Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

2.1 Latar Belakang

Qawaidul Fiqhiyyah berarti dasar-dasar yang berhubungan dengan masalah-masalah


atau jenis-jenis hukum (fikih) sebagaimana yang telah disebutkan dalam materi yang telah
lampau. Qawaidul fiqhiyyah ini mencakup kaidah – kaidah asasi dan ghairu asasi. Qawaid
fiqhiyyah asasiyyah yaitu kaidah pokok dari segala kaidah fiqh yang ada. Kaidah ini
dipergunakan untuk menyelesaikan masalah furuiyyah. Sedangkan qawaid fiqhiyyah ghairu
asasiyyah berarti kaidah-kaidah umum fikih yang bukan kaidah asasiyyah seperti yang
diuraikan sebelumnya. Kaidah tersebut adalah kaidah-kaidah umum yang ruang lingkup dan
cakupannya luas. Kaidah ini berlaku dalam berbagai cabang hukum fikih.
Qawaid fiqhiyyah ghairu asasiyyah dibagi menjadi dua bagian, yaitu kaidah ghairu
asasiah muttafaq ‘alaih ( yang tidak dipertentangkan ), dan kaidah ghairu asasiah
mukhtalafah fiha ( yang dipertentangkan ). Adapun kaidah ghairu asasiah yang tidak
dipertentangkan banyaknya ada empatpuluh kaidah. Kaidah ini tidak asasi, tetapi
keberadaannya tetap didudukkan sebagai kaidah yang penting dalam hukum islam, karena itu
dalam kalangan fuqaha sepakat kehujjahan kaidah ini. Tentu saja kaidah ini tidak terlepas
dari sumber hukum , baik alquran maupun al sunnah. Karena itulah kaidah ini disebut sebagai
kaidah kulliah ( kaidah universal ).

2.2 Rumusan Masalah

1. Apa penjelasan dari kaidah ghairu assasiyah?


2. Ada berapa bagian dalam kaidah ghairu assasiyah?
3. Bagaimana Penjelasan dari salah satu Kaidah?
4. Bagaimana contoh kasus di masyarakat yang di kaitkan dengan kaidah tersebut?

1
2.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui lebih jelas penjelasan dari kaidah ghairu assasiyah.


2. Untuk mengetahui berapa bagian dalam kaidah ghairu assasiyah.
3. Untuk mengetahui Penjelasan dari salah satu Kaidah.
4. Untuk mengetahui contoh kasus di masyarakat yang di kaitkan dengan kaidah tersebut.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kaidah Ghairu Asasi

Kaidah ghairu asasi termasuk dalam kategori kaidah fikih, bukan kaidah ushul. Kaidah fikih
adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian
digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru timbul, yang tidak jelas
hukumnya dalam nash.1 Sebelum mengetahui apa makna atau arti dari kaidah ghairu asasi,
perlu diketahui apa makna kaidah asasi itu sendiri. Kaidah Asasi atau yang terkenal juga
dengan sebutan al-Qawaid al-Khamsah adalah lima kaidah yang mencakup hampir seluruh
kaidah fikih.

Menurutpenulis, Kaidah Ghairu Asasi adalah kaidah-kaidah yang bukan asasi. Dapat juga
diartikan dengan kaidah-kaidah yang ruang lingkupnya di bawah kaidah asasi. Karena di
bawah kaidah asasi, maka cakupan Kaidah ghairu asasi berkurang dan tentu jumlahnya lebih
banyak daripada kaidah asasi.

2.2 Pembagian Kaidah Ghairu Asasi

Banyaknya kaidah ghairu asasi membuat para ahli qawaid membaginya beberapa macam
pembagian. Menurut Djazuli dalam ‘Kaidah-Kaidah Fikih’, pembagian kaidah fikih
berdasarkan ruang lingkup dan cakupannya bisa dibagi sebagai berikut2:
Pertama, kaidah inti yaitu meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan dengan
meminjam istilah Izzudin ibnu Abd al-Salam, “Jalbu al-Mashalih wa Daf’u al-Mafasid.”
Kedua, kaidah-kaidah asasi, yaitu kaidah-kaidah fikih yang lima telah dijelaskan beserta
cabang-cabangnya oleh para pemakalah lain sebelumnya (al-Qawaid al-Asasiyah).
Ketiga, kaidah-kaidah umum, yaitu kaidah-kaidah fikih yang ada di bawah kaidah-kaidah
asasi yang lima. (al-Qawaid al-‘Ammah)

1
A Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, cet III (Jakarta: Kencana, 2010) hlm 4
2
Ibid., hlm 89

3
Keempat, kaidah-kaidah khusus, yaitu kaidah-kaidah yang khusus berlaku dalam bidang
hukum tertentu seperti dalam ibadah mahdhah, muamalah, munakahat, dan jinayah. (al-
Qawaid al-Khashshah)
Kelima, kaidah yang merupakan bagian dari kaidah yang disebut nomor empat, yaitu bagian
dari ibadah, seperti tentang shalat saja, bisaa disebut al-Qawaid al-Tafshiliyah.
Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah wa-Nadzair, membagi kaidah fikih dalam
tiga bagian: al-Qawaid al-Khamsah, Qawaid Kulliyah, dan al-Qawaid al-Mukhtalaf fiha.

2.3 kaidah Ghairu Asasi

‫االجْ تِهَا ُد اَل يُ ْنقَضُ بِااْل ِ جْ تِهَا ِد‬-


ِ ١
“Ijtihad yang telah lalu tidak dibatalkan oleh ijtihad kemudian.”
Maksud kaidah ini adalah suatu ijtihad di masa lalu, tidak berubah karena hasil ijtihad baru
dalam suatu kasus hukum yang salam. Alasannya karena hasil ijtihad yang kedua tidak berarti
lebih kuat dari hasil ijtihad yang pertama. Apabila hasil ijtihad yang pertama harus dibatalkan
oleh yang kedua maka akan menimbulkan ketidakadilan hukum.

2.4 Contoh Kasus Yang Terjadi Dimasyarakat

seorang hakim pengadilan Negeri Sumber dengan ijtihadnya menjatuhkan hukuman kepada
seorang berinisial “AR” 28 tahun warga desa karang anyar, sumber pelaku kejahatan yang
dijatuhi hukuman tujuh tahun. Kemudian dalam kasus yang sama, Seorang berinisial “WA”
35 tahun warga desa babakan kidul melakukan tindak kejahatan, tetapi hakim Pengadilan
Negeri Sumber menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup, karena ada pertimbangan-
pertimbangan lain dari si hakim yang berbeda dengan pertimbangan pada pelaku pertama.
Jadi bukan keadilannya yang berbeda, tetapi pertimbangan keadaan dan hukumnya berbeda,
maka hasil ijtihadnya pun berubah, meskipun kasusnya sama, misalnya korupsi. Sudah tentu
kaidah iniada kekecualiannya, yaitu apabila jelas-jelas ijtihadnya itu salah, karena menyalahi
sumber hukum.

4
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Qawaidul Fiqhiyyah berarti dasar-dasar yang berhubungan dengan masalah-masalah
atau jenis-jenis hukum (fikih) sebagaimana yang telah disebutkan dalam materi yang telah
lampau. Qawaidul fiqhiyyah ini mencakup kaidah – kaidah asasi dan ghairu asasi. Qawaid
fiqhiyyah asasiyyah yaitu kaidah pokok dari segala kaidah fiqh yang ada. Kaidah ini
dipergunakan untuk menyelesaikan masalah furuiyyah. Sedangkan qawaid fiqhiyyah ghairu
asasiyyah berarti kaidah-kaidah umum fikih yang bukan kaidah asasiyyah seperti yang
diuraikan sebelumnya. Kaidah tersebut adalah kaidah-kaidah umum yang ruang lingkup dan
cakupannya luas. Kaidah ini berlaku dalam berbagai cabang hukum fikih.
Kaidah ghairu asasi termasuk dalam kategori kaidah fikih, bukan kaidah ushul. Kaidah
fikih adalah kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian
digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru timbul, yang tidak jelas
hukumnya dalam nash. Sebelum mengetahui apa makna atau arti dari kaidah ghairu asasi,
perlu diketahui apa makna kaidah asasi itu sendiri. Kaidah Asasi atau yang terkenal juga
dengan sebutan al-Qawaid al-Khamsah adalah lima kaidah yang mencakup hampir seluruh
kaidah fikih.

‫االجْ تِهَا ُد اَل يُ ْنقَضُ بِااْل ِ جْ تِهَا ِد‬-


ِ ١
“Ijtihad yang telah lalu tidak dibatalkan oleh ijtihad kemudian.”
Maksud kaidah ini adalah suatu ijtihad di masa lalu, tidak berubah karena hasil ijtihad baru
dalam suatu kasus hukum yang salam. Alasannya karena hasil ijtihad yang kedua tidak berarti
lebih kuat dari hasil ijtihad yang pertama. Apabila hasil ijtihad yang pertama harus dibatalkan
oleh yang kedua maka akan menimbulkan ketidakadilan hukum.

5
DAFTAR PUSTAKA

A Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, cet III Jakarta: Kencana, 2010.

Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah Kaidah – Kaidah Hukum Islam, Jakarta : Gaya
Media Pratama, 2008.

`Abd al-Rahmân Jalâluddîn al-Suyûthiy, al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, (Beirut: Dâr al-Kutub al-


`Ilmiyah, 1990

Anda mungkin juga menyukai