Anda di halaman 1dari 7

Prediksi organ/penyakit yang terlibat berdasarkan lokasi nyeri

Regio Epigastrium : Tukak peptic, Pankreatitis, Kolesistitis, Esofagitis, Infark Miokard,


Aneurisma

Regio Umbilikal : Apendisitis Awal, Obstruksi Usus Halus, Iskemia Mesenterium,


Aneurisma Aorta

Regio Hipocondriac Dextra : Kolesistitis, Pneumonia

Regio Hipocondriac Sinistra : Tukak Peptik, Infark Limpa, Pankreatitis, Pneumonia, Pyelonephritis

Regio Hypogastric : Inflammatory Bowel Disease, Kelainan Ginekologik, DIvertikulitis,


Infeksi Saluran Kemih

Regio Iliaka Dextra : Appendisitis, Inflammatory Bowel Disease, Pyelonephritis, Hernia

Regio Iliaka Sinistra :Divertikulitis, Kelainan Ginekologik, Pyelonephritis, Hernia


Skenario 2

Seorang wanita berusia 17tahun dibawa ke IGD Rumah Sakit dengan keluhan utama sakit perut didaerah
kanan bawah. Rasa sakit ini datang tiba-tiba yang membuat ia terbangun dari tidur tadi malam karena
kesakitan. Keluhan utama diatas disertai rasa mual dan beberapa kali muntah. Pasien juga mengeluh
mengalami menggigil.

Kata kunci:

1.wanita berusia 17 tahun

2. KU sakit perut didaerah kanan bawah

3. Rasa sakit tiba2

4. KU disertai rasa mual dan beberapa kali muntah

5. Mengeluh mengalami menggigil.

Kata sulit:

1.

Pertanyaan.

1. Jelaskan aspek biomedik berdasarkan skenario tersebut(anatomi,fisiologi,histologi)

2. Etiologi dan patomekanisme keluhan utama sakit perut tiba2 pada daerah kanan bawah berdasarkan
skenario?

3. Mekanisme terjadinya mual, muntah, dan menggigil pada skenario?

4. Apa hubungan menggigil dan sakit perut pada skenario?

5. Hubungan sakit perut dengan mual muntah?


6. Mekanisme terjadinya nyeri dan mengapa nyeri tiba-tiba?

Mekanisme timbulnya nyeri dimulai pada saat munculnya stimulus cedera jaringan, dan terdapat 4 proses
yang terjadi mulai dari munculnya stimulus hingga dirasakannya nyeri yakni Transduksi, Transmisi,
Modulasi dan Persepsi.

Pada Proses Transduksi, Jaringan yang cedera mengeluarkan bradikinin dan prostaglandin yang
mensensitisasi atau mengaktifkan nosiseptor, yang sebaliknya akan melepaskan susbtansi P dan
Calcitonin gen-related polypeptide (CGRP). Substansi P akan bekerja pada sel mast untuk menyebabkan
degranulasi dan pelepasan histamine yang mengaktifkan nosiseptor. Substansi P juga akan menyebabkan
ekstravasasi plasma dan CGRP untuk melebarkan pembuluh darah dimana akan terjadi edema yang
kemudian semakin meningkatkan pelepasan bradikinin. Selain itu trombosit juga akan melepaskan
Serotonin yang akan mengaktifkan nosiseptor lebih lanjut. Sel – sel yang rusak juga akan melepaskan
Prostaglandin E2 sehingga menghasilkan hiperalgesia atau adanya respons yang berlebihan terhadap
rangsangan yang mengganggu pada daerah lesi.

Kemudian akan dilanjutkan dengan proses transmisi dimana impuls rangsangan nyeri tersebut akan
dihantarkan melalui akson neuron ordo pertama, kemudian masuk ke dalam traktus spinotalamikus
lateralis yang kemudian akan berakhir di kornu dorsal, menyebrangi garis tengah dan naik di kuadran
ventrolateral medulla spinalis ke bagian posterior ventral lateral dari thalamus, dan kemudian ke korteks
somatosensorik primer.

Proses berikutnya yang akan terjadi adalah proses modulasi, yang merupakan proses amplifikasi sinyal
neural terkai nyeri. Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medulla spinalis. Serangkaian reseptor
opioid seperti mu, kappa dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. System nosiseptif juga mempunyai
jalur desendens yang berasal dari korteks frontalis, hipotalamus, dan area otak lainnya ke otak tengah
(midbrain) dan medulla oblongata, selanjutnya menuju medulla spinalis. Hasil dari proses inhibisi
desendens ini adalah penguatan atau bahkan penghambatan sinyal nosiseptif di kornu dorsalis

Kemudian di akhiri dengan Persepsi nyeri atau kesadaran akan pengalaman nyeri, atau saat dimana nyeri
dirasakan. Persepsi ini bukan hanya merupakan hasil interaksi dari proses transduksi, transmisi dan
modulasi, tetapi juga dipengaruhi oleh aspek psikologis dan karakteristik individu lainnya.

Kemudian untuk membahas mengapa nyeri yang dirasakan itu tiba – tiba, perlu diketahui bahwa
rangsangan pada nosiseptor, dihantarkan melalui 2 jenis serat, yakni serat A delta yang bermielin tipis
dengan kecepatan hantaran 12 – 35 m/dtk dan serat C tak bermielin yang menghantarkan impuls dengan
kecepatan rendah sekitar 0,5-2 m/dtk. Karena perbedaan kecepatan hantar ini, maka pengaktifan serat A
delta berperan dalam nyeri pertama atau nyeri cepat, yaitu respons cepat dan memperantarai aspek
diskriminatif nyeri atau kemampuan mengetahui lokasi dan intensitas rangsangan pengganggu.
Sedangkan pengaktifan serat C berperan dalam menimbulkan nyeri kedua atau nyeri lambat, yaitu
perasaan tak enak yang tumpul, intens dan difus yang berkaitan dengan rangsangan pengganggu.

Dari jenis serat ini dapat diketahui bahwa nyeri bersifat tajam dan tiba-tiba karena dihantarkan oleh serat
A delta.
Hal ini juga dapat membantu menentukan lokasi dari nyeri, terkhususnya pada daerah sekitar peritoneum,
karena adanya defisiensi relative serat saraf A delta di struktur – struktur visceral, sehingga rangsangan
nyeri yang biasanya diterima oleh bagian peritoneum visceral biasanya bersifat lambat, dan tidak
terlokalisasi, dan hanya sensitive terhadap iritasi kimiawi atau regangan. Sedangkan pada peritoneum
parietal jumlah serat saraf A delta tidak dalam keadaan defisiensi, sehingga lebih sensitive terhadap
tekanan, nyeri, laserasi dan temperature, dan nyerinya dapat terlokalisasi dengan baik.

Sebagai contoh dapat dilihat dari penyakit apendisitis, dimana pada awalnya biasanya inflamasi akan
menyebabkan nyeri pelan yang difuse pada regio umbilical, sesuai dengan peritoneum visceralnya. Tetapi
saat inflamasinya menjadi semakin berat maka akan mulai mengiritasi peritoneum parietal yang
kemudian menyebabkan nyeri tajam yang dapat terlokalisir dengan baik.

7. Langkah diagnosis

8. Dd
Komplikasi Apendisitis Akut

Perforasi

Saat terjadi obstruksi pada appendix, maka cairan dan lendir di dalamnya menjadi terperangkap dan tidak
bisa keluar. Sehingga akan terkumpul dan meningkatkan tekanan di dalam appendix. Hal ini akan
menyebabkan pembengkakan dan berkembangnya bakteri yang ada di dalam appendix. Pembengkakan
ini kemudian akan menghambat suplai darah ke appendix. jika tidak segera di terapi, maka hal ini akan
menyebabkan sel – sel pada dinding appendix menjadi rusak, sehingga menyebabkan munculnya lubang
pada appendix atau perforasi.

Jika sudah terjadi perforasi, maka bakteri yang tertampung tadi kemudian akan keluar dan menyebar pada
jaringan – jaringan disekitarnya, sehingga menyebabkan peritonitis. Proses ini sangat menyakitkan dan
membutuhkan terapi sesegera mungkin. Faktor resiko terjadinya perforasi adalah adanya demam, muntah,
durasi gejala meningkat, dan diameter rata-rata appendix mencapai 11mm atau lebih.

Perforasi ini kemudian dapat menyebabkan timbulnya komplikasi lainnya seperti adanya abses, gangrene
perforated appendix, atau appendix yang sudah mengalami perforasi kemudian menjadi gangrene,
obstruksi usus dan sepsis.

Sumber : Jurnal American Family Physician

Patofisiologi Inflammatory Bowel Disease

Patofisiologi dari IBD belum terlalu diketahui secara menyeluruh. Butuh lebih banyak penelitian
mengenai topic ini untuk dapat dijelaskan dengan baik bagaimana pathogenesis dari penyakit ini. Namun
pandangan tradisional pathogenesis IBD adalah bahwa inflamasi intestinal yang dimediasi oleh sel dari
system kekebalan tubuh innate. Inflamasi kronik didapat dari aktivitas agresif yang berlebihan dari
limfosit efektor dan sitokin proinflamasi yang berfungsi sebagai mekanisme control. Sebagai alternative,
IBD dapat berasal dari kegagalan primer dari limfosit regulatori dan sitokin, seperti interleukin 10 dan
transforming growth factor-beta untuk mengontrol inflamasi dan jalur efektor sebagai tambahan,
mekanisme patogenik utama pada Chron’s disease adalah resistensi sel T selama apoptosis setelah
aktivasi. Sehingga mikroba intrasel tidak terapoptosis sempurna, dan justru menyebar ke sel lainnya.

Dari penelitian yang dilakukan dapat ditemukan bahwa ada beberapa factor yang dapat berperan dalam
patogenesis IBD.

1. Factor genetic
Ditemukannya 2 gen yang berhubungan dengan autofagi yaitu ATG16L1 dan IRGM. Autofagi
berperan dalam mengatur homeostasis intrasel, degradasi dan recycling dari organel sel, dan juga
pertahanan terhadap infeksi, dan penghancuran mikroba intraselular. Jika terjadi gangguan pada
gen tersebut, maka proses autofagi akan terganggu, dan penghancuran mikroba intraselular yang
terganggu kemudian dapat menyebabkan perkembangan dari mikroba intraselular, dan bahkan
penyebaran menuju ke sel – sel lainnya.
2. Lingkungan
Terdapat banyak factor lingkungan yang bekerja dalam pathogenesis IBD, termasuk diantaranya
adalah merokok, pola makan, obat – obatan, geografi, stress dan elemen psikologis lainnya.
Diantaranya, merokok menjadi topic yang paling sering diteliti dalam hubungannya dengan IBD.
Untuk colitis ulseratif, sudah ada banyak penelitian yang menunjukan bahwa perokok berat
memiliki efek protektif terhadap colitis ulseratif, dimana akan terjadinya hambatan
perkembangan colitis ulseratif, dan menurunkan kemungkinan terjadinya relaps. Namun
berlawanan dengan efeknya terhadap colitis ulseratif, merokok akan meningkatkan resiko
timbulnya Chron’s Disease secara signifikan, dan meningkatkan resiko penyakit – penyakit post
operatif.
Faktor berikutnya adalah vitamin D. Secara tradisional, vitamin D diketahui untuk berperan
dalam metabolism kalsium dan kesehatan tulang. Namun belakangan ini ditemukan bahwa
vitamin D berperan dalam banyak pathogenesis penyakit, termasuk IBD. Pada beberapa
penelitian ditemukan defisiensi vitamin D pada kebanyakan pasien yang terdiagnosa IBD. Pada
penelitian terhadap tikus, dapat dilihat bahwa defisiensi vitamin D akan meningkatkan resiko
terjadinya colitis, dan meningkatkan derajat inflamasi.
Faktor lainnya yang meningkatkan resiko Chron’s Disease dan Colitis Ulseratif adalah polusi
udara. Penelitian di United Kingdom, menemukan bahwa meningkatnya level NO2 dan SO2 di
udara berhubungan dengan meningkatnya resiko Chron’s Disease dan Colitis Ulseratif.
3. Faktor Mikrobial
Mikrobiom dalam perut manusia terdiri dari kira – kira 1150 spesies bakteri, dan biasanya
terbentuk dalam 2 minggu pertama kehidupan dan kemudian menjadi stabil, tanpa adanya
perubahan jenis/ jumlah bakteri. Banyak penelitian telah mencoba untuk melihat bagaimana
kehidupan flora normal pada usus dari pasien dengan Chron’s Disease dan Kolitis Ulseratif pada
bagian yang terinflamasi, dan yang tidak terinflamasi dan menemukan bahwa adanya penurunan
keberagaman bakteri pada mikrobiom pasien IBD dibandingkan dengan orang sehat. Ada
penelitian lain yang juga menemukan bahwa mikrobiota pada pasien IBD jauh lebih tidak stabil
dibandingkan dengan orang sehat.

Sumber : World Journal of Gastroenterology

Etiologi ileus obstruktif


Obstruksi usus dapat dibagi menjadi penyebab obstruksi mekanik dan non mekanik

Obstruksi Mekanik : pada obstruksi mekanik, terdapat obstruksi fisik dari lumen usus, yang
dapat diasosiasikan dengan peningkatan peristaltic dalam usaha tubuh untuk menggerakan
makanan melewati blokade atau obstruksi tersebut.

Untuk Obstruksi usus halus sendiri , secara mekanik paling sering disebabkan karena adanya
adhesi. Adhesi ini dapat disebabkan karena adanya ikatan usus yang dapat bersifat congenital atau
didapat setelah dilakukannya operasi.
Selain adhesi, bisa juga disebabkan oleh adanya hernia, yang dapat terjadi baik pada hernia
inguinal, femoral, incisional, paraumbilical atau internal.
Kemudian dapat juga disebabkan oleh tumor, seperti limfoma dan GIST atau Gastro intestinal
stromal tumour
Bisa juga disebabkan oleh inflamasi atau striktura, seperti pada penyakit Crohn’s Disease,
postoperative (constriction ring), ulkus peptikum, post radioterapi dan vaskulitis.
Obstruksi non mekanik : pada obstruksi non mekanik dapat terjadi karena adanya penurunan atau
tidak adanya gerakan peristaltic karena gangguan pada transmisi neuromuscular pada saraf
parasimpatik dari usus. Pada usus kecil maka yang terjadi adalah paralytic ileus. Biasanya
mempengaruhi keseluruhan usus dan merupakan hal normal yang terjadi setelah dilakukannya
operasi di daerah abdomen. Gangguan ini diharapkan untuk hilang setelah 3 hari, tetapi dapat
menetap dan di eksaserbasi oleh karena adanya gangguan elektrolit, terutama hypokalemia. Intra
abdominal sepsis, hematoma dan penyakit retroperitoneal (pancreatitis) juga dapat menyebabkan
paralytic ileus.
Sumber : Buku Gastrointestinal Surgery dari Elsevier

Anda mungkin juga menyukai