Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

RESIKO PERILAKU KEKERASAN

A. Definisi Resiko Perilaku Kekerasan


Risiko perilaku kekerasan merupakan perilaku seseorang yang menunjukan bahwa ia
dapat membahayakan diri sendiri, orang lain atau lingkungan, baik secara fisik,
emosional, seksual dan verbal (Sutejo, 2017).
Perilaku kekerasan adalah salah satu respons marah yang diespresikan dengan
melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan merusak lingkungan. Respons ini dapat
menimbulkan kerugian baik bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Keliat,dkk,
2011). Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan kemarahan yang
dimanisfestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan merupakan suatu komunikasi atau
proses penyampaian pesan individu. Orang yang mengalami kemarahan sebenarnya ingin
menyampaian pesan bahwa ia “tidak setuju, merasa tersinggung, merasa tidak dianggap,
merasa tidak dituntut atau diremehkan” (Yosep, 2011).
Berbeda dengan risiko perilaku keekrasan, perilaku kekerasan memiliki definisi
sendiri. Perilaku kekerasan didefinisikan sebagai suatu keadaan hilang kendali perilaku
seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan (Sutejo, 2017).

B. Proses Terjadinya Masalah


a. Faktor Predisposisi
Faktor pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor predisposisi,
artinya mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor
berikut dialami oleh individu:
1. Psikologis : kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frutasi yang kemudian
dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan yaitu
perasaan ditilak, dihina, dianiaya.
2.Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan dirumah atau diluar rumah, semua aspek ini menstimulasi
individu mengadopsi perilaku kekerasan.
3.Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan
kontrol sosial yang tidak pasti terhadap pelaku kekerasan akan menciptakan seolah-
olah perilaku kekerasan yang diterima (permissive).
4.Bioneurologis banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus frontal, lobus
temporal dan ketidakseimbangan neurotransmitter turut berperan dalam terjadinya
perilaku kekerasan (Prabowo, 2014).
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari pasien, lingkungan atau interaksi dengan orang
lain. Kondisi pasien seperti ini kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusasaan, ketidak
berdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan.
Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah
pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintainya atau pekerjaan dan kekerasan
merupakan faktor penyebab yang lain interaksi yang profokatif dan konflik dapat pula
memicu perilaku kekerasan (Prabowo, 2014).

C. Etiologi
Faktor penyebab terjadinya kekerasan sebagai berikut (Direja, 2011):
a. Faktor Preedisposisi
1) Faktor psikologi
a.Terjadi asumsi, seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan
akan timbul dorongan agresif yang memotivasi perilaku kekerasan.
b.Berdasarkan pengunaan mekanisme koping individu dan masa kecil yang
tidak menyenangkan dan frustasi.
cAdanya kekerasan rumah tangga, keluarga, dan lingkungan.
2) Faktor Biologis
Berdasarkan teori biologi, ada beberapa yang mempengaruhi perilaku
kekerasan:
a.Beragam komponen sistem neurologis mempunyai implikasi dalam
menfasilitasi dan menghambat impuls agresif.
b.Peningkatan hormon adrogen dan norefineprin serta penurunan serotin pada
cairan serebro spinal merupakan faktor predisposisi penting menyebabkan
timbulnya perilaku agresif seseorang.
c.Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat kaitannya
dengan genetic termasuk genetik tipe kariotipe XYY, yang umumnya dimiliki
oleh penghuni penjara atau tindak criminal.
d.Gangguan otak, sindrom otak genetik berhubungan dengan berbagai gangguan
serebral, tumor otak (khususnya pada limbic dan lobus temporal), kerusakan
organ otak, retardasi terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan

perilaku kekerasan.
3) Faktor Sosial Budaya
Norma merupakan kontrol masyarakat pada kekerasan. Hal ini mendefinisikan
ekspresi perilaku kekerasan yang diterima atau tidak diterima akan menimbulkan
sanksi. Budaya dimasyarakat dapat mempengaruhi perilaku kekerasan.
b. Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik berupa injuri
secara fisik, psikis atau ancaman konsep diri. Beberapa faktor perilaku kekerasan
sebagai berikut:
1. Klien : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidak berdayaan, kehidupan yang penuh
agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
2. Interaksi : penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti merasa terancam
baik internal maupun eksternal.
3. Lingkungan : panas, padat, dan bising.

D. Tanda dan Gejala


Perawat dapat mengidentifikasi dan mengobservasi tanda dan gejala perilaku
kekerasan (Yosep, 2011) :
1. Fisik: muka merah dan tegang, mata melotot atau pandangan tajam, tangan mengepal,
postur tubuh kaku, jalan mondar mandir.
2. Verbal: bicara kasar, suara tinggi, membentak atau berteriak, mengancam secara fisik,
mengumpat dengan kata-kata kotor.
3. Perilaku: melempar atau memukul benda pada orang lain, menyerang orang lain atau
melukai diri sendiri, merusak lingkungan, amuk atau agresif.
4. Emosi: tidak ade kuat, dendam dan jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk,
menyalahkan dan menuntut.
5. Intelaktual: cerewet, kasar, berdebat, meremehkan.
6. Spiritual: merasa berkuasa, merasa benar sendiri, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasan orang lain, tidak peduli dan kasar.
7. Sosial: menarik diri, penolakan, ejekan, sindiran.
E. Rentang Respon Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan merupakan respon kemarahan. Respon kemarahan
dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif sampai mal adaptif. Rentang respon
marah menurut stuart dan sundeen, dimana agresif dan amuk (perilaku
kekerasan) berada pada rentang respon mal adaptif.
1) Asertif
Perilaku asertif adalah menyampaika sesuatu perasaan diri dengan pasti
dan merupakan komunikasi untuk menghormati orang lain. Individu yang
asertif berbicara dengan jujur dan jelas. Mereka dapat melihan normal dari
individu yang lainnya dengan tepat sesuai situasi. Pada saat berbicara
kontak mata langsung tapi tidak mengganggu, intonasi suara dalam
berbicara tidak mengancam.
2) Pasif
Individu yang pasif sering mengenyampingkan haknya dari persepsinya
terhadap hak orang lain. Ketika seseorang yang pasif marah dia akan
berusaha menutupi kemarahannya sehingga meningkatkan tekanan pada
dirinya.
3) Frustasi
Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan yang
kurang realistis atau hambatan dalam mencapai tujuan.
4) Agresif
Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain. Individu merasa
harus bersaing untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Seseorang yang
agresif di dalam hidupnya selalu mengarah pada kekerasan fisik dan verbal.
5) Amuk
Amuk atau perilaku adalah pearasaan marah dan bermusuhan yang kuat
yang disertai kehilangan kontrol diri sehingga individu dapat merusak diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan.

F. Sumber-sumber koping
Menurut Widi Astuti (2017) mengungkapkan bahwa sumber koping dibagi menjadi 4,
yaitu:
1) Kemampuan personal Meliputi kemampuan untuk mencari informasi terkait
masalah, kemampuan mengidentifikasi masalah, pertimbangan alternative,
kemampuan untuk mengungkapkan masalah, tidak semangat menyelesaikan
masalah, kemampuan mempertahankan hubungan interpersonal, dan identitas ego
tidak adekuat.
2) Dukungan sosial
Meliputi dukungan dari keluarga dan masyarakat, keterlibatan atau perkumpulan
dimasyarakat dan pertentangan nilai budaya.
3) Aset meteri
Meliputi penghasilan yang layak, tidak mempunyai tabungan untuk
mengantisipasi hidup, tidak mampu menjangkau pelayanan kesehatan.
4) kinan positif
Adanya motivasi dan penilaian terhadap pelayanan kesehatan.

G. Mekanisme koping
1) Konstruktif
Mekanisme konstruktif terjadi ketika kecemasan diperlakukan sebagai sinyal
peringatan dan individu menerima sebagai tantangan untuk menyelesaikan masalah,
menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti orang
lain akan memberikan kelegaan pada individu.
2) Destruksif
Mekanisme koping destruksif menghindari kecemasan tanpa menyelesaikan konflik.
Pada pasien dengan risiko perilaku kekerasan, apabila perasaan marah diekspresikan
dengan perilaku agresif dan menentang, biasanya dilakukan karena ia merasa kuat.
Cara ini menimbulkan masalah yang berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah
laku yang destruktif dan amuk.
H. Pohon Masalah

Risiko perilaku kekerasan (pada diri sendiri, orang


lain,lingkungan, dan verbal)
Effect

Perilaku kekerasan
Core problem

Harga diri rendah kronis Causa


Core problem

I. Masalah Keperawatan dan Data yang perlu di Kaji


1. Pengkajian
 Bangsal dirawat : Bangsal tempat pasien saat ini dirawat.
 Tanggal dirawat : Tanggal hari pertama pasien dirawat di rumah sakit saat ini.
 Nomor rekam medik : Nomor pasien berdasarkan nomor yang tertera pada
buku catatan medik pasien
 Berdasarkan dari Nurhalimah, 2016 konsep asuhan keperawatan sebagai
berikut :
1. Identitas Klien
Identitas klien yang perlu ditulis adalah nama klien, jenis kelamin, umur
(biasanya pada usia produktif), pendidikan (segala jenis/tingkat pendidikan
berisiko perilaku kekerasan), pekerjaan (tingkat keseriusan/tuntutan dalam
perkerjaannya dapat menimbulkan masalah), status (belum menikah,
menikah atau bercerai), alamat, kemudian nama perawat.
2. Alasan masuk rumah sakit dan faktor prespitasi
Faktor yang membuat klien melakukan perilaku kekerasan.
3. Faktor Predisposisi
Hal-hal yang menyebabkan perubahan perilaku kekerasan klien, baik dari
pasien, keluarga, maupun lingkungan (Nurhalimah, 2016).
4. Pemeriksaan Fisik
- Keadaan Umum : klien dengan resiko perilaku kekerasan biasanya
muka merah, pandangan tajam, sakit fisik, napas pendek, yang
menyebabkan perubahan memori, kognitif, alam perasaan dan
kesadaran.
- Tanda-tanda vital
Tekanan darah : hipertensi/normal
Nadi :normal atau tidak
Suhu : meningkat/normal
Pernapasan : napas pendek
Berat badan : mengalami penurunan akibat nafsu makan menurun
Keluhan fisik : muka merah, pandangan tajam
5. Psikososial
- Genogram
Genogram minimal tiga generasi yang dapat menggambarkan
hubungan klien dan keluarga. Menjelaskan : seseorang yang berada
dalam disfungsi keluarga akan tertekan dan ketertekanan itu dapat
merupakan faktor penyerta bagi dirinya akibat perilaku kekerasan,
kondisi keluarga yang tidak baik itu adalah : keluarga yang tidak utuh,
orang tua meninggal, orang tua cerai dan lain-lain (Nursalim, 2016).
- Konsep Diri
a) Citra diri: klien tubuhnya baik-baik saja
b) Identitas: klien kurang puas terhadap dirinya
c) Peran: klien anak keberapa dari berapa saudara
d)Ideal diri: klien menginginkan keluarga dan orang lain
menghargainya
e) Harga diri :kurangnya penghargaan keluarga terhadap perannya
- Hubungan Sosial Marah-marah, bersikap tidak ramah, kasar terhadap
keluarga lainnya.
- Status Mental
a) Penampilan: Tidak rapi, tidak sesuai dan cara berpakaian tidak
seperti biasanya.
b) Pembicaran Kaji cara bicara klien apakah cepat, keras, gagap,
apatis, lambat dan membisu.
- Aktivitas Motorik
Lesu, gangguan kesadaran, selisah, gerakan otot muka yang berubah-ubah
tidak dapat dikontrol.
- Afek dan Emosi
Afek: tumpul (datar) dikarenakan terjadi penurunan kesadaran.
Emosi: klien dengan resiko perilaku kekerasan biasanya memiliki emosi yang
tinggi.
- Interaksi Selama Wawancara
Kontak mata kurang, cepat tersinggung, dan biasanya klien akan menunjukan
curiga.
- Persepsi Biasanya klien suka emosi.
- Proses Pikir
Akibat perilaku kekrasan klien mengalami penurunan kesadaran.
- Tingkat Kesadaran Menunjukan perilaku kekerasan
- Tingkat Konsentrasi dan Berhitung
Secara umum klien perilaku kekerasan mengalami penurunan konsentrasi dan
penurunan berhitung.
- Kamampuan Penilaian
Penurunan kemampuan penilaian.
- Daya Tarik Diri
Apakah mengingkari penyakit yang diderita atau menyalahkan hal-hal diluar
dirinya.

2. Diagnosis Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan pasien yang muncul pasien dengan gangguan
risiko perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
a. Risiko perilaku kekerasan
b. Harga diri rendah kronik
c. Risiko perilaku kekerasan (diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan verbal)
Masalah keperawatan
d. Risiko Perilaku Kekerasan, (pada diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan verbal)
e. Perilaku kekerasan.
f. Harga diri rendah kronikResiko perilaku kekerasan berhubungan dengan
mencederai diri sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Sutejo. (2016). Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Pustaka Baru
Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Nuha Medika,
Yogyakarta.
Erlinafsiah. 2010. Modal Perawat Dalam Praktik Keperawayan Jiwa. Trans Info
Media, Jakarta.
Fitria, Nita. Dkk. 2013. Laporan Pendahuluan Tentang Masalah Psikososial.
Salemba Medika, Jakarta
Keliat, Budu Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. EGC, Jakarta.
Damayanti, M & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: Rafika
Aditama.
Dermawan, D & Rusdi. (2013). Keperawatan Jiwa; Konsep Dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Direja, A. (2011). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai