Anda di halaman 1dari 38

A.

Judul Penelitian
PELAKSANAAN PENGELOLAAN PARKIR DI KABUPATEN
WONOGIRI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28
TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI
DAERAH

B. Bidang Ilmu
Ilmu Hukum (Hukum Administrasi Negara)

C. Latar Belakang Masalah


Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menyelenggarakan
pemerintahannya dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi
terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Setiap daerah tersebut
mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahanya untuk meningkatkankan efesiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat
sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia pasal 18 ayat (2) yaitu Pemerintah Daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Berdasarakan Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, bahwa Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan
urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan dewan perwakilan rakyat
daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945, maka untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut,
Pemerintah Daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat.
Pembiayaan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan tugas
pemerintahan dan pembangunan senantiasa memerlukan sumber penerimaan
yang dapat diandalkan. Kebutuhan ini semakin dirasakan oleh daerah

1
terutama sejak berlakunya otonomi daerah di Indonesia. Dengan adanya
penerimaan daerah yang dapat mendukung pembiayaan pengeluaran daerah,
Undang- Undang tentang Pemerintah Daerah menetapkan pajak dan retribusi
daerah menjadi sumber pendapatan daerah dan dapat dikembangkan sesuai
dengan kondisi masing-masing daerah (Marihot Pahala Siahaan : 2010).
Pungutan Daerah yang berupa Pajak dan Retribusi diatur dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. Tata aturan dalam Undang-Undang tersebut, Daerah diberi
kewenangan untuk memungut 11 (sebelas) jenis Pajak, yaitu 4 (empat) jenis
Pajak provinsi dan 7 (tujuh) jenis Pajak kabupaten/kota. Selain itu,
pemerintah kabupaten/kota juga masih diberi kewenangan untuk menetapkan
jenis Pajak lain sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah memberlakukan perluasan terhadap beberapa objek retribusi
dan penambahan jenis retribusi untuk meningkatkan pendapatan asli daerah
sebagai sumber pendanaan penyelenggaran pemerintahan daerah. Izin
gangguan diperluas hingga mencakup pengawasan dan pengendalian kegiatan
usaha secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban,
keselamatan, atau kesehatan umum. Terdapat 4 (empat) jenis retribusi baru
bagi daerah, yaitu retribusi izin usaha periklanan, retribusi pelayanan
tera/tera, retribusi pelayanan pendidikan, retribusi pengendalian menara
telekomunikasi.
Era otonomi daerah memberikan kesempatan kepada para daerah
untuk menentukan sumber Pendapatan Asli Daerah, termasuk kabupaten
Wonogiri. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, maka untuk retribusi jasa umum
pemerintah kabupaten Wonogiri mengambil 12 (dua belas) jenis retribusi dari
14 (empat belas) yang menjadi kewenangan Pemerintah kabupaten/kota. Hal
tersebut dengan melihat kondisi, potensi dan kemampuan masyarakat. Dua
belas retribusi tersebut meliputi:

2
1. Retribusi Pelayanan Kesehatan;
2. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan;
3. Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil;
4. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
5. Retribusi Pelayanan Pasar;
6. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;
7. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;
8. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta;
9. Retribusi Pengelolaan Limbah Cair;
10. Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang;
11. Retribusi Pelayanan Pendidikan, dan
12. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi. (Hery Hermawan dan
Muhammad Imron, 2013:79)
Salah satu sumber penerimaan daerah yang perlu mendapat
perhatian adalah mengenai retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum,
yang merupakan bagian dari retribusi umum (Harlan Evan Kapioru,
2014:103). Pemerintah kabupaten Wonogiri menetapkan salah satu sumber
pendapatan asli daerahnyya adalah retribusi pelayanan parkir di tepi jalan
umum. Retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum merupakan potensi
yang besar untuk meningkatkan pendapatan asli daerah kabupaten Wonogiri
mengingat pesatnya jumlah kendaraan di kabupaten Wonogiri seiring
dengan meningkatnya perekonomian masyarakat dan pembangunan daerah
terkait dengan diberlakukannya desentralisasi sehingga menjadi sumber
dana dalam pelaksanaan program dan pembangunan oleh pemerintahan
daerah kabupaten Wonogiri.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pemerintahan Pusat dan Daerah pasal 6 ayat 1
huruf b bahwa retribusi daerah termasuk sebagai Pendapatan Asli Daerah,
maka melihat situasi dan keadaan di kabupaten Wonogiri, pendapatan asli
daerah kabupaten Wonogiri di sektor pelayanan parkir di tepi jalan umum
yang di kelola secara maksimal oleh Pemerintah Daerah kabupaten

3
Wonogiri di harapkan mampu menjadi salah satu sumber utama pendapatan
daerah.
Realitas yang terjadi di daerah kabupaten Wonogiri, praktik
pengelolaan parkir di tempat umum ini timbul permasalahan-permasalahan
dalam pelaksanaannya. Banyak terjadi praktik-praktik juru parkir tidak
memberikan karcis parkir resmi sebagaimana kewajibanya, selain itu
diberikannya karcis parkir yang secara fisik sudah usang (rusak) yang telah
dipakai sebelumnya bahkan terdapat juru parkir yang meminta bayaran yang
melebihi tarif semestinya. Padahal retribusi parkir ini merupakan sumber
Pendapatan Asli Daerah yang potensial untuk pendanaan pembanguunan di
kabupaten Wonnogiri dan harus memerhatikan aspek pengawasan dalam
pelaksanannya.
Pengawasan pengelolaan retribusi parkir di tepi jalan umum yang
dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk diberikan kewenangan untuk
memberikan sanksi administratif maupun pidana bagi yang melanggar
pelaksanaan pengelolaan retribusi parkir di tepi jalan umum kabupaten
Wonogiri tidak berjalan dengan optimal. Hal ini mempengaruhi jumlah
pendapatan asli daerah yang diterima dari sektor retribusi parkir di tepi jalan
umum yang otomatis berimplikasi terhadap sumber pendanaan pembangunan
daerah di kabupaten Wonogiri.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian lebih mendalam terhadap pengelolaan parkir di Kabupaten
Wonogiri dan menyusunnya menjadi sebuah skripsi dengan judul
“PELAKSANAAN PENGELOLAAN PARKIR DI KABUPATEN
WONOGIRI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28
TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI
DAERAH”.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan beberapa
permasalahan penulisan hukum (skripsi) sebagai berikut :

4
1. Bagaimana pelaksanaan pengelolaan parkir di Kabupaten Wonogiri
berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah ?
2. Apa sajakah hambatan pelaksanaan pengelolaan parkir di Kabupaten
Wonogiri?
3. Bagaimanakah solusi dalam mengatasi hambatan pada pelaksanaan
pengelolaan parkir di Kabupaten Wonogiri?

E. Tujuan Penelitian
Suatu kegiatan penelitian pasti mempunyai suatu tujuan tertentu yang
hendak dicapai. Adapun tujuan yang ingin di capai oleh penulis dalam penelitian
ini adalah :

1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pelaksanaan pengelolaan retribusi parkir di
kabupaten Wonogiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
b. Untuk mengetahui hambatan pelaksanaan pengelolaan retribusi parkir
di Kabupaten Wonogiri.
c. Untuk mengetahui solusi dalam mengatasi hambatan pada pelaksanaan
pengelolaan parkir di Kabupaten Wonogiri.

2. Tujuan Subyektif
a. Menambah wawasan pengetahuan serta pemahaman penulis terhadap
teori-teori yang penulis peroleh selama kuliah di Fakultas Hukum,
terutama terkait Pengelolaan Retribusi Parkir.
b. Dapat memberikan gambaran dan pemikiran bagi ilmu pengetahuan di
bidang Hukum Administrasi Negara, khususnya mengenai pelaksanaan
retribusi parkir.
c. Untuk melengkapi persyaratan dalam mencapai gelar sarjana hukum di
bidang Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

5
F. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian pasti ada manfaat yang di harapkan. Adapun manfaat
yang dapat diharapkan dari penulisan hukum (skripsi) sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Sebagai bahan pengajaran untuk dapat memahami lebih lanjut
mengenai Pengelolaan Retribusi Parkir.
b. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi mahasiswa, dosen, dan
pembaca lain yang ingin lebih mengetahui mengenai pelaksanaan
Pengelolaan Retribusi Parkir di Kabupaten Wonogiri.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu tambahan
referensi, masukan data ataupun literatur bagi penulisan hukum
selanjutnya dan dapat menyumbangkan pemecahan atas permasalahan
yang akan diteliti.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan gambaran dan informasi kepada masyarakat mengenai
pelaksanaan pelaksanaan pengelolaan retribusi parkir di Kabupaten
Wonogiri.
b. Memberikan pendalaman, pemahaman, dan pengalaman yang baru
kepada penulis mengenai permasalahan hukum yang dikaji serta dapat
berguna bagi penulis di kemudian hari.

G. Tinjauan Pustaka
1. Kerangka Teori
a. Pemerintah Daerah
1) Pengertian Pemerintahan Daerah
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

6
Pengertian menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, Pemerintahan Daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota
memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-
anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Gubernur, Bupati,
dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah
Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan Pemerintah
Daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan
kabupaten dan kota, diatur dengan Undang-Undang dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan
daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan
Undang-Undang.

2) Penyelenggara Pemerintahan
Penyelenggara pemerintahan adalah Presiden dibantu oleh
wakil presiden, dan oleh menteri negara. Penyelenggara
pemerintahan daerah adalah Pemerintah Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk pemerintahan daerah provinsi
yang terdiri atas Pemerintah Daerah provinsi dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi. Untuk pemerintahan daerah
kabupaten atau daerah kota yang terdiri atas Pemerintah Daerah

7
kabupaten atau kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
kabupaten atau kota.
Dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah pusat
menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan
dekonsentrasi sesuai dengan peraturan perUndang-
Undangan.Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah,
pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas
pembantuan.
Menurut Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
,Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Negara
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah
kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota
kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Otonomi daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perUndang-
Undangan.
Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak
dan kewajiban.Hak dan kewajiban tersebut diwujudkan dalam
bentuk rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam

8
bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah yang dikelola
dalam sistem pengelolaan keuangan daerah.Pengelolaan keuangan
daerah dimaksud dilakukan secara efisien, efektif, transparan,
akuntabel, tertib, adil, patut, dan taat pada peraturan perUndang-
Undangan.

3) Otonomi Daerah
Sebagai konsekuensi diterapkannya asas desentralisasi
maka daerah diberi tugas dan wewenang untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan
pada asas desentralisasi, dalam wujud otonomi yang luas, nyata
dan bertanggung jawab untuk daerah Kabupaten dan Kota.
Dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 menyatakan bahwa Otonomi Daerah adalah :
”Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan
Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia”
Selanjutnya menurut Pasal 1 angka 12 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 menyatakan bahwa Daerah Otonom
adalah : ”Daerah Otonom selanjutnya disebut Daerah, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu
berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakasa sendiri bersdasarkan aspirasi masyarakat
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
nampak bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah tidak lagi hanya
Otonomi Daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Otonomi
Daerah yang luas akan memberikan kepercayaan bagi daerah

9
Kabupaten/ Daerah Kota untuk mengelola kewenangan yang lebih
besar dan luas.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 selain memberikan
keleluasaan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, juga menjamin
kemantapan Otonomi Daerah, karena kedudukan Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota yang merupakan Daerah Otonom,
tidak lagi dalam hubungan vertikal dengan Pemerintahan Daerah
Propinsi tetapi masing-masing daerah tersebut berdiri sendiri dan
tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain. Adapun
pengertian dari asas otonomi yang luas, nyata dan bertanggung
jawab yaitu :
a) Otonomi Luas
Adalah kekeluasaan daerah dalam semua bidang
pemerintahan kecuali kewenangan dibidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama
serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Keleluasaan Otonomi yang dimaksud mencakup pula
kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraanya.
Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
pengendalian dan evaluasi.
b) Otonomi yang Nyata
Pengertiannya adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan kewenangan Pemerintahan di bidang
tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh,
hidup dan berkembang di Daerah.
c) Otonomi yang Bertanggung Jawab
Pengertiannya adalah berupa perwujudan
pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan
kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban
yang yang dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan

10
pemberian Otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan yang semakin baik, pengembangan dan
kehidupan demokratis, keadilan, dan pemerataan serta
pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah
serta antar-Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Kewenangan Pemerintah yang diserahkan kepada daerah
dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan
dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber
daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan
tersebut. Untuk daerah Propinsi diberi otonomi yang terbatas
yang meliputi kewenangan lintas Kabupaten dan Kota dan
kewenangan yang tidak atau belum dilaksanakan oleh daerah
Kabupaten dan Daerah Kota serta kewenangan bidang
pemerintahan tertentu lainnya.

b. Tinjauan Umum Tentang Keuangan Daerah


1) Pengertian Kuangan Daerah
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan
terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan
pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber
penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu kepada
Undang-Undang yang mengatur Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dimana besarnya
disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan
antara Pemerintah dan Daerah.Pengaturan tersebut diatur di dalam
Pasal 279 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah Semua sumber keuangan yang melekat pada
setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi
sumber keuangan daerah.

11
Menurut Adam Smith dalam bukunya Mangkoesoebroto
(1991), fungsi pemerintah adalah:
a) Memelihara pertahanan dan keamanan
b) Menyelenggarakan peradilan
c) Menyediakan barang-barang yang tidak disediakan pihak
swasta.
Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan
yang antara lain berupa :
a) kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah sesuai
dengan urusan pemerintah yang diserahkan;
b) kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan
retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari
sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan
dana perimbangan lainnya;
c) hak untuk mengelola kekayaan Daerah dan mendapatkan
sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-
sumber pembiayaan.
Dengan pengaturan tersebut, dalam hal ini pada dasarnya
Pemerintah menerapkan prinsip uang mengikuti fungsi. Di dalam
Undang-Undang yang mengatur Keuangan Negara, terdapat
penegasan di bidang pengelolaan keuangan, yaitu bahwa
kekuasaan pengelolaan keuangan negara adalah sebagai bagian dari
kekuasaan pemerintahan; dan kekuasaan pengelolaan keuangan
negara dari presiden sebagian diserahkan kepada
gubernur/bupati/wali kota selaku kepala Pemerintah Daerah untuk
mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah
dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan
keuangan daerah, yaitu bahwa Kepala daerah (gubernur/bupati/wali
kota) adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah
dan bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai

12
bagian dari kekuasaan pemerintahan daerah. Dalam melaksanakan
kekuasaannya, kepala daerah melimpahkan sebagian atau seluruh
kekuasaan keuangan daerah kepada para pejabat perangkat daerah.
Dengan demikian pengaturan pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan daerah melekat dan menjadi satu
dengan pengaturan pemerintahan daerah, yaitu dalam Undang-
Undang mengenai Pemerintahan Daerah.

2) Sumber-Sumber Keuangan Daerah


Pada dasarnya sumber pendapatan daerah terdiri atas
Pendapatan Asli Daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan
lain-lain penerimaan yang sah.(Hery Hermawan dan Muhammad
Imron, 2013:76)
Dari sumber pendapatan daerah tersebut Pendapatan Asli
Daerah merupakan hal yang sangat potensial karena mencerminkan
adanya otonomi daerah yang nyata. Bila dibandingkan dengan
dana perimbangan yang merupakan wujud dari desentralisasi
pemerintah pusat dalam memberikan dukungan pada otonomi
daerah, Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber pendapatan
daerah yang mandiri dalam pencariannya. Oleh karena itu
Pemerintah Daerah harus kreatif dan harus bisa memaksimalkan
potensi daerahnya agar bisa mendapatkan pemasukan yang besar.
Berdasarkan Pasal 285 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah
dapat memaksimalkan Pendapatan Asli Daerah yang menurut
Undang-Undang tersebut bersumber dari :
a) Hasil Pajak Daerah;
b) Hasil Retribusi Daerah;
c) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan;
d) Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

13
Pemerintah Daerah dapat melakukan pinjaman yang berasal
dari penerusan pinjaman hutang luar negeri dari Menteri Keuangan
atas nama Pemerintah pusat setelah memperoleh pertimbangan
Menteri Dalam Negeri. Pemerintah Daerah dapat melakukan
penyertaan modal pada suatu Badan Usaha Milik Pemerintah
dan/atau milik swasta. Pemerintah Daerah dapat memiliki BUMD
yang pembentukan, penggabungan, pelepasan kepemilikan,
dan/atau pembubarannya ditetapkan dengan Perda yang
berpedoman pada peraturan perUndang-Undangan
(http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_daerah_di_Indonesia.
diakses pada 19 Februari 2015 pukul 12.35 WIB.).
Anggaran pendapatan dan belanja daerah ( APBD) adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan
dengan peraturan daerah. APBD merupakan dasar pengelolaan
keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung
mulai 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Kepala
daerah mengajukan rancangan Perda tentang APBD disertai
penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah untuk memperoleh persetujuan
bersama. Rancangan Perda provinsi tentang APBD yang telah
disetujui bersama dan rancangan Peraturan Gubernur tentang
penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling
lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri
untuk dievaluasi. Rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD
yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan
Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan
oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada
Gubernur untuk dievaluasi.
Semua penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah
dianggarkan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening kas
daerah yang dikelola oleh Bendahara Umum Daerah.Penyusunan,

14
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan
pertanggungjawaban keuangan daerah diatur lebih lanjut dengan
Perda yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

3) Pendapatan Asli Daerah


Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pendapatan asli daerah adalah
sumber keuangan daerah yang digali dari wilayah daerah yang
bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi
daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan
lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu
komponen sumber pendapatan daerah sebagaimana yang telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah.
Untuk meningkatkan penerimaan PAD, Pemerintah Daerah
perlu melakukan analisis potensi-potensi yang ada di daerah dan
mengembangkan potensi tersebut sebagai pemasukan daerah.
Pengembangan potensi akan menciptakan pendapatan asli daerah
bagi yang berguna untuk melaksanakan tujuan pembangunan.
Pengelolaan pendapatan asli daerah yang efektif dan efisien perlu
dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi daerah
maupun perekonomian nasional. Kontribusi yang dicapai dari
pendapatan asli daerah dapat terlihat dari seberapa besar
pendapatan tersebut disalurkan untuk membangun daerah agar
lebih berkembang dan mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Pajak daerah dan retribusi daerah dianggap sebagai sumber
PAD yang terbesar sehingga pelaksanaannya haruslah jelas dan

15
tidak menyimpang dari yang ditetapkan Undang-
Undang.Pemerintah Daerah dapat menentukan tarif berdasarkan
Undang-Undang dan tidak bisa melebihi batas yang sudah
ditetapkan sehingga kemampuan masyarakat untuk membayar
pajak serta retribusi tidaklah berat. Ketika suatu daerah memiliki
pendapatan asli daerah yang besar dan selalu meningkat setiap
tahunnya, maka daerah tersebut sudah dapat memaksimalkan
kemampuan daerahnya dan mencerminkan keadaan atau
kemampuan ekonomi yang baik dan stabil. Namun, ketika suatu
daerah mengalami kesulitan dalam memaksimalkan sumber-
sumber PAD maka akan timbul masalah dan gejolak ekonomi yang
tidak stabil didaerah tersebut.
Pemerintah Daerah dalam hal meningkatkan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) haruslah dapat dengan bijak menyaring apa
saja yang dapat dimasukkan kedalam penerimaan PAD, dan
ditentukan dalam Peraturan Daerah, untuk itu dibutuhkan
sosialisasi dari Pemerintah Daerah untuk memberikan informasi
dan pemahaman yang seluas-luasnya mengenai PAD dan
pentingnya bagi pembangunan daerah dan kesejahteraan kepada
masyarakat. Transparansi anggaran harus dilaksanakan guna
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah
Daerah yang bersangkutan.

c. Tinjauan Umum tentang Retribusi Daerah


1) Pengertian Retribusi Daerah
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentag
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pengertian Retribusi Daerah,
yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah
sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang
khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah
untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.

16
Retribusi Daerah merupakan pungutan daerah sebagai
pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau badan (Marihot P. Siahaan,
2005:6). Dari pengertian retribusi daerah tersebut maka menurut
Josef Riwu Kaho(1987 : 43) dapat dilihat ciri-ciri mendasar dari
retribusi daerah adalah :
a) Retribusi dipungut oleh Pemerintah Daerah;
b) Dalam pungutan retribusi terdapat prestasi yang diberikan
Pemerintah Daerah yang langsung dapat ditunjuk; dan
c) Retribusi dikenakan kepada siapa saja yang memanfaatkan
atau memakai jasa yang disediakan Pemerintah Daerah.
Maka dapat disimpulkan bahwa retribusi memiliki
beberapa karakteristik penting, diantaranya :
a) Pungutan yang dilakukan oleh daerah terhadap rakyat;
b) Dalam melaksanakan pungutan terdapat paksaan secara
ekonomis;
c) Adanya kontra prestasi yang secara langsung dapat
ditunjuk;
d) Pungutannya disampaikan kepada setiap orang atau badan
yang menggunakan jasa-jasa yang telah disiapkan oleh
daerah.
Dari pengertian tersebut di atas maka dapat disimpulkan
bahwa retribusi daerah dipungut karena adanya suatu balas jasa
yang dapat disediakan oleh Pemerintah Daerah. Retribusi tidak
akan dipungut tanpa adanya balas jasa yang langsung dapat
ditunjuk. Retribusi seperti halnya pajak tidak langsung yang dapat
dihindari oleh masyarakat, artinya masyarakat dapat tidak
membayar retribusi dengan menolak atau tidak mengambil manfaat
terhadap jasa yang disediakan pemerintah.

17
2) Macam-macam Retribusi Daerah
Retribusi Daerah dikelompokkan dalam 3 golongan, yaitu
jasa umum, jasa usaha, dan perizinan tertentu.Hal itu diatur dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, yaitu:
a) Retribusi Jasa Umum
Peraturan Pemerintah nomor 66 Tahun 2001 Tentang
Retribusi Daerah mengatur bahwa jasa umum merupakan
retribusi atau jasa yang disediakan atau diberiakan oleh
Pemerintah Daerah untuk jasa yang berhubungan dengan
tugas umum Pemerintah dan kemanfaatan umum serta
dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
Jenis-jenis retribusi jasa umum Menurut Marihot P
Siahaan (2005:438) terdiri dari :
(1) Retribusi Pelayanan Kesehatan;
(2) Retribusi Pelayanan Persampahan/Kesehatan;
(3) Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda
Penduduk
(4) (KTP) dan Akte Catatan Sipil;
(5) Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan
Mayat;
(6) Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;
(7) Retribusi Pelayanan Pasar;
(8) Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;
(9) Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;
(10) Retribusi Pengujian Kapal Perikanan.

b) Retribusi Jasa Usaha


Retribusi jasa usaha adalah retribusi yang
disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan prinsip
komersial karena pada dasarnya dapat juga disediakan oleh
sektor swasta.

18
Jenis-jenis Retribusi Jasa Usaha Menurut Marihot P
Siahaan. (2005:442) terdiri dari :
(1) Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;
(2) Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan;
(3) Retribusi Tempat Pelelangan;
(4) Retribusi Terminal;
(5) Retribusi Tempat Khusus Parkir;
(6) Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa;
(7) Retribusi Penyedotan Kakus;
(8) Retribusi Rumah Potong Hewan;
(9) Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal;
(10) Retribusi tempat Rekreasi dan Olah Raga;
(11) Retribusi Penyebrangan di Atas Air;
(12) Retribusi Pengolahan Limbah Cair
(13) Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.

c) Retribusi Perizinan Tertentu


Pada retribusi perizinan tertentu, mengingat fungsi
perizinan dimaksud untuk mengadakan pembinaan,
pengaturan pengendalian dan pengawasan, maka pada
dasarnya pemberian izin pada Pemerintah Daerah tidak
harus dipungut retribusi.
Guna melaksanakan fungsi tersebut Pemda mungkin
masih kekurangan biaya yang tidak selalu dapat dicukupi
dari sumber-sumber penerimaan daerah, sehingga terhadap
perizinan tertentu masih dipungut retribusi.(Marihot P
Siahaan:2005). Jenis-jenis retribusi perizinan tertentu terdiri
dari Retribusi Izin Mendirikan Bangunan, Retribusi Izin
Tempat Penjualan Minuman Beralkohol, Retribusi Izin
Gangguan, Retribusi Izin Trayek;

19
3) Subyek, Obyek dan Tujuan Retribusi Daerah
Subyek dan Obyek Retribusi Daerah yang meliputi retribusi
jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu
antara lain :
a) Subyek retribusi daerah terbagi atas :
(1) Subyek retribusi jasa umum adalah orang pribadi atau
badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa
umum yang bersangkutan.
(2) Subyek retribusi jasa usaha adalah orang pribadi atau
badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa
usaha yang bersangkutan. Subyek retribusi perizinan
adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh
izin tertentu dari Pemerintah Daerah.

b) Obyek retribusi daerah terbagi atas :


(1) Obyek retribusi jasa umum adalah pelayanan yang
disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk
tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta
dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
Pelayanan yang termasuk jasa umum antara lain
pelayanan kesehatan, pelayanan sampah, pelayanan
parkir, di tepi jalan umum dan pelayanan pasar.
(2) Obyek retribusi jasa usaha adalah pelayanan yang
disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut
prinsip komersial karena pada dasarnya dapat
disediakan oleh sektor swasta. Jasa ini antara lain
retribusi terminal, retribusi pemakaian kekayaan
daerah, retribusi pasar grosir dan/atau pertokoan,
retribusi tempat parkir.
(3) Obyek retribusi perizinan tertentu adalah kegiatan
tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian

20
izin kepada orang pribadi atau badan yang
dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan,
pengendalian dan pengawasan atas kegiatan
pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam,
barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna
melindungi kepentingan masyarakat umum dan
menjaga kelestarian lingkungan.

c) Tujuan dari retribusi daerah adalah :


Tujuan dari retribusi daerah adalah meningkatkan
penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan dan
sekaligus memperkuat otonomi daerah, karena yang
ditentukan oleh hasil tersebut adalah untuk memelihara atas
kelangsungan pekerjaan, milik dan jasa masyarakat,
disamping agar sarana dan prasarana unit - unit jasa
pelayanan dapat ditingkatkan dan dikembangkan sebaik
mungkin sesuai dengan perkembangan masyarakat.

4) Prinsip, Kriteria dan Tingkat Pengenaan Retribusi


Dalam rangka memantapkan otonomi daerah yang nyata,
dinamis, serasi, dan bertanggung jawab, pembiayaan pemerintah
dan daerah yang bersumber dari pendapatan asli daerah, khususnya
yang berasal dari retribusi, harus dipungut dan dikelola secara
bertanggung jawab. Di samping itu, dengan semakin meningkatnya
pelaksanaan pembangunan, maka kegiatan penyediaan jasa
pelayanan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan
kemanfaatan umum diarahkan agar tidak menghambat, bahkan
sebaliknya dapat menunjang usaha peningkatan pertumbuhan
perekonomian daerah. Dengan demikian, penerapan retribusi
daerah perlu disederhanakan berdasarkan golongan jasa yang
disediakan oleh Pemerintah Daerah, yaitu golongan jasa umum,

21
jasa usaha, dan perizinan tertentu. Langkah-langkah ini diharapkan
akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemungutan retribusi
daerah serta meningkatkan mutu dan jenis pelayanan kepada
masyarakat (Penjelasan PP No. 20 Tahun 1997, dalam Adrian
(2008 : 80)).
Kewenangan penetapan retribusi daerah dan penerapannya
diberikan kepada masing-masing daerah sesuai dengan kondisi
daerah masing-masing sebagaimana terdapat di dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 66 Tentang Retribusi
Pengaturan mengenai prinsip dan sasaran retribusi daerah
terdapat dalam pasal 152 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 153
ayat (1) dan (2), serta Pasal 154 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
No. 28 Tahun 2009, rumusannya adalah sebagai berikut :

Pasal 152
(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum
ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang
bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan
efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi
dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
(3) Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya
penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian
biaya.
Pasal 153
(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa
Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang
layak.
(2) Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha
tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
Pasal 154
(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan
Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau
seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
(2) Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan di
lapangan, penegakan hukum, penata usahaan, dan biaya dampak
negatif dari pemberian izin tersebut.

22
Menurut Tjip Ismail, dalam Adrian (2008 : 81-83), untuk
menerbitkan tentang retribusi yang meliputi retribusi jasa umum,
jasa usaha, dan perizinan tertentu harus memenuhi kriteria sebagai
berikut :
a) Kriteria retribusi jasa umum
(1) Retribusi jasa umum bersifat bukan pajak, bukan
retribusi jasa usaha, dan bukan retribusi perizinan
tertentu, yaitu:
(a) Bersifat bukan pajak, maksudnya ada pelayanan
dari Pemerintah Daerah yang langsung diterima
oleh pengguna.
(b) Bersifat bukan retribusi jasa usaha, maksudnya
dalam pengenaan tarif untuk jenis layanan ini
tidak boleh melebihi biaya yang digunakan
untuk penyelenggaraan layanan tersebut.
Sedangkan pengertian jasa usaha dalam Pasal 1
Angka 67 dalam Undang-Undang No. 28 Tahun
2009 adalah jasa yang disediakan oleh
Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip-
prinsip komersial karena pada dasarnya dapat
pula disediakan oleh sektor swasta. Dalam Pasal
1 Angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 20
Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan
Pajak menyatakan pengertian retribusi jasa
usaha adalah retribusi atas jasa yang disediakan
oleh Pemerintah Daerah dengan menganut
prinsip komersial karena pada dasarnya dapat
pula disediakan oleh sektor swasta.
(c) Bersifat bukan perizinan tertentu, maksudnya
layanan yang disediakan bukan dalam rangka

23
pembinaan, pengaturan, pengendalian, atau
pengawasan suatu kegiatan. Sedangkan
pengertian perizinan tertentu dalam Pasal 1
Angka 68 Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009tentang Pajak Daerah dan Retribusi adalah
kegiatan Pemerintah Daerah dalam rangka
pemberian izin kepada orang pribadi atau badan
yang dimaksudkan untuk pembinaan,
pengaturan, pengendalian, atau pengawasan
suatu kegiatan, pemanfaatan ruang, penggunan
sumber daya alam, prasarana dan sarana, atau
fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan
umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
(2) Jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan
Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang No. 23 Tahun 2014.
(3) Jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang
pribadi atau badan yang diharuskan membayar
retribusi, di samping untuk melayani kepentingan dan
kemanfaatan umum.
(4) Jasa tersebut layak untuk dikenakan retribusi,
maksudnya,
(a) Pengenaan retribusi atas jasa tersebut dapat
diterima oleh masyarakat secara keseluruhan;
(b) Pengenaan retribusi tidak mengakibatkan orang
tidak dapat mengkonsumsi jasa tersebut;
(c) Apabila suatu jenis layanan sudah ditetapkan
sebagai obyek retribusi, maka orang pribadi atau
badan yang tidak mampu atau tidak ingin

24
membayar retribusi tidak diberikan jasa yang
bersangkutan.
(5) Retribusi tidak bertentangan dengan kebijakan
nasional mengenai penyelenggaraannya. Contoh
retribusi yang bertentangan dengan kriteria ini adalah
retribusi atas penyediaan layanan pokok pendidikan
dasar dan retribusi penggunaan jalan raya atau lokal
selain jalan tol tertentu. Karena berdasarkan kebijakan
nasional, pelayanan jasa ini harus disediakan kepada
umum secara gratis.
(6) Retribusi dapat dipungut secara efektif dan efisien,
serta merupakan salah satu sumber pendapatan yang
potensial. Dapat dipungut secara efektif berarti
pungutan tersebut dapat dihitung dan dipungut dengan
mudah. Dapat dipungut secara efisien berarti biaya
pemungutan retribusi tidak melebihi hasil penerimaan
retribusi dan merupakan pendapatan Pemerintah
Daerah yang potensial. Artinya, potensi penerimaan
sebanding dengan biaya penyediaan layanan.
(7) Pemungutan retribusi memungkinkan penyediaan jasa
tersebut mencapai tingkat kualitas pelayanan yang
lebih baik. Alokasi penerimaan retribusi diutamakan
untuk peningkatan kualitas pelayanan.

b) Kriteria retribusi jasa usaha


(1) Retribusi jasa usaha bersifat bukan pajak, bukan
retribusi jasa umum, atau retribusi perizinan tertentu.
(2) Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat
komersial yang seyogyanya disediakan oleh sektor
swasta, tetapi belum memadai atau terdapatnya harta

25
yang dimiliki/dikuasai daerah yang belum
dimanfaatkan secara penuh oleh Pemerintah Daerah.

c) Kriteria retribusi perizinan tertentu


(1) Perizinan tersebut merupakan kewenangan Pemda
dalam rangka asas desentralisasi, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014
(2) Perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna
melindungi kepentingan umum, yakni :
(a) Kegiatan yang memerlukan izin menimbulkan
dampak negatif bagi masyarakat setempat; dan
(b) Dengan penyelenggaraan izin tersebut,
kepentingan masyarakat terlindungi.
Menurut Kesit Bambang (2003 : 49-52) prinsip dasar untuk
tingkat pengenaan retribusi biasanya didasarkan pada total cost
dari pelayanan-pelayanan yang disediakan. Akan tetapi akibat
adanya perbedaan-perbedaan tingkat pembiayaan mengakibatkan
tarif retribusi tetap di bawah tingkat biaya (fullcost), ada 4 alasan
utama mengapa hal ini terjadi :
a) Apabila suatu pelayanan pada dasarnya merupakan suatu
public good yang disediakan karena keuntungan
kolektifnya, tetapi retribusi dikenakan untuk
mendisiplinkan konsumsi. Misalnya, retribusi air minum.
b) Apabila suatu pelayanan merupakan bagian dari swasta dan
sebagian lagi merupakan good public. Misalnya tarif kereta
api atau bis di subsidi guna mendorong masyarakat
menggunakan angkutan umum dibandingkan angkutan
swasta, guna mengurangi kemacetan.
c) Pelayanan seluruhnya merupakan privat good yang dapat di
subsidi jika hal ini merupakan permintaan terbanyak dan

26
penguasa enggan menghadapi masyarakat dengan full cost.
Misalnya fasilitas rekreasi dari kolam renang.
d) Privat good yang dianggap sebagai kebutuhan dasar
manusia dan group-group berpenghasilan rendah. Misalnya
perumahan untuk tunawisma.

5) Retribusi Pelayanan parkir di Tepi Jalan Umum


Salah satu retribusi yang memberikan pengaruh bagi
Pendapatan Asli Daerah yaitu retribusi parkir, yang dimaksud
dengan retribusi parkir sendiri ialah pembayaran atas jasa
pelayanan penyediaan tempat parkir yang dimiliki dan dikelola
oleh Pemerintah Daerah. Retribusi parkir sebagai sumber
Pendapatan Asli Daerah yang bersumber dari masyarakat, dimana
pengeloalaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah
Kabupaten Wonogiri..
Pemungutan retribusi parkir adalah keseluruhan aktifitas
untuk menarik atau memungut retribusi parkir sesuai dengan yang
digariskan dalam rangka usaha untuk memperoleh pemasukan
balas jasa dari sarana atau fasilitas yang telah disediakan oleh
pemerintah Kabupaten/Kota. Retribusi Parkir dipungut terhadap
orang pribadi atau Badan yang mendapatkan jasa pelayanan parkir
di lahan parkir yang disediakan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dasar
penetapan retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum adalah
Undang-Undang No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, dimana juga diatur tentang pengenaan pajak atas
penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang
disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan
sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan
kendaraan bermotor. Besarnya pungutan retribusi parkir
selanjutnya ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai dengan
otonomi daerah. Tarif retribusi parkir sendiri ditetapkan

27
berdasarkan kebijakan daerah dengan mempertimbangkan biaya
penyediaan lahan parkir , kemampuan masyarakat, dan aspek
keadilan. Besarnya retribusi yang harus dibayar dihitung dari
perkalian antara tarif dan tingkat penggunaan jasa parkir.
Adapun umumnya subyek dari retribusi parkir adalah
pemakai jasa atau masyarakat yang memarkirkan kendaraan di tepi
jalan umum atau tempat-tempat khusus. Wajib retribusi parkir
sendiri adalah orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan
peraturan perUndang-Undangan retribusi diwajibkan untuk
melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau
pemotong retribusi parkir. Objek Retribusi Parkir adalah
penyediaan pelayanan Parkir di tempat yang ditentukan oleh
Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-
Undangan. Adapun umumnya subjek dari retribusi parkir adalah
pemakai jasa atau masyarakat yang memarkir kendaraan dipinggir
jalan umum atau tempat-tempat khusus, misalnya pusat pertokoan
dan pusat pembelanjaan.

Kerangka Pemikiran
1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
2. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah

Retribusi Parkir

Peraturan Daerah Kabupaten Wonogiri Nomor 1


Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum

Implementasi

28
hambatan solusi

Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran

Penjelasan :
Kerangka pemikiran diatas mencoba memberikan gambaran mengenai alur
berpikir dalam menggambarkan, menelaah, menjabarkan dan menemukan
jawaban atas pelaksanaan pengelolaan retribusi parkir di Kabupaten
Wonogiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta hambatan pelaksanaan
pengelolaan retribusi parkir di Kabupaten Wonogiri.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah memberikan kewenangan otonomi daerah bagi daerah-daerah di
Indonesia dalam pengelolaan daerahnya. Hal ini berimplikasi terhadap
pengelolaan potensi daerah, termasuk mengenai retribusi daerah sebagai
Pendapatan Asli Daerah sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Retribusi Parkir yang
merupakan bagian dari Retribusi Daerah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaen Wonogiri sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah yang di tetapkan di
Peraturan Daerah Kabupaten Wonogiri Nomor 1 Tahun 2012 tentang
Retribusi Jasa Umum. Dari kerangka pemikiran ini maka penulis ingin
meneliti bagaimana pelaksanaan dan hambatan apa saja yang ada dalam
pelaksanaan retribusi parkir di Kabupaten Wonogiri sebagaimana
implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Wonogiri Nomor 1 Tahun
2012 tentang Retribusi Jasa Umum yang merupakan sumber Pendapatan
Asli Daerah Kabupaten Wonogiri beserta solusinya.

Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian

29
Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum
empiris. Penelitian empiris, penelitian yang bermula pada data sekunder
untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di
lapangan atau terhadap masyarakat (Soerjono Soekanto, 2010: 52)
Penulis memilih penelitian hukum empiris disebabkan karena ingin
mengetahui bagaimana pelaksanaan pengelolaan retribusi parkir di
Kabupaten Wonogiri.Dari bahan ini, penulis ingin mengkaji pelaksanaan
dan hambatan atau kendala melaksanakan dalam pelaksanaan pemungutan
retribusi parkir di UPT Perparkiran Dinas Perhubungan Komunikasi dan
Informasi Kabupaten Wonogiri.

2. Sifat Penelitian
Pada penelitian hukum ini, penulis menggungakan penelitian hukum yang
bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang mengarah pada pendeskripsian
secara rinci dan mendalam baik kondisi maupun proses, dan juga
hubungan atau saling keterkaitannya mengenai hal-hal pokok yang
ditemukan pada sasaran penelitiannya (H.B. Sutopo, 2006: 179). Dalam
penelitian kualitatif deskriptif selalu menyajikan temuannya dalam bentuk
deskripsi kalimat yang rinci, lengkap, dan mendalam mengenai proses
bagaimana sesuatu terjadi (H.B Sutopo, 2006: 139).

3. Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam
pendekatan kualitatif terdapat bentuk penelitian terpancang yaitu
penelitian kualitatif yang sudah menentukan fokus penelitiannya berupa
variabel utamanya yang akan dikaji berdasarkan pada tujuan dan minat
penelitian sebelum peneliti masuk ke lapangan studinya. Dalam proposal,
peneliti sudah menentukan terlebih dahulu fokus dari variabel tertentu.
Akan tetapi dalam hal ini peneliti tetap tidak melepaskan variabel
fokusnya dari sifat holistik sehingga bagian-bagian yang diteliti tetap
diusahakan pada posisi yang saling berkaitan dengan bagian-bagian dari

30
konteks secara keseluruhan guna menemukan makna yang lengkap (H.B.
Sutopo, 2006: 30-40).
Penulis menggunakan pendekatan ini, dikarenakan pada penelitian yang
penulis bahas telah menentukan fokus penelitiannya. Hal inididasarkan
pada tujuan penelitian yakni mengenaipelaksanaan pengelolaan retribusi
parkir di Kabupaten Wonogiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.dan hambatan
pelaksanaan pengelolaan retribusi parkir di Kabupaten Wonogiri.
4. Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan, maka penulis melakukan
penelitian dengan mengambil lokasi di Kantor Dinas Perhubungan
Komunikasi dan Informasi Kabupaten Wonogiri. Lokasi tersebut dipilih
berdasarkan pertimbangan bahwa di lokasi tersebut berkaitan dengan apa
yang penulis teliti.
5. Jenis dan Sumber Bahan Penelitian
Secara umum dalam penelitian dibedakan antara data yang diperoleh
secara langsung dari masyarakat dan dari bahan pustaka. Data yang
diperoleh secara langsung dari masyarakat dinamakan data primer,
sedangkan data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan ialah data
sekunder (Soerjono Soekanto, 2010 : 51). Jenis dan sumber data yang
digunakan penulis dalam menyusun penelitian hukum ini yaitu antara lain
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh dan dikumpulkan secara
langsung dari lapangan yang menjadi obyek penelitian atau diperoleh
melalui wawancara yang berupa keterangan atau fakta-fakta atau juga
bisa disebut dengan data yang diperoleh dari sumber yang pertama
(Soerjono Soekanto, 2010 : 12). Berdasarkan pengertian tersebut,
maka sumber data primer dalam penelitian dapat diperoleh melalui
wawancara pegawai dari Dinas Perhubungan Komunikasi dan
Informasi Kabupaten Wonogiri terkait permasalahan yang akan
dibahas

31
b. Data Sekunder
Data Sekunder adalah data yang didapat dari keterangan atau
pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh secara tidak langsung antara
lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil
penelitian yang berwujud laporan (Soerjono Soekanto, 2010 : 12).
c. Data Tertier
Data tertier, yaitu data yang bertujuan memberikan petunjuk maupun
penjelasan atau bersifat menunjang terhadap bahan primer dan
sekunder (Soerjono Soekanto, 2010 : 25). Sebagai contoh kamus besar
bahasa indonesia, ensiklopedia dan bahan-bahan yang memiliki kaitan
dengan masalah yang akan diteliti.

6. Teknik Pengumpulan Data


Tenik pengumpulan data merupakan faktor penting dalam hal menentukan
kualitas penelitian. Teknik pengumpulan data dalam suatu penelitian yang
bersifat deskriptif merupakan sesuatu bagian yang penting karena akan
digunakan dalam memperoleh data secara lengkap dan sesuai. Sehingga
dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang akan dipergunakan
oleh penulis adalah sebagai berikut:
a. Wawancara
Wawancara adalah salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan
untuk memperoleh informasi dan keterangan dari responden baik itu
dengan tatap muka maupun tidak (H.B. Sutopo, 2006: 190). Penelitian
yang dilakukan menggunakan wawancara secara terpimpin, yaitu
wawancara dilakukan berdasarkan pedoman-pedoman dan pertanyaan-
pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelum dilakukan wawancara
(H.B. Sutopo, 2006: 193). Wawancara dalam penelitian ini dilakukan
dengan pegawai Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi
Kabupaten Wonogiri terkait pengelolaan parkir di Kabupaten
Wonogiri.
b. Studi Kepustakaan

32
Teknik pengumpulan data sekunder dengan menggunakan studi
kepustakaan, yaitu dengan mempelajari buku-buku literatur,
pengaturan perUndang-Undangan, dokumen-dokumen resmi, hasil
penelitian terdahulu, dan bahan kepustakaan lain yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti (Soerjono Soekanto, 2010:12).

7. Teknik Analisis Bahan Hukum


Penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif dengan
menggunakan, mengelompokkan, dan menyeleksi data yang diperoleh dari
penelitian lapangan, kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas,
dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan.Dalam
teknik analisis ini terdapat tiga komponen utama, antara lain (H.B. Sutopo
2006: 113-116) :

a. Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses penyeleksian, penyederhanaan, dan
abstraksi data yang diperoleh dari catatan tulis yang terdapat di
lapangan.
b. Penyajian Data
Penyajian data merupakan rangkaian informasi yang memungkinkan
untuk ditarik suatu kesimpulan dari penelitian yang akan dilakukan.
Selain berbentuk sajian dengan kalimat, sajian data dapat ditampilkan
dengan berbagai jenis gambar, kaitan kegiatan, dan tabel.
c. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi
Penarikan kesimpulan berdasarkan atas semua hal yang terdapat dalam
reduksi data dan sajian yang meliputi berbagai hal yang ditemui
dengan melakukan pencatatan-pencatatan, pernyataan, konfigurasi
yang mungkin berkaitan dengan data (H.B.Sutopo, 2002:91-95).
Penarikan kesimpulan dan verifikasi merupakan tahap akhir dari

33
penelitian yang didasarkan pada apa yang terdapat dalam reduksi dan
juga penyajian data.

Ketiga komponen (proses analisis interaktif) dimulai pada waktu


pengumpulan data penelitian, peneliti membuat reduksi data dan sajian
data. setelah pengumpulan data selesai, tahap selanjutnya peneliti
mulai melakukan usaha menarik kesimpulan dengan memverifikasi
berdasarkan apa yang terdapat dalam sajian data. aktifitas yang
dilakukan dengan siklus antara komponen-komponen tersebut akan
didapat data yang benar-benar mewakili dan sesuai dengan masalah
yang diteliti.

H. Sistematika Penulisan Hukum


Sistematika penulisan dalam penelitian yang penulis angkat ini
terdiri dari 4 (empat) bab yaitu pendahuluan, tinjauan pustakam pembahasan,
dan penutup. Adapun sistematika yang terperinci adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis mengemukakan latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan
hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

34
Dalam bab ini diuraikan mengenai kerangka dari teori
maupun kerangka pemikiran. Kerangka teori berisi
Tinjauan Umum Tentang Pemerintah Daerah, Tinjauan
Umum Tentang Keuangan Daerah, Tinjauan Umum
tentang Retribusi Daerah, serta kerangka pikir yang
merupakan alur pemikiran penulis.
BAB III : PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan mencoba untuk
mengemukakan pembahasan dari rumusan masalah yang
ada, yaitu mengenai bagaimana pelaksanaan pengelolaan
retribusi parkir di Kabupaten Wonogiri berdasarkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah. Selain itu penulis akan
mencoba untuk menjelaskan mengenai hambatan
pelaksanaan pengelolaan retribusi parkir di Kabupaten
Wonogiri.
BAB IV : PENUTUP
Pada bab ini penulis mengemukakan simpulan dari hasil
penelitian yang telah dilaksanakan serta memberikan saran
berkaitan dengan penelitian tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

I. Jangka Waktu Penelitian


Penelitian ini direncanakan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan dengan
rincian sebagai berikut :
Bulan Ke-
No. Kegiatan
I II III IV V VI
1 Pengajuan Judul            
2 Penyusunan Rencana Penelitian            

35
3 Seminar Rencana Penelitian            
4 Pengumpulan Bahan Hukum            
5 Analisis Bahan Hukum            
6 Penulisan Laporan Akhir            
7 Publikasi            

J.

36
DAFTAR PUSTAKA

Adrian Sutedi. 2008. Hukum pajak dan retribusi daerah. Bandung: Ghalia
Indonesia
Azhari A Samudra. 1995. Perpajakan di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
H.B. Sutopo. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press
Josef Riwu Kaho.1988.Prospek Otonomi Daerah Di Negara Kesatuan Republik
Indonesia.Jakarta: rajawali pers
Kesit Bambang. 2003. Pajak dan Retribusi Daerah. Yogyakarta : UII Press
Mangkoesoebroto Guritno. 1991. Ekonomi Publik.edisi kedua. Yogyakarta: BPFE
Marihot P. Siahaan. 2005.Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah.Jakarta: Raja
Grafindo Persada
_______________ .2010. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. edisi revisi. Jakarta:Rajawali Pers
Soerjono Soekanto. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas
Indonesia.

Harlan Evan Kapioru. 2014. ” Implementasi Peraturan Daerah Kota Kupang


Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Retribusi Pelayanan Parkir Di Tepi Jalan
Umum”. Jurnal Nominal / Volume III Nomor 1 / Tahun 2014
Hery Hermawan dan Muhammad Imron. 2013. “Kontribusi Penerimaan Pajak
Daerah Dan Retribusi Daerah Pada Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten
Madiun”. Jurnal Ekomaks Volume 2 Nomor 2 September 2013

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_daerah_di_Indonesia
http://hukum2industri.wordpress.com/2011/04/26/pendapatan-asli-daerah-pad/

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi


Daerah

37
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 Tentang Retribusi Daerah

38

Anda mungkin juga menyukai