Anda di halaman 1dari 30

MODUL TUTORIAL 2

SKENARIO 4

KUNING PADA ANAK

Kata Kunci :

1. Bayi perempuan umur 3 hari


2. Kulit dan mata kuning
3. Bayi lahir cukup bulan
4. Riwayat persalinan normal
5. Ibu bayi berusia 40 tahun
6. Persalinan dibantu bidan
7. Tidak ada riwayat keluhan kesehatan ibu yang berarti

Pertanyaan :

1. Aspek biomedik terkait : anatomi, histology, fisiologi, dan biokimia


2. Apa etiologi dari ikterus pada bayi?
3. Bagaimana mekanisme kekuningan pada bayi?
4. Jelaskan perbedaan ikterus normal dan abnormal pada bayi?
5. Berapa kadar bilirubin normal pada bayi dan TTV normal pada bayi? Berapa derajat kekuningan
pada bayi?
6. Penyakit-penyakit apa saja yang menyebabkan gejala kuning pada bayi?
7. Adakah hubungan usia ibu dan riwayat persalinan dengan gejala kuning pada bayi?
8. Bagaimana langkah-langkah diagnostik bayi dengan kasus kuning?
9. Bagaimana tata laksana bayi dengan kondisi ikterus?
10. DD

Jawaban

1. Aspek biomedik terkait


Anatomi Hepar
Berat hepar pada neonatus sekitar 120 gram pada bayi cukup bulan. Liver pada neonatus relatif
lebar mencapai 4% dari berat tubuh dibandingkan pada orang dewasa yang hanya mencapai 2.5-
3%. Lobus kanan hepar meluas di bawah margin costal secara anterior 1-2 cm. dan terbentang
dekat Krista iliaka secara posterior. Lobus kiri hepar dapat meluas sampai lateral dinding
abdomen dan terbentang di atas gaster dan limpa. Secara relatif, hepar pada neonatus mengisi
penuh lobus abdomen atas.
Anatomi Gallbladder/kandung empedu
Kandung empedu (vesika biliaris) tidak meluas ke puncak hepar dan memiliki permukaan
peritoneal yang kecil. Secara garis besar, kandung empedu menempel pada hepar (intrahepatik).
Setelah tahun kedua kehidupan, secara proporsional sama karakteristiknya dengan orang
dewasa. Kandung empedu mudah untuk tidak dikenali pada saat laparotomi, tetapi
keberadaannya seharusnya diperhatikan karena berkaitan dengan beberapa anomali yang
jarang terjadi. Bagian fundus dari gallbladder mungkin tidak meluas di bawah batas hepar.

SUMBER :

SURGERY JOURNAL dan dari Link.springer.com

Hepar secara makroskopis dibagi menjadi empat lobus, yaitu dua lobus utama : lobus kanan dan kiri
yang dibagi oleh ligamentum falciformis di bagian anterior, serta dua lobus aksesoria, yaitu lobus
quadratus dan lobus kaudatus. Hepar terletak pada region hiponkondrium kanan, epigastrium dan
terkadang bisa mencapai regio hipokondrium kiri. hepar memiliki lapisan jaringan ikat tipis yang disebut
kapsula glisson dan pada bagian luarnya ditutupi oleh peritoneum. Daerah tempat keluar masuknya
darah pada hepar disebut dengan porta hepatis atau hilus. Pembuluh darah yang terdapat pada daerah
ini antara lain vena porta, arteri hepatica propria, dan terdapat duktus hepatikus dextra dan sinistra.
Persarafan pada hepar terbagi menjadi 2, yaitu di bagian parenkim dikelola oleh nervus hepatikus yang
berasal dari pleksus hepatikus. Sedangkan, pada bagian bawahnya mendapat persarafan dari nervi
interkostales bawah. Batas atas hati berada sejajar dengan ruang interkostal V kanan dan batas bawah
menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri.

Secara anatomis, kandung empedu atau vesika fellea terletak di antara dua lobus hepar. Vesika fellea
merupakan tempat penyimpanan asam empedu yang berbentuk kantung piriformis memiliki panjang 7-
10 cm dan lebar 3-4 cm serta dapat menampung sebanyak 30-50 cc empedu. Kandung empedu terdiri
dari 3 bagian, yaitu korpus, fundus, infundibulum dan kolum. Korpus merupakan bagian yang terbesar.
Fundus membentang hingga 1 cm tepi bebas hepar. Infundibulum merupakan area transisional antara
korpus dan kolum. Kandung empedu berhubungan dengan sistem empedu hati melalui duktus sistikus
yang berjalan ke duktus biliaris komunis dengan muara ke dalam duodenum proksimal yang dikontrol
oleh sfingter oddi. Duktus biliaris komunis dan duktus pankreatikus biasanya menyatu tepat di sebelah
proksimal dari sfingter ini. Kantong Hartman merupakan penonjolan pada permukaan inferior
infundibulum. Vesika fellea akan berakhir pada duktus sistikus dengan diameter 7 mm dan dengan
mukosa yang memiliki valvula spiralis. Duktus sistikus akan mengalirkan empedu menuju duktus
koledokus, di mana duktus ini melalui caput pankreas akan berakhir di sfingter oddi yang menembus
dinding duodenum dan membentuk sebuah bangunan yang disebut ampulla vateri.

SUMBER :

EPRINTS.UNDIP.AC.ID

BUKU PATOFISIOLOGI PENYAKIT STEPHEN J. MCPHEE

BUKU AJAR IPD JILID II EDISI VI


HISTOLOGI HEPAR DAN KANDUNG EMPEDU

Struktur dasar sel hepar adalah hepatosit. Lobules hepar dibentuk oleh massa polygonal jaringan dengan
ukuran 0,7 × 2 mm dengan celah porta teletak di perifer dan vena yang disebut sebagai vena sentralis
terletak di tengah. Celah porta yang terletak di tepi dari lobules, masing-masing terdiri dari jaringan ikat,
sebuah venula, arteriol, duktus, dan pembuluh limfe. Hepatosit merupa sel polygonal besar yang
membentuk 80% populasi hepar. Celah di antara lempeng ini disebut sinusoid hati yang terdiri dari
lapisan tak utuh dari sel endotel berfenestra. Selain itu, sinusoid juga mengandung makrofag yang
dikenal sebagai sel Kupffer. Sel tersebut ditemukan pada permukaan luminal sel-sel endotel. Fungsi
utamanya adalah memetabolisme eritrosit tua, mencerna Hb, menyekresi protein yang berhubungan
dengan proses imunologis dan menghancurkan bakteri yang masuk ke dalam sistem porta. Di dalam
celah disse sel terdapat penimbunan lemak atau sel itto yang berwarna kerut.

Sumber : eprints.undip.ac.id
histologi kandung empedu terdiri atas mukosa dengan epitel selapis silindris dan lamina propria, selapis
otot polos, jaringan ikat perimuskular dan suatu membrane serosa. Sel-sel epitel kandung empedu kaya
akan mitokondria dan semuanya mampu menyekresi mukus. Kelenjar mukosa tubuloasinar terletak
dekat dengan empedu dan berfungsi dalam sekresi sejumlah mukus dalam kandung empedu. Fungsi
utama kandung empedu adalah penyimpanan empedu, pemekatan empedu dengan cara mengabsorpsi
air, dan melepaskan empedu ke dalam saluran cerna bila dibutuhkan. Proses ini tergantung pada
mekanisme transport aktif natrium di epitel kandung empedu.

- Organ berongga berbentuk buah pir


- Penyimpanan empedu, pemekatan empedu dan melepaskan empedu ke saluran
cerna bila dibutuhkan
- Epitel selapis silindris
- Banyak lipatan : sinus rokitanski aschoff
- Lamina Propria
- Musculus Mukosa : selapis otot polos
- Tidak ada submukosa
- Tunika muscularis
- Tunika serosa
SUMBER : Scrib.id oleh Muhammad Akrim dan MODUL BAHAN AJAR BLOK GEH FK
UNDANA TAHUN 2017

Fisiologi Hepar

Hati mempunyai fungsi penting dalam pembentukan dan ekskresi empedu. Hati menyekresikan
empedu sebanyak 1 liter per hari ke dalam usus halus. Lalu, hati juga berpern sebagai tempat
penyimpanan glikogen dari monosakaria yang sudah dibentuk di usus halus (glikogenesis). Dari
hati inilah, bila terjadi kekurangan glukosa dalam darah, maka glikogen akan diubah menjadi
glukosa dan digunakan dalam oleh tubuh (glikogenolisis) sebagian glukosa akan digunakan
sebagai sumber energi dan sisanya akan disimpan sebagai glikogen di dalam otot atau lemak di
jaringan subkutan. Hati juga berfungsi dalam menghasilkan protein plasma yaitu albumin yang
diperlukan untuk mempertahankan tekanan osmotik koloid, protrombin, fibrinogen, dan faktor
bekuan lainnya. Fungsi hati dalam metabolisme lemak adalah menghasilkan lipoprotein,
kolesterol, fosfolipid, dan asam asetoasetat. Hati juga merupakan komponen sentral sistem imun,
yaitu sel kupffer, yang meliputi 15% dari massa hati dan 80% dari total fagosit tubuh. Sel ini
sangat penting dalam menanggulangi antigen luar tubuh dan mempresentasikan antigen tersebut
kepada limfosit.

Fisiologi Kandung empedu

Empedu berperan dalam membantu pencernaan dan absorpsi lemak, ekskresi metabolit hati dan
produk sisa seperti kolesterol, bilirubin, dan logam berat. Sekresi empedu membutuhkan
aktivitas hepatosit (sumber empedu primer) dan kolangiosit (di sepanjang duktulus empedu).
Epitel barier berperan dalam menghasilkan 40 % dari 600 ml produksi empedu setiap hari. Asam
empedu mempunyai peran seperti deterjen dalam memgemulsi lemak, membantu kerja enzim
pankreas, dan penyerapan lemak intraluminal. Selama empedu berada dalam kandung empedu
akan terjadi peningkatan konsentrasi empedu oleh karena terjadi proses-proses reabsorpsi ion-ion
natrium, kalsium, klorida, dan bikarbonat diikuti oleh difusi air, sehingga terjadi penurunan pH
intrinsik.

SUMBER : BUKU AJAR IPD JILID II EDISI VI


2. Etiologi dari ikterus pada bayi
Jawab : Etiologi ikteus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun disebabkan oleh
beberapa faktor seperti :
a. Hemolisis yang meningkat seperti pada inkompatibilitas darah rhesus, ABO,
golongan darah lain, dan defisiensi enzim G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup,
dan sepsis.
b. Gangguan dalam uptake dan konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar akibat
asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapat enzim glukoronil transferase
(G6PD)
c. Gangguan transportasi bilirubin darah oleh albumin akibat penggunaan salisilat,
sulafafu rezole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak bilirubin indirek yang
bebas dalam darah yang mudah menimbulkan kernikterus (melekat pada sel otak).
d. Gangguan dalam sekresi akibat obstruksi hepar atau di luar hepar yang disebabkan
oleh infeksi atau penyebab lain.

SUMBER : REPOSITORY.UNIMUS.AC.ID

3. Bagaimana mekanisme kuning pada bayi


Jawab :
Neonatus akan memproduksi lebih banyak bilirubin dua kali lipat dibandingkan orang
dewasa, yaitu 8-10 mg/kgbb/hari, sedangkan pada orang dewasa sekitar 3-4
mg/kgbb/hari. Peningkatan ini disebabkan oleh masa hidup eritrosit yang lebih pendek
(70-90 hari) dibandingkan orang dewasa (120 hari)., peningkatan degradasi heme, dan
turn over sitokrom, dan juga peningkatan bilirubin enterohepatik. Kondisi ini sering
terjadi pada awal kehidupan sampai minggu pertama kehidupan dan akan turun pada
minggu-minggu berikutnya sampai kadar bilirubin sama seperti orang dewasa.
4. Perbedaan ikterus normal dan abnormal pada bayi
Jawab :
Ikterus fisiologis setelah 24 jam pertama dan memuncak kadar bilirubinnya pada hari ke-
3 sampai ke-5 dan menurun setelah hari ke-7. Ikterus dikatakan tidak membahayakan
apabila tidak menyebabkan morbiditas pada bayi. Kulit dan mata (sclera) kuning, tetapi
tidak ada tanda-tanda penyakit kuning yang berbahaya.

Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologi atau kadarnya mencapai
suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Ikterus dianggap patologis apabila :

 Ikterus terjadi sebelum atau dalam 24 jam pertama kehidupan


 Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam
 Konsentrasi bilirubin sewaktu 10 mg% pada neonatus kurang bulan dan 12,5 mg% pada
neonatus cukup bulan.
 Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G6PD
dan sepsis)
 Ikterus yang disebabkan oleh bayi lahir kurang dari 2000 gram, yang disebabkan oleh
usia di bawah 20 tahun atau di atas 35 tahun kehamilan dan kehamilan pada masa remaja,
masa gestasi kurang dari 36 minggu, hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolitas darah.
 Berlangsung lebih dari 14 hari pada bayi cukup bulan dan lebih dari 21 hari pada bayi
prematur.
 Terdapat demam
 Jaundice yang banyak : mulai dari palmar dan telapak kaki infant sangat kuning.
 Abnormal jaundice dapat disebabkan oleh sifilis congenital, sepsis, infeksi intrauterine,
penyakit hepar, seperti hepatitis atau atresia biliaris dan hipotiroid.
 Peningkatan kadar bilirubin total serum > 0,5 mg/dl/jam
 Setiap peningkatan bilirubin total serum memerlukan fototerapi
 Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi (muntah, letargi, malas
menetek, BB turun cepat, apnea, takipnea, suhu labil.
 Ikterus bertahan setelah 8 hari pada BCB, dan setelah 14 hari pada BKB.
 Bilirubin direk > 2 mg/dl

SUMBER : REPOSITORY.UNIMUS.AC.ID DAN EPRINTS.UNDIP.AC.ID dan


HTTP://ICHRC.ORG/CHAPTER-3121-JAUNDICE DAN JURNAL FK UNAIR.

5. Kadar bilirubin normal dan TTV normal serta derajat kekuningan pada bayi?
Jawab :
Hiperbilirubin adalah keadaan meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadarnya
melebihi normal biasanya terjadi pada bayi baru lahir. Nilai normal kadar bilirubin dibagi
menjadi 2, yaitu bilirubin indirek : 0,3 – 1,1 mg/dl dan bilirubin direk : 0,1 – 0,4
mg/dl. Di beberapa institusi, bayi dinyatakan menderita hiperbilirubinemia/ikterus
apabila kadar BTS (bilirubin total serum) ≥ 12 mg/dl pada bayi aterm, sedangkan pada
bayi preterm bila kadarnya ≥ 10 mg/dl. Penentuan derajat ikterus pada bayi dapat dinilai
secara klinis apabila fasilitas laboratorium tidak tersedia. Derajat kekuningan pada bayi
dapat dinilai menggunakan rumus Kramer, yaitu :

a. Kramer 1 : di daerah kepala dan leher dengan perkiraan kadar bilirubin total ± 5-7 mg/dl.
b. Kramer 2 : Kramer 1 ditambah daerah dada sampai pusat dengan perkiraan kadar
bilirubin total ± 7-10 mg/dl.
c. Kramer 3 : Kramer 1 + Kramer 2 + perut di bawah pusat sampai dengan lutut dengan
perkiraan kadar bilirubin toral ± 10-13 mg/dl
d. Kramer 4 : Kramer 1 + Kramer 2 + Kramer 3 + daerah lengan sampai pergelangan tangan
dan daerah tungkai bawah sampai pergelangan kaki dengan kadar bilirubin total ± 13-17
mg/dl
e. Kramer 5 : Kramer 1 + Kramer 2 + Kramer 3 + Kramer 4 + sampai telapak tangan dan
kaki dengan perkiraan kadar bilirubin total adalah > 17mg/dl.

TANDA-TANDA VITAL :

1. Suhu
Suhu tubuh dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, suhu lingkungan, dan aktivitas. Dimana pada
bayi yang lebih muda, panas kurang diproduksi atau suhu tubuh relatif rendah karena sirkulasi
yang belum sempurna, respirasi lemah, konsumsi oksigen yang rendah, dan otot belum
sepenuhnya aktif. Sedangkan suhu lingkungan yang rendah menyebabkan bayi lebih banyak
kehilangan panas, sehingga suhu tubuh cenderung lebih rendah dibandingkan pada lingkungan
hangat. Bayi laki-laki cenderung memiliki lemak tubuh yang lebih sedikit dibanding bayi
perempuan, dimana berpengaruh pada termoregulasi, sehingga suhu tubuhnya cenderung lebih
rendah. Neonatus akan cenderung mempertahankan stabilitas suhu internal tubuh karena untuk
optimalisasi fungsi jaringan tubuh Bayi baru lahir, pada keadaan normal, memiliki suhu tubuh
sekitar 36,5 0C hingga 37,5 0C atau sama dengan suhu tubuh ibunya, namun pada kasus tertentu
cenderung terjadi hipotermia. Suhu bayi akan cenderung stabil setelah 8-10 jam pasca kelahiran.
Pengukuran suhu tubuh bayi dapat dilakukan melalui oral, rectum, telinga, dan axilla. Klinisi
cenderung melakukan pengukuran suhu melalui ketiak karena tidak invasif dan lebih dapat
diterima.
2. Denyut nadi
Nadi atau pulse diukur untuk mengevaluasi denyut jantung. Pada kondisi normal denyut jantung
bayi baru lahir sekitar 140 kali per menit atau berada pada kisaran 70-190 kali per menit serta
dapat dijumpai murmur karena aliran darah yang belum normal pasca kelahiran. Denyut jantung
normalnya 80-100 kali per menit saat tidur dan dapat mencapai 180 kali per menit pada saat
bayi menangis. Denyut jantung dipengaruhi oleh suhu tubuh, usia, dan aktivitas fisik bayi,
dimana bayi dengan usia lebih muda dan suhu tubuh lebih rendah maka denyut jantungnya
akan lebih tinggi dibanding bayi yang lebih tua dan suhu tubuh lebih tinggi, sedangkan aktivitas
fisik meliputi pergerakan bayi yang berlebih serta keaadaan bayi yang menangis menyebabkan
nilai denyut jantung meningkat. Denyut jantung akan terus menurun hingga usia 14 tahun
kemudian stabil pada 60-100 kali per menit. Tekanan nadi diukur pada beberapa titik dimana
pembuluh arteri dekat dengan permukaan kulit. Titik tersebut diantaranya temporal, carotid,
apical, brachial, radial, femoral, dan tibialis posterior. Pemeriksaan dilakukan dengan cara
palpasi menggunakan dua jari dan diukur selama 30 atau 60 detik. Cara lain dapat dilakukan
dengan auskultasi pada apex jantung untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat.
3. Respiration rate (frekuensi pernapasan)
Laju pernapasan atau biasa disebut respiration rate (RR) dipengaruhi oleh suhu, usia, aktivitas.
Laju pernapasan lebih tinggi pada kondisi demam, usia bayi yang lebih rendah, dan aktivitas fisik
yang rendah yang meliputi gerak minimal, tidur, kondisi bayi tenang. Pada bayi baru lahir laju
pernapasan berkisar antara 40-60 kali per menit kemudian cenderung menurun dan stabil
ketika dewasa. Laju pernapasan diukur dengan menghitung jumlah napas seseorang dalam satu
menit serta melihat pola dan kualitas pernapasannya. Biasanya diukur pada kondisi istirahat
atau tenang. Pengukuran pada anak biasa dilakukan sebelum pengukuran suhu.
4. Tekanan darah
Tekanan darah merupakan salah satu komponen pemeriksaan tanda vital. Faktor yang
mempengaruhi tekanan darah yaitu berat badan dan usia bayi. Tekanan darah bayi dengan
berat badan lebih besar dan matur lebih tinggi dari pada bayi berat badan rendah. Faktor
tersebut akan mempengaruhi curah jantung, tahanan pembuluh darah tepi, volume darah total,
viskositas darah, dan kelenturan dinding arteri sehingga secara langsung mempengaruhi hasil
pengukuran tekanan darah. Parameter yang diukur pada pemeriksaan tekanan darah yaitu
tekanan sistolik, dimana merupakan tekanan maksimal pada dinding arteri selama kontraksi
ventrikel kiri, tekanan diastolik yaitu tekanan minimal selama relaksasi, dan Mean Arterial
Pressure atau biasa disebut MAP yaitu selisih antara tekanan sistolik dan diastolik (penting
untuk menilai derajat syok). Tekanan sistolik pada bayi baru lahir berkisar antara 60–90 mmHg
sedangkan tekanan diastolik berkisar antara 20–60mmHg. Pada anak-anak atau usia muda
tekanan sistolik dapat diperkirakan dengan rumus= 70 + (2 x usia dalam tahun).
5. Saturasi Oksigen
Pulse oximetry adalah metode noninvasif yang memungkinkan pengukuran saturasi oksigen
dalam hemoglobin darah pada arteri. Neonatus normalnya memiliki saturasi oksigen diatas 97%.
Bayi prematur cenderung sensitif pada pemberian oksigen. Bayi prematur harus memiliki
saturasi oksigen yang berkisar dibawah 95% untuk mencegah penyakit yang berhubungan
dengan reaktivitas oksigen contohnya retinopathy dan bronchopulmonary dysplasia. Saturasi
oksigen juga harus berada diatas 80-85% untuk mencegah cerebral palsy. Saat ini target saturasi
oksigen yang digunakan klinisi yaitu 88-92% untuk bayi prematur, namun nilai optimalnya belum
dapat dipastikan karena perbedaan akurasitas alat serta bias lainnya.

SUMBER : REPOSITORY.UNIMUS.AC.ID DAN EPRINTS.UNDIP.AC.ID DAN JURNAL


FK UDAYANA DAN

6. Penyakit-penyakit apa saja yang menyebabkan gejala kuning pada bayi


7. Adakah hubungan usia ibu dan riwayat persalinan dengan kuning pada bayi?
8. Bagaimana langkah-langkah diagnostik bayi dengan kasus kuning?
9. Bagaimana tata laksana bayi kuning?
Jawab :
Sumber : BUKU SAKU MANAJEMEN MASALAH BAYI BARU LAHIR PANDUAN UNTUK DOKTER,
PERAWAT, DAN BIDAN TAHUN 2005
SUMBER : REPOSITORY.UNIMUS.AC.ID
10. LO : PENCEGAHAN IKTERUS DI RUMAH, PROGNOSIS, TATA LAKSANA IKTERUS FISIOLOGIS
Jawab :
TUTORIAL MODUL 2

PERTEMUAN 2

1. IKTERUS FISIOLOGIS
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada
kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin takterkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis
akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dl. Hiperbilirubinemia
adalah peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang
diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90.
a) Epidemiologi : Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2012, AKN (Angka Kematian Neonatus) sebesar 19 per 1000 kelahiran hidup dan AKB
sebesar 22,23 per 1000 kelahiran hidup, yang artinya sudah mencapai target Millenium
Development Goals (MDGs) sebesar 23 per kelahiran hidup. Akan tetapi, AKB (Angka
Kematian Bayi) di Indonesia masih tergolong tinggi dibandingkan dengan negara-negara
ASEAN seperti, Singapura mencapai 3 per 1000 kelahiran hidup, Brunei Darussalam
mencapai 8 per 1000 kelahiran hidup, dan Malaysia mencapai 10 per 1000 kelahiran hidup.
Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia perlu melanjutkan program untuk mencapai
target Sustainable Development Goals (SDGs) pada tahun 2030 sebesar 12 per kelahiran
hidup. Kematian bayi yang utama di Indonesia disebabkan karena BBLR 26%, ikterus 9%,
hipoglikemia 0,8% dan infeksi neonatorum 1,8%. Prevalensi kejadian ikterus neonatorum
di dunia masih cukup tinggi. Di Amerika Serikat, 65% dari 4 juta neonatus yang lahir setiap
tahunnya mengalami ikterus neonatorum dalam minggu pertama kehidupannya. Di
Indonesia, menurut data di salah satu Rumah Sakit yaitu di RSUD. Dr. Soetomo
menunjukkan peningkatan kejadian ikterus neonatorum, pada tahun 2012 sebanyak 380
kasus, pada tahun 2013 terdapat sebanyak 392 kasus ikterus neonatorum, dan pada tahun
2018, terdapat 395 kasus ikterus neonatorum. Berdasarkan, faktor risiko ikterus dibedakan
menjadi 3 faktor yaitu, faktor maternal meliputi Ras, komplikasi kehamilan (DM,
inkompatibilitas ABO dan Rh), penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik, dan ASI.
Faktor perinatal meliputi trauma lahir (sefalhematom, ekimosis), dan infeksi (bakteri, virus,
protozoa). Faktor neonatal meliputi prematuritas, faktor genetik, polisitemia, obat-obatan,
rendahnya asupan ASI, hipoglikemia, dan hipoalbuminemia. Faktor lain yaitu BBLR dan
asfiksia.

SUMBER : PEDIOMATERNAL NURSING JOURNAL VOL. 5, NO. 2, SEPTEMBER 2019 Faktor Risiko
Kejadian Ikterus Neonatorum OLEH Nimas Anggie Auliasari, DKK DARI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Pada bayi baru lahir, ikterus seringkali tidak dapat dilihat pada sklera karena bayi baru lahir
umumnya sulit membuka mata. Ikterus pada bayi baru lahir pada minggu pertama terjadi
pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan.
Penyebab dari ikterus neonatorum pada bayi baru lahir di antaranya disebabkan oleh
adanya gangguan pada produksi bilirubin yang berlebihan dari kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya, gangguan dalam proses uptake dan konjugasi yang disebabkan oleh
imaturitas hepar, ganguan dalam transportasi bilirubin dalam darah yang terikat oleh
albumin, gangguan dalam sekresi, adanya obstruksi saluran pencernaan (fungsional atau
struktural) dan ikterus yang diakibatkan oleh ASI . Data epidemiologi yang ada menunjukkan
bahwa lebih dari 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis
dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar
bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak
disebabkan oleh faktor tunggal tapi kombinasi dari berbagai faktor yang berhubungan
dengan maturitas fisiologis bayi baru lahir atau disebut ikterus fisiologis yang akan
menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan. Sebagian kecil memiliki penyebab
seperti hemolisis, septikemi, dan penyakit metabolik yang dapat menyebabkan peningkatan
bilirubin secara berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan dapat
menyebabkan kematian (ikterus patologis).
SUMBER : JURNAL Kesehatan Ibu dan Anak, Volume 7, No.1, Juli 2015, HUBUNGAN ANTARA
MASA GESTASI DENGAN KEJADIAN IKTERUS NEONATORUM OLEH Maria Oliva Ratuain, DKK
DARI POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA
Berdasarkan Tabel 9 diatas diketahui bahwa responden yang lahir prematur, hampir seluruh
responden mengalami ikterus patologis yaitu sebanyak 88,5%. Sedangkan responden yang
lahir aterm, sebagian besar responden mengalami ikterus patologis yaitu sebanyak 60,7%.
Sementara itu, sebagian besar ikterus fisiologis didapatkan oleh neonatus yang lahir secara
aterm.

SUMBER : Jurnal Ners dan Kebidanan, Volume 5, Nomor 2, Agustus 2018, HUBUNGAN FAKTOR
PERINATAL DAN NEONATAL TERHADAP KEJADIAN IKTERUS NEONATORUM (The Relationship Between
Perinatal And Neonatal Factors on The Neonatal Jaundice) Dwi Yuliawati dan Reni Yuli Astutik dari
STIKES KARYA HUSADA KEDIRI

b) Etiologi :
Ikterus fisiologis adalah ikterus yang timbul pada hari ke dua dan hari ke tiga yang tidak
mempunyai dasar patologik, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau
yang mempunyai potensi menjadi kern ikterus dan tidak menyebabkan suatu morbiditas
pada bayi. Ikterus fisiologis ini juga dapat dikarenakan organ hati bayi belum matang atau
disebabkan kadar penguraian sel darah merah yang cepat. Ikterus fisiologis tidak
disebabkan oleh faktor tunggal, tetapi disebabkan oleh beberapa faktor sebagai kombinasi,
yaitu peningkatan ketersediaan bilirubin dan penurunan clearance bilirubin.

Bayi yang diberi minum lebih awal atau diberi minum lebih sering dan bayi dengan aspirasi
mekonium atau pengeluaran mekonium lebih awal cenderung mempunyai insiden yang
rendah untuk terjadi ikterus fisiologis. Pada bayi yang diberikan susu formula akan
mengeluarkan bilirubin yang lebih banyak pada mekoniumnya selama 3 hari pertama
kehidupan dibandingkan dengan yang mendapat ASI. Bayi yang mendapat ASI , kadar
bilirubinnya akan cenderung lebih rendah pada defekasinya yang lebih sering. Bayi yang
terlambat mengeluarkan mekonium sering terjadi ikterus fisiologis. Pada bayi yang
mendapat ASI ada 2 bentuk jaundice, yaitu early (berhubungan dengan breast
feeding/pemberian minum) dan late (berhubungan dengan kandungan ASI). Penyebab late
onset tidak diketahui, tetapi telah dihubungkan dengan faktor spesifik dari ASI, yaitu 2 α-
20β-pregnanediol yang mempengaruhi aktivitas UDPGT atau pelepasan bilirubin konjugasi
dari hepatosit; peningkatan aktivitas lipoprotein lipase yang kemudian menyebabkan
pelepasan asam lemak bebas ke dalam usus halus, penghambatan konjugasi akibat
peningkatan asam lemak unsaturated; atau beta glukuronidase atau adanya faktor lain yang
menyebabkan peningkatan jalur enterohepatik.

Ikterus fisiologis umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar bilirubin takterkonjugasi pada
minggu pertama > 2mg/dl. Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu formula kadar
bilirubinnya akan mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dl pada hari ke-3 kehidupan dan
kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan yang lambat
sebesar 1 mg/dl selama 1 sampai 2 minggu. Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI,
kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi 7-14 mg/dl dan penurunan
terjadi lebih lambat, bisa 2-4 minggu, bahkan mencapai 6 minggu. Pada bayi kurang bulan
yang mendapat susu formula juga akan mengalami peningkatan dengan puncak yang lebih
tinggi dan lebih lama, begitu juga dengan penurunannya bila tidak segera diberi fototerapi
sinar pencegahan. Peningkatan 10-12 mg/dL masih dalam kisaran fisiologis, bahkan sampai
15 mg/dL tanpa diserta kelainan metabolism bilirubin. Kadar normal bilirubin tali pusat
kurang dari 2 mg/dl dan berkisar dari 1,4 sampai 1,9 mg/dL.
Bayi yang diberikan ASI memiliki kadar bilirubin serum yang lebih tinggi yang dapat
disebabkan oleh beberapa faktor seperti frekuensi menyusui tidak adekuat, bayi kehilangan
berat badan/dehidrasi.
Sumber : Buku Ajar Neonatologi

c) Mekanisme
a. Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme heme
hemoglobin dari eritrosit sirkulasi. Satu gram hemoglobin akan menghasilkan 34 mg
bilirubin sisanya 25% disebut early labeled bilirubin yang berasal dari pelepasan
hemoglobin karena eritropoiesis yang tidak efektif di dalam sumsum tulang, jaringan
yang mengandung protein heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase), dan
heme bebas. Bayi baru lahir akan memproduksi sekitar 8-10 mg/kgbb/hari, sedangkan
orang dewasa 3-4 mg/kgbb/hari. Peningkatan bilirubin pada neonatus ini disebabkan
oleh masa hidup eritrosit yang lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan orang dewasa
(120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat, juga
reabsorpsi bilirubin dari usus yang meningkat (sirkulasi enterohepatik).
b. Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya akan
dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai
ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi plasma albumin yang
rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang terikat pada albumin
serum ini merupakan bilirubin non polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan
ditransportasi ke sel hepar. Bilirubin harus terikat dengan albumin agar tidak masuk ke
sistem saraf pusat dan agar tidak bersifat toksik.
c. Berkurangnya asupan atau intake bilirubin tak terkonjugasi oleh hepar akibat dari
defisiensi ligandin atau protein Y mungkin juga protein ikatan sitosolik lainnya.
d. Peningkatan beban bilirubin yang dihantarkan ke hati menyebabkan terjadinya retensi
bilirubin monoglukuronida akibat dari peningkatan sistem degradasi eritrosit.
e. Pada bayi baru lahir, memiliku usus yang masih steril, sehingga empedu yang
diekskresikan ke dalam usus tidak mudah diubah menjadi sterkobilin (suatu produk yang
tidak dapat diabsorpsi). Terdapat perbedaan kadar beta glukuronidase antara bayi baru
lahir dengan orang dewasa di mana pada mukosa usus halus dan feses bayi baru lahir
mengandung cukup banyak enzim ini dibadingkan orang dewasa sehingga dapat
menghidrolisis monoglukuronida dan diglukuronida menjadi bilirubin takterkonjugasi
sehingga kadarnya dapat direabsorpsi dan akhirnya kadarnya meningkat dalam darah.
f. Tingginya kadar bilirubin takterkonjugasi dalam mekonium. Hal ini dikarenakan pada
bayi baru lahir flora ususnya masih kurang sehingga tidak dapat mengubah bilirubin
menjadi urobilinogen dan akhirnya terjadi peningkatan pool bilirubin usus dibandingkan
dengan anak yang lebih tua dan orang dewasa.

Sumber : Blackburn ST, Buku Ajar Neonatologi IDAI

SUMBER : http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/2310/3/BAB%20II.pdf dan BUKU AJAR


NEONATOLOGI IDAI EDISI 1 TAHUN 2008
d) Pencegahan :
Pencegahan dititikberatkan pada pemberian minum sesegera mungkin; sering menyusui
untuk menurunkan shunt enterohepatik, menunjang kestabilan bakteri flora normal, dan
merangsang aktivitas usus halus. Strategi pencegahan primer berupa pemberian ASI secara
adekuat berupa 8-12 kali per hari pada beberapa hari pertama kehidupan, lalu tidak
memberikan cairan tambahan rutin berupa dekstrosa atau air pada bayi yang mendapat ASI
dan tidak mengalami dehidrasi.

PENILAIAN RISIKO SEBELUM BAYI DIPULANGKAN

- Sebelum dipulangkan dari RS, setiap bayi harus dinilai terhadap risiko berkembangnya
hiperbilirubinemia berat dan semua perawatan harus menetapkan protokol untuk
menilai risiko ini. Penilaian ini sangat penting untuk bayi yang pulang sebelum 72 jam.
- Perlunya penjelasan lisan atau informasi tertulis kepada orang tua saat keluar dari
Rumah Sakit, termasuk penjelasan tentang kuning, perlunya monitoring terhadap
kuning, dan anjuran bagaimana monitoring dilakukan. Untuk beberapa bayi yang
dipulangkan sebelum 48 jam, diperlukan 2 kunjungan tindak lanjut, yaitu kunjungan
pertama antara 24-72 jam dan kedua antara 72-120 jam. Penilaian klinik harus
digunakan dalam menentukan tindak lanjut. Pada bayi yang mempunyai faktor risiko
terhadap hiperbilirubinemia, harus dilakukan tindak lanjut yang lebih awal atau lebih
sering. Sedangkan bayi risiko kecil atau tidak berisiko, waktu pemeriksaan kembali dapat
lebih lama. Apabila tindak lanjut yang memadai tidak dapat dilakukan terhadap
peningkatan risiko timbulnya hiperbilirubinemia berat, mungkin diperlukan penundaan
kepulangan dari RS sampai tindak lanjut yang memadai dapat dipastikan atau periode
risiko terbesar terlewati (72-96 jam).

Sumber : Buku Ajar Neonatologi

e) Tata Laksana
Evaluasi laboratorium
- Pengukuran bilirubin transkutaneus atau BST harus dilakukan pada setiap bayi yang
mengalami ikterus dalam 24 jam pertama setelah lahir. Penentuan waktu dan perlunya
pengukuran ulang bilirubin transkutaneus atau BST tergantung pada daerah di mana BST
terletak, umur bayi, dan evolusi hiperbilirubinemia.
- Pengukuran BST dan atau transkutaneus harus dilakukan bila tampak ikterus yang
berlebihan. Jika derajat ikterus meragukan, maka harus dilakukan pemeriksaan BST atau
transkutaneus, terutama bayi dengan kulit hitam, oleh karena pemeriksaan derajat
ikterus secara visual sering kali salah.

FARMAKOTERAPI

- Dilaporkan bahwa akhir-akhir ini pemberian inhibitor beta glukuronidase pada bayi
sehat cukup bulan yang mendapat ASI, seperti asam L-aspartik dan kasein hoidrolisat
dalam jumlah kecil (5 ml/dosis sebanyak 6 kali sehari) dapat meningkatkan pengeluaran
bilirubin feses dan ikterus menjadi berkurang dibandingkan dengan bayi control.
Kelompok bayi yang mendapat campuran whey/kasein (bukan inhibitor beta
glukuronidase) kuningnya juga tampak menurun dibandingkan dengan kelompok
control, hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan ikatan bilirubin konjugasi yang
berakibat pada penurunan jalur enterohepatik.
2. IKTERUS KAUSA DEFISIENSI G6PD
a) Tata Laksana
Pemeriksaan G6PD direkomendasikan untuk bayi ikterus yang mendapat fototerapi dan
dengan riwayat keluarga atau etnis/asal geografis yang menunjukkan kecenderungan
defisiensi G6PD atau bayi yang menunjukkan respon terhadap fototerapi yang buruk.

SUMBER : BUKU AJAR NEONATOLOGI


Jika bilirubin serum berada pada kadar yang membutuhkan fototerapi, maka dapat
dilanjutkan fototerapi sesuai indikasinya.
Jika rujukan transfusi tukar dilakukan maka :
- Apabila bilirubin serum membutuhkan mendekati kadar yang membutuhkan transfusi
tukar, hemoglobin kurang dari 13 g/dL (hematokrit < 40%), dan uji coombs positif,
segera rujuk bayi. Jika bilirubin serum tidak dapat diukur dan tidak mungkin dilakukan
uji coombs, segera rujuk bayi jika ikterus dimulai pada hari ke-1 dan hemoglobin kurang
dari 13 g/dL (hematokrit < 40%)
- Jika bayi dirujuk untuk transfusi tukar, maka :
 Atur pemindahan
 Pastikan kondisi bayi stabil sebelum pemindahan
 Jika mungkin berikan terapi yang dibutuhkan sebelum pemindahan
(misalnya, atasi glukosa darah yang rendah), jika mungkin ;
 Jika bayi mampu makan, tetapi ibu tidak dapat menemani dan menyusui
bayi atau bayi harus makan dengan metode pemberian makanan secara
alternative, pasang selang lambung.
 Pastikan slang IV, jika ada, terpasang dan terfiksasi pada alat tetes mikro
terisi cairan dengan diperhatikan oleh petugas kesehatan yang
berpengalaman.
 Pastikan kendaraan memiliki pencahayaan dan isolasi yang adekuat
untuk mempertahankan bayi tetap hangat atau mencegah pemanasan
berlebih
 Minta kerabat menemani bayi dan ibu jika memungkinkan
 Kumpulkan peralatan, obat-obatan, perlengkapan, dan cairan esensial

 Segera rujuk bayi ke rumah sakit tersier atau yang terdapat perawatan spesialis
 Kirim sampel darah ibu dan bayi
 Jelaskan alasan kepada ibu kenapa bayi mengalami ikterus, kenapa harus dirujuk, terapi
yang akan diterima bayi.
 Berikan saran kepada ibu, bila :
o Apabila bayi mengalami inkompatibilitas Rh atau golongan darah AB0, ibu
diberikan saran untuk mempertimbangkan kehamilan berikutnya.
o Jika bayi mengalami G6PD, anjurkan ibu mengenai zat yang perlu dihindari
untuk mencegah hemolisis pada bayi (misalnya, obat-obatan antimalaria, obat-
obatan sulfa, aspirin, kamfor, dan kacang)
 Jika hemoglobin kurang dari 10 g/dL (hematokrit kurang dari 30%), maka berikan
transfusi darah
 Jika ikterus menetap selama 2 minggu atau lebih pada bayi cukup bulan atau tiga
minggu atau lebih pada bayi kecil (BBL < 2,5 kg atau lahir sebelum usia gestasi 37
minggu), atasi ikterus yang lama.
 Tindak lanjut setelah pemulangan adalah mengukur hemoglobin setiap minggu selama 4
minggu. Jika Hb kurang dari 8 gr/dL (hematokrit kurang dari 24%) maka berikan transfusi
darah.

SUMBER : BUKU SAKU MANAJEMEN BAYI BARU LAHIR PANDUAN PRAKTIK KLINIS UNTUK DOKTER,
PERAWAT, DAN BIDAN TAHUN 2005

Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) merupakan enzim pengkatalisis reaksi per tama


jalur pentosa fosfat dan memberikan efek reduksi pada semua sel dalam bentuk NADPH
(bentuk tereduksi nicotinamide adenine dinucleotide phosphate). Senyawa NADPH
memungkinkan sel-sel bertahan dari stres oksidatif yang dapat dipicu oleh beberapa bahan
oksidan dan menyediakan glutathione dalam bentuk tereduksi. Eritrosit tidak me-miliki
mitokondria sehingga jalur pentosa fosfat merupakan satu-satunya sumber NADPH,
sehingga pertahanan terhadap kerusakan oksidatif tergantung pada G6PD.1 Defisiensi G6PD
merupakan enzimopati yang paling umum diderita manusia dan terkait dengan kromosom
X. Gen pengkode enzim ini terletak di lengan panjang kromosom X (Xq28). Kebanyakan
pasien defisiensi G6PD tidak menunjukkan gejala hingga terpapar obat-obatan pengoksidasi,
infeksi, dan makan kacang fava. Pengobatan terpenting adalah dengan menghindari bahan
pengoksidasi yang dapat meng-induksi anemia hemolitik. Skrining neonatus dan edukasi
kesehatan berperan penting dalam mengurangi manifestasi klinis defi -siensi G6PD.

SUMBER : SKRINING, DIAGNOSIS, DAN ASPEK KLINIS DEFISIENSI 6-PHOPHAT DEHIDROGENASE OLEH
LIONG BOY KURNIAWAN UNHAS TAHUN 2014

b) Epidemiologi
Defisiensi G6PD diperkirakan diderita 400 juta orang di seluruh dunia. Prevalensi tertinggi
ditemukan di negara-negara SubSahara Afrika terutama di daerah-daerah dengan
endemisitas malaria tinggi. Prevalensi tinggi ditemukan di Afrika, Mediterania, Asia Tenggara
dan Amerika Latin (Gambar 1). Di Amerika Serikat, defi siensi G6PD terutama diderita
keturunan Afrika dan Mediterania. Di Indonesia, prevalensi defi siensi G6PD berkisar 2,7%
hingga 14,2%. Prevalensi defi siensi G6PD yang tinggi di daerah endemis malaria dikaitkan
dengan resistensi terhadap infeksi malaria. Di berbagai negara, skrining defi siensi G6PD
pada neonatus rutin dilakukan. Hal ini penting karena kernikterus yang merupakan
penyebab morbiditas dan mortalitas pada neonatus defi siensi G6PD dapat dicegah dengan
menghindari faktorfaktor penyebab hemolisis. Laporan dari Singapura menunjukkan setelah
program skrining defi siensi G6PD neonatus sejak tahun 1965 menggunakan sampel darah
tali pusat, insidens kernikterus turun drastis dalam 20 tahun terakhir. Dilaporkan hanya 1
kasus kernikterus pada neonatus defi siensi G6PD di Singapura. Neonatus defi siensi G6PD
dilindungi secara fi sik di rumah sakit selama 2 minggu pertama dan orang tuanya diberikan
konseling mengenai obat-obatan yang dapat memicu krisis hemolisis. Pao, dkk.8
menemukan bahwa insidens hiperbilirubinemia pada neonatus defi siensi G6PD sebesar
32% dan pada neonatus dengan G6PD normal hanya 12,3%, hal ini menunjukkan perlunya
skrining defi siensi G6PD pada neonatus. Pada neonatus lakilaki hemizigot defisiensi G6PD,
kadar G6PD.
Sepertiga neonatus laki-laki ikterus neonatorum menderita defi siensi G6PD, insidens
pada neonatus perempuan lebih jarang. Ikterus biasanya muncul pada pada umur 1-4
hari, mirip ikterus fisiologis. Ikterus neonatorum lebih berat pada bayi defisiensi G6PD
prematur. Jika skrining defisiensi G6PD tidak rutin dilakukan, pemeriksaan lebih seksama
perlu dilakukan pada neonatus yang menderita hiperbilirubinemia >150 mmol/L dalam 24
jam pertama atau memiliki saudara dengan riwayat ikterus neonatorum.

SUMBER : SKRINING, DIAGNOSIS, DAN ASPEK KLINIS DEFISIENSI 6-PHOPHAT DEHIDROGENASE OLEH
LIONG BOY KURNIAWAN UNHAS TAHUN 2014 CDK-222/ vol. 41 no. 11, th. 2014

c) Etiologi
Defisiensi G6PD diturunkan melalui kromosom X. Laki-laki hanya memiliki satu kromosom X
sehingga dapat memiliki ekspresi gen yang normal maupun defi siensi G6PD. Perempuan
yang memiliki 2 kopi gen G6PD pada setiap kromosom X dapat memiliki ekspresi gen
normal, heterozigot, maupun homozigot. Perempuan heterozigot dapat memiliki mosaic
genetik akibat inaktivasi kromosom X, dan dapat menderita defi siensi G6PD.1 Persentase
populasi defi siensi G6PD dan karier di India masing-masing 10% dan 11%.5 Gen G6PD
terletak pada regio telomerik lengan panjang kromosom X (band Xq28), dekat dengan gen
hemofi lia A, diskeratosis kongenital dan buta warna.
SUMBER : SKRINING, DIAGNOSIS, DAN ASPEK KLINIS DEFISIENSI 6-PHOPHAT DEHIDROGENASE OLEH
LIONG BOY KURNIAWAN UNHAS TAHUN 2014

d) Gejala Klinis

SUMBER : BUKU SAKU MANAJEMEN BAYI BARU LAHIR PANDUAN PRAKTIK KLINIS UNTUK DOKTER,
PERAWAT, DAN BIDAN TAHUN 2005

Around 5% of neonates with G6PD deficiency will develop jaundice after the first 24 hours of life (in contrast to (berbeda
dengan) fetal erythroblastosis), and their serum indirect bilirubin reaches a peak at days 3 to 5 , often more than 20 mg/dL. When
jaundice becomes apparent (terlihat) from the end of first week (akhir minggu pertama), its peak may be delayed up to the

2nd week.

SUMBER : NCBI 2013

Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency is a genetic disorder that occurs almost exclusively in males. This condition mainly affects red blood
cells, which carry oxygen from the lungs to tissues throughout the body. In affected individuals, a defect in an enzyme called glucose-6-phosphate
dehydrogenase causes red blood cells to break down prematurely. This destruction of red blood cells is called hemolysis.

The most common (PALING SERING) medical problem associated with glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency is hemolytic anemia,
which occurs when red blood cells are destroyed faster than the body can replace them. This type of anemia leads to paleness (PUCAT), yellowing of the
skin and whites of the eyes (jaundice), dark urine, fatigue (LEMAH), shortness of breath, and a rapid heart rate. 
SUMBER : https://medlineplus.gov/genetics/condition/glucose-6-phosphate-dehydrogenase-deficiency/#causes

Defisiensi G6PD biasanya bermanifestasi sebagai anemia hemolitik akut yang di-induksi obat maupun
infeksi, favisme, ikterus neonatorum maupun anemia hemolitik non-sferosis kronis. Beberapa kondisi
seperti diabetes, infark miokard, latihan fi sik berat telah dilaporkan menginduksi hemolisis pada
penderita defi siensi G6PD. Hemolisis akut pada penderita defi siensi G6PD biasa nya ditandai dengan
rasa lemah, nyeri punggung, anemia dan ikterus. Terjadi peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi,
laktat dehidrogenase dan retikulositosis.

SUMBER : SKRINING, DIAGNOSIS, DAN ASPEK KLINIS DEFISIENSI 6-PHOPHAT DEHIDROGENASE OLEH
LIONG BOY KURNIAWAN UNHAS TAHUN 2014

e) DIAGNOSIS

Tes fenotip aktivitas enzimatik G6PD pada darah vena segar merupakan metode diagnostik
yang paling umum. Tes fenotip dapat dibagi menjadi 4 kategori:
a. Tes direk yang langsung menilai aktivitas enzimatik G6PD. Standar perhitungan adalah
berdasarkan spektrofotometer. Tes spot fl uorescent Beutler’s merupakan tes skrining
populer yang menginkubasi hemolisat dengan substrat reaksi G6PD, ditempatkan di
kertas fi lter dan disinari ultra violet (450 nm). Fluoresensi menunjukkan aktivitas G6PD.
Tes ini paling mudah meskipun masih jauh dari ideal.
b. Tes indirek yang mencakup tes reduksi methemoglobin. Sel eritrosit direaksikan dengan
nitrit dan substrat glukosa kemudian tingkat NADPH-dependent methaemoglobin
reduction dinilai dengan katalis redoks. Derajat NADPH-dependent methaemoglobin
reduction berkorelasi dengan aktivitas G6PD. Metode indirek lain menggunakan
kromofor seperti brillian cresil blue, resazurin, formazan untuk memantau produksi
NADPH.
c. Tes sitokimia yang menilai status G6PD eritrosit, dapat digunakan untuk deteksi laki-laki
defi siensi homozigot, perempuan defi siensi homozigot dan heterozigot. Tes sitokimia
mencakup methaemoglobin elution test dengan melabel eritrosit berdasarkan jumlah
relatif methemoglobinnya sesuai metode indirek dengan tes reduksi methe-moglobin.
Metode terbaru sitofluorometrik mendeteksi autofluoresens terinduksi glutaral-dehid
dengan formazan yang menggunakan teknik flowsitometri.10 d. Tes cepat dengan point
of care tests (POCT).
SUMBER : SKRINING, DIAGNOSIS, DAN ASPEK KLINIS DEFISIENSI 6-PHOPHAT DEHIDROGENASE OLEH
LIONG BOY KURNIAWAN UNHAS TAHUN 2014

f) Komplikasi Transfusi Tukar :


- Hipokalsemia danhipoglikemia
- Hipomagnesemia

- Gangguan keseimbangan asam basa


- Hiperkalemia

- Gangguan kardiovaskualar (perforasi pembuluh darah, infark, aritmia, dll)


- Perdarahan (trombositopenia, defisiensi faktor pembekuan)

- Infeksi
- Hemolisis

- Graft versus host disease


- Hipotermia, hipertemia, atau enterokolitis nekrotikans

Early diagnosis (diagnosis dini) of deficiency of G6PD is quite important, because this disorder may cause severe hemolysis and anemia
in the newborn, if undiagnosed. (COMPLICATIONS) NCBI 2013

Kernikterus jarang terjadi, dapat menyebabkan kerusakan saraf yang bersifat permanen jika tidak
segera ditangani.

SUMBER : SKRINING, DIAGNOSIS, DAN ASPEK KLINIS DEFISIENSI 6-PHOPHAT DEHIDROGENASE OLEH
LIONG BOY KURNIAWAN UNHAS TAHUN 2014

Anda mungkin juga menyukai