Anda di halaman 1dari 18

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Lensa

2.1.1 Anatomi dan Histologi Lensa

Lensa adalah struktur kristalin berbentuk bikonveks dan transparan. Lensa

adalah salah satu dari media refraktif terpenting yang berfungsi memfokuskan

cahaya masuk ke mata agar tepat jatuh di retina. Lensa memiliki dua permukaan,

yaitu permukaan anterior dan posterior. Permukaan posterior lebih cembung

daripada permukaan anterior. Lensa bersama dengan iris membentuk diafragma

optikal yang memisahkan bilik anterior dan posterior bola mata. Lensa tidak

memiliki serabut saraf, pembuluh darah, dan jaringan ikat (Lang, 2000; American

Academy of Ophthalmology Staff, 2014-2015a).

Secara histologis, lensa memiliki empat komponen utama, yaitu kapsul lensa,

epitelial subkapsular, korteks, dan nukleus. Kapsul lensa terdiri dari kapsul anterior

dan kapsul posterior. Kapsul ini merupakan suatu membran basalis dan terutama

terdiri atas kolagen tipe IV, beberapa serat kolagen lain dan komponen matriks

ekstraselular seperti glikosaminoglikan, laminin, fibronektin, dan proteoglikan

(Sihota dan Tandan, 2007; American Academy of Ophthalmology Staff, 2014-

2015a).

Epitelial subkapsular terdiri atas sel epitel kuboid yang hanya terdapat

pada permukaan anterior lensa. Epitelial subkapsular yang berbentuk kuboid akan

berubah menjadi kolumnar di bagian ekuator dan akan terus memanjang dan
membentuk serat lensa. Lensa bertambah besar dan tumbuh seumur hidup dengan

terbentuknya serat lensa baru dari sel-sel yang terdapat di ekuator lensa. (Kanski,

2003; American Academy of Ophthalmology Staff, 2014-2015a).

Nukleus merupakan serat massa lensa yang terbentuk sejak lahir sedangkan

korteks merupakan serat yang terbentuk setelah lahir. Nukleus lensa lebih keras

daripada korteks. Serat lensa tersusun memanjang dan tampak sebagai struktur tipis

dan gepeng. Serat ini merupakan sel-sel yang sangat terdiferensiasi dan berasal dari

sel-sel subkapsular. Serat lensa akhirnya kehilangan inti serta organelnya dan

menjadi sangat panjang. Sesuai dengan bertambahnya umur, lensa lama-kelamaan

menjadi lebih besar dan kurang elastis. Sel-sel ini berisikan sekelompok protein

yang disebut kristalin. Nukleus dan korteks terbentuk dari lamella konsentris yang

panjang. Lensa ditahan di tempatnya oleh sekelompok serat yang tersusun radial

yang disebut zonula, yang satu sisinya tertanam di kapsul lensa dan sisi lainnya

pada badan siliar (Sihota dan Tandan, 2007; American Academy of Ophthalmology

Staff, 2014-2015a).

Gambar 2.1 Anatomi lensa (American Academy of Ophthalmology Staff, 2014-


2015a)

2.1.2 Biokimia lensa


Lensa manusia mempunyai konsentrasi protein 33% dari berat keringnya, 2

kali lebih besar daripada di jaringan lainnya. Protein lensa dibagi ke dalam dua

kelompok berdasarkan kelarutannya di dalam air, yaitu fraksi yang larut dalam air

dan fraksi yang tidak larut dalam air. Fraksi yang larut di dalam air berjumlah

sekitar 80% dari protein lensa dan terdiri dari sekelompok protein yang disebut

kristalin. Kristalin merupakan protein intraselular yang tersusun di dalam

epitelial dan membran plasma dari serat lensa. Kristalin dibagi ke dalam tiga

kelompok, yaitu: alfa, beta, dan gamma. Fraksi yang tidak larut di dalam air

dibagi lagi menjadi dua fraksi, yaitu yang larut dan tidak larut di dalam urea. Fraksi

yang larut dalam urea terdiri dari protein sitoskeletal yang menjadi penyusun

struktur sel lensa. Fraksi yang tidak larut di dalam urea menyusun membran plasma

serat lensa (Lang, 2006; American Academy of Ophthalmology Staff, 2014-2015b).

Lensa membutuhkan suplai energi dalam bentuk adenisine triphosphate (ATP)

yang terus menerus untuk transpor aktif ion dan asam amino, mempertahankan

keadaan dehidrasi lensa, untuk sintesis protein dan glutation (GSH) secara

terus menerus. Kebanyakan energi yang dihasilkan dipakai oleh sel-sel epitelial

sebagai tempat utama proses transpor aktif. Hanya sekitar 10-20% ATP yang

digunakan untuk sintesis protein (Kanski, 2003; American Academy of

Ophthalmology Staff, 2014-2015b).

Produksi energi sangat bergantung pada metabolisme glukosa. Glukosa

memasuki lensa dari humor akuos secara difusi, baik yang sederhana maupun

yang terfasilitasi. Metabolisme glukosa pada lensa, 78% dimetabolisme secara

anaerob oleh jalur glikolisis, 5% oleh hexose monophosphate (HMP) shunt dan
sebagian kecil melalui siklus Krebs (Vavvas dkk., 2002; American Academy of

Ophthalmology Staff, 2014-2015a). Kebanyakan glukosa yang ditransport ke

dalam lensa difosforilasi menjadi glukosa-6-fosfat (G6P) oleh enzim

heksokinase. Kemudian G6P akan memasuki dua jalur metabolisme, yaitu

glikolosis anaerob dan HMP shunt (Kanski, 2003; American Academy of

Ophthalmology Staff, 2014-2015a).

Jalur yang paling aktif adalah glikolisis anaerob, yang menyediakan ATP

dalam jumlah yang banyak yang dibutuhkan untuk metabolisme lensa. Jalur

glikolisis anaerobkurang efektif dibandingkan glikolisis aerob karena hanya

menghasilkan 2 molekul ATP dari 1 molekul glukosa sedangkan glikolisis

aerob menghasilkan 36 ATP. Rendahnya tekanan oksigen di dalam lensa

menyebabkan hanya sekitar 3% dari glukosa lensa yang melalui jalur siklus

Krebs untuk menghasilkan energi (Lang, 2006; American Academy of

Ophthalmology Staff, 2014-2015b).

Jalur yang kurang aktif dalam menggunakan G6P di dalam lensa adalah HMP

shunt atau yang biasa dikenal sebagai jalur pentosa fosfat. Aktivitas HMP shunt di

dalam lensa lebih tinggi daripada jaringan tubuh lainnya. Aktivitas HMP shunt

menghasilkan nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH) untuk

biosintesis asam lemak dan biosintesis ribosa nukleotida. NADPH juga yang sangat

penting untuk glutation reduktase dan untuk aktivitas aldose reduktase di dalam

lensa. Produk karbohidrat dari HMP shunt memasuki jalur glikolisis dan

dimetabolisme menjadi laktat (Kanski, 2003; American Academy of

Ophthalmology Staff, 2014-2015b).


Jalur sorbitol relatif tidak tetap pada lensa normal tetapi jalur ini berperan

penting dalam terjadinya katarak pada pasien diabetes dan galaktosemia.

Aldose reduktase merupakan enzim kunci dalam jalur sorbitol. Ketika terjadi

peningkatan kadar glukosa di dalam lensa, seperti yang terjadi pada keadaan

hiperglikemia, jalur sorbitol lebih diaktifkan daripada jalur glikolisis dan sorbitol

terakumulasi. Sorbitol dimetabolisme menjadi fruktosa oleh enzim polyol

dehidrogenase. Sebagian kecil glukosa akan mengalami metabolisme aerob melalui

siklus Krebs. Metabolisme aerob ini dapat menghasilkan radikal bebas yang dapat

mengganggu fisiologi lensa (Vavvas dkk., 2002; Berthoud dan Beyer, 2009;

American Academy of Ophthalmology Staff, 2014-2015b).

2.1.3 Fisiologi Lensa

Epitelial merupakan bagian lensa dengan tingkat metabolisme paling tinggi.

Pada epitelial lensa terjadinya aktivitas metabolisme dan transport aktif yang

membawa keluar seluruh hasil aktivitas sel normal termasuk deoxyribonucleic

acid (DNA), ribonucleic acid (RNA), protein, sintesis lipid, dan ATP. ATP

dibutuhkan untuk transportasi nutrisi, memelihara pertumbuhan sel, dan

transparansi lensa. Lensa bersifat avaskular, sehingga humor akuos berfungsi

sebagai sumber nutrisi dan mengeluarkan produk sisa metabolik lensa (Vavvas

dkk., 2002).

Aspek fisiologi yang terpenting dalam menjaga ketransparanan lensa adalah

pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit. Ketransparanan lensa sangat

bergantung pada komponen struktural, makromolekular dan hidrasi lensa Lensa

mempunyai kadar kalium dan asam amino yang tinggi dibandingkan humor
akuos dan korpus vitreus tetapi memiliki kadar natrium dan klorida yang lebih

rendah dibandingkan sekitarnya. Keseimbangan elektrolit diatur oleh

permeabilitas membran dan pompa natrium dan enzim Na-K-ATPase. Pompa

ini berfungsi memompa natrium keluar dan memompa kalium untuk masuk.

Kalium dan asam amino ditransportasikan ke dalam lensa secara aktif ke anterior

lensa melalui epitelial. Lalu kalium dan asam amino akan berdifusi melalui

bagian posterior lensa sedangkan natrium masuk ke dalam lensa di bagian

posterior lensa secara difusi dan keluar melalui bagian anterior lensa secara

aktif (American Academy of Ophthalmology Staff, 2014-2015a).

Kadar natrium di dalam lensa sekitar 20 mM dan kadar kalium sekitar 120 mM.

Kadar natrium dan kalium di sekitar humor akuos dan korpus vitreus sedikit

berbeda. Natrium lebih tinggi sekitar 150 mM sedangkan kalium sekitar 5 mM.

Pompa natrium berfungsi memompa ion natrium keluar sedangkan ion kalium

masuk. Mekanisme pompa natrium bergantung pada pemecahan ATP dan diatur

oleh enzim Na-K-ATPase. Adanya hambatan pada enzim Na-K-ATPase

menyebabkan kehilangan keseimbangan kation dan peningkatan air di dalam lensa

(Vavvas dkk., 2002 ).

2.2 Katarak

2.2.1 Katarak dan Epidemiologi Katarak Senilis


Katarak adalah suatu proses kekeruhan yang terjadi pada lensa mata dan dapat

disebabkan oleh berbagai kelainan, seperti kelainan kongenital, metabolic,

traumatic, atau proses degenerasi (Ilyas, 2008). Katarak akibat proses degenerasi

disebut katarak senilis yang bersifat gradual dan progresif, yang terjadi akibat

proses degenerasi dan pada umumnya mulai timbul pada umur 50 tahun ke atas

(Ilyas, 2008; Sihota dan Tandan, 2007). Lensa mengalami perubahan seiring

dengan bertambahnya umur. Perubahan yang terjadi diantaranya adalah

bertambahnya ketebalan dan berkurangnya kejernihan lensa, serta mengerasnya

serat-serat penyusun lensa. Berbagai perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya

katarak (American Academy of Ophthalmology Staff, 2014-2015b).

Kejadian katarak senilis sangat erat kaitannya dengan umur, hal ini sesuai

dengan hasil penelitian dari berbagai ras (Congdon dkk., 200l). Penelitian oleh

Leske dkk. (2002) pada Barbados Eye Studies Group menunjukkan bahwa

kelompok umur 50-59 tahun mempunyai angka risiko relatif 11 kali dibanding

kelompok umur 40-49 tahun dan angka risiko relatif akan terus meningkat

dengan bertambahnya umur. Penelitian oleh Eye Diseases Prevalence Research

Group di Amerika Serikat tentang prevalensi katarak menunjukkan bahwa

prevalensi katarak pada kelompok umur 40-49 tahun 2,5%, meningkat menjadi

25% pada kelompok umur 65-69 tahun dan 68,3% pada kelompok diatas 80 tahun

(Friedman dkk., 2004).

2.2.2 Etiopatogenesis Katarak Senilis


Telah banyak informasi yang diperoleh sehubungan dengan mekanisme

biokimia dan metabolism lensa normal maupun katarak pada berbagai binatang

percobaan. Informasi sangat membantu menjelaskan perubahan fisik dan kimia

yang terjadi akibat radiasi, trauma fisik, obat-obatan, kekurangan nutrisi, katarak

pada diabetes. Timbulnya katarak senilis merupakan yang proses yang

disebabkan oleh berbagai faktor yang meliputi faktor ekternal dan internal

yang terjadi secara akumulasi. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi secara

berulang-ulang melalui berbagai reaksi kimia, sehingga merusak kejernihan lensa

(Li, 2003; Vinson, 2006). Namun untuk menjelaskan proses kataraktogenesis

sebagai proses sebab dan akibat pada katarak senilis secara pasti belum ditemukan.

Berbagai penelitian meliputi studi epidemiologi, histologis, analisis biokimia,

beberapa faktor risiko kataraktogenesis sudah dan terus berlangsung sampai

sekarang. Lensa katarak mempunyai tanda karakteristik berupa degenerasi

hidrofik, denaturasi protein, nekrosis, dan gangguan susunan serabut lensa

(Vaughan dkk., 2002).

Penambahan umur akan mengakibatkan lensa menjadi lebih berat dan

lebih tebal, lapisan baru serabut lensa membentuk korteks dan akhirnya nukleus

menjadi tertekan kemudian mengeras. Melalui mekanisme kimia, kristalin

mengalami agregasi dan berat molekulnya meningkat. Hasil agregasi protein

mengakibatkan penurunan kecerahan, perubahan indeks refraksi lensa serta

penyebaran sinar (American Academy of Ophthalmology Staff, 2014-2015a).

Perubahan kimiawi protein nukleus lensa menghasilkan pigmen yang berlebihan,

sehingga warna menjadi kuning atau abu-abu. Pada lensa juga mengalami
penurunan kadar glutation dan kalium, peningkatan kadar natrium dan kalsium serta

peningkatan hidrasi. Konsumsi antioksidan yang kurang juga dapat dikaitkan

dengan berbagai bentuk katarak senilis (Michael dan Bron, 2011). Aktivitas

sistem antioksidan enzimatik (SOD, glutation peroksidase, katalase) dan

antioksidan nonenzimatik (vitamin C, glutation, sistein) yang menurun pada

lensa, humor akuos dan proses penuaan sangat mempengaruhi perkembangan

katarak senilis (Ozmen dkk., 2000).

Mengingat penyebab terjadinya katarak senilis bersifat multifaktorial dan

belum diketahui secara pasti, maka guna mendapatkan strategi pengendalian

perlu dicari beberapa faktor risiko. Berbagai faktor risiko yang dianggap

berhubungan dengan terjadinya katarak senilis antara lain diabetes mellitus,

hipertensi, paparan sinar ultra violet B, obesitas, merokok, tingkat pendidikan,

kekurangan vitamin E serum, peningkatan asam urat serum, kekurangan

riboflavin, myopia, warna iris yang gelap, dan lain-lain (Leske dkk.,2002; Zoric

dkk., 2008).

Dewasa ini salah satu teori tentang etiologi katarak senilis yang banyak

berkembang adalah mekanisme stres oksidatif. Lensa mata sangat sensitif

terhadap terjadinya stres oksidatif. Seiring bertambahnya umur dan adanya paparan

yang terusmenerus oleh agen dari luar, akan menyebabkan gangguan

mekanisme proteksi antioksidan lensa mata. Hasil akumulasi dari stres oksidatif

menyebabkan gangguan fungsi metabolisme lensa, agregasi protein lensa,

peningkatan protein tidak larut air (water insoluble protein), sehingga

menyebabkan gangguan transparansi lensa dan terjadi katarak (El-Ghaffar dkk.,


2007; Cekic dkk., 2010; American Academy of Ophthalmology Staff, 2014-

2015b). Secara pasti belum bisa ditentukan pada umur berapa mulai timbulnya

katarak dalam hubungannya dengan stres oksidatif karena banyak faktor yang

berpengaruh dan berbeda-beda pada masing-masing individu (Spector, 1995;

Ates dkk., 2010; Cekic dkk., 2010).

2.2.2.1 Paparan Sinar Matahari

Paparan sinar matahari merupakan salah satu faktor resiko katarak yang banyak

diteliti, namun hasil yang diperoleh masih bervariasi. Sebagian penelitian berhasil

menemukan bahwa penduduk yang lebih banyak terpapar sinar matahari, akan

memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita katarak, sedangkan penelitian

lainnya tidak berhasil menemukan hubungan tersebut. Variasi hasil penelitian

tersebut diduga kaena adanya perbedaan dalam tehnik mengukur jumlah paparan

sinar matahari (Cruickshanks dkk., 1992; Neale dkk., 2003).

Mekanisme yang mendasari peningkatan resiko katarak pada paparan sinar

matahari, masih sedikit dikemukakan. Salah satu teori menyatakan bahwa radiasi

sinar ultraviolet dapat mengakibatkan terjadinya perubahan ekspresi gen, yang

selanjutnya kaan mengakibatkan terganggunya sintesis protein pada lensa. Sebuah

penelitian menemukan adanya peningkatan ekspresi protein p53 pada jaringan

setelah terpapar sinar ultraviolet (Healy dkk., 1994). Radiasi sinar ultraviolet juga

dapat mengakibatkan terjadinya gangguan fungsi enzim di lensa. Percobaan pada

tikus menemukan adanya penurunan kerja berbagai enzim di lensa, termasuk enzim

hexokinase, setelah pemberian radiasi sinar ultraviolet (Tung dkk., 1988).


Total radiasi sinar ultraviolet yang didapat seseorang dari lingkungannya

sangat sulit untuk diukur secara pasti, oleh karena itu dilakukanlah pendekatan lain

dalam memperkirakan paparan sinar ultraviolet yang didapat seseorang. Salah satu

pendekatan yang sering dilakukan adalah dengan menggunakan kuesioner untuk

mengukur lama waktu yang dihabiskan seseorang diluar rumahnya (Humayun

dkk.,2012; Cruickshanks dkk., 1992). Kuesioner mengenai paparan sinar

ultraviolet, banyak ditemukan pada penelitian mengenai kanker kulit dan vitamin

D. Kuesioner pada penelitian tersebut pada umumnya menanyakan mengenai

jumlah waktu yang dihabiskan di luar ruangan pada pukul 09.00 hingga 15.00.

Interval waktu antara pukul 09.00 hingga 15.00 dipilih karena radiasi

sinarultraviolet paling tinggi terjadi pada periode tersebut. Paparan sinar ultraviolet

pada periode waktu tersebut juga dianggap paling berbahaya. Jenis pekerjaan

merupakan salah satu indicator yang dapat digunakan dalam memperkirakan

besarnya waktu yang dihabiskan seseorang di luar rumah (Diffey, 1991; Neale dkk.,

2003; Yu dkk., 2009).

2.2.2.2 Kebiasaan Merokok

Merokok diketahui menimbulkan stress oksidatif karena dapat menurunkan

kadar anti oksidan endogen. Stress oksidatif ini memegang peranan penting dalam

terbentuknya katarak. Beberapa penelitian melaporkan bahwa kebiasaan merokok

berkaitan dengan peningkatan resiko katarak. Asap rokok juga mengandung logam

berat seperti cadmium, timbal, dan tembaga yang dapat berakumulasi dan secara

langsung bersifat toksik pada lensa. Kebiasaan merokok merupakan salah satu
faktor resiko katarak yang dapat dimodifikasi (West dkk., 1995; Kelly dkk., 2005;

Ottonello dkk., 2000).

2.2.3 Radikal Bebas dan Kekeruhan Lensa

Radikal bebas dihasilkan saat aktifitas sel bermetabolisme dan dapat juga

dihasilkan oleh agen eksternal seperti energy cahaya. Radikal bebas ini sangat

reaktif dan dapat merusak serat lensa. Peroksidasi plasma serat lensa dan membran

plasma lemak diperkirakan sebagai faktor yang dapat menyebabkan kekeruhan

lensa. Dalam proses peroksidasi lemak, agen pengoksidasi menyingkirkan atom

hidrogen dari polyunsaturated fatty acid, membentuk asam lemak radikal yang

kemudian menyerang oksigen molecular, membentuk lipid peroxy radical. Reaksi

ini dapat memperbanyak rantai yang menyebabkan pembentukan lipid proxide

(LOOH), yang kemudian akhirnya bereaksi menghasilkan malondialdehyde

(MDA), yang bereaksi dengan membran lemak dan protein sehingga fungsi

normalnya terganggu (American Academy of Ophthalmology Staff, 2014-2015b).

Radikal bebas juga dapat menyerang membrane lipid dan protein dalam

korteks lensa. Kerusakan oleh radikal bebas menyebabkan polimerisasi dan cross-

linking lemak dan protein sehingga menghasilkan protein yang tidak larut air.

Jumlah berlebihan protein yang tidak larut air ditemukan pada lensa yang keruh

(American Academy of Ophthalmology Staff, 2014-2015b).

Kandungan lensa didapatkan beberapa enzim seperti glutathione peroxidase,

catalase dan superoxide dismutase serta terdapat vitamin seperti vitamin E dan asam

askorbat. Masing-masing kandungan di atas bekerja sebagai free radical scavenger


dan melindungi lensa dari kerusakan oksidasi (American Academy of

Ophthalmology Staff, 2014-2015b).

2.2.4 Derajat kekeruhan lensa katarak senilis

Derajat kekeruhan lensa pada katarak senilis dapat dibagi menjadi lima derajat

berdasarkan klasifikasi Buratto. Derajat 1 biasanya ditandai dengan visus yang

masih lebih baik dari 6/12, lensa tampak sedikit keruh dengan warna agak

keputihan dan refleks fundus masih dengan mudah dapat dilihat. Derajat 2

ditandai dengan nukleus yang mulai sedikit berwarna kekuningan, visus antara

6/12 sampai 6/30 dan refleks fundus juga masih mudah diperoleh. Derajat 3

ditandai dengan nukleus berwarna kuning dan korteks yang berwarna keabu-

abuan dan visus antara 3/60 sampai 6/30. Derajat 4 ditandai dengan nukleus

yang sudah berwarna kuning kecoklatan dengan usia pasien biasanya sudah lebih

dari 65 tahun dan visus biasanya antara 3/60 sampai 1/60. Derajat 5 ditandai

dengan nukleus berwarna coklat hingga kehitaman dan visus biasanya 1/60

atau lebih jelek (Sihota dan Tandan, 2007; Ilyas, 2008; Soekardi & Hutauruk,

2004).

2.3 Asam Askorbat (Vitamin C)

2.3.1 Definisi

Vitamin C atau asam askorbat merupakan vitamin yang larut dalam air. Asam

askorbat bersifat tidak stabil, mudah teroksidasi oleh asam, dan dapat dihancurkan

oleh oksigen, alkali, dan suhu yang tinggi. Manusia tidak dapat mensintesis asam

askorbat diduga karena tidak mempunyai enzim aktif (Iqbal dkk., 1999).
2.3.2 Waktu Paruh Asam Askorbat

Orang dewasa rata-rata memiliki simpanan asam askorbat dalam tubuh

sebesar 1,2-2,0 gram yang dapat dipertahankan dengan asupan asam askorbat

75mg/hari. Sekitar 140 mg/hari asam askorbat dalam bentuk jenuh disimpan dalam

tubuh. Rata-rata waktu paruh asam askorbat pada manusia dewasa adalah sekitar

10-20 hari, dan mengalami perputaran sebesar 1 mg/kgBB dan dalam simpanan

tubuh 22 mg/kgBB, bila konsentrasi askorbat plasma sebesar 50 µmol/L. Oleh

karena itu tubuh perlu mendapat asupan tambahan asam askorbat secara teratur

melalui diet atau tablet untuk menjaga asam askorbat dalam tubuh (Purcell dkk.,

1954).

2.3.3 Fungsi Antioksidan

Asam askorbat disebut sebagai antioksidan karena berfungsi sebagai donor

elektron, sehingga dapat mencegah senyawa lain mengalami oksidasi. Saat asam

askorbat melepaskan elektron, ia berubah menjadi radikal askorbil.

Dibandingkan dengan radikal bebas lain, radikal askorbil relative stabil dengan

waktu paruh 10-5 detik dan tidak reaktif. Radikal bebas yang merugikan dapat

berinteraksi dengan asam askorbat sehingga radikal bebas yang merugikan

tersebut mengalami reduksi dan asam askorbat berubah menjadi radikal askorbil

yang kurang reaktif. Proses reduksi radikal bebas reaktif menjadi senyawa yang

kurang reaktif ini disebut free radical scavenging. Asam askorbat merupakan

free radical scavenger yang baik (Padayatty dkk., 2003; Bleau dkk., 1998).
2.3.4 Metabolisme dan transportasi ke mata

Manusia tidak dapat mensintesis asam askorbat sendiri, sehingga

membutuhkan asupan dari luar. Terdapat beberapa pendekatan mengenai

mekanisme asupan asam askorbat pada mata, yang pertama adalah asam

askorbat disintesis oleh lensa, yang kedua asam askorbat di transportasi aktif

melalui epitel badan siliar dalam bentuk teroksidasi misalnya sebagai asam

dehidroaskorbat yang kemudian diubah menjadi asam askorbat oleh lensa, dan

yang ketiga adalah asam askorbat terkonsentrasi di epitel badan siliar yang

kemudian berdifusi ke bilik mata belakang (Purcell dkk., 1954).

Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa asam askorbat dibawa ke

epitel badan siliar secara aktif melalui transport Na+ -dependent, dan proses efluks

melalui difusi pasif dari konsentrasi asam askorbat tinggi di plasma ke konsentrasi

rendah di humor akuos (Delamere & Williams, 1987).

2.3.5 Bioavailabilitas

Bioavailabilitas adalah mengukur efisiensi absorbs suatu zat/obat dalam

traktus gastrointestinal. Sebagian besar peneliti memperkirakan bioavailabilitas

asam askorbat dengan cara tidak langsung, hal ini disebabkan karena sulitnya

mendapatkan data bioavailabilitas sesungguhnya (Iqbal dkk., 1999).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh National Institute of Health (NIH)

dengan memperhitungkan beberapa factor. Dari penelitian tersebut dosis asam

askorbat 200 mg per hari diminum dalam dosis terbagi akan mendekati

bioavailabilitas lengkap. Data bioavailabilitas sesungguhnya untuk asam

askorbat didasarkan pada pemberian saat puasa. Tidak ada bioavailabilitas


sesungguhnya asam askorbat bila diberikan bersama makanan (Iqbal dkk., 1999;

Peponis dkk., 2002).

2.3.6 Konsentrasi di Aqueous Humor

Konsentrasi asam askorbat di aqueous humor adalah yang paling tinggi

dibandingkan konsentrasi asam askorbat di plasma dan serum. Konsentrasi

asam askorbat sebesar 10-15 kali lebih tinggi di aqueous humor daripada

konsentrasi di plasma. Konsentrasi maksimal asam askorbat dalam aqueous

humor adalah 60-85 mg/dL, sedangkan normal konsentrasi dalam serum 0,6-2,0

mg/dL (Iqbal dkk., 1999). Penelitian Purcell dkk (1954), mendapatkan rata-rata

konsentrasi asam askorbat dalam aqueous humor penderita katarak sebesar 12,1

Mg/100 Gm dan rata-rata konsentrasi aqueous humor pada orang normal sebesar

18 Mg/100 Gm.

Sepanjang pengetahuan peneliti, di Bali dan bahkan di Indonesia sampai saat

ini belum pernah diteliti mengenai kadar asam askorbat dalam aqueous humor pada

mata normal maupun pada mata katarak, sehingga belum ada data mengenai

kadar asam askorbat normal pada populasi normal maupun hubungan kadar

asam askorbat dalam aqueous humor dengan derajat kekeruhan lensa katarak

senilis.

2.3.7 Efek Samping Asam Askorbat

Asam askorbat memiliki efek toksik ringan, dan efek sampingnya

berhubungan dengan dosis. Diare atau keluhan perut kembung dapat terjadi bila

minum beberapa gram sekaligus, tanpa adanya indikasi pemakaian asam

askorbat pada dosis tersebut. Efek samping umumnya tidak serius dan dapat
membaik dengan mengurangi asupan asam askorbat. Tidak ada data yang konsisten

terhadap efek kesehatan yang serius mengenai konsumsi asam askorbat pada

manusia (Hickey dkk., 2008)

2.4 Hubungan antara Asam Askorbat dengan Katarak Senilis

Konsentrasi asam askorbat tinggi pada berbagai jaringan okular. Aqueous dan

vitreus humor kaya akan kandungan asam askorbat dan merupakan kadar yang

paling tinggi diantara cairan ekstraselular tubuh lainnya. Konsentrasi asam askorbat

yang tinggi pada aqueous humor akibat dari transpor aktif oleh epitelium siliar

melewati blood aquous barrier. Kadar asam askorbat yang tinggi ini mungkin

berperan melindungi jaringan mata dari efek berbahaya yang berasal dari reaksi

fotokimia atau reaksi oksidasi (Varma dan Richards, 1988).

Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa paparan oksigen

hiperbarik dapat menyebabkan perkembangan katarak akibat dari oksigen yang

menimbulkan manifestasi patologis dengan membentuk superoxide. Superoxide

merupakan radikal bebas dan racun bagi jaringan. Superoxide di dalam aqueous

humor mungkin merupakan faktor dalam patogenesis katarak senilis dan asam

askorbat bertindak menghalangi proses patogenesis dengan melindungi membrane

sel melawan efek toksik dari superoxide, hydrogen peroxide dan derivate oksigen

lainnya (Varma dan Richards, 1988).

Berdasarkan fakta yang ada, sinar yang berlebihan terlibat dalam pembentukan

katarak senilis. Insiden katarak lebih tinggi pada daerah dengan pancaran sinar

matahari yang besar. Berkembang teori bahwa sinar dan oksigen bertindak sinergis

dalam proses pembentukan katarak dengan membentuk superoxide dari proses


fotokimia. Fungsi asam askorbat untuk mengurangi proses kataraktogenesis

(Varma dan Richards, 1988).

Anda mungkin juga menyukai