WORKING PAPER
Masagus M. Ridhwan
Angsoka Yorintha Paundralingga
Rakhmat Pratama
Yenny Fridayanti
2016
Ke s i mp u la n , pe nda pa t , da n pa nda n ga n ya n g d i sa m pa ik a n o le h pe n u li s da la m pa pe r in i
me r upa k a n k e s i mp u la n , pe n da pa t da n pa n da n ga n pe n u l is da n b uk a n me r upa k a n
k e s im p u la n , pe nda pa t da n pa n da nga n r e s m i B a nk I nd o ne s ia .
1
ANALISIS NERACA JASA:
STUDI KASUS INDUSTRI TRANSPORTASI MARITIM
Masagus M. Ridhwan, Angsoka Yorintha Paundralingga, Rakhmat Pratama, Yenny
Fridayanti1
Abstrak
Studi ini mengkaji sumber penyebab neraca jasa Indonesia, khususnya di sektor jasa
transportasi laut (sea-freight) sebagai penyumbang terbesar defisit tersebut. Penelitian ini
bertujuan untuk (i) mengidentifikasi sumber penyebab defisit neraca jasa khususnya dari aspek
industri transportasi laut (maritim), (ii) memetakan kinerja industri transportasi maritim
khususnya jasa pelayaran (shipping liners) dan perkapalan (shipyard), dan (iii) menyusun
rekomendasi kebijakan. Metode riset yang digunakan dalam studi ini adalah analisis deskriptif
yang terutama diperoleh melalui field survey, indepth interview, focus grup discussion (FGD),
dan desk study dengan menggunakan bahan sekunder, serta menggunakan analisis yang
robust yang diperkuat dengan analisis ekonometrik dan analisis input-output.
Dari hasil analisis yang dilakukan, studi ini mendapati dominasi asing dalam industri
pelayaran di Indonesiakarena ekspor dan impor Indonesia dilayani oleh armada asing.
Sementara itu, pelayaran laut domestik walaupun dilayari oleh 100% armada domestik masih
tetap menggunakan kapal buatan asing, baik melalui fasilitas charter, leasing, atau keagenan.
Armada domestik tidak mampu melayani perdagangan internasional karena skala ekonomi dan
kalah bersaing dengan pelayaran asing. Faktor lain adalah pola persebaran industri yang
berpusat di Jawa dan ketidakseimbangan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa yang bermuara
pada empty backhaul problem. Hasil studi ini merekomendasikan sejumlah faktor untuk
memperkuat industri maritim Indonesia.
Kata Kunci : neraca pembayaran, neraca jasa, ekonomi maritim, industry pelayaran,
industri galangan kapal, empty backhaul
1
Penulis adalah peneliti ekonomi di Grup Riset Ekonomi (GRE), Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
(DKEM), Bank Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Juda Agung, Bpk. Yoga Affandi,
reviewer dan peserta seminar di Batam, Surabaya, dll. Penghargaan yang tinggi juga kami sampaikan kepada
Bpk. Saut Gurning, narasumber FGD a.l. dari INSA, Biro Klasifikasi Indonesia, dll.
2
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan, 2/3 wilayah Indonesia merupakan lautan dan
wilayah pesisir.Total panjang garis pantai di Indonesia mencapai 80 ribu km persegi, atau dua
kali panjang lingkar khatulistiwa dan garis pantai terpanjang kedua di dunia2. Di samping itu,
Indonesia juga memiliki letak geografis yang sangat strategis, yaitu terdapat di antara dua
benua Asia dan Australia di antara dua Samudera Pasifik dan Hindia, serta di antara negara-
negara Asia Tenggara. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi kekayaan maritim
yang belum termanfaatkan dengan baik, antara lain berupa (1) sumber tambang migas/energi,
(2) transportasi laut, (3) perikanan, (4) pertanian laut/budidaya, (5) pariwisata, serta (6) industri
manufaktur dan galangan kapal. Meskipun Indonesia memiliki potensi pengembangan sumber
daya alam di laut yang sangat besar, hingga saat ini tingkat eksplorasi dan eksploitasi terhitung
masih sangat rendah.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi poros
maritim dunia, sebagaimana menjadi arah pembangunan sektor ekonomi maritim Indonesia.
Poros maritim merupakan sebuah gagasan strategis yang diwujudkan untuk menjamin
konektivitas antarpulau, pengembangan industri perkapalan dan perikanan, perbaikan
transportasi laut, serta fokus pada keamanan maritim. Untuk itu, terdapat lima pilar utama
sebagai upaya pewujudan Indonesia sebagai poros maritim dunia, yaitu pertama, membangun
budaya maritim; kedua, komitmen menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus
membangun kedaulatan pangan melalui pengembangan industri perikanan dengan
menempatkan nelayan sebagai pilar utama; ketiga, komitmen mendorong pengembangan
infrastruktur dan konektivitas maritim melalui pembangunan tol laut, pelabuhan laut, logistik
dan industri perkapalan, serta pariwisata maritim;, keempat, diplomasi maritim yang mengajak
semua mitra Indonesia untuk bekerja sama pada bidang kelautan; dan kelima, pembangunan
kekuatan partahanan maritim.
Faktanya hingga saat ini sektor maritim yang memiliki potensi begitu besar belum
mampu menjadi tulang punggung pembangunan dan perekonomian Indonesia karena masih
minimnya kontribusi subsektor Maritim Nonmigas (perikanan, logistik, wisata, dll) terhadap PDB
nasional, yaitu hanya ± 4%, yang jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan negara
kepulauan lainnya di Asia, seperti Filipina (21%)dan Jepang (28%). Sektor perikanan juga
belum menjadi sumber mata pencaharian utama bagi penduduk Indonesiakarena hanya 5%
penduduk Indonesia yang bermatapencaharian sebagai nelayan. Di sektor jasa pelayaran laut
2
"Indonesia." The World Factbook. Central Intelligence Agency, 2016. Web. 11April 2016.
3
(sea freight) perusahaan pelayaran asing mendominasi pangsa pasar pelayaran internasional
mencapai 90%. Hal yang sama juga terjadi pada tingginya tingkat ketergantungan dalam
industri galangan kapal asing, baik untuk mesin maupun untuk komponen lainnya. Jasa
asuransi pelayaran juga dikuasai oleh perusahaan asing sekitar 87%.
Hal ini berdampak pada kondisi neraca transaksi berjalan Indonesia, terutama pada
sektor jasa yang secara terus menerus mengalami defisit. Walaupun neraca barang masih
tercatat surplus (Grafik 1), akibat defisit neraca jasa yang cukup besar rata-rata USD 8
miliar/tahun (Grafik 2) tersebut mengakibatkan defisit yang persisten pada neraca transaksi
berjalan (Grafik 3). Sumber defisit neraca jasa berasal dari pembayaran dan penerimaan untuk
jasa-jasa antara lain ekspor dan impor jasa manufaktur, jasa pemeliharaan dan perbaikan, jasa
transportasi, jasa perjalanan, jasa konstruksi, jasa asuransi dan dana pensiun, jasa keuangan,
biaya penggunaan kekayaan intelektual, jasa telekomunikasi, komputer dan informasi, jasa
personal, kebudayaan dan rekreasi, serta jasa pemerintah.
Sektor jasa yang difokuskan dalam penelitian ini adalah jasa pelayaran, khususnya
sebagai sarana transportasi utama untuk pengiriman barang, baik domestik (antarpulau)
maupun antarnegara. Dari kaca mata ekonomi maritim, Indonesia merupakan negara
kepulauan. Kajian terhadap jasa pelayaran akan sangat relevan, terutama dengan sejumlah
pertimbangan berikut ini. Pertama, struktur defisit neraca jasa sebagian besar disumbang oleh
jasa transportasi yang mencapai 77%, khususnya untuk transportasi barang. Tingginya defisit
jasa transportasi (freight) yang terus terjadi setiap tahun, antara lain, disebabkan oleh cukup
tingginya ketergantungan jasa pelayaran yang dikuasai oleh kapal asing yang mencapai sekitar
95% untuk kegiatan ekspor-impor internasional, sedangkan untuk angkutan laut dalam negeri,
pangsa kapal asing sebesar 40%.
Hasil kajian Kementerian Keuangan juga menyebutkan bahwa kapal asing menguasai
78% jumlah kapal, 94% daya angkut, dan 90% muatan ekspor-impor, sedangkan kapal
Indonesia hanya menguasai kapal-kapal dengan daya angkut yang relatif kecil. Meskipun
begitu, pemerintah telah memberikan perhatian atas kondisi itu, salah satunya melalui
implementasi asas cabotage yang diberlakukan melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2008. Perusahaan pelayaran dalam negeri wajib memiliki kapal berbendera Indonesia/memiliki
kapal sendiri dan menggunakan jasa anak buah kapal dalam negeri, serta kapal asing tidak
diizinkan untuk mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau atau antarpelabuhan di
wilayah perairan Indonesia.
4
Sumber: NPI Sumber: NPI
Sumber: NPI
Kedua, infrastruktur dan kinerja sektor jasa yang efisien (transportasi, distribusi, dll) akan
memberikan dukungan yang besar terhadap kinerja dan daya saing industri manufaktur
domestik di pasar internasional melalui peningkatan efisiensi serta menjaga ketersediaan
pasokan di pasar domestik. Akses ke sektor jasa yang lebih baik, lebih efisien, dan lebih murah
akan mendorong peningkatan produktivitas industri domestik dan pada gilirannya akan
memperkuat daya saing global, terlebih lagi di era FTA/MEA saat ini. Sementara itu,
infrastruktur dan kinerja jasa transportasi dan logistik di dalam negeri masih menjadi kendala.
Jika dibandingkan dengan negara lainnya di Asia, biaya transportasi di Indonesia tercatat cukup
tinggi karena mencapai 27% dari PDB. Indikator kinerja logistik (logistic performance index/ LPI)
Indonesia juga masih menempati peringkat ke-59 (2012) yang jauh tertinggal jika
dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, seperti Singapura (1), Malaysia (29), Thailand (38),
Filipina (52), dan Vietnam (53).
5
Ketiga, sejalan dengan sistem logistik nasional (sislognas), peran dan fungsi infrastruktur
transportasi dalam memperlancar pergerakan arus barang secara efektif dan efisien serta dalam
mengembangkan maritim adalah pewujudan konektivitas lokal, nasional, dan global. Keempat,
konektivitas dan transportasi yang lancar dan efisien diharapkan dapat menekan harga jual di
Indonesia, terutama di daerah kepulauan dan di terpencil sehingga berdampak pada kestabilan
harga dan inflasi.
6
II. KARAKTERISTIK INDUSTRI JASA PELAYARAN NASIONAL
Indonesia sebagai negara maritim memiliki potensi ruang laut yang dilalui rute pelayaran
internasional dengan tingkat density tinggi. Secara geografis letak wilayah Indonesia berada
pada posisi silang sehingga menyebabkan Selat Malaka menjadi rute perdagangan dengan
intensitas yang padat dan sangat strategis, khususnya di kawasan Asia Pasifik. Di samping itu,
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan nilai GDP dan populasi
terbesar di ASEAN.
Meskipun begitu, potensi yang besar tersebut tidak serta merta menjadikan Indonesia
sebagai pelabuhan utama atau hub. Saat ini pelabuhan Indonesia hanya berfungsi sebagai
penguhubung (spoke) dalam rantai perdagangan global. Sementara itu, beberapa pelabuhan
lain di ASEAN, seperti pelabuhan Singapura, pelabuhan Tanjung Pelepas, dan Port Klang
(Malaysia) tercatat menjadi pelabuhan tersibuk di Asia. Di sisi lain, inisiatif Tiongkok untuk
mengembangkan perekonomiannya dengan strategi silk road economic belt juga berpotensi
mengurangi densitas perdagangan via Selat Malaka yang juga dapat berdampak ke Indonesia.
Inisiatif Tiongkok tersebut bertujuan untuk menciptakan beberapa koridor ekonomi yang
membentang lebih dari 60 negara di seluruh dunia, yang mengintegrasikan Asia, Eropa, dan
Afrika melalui konektivitas pada lima hal, yaitu konsultasi kebijakan, konektivitas infrastruktur,
perdagangan bebas, sirkulasi mata uang lokal, dan hubungan people-to-people.
Ketika melihat lebih jauh kondisi sektor maritim yang dihadapi Indonesia, dapat
disebutkan bahwa salah satu permasalahan yang ada ialah sangat terbatasnya kapasitas
7
pelabuhan domestik jika dibandingkan dengan pelabuhan di beberapa negara lain, seperti
Malaysia dan Singapura. Saat ini, mayoritas pelabuhan domestik di Indonesia hanya dapat
dilayani oleh kapal-kapal berukuran kecil (capacity constraint) atau dengan kapasitas terbatas
yang sangat jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Malaysia. Hal itu berdampak pada relatif
rendahnya economic of scale kinerja pelabuhan di Indonesia serta tingginya biaya transportasi
yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy).
Di samping hal di atas, infrastruktur maritim Indonesia juga cenderung lebih lemah
dibandingkan negara ASEAN dan Tiongkok, terutama dalam hal kapasitas dan kualitas
pelabuhan, kapasitas dan usia kapal, serta kinerja logistik yang tercermin dari logistic
performance index (LPI). Hal itu menyebabkan sebagian besar transaksi ekspor Indonesia
diangkut dengan menggunakan armada asing ke Singapura dan Malaysiakarena jasa pelayaran
domestik hanya sebagai feeder. Sementara itu, seluruh produk impor ke Indonesia diangkut
oleh jasa pelayaran asing melalui Singapura dan/atau Malaysia.
8
Indonesia Line/SPIL (13,6%), Tanto Intim Line (11,6%), Tempuran Mas Line (7%), dan Caraka
Tirta Perkasa (3%).
15.2%
Meratus Line
SPIL
13.6%
49.6% Tanto Intim Line
Tempuran Emas Line
Caraka Tirta Perkasa
11.6% Lainnya
7.0%
3%
Sumber: Indonesian National Shipowners Association Sumber: Alphaliner, Saut Gurning (2016), data diolah
(INSA)
Gambar 7. Pangsa Pasar Perusahaan Pelayaran
Gambar 6. Jumlah Armada Perusahaan Pelayaran Nasional
Nasional
9
Sumber: UNCTAD, data diolah Sumber: UNCTAD, data diolah
Gambar 8. Kapasitas Kapal per-Jenis Kapal di Gambar 9. Pangsa Kapasitas Kapal per-Jenis
Indonesia Kapal di Indonesia terhadap Total Kapasitas
Kapal Negara di Asia Tenggara
10
destination dan origin. Dari sisi pelayaran hal itu disebut dengan backhaul problem atau
singkatnya pelayaran hanya satu arah yang terisi penuh. Backhaul itu menyebabkan high cost
economy karena biaya pengiriman barang menjadi mahal. Pengusaha pelayaran cenderung
membebankan seluruh biaya operasional kapal kepada pengirim barang dari Jawa karena tidak
memiliki kepastian apakah kapalnya akan terisi dalam perjalanan pulang. Hal tersebut
menyebabkan biaya logistik di Indonesia masih relatif tinggi di antara negara-negara lain.
Sebagai ilustrasi, jalur Jakarta-Belawan dan Surabaya-Makassar yang merupakan jalur tersibuk
di Indonesia hanya mencatatkan volume perdagangan 3.000 TEUs per minggu sehingga hanya
menggunakan armada kapal dengan daya angkut 1.700 TEUs.
Tabel di atas menunjukkan bahwa harga sewa kapal per hari turun jika dibandingkan
dengan tahun 2004. Selama kurun waktu 2016 kondisi ekses supply bahkan membuat harga
sewa kapal turun hampir separuh. Penurunan lebih besar dialami oleh kapal dengan bobot lebih
besar. Bahkan, hal tersebut membuat ongkos sewa kapal 3.500 TEUs lebih murah daripada
ongkos sewa kapal 1.700 TEUs. Dengan begitu, biaya pengapalan per TEUs yang ditunjukkan
dalam satuan USD per hari per TEUs juga menunjukkan penurunan. Pada tahun 2004 biaya
pengapalan per TEUs dengan menggunakan kapal 3.500 TEUs adalah USD4,94 atau 65,01%
lebih murah jika dibandingkan dengan menggunakan kapal 1.700 TEUs. Dengan demikian,
penggunaan kapal lebih besar 3.500 TEUs akan sanggup memotong biaya logistik kurang lebih
11
35%jika dibandingkan dengan menggunakan kapal 1.700 TEUs yang rata-rata dipakai oleh
perusahaan pengangkutan di Indonesia. Nilai perbandingkan tersebut juga menunjukkan
kecenderungan yang terus membesar sampai sekarang. Dengan nilai terkini (November 2016),
biaya sewa per hari per TEUs menggunakan kapal 3.500 TEUs lebih murah 43,44% jika
dibandingkan dengan menggunakan kapal 1.700 TEUs. Namun, perlu diingat bahwa
peningkatan kapal kontainer tersebut perlu diikuti dengan peningkatan draf pelabuhan menjadi
minimal 12,5 meter.
Sumber: Data kedalaman kolam pelabuhan dari Departemen Perhubungan, data diolah
Gambar 11. Perbandingan Pelabuhan di Indonesia, Malaysia dan Singapura
12
Sumber: UNCTAD Database Sumber: UNCTAD Database
Gambar 12. Kapasitas Industri Galangan Kapal
Gambar 13. Kapasitas Industri Galangan Kapal
(Reparasi)
(Bangunan Baru)
Di sisi lain, jumlah permintaan kapal pada saat ini meningkat seiring dengan program
pemerintah untuk memperkuat sektor kemaritiman. Akan tetapi, kapasitas untuk kapal baru
masih terbatas dan perusahaan masih belum mau untuk membuat investasi besar untuk
membuat galangan kapal baru.
Sumber: Indonesian Shipyard Association (2014); Sumber: Biro Pusat Statistik (2012-2014); Indonesia
Indonesia Shipowner Association (2012 and 2014); Shipowner Association (2012 and 2014);
Departemen Perindustrian (2014) dikutip dalam Departemen Perindustrian (2014) dikutip dalam
Gurning (2016) Gurning (2016)
Gambar 14. Kapasitas Galangan Kapal di Gambar 15. Kapasitas Reparasi Kapal
Indonesia
13
III. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
3
Asas cabotage memaksa perubahan bendera kapal asing menjadi bendera Indonesia. Sejak diberlakukan
pada 2005, jumlah kapal adalah 5,750 unit kapal dan sampai akhir 2015 jumlah ini meningkat hampir tiga kali
lipat menjadi 14,156 unit, sedangkan jumlah perusahaan pelayaran naik dari 1.885 perusahaan (tahun 2010)
menjadi 2.718 perusahaan (tahun 2014). Penurunan juga terjadi dalam hal jumlah kapal milik asing yang
disewa (charter) oleh perusahaan pelayaran domestik turun dari 2.447 kapal (tahun 2003) menjadi 1.154 kapal
14
Pada tahun 2005 armada nasional hanya dapat melayani 55,5% angkutan laut
domestik. Jumlah itu meningkat sehingga pada akhir tahun 2014 dari total 408.55 juta ton
hanya 53.73 ribu ton yang diangkut dengan menggunakan armada asing. Dengan demikian,
armada domestik sanggup menguasai hampir 99.9% angkutan laut domestik. Penggunaan
armada asing untuk pengangkutan domestik itu merupakah pengecualian karena dibutuhkan
kapal dengan spesifikasi teknis lebih tinggi4. Di sisi lain, sesudah asas cabotage diberlakukan
perusahaan asing lebih banyak mendirikan perusahaan domestik sebagai agen mereka. Pada
tahun 2003 jumlah kapal domestik berbendera Indonesia yang menjadi agen shipping liner
asing5 adalah 6.629 unit dan kemudian meningkat menjadi 7.227 unit di tahun 2007, dua
tahun sesudah asas cabotage diberlakukan.
Penurunan perdagangan dunia akibat GFC berimbas pada penurunan jumlah kapal
agen dari 4.922 unit pada tahun 2010 menjadi 4.320 unit pada tahun 2014, atau kurang lebih
satu per tiga jumlah kapal domestik (atau satu per empat jumlah kapal total). Dengan demikian,
pengangkutan barang domestik sudah seluruhnya menggunakan kapal berbendera Indonesia,
tetapi 25% di antaranya merupakan agen perusahaan pengapalan asing. Ddata mengenai
berapa defisit neraca jasa yang disebabkan oleh kapal perusahaan domestik agen perusahaan
asing tidak diketahui karena dokumen PEB hanya meminta pengisian nama kapal, sementara
database nama kapal yang terintegrasi dengan nama perusahaan tidak dimiliki.
Salah satu cara murah bagi perusahaan pengapalan domestik untuk mendapatkan kapal
buatan asing adalah melalui leasing. Berbeda dengan charter yang merupakan one-time
contract berdasarkan jangka waktu sewa dan ketersediaan kapal, leasing memberikan skema
pembayaran jangka panjang yang diakhiri dengan perpindahan kepemilikan ke tangan pembeli
pada akhir periode leasing. Umumnya, biaya leasing per hari jauh lebih murah daripada biaya
charter. Di dalam neraca jasa, besarnya biaya leasing kapal juga tidak dapat diketahui secara
pasti karena pos jasa keuangan sudah merupakan gabungan dari pembayaran jasa keuangan
yang lain.
Untuk mendapatkan penyebab defisit neraca jasa, kami melakukan analisis terhadap
data lalu lintas devisa (LLD) yang digunakan untuk pembayaran jasa-jasa pengangkutan, baik
untuk pengangkutan laut internasional maupun domestik serta melakukan analisis terhadap
data Neraca Pembayaran Indonesia. Beberapa data yang tidak diperoleh diestimasi melalui
diskusi terpumpun (FGD) dengan pelaku industri pelayaran angkutan laut.
(tahun 2007) sesudah asas cabotage diberlakukan. Jumlah itu terus menurun menjadi 691 kapal (tahun 2010)
sampai menjadi 295 kapal (tahun 2014).
4
Kapal dengan spesifikasi lebih tinggi, antara lain, dibutuhkan pada industri hulu minyak dan gas, seperti kapal
seismik, kapal pengeboran, dan kapal konstruksi lepas pantai.
5
Industri angkutan laut Indonesia memiliki dua pemain utama, yaitu armada pelayaran domestik dan armada
milik asing, baik berupa kapal sewa (charter) maupun berupa keagenan.
15
Dari hasil analisis dapat diketahui sumber utama penyebab defisit necara jasa terbagi
menjadi empat bagian besar, yaitu (i) industri jasa pelayaran sebesar 65% (terdiri atas
pengangkutan menggunakan shipping liner asing, charter (sewa) dan leasing kapal asing,
leasing kontainer, dan pembayaran gaji awak kapal asing), (ii) industri galangan kapal (22%),
(iii) jasa keuangan asuransi (11%), dan (iv) pelabuhan (2%).
6
Beberapa perusahaan jasa pengangkutan laut domestik yang merupakan agen perusahaan asing adalah PT
Bintang Putih yang merupakan agen Maersk Line dan PT Evergreen Indonesia yang merupakan agen Evergreen
Line.
16
defisit neraca jasa. Sementara itu, defisit berikutnya disumbangkan oleh leasing kontainer
karena belum dapat diproduksi di Indonesia.
Industri asuransi keuangan menyumbang defisit neraca jasa karena dalam proses ekspor
dan impor karena sebagian besar pelaku usaha lebih memilih asuransi keuangan asing yang
17
lebih murah dan juga dirasa lebih aman/terjamin. Salah satu faktor yang ikut menyumbang
mahalnya asuransi domestik adalah citra perairan Indonesia yang kurang aman karena terkait
beberapa tindakan kriminal.
4. Pelabuhan
Sumbangan defisit neraca jasa dari subkelompok pelabuhan berasal dari leasing crane
yang dilakukan oleh seluruh pelabuhan Indonesia. Indonesia tidak memiliki industri mesin crane
dan kontainer sehingga untuk mengoperasikan crane, pelabuhan Indonesia harus menyewa
atau melakukan leasing.
3.2 Faktor Penyebab Dominasi Liner Asing pada Industri Jasa Pelayaran
Dalam subbab ini akan dibahas faktor penyebab dominasi asing pada jasa pelayaran
domestik. Dalam menjelaskan faktor dominasi liner asing dalam industri jasa pelayaran itu,
analisis dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif, terutama yang diperoleh melalui
field survey, in-depth interview, diskusi terpumpun, dan desk study yang menggunakan bahan
sekunder. Field survey dilakukan pada tiga daerah pelabuhan dan industri galangan kapal
utama Indonesia, yaitu Jakarta, Batam, dan Surabaya. Adapun in-depth interview dan focus
group discussion dilakukan terhadap pelaku industri, otoritas, dan akademisi. Sementara itu,
desk study dilakukan terhadap data-data sekunder.
Sebagai mana dijelaskan dalam bab sebelumnya, defisit neraca jasa bersumber pada
dominasi liner asing dalam melayani jasa pelayaran Indonesia. Penelitian ini akan berusaha
menjawab alasan mendasar dibalik dominasi itu.
1) Posisi Geografis Indonesia yang Tidak Didukung oleh Infrastruktur yang Memadai
Posisi geografis Indonesia, walaupun dilewati oleh alur perdagangan internasional, tidak
didukung oleh infrastruktur yang mencukupi untuk menjadi lokasi transshipment internasional.
Dengan demikian, Indonesia tidak lagi menjadi bagian utama (hanya spoke) dari rute
perdagangan dunia.
Keterbatasan infrastruktur pelabuhan Indonesia ikut menjadi masalah. Dengan
kedalaman draft yang relatif terbatas (lihat gambar 2), kapal-kapal dengan ukuran besar tidak
bisa berlabuh di Indonesia. Saat ini, perusahaan pelayaran internasional lebih banyak
mengoperasikan kapal berukuran besar untuk mengurangi biaya angkut kontainer. Sementara
itu, pelabuhan di Singapura dan Malaysia dapat disinggahi kapal besar sehingga mempunyai
throughput yang tinggi. Sebagai ilustrasi, throughput Port of Singapore pada tahun 2015
tercatat 30,9 juta TEU, sedangkan Malaysia memiliki dua pelabuhan, yaitu Port of Klang dan
Port of Tanjung Pelepas dengan throughput masing-masing 11,8 juta TEUs dan 9,2 juta TEUs.
Pencapaian tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan throughput Indonesia (8 juta TEUs),
Thailand (2 juta TEUs), dan Vietnam (5 juta TEUs). Hal tersebut dapat dicapai karena ketiga
18
pelabuhan tersebut menjadi transshipmenthub untuk ASEAN dan Australia-Oceania. Beberapa
faktor yang menyebabkan Singapura dan Malaysia menjadi lokasi transhipmenthub antara lain
sebagai berikut.
Sumber: UNCTAD
19
Kondisi lemahnya infrastruktur pelabuhan Indonesia dan kecilnya skala ekonomi pemain
jasa pelayaran domestik merupakan dua sisi dari mata uang permasalahan yang sama.
Mayoritas pelabuhan domestik dangkal sehingga hanya dapat dilayani oleh kapal-kapal
berukuran kecil (capacity constraint). Sementara batas kapal kontainer yang dapat dilayani
adalah 5.000 TEUs. Sebagai perbandingan pelabuhan di negara tetangga, Malaysia dan
Singapura sudah dapat menampung kapal dengan ukuran s.d. 18.000 TEUs. Kapal yang kecil
menyebabkan pengiriman barang menjadi tidak efisien dengan biaya transportasi yang lebih
mahal (high cost economy).
2) Skala Ekonomi Perusahaan Pelayaran Domestik yang Lebih Kecil di tengah Efisiensi
Biaya Sea Freight Internasional
Pasca-global financial crisis (GFC) pada tahun 2008, turunnya perekonomian global
membuat permintaan terhadap pelayaran turun sehingga terjadi excess supply di dunia.
Turunnya permintaan global membuat industri pelayaran dunia melakukan perampingan agar
tetap bisa beroperasi. Merger dan akuisisi menjadi salah satu opsi yang banyak dipilih. Di sisi
lain, masih tingginya frekuensi perdagangan laut -intra-Asia, termasuk Indonesia memaksa
pelayaran asing untuk memindahkan armada ke Asia. Kondisi excess supply di sektor pelayaran
lebih lanjut menekan biaya transportasi. Hal itu menjadi latar belakang pilihan ekspor dan impor
menggunakan kapal asing dengan tarif yang lebih murah dan kredibel. Di tengah serbuan
armada asing yang lebih murah, perusahaan pelayaran nasional yang memiliki skala ekonomi
lebih kecil hanya bertugas sebagai feeder bagi perusahaan pelayaran asing untuk mengantar
dan menjemput peti kemas sampai di pelabuhan utama.
Sumber: ECLAC dan UNCTAD, berdasarkan data dari International Transport Database
ECLAC, 2013
Keterangan: Berdasarkan 12,595 observasi biaya transport di perdagangan internasional untuk
tahun 2013 menggunakan SITC dua digit.
Gambar 19. Sebaran Data Antara Jarak dan Biaya Transportasi Laut
20
Di sisi lain, tarif perusahaan kapal asing lebih murah karena menggunakan kapal besar
dan mampu mengumpulkan volume muatan yang besar. Dengan semakin besarnya kapal,
peranan jarak sebagai variabel peng-kurating dari mahalnya biaya menjadi hilang. Dalam
pelayaran modern, faktor utama dari murahnya biaya transportasi adalah besarnya volume
muatan kapal, atau dengan kata lain, semakin besar kapal yang digunakan untuk melakukan
pengiriman akan menurunkan biaya transportasi per satuan barang. Demikian juga, semakin
besar volume pengiriman akan menurunkan biaya transportasi per satuan barang. Di sini, biaya
transportasi adalah biaya variabel (variable cost) bergantung pada volume pengiriman dan
ukuran kapal, sedangkan jarak fisik tidak lagi memiliki korelasi dengan biaya transportasi.
Empty backhaul adalah kondisi ekonomi yang terjadi antara dua ekonomi dengan
ukuran yang jauh berbeda. Daerah dengan ekonomi yang lebih besar sanggup mengirim
barang secara penuh (full loading), tetapi sebaliknya, daerah yang lebih kecil tidak akan dapat
mengirim barang dengan jumlah yang sama. Hal itu terjadi karena skala produksi di daerah
yang lebih kecil terbatas atau bahkan barang produksi daerah kecil tidak memiliki pasar di
daerah besar. Dengan demikian, kargo kontainer balik dari daerah kecil ke daerah besar akan
cenderung kosong. Dalam kasus ini, biaya transportasi ke daerah kecil akan menjadi biaya tetap
(fixed variable) karena perusahaan pelayaran juga akan mengenakan ongkos kepada pengirim
di daerah besar untuk membawa kembali kapal pulang dalam kondisi kosong. Sebaliknya,
pengirim barang dari daerah kecil bisa mendapatkan ongkos yang sangat murah untuk
mengirim barang ke daerah besar dengan menggunakan kapal yang tidak penuh.
Backhaul problem juga menghambat perusahaan pelayaran domestik untuk melayani
rute internasional. Dalam rangka melakukan ekspansi, salah satu perusahaan pelayaran nasional
yang membuka rute pelayaran internasional tidak dapat beroperasi karena kalah bersaing
dengan perusahaan pelayaran internasional. Dalam perjalanan berangkat, muatan kapal terisi
penuh dengan produk ekspor Indonesia, tetapi pada saat kembali perusahaan Indonesia tidak
bisa mengisi muatan dengan optimal karena impor ke Indonesia menggunakan tata cara impor
cost, insurance, and freight (CIF) sehingga pengiriman barang ke Indonesia ditentukan oleh
penjual barang. Pemilihan term of deliverence (TOD), seperti CIF, juga merupakan salah satu
masalah yang akan dijelaskan lebih lanjut. Penjual barang dengan skala besar cenderung telah
memiliki kontrak dengan perusahaan pelayaran internasional karena memiliki tarif yang lebih
kompetitif.
Apabila dibandingkan dengan perekonomian global, volume perdagangan
internasional di Indonesia relatif kecil. Dengan struktur pasar domestik yang besar, tetapi
struktur produksi cenderung lebih mengandalkan komoditas sumber daya alam, sebagian besar
kapal pengangkut internasional mengalami empty backhaul problem untuk pengiriman barang
ke Indonesia (impor ke Indonesia). Sementara itu, pengiriman barang dari Indonesia (ekspor dari
21
Indonesia) dengan menggunakan kapal asing akan mendapatkan ongkos yang jauh lebih
murah karena kondisi kapal yang tidak penuh.
Untuk itu, agar bisa bersaing dengan jasa pelayaran internasional, jasa pelayaran
domestik harus menggunakan kapal yang lebih besar. Namun, investasi kapal yang lebih besar
membutuhkan volume pengiriman yang ajeg, yang hanya bisa didapatkan dengan
meningkatkan skala ekonomi Indonesia dan dengan mereformasi struktural industri domestik
yang berada di luar pembahasan penelitian ini. Jargon ekonomi tersebut kerap disebut sebagai
ship follows the trade, yaitu industri jasa pengangkutan akan berkembang mengikuti aktivitas
ekonomi.7
Permasalahan yang serupa juga terjadi di dalam negeri, industri jasa pelayaran domestik
tertahan pada skala ekonomi yang kecil dan tidak efisien. Empty backhaul condition terjadi
antara ekonomi Jawa dan luar Jawa yang jauh lebih kecil. Dengan infrastruktur pelabuhan yang
dangkal, pelayaran domestik tidak memiliki insentif untuk memperbarui dan memperbesar
kapasitas armada mereka. Rata-rata ukuran kapal yang dimiliki oleh perusahaan jasa pelayaran
domestik adalah 1.700 TEUs. Penaikan ukuran rata-rata kapal menjadi 3.000 TEUs tentu secara
signifikan akan menurunkan biaya transportasi antarpulau. Pemilikian kapal yang lebih besar
juga akan menjadi pendorong bagi perusahaan pelayaran untuk memperlebar pelayanan
mereka ke internasional.
Dengan demikian, beberapa faktor penghambat perusahaan pelayaran domestik untuk
meningkatkan skala ekonomi mereka adalah (1) dukungan infrastruktur pelabuhan (terutama
dalam hal kedalaman), (2) ketidakseimbangan perekonomian daerah, (3) kurangnya dukungan
industri galangan kapal, dan (4) faktor teknis berkaitan dengan biro klasifikasi dan pembiayaan
Dukungan pemerintah dengan pendalaman pelabuhan dan penetapan pelabuhan
strategis baru tampak pada kepemimpinan presiden Joko Widodo. Dampak nyata bagi industri
pelayaran tentu masih membutuhkan waktu. Ketidakseimbangan ekonomi daerah menjadi
salah satu faktor yang menahan pertumbuhan industri pelayaran. Mati surinya industri
manufaktur dan ketiadaan muatan dari daerah menghalangi industri pelayaran nasional
melakukan investasi kapal.
Tanpa dukungan industri galangan kapal, industri pelayaran domestik hanya akan
mengandalkan kapal buatan asing yang kemudian menyumbang defisit neraca barang.
Sementara itu, faktor teknis berhubungan dengan klasifikasi kapal yang tidak diterima oleh
badan klasifikasi internasional (sebagai contoh Llyod Register of Shipping, UK, Nippon Kaiji
Kyokai, Jepang).8 Sementara itu, dukungan pembiayaan berkaitan dengan pemenuhan
7
Shipping liner terbesar dunia, Maersk Line, masuk ke Indonesia (Hindia Belanda) sejak tahun 1928 di
pelabuhan Belawan untuk mengangkut kopi ke Eropa.
8
Klasifikasi kapal di Indonesia dilakukan oleh Biro Klasifikasi Indonesia (BKI). BKI merupakan salah satu badan
usaha milik negara (BUMN). Dengan bentuk ini, BKI dituntut untuk menghasilkan laba setiap tahun. Hal itu
22
kebutuhan kapal domestik masih menjadi permasalahan yang mendasar, terutama karena risiko
kredit perkapalan masih dianggap sangat tinggi dan juga karena suku bunga yang ditawarkan
relatif tinggi.9 Akibatnya, investor enggan menanamkan modalnya pada industri galangan kapal
sehingga peningkatan pertumbuhan jumlah unit kapal domestik terbilang rendah.
Azas cabotage diatur dalam UU No. 17 Tahun 2008 mengenai Pelayaran. Melalui asas
ini, kapal asing dilarang untuk beroperasi dalam kegiatan pelayaran domestik antarpulau.
Dengan semangat proteksi, industri jasa pelayaran domestik dilindungi dengan harapan para
pelaku pelayaran tersebut akan sanggup mencapai skala ekonomi yang lebih besar. Kebijakan
cabotage itu bukanlah sesuatu yang asing di dunia pelayaran. Paling tidak terdapat tiga aspek
yang biasanya diatur dalam asas cabotage, yaitu larangan menggunakan awak kapal asing,
menggunakan bendera asing, dan menggunakan kapal buatan asing untuk melayani pelayaran
domestik. Amerika Serikat, sebagai contoh, menerapkan tiga aspek tersebut secara ketat.
Sementara itu, Indonesia dalam hal ini hanya mengatur secara parsial, yaitu penggunaan
bendera dan awak kapal asing. Dampak jangka pendek dari kebijakan itu tampak dengan
jumlah kapal yang berbendera Indonesia semakin tinggi. Namun, peningkatan jumlah kapal
lebih banyak sebagai dampak pergantian bendera dari asing ke Indonesia, tetapi atribut lain
dari kapal tidak berubah. Di lapangan dapat ditemukan kapal dengan nama asing, tetapi
berbendera Indonesia (lihat Lampiran 3). Demikian juga sebaliknya, terdapat kapal dengan
nama Indonesia, tetapi berbendera asing. Hal itu dapat berdampak pada tingkat akurasi data
Neraca Jasa Indonesia.
Terdapat dua pilihan term of delivery, yaitu cost, insurance, and freight (CIF) dan free on
board (FIB). Kedua jenis kontrak/perjanjian pengapalan itu mengikat, baik penjual maupun
pembeli dalam hal transportasi barang antarkedua pihak tersebut. Perbedaan utama dua
perjanjian tersebut adalah tanggung jawab terhadap barang selama transit. Kedua kontrak
tersebut secara jelas menyebutkan asal dan tujuan pengiriman yang digunakan untuk
menetapkan kapan barang berpindah penanggung jawab. Barang tidak akan dianggap terkirim
sebelum barang-barang tersebut diterima oleh pembeli.
merupakan salah satu pokok keberatan perusahaan pelayaran yang menuntut BKI bersifat independen, seperti
halnya lembaga sejenis di negara lain dan bersifat internasional. Perusahaan pelayaran mengeluhkan tingginya
biaya klasifikasi, antara lain juga berhubungan dengan bentuk BUMN. BKI sedang dalam proses mendaftarkan
diri pada International Association of Classification Societies (IACS) sehingga klasifikasi yang mereka hasilkan
dapat diterima di dunia pelayaran internasional.
9
Salah satu jenis pembiayaan kapal yang terkenal adalah German Limited partnership atau KG
(kommanditgesellschaft). Model ini diperkenalkan sejak tahun 1970 dan dikecualikan dari pajak.
23
Dalam perjanjian CIF, asuransi dan biaya lain merupakan tanggung jawab penjual,
sedangkan kewajiban dan biaya yang berhubungan dengan keberhasilan pengiriman harus
dibayarkan oleh penjual ketika barang telah sampai di tangan pembeli. Dalam kontrak itu pihak
penjual, yaitu penduduk Indonesia dalam kasus ekspor atau penduduk asing dalam kasus
impor, bertanggung jawab untuk memilih perusahaan pengapalan. Sebaliknya, kontrak FOB
melepaskan tanggung jawab penjual sesampainya barang di kapal. Oleh karena itu, begitu
barang mulai dikapalkan, pembeli yaitu penduduk asing dalam kasus ekspor atau penduduk
Indonesia dalam kasus impor, bertanggung jawab untuk semua biaya dan kerusakan. Dua jenis
kontrak tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Sama halnya dengan transaksi lainnya, penentuan jenis kontrak yang disepakati akan
bergantung pada kekuatan posisi tawar pihak yang terkait. Dengan demikian, term of trade
merupakan fungsi yang merefleksikan daya tawar (bargaining position) dari pelaku domestik
terhadap pihak asing. Ketiadaan pelayaran domestik pada pelayaran internasional, tingginya
biaya asuransi domestik, klasifikasi domestik yang diatur oleh BKI (Biro Klasifikasi Indonesia)
yang tidak diterima oleh pelabuhan internasional, serta kecilnya skala ekonomi perusahaan
pelayaran domestik dan sekaligus perdagangan domestik merupakan input dari fungsi tersebut.
Secara teoretis, pengetahuan terhadap proses ekspor impor lokal berpengaruh terhadap
kuatnya posisi tawar. Sementara itu, ukuran relatif yang lebih kecil memperlemah posisi tawar.
Dengan kata lain, perusahaan yang lebih besar dan yang memiliki jaringan lebih besar akan
memiliki posisi tawar yang lebih kuat.
Dalam kasus Indonesia, eksportir Indonesia lebih banyak menggunakan terms of delivery
FOB, sedangkan importir Indonesia mayoritas menggunakan terms of delivery CIF. Kontrak CIF
yang dikenakan terhadap importir dapat dipahami karena ketiadaan armada domestik yang
melayari rute internasional dan memaksa pengusaha importir untuk menggunakan armada
asing untuk membawa kargonya masuk ke Indonesia. Hal yang sering kali menjadi perhatian
adalah kontrak yang diberlakukan pada eksportir Indonesia. Sebagai penjual posisi tawar
Indonesia seharusnya lebih kuat dan kemudian diharapkan dapat menggunakan kontrak
CIFsehingga, penggunaan armada domestik dapat dimanfaatkan untuk mengirim barang ke
luar negeri. Namun, dalam kenyataan pengusaha eksportir lebih memilih menggunakan kontrak
FOB sebab pembeli di luar negeri bertanggung jawab dalam pengiriman dan lebih memilih
armada asing yang lebih kredibel.
Di samping itu, masalah empty backhaul juga membuat pengiriman barang ekspor dari
Indonesia jauh lebih murah dengan menggunakan armada asing karena kondisi kapal yang
kosong. Jargon yang sering muncul adalah biaya pengiriman barang dari Tanjung Priok ke
Padang melalui laut akan lebih mahal jika dibandingkan dengan biaya pengiriman barang dari
Tanjung Priok ke Beijing. Dengan demikian, pertimbangan pengusaha eksportir untuk tidak
24
menggunakan CIF adalah pilihan yang paling memungkinkan, paling murah, lebih kredibel, dan
feasible karena ketiadaan armada domestik yang bisa menjalani rute internasional. Oleh karena
itu, pemaksaan pengusaha eksportir menggunakan kontrak CIF tanpa perbaikan dalam
beberapa sektor tersebut tidak akan menyelesaikan masalah. Dalam beberapa kasus, eksportir
Indonesia tidak mempunyai posisi tawar yang kuat untuk menggunakan CIF karena mereka
adalah eksportir yang pasif (passive seller). Justru pihak luar (importir barang Indonesia) yang
lebih aktif (active buyer) dan mengambil inisiatif untuk mencari dan membeli produk Indoesia.
Oleh karena itu, tidak heran pihak luar yang memilih untuk menggunakan armada asing.
Sejak tanggal 1 Maret 2014 eksportir Indonesia sudah diwajibkan untuk mencantumkan
nilai transaksi ekspor barang pada pemberitahuan ekspor barang (PEB) dengan menggunakan
terms of delivery yang berupa cost, insurance, and freight (CIF). Kebijakan itu dilandasi oleh
Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 41/PMK.04/2014 tanggal 19 Februari 2014 tentang
Tata Cara Pengisian Nilai Transaksi Ekspor dalam Bentuk CIF pada PEB. Kebijakan pencantuman
klausul terms CIF pada PEB tersebut merupakan tindak lanjut dari kebijakan Menteri
Perdagangan melalui Permendag Nomor 01/M-DAG/PER/1/2014 tanggal 02 Januari 2014
tentang Tata Cara Penetapan Nilai Freight dan Nilai Insurance dalam Pengisian Pemberitahuan
Ekspor Barang Terkait Penggunaan Term Of Delivery Cost, Insurance, and Freight untuk
Pelaksanaan Ekspor. Dalam praktik di lapangan, peraturan tersebut tidak berjalan dan tidak
berdampak pada perubahan neraca jasa.
10
Sumber: FGD INSA, Jakarta, 2016.
25
Dalam proses bongkar muat di pelabuhan juga terdapat 16 stakeholder yang terlibat
sehingga diperlukan proses yang relatif lama dalam mengeluarkan barang impor. Saat ini dwell
time di Indonesia masih relatif tinggi sehingga menyebabkan arus barang menjadi tidak lancar
dan tidak memberikan kepastian usaha serta membuat biaya logistik menjadi tinggi. Hal
tersebut juga berdampak pada tingginya yard occupancy rate (>65%) sehingga berdampak
pada hambatan dalam proses produksi atau investasi karena diperlukan waktu yang relatif
panjang dalam pengeluaran barang modal atau bahan baku.
Sumber: National Institute for Land and Infrastructure Management (NILIM), Japan
26
Potensi untuk permintaan kapal baru saat ini relatif besar dengan adanya rencana
pembelian kapal oleh pemerintah untuk Tol Laut sebanyak 1.574 unit dalam 5 tahun.
Sementara itu, kapal-kapal yang dioperasikan oleh perusahaan pelayaran nasional mayoritas
(±9.750 unit) telah berusia 20 tahun. Dari sisi reparasi, dengan peningkatan jumlah kapal
berbendera Indonesia sehingga saat ini tercatat setara dengan 18 juta GT, diperlukan kapasitas
reparasi sebesar 10,8 juta GT. Angka tersebut lebih tinggi dari kapasitas yang ada saat ini, yaitu
sebesar 8,5 juta GT. Akibatnya, waktu tunggu reparasi kapal menjadi panjang (±3 bulan).
Dengan potensi pasar yang ada, masih terdapat kekurangan kapasitas produksi untuk
pembuatan kapal baru sebesar 240 unit galangan kapal dengan kapasitas 1,4 juta DWT,
sedangkan untuk reparasi masih mengalami kekurangan 50 unit galangan kapal dengan
kapasitas 13 juta DWT. Untuk meningkatkan daya saing galangan kapal Indonesia, paling tidak
diperlukan pembangunan 40 galangan kapal baru yang mampu membangun kapal lebih dari
10 ribu DWT dengan kecepatan produksi 10 bulan.
Metode error correction model (ECM) digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi defisit neraca jasa Indonesia, terutama pada sektor nonmigas. Metode ECM
merupakan analisis data time series yang berdasarkan pada keyakinan bahwa terdapat
hubungan jangka panjang (kointegrasi) antarvariabel yang diestimasi. Di samping itu, atas tiap
variabel diperkirakan juga terdapat dinamika jangka pendek. Dengan metode ECM, kedua hal
tersebut dapat ditangkap.
Beberapa literatur yang dijadikan rujukan dalam penggunaan metode tersebut, antara
lain, adalah Engle dan Granger (1987), Harris (1995), dan Enders (2004). Untuk menguji ada
atau tidaknya kointegrasi, dapat digunakan beberapa metode, yaitu metode engle-granger dan
metode johansen.
Bank Indonesia mempunya dua model balance of payment (BOP), yaitu BIBOP11 dan
BIMA12. Kedua model tersebut menerapkan metodologi two steps error correction model
(ECM), tetapi dengan struktur blok yang berbeda. Model BIBOP (Bank I BOP)
dikembangkan oleh Departemen Statistik tahun 2013 dengan dasar BOP Manual 5 (BPM 5).
Model itu dikembangkan lebih lanjut untuk meng-asses blok ekspor impor dalam BOP.
Sementara itu, model BIMA (balance of payments indonesia model for assesments)
dikembangkan oleh Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter tahun 2014 dengan dasar
11
Sumber: Hidayah Dhini Ari dkk., “Model Balance of Payments”, WP/01a/2008.
12
Sumber: Tri Winarno dkk., “Balance of Payments Indonesia Model for Assessments (BIMA)”,
LHP/2/DKEM/2014.
27
BOP Manual 6 (BPM 6). Model itu dikembangkan lebih lanjut untuk meng-asses sistem yang
lebih besar.
Pada BIMA dan BIBOP, Defisit Neraca Jasa dimodelkan sebagai fungsi dari impor barang.
Model BIMA : NONFOBATPSECA = f(IMNOGOCA)
Keterangan : NONFOBATPSECA = Jasa angkutan barang nonmigas
IMNOGOCA = Nilai impor nonmigas
13
Penambahan kapal sendiri dapat dilakukan dengan mekanisme impor atau membangun melalui galangan
kapal domestik sehingga berdampak pada defisit/surplus neraca barang. Namun, dalam studi ini difokuskan
hanya pada neraca jasa.
28
Tabel 5. Model BIMA Jangka Panjang Tabel 6. Model BIMA Jangka Pendek
Dependent Variable: NONFOBATPSECA
Method: Least Squares
Date: 06/22/16 Time: 06:25
Sample: 2000Q1 2013Q4
Included observations: 56
Dalam Model BIMA jangka panjang, kenaikan jumlah kapal (TOTAL_FLEET) sebesar 1%
akan menurunkan defisit neraca transportasi sebesar 0,14% dengan signifikansi 1%.
Sebaliknya, kenaikan volume net impor sebesar 1% akan menaikkan defisit neraca transportasi
sebesar 0,09% pada signifikansi 1%,sedangkan dalam Model BIMA jangka pendek, kenaikan
jumlah kapal (TOTAL_FLEET) sebesar 1% akan menurunkan defisit neraca transportasi sebesar
0,05% dengan signifikansi 1%. Sebaliknya, kenaikan volume net impor sebesar 1% akan
menaikkan defisit neraca transportasi sebesar 0,07% pada signifikansi 1%.
Tabel 7. Model BIBOP Jangka Panjang Tabel 8. Model BIBOP Jangka Pendek
Dependent Variable: -SERV_FRT Dependent Variable: D(-SERV_FRT)
Method: Least Squares Method: Least Squares
Date: 06/22/16 Time: 06:19 Date: 06/22/16 Time: 06:12
Sample: 2000Q1 2012Q3 Sample (adjusted): 2000Q2 2012Q3
Included observations: 51 Included observations: 50 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
R-squared 0.904727 Mean dependent var 1161.593 R-squared 0.858326 Mean dependent var 23.97503
Adjusted R-squared 0.896442 S.D. dependent var 536.5098 Adjusted R-squared 0.845732 S.D. dependent var 270.9387
S.E. of regression 172.6512 Akaike info criterion 13.23332 S.E. of regression 106.4163 Akaike info criterion 12.26723
Sum squared resid 1371189. Schwarz criterion 13.42271 Sum squared resid 509599.5 Schwarz criterion 12.45844
Log likelihood -332.4496 Hannan-Quinn criter. 13.30569 Log likelihood -301.6809 Hannan-Quinn criter. 12.34005
F-statistic 109.2052 Durbin-Watson stat 1.099715 F-statistic 68.15750 Durbin-Watson stat 2.347255
Prob(F-statistic) 0.000000 Prob(F-statistic) 0.000000
Dalam model BIBOP jangka panjang, kenaikan jumlah kapal (TOTAL_FLEET) sebesar 1%
akan menurunkan defisit neraca transportasi sebesar 0,15% dengan signifikansi 1%.
Sebaliknya, kenaikan volume net impor sebesar 1% akan menaikkan defisit neraca transportasi
sebesar 0,09% pada signifikansi 1%. Sementara itu, dalam model BIBOP jangka pendek,
kenaikan jumlah kapal (TOTAL_FLEET) sebesar 1% akan menurunkan defisit neraca transportasi
sebesar 0,1% dengan signifikansi kurang dari 5%. Sebaliknya, kenaikan volume net impor
sebesar 1% akan menaikkan defisit neraca transportasi sebesar 0,07% pada signifikansi 1%.
29
Gambar 20. Hasil Simulasi Penambahan Armada Kapal
30
Tabel 9. Indeks Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan
Sub-Sektor Kapal dan Jasa Perbaikannya
Indonesia Korea
Lapangan Usaha Multiplier Tenaga
Backward Linkage Forward Linkage Backward Linkage Forward Linkage
Kerja
Pertanian 0.037 0.654 1.092 0.909 0.588
Pertambangan 0.004 0.726 1.040 0.875 0.816
Industri Pengolahan 0.015 1.075 2.917 1.306 3.485
Listrik Gas & Air Bersih 0.006 1.332 0.971 1.003 0.648
Konstruksi 0.013 1.158 0.601 1.072 0.475
PHR 0.022 0.807 0.521 0.907 0.728
Pengangkutan dan Komunikasi 0.015 1.035 0.644 0.996 0.884
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 0.006 0.776 0.958 0.726 1.203
Jasa-jasa 0.025 0.900 0.565 0.888 0.709
Kapal Dan Jasa Perbaikannya 0.012 1.537 0.690 1.319 0.464
Dari sisi keterkaitan dengan industri lain, subsektor kapal dan jasa perbaikannya
memiliki backward linkage yang besar (1,537) dan tertinggi jika dibandingkan dengan sektor-
sektor yang lain. Hal yang sama terjadi di Korea (dengan IO 2005), subsektor kapal dan jasa
perbaikannya memiliki backward linkage yang besar (1,319). Sebagai industri padat teknologi,
industri perkapalan memerlukan dukungan dari industri dasar dan menengah selaku pemasok
komponen pembangun kapal.
31
IV. SIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
4.1 Simpulan
32
b. Struktur Industri. Industri maritim adalah industri kompleks yang tidak hanya bertumpu
pada industri pelayaran sebagai operator penyedia jasa angkutan. Struktur industri
galangan domestik yang kuat juga dibutuhkan tidak hanya dalam hal penyediaan kapal
buatan Indonesia, tetapi juga dalam hal pemeliharaan. Kebijakan cabotage yang
dirancang untuk melindungi pelaku jasa pelayaran domestik hanya mewajibkan
penggunaan bendera Indonesia dan larangan bagi armada asing untuk melayari
angkutan antarpulau, tidak diikuti dengan kewajiban untuk menggunakan kapal
domesik. Permasalahan industri maritim domestik ditandai oleh rendahnya daya
dukung sektor hulu (industri galangan kapal), terbatasnya domain pasar sektor
antara (industri jasa pelayaran) dan minimnya preferensi user (industri manufaktur)
disektor hilir. Biaya pengiriman tidak lagi menjadi biaya variabel (variable cost) karena
biaya menjadi lebih murah seiring dengan banyaknya muatan, tetapi menjadi biaya
tetap (fixed cost), yaitu pihak pengirim dikenakan tidak hanya biaya kirim, tetapi juga
biaya balik kapal kosong. Dengan demikian, upaya perbaikan neraca jasa Indonesia,
tidak dapat dilepaskan dari pengembangan ekonomi daerah.
3. Pelayaran domestik sangat bergantung pada kapal impor, karena daya saing kapal buatan
dalam negeri (harga dan kualitas).
• Dengan tingkat ketergantungan impor yang tinggi (70%-80%), harga kapal buatan
dalam negeri tergantung besarnya subsidi pemerintah. Proses impor yang panjang juga
mengakibatkan pembuatan di dalam negeri relatif lebih lama. Faktor eksternal adalah
turunnya perdagangan dunia yang menyebabkan harga kapal bekas asing lebih murah.
• Perbaikan dan reparasi kapal seringkali dilakukan di galangan kapal luar negeri karena
tidak memadainya jumlah galangan kapal domestik dengan lama proses dan mutu yang
lebih rendah.
• Besarnya import-content pengadaan kapal ini juga berdampak pada defisit neraca
perdagangan nasional.
4. Hasil analisis kuantitatif:
• Gap analysis menunjukkan kekurangan galangan kapal domestik untuk memenuhi
target pemerintah.
• Model ekonometrik memperlihatkan bahwa penambahan kapal merupakan variabel
paling penting untuk menurunkan defisit neraca jasa. Pengurangan defisit terbesar
adalah apabila Indonesia memproduksi kapal sendiri dengan total pengurangan defisit
0,14%. Sebaliknya, apabila penambahan kapal dilakukan dengan mekanisme impor,
pengurangan defisit hanya sebesar 0,05%
• Analisis Input-Output mendemonstrasikan bahwa industri kapal sangat krusial dan
membawa dampak ke berbagai sektor.
33
4.2 Rekomendasi Kebijakan
Rekomendasi kebijakan, merupakan bagian besar yang menjadi latar belakang dari riset
ini. Paper ini berusaha mencari rekomendasi kebijakan yang bersifat jangka pendek (quick-wins)
dan jangka panjang, yang dapat diterapkan oleh pemerintah untuk memperbaiki defisit neraca
jasa.
Tugas utama pemerintah adalah pemberian arah yang jelas mengenai kebijakan yang
akan diambil terkait dengan kebijakan maritim. Hal itu juga termasuk tugas untuk
mengomunikasikan arah tersebut dengan jelas. Keterlibatan pihak swasta dan realisasi investasi
akan terjadi dengan sendirinya ketika pemerintah menjalankan dua hal tersebut. Akan tetapi,
dalam hal rencana kerja pengembangan sektor maritim, setiap instansi pemerintah cenderung
memiliki industri maritim memiliki rencana yang berbeda.
Tidak adanya peta kebijakan maritim nasional juga menyulitkan pemerintah daerah
untuk membuat kebijakan yang selaras. Dengan demikian, rekomendasi langkah strategis yang
mendesak untuk dilakukan adalah menentukan bagaimana peta arahan pemerintah untuk
industri maritim. Konsolidasi peta acuan ini akan menjadi pedoman untuk semua departemen
dan pemerintah daerah, seingga kebijakan akan berjalan seiring dan selaras. Lebih dari itu, hal
tersebut akan menjadi suatu dasar kepastian untuk pihak swasta dalam melakukan investasi
pengadaan kapal.
34
membawa dampak lambatnya proses perbaikan kapal. Keterlambatan ini juga diperparah
dengan lambatnya proses impor suku cadang. Dengan tingginya komponen impor pada
pembuatan kapal (±70%), keberagaman variasi kapal dan mesin turut menyumbang terhadap
lamanya pengadaan suku cadang.
Masalah pembiayaan ikut menyumbang masalah dalam pembuatan kapal di galangan
domestik serta asuransi. Oleh karena itu, satu desain kapal ini juga perlu mendapat dukungan
skema pembiayaan khusus. Seperti layaknya industri hilir lainnya, pembuatan kapal merupakan
sektor industri khusus yang membutuhkan waktu investasi yang lebih lama dengan imbal hasil
yang tidak tinggi. Dengan demikian, penyerahan pembiyaan pada mekanisme pasar tanpa ada
kebijakan otoritas di bidang keuangan dan rekayasa pembiayaan tidak akan memungkinkan
dilakukan di Indonesia. Salah satu contoh sukses rekayasa pembiayaan dan kebijakan keuangan
adalah melalui skema pembiayaan kapal Jerman, Kommanditgesellschaft atau German Limited
Partnership yang lebih sering disebut KG structure. Satu hal yang memungkinkan skema itu
terjadi adalah dengan mengubah paradigma bahwa kapal bukan merupakan properti, tetapi
berkarakteristik seperti aset. KG structure adalah struktur pembiayaan yang pemilik kapalnya
special purpose
company selama periode sewa. Perusahaan itu juga akan mengadakan negosiasi dengan bank
dan menjual saham ke masyarakat sebagai investasi yang akan mengurangi pajak penghasilan
individu. Dengan demikian, investor dan bank tidak hanya mendapat keuntungan dari investasi
pembuatan kapal, tapi juga seakan-akan menjadi pemilik kapal yang menerima bagian dalam
bentuk saham ketika kapal disewa dan dijalankan. Dengan skema itu sejak tahun 2004 Jerman
menjadi negara dengan jumlah kapal nomor keempat dunia.
Salah satu langkah strategis yang bisa direkomendasikan kepada pemerintah adalah
pembuatan satu desain yang disepakati bersama untuk setiap tipe dan berat kapal tertentu14.
Kapal tersebut diproduksi di dalam negeri dengan dukungan pendanaan perbankan dalam
negeri melalui skema pembiayaan khusus. Desain standar dan seragam akan memudahkan
pengadaan dan perbaikan. Pembuatan kapal secara massal itu akan meningkatkan skala
ekonomi industri galangan kapal domestik.
14
Langkah ini dilakukan oleh Southwest Airlines, yang memutuskan hanya menggunakan Boeing 737 untuk
semua armadanya. Menggunakan pesawat yang sama (sejuta umat), maskapai ini sanggup mengurangi
lamanya reparasi dan kemudian masuk ke posisi yang lebih kompetitif.
35
Gambar 22. Standardisasi Desain Kapal
3) Signature Commodity
Solusi untuk mengatasi empty backhaul problem adalah pengembangan ekonomi
daerah dan pemetaan komoditi strategis secara spasial untuk setiap daerah. Hanya dengan
mengurangi kesenjangan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa dan secara aktif memberi arah
terhadap komoditas strategis yang harus dikembangkan di setiap daerah akan terdapat
perbaikan struktural untuk mengatasi masalah empty backhaul. Peta kebijakan pengembangan
produk strategis di setiap daerah disertai koordinasi antardaerah dan antarkawasan ekonomi
merupakan prasyarat dasar untuk pengembangan komoditas.
36
mengenai dwell time juga dibutuhkan tidak hanya sebagai bahan evaluasi lembaga terkait,
tetapi juga merupakan indikator kegiatan perdagangan antarpulau dan antarnegara. Langkah
strategis yang bisa direkomendasikan kepada pemerintah adalah pembuatan pusat data
maritim nasional.
37
4.2.2 Kebijakan Jangka Menengah-Panjang
Defisit neraca jasa bukanlah penyebab atau causa prima dari masalah perekonomian
Indonesia. Sebaliknya, defisit neraca jasa adalah indikator lemahnya industri maritim Indonesia.
Di sisi lain, industri maritim tidak bisa berdiri sendiri. Industri maritim hanya satu sisi dari satu
keping mata uang. Sisi yang lain adalah kemajuan ekonomi daerah dan kebijakan yang
terintegrasi yang akan membuat volume perdagangan yang kuat dan ajek. Dengan demikian,
kebijakan jangka panjang untuk memperbaiki defisit neraca jasa terbagi menjadi tiga bagian
besar, yaitu sebagai berikut.
a. Kebijakan untuk memperkuat industri regional
b. Kebijakan untuk membangun infrastruktur maritime
c. Kebijakan untuk memetakan dan rekayasa arus perdagangan
38
DAFTAR PUSTAKA
Barattieri, Alessandro, 2014, Comparative advantage, service trade, and global imbalances ,
Journal of International Economics, 92 (2014) 1 13
Bloem, Martin, Coen van Dijk and Pieter van de Mheen, 2015, Indonesia Maritime Hotspot ,
Maritime by Holland, Amsterdam
BPS, 2010, Tabel Input Output Indonesia 2010 , Biro Pusat Statistik, Jakarta
Djoni Hartono. 2003, Peran Sektor Jasa Terhadap Perekonomian DKI Jakarta : Analisis Input-
Output , Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia (JEPI), IV(1):39-57.
Enders, Walter, 2004, "Applied Time Series Econometrics". Hoboken: John Wiley and Sons.
Engle, Robert F., dan C.W.J Granger, 1987, "Co-Integration and Error Correction:
Representation, Estimation, and Testing", Econometrica, 55(2):251-276.
Gurning, Saut, 2016, Maritime Industry of Tomorrow, Eksplorasi Transformasi Bisnis Maritim di
Masa Mendatang , mimeo, Surabaya
Harris, Richard, 1995, "Using cointegration analysis in econometric modelling." Prentice Hall
International Transport Forum, 2012, Transport Outlook, Seamless Transport for Greener
Growth , Paris
OECD, 2012, Indonesia - Regulatory And Competition Issues In Ports, Rail And Shipping ,
available at www.oecd.org/regreform/backgroundreports
Ronald E Miller, Peter D Blair, 2009, Input-Output Analysis, Foundations and Extensions , 2nd
edition, Cambridge University Press.
Warninda, Titi Dewi, Efficiency - Profitability Mapping of Shipping and Marine Transportation
Companies- Evidence from Indonesia , Mediterranean Journal of Social Sciences, Vol 6 No 5 S5.
Winarno, T., Ginanjar Utama, Fajar Oktiyanto. (2014). Balance of Payments Indonesia Model for
Assesments (BIMA). Bank Indonesia, LHP/2/DKEM/2014
Ari, Hidayah Dhini, Ferry Kurniawan, Oki Hermansyah, Myrnawati Savitri. (2008). Model Balance
of Payments. Bank Indonesia, Working Paper WP/01a/2008
UNCTAD, 2015, Review Of Maritime Transport , United Nations publication, New York and
Geneva
USAID, 2004, ,
Carana Corporation, United States Agency for International Development, Washington D.C.
39
LAMPIRAN 1
ERROR CORRECTION MODEL
Sebagai mana disebutkan Enders (2004), terdapat empat tahapan yang dilakukan dalam
menguji kointegrasi berdasarkan metode Engle-Granger, yang juga merupakan tahapan-
tahapan dalam mengestimasi berdasarkan Two-Step ECM. Tahapan yang dilakukan adalah
sebagai berikut:
dalam model. Persamaan jangka panjang tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
𝑦𝑡 = 𝛽 ′ 𝑥𝑡 + 𝑒𝑡 (3.1)
Di mana
𝑦𝑡 : variabel dependen
𝑥𝑡 : vektor explanatory variables
𝛽 : vektor koefisien
𝑒𝑡 : error term
Berdasarkan persamaan jangka panjang tersebut, dilakukan pengujian untuk mengetahui
apakah yt dan xt tersebut terkointegrasi. Pengujian dilakukan dengan menguji residual dari
persamaan jangka panjang tersebut. Residual tersebut menunjukkan deviasi dari hubungan
jangka panjang variabel-variabel tersebut, yang dirumuskan sebagai berikut:
𝑒̂𝑡 = 𝑦𝑡 − 𝛽̂ ′ 𝑥𝑡 (3.2)
Pengujian dilakukan dengan menggunakan Dickey-Fuller (DF) test, dengan merumuskan
persamaan autoregression dari residual tersebut sebagai berikut:
∆𝑒̂𝑡 = 𝑎𝑒̂𝑡−1 + 𝜖𝑡 (3.3)
Yang diuji adalah parameter. Jika tidak dapat menolak Ho, berarti terdapat unit root atau
tidak stasioner. Sebaliknya, jika Ho ditolak dapat disimpulkan bahwa residual tersebut
stasioner dan dapat disimpulkan bahwa dan tersebut terkointegrasi.
3. Mengestimasi Hubungan Ekuilibrium Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Pada tahap ini diestimasi ECM, berupa persamaan yang terdiri dari variabel-variabel dalam
bentuk first difference untuk menangkap adanya dinamika jangka pendek dan suatu error
correction term untuk membawa variabel-variabel tersebut tetap berada dalam ekuilibrium
40
ECM tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
Di mana
𝑦𝑡 : variabel dependen
𝑥𝑡 : explanatory variables
𝛾 : koefisien error correction
𝜇, 𝜃 : koefisien short run dynamics
𝑢𝑡 : error term
41
LAMPIRAN 2
ANALISA INPUT OUTPUT
Kuadran II mencakup dua jenis transaksi yaitu transaksi permintaan akhir dan
komponen penyediaan (supply). Adapun kuadran III berisi nilai tambah bruto (NTB) atau disebut
dengan input primer. Kuadran ini menggambarkan input atau biaya yang timbul karena
pemakaian faktor produksi yang terdiri dari upah gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tak
langsung netto. Sedangkan isian sepanjang baris menunjukkan distribusi penciptaan komponen
NTB menurut sektor.
42
Alokasi
PERMINTAAN
Output
PENYEDIAAN
Permintaan Antara
Permintaan Akhir
Industri Homogen
Susunan
1 - 185 1800 3011 3012 3020 3030 3040 3070 3090 3100 4090 5090 6090 7000 8000
Input
1
Konsumsi Pemerintah
TOTAL PERMINTAAN
Perubahan Inventori
TOTAL PENYEDIAAN
Transaksi
Permintaan Antara
3
Komoditi
Konsumsi LNPRT
TOTAL OUTPUT
4 Antara
Pengangkutan
5
(Kuadran I)
PMTB
184
185
1900 Konsumsi Antara
Pajak dikurangi subsidi
1950
atas produk
2000 Impor
Kompensasi tenaga
2010
Kuadran III
kerja
Input Primer
43
Model IO telah digunakan secara luas untuk meneliti keterkaitan antar sektor produksi
dalam suatu perekonomian. Analisis indeks keterkaitan digunakan untuk melihat keterkaitan
antar sektor dalam perekonomi.
Dalam analisis IO dapat dilihat secara umum keadaan perekonomian suatu wilayah
melalui beberapa indikator berikut:
1. Struktur Penawaran dan Permintaan
Berdasarkan pengamatan terhadap struktur permintaan dan penawaran pada setiap
sektor, dapat ditelusuri sektor yang merupakan produsen utama untuk suatu produk
tertentu.
2. Struktur Output
Dengan melakukan analisa terhadap besarnya output yang diciptakan oleh masing-masing
sektor, maka dapat diketahui sektor-sektor mana yang mampu memberikan sumbangan
yang besar dalam membentuk output secara keseluruhan di wilayah tersebut.
3. Struktur Nilai Tambah Bruto
Nilai tambah bruto adalah balas jasa terhadap faktor produksi yang tercipta karena adanya
kegiatan produksi. Besarnya nilai tambah di tiap-tiap sektor ditentukan oleh besarnya
output (nilai produksi) yang dihasilkan dan jumlah biaya yang dikeluarkan dalam proses
produksi. Oleh sebab itu, suatu sektor yang memiliki output yang besar belum tentu
memiliki nilai tambah yang juga besar, karena masih tergantung pula pada seberapa besar
biaya produksinya.
4. Struktur Permintaan Akhir
Barang dan jasa selain digunakan oleh sektor produksi dalam rangka proses produksi
(memenuhi permintaan antara) juga digunakan untuk memenuhi permintaan oleh
konsumen akhir (antara lain konsumsi rumah tangga, lnprt, dan pemerintah) biasa
dikatakan sebagai permintaan akhir. Dengan demikian, apabila jumlah masing-masing
komponen permintaan akhir tersebut dikurangi dengan jumlah impornya, maka akan sama
dengan jumlah penggunaan akhir barang dan jasa yang berasal dari faktor produksi
domestik.
5. Indeks daya penyebaran dan derajat kepekaan (backward-forward linkage effect).
Dalam analisis IO dapat diidentifikasi sektor-sektor unggulan yang memiliki keterkaitan ke
belakang (backward linkages) atau disebut juga derajat kepekaan yang tinggi dan
keterkaitan ke depan (forward linkages) atau daya sebar yang tinggi. Sektor yang
mempunyai daya penyebaran tinggi menunjukan sektor tersebut mempunyai daya dorong
yang cukup kuat dibandingkan sektor lainnya. Sedangkan sektor yang mempunyai derajat
kepekaan yang tinggi menunjukkan bahwa sektor tersebut mempunyai ketergantungan
yang tinggi terhadap sektor lain.
44
LAMPIRAN 3
Bendera dan Nama Kapal yang Melayani Angkutan Laut Indonesia
Ketiadaan data base terintegrasi nama kapal yang beroperasi di Indonesia, identifikasi bendera
kapal dalam neraca pembayaran Indonesia seringkali dilakukan secara manual berdasarkan
nama kapal. Namun metode ini sangat lemah karena pemilihan nama kapal tidak berhubungan
dengan kepemilikan dan bendera dari kapal tersebut. Berikut ini terdapat beberapa contoh
kapal dengan nama dan bendera yang berbeda.
A. Contoh kapal dengan nama Indonesia namun berbendera Asing
C. Contoh kapal dengan nama sama namun banyak bendera ( multi registry )
45
DAFTAR SINGKATAN
46
TOT : Term of Trade
UK : United Kingdom
UNCTAD : United Nations Conference on Trade and Development
US / USA : United States of America
USD : US Dollar
YOR : Yard Occupancy Rate
47