cerpen
Dirumahku ini, terkadang berisik. Terkadang sepi. Ayah dan Ibu selalu
bertengkar. Terkadang Ibu mencoba meminta maaf, tapi Ayah tidak begitu
peka, masih menyalahkan Ibu. Seolah-olah Ibu melakukan kesalahan besar,
seperti sudah membunuh seseorang. Aku tahu, semua ini hanyalah
kesalahpahaman. Tapi Ayah begitu keras kepala. Aku harus bersabar di
dalam rumah ini. Yang hanya bisa aku lakukan hanyalah bersembunyi di
balik selimut hangatku di dalam kamar. Aku ingin mencoba
menghentikannya, tapi aku tak yakin. Aku terlalu lemah dan takut.
Pagi ini Gina menceritakan tentang Ibunya yang selalu protes kalau
Ayahnya mendengkur keras setiap malam. Karena Gina selalu bercerita
banyak kepadaku, aku menjadi tahu bagaimana keluarganya. Keluarga Gina
selalu ceria, jarang diselimuti kesedihan. Ayahnya seorang polisi, sedangkan
Ibunya seorang dokter psikiater. Kadang Ayah dan Ibunya sibuk bekerja,
Gina dititipkan ke rumah tantenya. Dia juga akrab dengan keluarga tantenya.
Dia tak pernah sendirian. Dia jarang bersedih. Dia selalu bahagia. Aku iri
kepadanya. “...Jadi, Ren. Hari senin minggu depan itu adalah hari yang
saaaaangat spesial bagiku! Kumohon, datang ya?” Dia menyodorkan kartu
undangan ulangtahunnya yang berwarna merah muda. Dengan spontan, aku
menerima kartu undangan itu.
Wajah Gina semakin bersinar, dia sangat senang, seperti aku sudah
memberinya penghargaan yang sangat langka. Dengan terpaksa aku
menghadiri acara ulang tahunnya yang ke- 11, ulangtahunnya orang yang aku
irikan. Ketika aku tiba di rumahnya, ia langsung berlari menyambutku dan
menyalamiku erat-erat. Aku tak mengerti mengapa ia terlihat begitu senang
berada di dekatku. Padahal aku selalu memasang wajah masam, dan
terkadang aku tak menyimak apa yang ia bicarakan.
Rumah itu sudah dihiasi banyak pita dan balon warna-warni. Yang
lainnya kebingungan kenapa orang yang seperti aku ini diundang ketempat
ulang tahunnya sang bidadari di sekolah. Terlihat dibalik keramaian, kedua
orangtua Gina menatapku dengan tatapan senang. Mereka menghampiriku
dan tersenyum. “Halo, Ren. Terima kasih sudah datang.” Ucap sang Ayah.
Masih memasang tatapan senang. Sang Ibu tampak lebih senang melihatku.
“Gina sudah banyak cerita tentangmu, lo. Katanya, kamu hebat dalam
menulis puisi, itu benar?” Aku menjawab hanya dengan anggukan. Aku tahu,
aku tanpa kikuk di hadapan mereka. Aku berpikir, apa yang telah aku lakukan
sampai mereka mengagumi dan senang kepadaku seperti ini? Aku malu dan
tak mengerti. Di hari itu, aku merasakan betapa hangatnya keluarga ini.
Pesta ulang tahun itu usai sore harinya. Gina dan kedua orangtuanya
mengantarkanku kerumah dengan mobil. “Sampai jumpa besok, Ren!” Gina
melambai ke arah ku, aku hanya membalas dengan senyuman. Dan mobil itu
pergi dari hadapanku. Melihat keluarga yang hangat itu, aku tak berani
memandang kedua orangtuaku. Suasana rumah hari ini... ribut, berisik. Aku
melangkah lebar ke kamarku, sekilas aku melihat ayah memegang beberapa
botol bir, dan ibu menunduk menangis, menutup wajahnya dengan kedua
tangannya yang bergemetaran. Tapi aku tetap pergi melangkah kekamarku
yang gelap.
Dari kamar, aku bisa mendengar perkataan Ayah yang kacau balau
karena minuman keras, tangisan Ibu dan perkataan Ibu yang terus memohon
untuk menghentikan perbuatan Ayah ini. Ayah mulai berjudi. Aku tutupi
kedua telingaku dengan headphone, aku baluti diriku dengan selimut tebalku,
dan menangis. Aku tak sanggup mendengar tangisan Ibu. Walaupun itu hanya
desahan sedih, aku tak tahan mendengarnya. Tangisan Ibu membuatku sedih.
Hari ini Ibu menangis pelan, nyaris tak terdengar, hal ini malah semakin
membuatku sedih. Aku merasakan kesedihan Ibu semakin dalam. Ketika di
pesta ulang tahun tadi aku sadar, mengapa aku tak bisa merasakan
kenyamanan dan kebahagiaan di rumahku sendiri?
SELESAI
Keberadaanmu
Karya : Nisa Azkia