Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Risiko dapat didefinisikan sebagai suatu kemungkinan akan terjadinya hasil yang tidak
diinginkan, yang dapat menimbulkan kerugian apabila tidak diantisipasi serta tidak dikelola
semestinya. Risiko dalm bidang perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik yang
dapat diperkirakan (anticipatied) maupun tidak dapat diperkirakan (unancipatied) yang
berdampak negatif pada pendapatan maupun permodalan bank. Risiko-risiko tersebut tidak
dapat dihindari namun dapat dikelola dan kedalikan. Risiko ini haruslah dimanajemen
sedemikian rupa untuk dapat diminimalisir potensi terjadinya.
Setiap perbankan bukan hanya dibank konvensional tapi juga di perbankan syariah akan
selalu berhadapan dengan berbagai macam risiko baik itu eksternal maupun internal yang
melekat pada perusahaan. Seperti juga perbankan pada umumnya, maka bank syariah juga
memerlukan prosedur dan tata kelola yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur,
memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha yang dilakukannya,
yang disebut sebagai manajemen risiko.
Proses manajemen risiko merupakan sistem yang komprehensif yang meliputi
penciptaan lingkungan manajemen risiko yang kondisif, memelihara pengukuran risiko yang
efesien, proses mitigasi dan monitoring, serta menciptakan sistem kontrol internal yang
memadai.
Seiring dengan pertumbuhan perbankan syariah yang sedemikian pesat, maka
manajemen risiko menjadi sesuatu yang penting untuk dikelola dengan baik. Risiko dan bank
adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainya, tanpa adanya keberanian untuk
mengambil risiko maka tidak akan pernah ada bank, hal tersebut dapat dipahami bahwa
bahwa bank muncul karena keberanian untuk berisiko dan bahkan bank mampu bertahan
karena berani mengambil risiko. Namun jika risiko tersebut tidak dikelola dengan baik, bank
dapat mengalami kegagalan bahkan pada akhirnya mengalami kebangkrutan.
Selanjutnyua, dalam makalah ini akan dijelaskan lebih lanjut tentang manajemen risiko,
dan apa saja jenis dari risiko pada bank syariah, serta proses dari dari manajemen risiko
tersebut.

BAB  II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Manajemen Risiko Perbankan Syari’ah


Secara etimologi (bahasa) manajemen adalah penertiban, pengaturan, pengurusan, dan
perencanaan.sedangkan secara terminologi manajemen adalah suatu aktivitas menyangkut
kepemimpinan, pengarahan, pengembangan personal, perencanaan, dan pengawasan terhadap
pekerjaan yang berkenaan dengan unsur-unsur pokok dalam suatu proyek.
 Adapun risiko adalah kemungkinan penyimpangan dari hasil yang diharapkan.
[1]
 Selain itu, ada pula yang mendefinisikan risiko sebagai ketidakpastian akan sesuatu yang
mempengaruhi kesejahteraan seseorang. Risiko sangat berkaitan erat dengan return atau
tingkat keuntungan, yaitu selisih antar harga jual dan harga beli, ditambah kas lain seperti
dividen. Dalam pasar sempurna dan efisien, akan berlaku hukum hubungan positif antara
return dan risiko. Semakin tinggi risiko, maka akan semakin tinggi tingkat keuntungan yang
diharapkan, begitu pula sebaliknya.
 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa manajemen risiko dalam perbankan
syariah adalah suatu upaya yang dilakukan oleh bank syariah untuk mengatur dan mengawasi
risiko dengan tujuan meminimalisir risiko agar hasil yang ditargetkan dapat tercapai dengan
cara efektif dan efisien. [2]

B.     Karakter Manajemen Risiko dalam Bank Islam

Manajemen risiko dalam bank Islam mempunyai karakter yang berbeda dengan bank
konvensional, terutama karena adanya jenis-jenis resiko yang khas melekat pad bank-bank
yang beroprasi secara syariah. Dengan kata lain, perbedaan mendasar antara bank islam
dengan bank konvensional bukan terletak pada bagaimana cara mengukur, melainkan pada
apa yang dinilai.[3]
Adapun karakter manajemen risiko pada bank Islam, adalah :
1.      Identifikasi Risiko
Identifikasi risiko yang dilakukan dalam bank Islam tidak hanya mencakup berbagai
risiko yang ada pada bank pada umumnya, melainkan juga meliputi risiko yang khas hanya
ada pada bank-bank yang beroprasi berdasarkan prinsip syariah. Dalam hal ini, keunikan
bank Islam terletak pada enam hal, yaitu :
·         Proses transaksi pembiayaan,
·         Proses manajemen,
·         Sumber daya manusia (insani),
·         Teknologi,
·         Lingkungan eksternal,
·         Kerusakan.

2.      Penilaian Risiko


Dalam penilaian risiko, keunikan bank Islam terlihat pada hubungan
antara probability dan impact, atau biasa dikenal sebagai Qualitative Approach.

3.      Antisipasi Risiko


Antisipasi risiko dalam bank islam bertujuan untuk :
·         Preventive. Dalam hal ini, bank islam memerlukan persetujuan DPS untuk mencegah
kekeliruan proses dan transaksi dari aspek syariah. Disamping itu, bank islam juga
memerlukan opini bahwa fatwa DSN bila bank Indonesia memandang persetujuan DPS
belum memadai atau berada diluar wewenang.
·         Detective. Pengawasan dalam bank islam meliputi dua aspek, yaitu aspek perbankan oleh
bank Indonesia dan aspek syariah oleh DPS.
·         Recovery. Koreksi atau suatu permasalahan dapat melibatkan bank Indonesia untuk aspek
perbankan dan DSN untuk aspek syariah.

4.      Monitoring Risiko


Aktivitas dalam bank islam tidak hanya meliputi manajemen bank islam, tetapi juga
melibatkan Dewan Pengawas Syariah.[4]

C.    Karakteristik Risiko Perbankan Syariah

Perbedaan antara rumusan teoritis dan realita dari perbankan syariah dapat
diidentifikasikan dengan jelas. Secara teoritis, para ekonom muslim menjelaskan bahwa pada
sisi liabilitas, bank syariah hanya memiliki dan investasi (investment deposit). Sedangkan
pada sisi aset, dana investasi ini selanjutnya akan disalurkan melalui bagi hasil (profit
sharing). Berdasarkan sistem ini, gejolak yang terjadi pada sisi aset, secara otomatis
ditompang oleh  konsep berbagi risiko (risk sharing) sebagai karakteristik dari dana investasi.
Dengan demikian, secara teoritis perbankan syariah menawarkan alternatif yang lebih stabil
dibandingkan sistem perbarbankan konvensional.Adapun karakteristik sistemik dari sistem
ini adalah sebanding dengan risiko yang melekat pada reksadana (mutual fund).
Fokus perhatian dari studi ini adalah pada aspek praktik perbankan syariah.
Bagaimanapun, praktik perbankan syariah tidaklah sama dengan apa yang ada dalam
teori.       Pada sisi aset, ivestasi dapat dilakukan melalui model pembiayaan berbasis bagi
hasil (mudharabah dan musyarakah) dan model pembiayaan berbasis pendapatan tetap (fix
income), seperti murabahah (jual beli dengan mark-up), jual beli dengan cicilan
(murabahah jangka menengah/panjang), istishna’/salam (penyerahan objek jual beli
ditangguhkan atau pembayaran dimuka) dan ijarah (sewa-menyewa). Dana hanya disediakan
untuk membiayai aktivitas bisnis yang sesuai dengan prinsip syariah. Sementara disisi
liabilitas, dana pihak ketiga dapat dihimpun dalam bentuk rekening giro (current account)
dan rekening investasi (investment account). Jenis dana yang pertama dalam bank syariah
adalah qard hasan (pinjaman tanpa bunga) atau amanah (kontrak kepercayaan). Dana
tersebut harus dikembalikan secara penuh kepada deposan atas unjuk(giro). Sedang deposan
investasi akan menerima imbalan berdasarkan skema profit and loss sharing (PLS) dan dana
tersebut ikut berbagi dalam risiko oprasional bank. Penerapan konsep bagi hasil kepada
deposan merupakan karakteristik unik bank syariah.Karakteristik ini bersama-sama dengan
variasi model pembiayaan dan kepatuhan pada prinsip-prinsip syariah, telah mengubah
karakteristik risiko yang dihadapi oleh bank syariah.[5]

D.    Risiko-Risiko Yang Dihadapi Perbankan Syari’ah

Berdasarkan PBI Nomer 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Resiko bagi


Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Terdapat sepuluh jenis risiko yang dihadapi
bank Islam, yaitu: risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko hukum, risiko reputasi,
risiko strategis, risiko kepatuhan, risiko imbal hasil, dan risiko investasi.  Delapan risiko
pertama merupakan risiko umum yang juga dihadapi oleh bank konvensional. Sedangkan dua
risiko terakhir merupakan risiko unik yang khusus dihadapi oleh bank Islam.

1.       Risiko Kredit (Credit Risk)


            Risiko kridit muncul akibat kegagalan nasabah atau pihak lain dalam memenuhi
liabilitas kepada bank islam sesui kontrak. Risiko ini disebut juga risiko gagal bayar (default
risk), risiko pembiayaan (fnancing risk), risiko penurunan  rainting (downgranding risk), dan
risiko penyelesaiaan (settlementrisk). Termasuk dalam kelompok risiko kredit yaitu risiko
konsentrasi pembiayaan.
Risiko konsentrasi timbul akibat terkonsentrasinya penyaluran dana kepada satu pihak
atau sekelompok pihak, industri, sektor, dan atau area geografis tertentu yang berpotensi
menimbulkan kerugian cukup besar dan dapat mengancam kelangsungan  bisnis bank islam.
Risiko konsentrasi ini terkait dengan strategi diversifikasi pengolaan portofolio pembiayaan
bank.
Risiko kredit yang dihadapi oleh bank islam sangat terkait dengan bentuk akad
pembiayaan. Pada akad murabahah atau istishna’. Risiko kredit terjadi saat bank islam telah
menyelamatkan aset kepada debitur tetapi tidak menerima pembayaran tepat waktu pada
akad salam, risiko kredit terjadi karena kegagalan debitur mengirim barang (komoditas) tepat
waktu atau gagal menyerahkan barang sesuai spesifikasi sebagaimana dinyatakan dalam
kontrak. Sedangkan pada investasi murabahah, risiko kredit terkait kemampuan
menghasilkan keuntungan dari debitur atau masalah keagenan yang muncul akibat adanya
ketidaksimetrisan informasi. Bank islam sebagai pemilik (principal) dan
debitur (mudharib)sebagai agen. [6] Sumber dana bank tidak memberikan pengaruh langsung
atas risiko kreditnya, sebab walaupun deposan dan pemberi pinjaman menanggung risiko
bank namun tidak membayar risiko tersebut. Tetapi pengaruhnya tidak langsung terlihat.
Deposan dan pemberi pinjaman mungkin cemas akan kemampuan bank membayar klaim
mereka tepat pada waktunya.[7]
Secara umum, ada tiga jenis kebijakan yang terkait dengan manajemen risiko kredit.
Kebijakan pertama bertujuan membatasi atau mengurangi risiko kredit. Ini termasuk
kebijakan pada konsentrasi dan pemaparan besar, diversifikasi, pinjaman kepada pihak
terkait, dan kebijakan pemaparan. Kebijakan kedua bertujuan mengklasifikasikan aset.  Hal
ini mengamanatkan evaluasi berkala terhadap kolektibilitas portofolio instrumen kredit.
Kebijakan ketiga bertujuan untuk kerugian provisi atau membuat tunjangan pada tingkat
yang memadai untuk menyerap kerugian yang dapat di antisipasi.[8]

2.      Risiko Pasar (market risk)

Risiko yang muncul disebabkan oleh adanya pergerakan variabel pasar (adverse
movement) dari portofolio yang dimiliki yang dapat merugikan bank.Variabel pasar dalam hal
ini adalah suku bunga dan nilai tukar termasuk derivasi dari kedua jenis risiko pasar tersebut
yaitu perubahan option.
Risiko pasar antara lain terdapat pada aktifitas bank, seperti kegiatan treasury dan investasi
dalam bentuk surat berharga dan pasar uang maupun penyertaan pada lembaga keungan
lainnya, penyediaan dana (pinjaman dan bentuk sejenis), dan kegiatan pendanaan dan
penerbitan surat utang, serta kegiatan pembiayaan perdagangan.[9]

3.      Risiko Likuiditas (liquidity risk)

Risiko likuiditas terjadi akibat ketidakmampuan bank islam dalam memenuhi


liabilitas yang jatuh tempo, untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya, bank dapat
menggunakan sumber pendanaan arus kas dan aset likuid berkualitas tinggi yang dapat
digunakan tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank.
Likuiditas secara luas dapat didefinisikan sebagai kemampuan bank memenuhi
kebutuhan dana (cash flow) dengan segera dan dengan biaya yang normal. Likuiditas penting
bagi bank untuk menjalankan transaksi bisnisnya sehari-hari, mengatasi kebutuhan dana yang
mendesak, memuaskan permintaan nasabah akan pinjam dan memberikan flekssibilitas dalam
meraih kesempatan investasi menarik dan menguntungkan.[10]
Ada kemungkinan deposan atau pemberi pinjaman sewaktu-waktu menarik dananya.
Dua sumber potensial untuk deposit yang terkait dengan likuiditas akan ditinjau dalam bagian
ini. Pertama, mungkin suatu bank mampu menarik dana lebih banyak, karena tingkat bunga
yang ditawarkan cukup tinggi dibandingkan bank pesaing. Kedua, bila bank meminjam dana
dari suatu perusahaan broker dengan bunga yang tinggi.[11]

4.      Risiko Hukum (legal risk)


Risiko hukum muncul akibat adanya tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek
yuridis. Risiko ini timbul, antara lain, karena adanya tuntutan secara hukum dan ketidakan
peraturan perundangan-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan, seperti tidak
dipenuhinya syarat sahnya kontrak atau pengikatan agunan yang tidak sempurna. Risiko ini
tidak berbeda dengan yang dialami oleh bank konvensional.

5.      Risiko Reputasi (reputation risk)


Risiko yang disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan
usaha bank atau persepsi negatif dari masyarakat terhadap bank.
6.      Risiko Strategik (strategic risk)
Risiko yang disebabkan adanya penetapan dan  pelaksanaan strategi bank yang tidak
tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank terhadap
perubahan eksternal.

7.      Risiko Kepatuhan (compliance risk)


Risiko kepatuhan muncul akibat bank tidak memenuhi dan tidak melaksanakan
peraturan perundang-undangan, ketentuan yang berlaku, dan berprinsip syariah. Selain harus
memenuhi semua regulasi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana
pada bank konvensional, bank islam diharuskan memenuhi prinsi-prinsip syariah dalam
aktivitas bisnis. Bank islam harus benar-benar beroperasi murni berdasarkan syariat islam.
Islam harus menjadi identitas bank yang mewarnai kegiatan operasional dan bisnis bank
islam. Kepatuhan terhadap peraturan syariah harus menjadi fitur utama dalam perbankan
islam. Ketidakpatuhan terhadap syariah akan membawa dampak negatif bagi bank islam.
Bank islam akan kehilangan citra dan karakter kunci yang membedakannya dengan bank
konvensional. Rusaknya reputasi akan menyebabkan bank islam kehilangan nasabah
loyalitas. Dimana nasabah ini memilih bank islam lebih karena unsur kesyariahan yang
seharusnya melekat pada bank islam.

8. Risiko Imbal Hasil


Risiko imbal hasil terjadi akibat perubahan tingakat imbal hasil yang dibayarkan bank
kepada nasabah dan memengaruhi perilaku nasabah. Risiko ini muncul sebagai akibat
terjadinya perubahan tingkat imbal hasil yang diterima bank dari penyaluran dana ke debitur.
Bagi nasabah rasional, terjadinya perubahan ekspektasi imbal hasil akan mempengaruhi
perilakunya. Perubahan ekspektasi ini dapat disebabkan oleh faktor internal, seperti
menurunnya nilai aset bank, turunnya pendapatan bagi hasil bank dari debitur, dan gagalnya
bayarnya debitur, dan faktor eksternal, seperti naiknya imbal hasil yang ditawarkan bank lain.

9.     Risiko Investasi
Risiko investasi muncul akibat bank ikut menanggung kerugian usaha debitur yang
dibiayai dalam pembiayaan berbasis bagi hasil. Berdasarkan fatwa DSN MUI, perhitungan
bagi hasil tidak hanya didasarkan atas jumlah pendapatan atau penjualan yang diperoleh
debitur, namun telah dikurangi dengan biaya pokoknya. Risiko investasi ini makin besar jika
basis bagi hasilnya berdasarkan atas operasi atau laba neto usaha debitur. jika sampai usaha
debitur bangkrut, bank dapat kehilangan pokok pembiayaan yang diberikan kepada debitur.

10. Risiko Mata Uang


Tanggung jawab untuk menentukan kebijakan (policy-setting responsibilities).
Terdapat banyak aktifitas bank yang melibatkan pengambilan risiko, tetapi hanya sedikit
aktifitas yang dilakukan bank ketika mengalami kerugian dengan begitu cepat seperti dalam
transaksi valuta asing yang tidak di ketahui. Inilah yang menjadi penyebab mengapa
manajemen risiko mata uang harus mendapatkan perhatian dari manajemen senior dan dewan
bank tersebut. Direksi harus menetapkan tujuan dan prinsip-prinsip manajemen risiko mata
uang. Hal ini secara khusus harus mencakup penetapan batasan-batasan yang tepat terhadap
risiko yang diambil oleh bank dalam bisnis valuta asing dan menetapkan langkah-langkah
untuk memastikan bahwa ada prosedur kontrol internal yang tepat mencakup bidang bisnis
bank ini.[12]

E.     Proses Manajemen Risiko


Untuk dapat menerapkan proses manajemen risiko, pada tahap awal bank syariah harus
secara tepat mengenal, memahami serta mengidentifikasi seluruh risiko, baik yang sudah ada
maupun yang mungkin timbul dari suatu bisnis baru bank. Selanjutnya, secara berturut-turut
bank syariah perlu melakukan pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko. Proses ini
terus berkesinambugan sehingga menjadi sebuah lifecycle.
Dalam pelaksanaannya, proses ini melalui langkah-langkah berikut :
·         Identifikasi risiko, dilaksanakan dengan melakukan analisis terhadap karakteristik
risiko yang melekat pada aktivitas fungsional, risiko terhadap produk dan kegiatan usaha.
·         Pengukuran risiko, dilaksanakan dengan melakukan evaluasi secara berkala terhadap
kesesuaian asumsi, sumber data dan prosedur yang digunakan untuk mengukur risiko.
Penyempurnaan terhadap system pengukuran risiko dilakukan apabila terdapat perubahan
kegiatan usaha, produk, transaksi dan faktor risiko yang bersifat material.
·         Pemantau risiko, dilaksanakan dengan melakukan evaluasi terhadap eksposure risiko.
Penyempurnaan proses pelaporan terhadap perubahan kegiatan usaha, produk, transaksi,
faktor risiko, teknologi informasi dan system informasi manajemen yang berifat material.[13]

F.      Penerapan Manajemen Risiko pada Bank Syariah


Secara historis penerapan manajemen risiko pada bank syariah, dalam hal ini BI sendiri
baru mulai menerapkan aturan perhitungan capital adequacy ratio (CAR) pada bank sejak
1992. Sementra itu, bank dengan prinsip syariah lahir pertama kali di-Indonesia pada tahun
yang sama. Jadi jika dilihat dari usia system perbankan syariah, hal ini merupakan tantangan
yang berat.
Bank syariahpun akan sangat sulit mengikuti konsep yang telah dijalankan perbankan
konvensional dalam hal manajemen risiko, mengingat perbankan konvensional membutuhkan
waktu yang panjang untuk membangun system dan mengembangkan teknik manajemen
risiko.
Dilain pihak, oprasi bank syariah memiliki karakteristik dan perbedaan yang sangat
mendasar jika dibandingkan dengan bank konvensional, sementara manajemen risiko juga
harus diimplementasikan oleh bank syariah agar tidak hancur dihantam risiko.
Maka cara yang paling cepat dan efektif adalah mengadopsi system manajemen risiko
bank konvensional yang disesuaikan dengan karakteristik perbankan syariah, inilah yang
dilakukan BI sebagai regulator perbankan nasional yang akan menerapkan juga bagi bank
syariah.
Dalam hal ini Islamic Financial Services Board (IFSB) telah merumuskan prinsip-
prinsip manajemen risiko bagi bank dan lembaga keuangan yang berprinsip syariah.
Disebutkan bahwa bahwa kerangka manajemen risiko lembaga keuangan syariah mengacu
pada Basel Accord II,[14](yang juga diterapkan perbankan konvensional) dan disesuaikan
dengan karakteristik lembaga keuangan dengan prinsip syariah.
Secara umum risiko yang dihadapi perbankan syariah bias diklasifikasikan menjadi dua
bagian besar, yakni risiko yang sama dengan yang dhadapi oleh perbankan konvensional dan
risiko yang memiliki keunikan tersendiri karena harus mengikuti prinsip-prinsip syariah.
Resiko kredit, risiko pasar, risiko oprasional, risiko likuiditas, dan risiko hukum harus
dihadapi bank syariah tetapi, karena harus mematuhi aturan, risiko-risiko yang dihadapi bank
syariah pun menjadi berbeda.
Bank syariah juga harus menghadapi risiko-risiko lain yang unik (khas).Risiko unik ini
muncul karena isi neraca bank syariah yang berbeda dengan bank konvensional. Dalam hal
ini pola bagi hasil (profit and loss sharing) yang dilakukan bank syariah menambah
kemungkinan munculnya risiko-risiko lain.
Seperti withdrawal risk, fiduciary risk, dan displaced commercial risk merupakan contoh
risiko unik yang harus dihadapi bank syariah.Karakteristik ini bersama-sama dengan variasi
modal pembiayaan dan kepatuhan pada prinsip-prinsip syariah.
Withdrawal risk, adalah risiko penarikan dana yang disebabkan oleh deposan bila
keuntungan yang mereka terima lebih rendah dari tingkat return. Fiduciary risk sebagai
risiko yang secara hokum bertanggung jawab atas pelanggaran kontrak investasi baik
ketidak sesuaiannya dengan dengan ketentuan syariah atau salah kelola (mismanagement)
terhadap dana investor.Displaced commercial risk adalah transfer risiko yang berhubungan
dengan simpanan kepada pemegang ekuitas.Risiko ini bisa muncul ketika bank berada
dibawah tekanan untuk mendapatkan profit, namun bank justru harus memberikan sebagian
profitnya kepada deposan akibat rendahnya tingkat return.
Dalam pengembangannya kedepan, perbankan syariah menghadapi tantangan yang tidak
ringan sehubungan dengan penerapan manajemen risiko ini, seperti pemilihan instrument
finansial yang sesuai dengan prinsip syariah, termasuk juga instrument pasar uang yang bisa
digunakan untuk melakukan hedging (lindung nilai) terhadap risiko.
Oleh karena BI dan IFSB mengacu pada aturan Bassed Accor II, maka pemahaman yang
matang mengenai manajemen risiko  bank konvensional akan sangat membantu penerapan
manajemen risiko dibank syariah.[15]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Manajemen risiko dalam bank Islam mempunyai karakter yang berbeda dengan bank
konvensional, terutama karena adanya jenis-jenis resiko yang khas melekat pad bank-bank
yang beroprasi secara syariah. Dengan kata lain, perbedaan mendasar antara bank islam
dengan bank konvensional bukan terletak pada bagaimana cara mengukur, melainkan pada
apa yang dinilai
Jenis-jenis risiko yang dihadapi oleh perbankan nantaranya :
·         Risiko kredit atau pembiayaan
·         Risiko Pasar (market risk)
·         Risiko Oprasional
·         Risiko Likuiditas (liquidity risk)
·         Risiko Hukum (legal risk)
·         Risiko Reputasi (reputation risk)
·         Risiko Strategik (strategic risk)
·         Risiko Kepatuhan (compliance risk)
·         Risiko Modal (capital risk)

[1] 
Mamduh M. Hanafi,Manajemen Keuangan, Jakarta: Salemba Empat, 2005
[2]
 Arifin, Zainul, Dasar-dasar Manajemen Bank Syari’ah, Edisi Revisi, Jakarta: Pustaka
Alvabet, 2006 hlm 82
[3]
 Adiwarman, A. karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, cet. 3 (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2006)
[4] 
Ibid
[5] 
Tariqullah, Khan, Habib Ahmed, Manajemen Risiko Lembaga Keuangan Syariah,
( Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 2-3
[6] 
Imam Wahyudi. Manajemen Risiko Bank Islam. Jakarta. Salemba Empat. 2013. Hlm 25-26
[7] 
Herman Darmawi, Manajemen Perbankan, Bumi aksara,Jakarta:2011.hlm. 83
[8] 
Hennie Van Greuning dan Sonja Bracovic Bratanovic, Analisis Risiko Perbankan, Salemba
Empat, Jakarta:2011. hlm 140
[9] 
Veithzal Rivai Dkk, Bank and Financial Institution, (jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2007)
[10] 
Imam Wahyudi. Op cit.  hlm. 27-28
[11]
 Herman Darmawi, Op cit. Hlm,81-82
[12] 
Hennie Van Greuning dan Sonja Bracovic Bratanovic,Op cit. hlm 223
[13] 
Siswanto. Ely, Sulhan, Manajemen Bank Konvensional dan Syariah, (Malang: UIN-
Malang Press, 2008), Cet. I, hlm 15
[14] 
Komite Basel (The Basel Committee) untuk pengawasan perbankan, dicetuskan pada
tahun 1974 yang diprakarsai oleh para gubernur Bank Sentral. Basel adalah sebuah kota di
Swiss tempat para gubernur bank sentral tersebut berkumpul, kesepakatan basel telah menjadi
tolak ukur bagi bank sentral seluruh dunia dalam merancang regulasi MANAJEMEN
RISIKO PERBANKAN yang berlaku di Negara masing-masing termasuk Indonesia.
[15] 
Ferry N. Idroes, Manajemen Risiko Perbankan: Pemahaman Pendekatan 3 Pilar
Kesepakatan Basel II Terkait Aplikasi Regulasi dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2008), h. 23-25

Anda mungkin juga menyukai