bisa mendengar perkataan Ayah yang kacau balau
karena minuman keras, tangisan Ibu dan perkataan Ibu yang terus memohon
untuk menghentikan perbuatan Ayah ini. Ayah mulai berjudi. Aku tutupi
kedua telingaku dengan headphone, aku baluti diriku dengan selimut tebalku,
dan menangis. Aku tak sanggup mendengar tangisan Ibu. Walaupun itu hanya
desahan sedih, aku tak tahan mendengarnya. Tangisan Ibu membuatku sedih.
Hari ini Ibu menangis pelan, nyaris tak terdengar, hal ini malah semakin
membuatku sedih. Aku merasakan kesedihan Ibu semakin dalam. Ketika di
pesta ulang tahun tadi aku sadar, mengapa aku tak bisa merasakan
kenyamanan dan kebahagiaan di rumahku sendiri?

Karena itulah, tidak lama aku bersembunyi di kamar, kumatikan mp3


playerku, aku berlari ke tempat Ayah dan Ibu, menengahi mereka, dan
kulindungi Ibuku. Ayah mulai mengangkat botol birnya, segera kuhentikan
pergerakan ayah dengan memeluknya. “Hentikan, Ayah!” Jeritku. Tangis Ibu
semakin pecah dan terus menerus berkata “Hentikan,” Tapi Ibu juga tak
berani mendekati aku dan Ayah. Kata-kata Ayah masih tak jelas, ia meraung
berusaha melepaskanku. Tapi aku tetap bertahan, memeluknya erat. Saat
itulah, botol bir itu mendarat kepadaku. Semuanya menjadi gelap.

Kenapa semuanya menjadi begini? Aku mencoba merubah segalanya


tapi semuanya menjadi semakin berantakan. Kini aku ingat, waktu itu ketika
umurku 7 tahun, Ayah dan Ibu membawaku ke taman. Disana banyak wahana
yang kusukai, Ayah dan Ibu tampak bahagia melihatku. Semuanya terlihat
bahagia waktu itu. Tapi sekarang hal itu telah hilang dari kehidupanku. Andai
aku bisa merubah segalanya. Andai orangtuaku seperti orangtuanya Gina.
Andai aku bisa sebahagia Gina.

Tiba-tiba aku merasakan cahaya menerpa wajahku. Terlalu silau,


kubuka mataku pelan-pelan. Aku dapati langit-langit putih yang tak kukenali.
Sekujur badanku terasa sakit, terutama di kepalaku. Kulihat Ibu terlelap
dengan posisi duduk. Ada bekas air mata di sekitar pipinya. Lalu Ibu
terbangun, terbelalak melihatku. Ia memanggilku dengan suara yang parau
dan memelukku. Ayah tiba dengan membawa beberapa roti ketika Ibu
memelukku. Ayah memasang wajah cemas, yang tak pernah aku lihat
sebelumnya. Aku hanya tersenyum lega, merasakan Ayah dan Ibu bersama
tanpa bertengkar. Mereka sama-sama tersenyum bahagia, memegang erat
tanganku. Terasa hangat.

Dengan begini, aku sangat bahagia. Mungkin, segalanya akan berubah.


Kebahagiaan orangtuaku juga kebahagiaanku. “Terima kasih, Ayah, Ibu.”
Ucapku dengan parau. Aku berterima kasih, karena aku yakin, segalanya akan
berubah. Semuanya akan bahagia. Dengan ini, aku menutup mata untuk
selamanya. Selamat jalan, Ayah, Ibu. Aku sangat bahagia.

SELESAI
Keberadaanmu
Karya : Nisa Azkia

Alunan melodi ini


Dibawa oleh angin, kepadamu
Dengarlah alunan melodi ini
Agar tersampaikan perasaanku kepadamu

Keberadaanmu, senyummu, aku ingat semuanya


Perasaanmu kepadaku, aku ingat semuanya
Kini aku ingin kau berada di sisiku
Mendengar melodi yang kumainkan untukmu

Kutahu, kini kau pergi dari sisiku


Keberadaanmu telah hilang sirna dari kehidupan ku
Kau bawa pergi jejak-jejakmu
Tapi, kini aku ingat akan keberadaanmu

Kini ku mainkan melodi ini untukmu


Agar kau kembali kepadaku
Melodi ini dibawa oleh angin, kepadamu
Membawa kembali keberadaanmu

Anda mungkin juga menyukai