SAMARAKANDY
Aisa Nur Sasmita
Email: aisasasmita@gmail.com
Kata Nusantara akan kurang tepat apabila dipahami atau dihukumi sebagai struktur
na’at man’ut (penyifatan) yang akan menghasilkan makna “Islam yang dinusantarakan”,
tetapi akan lebih tepat apabila diletakkan dalam struktur idhofah (penunjukan tempat) yang
menghasilkan makna “Islam di Nusantara” (Gus Mus dalam Muttaqin, 2019).
Islam Nusantara sendiri mengacu pada wilayah Asia Tenggara yang meliputi
Indonesia, Malaysia, Brunei, Pattani, dan Mindanau (Muttaqin, 2019). Khususnya Indonesia,
yang sering disebut-sebut sebagai negara dengan mayoritas penduduk memeluk agama Islam
meskipun termasuk negara plural dan memiliki budaya, adat istiadat, serta kebiasaaan nenek
moyang yang sudah mengakar, sehingga sukar untuk dipindahkan kepada doktrin lainnya.
Namun di sini, Islam Nusantara bukan memiliki maksud menggeser Agama Islam dengan
mengotak-atik doktrin agama sehingga melahirkan agama baru, tapi Islam Nusantara adalah
Islam yang masuk dalam wilayah Nusantara dan diperkenalkan secara masif kepada
masyarakat setelah berdirinya kerajaan-kerajaan di Nusantara dan didukung oleh adanya para
dai yaitu Walisongo. Jadi, Islam nusantara dapat dikatakan sebagai produk dari proses
dakwah yang memiliki tujuan merealisasikan Islam santun, ramah, tidak memaksa dan
bersinergi dengan tradisi-budaya (Lufaefi, 2018).
Berpedoman pada prinsip dakwah al-muhafazah ‘alal qadimish shalih wal akhdu bil
jadilil ashlah, yaitu memelihara khazanah masa lalu yang baik serta mengangkat
perkembangan terbaru yang lebih baik, unsur-unsur adat dan budaya pada masyarakat yang
sudah ada sebelum Islam masuk ke Nusantara yang dianggap sesuai dengan sendi-sendi
tauhid diasimilasikan ke dalam dakwah para ulama’ Islam. Pelaksanaan dakwah dengan cara
tersebut memang memerlukan waktu yang lama, akan tetapi berlangsung secara damai
(Sunyoto, 2012).
Seperti halnya Islamisasi yang terjadi di Kota Gresik, sejarah mencatat bahwa
penyebaran Islam di kota tersebut mulai diterima oleh masyarakat sejak abad ke-14 Masehi
melalui saudagar Timur sekaligus ulama’ yang datang ke pelabuhan Gresik (Dukut, dkk.,
2004). Salah satu ulama’ yang mendatangi kota Gresik adalah Syeikh Maulana Malik
Ibrahim dengan nama lain Tuan Maulana Maghribi atau Makdum Ibrahim as-Samarakandy.
Beliau termasuk anggota Walisongo yang berdakwah di Jawa pada priode pertama.
Syeikh Maulana Malik Ibrahim atau yang kerap kali disebut sebagai Mbah Bantal
memperlihatkan kemahiran, kebijaksanaan, kejujuran, dan keramahan dalam dunia
perdagangan sehingga menarik perhatian masyarakat lalu menjadikan beliau sebagai panutan
di lingkungan tersebut oleh masyarakat. Dengan kepiawaian beliau dalam dunia perdagangan
tersebut, akhirnya Raja Majapahit Brawijaya mulai tertarik untuk menjadikan beliau kepala
pelabuhan. Dari jabatan yang beliau emban, Syeikh Maulana Malik Ibrahim mulai dikenal
secara luas oleh kalangan masyarakat setempat, sehingga dapat menyebarluaskan ajaran
Agama Islam dengan lebih mudah (Dukut dkk., 2004).
Setelah sukses di dunia perdagangan, beliau berkelana menuju kota Gresik tepatnya di
Desa Sawo dan mendirikan surau sekaligus pesantren (el-Firdausy dkk., 2019). Di sanalah
dakwah melalui bidang akademik bermula. Syeikh Maulana Malik Ibrahim mengajarkan
ajaran Agama Islam kepada masyarakat di Desa Sawo secara perlahan.
Salah satu penerus Syeikh Makdum Ibrahim as-Samarakandy adalah Raden Satmata
Maulana Muhammad Ainul Yaqin Azmatkhan atau biasa disebut dengan Sunan Giri, yang
mendirikan Pesantren Giri (Falakhuddin, 2017). Pada saat itulah, ajaran Agama Islam lebih
tersebarluaskan, sehingga hal tersebut menjadi acuan para Walisongo untuk metode
dakwahnya. Di mulai dari pesantren lah, praktek dakwah mulai berjalan dengan tenang dan
nyaman, serta ilmu ketauhidan atau ketasawufan dan sebagainya mulai diimplementasikan di
sini. Bahkan pesantren juga mampu melahirkan generasi yang sangat bisa diandalkan dalam
penyebaran Ajaran Islam pada masyarakat luas.
”… bahwa pada permulaannya islam pesantren masih kuat dipengaruhi oleh unsur
mistik Jawa dan nilai-nilai agama pra islam. Baru kira-kira permulaan abad XIX M
pendidikan pesantren mampu melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh yang bersifat mistis
dan animistis yang bersumber pada tradisi pra islam.” (Soebardi, 1978).
Setelah mengamati metode dakwah yang dibawakan oleh Syeikh Makdum Ibrahim
as-Samarakandy tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Syeikh Maulana Malik
Ibrahim mengimplementasikan ajaran Agama Islam dengan membaca lingkungan, kebiasaan,
budaya masyarakat, serta masyarakatnya. Setelah itu, beliau baru akan menonjolkan sikap-
sikap yang dimiliki seorang muslim di kehidupan sehari-harinya. Setelah masyarakat mulai
dekat dengan beliau, dan merasa terenyuh, maka perlahan masyarakat dikenalkan dengan
Allah dan diajarkan berbagai pelajaran Agama Islam.