MURABAHAH
a.Pengertian Murabahah
Kata Murabahah secara bahasa adalah bentuk mutual (bermakna: saling) yang diambil dari
bahasa Arab, yaitu ar-ribhu ((ر ْب ُح
ِ ( )الyang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan). Jadi,
murabahah diartikan dengan saling menambah (menguntungkan). Sedangkan dalam definisi para
ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui.
Hakekatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua penjual dan
pembeli dengan tambahan keuntungan yang jelas.[1]
Murabahah adalah jual belibarang pada harga asal dengan tambahan keuntungan/margin yang
disepakati.
Akad yang banyak mendapat penilaian tentang “kehalalan” pelaksanaannya adalah murabahah,
yaitu jual beli dengan harga jual terdiri dari harga beli dan keuntungan yang sudah disepakati.[2]
Ayat-ayat Al-Quran yang secara umum membolehkan jual beli, diantaranya adalah firman Allah:
Artinya: "..dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS. Al-Baqarah:275).
a) Rukun Murabahah
- Penjual (Bai’)
- Pembeli (Musytari’)
- Barang/Obyek (Mabi’)
- Harga (Tsaman)
Keterangan :
c.barang yang diinginkan pembeli (nasabah) selanjutnya diantar oleh pemasok (supplier) kepada
nasabah (pembeli).
Keterangan :
1. Kedua belah pihak melakukan akad yaitu pihak penjual (ba’i) dan pembeli
(musytari)melaksanakan akad murabahah.
a.Pembeli harus memiliki pengetahuan tentang biaya-biaya terkait dan harga pokok barang dan
batas mark-up harus ditetapkan dalam bentuk persentase dari total harga plus biaya-biayanya.
b. Apa yang dijual adalah barang atau komoditas dan dibayar dengan uang.
c. Apa yang diperjual-belikan harus ada dan dimiliki oleh penjual atau wakilnya dan harus
mampu menyerahkan barang itu kepada pembeli.
d. Pembayarannya ditangguhkan
SALAM
a. Pengertian Salam
Secara bahasa as-salam atau as-salaf berarti pesanan. Secara terminologis para ulama
mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual
suatu (barang) yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan
barangnya diserahkan kemudian hari”.[8]
Untuk hal ini para fuqaha (ahli hukum islam) menamainya dengan Al-Mahawi’ij yang artinga
“barang mendesak”, sebab dalam jual beli ini barang yang menjadi objek perjanjian jual beli
tidak ada ditempat, sementara itu kedua belah pihak telah sepakat untuk melakukan pembayaran
terlebih dahulu.
Secara lebih rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan pembayaran dimuka dan
penyerahan barang di kemudian hari (advanced payment atauforward buying atau future sale)
dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta
disepakati sebelumnya dalam perjanjian.[9]
a. Al-Quran
282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
2. Barang yang dijadikan obyek akad disyaratkan jelas jenis, ciri-ciri, dan ukurannya.
3. Modal atau uang disyaratkan harus jelas dan terukur serta dibayarkan seluruhnya ketika
berlangsungnya akad. Menurut kebanyakan fuqaha, pembayaran tersebut harus dilakukan di
tempat akad supaya tidak menjadi piutang penjual. Untuk menghindari praktek riba melalui
mekanisme Salam.pembayarannya tidak bisa dalam bentuk pembebasan utang penjual.
4.Ijab dan qabul harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal yang
dapat memalingkan keduanya dari maksud akad.
ISTISHNA
a. Pengertian Istishna
Al-Istishna’ adalah akad jual beli pesanan antara pihak produsen / pengrajin / penerima pesanan (
shani’) dengan pemesan ( mustashni’) untuk membuat suatu produk barang dengan spesifikasi
tertentu (mashnu’) dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak
produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir.
Secara umum landasan syariah yang berlaku pada bai’ as-salam juga berlaku pada bai’ al-
istishna’. Menurut Hanafi, bai’ al-istishna’ termasuk akad yang dilarang karena mereka
mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh
penjual, sedangkan dalam istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual.
Namun mazhab Hanafi menyutui kontrak istishna’ atas dasar istishan.[15]
Akad istishna' memiliki 3 rukun yang harus terpenuhi agar akad itu benar-benar terjadi yaitu,
kedua-belah pihak, barang yang diakadkan dan shighah (ijab qabul).
1. Kedua-belah pihak
Kedua-belah pihak maksudnya adalah pihak pemesan yang diistilahkan dengan mustashni' (
)المستصنعsebagai pihak pertama. Pihak yang kedua adalah pihak yang dimintakan kepadanya
pengadaaan atau pembuatan barang yang dipesan, yang diistilahkan dengan sebutan shani' (
)الصانع.
Barang yang diakadkan atau disebut dengan al-mahal ( )المحلadalah rukun yang kedua dalam
akad ini. Sehingga yang menjadi objek dari akad ini semata-mata adalah benda atau barang-
barang yang harus diadakan. Demikian menurut umumnya pendapat kalangan mazhab Al-
Hanafi.
Namun menurut sebagian kalangan mazhab Hanafi, akadnya bukan atas suatu barang, namun
akadnya adalah akad yang mewajibkan pihak kedua untuk mengerjakan sesuatu sesuai pesanan.
Menurut yang kedua ini, yang disepakati adalah jasa bukan barang.
Ijab qabul adalah akadnya itu sendiri. Ijab adalah lafadz dari pihak pemesan yang meminta
kepada seseorang untuk membuatkan sesuatu untuknya dengan imbalan tertentu. Dan qabul
adalah jawaban dari pihak yang dipesan untuk menyatakan persetujuannya atas kewajiban dan
haknya itu.
#kesimpulan ##
Al bai’ (jual beli) bererti pertukaran sesuatu dengan sesuatu. Secara istilah, menurut madzhab
Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta (mal) dengan harta dengan menggunakan cara
tertentu.
Bai’ Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang di
sepakati. Dalam murabahah penjual harus memberitahu harga produk yang di beli dan
menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Murabahah dapat di lakuakan
dengan pembelian secara pemesanan dan biasa di sebut sebagai murabahah pemesanana
pembelian.
Bai’ Salam adalah akad atas barang pesanan dengan spesifikasi tertentu yang di tangguhkan
penyerahanya pada waktu tertentu dimana pembayaran dilakukan secara tunai di majlis akad.
Para imam mazhab telah bersepakat bahwasanya jual beli salam adalah benar dengan enam
syarat yaitu jenis barangnya diketahui, sifat barangnya diketahui, banyaknya barang diketahui,
waktunya diketahui oleh kedua belah pihak, mengetahui kadar uangnya, jelas tempat
Bai’ Istishna’ atau pemesanan secara bahasa artinya meminta di buatkan. Menurut terminologi
artinya perjanjian terhadap barang jualan yang berada dalam kepemilikan penjual dengan syarat
di buatkan oleh penjual, atau meminta di buatkan secara khusus sementara bahan bakunya dari
pihak penjual.
@2.Mudharabah
Secara bahasa mudharabah diambil dari kata al-dharb fi al-Ardh, yang berarti perjalanan untuk
berniaga.7 Pengambilan kata ini disebabkan amil dan mudharib meletakan mudharabah untuk
bekerja dengan cara berniaga (tijarah) dan mencari keuntungan dengan permintaan dari pemilik
modal (rab al-mal).Secara istilah, mudharabah berarti seorang malik atau pemilik modal
menyerahkan modal kepada seorang amil untuk berniaga dengan modal tersebut, dimana
keuntungan dibagi diantara keduanya dengan porsi bagian sesuai dengan yang dipersyaratkan
dalam akad.Jadi. Mudharabah adalah akad kerja sama pemilik modal dan pengelola modal
dimana keuntungan dan kerugian dibagi berdasarkan kesepakatan oleh beberapa pihak yang
terlibat.
Dasar Hukum Mudharabah merupakan akad yang diperboleh berdasarkan :Al-Quran: “…Tidak
ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”. (Q.s. Al-
Baqarah Ayat 198)
a. Pihak-pihak yang melakukan akad, yaitu pemilik dana (shahibul maal) dan pengelola modal
(mudharib)
Jenis-jenis Mudharabah
Secara umum mudharabah dibagi menjadi dua macam, yaitu: mudharabah muthlaqah dan
mudharabah muqayyadah.
a. Mudharabah Muthlaqah
Yang dimaksud dengan mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara pemodal
(shahib al-mal) dan pengusaha (mudharib) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh
spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam mudharabah muthlaqah ini shahib al-mal
memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada mudharib dalam mengelola modal dan
usahanya.
b. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah atau biasa disebut juga dengan istilah specified mudharabah adalah
kebalikan dari mudharabah muthlaqah, dimana pengelola usaha (mudharib) dibatasi dengan jenis
usaha, waktu, atau tempat usaha.[5]
Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi
penghimpunan dana mudharabah diterapkan pada:
a. Tabungan berjangka, tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan
haji, tabungan kurban, deposito biasa;
b. Deposito spesial (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk
bisnis tertentu, misalnya mudharabah saja atau ijarah saja.
a. Pembiayaan modal kerja, seperti pembiayaan modal kerja perdagangan dan jasa;
b. Investasi khusus, disebut juga dengan mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana
khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahib
al-mal (bank).
Esensi dari kontrak mudharabah adalah kerjasama untuk mencapai profit (keuntungan)
berdasarkan akumulasi dasar dari pekerjaan dan modal, dimana keuntungan ditentukan melalui
kedua komponen ini. Resiko juga menentukan profit dalam mudharabah. Pihak investor
menanggung resiko kerugian dari modal yang telah diberikan, sedangkan pihak mudharib
menanggung resiko tidak mendapatkan keuntungan hasil pekerjaan dan usaha yang telah
dijalankannya.[6]
1. Definisi Musyarakah
Musyarakah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata syaraka َ َش َركyang
bermakna bersekutu, meyetujui. Sedangkan menurut istilah, musyarakah adalah akad kerjasama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana (amal/ expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[7]
Lewis dan Algaoud juga memberikan definisi musyarakah sebagai sebuah bentuk kemitraan
dimana dua orang atau lebih menggabungkan modal atau kerja mereka untuk merbagi
keuntungan, menikmati hak-hak dan tanggung jawab yang sama.
Jenis-jenis Musyarakah
Musyarakah ada dua jenis, yaitu: syirkah al-milk dan syirkah uqud (kontrak). syirkah al-milk
terjadi karena warisan, wasiat, dan kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan suatu asset
oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi
dalam sebuah asset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan asset tersebut.
Syirkah uqud tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap
orang dari mereka memberikan modal musyarakah. Merekapun sepakat membagi keuntungan
dan kerugian.
Syirkah uqud terbagi menjadi: al-'inan, al-mufawwadhah, al- a'mal dan al-wujuh. Para ulama
berbeda berbeda pendapat tentang al-mudharabah, apakah ia termasuk jenis musyarakah atau
bukan. Beberapa ulama menganggap al-mudharabah termasuk kategori musyarakah karena
memenuhi rukun dan syarat sebuah akad (kontrak) musyarakah. Adapun ulama lain menganggap
al-mudharabah tidak termasuk sebagai musyarakah.
Syirkah al-'inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih, dimana setiap pihak memberikan
suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja, dan kedua pihak berbagi dalam
keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati dalam kontrak. Akan tetapi, porsi
masing-masing pihak, baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan
identik sesuai dengan kesepakatan mereka.
Syirkah al-mufawwadhah adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih, dimana setiap
pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja, dan setiap
pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dalam jenis syirkah inisyarat utamanya
adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban utang dibagi oleh
masing-masing pihak.
Syirkah al-a'mal atau syirkah abdan adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk
menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu.
Syirkah al-wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise
baik serta ahli dalam bisnis, dimana mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan
dan menjual barang tersebut secara tunai, dan mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian
berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh setiap mitra. Jenis syirkah ini tidak
memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasar pada jaminan tersebut, sehingga
syirkah ini biasa disebut dengan musyarakah piutang.[8]
a. Pembiayaan Proyek
Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-
sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut, dan setelah proyek itu selesai
nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
b. Modal Ventura
Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan
perusahaan, musyarakah diaplikasikan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan
untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian
sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.
Pada prinsipnya musyarakah tidak jauh berbeda dengan mudharabah karena keduanya
merupakan sistem perkongsian (kemitraan) antara dua belah pihak atau lebih untuk mengelola
suatu usaha tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai porsi (nisbah) yang disepakati
bersama pada awal perjanjian (akad). Mudharabah dan musyarakah berbeda pada beberapa hal
sebagaimana berikut :
Dalam aqad mudharabah, shahib al-mal menyediakan seluruh dana yang dibutuhkan mudharib,
dan dalam manajemen shahib al-mal tidak diperkenankan melakukan intervensi dalam bentuk
apapun selain hak pengawasan untuk mengantisipasi terjadinya penyelewengan. Bagi hasil
diberikan setelah proyek atau usaha yang dijalankan mudharib selesai dijalankan. Sedangkan
dalam musyarakah, kedua belah pihak ikut andil dalam pemodalan (equity participation) dan
masing-masing pihak dapat turut dalam manajemen, sehingga porsi nisbah bagi hasil yang
diperoleh sangat ditentukan oleh besar kecilnya modal yang dikeluarkan dan frekuensi
keikutsertaan dalam proses manajemen ini. Sedang bila usaha merugi, maka kedua pihak sama-
sama menanggung kerugian tersebut karena musyarakah menganut azas PLS.
Dari pemaparan di atas, baik mengenai mudharabah maupun musyarakah bahwasanya perbedaan
bank syariah dengan bank konvensional dapat dilihat pada hubungan antara bank dengan
nasabahnya. Hubungan antara bank syariah dengan nasabahnya bukan hubungan antara debitur
dengan kreditur, melainkan hubungan kemitraan antara penyandang dana (shahib al-mal) dengan
pengelola dana (mudharib). Sedangkan pada bank konvensional, para pemilik dana tertarik untuk
menyimpan dana di bank berdasarkan tingkat bunga yang dijanjikan. Demikian pula bank
memberikan pinjaman kepada pihak-pihakyang memerlukan dana berdasarkan kemampuan
mereka membayar tingkat bunga tertentu.
Kesimpulan
Mudharabah dan musyarakah memiliki perbedaan pada beberapa hal: pertama, dalam aqad
mudharabah, shahib al-mal menyediakan seluruh dana yang dibutuhkan mudharib, sedang dalam
musyarakah kedua belah pihak ikut andil dalam pemodalan (equity participation); kedua, dalam
manajemen mudharabah, shahib al-mal tidak diperkenankan melakukan intervensi dalam bentuk
apapun selain hak pengawasan untuk mengantisipasi terjadinya penyelewengan, sedang dalam
musyarakah masing-masing pihak dapat turut dalam manajemen; ketiga, dalam mudharabah bagi
hasil (porsi nisbah) ditentukan pada awalakad yang diberikan setelah proyek atau usaha yang
dijalankan mudharib selesai dijalankan, sedang dalam musyarakah porsi nisbah bagi hasil yang
diperoleh sangat ditentukan oleh besar kecilnya modal yang dikeluarkan dan frekuensi
keikutsertaan dalam proses manajemen; keempat, dalam mudharabah kerugian ditanggung oleh
shahib al-mal selama kerugian tersebut bukan disebabkan oleh kelalaian dari pihak mudharib,
sedang dalam musyarakah kedua pihak sama-sama menanggung kerugian tersebut.