Anda di halaman 1dari 61

Bab II Studi Pustaka II - 1

BAB II
STUDI PUSTAKA
2.1. Tinjauan Umum
Sistim transportasi terdiri dari tiga sistim/sub sistim yang saling
berinteraksi. Ketiga sistim tersebut adalah Sistim Kegiatan, Sistim
Jaringan, dan Sistim Pergerakan. Interaksi yang terjadi dapat dibagi dalam
tiga pola interaksi sebagai berikut :
1. Sistim Kegiatan + Sistim Jaringan Î Sistem Pergerakan
Perkembangan Sistim Kegiatan dan Meningkatnya sistim pergerakan
akan memicu pertumbuhan sistim pergerakan.
2. Sistim Jaringan + Sistim Pergerakan Î Sistim Kegiatan
Meningkatnya Sistim jaringan yang ada, disertai dengan peningkatan
Sistim pergerakan, akan menyebabkan berkembangnya Sistim
Kegiatan.
3. Sistim Pergerakan Î Sistim Kegiatan & Sistim Jaringan
Adanya pertumbuhan Sistim Pergerakan menyebabkan diperlukannya
pelayanan yang lebih baik dari Sistim jaringan dan Sisim Kegiatan
yang ada.

SISTEM SISTEM
KEGIATAN PERGERAKAN

SISTEM
JARINGAN

Gambar 2.1 Pola Interaksi Sistem Transportasi

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 2

Peranan Sistim jaringan, khususnya jaringan jalan raya dapat dibagi


menjadi dua, yaitu peran aktif dan pasif. Peran aktif jalan raya sebagai
sistim jaringan adalah bersama-sama dengan Sistim Pergerakan akan
mengarahkan dan memicu adanya pertumbuhan Sistim kegiatan pada
suatu daerah yang dilaluinya. Sebaliknya Sistim Jaringan dan Pergerakan
dikatakan berperan pasif apabila keberadaanya adalah untuk melayani
kebutuhan akibat pertumbuhan Sistim Kegiatan.

SISTEM SISTEM
SISTEM SISTEM
KEGIATAN PERGERAKAN
KEGIATAN PERGERAKAN

SISTEM
SISTEM
JARINGAN
JARINGAN

Peran “Aktif” Peran “Pasif”


Sistim Jaringan + Sistim Pergerakan Sistim Jaringan + Sistim Pergerakan
mengarahkan (positif / negatif) melayani kebutuhan akibat petumbuhan
perkembangan Sistim Kegiatan Sistim Kegiatan

Gambar 2.2 Peran Aktif dan Pasif Sistim Transportasi

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peningkatan pada suatu ruas
jalan tidak semata-mata karena permintaan (demand) yang disebabkan
meningkatnya Sistim Kegiatan dan Sistim Pergerakan di ruas jalan
tersebut, tetapi peningkatan suatu ruas jalan bisa saja terjadi dengan tujuan
untuk membangkitkan Sistim Kegiatan dan Sistim Pergerakan pada
kawasan di ruas jalan yang bersangkutan (tanpa adanya
permintaan/demand).

Untuk melakukan perancangan teknik jalan raya diperlukan beberapa


kriteria sebagai pertimbangan untuk mengoptimalkan hasil perancangan.

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 3

Adapun kriteria yang diperlukan dalam perancangan teknis jalan akan


diuraikan dalam sub bab-sub bab berikut ini:

2.2. Aspek Lalu Lintas


2.2.1. Klasifikasi Menurut Fungsi
Klasifikasi menurut fungsi terbagi atas :
a Jalan Arteri
Jalan arteri adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan
masuk dibatasi secara efisien.
b Jalan Kolektor
Jalan kolektor adalah jalan yang melayani angkutan pengumpul /
pembagi dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata
sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.
c Jalan Lokal
Jalan lokal adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-
ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah
jalan masuk tidak dibatasi.

2.2.2. Klasifikasi Menurut Kelas Jalan


Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk
menerima beban lalu-lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terberat
(MST) dalam satuan ton. Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya
serta kaitannya dengan klasifikasi menurut fungsi jalan dapat dilihat pada
Tabel 2.1 berikut ini.

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 4

Tabel 2.1 : Klasifikasi menurut kelas jalan


Muatan Sumbu Terberat,
Fungsi Kelas MST (ton)
Arteri I > 10
II 10
III A 8
Kolektor III A 8
III B -
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen
Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997)

2.2.3. Klasifikasi Menurut Medan Jalan


Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar
kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur. Keseragaman
kondisi medan yang diproyeksikan harus mempertimbangkan keseragaman
kondisi medan menurut rencana trase jalan dengan mengabaikan
perubahan-perubahan pada bagian kecil dari segmen rencana jalan tersebut.
Klasifikasi menurut medan jalan untuk perancangan geometrik dapat
dilihat dalam Tabel 2.2

Tabel 2.2 : Klasifikasi menurut medan jalan.


No Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan (%)
1 Datar D <3
2 Perbukitan B 3 – 25
3 Gunung G > 25
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota,
Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997)

2.2.4. Klasifikasi Menurut Wewenang Pembinaan Jalan


Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaannya sesuai PP. No. 26 /
1985 adalah jalan nasional, jalan propinsi, jalan kabupaten / kotamadya,
jalan desa, dan jalan khusus.

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 5

2.2.5. Kapasitas
Kapasitas lalu lintas didefinisikan sebagai arus maksmum melalui suatu
titik di jalan yang dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi
tertentu. Untuk jalan 2 lajur 2 arah, kapsitas ditentukan untuk arus 2 arah
(Kombinasi 2 arah), tetapi untuk jalan dengan banyak lajur, arus
dipisahkan per arah dan kapasitas ditentukan per lajur. Kapasitas dinyataka
dalam satuan mobil penumpang (smp), menurut MKJI 1997 dapat dicari
dengan rumus :

C = C0 * FCsp * FCw* FCsf

Dimana :
C = kapasitas (smp/jam)
Co = kapasitas dasar (smp/jam)
FCw = faktor penyesuaian lebar jalan
FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah (hana untuk jalan tak
terbagi)
FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan dari
kerb.

2.2.5.1.Kapasitas Dasar
Adalah kapasitas suatu segmen jalan untuk suatu set kondisi yang
ditentukan sbelumnya (geometri, pola arus lalu lintas, dan factor
lingkungan), menurut MKJI 1997 nilai dari kapasitas dasar dapat dilihat
pada tabel 2.3 berikut ini :

Tabel 2.3 : Nilai Kapasitas Dasar (Co)


Kapasitas Dasar Total kedua Arah
Tipe Jalan / Tipe Alinyemen (smp/jam/lajur)
Empat lajur terbagi
¾ Datar 1900
¾ Bukit 1850
¾ Gunung 1800

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 6

Kapasitas Dasar Total kedua Arah


Tipe Jalan / Tipe Alinyemen (smp/jam/lajur)
Empat lajur tak terbagi
¾ Datar 1700
¾ Bukit 1650
¾ Gunung 1600
Dua lajur tak terbagi
¾ Datar 3100
¾ Bukit 3000
¾ Gunung 2900
Catatan : Untuk tipe dua lajur tak terbagi nilai Co adalah total untuk 2 lajur.
Sumber : MKJI 1997

2.2.5.2.Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Lebar Lajur Lalu Lintas


Merupakan faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat lebar lajur lalu
lintas, menurut MKJI 1997 nilai dari factor ini dapat dilihat pada Tabel 2.4
berikut ini :

Tabel 2.4 : Nilai faktor penyesuaian kapasitas akibat lebar lajur lalu lintas
(FCw)
Lebar Efektif Lajur
Tipe Jalan Lalu lintas/Wc (m) FCw

Empat lajur terbagi Perlajur


Enam lajur terbagi 3,0 0,91
3,25 0,96
3,5 1,00
3,75 1,03
Empat lajur tak terbagi Perlajur
3,0 0,91
3,25 0,96
3,5 1,00
3,75 1,03
Dua lajur tak terbagi Total kedua arah
5 0,69
6 0,91
7 1,00
8 1,08
9 1,15
10 1,21
11 1,27
Sumber : MKJI 1997

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 7

2.2.5.3.Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Pemisah Arah


Merupakan faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat pemisah arah
dan hanya diperuntukkan buat jalan dua arah tak terbagi, menurut MKJI
1997 nilai dari factor ini dapat dilihat pada Tabel 2.5 berikut ini :

Tabel 2.5 : Nilai Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Pemisah Arah (FCsp)
Pemisah arah
50-50 55-45 60-40 65-35 70-30
SP %-%
FCsp Dua Lajur
1,00 0,97 0,94 0,91 0,88
2/2
FCsp Dua Lajur
1,00 0,975 0,95 0,925 0,90
4/2
Sumber : MKJI 1997

2.2.5.4.Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Hambatan Samping


Merupakan faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat hambatan
samping sebagai fungsi dari lebar bahu, menurut MKJI 1997 nilai dari
faktor ini dapat dilihat pada Tabel 2.6 berikut ini :

Tabel 2.6 : Nilai Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Hambatan Samping


(FCsf).
FCsf
Tipe Kelas Hambatan Lebar Bahu Efektif Ws
Jalan Samping
≤0,5 1,0 1,5 ≥2,0
4/2 D VL 0,99 1,00 1,01 1,03
L 0,96 0,97 0,99 1,01
M 0,93 0,95 0,96 0,99
H 0,90 0,92 0,95 0,97
VH 0,88 0,90 0,93 0,96
2/2 UD VL 0,97 0,99 1,00 1,02
4/2 UD L 0,93 0,95 0,97 1,00
M 0,88 0,91 0,94 0,98
H 0,84 0,87 0,91 0,95
VH 0,80 0,83 0,88 0,93
Sumber : MKJI 1997

2.2.5.5.Derajat Kejenuhan
Derajat kejenuhan atau Degree Of Saturation (DS) didefinisikan sebagai
ratio arus terhadap kapasitas, digunakan sebagai faktor utama dalam

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 8

penentuan tingkat kinerja simpang dan segmen jalan. Nilai DS


menunjukkan apakah segmen jalan tersebut mempunyai masalah kapasitas
atau tidak.
Rumus yang digunakan adalah :

DS = Q / C

Dimana :
Q = Volume kendaraan (smp/jam)
C = Kapasitas jalan (smp/jam)
Jika nilai DS ≤ 0,75 maka jalan tersebut masih layak, tetapi jika Ds > 0,75
maka diperlukan penanganan pada jalan tersebut untuk mengurangi
kepadatan.

2.2.5.6.Kecepatan Arus Bebas


Kecepatan arus bebas didefinisikan sebagai kecepatan pada saat tingkatan
arus nol, sesuai dengan kecepatan yang akan dipilih pengemudi
seandainya mengendarai kendaraan bermotor tanpa halangan kendaraan
bermotor lain di jalan.
Rumus yang digunakan adalah :

FV = (FV0 + FVw) x FFVSF x FFVRC

Dimana :
FV = Kecepatan arus bebas kendaraan ringan pada kondisi
lapangan (km/jam)
FV0 = Kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan (km/jam)
FVw = Penyesuaian kecepatan untuk lebar jalan (km/jam)
FFVSF = Faktor penyesuaian untuk kondisi hambatan samping dan
lebar bahu

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 9

FFVRC = Faktor penyesuaian akibat kelas fungsional jalan dan tata


guna lahan

2.2.5.7.Kecepatan arus Bebas Dasar (FVo)


Menurut MKJI 1997 nilai dari kecepatan arus bebas dasar untuk berbagai
tipe kendaraaan dapat dilihat pada Tabel 2.7 berikut ini :

Tabel 2.7 : Kecepatan arus bebas dasar (FVo)


FV0 (km/jam)
Tipe Jalan
LV MHV LB LT MC
6 lajur terbagi
- Datar 83 67 86 64 64
- Bukit 71 56 68 52 58
- Gunung 62 45 55 40 55
4 lajur terbagi
- Datar 78 65 81 62 64
- Bukit 68 55 66 51 58
- Gunung 60 44 53 39 55
4 lajur tak terbagi
- Datar 74 63 78 60 60
- Bukit 66 54 65 50 56
- Gunung 58 43 52 39 53
2 lajur tak terbagi
- Datar SDC: A 68 60 73 58 55
- Datar SDC: B 65 57 69 55 54
- Datar SDC: C 61 54 63 52 53
- Bukit 61 52 62 49 53
- Gunung 55 42 50 38 51

Sumber : MKJI 1997

2.2.5.8.Faktor Penyesuaian Kecepatan Akibat Lebar Jalur Lalu-lintas (FVw)


Merupakan faktor penyesuaian untuk kecepatan arus bebas akibat lebar
jalur lalu-lintas, menurut MKJI 1997 nilai dari faktor ini dapat dilihat pada
Tabel 2.8 berikut ini :

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 10

Tabel 2.8 : Nilai Faktor Penyesuaian Kecepatan Akibat Lebar Jalur Lalu-lintas (FVw).
Lebar Efektif FVw (km/jam)
Tipe Jalan Jalur Lalu Lintas Datar: - Bukit: SDC= A,B,C
(Wc) (m) SDC=A,B - Datar: SDC= C
Gunung
Per lajur
3,00 -3 -3 -2
4 lajur dan 6 lajur 3,25 -1 -1 -1
terbagi 3,50 0 0 0
3,75 2 2 2

Per lajur
3,00 -3 -2 -1
3,25 -1 -1 -1
4 lajur tak terbagi
3,50 0 0 0
3,75 2 2 2
Total
5 -11 -9 -7
6 -3 -2 -1
7 0 0 0
2 lajur tak terbagi
8 1 1 0
9 2 2 1
10 3 3 2
11 3 3 2
Sumber : MKJI 1997

2.2.5.9.Faktor Penyesuaian Kecepatan Akibat Hambatan Samping Dan


Lebar Bahu (FFVSF)
Merupakan faktor penyesuaian untuk kecepatan arus bebas akibat
hambatan samping dan lebar bahu, menurut MKJI 1997 nilai dari faktor
ini dapat dilihat pada Tabel 2.9 berikut ini :

Tabel 2.9 : Nilai Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan Samping Dan Lebar Bahu
(FFVSF)
Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan
Tipe Kelas Hambatan Samping Dan Lebar Bahu
Jalan Samping (SFC) Lebar Bahu Efektif Ws (m)
≤ 0,5 m 1,0 m 1,5 m ≥ 2,0 m
Sangat rendah 1.00 1.00 1.00 1.00
Rendah 0.98 0.98 0.98 0.99
4/2 D Sedang 0.95 0.95 0.96 0.98
Tinggi 0.91 0.92 0.93 0.97
Sangat tinggi 0.86 0.87 0.89 0.96

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 11

Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan


Tipe Kelas Hambatan Samping Dan Lebar Bahu
Jalan Samping (SFC) Lebar Bahu Efektif Ws (m)
≤ 0,5 m 1,0 m 1,5 m ≥ 2,0 m
Sangat Rendah 1.00 1.00 1.00 1.00
Rendah 0.96 0.97 0.97 0.98
4/2 UD Sedang 0.92 0.94 0.95 0.97
Tinggi 0.88 0.89 0.90 0.96
Sangat Tinggi 0.81 0.83 0.85 0.95
Sangat Rendah 1.00 1.00 1.00 1.00
Rendah 0.96 0.97 0.97 0.98
2/2 UD Sedang 0.91 0.92 0.93 0.97
Tinggi 0.85 0.87 0.88 0.95
Sangat Tinggi 0.76 0.79 0.82 0.93
Sumber : MKJI 1997

2.2.5.10. Faktor Penyesuaian Kecepatan Akibat Kelas Fungsional Jalan dan


Tata Guna Lahan (FFVRC)
Merupakan faktor penyesuaian untuk kecepatan arus bebas akibat kelas
fungsional jalan dan tata guna lahan, menurut MKJI 1997 nilai dari faktor
ini dapat dilihat pada Tabel 2.10 berikut ini :

Tabel 2.10 : Faktor penyesuaian akibat kelas fungsional jalan dan tata
guna lahan (ffvrc).
Faktor Penyesuaian FFVRC
Tipe Jalan Pengembangan Samping Jalan (%)
0 25 50 75 100
4/2 D
- Arteri 1.00 0.99 0.98 0.96 0.95
- Kolektor 0.99 0.98 0.97 0.95 0.94
- Lokal 0.98 0.97 0.96 0.94 0.93
4/2 UD
- Arteri 1.00 0.99 0.97 0.96 0.945
- Kolektor 0.97 0.96 0.94 0.93 0.915
- Lokal 0.95 0.94 0.92 0.91 0.895
2/2 UD
- Arteri 1.00 0.98 0.97 0.96 0.94
- Kolektor 0.94 0.93 0.91 0.90 0.88
- Lokal 0.90 0.88 0.87 0.86 0.84
Sumber : MKJI 1997

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 12

2.2.5.11. Kecepatan Tempuh


Kecepatan tempuh ( V ) didefinisikan sebagai kecepatan rata-rata ruang
dari kendaraan ringan sepanjang segmen jalan.
Rumus yang digunakan adalah :

V = L / TT

Dimana :
V = kecepatan ruang rata-rata kendaraan ringan (km/jam)
L = panjang segmen (km)
TT = waktu tempuh rata-rata dari kendaraan ringan sepanjang segmen
(jam)

2.3. Kriteria Perencanaan


Data lalu lintas adalah data utama yang diperlukan untuk perencanaan
teknik jalan, karena kapasitas jalan yang akan direncanakan tergantung
dari komposisi lalu lintas yang akan menggunakan jalan pada suatu
segmen jalan yang ditinjau. Besarnya volume atau arus lalu lintas
diperlukan untuk menentukan jumlah dan lebar lajur pada satu jalur jalan
dalam penentuan karakteristik geometrik, sedangkan jenis kendaraan akan
menentukan kelas beban atau MST (Muatan Sumbu Terberat) yang
berpengaruh langsung pada perencanaan konstruksi perkerasan.

2.3.1. Kendaraan Rencana


Kendaraan rencana adalah kendaran yang dimensi dan radius putarnya
dipakai sebagai acuan dalam perancangan geometrik. Kendaraan rencana
dikelompokkan dalam beberapa kategori yaitu :
a Kendaraan Ringan / Kecil (LV)
Kendaraan ringan / kecil adalah kendaraan bermotor ber as dua dengan
empat roda dan dengan jarak as 2,0 m – 3,0 m (meliputi : mobil
penumpang, oplet, mikrobus, pick up dan truck kecil sesuai sistem
klasifikasi Bina Marga).

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 13

b Kendaraan Sedang (MHV)


Kendaraan bermotor dengan dua gandar, dengan jarak 3,5 m– 5,0 m
(termasuk bus kecil, truk dua as dengan enam roda, sesuai sistem
klasifikasi Bina Marga).
c Kendaraan Berat / Besar (LB-LT)
• Bus Besar (LB)
Bus dengan dua atau tiga gandar dengan jarak as 5,0 – 6,0 m.
• Truck Besar (LT)
Truck tiga gandar dan truck kombinasi tiga, jarak gadar (gandar
pertama ke dua) < 3,5 m (sesuai sistem klasifikasi Bina Marga).
d Sepeda Motor (MC)
Kendaraan bermotor dengan 2 atau 3 roda (meliputi : sepeda motor
dan kendaraan roda 3 sesuai sistem klasifikasi Bina Marga).
e Kendaraan Tak Bermotor (UM)
Kendaraan dengan roda yang digerakan oleh arang atau hewan
(meliputi : sepeda, becak, kereta kuda, dan kereta dorong sesuai sistem
klasifikasi Bina Marga).
Kendaraan tak bermotor tidak dianggap sebagai bagian dari arus lalu lintas
tetapi sebagai unsur hambatan samping. Dimensi dasar untuk masing-
masing kendaraan rencana ditunjukan dalam Tabel 2.11.

Tabel 2.11 : Dimensi Kendaraan Rencana


Dimensi Kendaraan
Kategori Tonjolan Radius Putar Radius
(cm)
Kendaraan (cm) (cm) Tonjol
Rencana Panjang Depan Belakang Min Maks an (cm)
Tinggi Lebar
Kecil 130 210 580 90 150 420 730 780
Sedang 410 260 1210 210 240 740 1280 1410
Besar 410 260 2100 120 90 290 1400 1370
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan Umum Direktorat
Jenderal Bina Marga, 1997)

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 14

2.3.2. Komposisi Lalu Lintas


Volume Lalu – Lintas Harian Rata-rata (VLHR), adalah prakiraan volume
lalu-lintas harian pada akhir tahun rencana lalu-lintas dinyatakan dalam
smp/hari.
a Satuan Mobil Penumpang (smp)
Satuan arus lalu lintas, dimana arus dari berbagai tipe kendaraan telah
diubah menjadi kendaraan ringan (termasuk mobil penumpang)
dengan menggunakan emp.
b Ekivalen Mobil Penumpang (emp)
Faktor konversi berbagai jenis kendaraan dibandingkan dengan mobil
penumpang atau kendaraan ringan lainnya sehubungan dengan
dampaknya pada perilaku lalu-lintas (untuk mobil penumpang dan
kendaraan ringan lainnya, emp = 1,0).

Tabel 2.12 : Ekivalen Mobil Penumpang (emp)


Datar / Gunung
No Jenis Kendaraan
Bukit
1 Sedan, Jeep, Station Wagon 1,0 1,0
2 Pick-Up, Bus Kecil, Truck Kecil 1,2 - 2,4 1,9 – 3,5
3 Bus dan Truck Besar 1,2 – 5 0 2,2 – 6,0
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen
Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997)

2.3.3. Volume Lalu Lintas Rencana (VLHR)


Volume Lalu Lintas Harian Rencana (VLHR) adalah prakiraan volume
lalu lintas harian pada akhir tahun rencana lalu lintas dinyatakan dalam
smp / hari. Volume Jam Rencana (VJR) adalah prakiraan volume lalu
lintas pada jam sibuk tahun rencana lalu lintas, dinyatakan dalam smp /
jam, dihitung dengan rumus :
K
VJR = VLHR x
F
dimana :

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 15

K : disebut faktor K adalah faktor volume lalu lintas jam sibuk.


F : disebut faktor F adalah faktor variasi tingkat lalu lintas -
perseperempat jam dalam satu jam

VJR digunakan untuk menghitung jumlah lajur jalan dan fasilitas lalu
lintas lainnya yang diperlukan. Faktor K dan faktor F yang sesuai dengan
VLHR dapat dilihat pada Tabel 2.13.

Tabel 2.13 : Penentuan faktor K dan faktor F berdasarkan volume lalu


lintas harian rata-rata.
VLHR FAKTOR – K (%) FAKTOR – F (%)
> 50.000 4-6 0.9 – 1
30.000-50.000 6-8 0.8 – 1
10.000-30.000 6-8 0.8 – 1
5.000-10.000 8 – 10 0.6 – 0.8
1.000-5.000 10 – 12 0.6 – 0.8
< 1.000 12 – 16 < 0.6
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan
Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997)

2.3.4. Pertumbuhan Lalu Lintas ( i )


Penentuan angka pertumbsuhan lalu lintas sangat dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain :
o Jumlah penduduk
Jumlah penduduk berpengaruh terhadap pergerakan lalu lintas
karena setiap aktifitas kota secara langsung aka menimbulkan
pergerakan lalu lintas, dimana subyek dari lalu lintas tersebut
adalah penduduk.
o Jumlah kepemilikan kendaraan
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi di suatu daerah menuntut
terpenuhinya sarana angkutan yang memadai.
Hal itu tercermin dari adanya peningkatan jumlah arus lalu lintas.

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 16

o Produk domestik regional bruto


Merupakan tolok ukur keberhasilan pembangunan dibidang
ekonomi.
Perkiraan pertumbuhan lalu lintas dengan menggunkan regresi linier yang
merupakan salah satu metode penyelidikan terhadap suatu data statistik.

Menurut F.D. Hobbs 1995 menyatakan hubungan dari ketiga variabel


diatas dengan metode regresi :
1. Regresi Linier Sederhana
Menurut F.D. Hobbs 1995, rumus regresi linier sederhana adalah :
Y = a + bX
Dimana :
Y = besarnya nilai yang diketahui.
a = konstanta.
b = data sekunder dari periode awal
X = data sekunder dari periode awal
Sedangkan harga a dan b dapat dicari dari persamaan :

∑ X = n.a + ∑ X
∑ XY = a∑ X + b∑ X

2. Regresi Linier Berganda


Data yang akan dicari tingkat pertumbuhannya dijadikan variabel tak
bebas. Dalam hal ini variabel tak bebasnya adalah LHR (X1)
sedangkan untuk data jumlah penduduk (X2), PDRB (X3), dan jumlah
kepemilikan kendaraan (X4) disebut variabel bebas.
Menurut F.D.Hobbs 1995 persamaan Regresi bergandanya adalah :

X1 = a + b X2 + c X3 + d X4

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 17

Dengan a, b, c sebagai koefisien regresi linier berganda, kemudian


dilakukan pengujian besarnya pengaruh variabel bebas X2, X3 dan X4
terhadap varibel tak bebas X1 secara berurutan maupun kombinasi
sehingga dari perhitungan dapat diketahui besarnya penaruh variabel
tersebut dengan melihat harg “R” yang mempunyai batas –1 ≤ R ≤ 1.
Semakin mendekati niai 1 atau –1 maka harga tersebut semakin baik.

2.3.5. Kecepatan Rencana


Kecepatan Rencana (VR) adalah kecepatan rencana pada suatu ruas jalan
yang dipilih sebagai dasar perancangan geometrik jalan yang
memungkinkan kendaraan-kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman
dalam kondisi cuaca yang cerah, lalu lintas yang lengang, dan pengaruh
samping jalan yang tidak berarti. Untuk kondisi medan yang sulit VR
suatu segmen jalan dapat diturunkan dengan syarat bahwa penurunan
tersebut tidak lebih dari 20 km / jam. VR untuk masing-masing fungsi
jalan ditetapkan dalam Tabel 2.14.

Tabel 2.14 : Kecepatan Rencana (VR), sesuai klasifikasi


fungsi dan klasifikasi medan jalan.
Kecepatan Rencana, VR (Km / Jam)
Fungsi Jalan
Datar Bukit Gunung
Arteri 70 – 120 60 – 80 40 – 70
Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 – 50
Lokal 40 - 70 30 - 50 20 - 30
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota,
Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga,
1997)

2.4. Karakteristik Jalan


2.4.1. Tipe Jalan
Tipe jalan menentukan jumlah lajur dan arah pada suatu segmen jalan,
untuk jalan-jalan luar kota sebagai berikut :
a 2 lajur 1 arah (2 / 1)

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 18

b 2 lajur 2 arah tak terbagi (2 / 2 TB)


c 4 lajur 2 arah tak terbagi (4 / 2 TB)
d 4 lajur 2 arah terbagi (4 / 2 B)
e lajur 2 arah terbagi (6 / 2 B)
keterangan : TB = tidak terbagi
B = terbagi

2.4.2. Bagian-Bagian Jalan


1. Jalur Lalu Lintas
Jalur lalu lintas adalah bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu
lintas kendaraan yang secara fisik berupa perkerasan jalan. Jalur lalu
lintas dapat terdiri dari beberapa lajur. Batas jalur lalu lintas dapat
berupa :
a Median
b Bahu
c Trotoar
d Pulau jalan
e Separator
Lebar jalur minimum adalah 4,5 meter, memungkinkan 2 kendaraan
kecil saling berpapasan. Papasan dua kendaraan besar yang terjadi
sewaktu-waktu dapat menggunakan bahu jalan.
2. Lajur
Lajur adalah bagian lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh marka
lajur jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu kendaraan
bermotor sesuai kendaraan rencana. Untuk kelancaran drainase
permukaan, lajur lalu lintas memerlukan kemiringan normal sebagai
berikut :
a 2 – 3 % untuk perkerasan aspal dan perkerasan beton
b 4 – 5 % untuk perkerasan kerikil

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 19

Lebar lajur tergantung pada kecepatan dan kendaraan rencana, yang


dalam hal ini dinyatakan dengan fungsi dan kelas jalan seperti
ditetapkan dalam Tabel 2.15

Tabel 2.15 : Lebar lajur jalan yang ideal


Fungsi Kelas Lebar Lajur Ideal (m)
Arteri I 3,75
II, III A 3,50
Kolektor III A, III B 3,00
Lokal III C 3,00
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen
Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997)

3. Bahu Jalan
Bahu jalan adalah bagian jalan yang terletak di tepi jalur lalu lintas dan
harus diperkeras. Kemiringan bahu jalan normal antara 3 – 5 %.
Fungsi bahu jalan adalah sebagai berikut :
a Lajur lalu lintas darurat, tempat berhenti sementara, dan tempat
parkir darurat.
b Ruang bebas samping bagi lalu lintas.
c Sebagai penyangga untuk kestabilan perkerasan jalur lalu lintas.

Tabel 2.16 : Penentuan Lebar Jalur dan Bahu Jalan.


Arteri Kolektor Lokal
VLHR
Ideal Min Ideal Min Ideal Min
Smp / Hari
Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu
<3000 6.0 1.5 4.5 1.0 6.0 1.5 4.5 1.0 6.0 1.0 4.5 1.0
3000-10000 7.0 2.0 6.0 1.5 7.0 1.5 6.0 1.5 7.0 1.5 6.0 1.0
10000-25000 7.0 2.0 7.0 2.0 7.0 2.0 Mengacu pada
2nx3. 2nx3. persyaratan Tidak ditentukan
>25000 2nx3.5 2.5 2.0 2.0
5 5 ideal

2 n x 3.5
Ket : 2 = 2 jalur, n = jumlah lajur per jalur, n x 3.5 = lebar per jalur
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan Umum Direktorat
Jenderal Bina Marga, 1997)

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 20

4. Median
Median adalah bagian bangunan jalan yang secara fisik memisahkan
dua jalur lalu lintas yang berlawanan arah. Fungsi median adalah :
a Memisahkan dua aliran lalu lintas yang berlawanan arah.
b Ruang lapak tunggu penyeberang jalan.
c Penempatan fasilitas jalan.
d Tempat prasarana kerja sementara.
e Penghijauan
f Tempat berhenti darurat (jika cukup luas).
g Cadangan lajur (jika cukup luas)
h Mengurangi silau dari sinar lampu kendaraan dari arah yang
berlawnan
Jalan 2 arah dengan 4 lajur atau lebih perlu dilengkapi median. Lebar
minimum median terdiri atas jalur tepian selebar 0,25 – 0,50 meter
dan bangunan pemisah jalur, ditetapkan dapat dilihat dalam Tabel
2.17

Tabel 2.17 : Lebar minimum median.


Bentuk Median Lebar Minimum (m)
Median ditinggikan 2,0
Median direndahkan 7,0
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota,
Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga,
1997)

2.5. Perancangan Geometrik Jalan


2.5.1. Alinyemen Horisontal
Pada perencanaan alinyemen horisontal, umumnya akan ditemui dua jenis
bagian jalan, yaitu ; bagian lurus, dan bagian lengkung atau umum disebut
tikungan yang terdiri dari tiga jenis tikungan yang digunakan, yaitu :
a Lengkung Busur Lingkaran Sederhana (Full Circle)

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 21

b Lengkung Busur Lingkaran Dengan Lengkung Peralihan (Spiral –


Circle – Spiral)
c Lengkung Peralihan (Spiral – Spiral)

2.5.1.1.Bagian Lurus
Panjang maksimum bagian lurus, harus dapat ditempuh dalam waktu ≤
2.5 menit (sesuai VR), dengan pertimbangan keselamatan pengemudi
akibat dari kelelahan.

Tabel 2.18 : Panjang bagian lurus maksimum


Panjang Bagian Lurus Maksimum (m)
Fungsi
Datar Bukit Gunung
Arteri 3.000 2.500 2.000
Kolektor 2.000 1.750 1.500
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan
Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997)

2.5.1.2.Tikungan
a Jari-Jari Minimum
Kendaraan pada saat melalui tikungan dengan kecepatan (V) akan
menerima gaya sentrifugal yang menyebabkan kendaraan tidak stabil.
Untuk mengimbangi gaya sentrifugal tersebut, perlu dibuat suatu
kemiringan melintang jalan pada tikungan yang disebut superelevasi
(e). pada saat kendaraan melalui daerah super elevasi, akan terjadi
gesekan arah melintang jalan antara ban kendaraan dengan permukaan
aspal yang menimbulkan gaya gesekan melintang. Perbandingan gaya
gesekan melintang dengan gaya normal disebut koefisien gesekan
melintang (f). Untuk menghindari terjadinya kecelakaan, maka untuk
superelevasi maksimum dan koefisien gesekan maksimum, dengan
rumus sebagai berikut :

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 22

VR 2
R min =
127 (e mak + f mak )
191913,53 (e mak + fmak )
Dmak =
VR 2
Dimana :
Rmin : jari-jari tikungan minimum (m)
VR : kecepatan kendaraan rencana (km / jam)
e mak : super elevasi maksimum (%)
f mak : koefisien gesekan melintang maksimum
D : derajat lengkung
D mak : derajat maksimum

Tabel 2.19 : Panjang jari-jari minimum (dibulatkan)


VR (km / jam) 120 100 90 80 60 50 40 30 20
R min (m) 600 370 280 210 115 80 50 30 15
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan
Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997

b Lengkung Peralihan
Panjang lengkung peralihan (Ls), menurut Tata Cara Perencanaan
Geometrik Jalan Antar Kota, 1997, diambil nilai yang terbesar dari
tiga persamaan dibawah ini :
1. Berdasarkan waktu tempuh maksimum (3 detik), untuk melintasi
lengkung peralihan, maka panjang lengkung :

VR
Ls = xT
3,6
2. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal, digunakan rumus
Modifikasi Shortt, sebagai berikut :

VR 2 VR x e
Ls = 0,02 x − 2,727
Rc x C C
3. Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 23

(em − en)
Ls = x VR
3,6 x re

Dimana :
T : waktu tempuh = 3 detik
Rc : jari-jari busur lingkaran (m)
C : perubahan percepatan, 0,3 – 1,0 disarankan 0,4 m / dt3
e : superelevasi
em : superelevasi maksimum
en : superelevasi normal
re : tingkat pencapaian perubahan kelandaian melintang jalan,
sebagai berikut
Untuk VR ≤ 70 km / jam : re mak = 0,035 m / m / det
Untuk VR ≥ 80 km / jam : re mak = 0,025 m / m / det

2.5.1.3.Perhitungan Lengkung
a Lengkung Busur Lingkaran Sederhana (Full Circle)
Lengkung busur lingkaran sederhana adalah jenis tikungan yang hanya
terdiri dari bagian suatu lingkaran saja. Tikungan Full Circle hanya
digunakan untuk R (jari-jari tikungan) yang besar agar tidak terjadi
patahan, karena dengan R kecil maka diperlukan superelevasi yang
besar. Rumus yang digunakan :

Tc = Rc tan ½ ∆
Ec = Tc tan ½ ∆
∆ 2π Rc
Lc =
3600

Dimana :
∆ : sudut tikungan

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 24

Tc : panjang tangen jarak dari Tc kePI atau PI ke CT


Rc : jari-jari lingkaran
Lc : panjang busur lingkaran
Ec : jarak luar dari PI ke busur lingkaran

Gambar 2.3 Komponen Full Circle


Ls' Ls'

3/4 Ls' 1/4 Ls' 1/4 Ls' 3/4 Ls'


Sisi Luar Perkerasan
TC CT
+ e max %

en = -2% en = -2%

- e max %

Sisi Dalam Perkerasan

I II III

bagian lurus bagian lengkung bagian lurus

+ e max %
ex %
en % en % en% - emax %

Pot I Pot II Pot II

Gambar 2.4 Diagram Superelevasi Lengkung Full Circle

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 25

b Lengkung Busur Lingkaran Dengan Lengkung Peralihan (Spiral-


Cicle- Spiral)
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
⎛ Ls 2 ⎞
Xs = Ls ⎜⎜1 − ⎟⎟
⎝ 40 Rc ⎠
lS 2
Ys =
6 Rc
90 Ls
θs=
π Rc

Ls 2
P= − Rc (1 − cosθ s )
6 Rc

Ls 3
k = Ls − − Rc sin θ s
40 Rc 2
Ts = (Rc + p) tan ½ ∆ + k
Es = (Rc + p) sec ½ ∆ - Rc
θs
Lc = π Rc
180

Gambar 2.5 Komponen spiral-circle-spiral

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 26

Sisi Luar Perkerasan

+ e max %
+ ex %
TS SC CS ST
en = -2% - ex % en = -2%
- e max %

Sisi Dalam Perkerasan


I II III V IV

Lengkung Spiral bagian lengkung Lengkung Spiral

0% en % + ex % + emax %
en % en % en % - ex %
en % - emax %

Pot I Pot II Pot III Pot IV Pot V

Gambar 2.6 Diagram Superelevasi Lengkung SCS

c Lengkung Peralihan (Spiral – Spiral)


Lengkung horisontal berbentuk spiral-spiral adalah lengkung tanpa
busur lingkaran, sehingga titik SC berimpit dengan titik CS. Panjang
busur lingkaran Lc = 0, dan θ s = ½ β . Rc yang dipilih harus
sedemikian rupa sehingga Ls yang dibutuhkan lebih besar dari Ls yang
menghasilkan landai relatif minimum yang disyaratkan. Rumus untuk
lengkung berbentuk spiral-lingkaran-spiral dapat dipergunakan juga
untuk lengkung spiral-spiral asalkan memperhatikan hal tersebut
diatas. Rumus yang digunakan antara lain :

⎛ Ls 2 ⎞
Xs = Ls ⎜⎜1 − ⎟⎟
⎝ 40 Rc ⎠
lS 2
Ys =
6 Rc

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 27

90 Ls
θs=
π Rc
Ls 2
P= − Rc (1 − cosθ s )
6 Rc

Ls 3
k = Ls − − Rc sin θ s
40 Rc 2

Ts = (Rc + p) tan ½ ∆ + k
Es = (Rc + p) sec ½ ∆ - Rc
θs
Lc = π Rc
180

Gambar 2.7 Komponen spiral-spiral

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 28

Sisi Luar Perkerasan


TS ST

+ ex % + e max %

en = -2% - ex % en = -2%
- e max %

I II III IV V
Sisi Dalam Perkerasan

Lengkung Spiral Lengkung Spiral

0% en % + ex % + emax %
en % en % en % - ex %
en % - emax %

Pot I Pot II Pot III Pot IV Pot V

Gambar 2.8 Diagram Superelevasi Lengkung SS

2.5.1.4.Pelebaran Perkerasan Pada Lengkung Horisontal


Kendaraan yang bergerak dari jalan lurus menuju ke tikungan, seringkali
tidak dapat mempertahankan lintasannya pada jalur yang disediakan, Hal
ini disebabkan karena :
1. Pada waktu membelok yang diberi belokan pertama kali hanya roda
depan, sehingga lintasan roda belakang agak keluar jalur (off tracking).
2. Jejak lintasan kendaraan tidak lagi berimpit, karena beper depan dan
belakang kendaraan akan mempunyai lintasan yang berbeda dengan
lintasan roda depan dan roda belakang kendaraan.
3. Pengemudi akan mengalami kesukaran dalam mempertahankan
lintasannya tetap pada lajur jalannya terutama pada tikungan-tikungan
yang tajam atau pada kecepatan-kecepatan yang tinggi.

Untuk menghindari hal tersebut di atas maka pada tikungan-tikungan yang


tajam perlu perkerasan jalan diperlebar. Pelebaran perkerasan ini
merupakan faktor dari jari-jari lengkung, kecepatan kendaraan, jenis dan

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 29

ukuran kendaraan rencana yang dipergunakan sebagai dasar perencanaan.


Pada umumnya truk tunggal merupakan jenis kendaraan yang
dipergunakan sebagai dasar penentuan tanbahan lebar perkerasan yang
dibutuhkan. Tetapi pada jalan-jalan dimana banyak dilewati kendaraan
berat, jenis kendaraaan semi trailer merupakan kendaraan yang cocok
dipilih untuk kendaraan rencana. Tentu saja pemilihan jenis kendaraan
rencana ini sangat mempengaruhi kebutuhan akan pelebaran perkerasan
dan biaya pelaksanaan jalan tersebut.

Elemen-elemen dari pelebaran perkerasan tikungan terdiri dari :


1. Off tracking (U)
Untuk perancangan geometrik jalan antar kota, Bina Marga
memperhitungkan lebar B dengan mengambil posisi kritis kendaraan
yaitu pada saat roda depan kendaraan pertama kali dibelokan dan
tinjauan dilakukan untuk lajur sebelah dalam.Kondisi tersebut dapat
dilihat pada Gambar2-9 yang berdasarkan kendaraan rencana truk
tunggal.
2. Kesukaran dalam mengemudi di tikungan (Z)
Tambahan lebar perkerasan akibat kesukaran dalam mengemudi di
tikungan diberikan oleh AASHTO sebagai fungsi dari kecepatan dan
radius lajur sebelah dalam. Semakin tinggi kecepatan kendaraan dan
semakin tajam tikungan tersebut, semakin besar tambahan pelebaran
akibat kesukaran dalam mengemudi. Hal ini disebabkan oleh
kecenderungan terlemparnya kendaraan kearah luar dalam gerakan
menikung tersebut.
0,105V
Z=
R
Dimana : V = kecepatan, Km/jam
R = radius lengkung, m

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 30

Kebebasan samping di kiri dan kanan jalan tetap harus dipertahankan demi
keamanan dan tingkat pelayanan jalan. Kebebasan samping (C) sebesar
0,5 m, dan 1 m, dan 1,25 m, cukup memadai untuk jalan dengan lebar lajur
6 m, 7 m, dab 7,50 m.
Dari Gambar 2.9 dapat dilihat :
b = lebar kendaraan rencana
B = Lebar perkerasan yang ditempati suatu kendaraan di tikungan pada
lajur sebelah dalam.
U = B–b
C = Lebar kebebasan samping di kiri dan kanan kendaraan
Z = lebar tambahan akibat kesukaran mengemudi di tikungan.
Bn = Lebat total perkerasan pada bagian lurus
Bt = Lebar total perkesaran di tikungan
n = jumlah lajur
Bt = n (B + C) + Z
∆b = Tambahan lebar perkerasan di tikungan
∆b = Bt – Bn

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 31

Bt

p A
C/2
b

C/2

Z
B

Bn
P A

Gambar 2.9. Pelebaran Perkerasan pada Tikungan

2.5.1.5. Persimpangan Sebidang


Dimaksudkan untuk perencanaan persimpangan sebidang dimana jalan
primer berhubungan satu sama lain atau dihubungkan dengan jalan
sekunder.

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 32

2.5.1.5.1.Perancangan Geometrik dan Pengendalian lalu Lintas Secara


Konsisten
Perencanaan persimpangan sebidang dan pengawasan lalu lintas yang
(atau akan) diterapkan harus ditempuh secara konsisten. Kedua hal
tersebut saling mempengaruhi satu sama lain dan tek boleh direncanakan
secara terpisah.

2.5.1.5.2.Kecepatan Rencana di Dekat dan Pada Persimpangan


Kecepatan rencana semula tidak perlu digunakan pada ruas
persimpangan tempat alinyemen sering diubah untuk menyediakan jalur
tambahan.

2.5.1.5.3.Jumlah Jalan
Jumlah jalan dalam persimpangan tidak boleh melebihi 4 kecuali dalam
kasus beberapa persimpangan persegi/bundar atau putaran.
Persimpangan jalur ganda sering mengakibatkan kesulitan pengontrolan
lau lintas atau kemacetan lalu lintas.

2.5.1.5.4.Sudut Persimpangan
Persimpangan tegak lurus biasanya diinginkan untuk kemampuan
pengelihatan maksimal dan untuk mempersingkat waktu persimpangan.
Jalan-jalan yang bersimpangan dengan sudut tajam, terutama dibawah
60o, harus diarahkan kembali seperti dalam Gambar 2.10.

(a) (b)

Gambar 2.10. Pengarahan Kembali pada persimpangan

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 33

2.5.1.5.5.Lebar Jalur
Untuk mengadakan penambahan lajur maka lebar jalur lalulintas utama
pada persimpangan dapat dipersempit seperti pada Tabel 2.20 dibawah
ini. Dalam hal lebar semula adalah 2,75 m, maka lebar tidak dapat
dipersempit. Lebar jalur tambahan harus 2,75 m.

Tabel 2.20 : Lebar jalur lalu lintas utama pada


persimpangan
Lebar dipersempit
Lebar semula (m)
(m)
3,50 3,00
3,25 – 3,00 2,75
(Sumber: Spesifikasi Standar Untuk Perencanaan
Geometrik Jalan Luar Kota. 1990)

2.5.1.5.6.Lajur Belok Kanan


Jalan raya dengan VLH lebih dari 10.000 (smp/hari) harus mempunyai
jalur belok kanan pada persimpangan kecuali dalam hal belokan ke
kanan tidak diperbolehkan. Jalur belok kanan terdiri atas jalur meruncing
dan jalur tunggu (Gambar 2.11). Panjang peruncingan lt, yang
diperlihatkan pada Tabel 2.23 ditetapkan oleh perlambatan. Panjang
jalur tunggu lw diberikan lewat rumus berikut :
a. Untuk persimpangan tanpa rambu, panjang untuk menampung
kendaraan yang mungkin tiba selama 2 menit pada jam sibuk suatu
hari.

Lw = 2 x M x S
Dimana :
Lw = Panjang jalur tunggu
M = Jumlah kendaraan belok kanan per menit
S = Panjang rata-rata dari ruang yang ditempati oleh satu
kendaraan (m)

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 34

b. Untuk persimpangan berambu, panjangnya adalah 1,5 kali dari


jumlah rata-rata kendaraan yang berhenti dalam satu siklus lampu
lalu lintas pada jam sibuk suatu hari.

Lw = 1,5 x N x S
Dimana :
Lw = Panjang jalur tunggu
N = Jumlah kendaraan belok kanan per siklus lampu lalulintas
M atau N adalah jumlah kendaraan belok ke kanan yang dapat
diperoleh lewat prakiraan atau penelitian kebutuhan belok-kanan
pada tahun target. Dasar perhitungan untuk S, panjang rata-rata
ruang yang ditempati oleh sebuah kendaraan, adalah sebagai berikut:
• Mobil penumpang ........... 6 m
• Truk ................................. 12 m
• Jika ratio dari mobil penumpang dan truk tidak diperoleh 7 m bagi
semua kendaraan.

Dalam hal jalan raya mempunyai median yang cukup lebar, lajur belok
kanan dapat dibentuk di dalam median, yang disebut lajur median
(Gambar 2.11).

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 35

median

l1 l2

panjang jalur belok kanan

Gambar 2.11. Jalur Belok Kanan (Lajur Median)

Tabel 2.21 : Panjang peruncingan lt (m)


Kecepatan Rencana lt
(km/jam) (m)
80 60
60 40
50 30
40 20
30 10
(Sumber : Spesifikasi Standar Untuk Perencanaan
Geometrik Jalan Luar Kota. 1990)

Pada keadaan lain, khususnya jalan raya dua-lajur, untuk mengadakan


lajur belok kanan, lajur semula perlu dipersempit dan/atau digeser. Bila
mana penguasaan lahan memungkinkan jalan raya dapat diperlebar
seperti dalam Gambar 2.12.

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 36

median
median median

median
Gambar 2.12. Lajur utama digeser untuk lajur belok-kanan (lajur
utama dipersempit, sedangkan lebar total diperbesar)

Dalam hal tidak adanya ruang untuk menambah lajur belok-kanan yang
terpisah, usaha terakhir adalah melebarkan jalan-jalan kendaraan utama
sebesar mungkin, pelebaran 1,5 m atau lebih dapat menyediakan ruang
minimum untuk semua kendaraan yang menunggu untuk belok-kanan
(Gambar 2.13). Gambar 2.14 menunjukkan contoh penyusunan kembali
penampang pada persimpangan.

median

Gambar 2.13. Lajur utama yang digeser dan diperlebar untuk


ruang belok-kanan.

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 37

75 275 275 275 75

persimpangan
pelebaran 87,5 cm pelebaran 87,5 cm

75 325 325 75

penampang
standar

Gambar 2.14. Contoh Penyusunan kembali penampang pada persimpangan.

2.5.1.5.7.Lengkung Persimpangan
Tiga perencanaan minimum tepi dalam perkerasan untuk belokan ke kiri
90o untuk menampung kendaraan penumpang, truk tunggal, bis, dan
semi-trailer diperlihatkan dalam Gambar 2.15a sampai Gambar 2.15c.

Pada gambar, truk dan bis (atau semi-trailer, dapat membuat belokan ke
kiri tanpa melanggar jalur yang berdekatan. Jika pelanggaran atas jalur
yang berdekatan diperkenankan, jari-jari lengkung yang lebih kecil dapat
juga menerima kendaraan yang berukuran besar. Penetapan lengkungan
yang akan dipakai di antara ketiga lengkung tersebut tergantung pada
volume dan karakteristik lalu lintas dan pentingnya jalan raya.

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 38

90°
90°

m
5
7.
m
.5
15

Gambar 2.15a. Rancangan minimum untuk Gambar 2.15b. Rancangan minimum


kendaraan penumpang untuk truk unit tunggal dan bis

90°
m
1,
23

23
m

1,

1
5: Ta
m

r1 p
18 er 1
.5

pe .5 m
18

a
T 18 .5 5:1
m

Gambar 2.15c. Rancangan minimum untuk semi-trailer

2.5.2. Jarak Pandang


Jarak pandang adalah suatu jarak yang diperlukan oleh pengemudi pada
saat mengemudi sedemikian sehingga jika pengemudi melihat suatu
halangan yang membahayakan, pengemudi dapat melakukan sesuatu untuk

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 39

menghindari bahaya tersebut dengan aman. Dibedakan dua jarak pandang,


yaitu jarak pandang henti (Jh) dan jarak pandang mendahului (Jd).

2.5.2.1.Jarak Pandang Henti


Jh adalah jarak minimum yang diperlukan oleh setiap pengemudi untuk
menghentikan kendaraannya dengan aman begitu melihat adanya halangan
di depan. Setiap titik di sepanjang jalan harus memenuhi Jh. Jh diukur
berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan
tinggi halangan 15 cm di ukur dari permukaan jalan. Jh terdiri atas dua
elemen jarak yaitu :
a Jarak tanggap (Jht) adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak
pengemudi melihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus
berhenti sampai saat pengemudi menginjak rem.
b Jarak pengereman (Jhr) adalah jarak yang dibutuhkan untuk
menghentikan kendaraan sejak pegemudi menginjak rem sampai
kendaraan berhenti.
Jh dalam satuan meter, dapat dihitung dengan rumus :

2
⎛ VR ⎞
⎜ ⎟
VR ⎝ 3,6 ⎠
Jh = T.
3,6 2g f

Dimana :
VR : kecepatan rencana (km / jam)
T : waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik
g : percepatan gravitasi, ditetapkan 9,8 m / det2
f : koefisien gesek memanjang perkerasan jalan aspal,
ditetapkan 0,35 – 0,55

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 40

Rumus di atas disederhanakan menjadi :

2
VR
Jh = 0,694 VR . 0,004
f

Tabel 2.22 : Jarak pandang henti (Jh) minimum


VR km / jam 120 100 80 60 50 40 30 20
Jh minimum (m) 250 175 120 75 55 40 27 16
(Sumber : Tata Cara Perencaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan
Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997)

2.5.2.2.Jarak Pandang Mendahului


Jd adalah jarak yang memungkinkan suatu kendaraan mendahului
kendaraan lain didepannya dengan aman sampai kendaraan tersebut
kembali ke jalur semula. Jd diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata
pengemudi adalah 105 cm dan tinggi halangan adalah 105 cm
Jd dalam satuan meter ditentukan sebagai berikut :

Jd = d1 + d2 + d3 + d4

Dimana :
d1 : jarak yang ditempuh selama waktu tanggap
d2 : jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali-
ke lajur semula (m)
d3 : jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang-
datang dari arah berlawanan setelah proses mendahului selesai
(m)
d4 : jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari arah-
berlawanan, yang besarnya diambil sama dengan 2 / 3 d2 (m)
Jd yang sesuai dengan VR ditetapkan dalam Tabel 2.23

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 41

Tabel 2.23 : Panjang jarak mendahului


VR (km / jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Jd (m) 800 670 550 350 250 200 150 100
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan
Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997)

2.5.3. Alinyemen Vertikal


Alinyemen vertikal adalah perencanaan elevasi sumbu jalan pada setiap
titik yang ditinjau, berupa profil memanjang. Pada perencanaan alinyemen
vertikal akan ditemui kelandaian positif (tanjakan) dan kelandaian negatif
(turunan), sehingga kombinasinya berupa lengkung cembung dan
lengkung cekung.

2.5.3.1.Kelandaian Memanjang dan Panjang Kritis


Untuk menghitung dan merencanakan lengkung vertikal, ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan, yaitu :
1. Kelandaian memanjang
Berdasarkan kepentingan arus lalu-lintas, landai ideal adalah landai
datar (0 %). Sebaliknya ditinjau dari kepentingan drainase jalan,
jalan berlandailah yang ideal. Perancangan kelandaian memanjang
dimaksudkan untuk memungkinkan kendaraan bergerak terus tanpa
kehilangan kecepatan yang berarti. Kelandaian maksimum
didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh yang mampu
bergerak dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh
kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah.

Tabel 2.24 : Kelandaian maksimum yang di ijinkan


VR (km / jam) 120 110 100 80 60 50 40 < 40
Kelandaian 3 3 4 5 8 9 10 10
Maksimum (%)
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan
Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997)

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 42

2. Panjang kritis suatu kelandaian


Panjang kritis yaitu panjang landai maksimum yang harus disediakan
agar kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian
sehingga penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh VR. Lama
perjalanan tersebut ditetapkan tidak lebih dari satu menit. Panjang
kritis dapat ditetapkan dalam Tabel 2.25

Tabel 2.25 : Panjang Kritis (m)


Kecepatan pada awal Kelandaian (%)
tanjakan (km / jam) 4 5 6 7 8 9 10
80 630 450 360 270 230 230 200
60 320 210 160 120 110 90 80
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan
Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997)

2.5.3.2.Lengkung Vertikal Cembung


Ketentuan tinggi menurut Bina Marga (1997) untuk lengkung cembung
seperti pada Tabel 2.26.

Tabel 2.26 : Ketentuan tinggi untuk jarak pandang


Untuk jarak pandang h 1 (m) tinggi mata h 2 (m) tinggi obyek
Henti (Jh) 1,05 0,15
Mendahului (Jd) 1,05 1,05
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan
Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997)

(a) Panjang L. berdasarkan Jh


A x Jh2
Jh <L, maka : L =
399
399
Jh >L, maka : L = 2 Jh -
A
(b) Panjang L, Berdasarkan Jd

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 43

A. Jd 2
Jd < L, maka : L =
960
960
Jd > L, maka : L = 2 Jd -
A
(c) Syarat kenyamanan
A.V 2
L=
360
(d) Syarat drainase
LV = 40 . A (m)
(e) Perhitungan Landai Peralihan
A. Lv
EV =
800
Dimana :
Lv = panjang lengkung vertikal
S = Jh = Jp = jarak pandangan
A = perbedaan aljabar kedua tangen = g2 – g1
g1 = kemiringan tangen 1
g2 = kemiringan tangen 2

d1 d2
A
q1 E q2

h1 h2
S
L

Gambar 2.16 Sketsa lengkung vertikal cembung

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 44

2.5.3.3.Lengkung Vertikal Cekung


(a) Syarat Keamanan
Dengan mempertimbangkan jarak sinar lampu besar dari kendaraan,
yaitu tinggi lampu besar kendaraan = 0,60 m (21) dan sudut bias =
1o, maka diperoleh rumus sebagai berikut :

A . Jh2
Jh < L, maka : L =
120 + 3,5 Jh
120 + 3,5 Jh
Jh > L, maka : L = 2 Jh -
A
(b) Syarat kenyamanan
A .V 2
L=
390
(c) Syarat drainase
LV = 40 . A (m)
(d) Perhitungan landai peralihan
A. Lv
EV =
800

L
S

0 .7 5
1 h

E
A

Gambar 2.17 Sketsa lengkung vertikal cekung

2.6. Perancangan Konstruksi Perkerasan


Dalam perencanaan ini digunakan lapis perkerasan lentur, dimana langkah
perhitungan tebal perkerasan diuraikan sebagai berikut :

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 45

2.6.1. Persentase Kendaraan Pada Lajur Rencana


(a) Jalur Rencana (JR) merupakan jalur lalu-lintas dari suatu ruas jalan
raya yang terdiri dari satu jalur atau lebih. Maka jumlah lajur
ditentukan dari lebar perkerasan seperti pada Tabel 2.27.

Tabel 2.27 : Jumlah lajur berdasarkan lebar perkerasan


Lebar Perkerasan (L) Jumlah Lajur (n)
L < 5,50 m 1 Lajur
5,50 m ≤ L < 8,25 m 2 Lajur
8,25 m ≤ L < 11,25 m 3 Lajur
11,25 m ≤ L < 15,00 m 4 Lajur
15,00 m ≤ L < 18,75 m 5 Lajur
18,75 m ≤ L < 22,00 m 6 Lajur
(Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode
Analisa Komponen, Departemen Pekerjaan Umum, 1987)

(b) Menentukan koefisien distribusi kendaraan


Koefisien distrubusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat
yang lewat pada jalur rencana ditentukan menurut Tabel 2.28.

Tabel 2.28 : Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan


dan berat yang lewat pada lajur rencana.
Kendaraan Ringan * Kendaraan Berat **
Jumlah
Lajur 1 arah 2 arah 1 arah 2 arah
1 lajur 1 , 00 1 , 00 1 , 00 1 , 00
2 lajur 0 , 60 0 , 50 0 , 70 0 , 50
3 lajur 0 , 40 0 , 40 0 , 50 0 , 475
4 lajur - 0 , 30 - 0 , 45
5 lajur - 0 , 25 - 0 , 425
6 lajur - 0 , 20 - 0 , 40
*
berat total < 5 ton , misalnya : mobil penumpang, pick up, mobil hantaran
**
berat total ≥ 5 ton, misalnya : bus, truk, traktor, semi trailer, trailer
(Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode
Analisa Komponen, Departemen Pekerjaan Umum, 1987)

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 46

2.6.2. Angka ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan


Angka ekivalen (E) masing-masing golongan sumbu :
(a) Angka Ekivalen Sumbu Tunggal :
(beban satu sumbu tunggal dalam kg ) 4
E=
8160
(b) Angka Ekivalen Sumbu Ganda :
(beban satu sumbu tunggal dalam kg ) 4
E = 0, 086
8160
(c) Angka Ekivalen
Tabel 2.29 : Angka Ekivalen (E) beban sumbu kendaraan
Beban Satu Sumbu Angka Ekivalen
Kg Ibs Sumbu Tunggal Sumbu Ganda
1000 2205 0,0002 -
2000 4409 0,0036 0,0003
3000 6614 0,0183 0,0016
4000 8818 0,0577 0,0050
5000 11023 0,1410 0,0121
6000 13228 0,2923 0,0251
7000 15432 0,5415 0,0466
8000 17637 0,9238 0,0794
8160 18000 1,0000 0,0860
9000 19841 1,4798 0,1273
10000 22046 2,2555 0,1940
11000 24251 3,3022 0,8240
12000 26455 4,6770 0,4022
13000 28660 6,4419 0,5540
14000 30864 8,6647 0,7452
15000 33069 11,4148 0,9820
16000 35276 14,7815 1,2712
(Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode
Analisa Komponen, Departemen Pekerjaan Umum, 1987)

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 47

2.6.3. Perhitungan Lalu Lintas


(a) Lintas Ekivalen Permulaan (LEP)
n
LEP = ∑ LHRj x Cj x Ej
j =1

(b) Lintas Ekivalen Akhir (LEA)


n
LEA = ∑ LHRj (1 + i) x Cj x Ej
j =1

(c) Lintas Ekivalen Tengah (LET)


LEP + LEA
LEP =
2
(d) Lintas Ekivalen Rencana (LER)
LER = LET x FT
UR
FP =
10
Dimana :
i = perkembangan lalu lintas
j = jenis kendaraan
LHR = lalu lintas harian rata-rata
UR = usia rencana, (tahun)
FP = faktor penyesuaian

2.6.4. Perhitungan Daya Dukung Tanah Dasar (DDT) dan CBR


Daya dukung tanah dasar (DDT) ditetapkan berdasarkan grafik korelasi.
Daya dukung tanah dasar diperoleh dari nilai CBR atau Plate Bearing Test,
DCP, dll.
Dari nilai CBR yang diperoleh ditentukan nilai CBR rencana yang
merupakan nilai CBR rata-rata untuk suatu jalur tertentu.
Caranya adalah sebagai berikut :
b. Tentukan harga CBR terendah.

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 48

c. Tentukan jumlah harga CBR yang sama atau lebih besar dari masing-
masing nilai CBR.

2.6.5. Faktor Regional (FR)


FR ini dipengaruhi oleh bentuk alinyemen, persentase kendaraan berat dan
yang berhenti serta iklim. Pada bagian-bagian jalan tertentu, seperti
persimpangan, pemberhentian atau tikungan tajam (jari-jari 30 m) FR
ditambah dengan 0,5. Pada rawa-rawa FR ditambah dengan 1,0.

Tabel 2.30. : Faktor Regional (FR)


Kelandaian I Kelandaian II Kelandaian III
Curah Hujan (<6%) ( 6 – 10 %) ( > 10 % )
% Kelandaian Berat
≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % > 30 %
Iklim I 0,5 1,0-1,5 1,0 1,5-2,0 1,5 2,0-2,5
< 900 mm / th
Iklim II 1,5 2,0-2,5 2,0 2,5-3,0 2,5 3,0-3,5
900 mm / th
(Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa
Komponen, Departemen Pekerjaan Umum, 1987)

2.6.6. Indeks Permukaan


Indeks permukaan adalah nilai kerataan / kehalusan serta kekokohan
permukaan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi lalu-lintas yang
lewat.

Tabel 2.31 : Indeks Permukaan pada akhir umur rencana (IP)


Klasifikasi Jalan
LER * )
Lokal Kolektor Arteri Tol
< 10 1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -
10 – 100 1,5 1,5 – 2,0 2,0 -
100 – 1000 1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 -
> 1000 - 2,0 – 2,5 2,5 2,5
*
) LER dalam satuan angka ekivalen 8,16 ton beban sumbu tunggal
Catatan : Pada proyek-proyek penunjangan jalan, JAPAT / Jalan Murah,
atau jalan darurat maka Ipt dapat diambil 1,0.
(Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan
Metode Analisa Komponen, Departemen Pekerjaan Umum, 1987)

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 49

Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (Ipo) perlu
diperhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan / kehalusan serta
kekokohan) pada awal umur rencana.

Tabel 2.32 : Indeks Permukaan pada awal umur rencana (Ipo)


Jenis Lapis Perkerasan Ipo Roughness * ) (mm / km)
LASTON ≥4 ≤ 1000
3,9 – 3,5 > 1000
LASBUTAG 3,9 – 3,5 ≤ 2000
3,4 – 3,0 > 2000
HRA 3,9 – 3,5 ≤ 2000
3,4 – 3,0 > 2000
BURDA 3,9 – 3,5 < 2000
BURTU 3,4 – 3,0 < 2000
LAPEN 3,4 – 3,0 ≤ 3000
2,9 – 2,5 > 3000
LATASBUM 2,9 – 2,5 -
BURAS 2,9 – 2,5 -
LATASIR 2,9 – 2,5 -
JALAN TANAH ≤ 2,4 -
JALAN KERIKIL ≤ 2,4 -
(Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode
Analisa Kompenen, Departemen Pekerjaan Umum, 1987)

2.6.7. Indeks Tebal Perkerasan


Indeks Tebal Perkerasan (ITP) dapat dicari dengan menggunakan
nomogram sesuai yang terdapat pada buku petunjuk perencanaan
perkerasan jalan metode analisa komponen yang masing-masing
nomogram dipakai berdasarkan nilai IP dan IPo. Dengan menarik garis
lurus antara nilai daya dukung tanah (DDT), dan harga LER maka didapat

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 50

nilai ITP, kemudian garis dihubungkan lagi dengan niliai faktor regional
(FR) sehingga diperoleh ITP.

Nilai ITP digunakan untuk menentukan tebal masing-masing lapis


perkerasan dengan rumus sbagai berikut :

ITP = a1.D1 + a2.D2 + a3.D3

Dimana :
ITP : Indeks tebal perkerasan
a1 : Koefisien lapisan permukaan
a2 : Koefisien lapis Base Course
a2 : Koefisien lapis Sub Base
DI : Tebal lapisan permukaan, (cm)
D2 : Tebal lapis Base Course, (cm)
D3 : Tebal lapis Sub Base, (cm)

Tabel 2.33 : Koefisien kekuatan relatif


Koefisien kekuatan relatif Kekuatan Bahan
CBR Jenis Bahan
a1 a2 a3 MS (kg) Kt (kg)
(%)
0,40 - - 744 - - Laston
0,35 - - 590 - -
0,32 - - 454 - -
0,30 - - 340 - -

0,35 - - 744 - - Lasbutag


0,31 - - 590 - -
0,28 - - 454 - -
0,26 - - 340 - -

0,30 - - 340 - - HRA

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 51

Koefisien kekuatan relatif Kekuatan Bahan


CBR Jenis Bahan
a1 a2 a3 MS (kg) Kt (kg)
(%)
0,26 - - 340 - - Aspal Macadam
0,25 - - - - - Lapen (mekanis)
0,20 - - - - - Lapen (manual)

- 0,28 - 590 - - Laston atas


- 0,26 - 454 - -
- 0,24 - 340 - -

- 0,23 - - - - Lapen (mekanis)


- 0,19 - - - - Lapen (manual)

- 0,15 - - 22 - Stab. tanah dengan semen


- 0,13 - - 18 -

- 0,15 - - 22 - Stab. Tanah dengan kapur


- 0,13 - - 18 -

- 0,14 - - - 100 Batu pecah (kelas A)


- 0,13 - - - 80 Batu pecah (kelas B)
- 0,12 - - - 60 Batu pecah (kelas C)

- - 0,13 - - 70 Sirtu / pitrun (kelas A)


- - 0,12 - - 50 Sirtu / pitrun (kelas B)
- - 0,11 - - 30 Sirtu / pitrun (kelas C)

- - 0,10 - - 20 Tanah / lempung kepasiran


(Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa
Komponen, Departemen Pekerjaan Umum, 1987)

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 52

2.6.8. Perancangan Tebal Lapisan Perkerasan


a Lapis permukaan

Tabel 2.34 : Batas-batas minimum tebal lapis perkerasan untuk lapis


permukaan.
Tebal
ITP Bahan
minimum
< 3,00 5 Lapis pelindung : (buras / burtu / burda)
3,00-6,70 5 Lapen / aspal macadam, HRA, lasbutag,
laston
6,71-7,49 7,5 Lapen / aspal macadam, HRA, lasbutag,
laston
7,50-9,99 7,5 Lasbutag, laston
≥ 10,00 10 Laston
(Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode
Analisa Komponen, Departemen Pekerjaan Umum, 1987)

b Lapis pondasi

Tabel 2.35 : Batas-batas minimum tebal lapis perkerasan untuk lapis


pondasi..
Tebal
ITP Bahan
minimum
< 3,00 15 Batu pecah, stabilitas tanah dengan
semen, stabilitas tanah dengan kapur
*)
3,00-7,49 20 Batu pecah, stabilitas tanah dengan
semen, stabilitas tanah dengan kapur
10 Laston atas
7,50-9,99 20 Batu pecah, stabilitas tanah dengan
semen, stabilitas tanah dengan kapur,
pondasi macadam
15 Laston atas
10-12,14 20 Batu pecah, stabilitas tanah dengan

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 53

Tebal
ITP Bahan
minimum
semen, stabilitas tanah dengan kapur,
pondasi macadam, lapen, laston atas
≥ 12,25 25 Batu pecah, stabilitas tanah dengan
semen, stabilitas tanah dengan kapur,
pondasi macadam, lapen, laston atas
(Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode
Analisa Komponen, Departemen Pekerjaan Umum, 1987)

c Lapis pondasi bawah


Untuk setiap nilai ITP bila digunakan pondasi bawah, tebal minimum
adalah 10 cm
(Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode
Analisa Komponen, Departemen Pekerjaan Umum, 1987)

Tack Coat

Surface

Base

Sub Base

Sub Grade

Gambar 2.18 Sketsa tebal perkerasan

2.6.9. Perancangan Tebal Pelapisan Tambahan/Overlay


Diberikan pada jalan yang telah/menjelang habis masa pelayanannya
dimana kondisi permukaan jalan telah mencapai indeks permukaan akhir
(IP) yang diharapkan.

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 54

Maksud dan Tujuan overlay :


a. Mengembalikan (meningkatkan) kemampuan/kekuatan structural.
b. Kualitas permukaan
• Kemampuan menahan gesekan roda (skid resistance).
• Tingkat kekedapan terhadap air.
• Tingkat kecepatannya mengalirkan air.
• Tingkat keamanan dan kenyamanan.

Prosedur perencanaan tebal overlay menggunakan metoda analisa


komponen :
• Perlu dilakukan survai penilaian terhadap kondisi perkerasan jalan
lama (existing pavement), yang meliputi lapis permukaan, lapis
pondasi atas, dan lapis pondasi bawah.
• Tentukan LHR pada awal dan akhir umur rencana.
• Hitung LEP, LEA, LET, dan LER
• Cari nilai ITPR menggunakan nomogram
• Cari nilai ITPP dari jalan yang ada (eksisting)
• Tetapkan tebal lapisan tambahan (D1)
∆ ITP = ITPR - ITPP
Dimana :
∆ ITP = Selisih antara ITPR dan ITPP
ITPR = ITP yang diperlukan sampai dengan akhir umur rencana
ITPP = ITP yang ada
∆ ITP = D1 x a1
Dimana :
D1 = Tebal lapisan tambahan
a1 = Koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 55

2.6.10. Perancangan Tebal Perkerasan Bahu Jalan

Po [1+ 0,7 log ( µ x n xη x δ ) ]


He = 20
CBR
Dimana :
He : h ekivalen terhadap batu pecah
Po : lalu-lintas ekivalen yang diperhitungkan
n : lalu-lintas ekivalen rencana
δ : faktor drainage
η : faktor curah hujan
µ : umur rencana
Beban kendaraan yang diperhitungkan melewati bahu jalan adalah
kendaraan terberat dari lalu-lintas yaitu truk 3 as 20 ton dengan maksimum
25 ton.

25 % 75 %
Tunggal Ganda

Gambar 2.19 Penyebaran beban pada roda truck

2.7 Perencanaan Saluran Drainase


Saluran drainase adalah bangunan yang bertujuan mengalirkan air dari
badan jalan secepat mungkin agar tidak menimbulkan bahaya dan
kerusakan pada jalan. Dalam banyak kejadian, kerusakan konstruksi jalan

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 56

disebabkan oleh air, baik itu air permukaan maupun air tanah. Air dari atas
badan jalan yang dialirkan ke samping kiri dan atau kanan jalan ditampung
dalam saluran samping (side ditch) yang bertujuan agar air mengalir lebih
cepat dari air yang mengalir diatas permukaan jalan dan juga bertujuan
untuk bisa mengalirkan kejenuhan air pada badan jalan.
Dalam merencanakan saluran samping harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
¾ Mampu mengakomodasi aliran banjir yang direncanakan dengan
kriteria tertentu sehingga mampu mengeringkan lapis pondasi.
¾ Saluran sangat baik diberi penutup untuk mencegah erosi maupun
sebagai trotoar jalan.
¾ Pada kemiringan memanjang, harus mempunyai kecepatan rendah
untuk mencegah erosi tanpa menimbulkan pengendapan.
¾ Pemeliharan harus bersifat menerus.
¾ Air dari saluran dibuang ke outlet yang stabil ke sungai atau tempat
pengaliran yang lain
¾ Perencanaan drainase harus mempertimbangkan faktor ekonomi,
faktor keamanan dan segi kemudahan dalam pemeliharaan.

2.7.1. Ketentuan-Ketentuan
1. Sistim drainase permukaan jalan terdiri dari : kemiringan melintang
perkerasan dan bahu jalan, selokan samping, gorong-gorong dan
saluran penangkap (Gambar 2.20).

Gambar 2.20 Sistem drainase permukaan

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 57

2. Kemiringan melintang normal (en) perkerasan jalan untuk lapis


permukaan aspal adalah 2 % - 3 %., Sedangkan untuk bahu jalan
diambil = en + 2 %.
3. Selokan samping jalan
¾ Kecepatan aliran maksimum yang diizinkan untuk material dari
pasangan batu dan beton adalah 1,5 m/detik.
¾ Kemiringan arah memanjang (i) maksimum yang diizinkan untuk
material dari pasangan batu adalah 7,5 %.
¾ Pematah arus diperlukan untuk mengurangi kecepatan aliran bagi
selokan samping yang panjang dengan kemiringan cukup besar.
Pemasangan jarak antar pematah arus dapat dilihat pada Tabel
2.36.

Tabel 2.36 : Jarak pematah arus


I (%) 6% 7% 8% 9% 10 %
L (m) 16 10 8 7 6
(Sumber : SNI 03-3424-1994)

¾ Penampang minimum selokan samping adalah 0,50 m2.


4. Gorong-gorong pembuang air
¾ Kemiringan gorong-gorong adalah 0,5 % - 2 %.
¾ Jarak maksimum antar gorong-gorong pada daerah datar adalah
100 m dan daerah pegunungan adalah 200 m.
¾ Diameter minimum adalah 80 cm.

2.7.2. Perhitungan Debit Aliran


1. Intensitas curah hujan (I)
¾ Data yang diperlukan adalah data curah hujan maksimum tahunan,
paling sedikit n = 10 tahun dengan periode ulang 5 tahun.
¾ Rumus menghitung Intensitas curah hujan menggunakan analisa
distribusi frekuensi sbb :

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 58

⋅ (YT − Yn )
Sx
XT = x +
Sn
I = 1 / 4 ⋅ (90% ⋅ XT )

Dimana :
XT = besar curah hujan
x = nilai rata-rata aritmatik curah hujan
Sx = standar deviasi
Yt = variabel yang merupakan fungsi dari periode ulang, diambil =
1,4999.
Yn = variabel yang merupakan fungsi dari n, diambil 0,5128 untuk n
=5
Sn = standar deviasi, merupakan fungsi dari n, diambil 1,0206 untuk
n=5
I = intensitas curah hujan (mm/jam)

¾ Waktu konsentrasi (TC) dihitung dengan rumus :

TC = t1 + t2
0 ,167
⎛2 nd ⎞
t1 = ⎜⎜ ⋅ 3,28 ⋅ LO ⋅ ⎟⎟
⎝3 s⎠
L
t2 =
60 ⋅ v

Dimana :
TC = waktu konsentrasi (menit)
t1 = waktu inlet (menit)
t2 = waktu aliran (menit)
LO = Jarak dari titik terjauh dari saluran drainase (m)
L = panjang saluran (m)

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 59

nd = koefisien hambatan, diambil 0,013 untuk lapis permukaan


aspal
s = kemiringan daerah pengaliran
v = kecepatan air rata-rata di saluran (m/detik)
2. Luas daerah pengaliran dan batas-batasnya sesuai yang terlihat pada
Gambar 2.21.

Gambar 2.21 Batas-batas daerah pengaliran

Batas daerah pengaliran yang diperhitungkan :


L = L1 + L2 + L3 (m)
Dimana : L1 = dari as jalan sampai tepi perkerasan.
L2 = dari tepi perkerasan sampai tepi bahu jalan.
L3 = tergantung kebebasan samping dengan panjang
maksimum 100 m.
3. Harga koefisien pengaliran (C) dihitung berdasarkan kondisi
permukaan yang berbeda-beda.
C1 ⋅ A1 + C2 ⋅ A2 + C3 ⋅ A3
C=
A1 + A2 + A3
Dimana : C1 = koefisien untuk jalan aspal = 0,70.
C2 = koefisien untuk bahu jalan (tanah berbutir kasar) =
0,65.
C3 = koefisien untuk kebebasan samping (daerah pinggir
kota) = 0,60.
A1, A2, A3 = luas masing-masing bagian.

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 60

4. Untuk menghitung debit pengaliran, digunakan rumus sebagai berikut :


1
Q= ⋅C⋅I⋅A
3,6
Dimana :
Q = debit pengaliran (m3/detik)
C = koefisien pengaliran
I = intensitas hujan (mm/jam)
A = luas daerah pengaliran (km2)

2.7.3. Perhitungan Dimensi Saluran Dan Gorong-Gorong


Dimensi saluran dan gorong-gorong ditentukan atas dasar Fe = Fd
1. Luas penampang basah berdasarkan debit aliran (Fd)
Fd = Q / v (m2)
2. Luas penampang basah yang paling ekonomis (Fe)
¾ Saluran bentuk segi empat
Rumus :
Fe = b ⋅ d ª syarat : b = 2 ⋅ d
R=d/2

3. Tinggi jagaan (w) untuk saluran segi empat w = 0,5 ⋅ d

Gambar 2.22 Penampang saluran samping bentuk segi empat

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi
Bab II Studi Pustaka II - 61

¾ Gorong-gorong
Rumus :
Fe = 0,685 ⋅ D 2 ª syarat : d = 0.8 D
P=2r
R=F/P
Dimana : Fe = Luas penampang basah ekonomis (m2)
b = lebar saluran (m)
d = kedalaman air (m)
R = jari-jari hidrolis (m)
D = diameter gorong-gorong (m)
r = jari-jari gorong-gorong (m)

D
d

Gambar 2.23 Penampang gorong-gorong


4. Perhitungan kemiringan saluran
2
⎛ v⋅n ⎞
Rumus : i = ⎜ 2/3 ⎟
⎝R ⎠

Dimana : i = kemiringan saluran


v = kecepatan aliran air (m/detik)
n = koefisien kekasaran manning, (saluran pasangan batu)
= 0,025

Laporan Tugas Akhir Agustian / L2A 000 014


Evaluasi Dan Perancangan Peningkatan Jalan Ahmad Safrudin / L2A 000 016
Selatan-Selatan Cilacap
Ruas Sidareja - Jeruklegi

Anda mungkin juga menyukai