Anda di halaman 1dari 3

Bali Mula/Bali Aga, dan Tradisi Ngabain (Ngaben) di Bali .

1. Bali Asli dan Bali Mula


Manusia Bali dalam sejarah jejaknya tertua di Bali Utara jejaknya ditemukan di Cekik
Gilimanuk Negara Bali, di gali oleh tokoh R.P Soejono seorang Arkeolog ternama,
memperkirakan umur tulang belulang yang ditemukan sudah berumur sekitar 250 tahun sebelum
tahun 1 Masehi, atau sekitar 2615 tahun silam. Jejak manusia Bali ini sudah memiliki peradaban
kepercayaan melakukan pengukuran dua kali yaitu penguburan keduanya menggunakan gerabah
atau tempayan. Juga dalam penguburan kepala sukunya dutemukan diikuti oleh pengiringnya
setia, serta anjing binatang kesayangannya ketika masih hidup. Antara tempayan dengan
pelinggih roh leluhur memiliki kemiripan untuk menghormati roh leluhur yang sudah
meninggalkan keturunannya yang masih hidup. Penduduk ini dapat dikategorikan manusia asli
Bali, walaupun kemungkinannya adalah penduduk migran dari Asia Tenggara, atau dari daerah
lembah Bengawan Solo atau trinil Jawa Timur. Dalam bahasa Bali dikenal juga manusia "Mula
Bali/Bali Mula/Bali Asli". 

Penelitian Javanologi mengklaim penduduk Indonesia berasal dari pulau Jawa dengan bukti
"Pithicantropos Erectus/ Manusia Kera Berdiri Tegak", memiliki tingkat peradaban yang sama
dengan Manusia Veking (Manusia Vekinensis). Sehingga secara arkeologi dapat mengklaim
penduduk yang tersebar di kawasan Indonesia sekarang adalah berasal dari Jawa. 

Sangat berbeda dengan klaim dan pembuktian dari sarjana Belanda yang menyimpulkan bangsa
Indonesia berasal dari satu rumpun ras yang disebut dengan Bangsa Melayu Austronesia, yaitu
suku bangsa yang berasal dari daerah India Belakang (Indocina) atau daerah Teluk Bacson
Hoabin, dengan gelombang penyebarannya berlansung dua kali dikenal dengan Bangsa
Protomelayu dan Detromelayu. Penelitinya bernama Von Heine Geldern seorang ahli arkeologi
dengan menggunakan penyebaran Kapak Persegi dan Kapak Lonjong, dan benda-benda zaman
Perunggu menyimpulkan bahwa asal persebaran Bangsa Melayu Austronesia itu adalah daerah
Indocina/ Teluk Bacson Hoabin. Sedangkan Van Hekern (ahli Bahasa) melakukan penelitian
menggunakan persebaran bahasa Melayu Austronesia, seperti kata Kelapa, Talas/Keladi,
menunjukkan radus persebarannya hampir sama dengan persebaran benda arkeologi yang
disimpulkan oleh Geldern. 

Bangsa Melayu Austronesia ini telah memiliki kepercayaan pemujaan terhadap roh leluhur, serta
catur sanaknya di Indonesia. Berkembang pesat zaman Megalithicum, dengan ditemukannya
jejak penghormatan leluhur itu berupa: (1) Sarkopagus, (2) Funden Berundak, (3) Menhir, (4)
Pondusha, (5) Tahta Batu, dan kepercayaan akan "Animisme dan Dinamisme" yang telah
menjadi Agama Aslinya sejak zaman Megalithicum itu. 
Fungsi penghormatan pada leluhur, terutama kepala suku dengan keistimewaannya,
memunculkan tradisi, adat, kepercayaan terhadap "Sakti Roh dan catur Sanak" para leluhurnya
itu, sebagai "Nyaga Satru", yang dipercaya sebagai penjaga pakramannya.  Pejagaan itu (1)
penjaga Desa Pakraman berstana di Ulun Setra  di Bali diberinama "Mrajapati", (2) di
pekarangan rumah/desa bernama Anggapati, (3) di Mrajan bernama Banaspati, (4) sedangkan
sebagai penjaga bhuwana Agung dan Bhwana Alit ada dimana-mana bernama Banaspati Raja,
tentu roh sakti leluhurnya sebagai pelindung dan pemberi berkah seluruh fungsi-fungsi
itu. Koptasi terhadapsakti Roh Leluhru dan Banaspatiraja inilah fungsi "Tuhan/Ida Sahnyang
Widhi", seperti yang dikonsepkan oleh agama-agama besar yang datang kemudian ke Indonesia,
khususnya ke Bali. 

Untuk melakukan sterelisasi dari peradaban Megalithic itu, agama-agama belakangan melakukan
hegemoni, dominasi terhadap kepercayaan megalithicum itu. Agama Hindu salah satu Agama
yang paling adaptif terhadap sistem religi itu, walaupun tiga kali mengalami kontruksi Agama di
Bali dengan konsep perpaduan yaitu zaman Rsi Markandeya (Ajarannya ke Bali) abad ke-8
memadukan menjadi Rwabhineda; Zaman Kuturan abad ke-11 melakukan lequidasi sekta-sekta
yang ada zaman Prabu Udayana dan Permaisuri Mahendradatta menjadi Sekta Trimurti, dan
sekitar abad ke-16 Danhyang Nirartha dengan konsep panunggalannya (Ciwa-Sada Ciwa,
Parama Ciwa) dengan dukungan konsep Dewa Nagawa Sanganya,  dikenal dengan Ciwa
Sidhanta sebagai reaksi dari Islamisme di Bali dan Jatim asal Beliau. Pergulatan tiga ideologi
besar itulah yang tersisa dalam agama dan ritual di Bali sampai era globalisasi ini. 

Jadi Bali Asli dan Bali Mula itu adalah memiliki konotasi asli Bali dan Mula dari Bali, yang
memiliki sistem religi yang telah dimiliki oleh Bangsa Melayu Asutronesia itu sebagai "Agama
Mereka". 

2. Bali Aga/Bali Pegunungan


Orang Bali Aga/Bali Pegunungan merupakan migran dari Jawa Timur dari Gunung Raung yang
mengiringi Rsi  Markandeya ke Bali, dengan memancangkan Pancadatu (Representasi Catur
Sanak dan Bapa Akasa-Ibu Pertiwi), karena kegagalan kedatangan Markandeya ke Bali pertama
pada abad ke-8 itu. karena tidak mengikuti adat Bali dengan sistem religi yang sudah ada sejak
zaman Megalithicum itu. Sistem religi asli ini di Bali sampai sekarang disebut "Adat Bali", yang
dijadikan dasar seharusnya untuk membedakan mana Agama Hindu dari sistem religki India dan
mana lokal genius. 

Bebantenan di Bali dapat dikatakan (diasumsikan) sebagian besar berasal dari sistem religi
megalithicum itu, seperti percaya pada batu Besar tenget, batu akik bertuah, batu mulai bertuah,
pohon besar dan pohon tertentu bertuah/ tenget, binatang tertentu tenget, dan adanya manusia
sakti (kita sebut Black Megic/Liak). Secara hegemonik dikatakan Black (Hitam), karena berelasi
dengan White (Putih)  sebagai perwujudan kehendak mematikan sistem religi lama diganti
dengan "barang import" yang diasumsikan lebih baik dan baru, diwujudkan dengan pencitraan
dan pemaknaan Baru. Ada relasi kuasa di baliknya kalau menggunakan pikiran M. Foucault.  

Dasar sektarian di Bali masih sangat tampak dalam tradisi ngaben di Bali, seperti misalnya sekta
waisnawa yang pernah hidup subur zaman Rsi Markandeya, setelah zaman Kuturan dengan
adanya penggabungan menjadi Agama Sekta Trimurti, tidak secara serta merta semuanya dapat
ditrimurtikan, karena masih banyak tradisi di Desa Bali Aga (dalam pemahaman Aga sama
dengan manusia Aga dari Gunung Raung), bukan senua Bai Aga di Bali ada di pegunungan,
seperti misalnya Julah, Pacung, Sambirenteng ada di pantai, tetapi memiliki tradisi Bali Aga,
yaitu perpaduan lokal genius Bali dengan ajaran Hindu yang di bawa ke Bali oleh Rsi
Markandeya dengan pengikutnya Wong Aga itu. banyak yang memaknai Bali Aga adalah
semuanya orang Bali yang ada di Pegunungan, dan terbelakang, terasing dan sebagainya. Salah
kaprah ini sebagai konsekuiensi diskreditisasi Wong Bali Aga oleh Wong Mojopahit setelah
menguatnya sektar Ciwa Sidhanta di Bali. Ngabennya pun hanya berciri dan bermakna air, api,
dan angin sebagai simbolisasi Brahma-Wisnu dan Ciwa (Agama Sekta Trimurti) sebagai agama
yang telah dipolitikisasi dalam hasil Pertemuan di Samuan Tiga Gianyar. 

Anda mungkin juga menyukai