BAB II
STUDI PUSTAKA
2.1. Tinjauan Umum
Sistim transportasi terdiri dari tiga sistim/sub sistim yang saling
berinteraksi. Ketiga sistim tersebut adalah Sistim Kegiatan, Sistim
Jaringan, dan Sistim Pergerakan. Interaksi yang terjadi dapat dibagi dalam
tiga pola interaksi sebagai berikut :
1. Sistim Kegiatan + Sistim Jaringan Î Sistem Pergerakan
Perkembangan Sistim Kegiatan dan Meningkatnya sistim pergerakan
akan memicu pertumbuhan sistim pergerakan.
2. Sistim Jaringan + Sistim Pergerakan Î Sistim Kegiatan
Meningkatnya Sistim jaringan yang ada, disertai dengan peningkatan
Sistim pergerakan, akan menyebabkan berkembangnya Sistim
Kegiatan.
3. Sistim Pergerakan Î Sistim Kegiatan & Sistim Jaringan
Adanya pertumbuhan Sistim Pergerakan menyebabkan diperlukannya
pelayanan yang lebih baik dari Sistim jaringan dan Sisim Kegiatan
yang ada.
SISTEM SISTEM
KEGIATAN PERGERAKAN
SISTEM
JARINGAN
SISTEM SISTEM
SISTEM SISTEM
KEGIATAN PERGERAKAN
KEGIATAN PERGERAKAN
SISTEM
SISTEM
JARINGAN
JARINGAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peningkatan pada suatu ruas
jalan tidak semata-mata karena permintaan (demand) yang disebabkan
meningkatnya Sistim Kegiatan dan Sistim Pergerakan di ruas jalan
tersebut, tetapi peningkatan suatu ruas jalan bisa saja terjadi dengan tujuan
untuk membangkitkan Sistim Kegiatan dan Sistim Pergerakan pada
kawasan di ruas jalan yang bersangkutan (tanpa adanya
permintaan/demand).
2.2.5. Kapasitas
Kapasitas lalu lintas didefinisikan sebagai arus maksmum melalui suatu
titik di jalan yang dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi
tertentu. Untuk jalan 2 lajur 2 arah, kapsitas ditentukan untuk arus 2 arah
(Kombinasi 2 arah), tetapi untuk jalan dengan banyak lajur, arus
dipisahkan per arah dan kapasitas ditentukan per lajur. Kapasitas dinyataka
dalam satuan mobil penumpang (smp), menurut MKJI 1997 dapat dicari
dengan rumus :
Dimana :
C = kapasitas (smp/jam)
Co = kapasitas dasar (smp/jam)
FCw = faktor penyesuaian lebar jalan
FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah (hana untuk jalan tak
terbagi)
FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan dari
kerb.
2.2.5.1.Kapasitas Dasar
Adalah kapasitas suatu segmen jalan untuk suatu set kondisi yang
ditentukan sbelumnya (geometri, pola arus lalu lintas, dan factor
lingkungan), menurut MKJI 1997 nilai dari kapasitas dasar dapat dilihat
pada tabel 2.3 berikut ini :
Tabel 2.4 : Nilai faktor penyesuaian kapasitas akibat lebar lajur lalu lintas
(FCw)
Lebar Efektif Lajur
Tipe Jalan Lalu lintas/Wc (m) FCw
Tabel 2.5 : Nilai Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Pemisah Arah (FCsp)
Pemisah arah
50-50 55-45 60-40 65-35 70-30
SP %-%
FCsp Dua Lajur
1,00 0,97 0,94 0,91 0,88
2/2
FCsp Dua Lajur
1,00 0,975 0,95 0,925 0,90
4/2
Sumber : MKJI 1997
2.2.5.5.Derajat Kejenuhan
Derajat kejenuhan atau Degree Of Saturation (DS) didefinisikan sebagai
ratio arus terhadap kapasitas, digunakan sebagai faktor utama dalam
DS = Q / C
Dimana :
Q = Volume kendaraan (smp/jam)
C = Kapasitas jalan (smp/jam)
Jika nilai DS ≤ 0,75 maka jalan tersebut masih layak, tetapi jika Ds > 0,75
maka diperlukan penanganan pada jalan tersebut untuk mengurangi
kepadatan.
Dimana :
FV = Kecepatan arus bebas kendaraan ringan pada kondisi
lapangan (km/jam)
FV0 = Kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan (km/jam)
FVw = Penyesuaian kecepatan untuk lebar jalan (km/jam)
FFVSF = Faktor penyesuaian untuk kondisi hambatan samping dan
lebar bahu
Tabel 2.8 : Nilai Faktor Penyesuaian Kecepatan Akibat Lebar Jalur Lalu-lintas (FVw).
Lebar Efektif FVw (km/jam)
Tipe Jalan Jalur Lalu Lintas Datar: - Bukit: SDC= A,B,C
(Wc) (m) SDC=A,B - Datar: SDC= C
Gunung
Per lajur
3,00 -3 -3 -2
4 lajur dan 6 lajur 3,25 -1 -1 -1
terbagi 3,50 0 0 0
3,75 2 2 2
Per lajur
3,00 -3 -2 -1
3,25 -1 -1 -1
4 lajur tak terbagi
3,50 0 0 0
3,75 2 2 2
Total
5 -11 -9 -7
6 -3 -2 -1
7 0 0 0
2 lajur tak terbagi
8 1 1 0
9 2 2 1
10 3 3 2
11 3 3 2
Sumber : MKJI 1997
Tabel 2.9 : Nilai Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan Samping Dan Lebar Bahu
(FFVSF)
Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan
Tipe Kelas Hambatan Samping Dan Lebar Bahu
Jalan Samping (SFC) Lebar Bahu Efektif Ws (m)
≤ 0,5 m 1,0 m 1,5 m ≥ 2,0 m
Sangat rendah 1.00 1.00 1.00 1.00
Rendah 0.98 0.98 0.98 0.99
4/2 D Sedang 0.95 0.95 0.96 0.98
Tinggi 0.91 0.92 0.93 0.97
Sangat tinggi 0.86 0.87 0.89 0.96
Tabel 2.10 : Faktor penyesuaian akibat kelas fungsional jalan dan tata
guna lahan (ffvrc).
Faktor Penyesuaian FFVRC
Tipe Jalan Pengembangan Samping Jalan (%)
0 25 50 75 100
4/2 D
- Arteri 1.00 0.99 0.98 0.96 0.95
- Kolektor 0.99 0.98 0.97 0.95 0.94
- Lokal 0.98 0.97 0.96 0.94 0.93
4/2 UD
- Arteri 1.00 0.99 0.97 0.96 0.945
- Kolektor 0.97 0.96 0.94 0.93 0.915
- Lokal 0.95 0.94 0.92 0.91 0.895
2/2 UD
- Arteri 1.00 0.98 0.97 0.96 0.94
- Kolektor 0.94 0.93 0.91 0.90 0.88
- Lokal 0.90 0.88 0.87 0.86 0.84
Sumber : MKJI 1997
V = L / TT
Dimana :
V = kecepatan ruang rata-rata kendaraan ringan (km/jam)
L = panjang segmen (km)
TT = waktu tempuh rata-rata dari kendaraan ringan sepanjang segmen
(jam)
VJR digunakan untuk menghitung jumlah lajur jalan dan fasilitas lalu
lintas lainnya yang diperlukan. Faktor K dan faktor F yang sesuai dengan
VLHR dapat dilihat pada Tabel 2.13.
∑ X = n.a + ∑ X
∑ XY = a∑ X + b∑ X
X1 = a + b X2 + c X3 + d X4
3. Bahu Jalan
Bahu jalan adalah bagian jalan yang terletak di tepi jalur lalu lintas dan
harus diperkeras. Kemiringan bahu jalan normal antara 3 – 5 %.
Fungsi bahu jalan adalah sebagai berikut :
a Lajur lalu lintas darurat, tempat berhenti sementara, dan tempat
parkir darurat.
b Ruang bebas samping bagi lalu lintas.
c Sebagai penyangga untuk kestabilan perkerasan jalur lalu lintas.
2 n x 3.5
Ket : 2 = 2 jalur, n = jumlah lajur per jalur, n x 3.5 = lebar per jalur
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan Umum Direktorat
Jenderal Bina Marga, 1997)
4. Median
Median adalah bagian bangunan jalan yang secara fisik memisahkan
dua jalur lalu lintas yang berlawanan arah. Fungsi median adalah :
a Memisahkan dua aliran lalu lintas yang berlawanan arah.
b Ruang lapak tunggu penyeberang jalan.
c Penempatan fasilitas jalan.
d Tempat prasarana kerja sementara.
e Penghijauan
f Tempat berhenti darurat (jika cukup luas).
g Cadangan lajur (jika cukup luas)
h Mengurangi silau dari sinar lampu kendaraan dari arah yang
berlawnan
Jalan 2 arah dengan 4 lajur atau lebih perlu dilengkapi median. Lebar
minimum median terdiri atas jalur tepian selebar 0,25 – 0,50 meter
dan bangunan pemisah jalur, ditetapkan dapat dilihat dalam Tabel
2.17
2.5.1.1.Bagian Lurus
Panjang maksimum bagian lurus, harus dapat ditempuh dalam waktu ≤
2.5 menit (sesuai VR), dengan pertimbangan keselamatan pengemudi
akibat dari kelelahan.
2.5.1.2.Tikungan
a Jari-Jari Minimum
Kendaraan pada saat melalui tikungan dengan kecepatan (V) akan
menerima gaya sentrifugal yang menyebabkan kendaraan tidak stabil.
Untuk mengimbangi gaya sentrifugal tersebut, perlu dibuat suatu
kemiringan melintang jalan pada tikungan yang disebut superelevasi
(e). pada saat kendaraan melalui daerah super elevasi, akan terjadi
gesekan arah melintang jalan antara ban kendaraan dengan permukaan
aspal yang menimbulkan gaya gesekan melintang. Perbandingan gaya
gesekan melintang dengan gaya normal disebut koefisien gesekan
melintang (f). Untuk menghindari terjadinya kecelakaan, maka untuk
superelevasi maksimum dan koefisien gesekan maksimum, dengan
rumus sebagai berikut :
VR 2
R min =
127 (e mak + f mak )
191913,53 (e mak + fmak )
Dmak =
VR 2
Dimana :
Rmin : jari-jari tikungan minimum (m)
VR : kecepatan kendaraan rencana (km / jam)
e mak : super elevasi maksimum (%)
f mak : koefisien gesekan melintang maksimum
D : derajat lengkung
D mak : derajat maksimum
b Lengkung Peralihan
Panjang lengkung peralihan (Ls), menurut Tata Cara Perencanaan
Geometrik Jalan Antar Kota, 1997, diambil nilai yang terbesar dari
tiga persamaan dibawah ini :
1. Berdasarkan waktu tempuh maksimum (3 detik), untuk melintasi
lengkung peralihan, maka panjang lengkung :
VR
Ls = xT
3,6
2. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal, digunakan rumus
Modifikasi Shortt, sebagai berikut :
VR 2 VR x e
Ls = 0,02 x − 2,727
Rc x C C
3. Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian
(em − en)
Ls = x VR
3,6 x re
Dimana :
T : waktu tempuh = 3 detik
Rc : jari-jari busur lingkaran (m)
C : perubahan percepatan, 0,3 – 1,0 disarankan 0,4 m / dt3
e : superelevasi
em : superelevasi maksimum
en : superelevasi normal
re : tingkat pencapaian perubahan kelandaian melintang jalan,
sebagai berikut
Untuk VR ≤ 70 km / jam : re mak = 0,035 m / m / det
Untuk VR ≥ 80 km / jam : re mak = 0,025 m / m / det
2.5.1.3.Perhitungan Lengkung
a Lengkung Busur Lingkaran Sederhana (Full Circle)
Lengkung busur lingkaran sederhana adalah jenis tikungan yang hanya
terdiri dari bagian suatu lingkaran saja. Tikungan Full Circle hanya
digunakan untuk R (jari-jari tikungan) yang besar agar tidak terjadi
patahan, karena dengan R kecil maka diperlukan superelevasi yang
besar. Rumus yang digunakan :
Tc = Rc tan ½ ∆
Ec = Tc tan ½ ∆
∆ 2π Rc
Lc =
3600
Dimana :
∆ : sudut tikungan
en = -2% en = -2%
- e max %
I II III
+ e max %
ex %
en % en % en% - emax %
Ls 2
P= − Rc (1 − cosθ s )
6 Rc
Ls 3
k = Ls − − Rc sin θ s
40 Rc 2
Ts = (Rc + p) tan ½ ∆ + k
Es = (Rc + p) sec ½ ∆ - Rc
θs
Lc = π Rc
180
+ e max %
+ ex %
TS SC CS ST
en = -2% - ex % en = -2%
- e max %
0% en % + ex % + emax %
en % en % en % - ex %
en % - emax %
⎛ Ls 2 ⎞
Xs = Ls ⎜⎜1 − ⎟⎟
⎝ 40 Rc ⎠
lS 2
Ys =
6 Rc
90 Ls
θs=
π Rc
Ls 2
P= − Rc (1 − cosθ s )
6 Rc
Ls 3
k = Ls − − Rc sin θ s
40 Rc 2
Ts = (Rc + p) tan ½ ∆ + k
Es = (Rc + p) sec ½ ∆ - Rc
θs
Lc = π Rc
180
+ ex % + e max %
en = -2% - ex % en = -2%
- e max %
I II III IV V
Sisi Dalam Perkerasan
0% en % + ex % + emax %
en % en % en % - ex %
en % - emax %
Kebebasan samping di kiri dan kanan jalan tetap harus dipertahankan demi
keamanan dan tingkat pelayanan jalan. Kebebasan samping (C) sebesar
0,5 m, dan 1 m, dan 1,25 m, cukup memadai untuk jalan dengan lebar lajur
6 m, 7 m, dab 7,50 m.
Dari Gambar 2.9 dapat dilihat :
b = lebar kendaraan rencana
B = Lebar perkerasan yang ditempati suatu kendaraan di tikungan pada
lajur sebelah dalam.
U = B–b
C = Lebar kebebasan samping di kiri dan kanan kendaraan
Z = lebar tambahan akibat kesukaran mengemudi di tikungan.
Bn = Lebat total perkerasan pada bagian lurus
Bt = Lebar total perkesaran di tikungan
n = jumlah lajur
Bt = n (B + C) + Z
∆b = Tambahan lebar perkerasan di tikungan
∆b = Bt – Bn
Bt
p A
C/2
b
C/2
Z
B
Bn
P A
2.5.1.5.3.Jumlah Jalan
Jumlah jalan dalam persimpangan tidak boleh melebihi 4 kecuali dalam
kasus beberapa persimpangan persegi/bundar atau putaran.
Persimpangan jalur ganda sering mengakibatkan kesulitan pengontrolan
lau lintas atau kemacetan lalu lintas.
2.5.1.5.4.Sudut Persimpangan
Persimpangan tegak lurus biasanya diinginkan untuk kemampuan
pengelihatan maksimal dan untuk mempersingkat waktu persimpangan.
Jalan-jalan yang bersimpangan dengan sudut tajam, terutama dibawah
60o, harus diarahkan kembali seperti dalam Gambar 2.10.
(a) (b)
2.5.1.5.5.Lebar Jalur
Untuk mengadakan penambahan lajur maka lebar jalur lalulintas utama
pada persimpangan dapat dipersempit seperti pada Tabel 2.20 dibawah
ini. Dalam hal lebar semula adalah 2,75 m, maka lebar tidak dapat
dipersempit. Lebar jalur tambahan harus 2,75 m.
Lw = 2 x M x S
Dimana :
Lw = Panjang jalur tunggu
M = Jumlah kendaraan belok kanan per menit
S = Panjang rata-rata dari ruang yang ditempati oleh satu
kendaraan (m)
Lw = 1,5 x N x S
Dimana :
Lw = Panjang jalur tunggu
N = Jumlah kendaraan belok kanan per siklus lampu lalulintas
M atau N adalah jumlah kendaraan belok ke kanan yang dapat
diperoleh lewat prakiraan atau penelitian kebutuhan belok-kanan
pada tahun target. Dasar perhitungan untuk S, panjang rata-rata
ruang yang ditempati oleh sebuah kendaraan, adalah sebagai berikut:
• Mobil penumpang ........... 6 m
• Truk ................................. 12 m
• Jika ratio dari mobil penumpang dan truk tidak diperoleh 7 m bagi
semua kendaraan.
Dalam hal jalan raya mempunyai median yang cukup lebar, lajur belok
kanan dapat dibentuk di dalam median, yang disebut lajur median
(Gambar 2.11).
median
l1 l2
median
median median
median
Gambar 2.12. Lajur utama digeser untuk lajur belok-kanan (lajur
utama dipersempit, sedangkan lebar total diperbesar)
Dalam hal tidak adanya ruang untuk menambah lajur belok-kanan yang
terpisah, usaha terakhir adalah melebarkan jalan-jalan kendaraan utama
sebesar mungkin, pelebaran 1,5 m atau lebih dapat menyediakan ruang
minimum untuk semua kendaraan yang menunggu untuk belok-kanan
(Gambar 2.13). Gambar 2.14 menunjukkan contoh penyusunan kembali
penampang pada persimpangan.
median
persimpangan
pelebaran 87,5 cm pelebaran 87,5 cm
75 325 325 75
penampang
standar
2.5.1.5.7.Lengkung Persimpangan
Tiga perencanaan minimum tepi dalam perkerasan untuk belokan ke kiri
90o untuk menampung kendaraan penumpang, truk tunggal, bis, dan
semi-trailer diperlihatkan dalam Gambar 2.15a sampai Gambar 2.15c.
Pada gambar, truk dan bis (atau semi-trailer, dapat membuat belokan ke
kiri tanpa melanggar jalur yang berdekatan. Jika pelanggaran atas jalur
yang berdekatan diperkenankan, jari-jari lengkung yang lebih kecil dapat
juga menerima kendaraan yang berukuran besar. Penetapan lengkungan
yang akan dipakai di antara ketiga lengkung tersebut tergantung pada
volume dan karakteristik lalu lintas dan pentingnya jalan raya.
90°
90°
m
5
7.
m
.5
15
90°
m
1,
23
23
m
1,
1
5: Ta
m
r1 p
18 er 1
.5
pe .5 m
18
a
T 18 .5 5:1
m
2
⎛ VR ⎞
⎜ ⎟
VR ⎝ 3,6 ⎠
Jh = T.
3,6 2g f
Dimana :
VR : kecepatan rencana (km / jam)
T : waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik
g : percepatan gravitasi, ditetapkan 9,8 m / det2
f : koefisien gesek memanjang perkerasan jalan aspal,
ditetapkan 0,35 – 0,55
2
VR
Jh = 0,694 VR . 0,004
f
Jd = d1 + d2 + d3 + d4
Dimana :
d1 : jarak yang ditempuh selama waktu tanggap
d2 : jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali-
ke lajur semula (m)
d3 : jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang-
datang dari arah berlawanan setelah proses mendahului selesai
(m)
d4 : jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari arah-
berlawanan, yang besarnya diambil sama dengan 2 / 3 d2 (m)
Jd yang sesuai dengan VR ditetapkan dalam Tabel 2.23
A. Jd 2
Jd < L, maka : L =
960
960
Jd > L, maka : L = 2 Jd -
A
(c) Syarat kenyamanan
A.V 2
L=
360
(d) Syarat drainase
LV = 40 . A (m)
(e) Perhitungan Landai Peralihan
A. Lv
EV =
800
Dimana :
Lv = panjang lengkung vertikal
S = Jh = Jp = jarak pandangan
A = perbedaan aljabar kedua tangen = g2 – g1
g1 = kemiringan tangen 1
g2 = kemiringan tangen 2
d1 d2
A
q1 E q2
h1 h2
S
L
A . Jh2
Jh < L, maka : L =
120 + 3,5 Jh
120 + 3,5 Jh
Jh > L, maka : L = 2 Jh -
A
(b) Syarat kenyamanan
A .V 2
L=
390
(c) Syarat drainase
LV = 40 . A (m)
(d) Perhitungan landai peralihan
A. Lv
EV =
800
L
S
0 .7 5
1 h
E
A
c. Tentukan jumlah harga CBR yang sama atau lebih besar dari masing-
masing nilai CBR.
Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (Ipo) perlu
diperhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan / kehalusan serta
kekokohan) pada awal umur rencana.
nilai ITP, kemudian garis dihubungkan lagi dengan niliai faktor regional
(FR) sehingga diperoleh ITP.
Dimana :
ITP : Indeks tebal perkerasan
a1 : Koefisien lapisan permukaan
a2 : Koefisien lapis Base Course
a2 : Koefisien lapis Sub Base
DI : Tebal lapisan permukaan, (cm)
D2 : Tebal lapis Base Course, (cm)
D3 : Tebal lapis Sub Base, (cm)
b Lapis pondasi
Tebal
ITP Bahan
minimum
semen, stabilitas tanah dengan kapur,
pondasi macadam, lapen, laston atas
≥ 12,25 25 Batu pecah, stabilitas tanah dengan
semen, stabilitas tanah dengan kapur,
pondasi macadam, lapen, laston atas
(Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode
Analisa Komponen, Departemen Pekerjaan Umum, 1987)
Tack Coat
Surface
Base
Sub Base
Sub Grade
25 % 75 %
Tunggal Ganda
disebabkan oleh air, baik itu air permukaan maupun air tanah. Air dari atas
badan jalan yang dialirkan ke samping kiri dan atau kanan jalan ditampung
dalam saluran samping (side ditch) yang bertujuan agar air mengalir lebih
cepat dari air yang mengalir diatas permukaan jalan dan juga bertujuan
untuk bisa mengalirkan kejenuhan air pada badan jalan.
Dalam merencanakan saluran samping harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
¾ Mampu mengakomodasi aliran banjir yang direncanakan dengan
kriteria tertentu sehingga mampu mengeringkan lapis pondasi.
¾ Saluran sangat baik diberi penutup untuk mencegah erosi maupun
sebagai trotoar jalan.
¾ Pada kemiringan memanjang, harus mempunyai kecepatan rendah
untuk mencegah erosi tanpa menimbulkan pengendapan.
¾ Pemeliharan harus bersifat menerus.
¾ Air dari saluran dibuang ke outlet yang stabil ke sungai atau tempat
pengaliran yang lain
¾ Perencanaan drainase harus mempertimbangkan faktor ekonomi,
faktor keamanan dan segi kemudahan dalam pemeliharaan.
2.7.1. Ketentuan-Ketentuan
1. Sistim drainase permukaan jalan terdiri dari : kemiringan melintang
perkerasan dan bahu jalan, selokan samping, gorong-gorong dan
saluran penangkap (Gambar 2.20).
⋅ (YT − Yn )
Sx
XT = x +
Sn
I = 1 / 4 ⋅ (90% ⋅ XT )
Dimana :
XT = besar curah hujan
x = nilai rata-rata aritmatik curah hujan
Sx = standar deviasi
Yt = variabel yang merupakan fungsi dari periode ulang, diambil =
1,4999.
Yn = variabel yang merupakan fungsi dari n, diambil 0,5128 untuk n
=5
Sn = standar deviasi, merupakan fungsi dari n, diambil 1,0206 untuk
n=5
I = intensitas curah hujan (mm/jam)
TC = t1 + t2
0 ,167
⎛2 nd ⎞
t1 = ⎜⎜ ⋅ 3,28 ⋅ LO ⋅ ⎟⎟
⎝3 s⎠
L
t2 =
60 ⋅ v
Dimana :
TC = waktu konsentrasi (menit)
t1 = waktu inlet (menit)
t2 = waktu aliran (menit)
LO = Jarak dari titik terjauh dari saluran drainase (m)
L = panjang saluran (m)
¾ Gorong-gorong
Rumus :
Fe = 0,685 ⋅ D 2 ª syarat : d = 0.8 D
P=2r
R=F/P
Dimana : Fe = Luas penampang basah ekonomis (m2)
b = lebar saluran (m)
d = kedalaman air (m)
R = jari-jari hidrolis (m)
D = diameter gorong-gorong (m)
r = jari-jari gorong-gorong (m)
D
d