Anda di halaman 1dari 161

Buku Ajar

TATA RUANG
DAN
PERENCANAAN WILAYAH
Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan

i
ii Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan iii

Buku Ajar

TATA RUANG
DAN
PERENCANAAN WILAYAH
Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan

SUTARYONO
RAKHMAT RIYADI
SUSILO WIDIYANTORO

STPN Press
Bekerja sama dengan
Program Studi DIV STPN, 2020
iv Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Tata Ruang Dan Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan


©Sutaryono, Rakhmat Riyadi, dan Susilo Widiyantoro

Penulis: Sutaryono, Rakhmat Riyadi, dan Susilo Widiyantoro


Penyunting: Tim Prodi DIV STPN
Layout dan Sampul: Widiyantoro dan Wawan

Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia


oleh STPN Press, November 2020
Gedung Administrasi Akademik LT II
Jl. Tata Bumi No. 5 Banyuraden, Gamping, Sleman, Yogyakarta, 55293
Tlp. (0274) 587239, ext: 351
Faxs: (0274) 587138
Website. www.pppm.stpn.ac.id
E-mail: stpn_press@stpn.ac.id

Bekerja sama dengan

Program Studi DIV Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional


Gedung Pengajaran Lantai I,
Jalan Tata Bumi nomor 5, Banyuraden, Gamping, Sleman,Yogyakarta 55293
Telp: 0274-587239,
website: http://prodi4.stpn.ac.id/

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Tata Ruang Dan Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan
STPN Press, 2020
xvi + 145 hlm.: 15,5 x 23 cm
ISBN: 978-602-7894-25-9

Buku Ajar ini


tidak diperjualbelikan
Hanya untuk kalangan sendiri
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan v

KATA PENGANTAR

Terintegrasinya urusan tata ruang dan pertanahan ke dalam


Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
adalah suatu keniscayaan untuk menjawab kebutuhan pengelolaan
pertanahan dan tata ruang dalam paradigma land management. Hal ini
memberikan implikasi pada pengambilan kebijakan pertanahan yang
harus memperhatikan bahkan berlandaskan pada produk tata ruang.
Pemanfaatan produk tata ruang sebagai pertimbangan dalam
pengambilan kebijakan pertanahan merupakan amanah Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria. Regulasi tersebut menyebutkan bahwa dalam rangka mencapai
sebesar-besar kemakmuran rakyat maka Negara berhak untuk: (1)
membuat suatu rencana umum yang mengatur mengenai persediaan,
peruntukan, dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; dan (2) mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan
ruang angkasa melalui mekanisme pendaftaran tanah.
Beraneka ragam produk tata ruang, baik pada level pemerintah
pusat, provinsi maupun kabupaten/kota baik dalam bentuk peraturan
pemerintah, peraturan presidan ataupun peraturan daerah provinsi dan
kabupaten/kota menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan
pertanahan, seperti: (a) pemberian hak atas tanah; (b) pertimbangan
teknis dalam rangka pemberian/penolakan izin lokasi; (c)
pertimbangan teknis dalam rangka perubahan penggunaan tanah; (d)
pertimbangan teknis dalam penetapan lokasi; (e) rekomendasi
penguasaan atas tanah timbul; dan (f) pertimbangan dalam
penyusunan dokumen perencaan pengadaan tanah. Dalam konteks
tersebut, maka akan terdapat kegiatan-kegiatan yang dinyatakan boleh
vi Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

atau tidak boleh dan bisa atau tidak bisa untuk diselenggarakan di
suatu wilayah.
Buku ini disusun untuk menjadi buku ajar sekaligus buku
pegangan wajib bagi dosen dan mahasiswa yang mengambil Mata
Kuliah Tata Ruang dan Perencanaan Wilayah pada Program Studi D-IV
Pertanahan, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN). Buku juga
dapat digunakan sebagai bahan ajar untuk mata kuliah-mata kuliah
terkait dengan penataan ruang dan pertanahan, baik di lingkungan
STPN maupun pada perguruan tinggi lainnya.
Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan
terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para
pihak yang telah berkenan memberikan dukungan dan fasilitasi dalam
penerbitan buku ini. Secara khusus ucapan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Senthot Sudirman, M.S., Ketua Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional, yang telah memberikan kesempatan kepada
tim penulis untuk mengembangkan dan mengabdikan ilmunya
dalam situasi kampus yang aman, nyaman dan adhem ayem;
2. Pengelola Program Studi D-IV Pertanahan, yang telah menetapkan
Tata Ruang dan Perencanaan Wilayah sebagai salah satu mata
kuliah wajib di semester IV;
3. Penerbit STPN Press, yang telah memberikan fasilitasi dalam
penyusunan buku ajar ini;
4. Para kolega yang telah berkenan membuka ruang interaksi dan
diskusi konstruktif, sehingga memperkaya pemahaman dan
wawasan penulis sekaligus mewarnai materi buku ajar ini;
5. Para Taruna Program Studi D-IV Pertanahan, atas interaksi aktif
dan diskusi yang hangat sehingga memperkaya materi dalam
penyusunan buku;
6. Semua pihak yang telah berkontribusi hingga terwujudnya buku
ini.
Penulis menyadari bahwa kesempurnaan adaalah tujuan, namun
demikian realitas menunjukkan hal yang berbeda, termasuk dalam
penulisan buku ajar ini. Oleh karena itu segala bentuk saran, kritik dan
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan vii

masukan yang bersifat membangun kami terima dengan tangan


terbuka untuk perbaikan pada penulisan buku selanjutnya. Semoga
buku ajar ini bermanfaat bagi para dosen, mahasiswa dan praktisi yang
sedang mendalami materi penataan ruang yang terkait dengan
kebijakan pertanahan, dan secara lebih khusus bermanfaat bagi para
mahasiswa yang sedang menempuh mata kuliah Tata Ruang dan
Perencanaan Wilayah.

Yogyakarta, Juli 2020

Tim Penulis
viii Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

SAMBUTAN
KETUA SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL

Mata Kuliah Tata Ruang dan Perencanaan Wilayah merupakan


mata kuliah keilmuan, keterampilan, dan praktik, sehingga membekali
taruna/i setelah lulus pada mata kuliah ini dapat: (1) menjelaskan
konsep perencanaan wilayah, prinsip-prinsip pewilayahan, dan
pentingnya penataan ruang dalam pengembangan wilayah; (2) meng-
identifikasi problematika perkembangan wilayah; (3) menganalisis
produk-produk penataan ruang dalam rangka penyelesaian konflik;
dan (4) memanfaatkan produk penataan ruang dalam pelayanan per-
tanahan dalam rangka mengantisipasi terjadinya konflik.
Pada prinsipnya buku ajar ini menjelaskan tentang Implementasi
Produk-Produk Tata Ruang dan Perencanaan Wilayah Dalam
Pengambilan Kebijakan Pertanahan. Saya selaku Ketua Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional mengapresiasi terbitnya buku ajar ini yang ditulis
oleh Saudara Sutaryono, Rakhmat Riyadi, dan Susilo Widiyantoro.
Semoga buku ajar ini memberi kemudahan bagi para taruna/i untuk
mempelajarinya. Namun tidak tertutup kemungkinan buku ajar ini
bermanfaat untuk khalayak umum.

Yogyakarta, 28 Oktober 2020


Dr. Senthot Sudirman, M.S.
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan ix

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v
SAMBUTAN KETUA STPN viii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR SINGKATAN xiv
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Deskripsi Mata Kuliah 1
1.2. Prasyarat Mata Kuliah 2
1.3. Rencana Pembelajaran 2
1.4. Petunjuk Penggunaan Buku Ajar Bagi Mahasiswa 3
dan Dosen
1.5. Capaian Pembelajaran 4
1.6. Bentuk Evaluasi/Umpan Balik Aktivitas Belajar 5
Mahasiswa
BAB II PERENCANAAN WILAYAH DAN PENATAAN RUANG 7
2.1. Perencanaan Wilayah 7
2.2. Prinsip-Prinsip Perencanaan Wilayah 9
2.3. Penyelenggaraan Penataan Ruang 17
2.4. Tugas 21
2.5. Pustaka
BAB III PERKEMBANGAN WILAYAH 23
3.1. Dinamika Perkembangan Wilayah 23
3.2. Problematika Dalam Perkembangan Wilayah 28
3.3. Kebijakan Pertanahan Untuk Mengatasi Permasalahan 34
Perkembangan Wilayah
3.4. Tugas 52
3.5. Pustaka 53
BAB IV PRODUK-PRODUK PENATAAN RUANG 54
4.1. Perencanaan Tata Ruang 55
4.2. Pemanfaatan Ruang 72
4.3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang 74
4.3.1. Pencegahan pelanggaran tata ruang 80
4.3.2 Penertiban pelanggaran tata ruang 83
4.4. Tugas 89
4.5. Pustaka 90
BAB V PEMANFAATAN PRODUK-PRODUK PENATAAN 92
RUANG
x Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

5.1. Pemanfaatan Produk Penataan Ruang Dalam 94


Pemberian Hak Atas Tanah
5.2. Pemanfaatan Produk Penataan Ruang Dalam 103
Perizinan Pertanahan
5.3. Pemanfaatan Produk Penataan Ruang Dalam 106
Pertimbangan Teknis Pertanahan
5.4. Pemanfaatan Produk Penataan Ruang Dalam 110
Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan
5.5. Pemanfaatan Produk Penataan Ruang Dalam 116
Penghentian Pemberian Izin Baru
5.5.1. Zonasi Penataan Ruang vs Zonasi PIPPIB 118
5.5.2. Dampak Penerapan PIPPIB 121
5.6. Pemanfaatan Produk Penataan Ruang Dalam 125
Pengendalian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
5.7. Tugas 133
5.8. Pustaka 134
BAB VI PENUTUP 138
INDEKS 142
TENTANG PENULIS 144
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Capaian Pembelajaran Lulusan Mata Kuliah Tata Ruang 4


dan Perencanaan Wilayah
Tabel 2. Capaian Pembelajaran Mata Kuliah Tata Ruang 5
dan Perencanaan Wilayah
Tabel 3. Wilayah-wilayah Prioritas Pelaksanaan Konsolidasi 40
Tanah
Tabel 4. Susunan Tim Koordinasi Konsolidasi Tanah 51
Tabel 5. Sifat Dan Perangkat Pengendalian Pembangunan 79
Tabel 6. Pemberian Insentif dan Disinsentif Dalam Bentuk 83
Kebijakan Non Fiskal
Tabel 7. Bentuk Sanksi Administratif dan Sanksi Pidana 84
Tabel 8. Tipologi dan Unsur Pelanggaran Pemanfaatan Ruang 88
Tabel 9. Dampak Terbitnya PIPPIB 124
Tabel 10. Persyaratan Penetapan Kawasan, Lahan, dan Lahan 127
Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Tabel 11. Perbedaan Pengaturan Luasan Lahan Pertanian Pangan 130
Berkelanjutan
Tabel 12. Alokasi Luasan LP2B Di Kota Bandung 133
xii Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. The Land Management Paradigm 9


Gambar 2. Skema penyelenggaraan penataan ruang 21
Gambar 3. Skema proses dinamika wilayah 24
Gambar 4. Perkembangan lahan terbangun yang terjadi di wilayah 26
Provinsi DIY pada tahun 1990 (kiri) dan tahun
2006 (kanan)
Gambar 5. Peningkatan kualitas lingkungan pasca konsolidasi 38
tanah
Gambar 6. Pertambahan nilai bidang tanah yang menjadi objek 38
konsolidasi tanah
Gambar 7. Penataan bidang tanah berbasiskan STUP dari para 39
pemilik tanah
Gambar 8. Kondisi pra dan pasca konsolidasi tanah di Painan Utara 42
dan Painan Timur
Gambar 9. Skema pelaksanaan penataan ruang 54
Gambar 10. Skema produk rencana tata ruang 55
Gambar 11. Hierarki rencana tata ruang 57
Gambar 12. Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah DIY 59
Gambar 13. Peta Rencana Pola Ruang Wilayah DIY 60
Gambar 14. Peta Rencana Kawasan Strategis Wilayah DIY 61
Gambar 15. Muatan rencana tata ruang berdasarkan 62
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
Gambar 16. Peta rencana jaringan pergerakan Kota Bandung 64
Gambar 17. Peta rencana pola ruang Kota Bandung 65
Gambar 18. Peta rencana pola ruang SWK Bojonegara 67
Gambar 19. Hal-hal yang diatur dalam ketentuan pemanfaatan 68
ruang
Gambar 20. Tabel ITBX pada RDTR Kota Bandung 69
Gambar 21. Ilustrasi (a) KDB dan (b) GSB 70
Gambar 22. Tata cara penyusunan RDTR 72
Gambar 23. Pengendalian dalam pelaksanaan penyelenggaraan 78
penataan ruang
Gambar 24. Instrumen pengendalian pemanfaatan ruang 80
Gambar 25. Contoh produk peta hasil analisis overlay antara kondisi 87
eksisting dan data rencana tata ruang
Gambar 26. Skema hubungan produk tata ruang dengan 93
pembangunan
Gambar 27. Skema pemberian Hak Atas Tanah 94
Gambar 28. Analisis bidang tanah terhadap RTRW yang dituangkan 95
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan xiii

dalam bentuk Peta Analisis Penatagunaan Tanah


dan digunakan sebagai syarat dalam permohonan
pemberian Hak Milik
Gambar 29. Perbedaan batas terluar Danau Limboto antara Peta 98
Dasar Teknik 1994/1995 dan Peta KSP Danau Limboto
sesuai Perda Provinsi Gorontalo Nomor 9/2017
Gambar 30. Skema cara perolehan tanah oleh pelaku usaha swasta 104
Gambar 31. Prosedur penerbitan izin lokasi berdasarkan komitmen 108
Gambar 32. Analisis terhadap RTRW menjadi salah satu komponen 110
pertimbangan dalam penerbitan pertimbangan teknis
pertanahan dalam rangka izin perubahan penggunaan
dan pemanfaatan tanah
Gambar 33. Rangkaian kegiatan pengadaan tanah untuk 112
kepentingan umum yang meliputi empat tahapan utama
Gambar 34. Analisis lokasi pembangunan Bendung Bulango Ulu 113
terhadap Pola Ruang Kabupaten Bone Bolango
Provinsi Gorontalo
Gambar 35. Deforestasi hutan akibat alih fungsi hutan primer 116
menjadi perkebunan sawit
Gambar 36. PIPPIB di wilayah Indragiri Hulu Provinsi Riau 117
dan sekitarnya
Gambar 37. Peta kesesuaian antara PIPPIB dan pola ruang di 120
Provinsi Riau
Gambar 38. Peta sebaran lahan baku sawah nasional tahun 2019 129
Gambar 39. Peta sebaran potensi LP2B di Kota Solok 132
Gambar 40. Sebaran lokasi LP2B yang tergambarkan di Peta 133
Rencana Pola Ruang SWK Ujungberung
Gambar 41. Artikel di Harian Kompas tentang problematika 139
integrasi agraria dan tata ruang
Gambar 42. Artikel di Harian Kedaulatan Rakyat tentang 139
(a) dilema pengaturan ruang antara Tata Ruang vs Tata
Uang dan (b) tanah sebagai sebuah ruang komersial
Gambar 43. Artikel di Harian Kedaulatan Rakyat tentang 140
(a) keberlanjutan lingkungan melalui tata guna tanah
dan (b) tanah sebagai sebuah ruang komersial
Gambar 44. Artikel di Harian Kedaulatan Rakyat tentang (a) urgensi140
pengarusutamaan tata ruang di wilayah DIY dan (b) kebutuhan
penataan ruang berbasis bencana di wilayah DIY
Gambar 45. Artikel di Harian Kedaulatan Rakyat tentang (a) urgensi 141
pengendalian pemanfaatan ruang dan (b) momentum Hari
Tata Ruang Nasional untuk percepatan penyusunan RDTR
xiv Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

DAFTAR SINGKATAN

AMDAL : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan


ANDALIN : Analisis Dampak Lalu Lintas
APL : Area Penggunaan Lain
ATR : Agraria dan Tata Ruang
BAPPENAS : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BIG : Badan Informasi Geospasial
BPHTB : Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
BPN : Badan Pertanahan Nasional
BPPT : Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
BPS : Badan Pusat Statistik
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
BUMD : Badan Usaha Milik Daerah
BWP : Bagian Wilayah Perencananaan
CPL : Capaian Pembelajaran Lulusan
CPMK : Capaian Pembelajaran Mata Kuliah
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
GSB : Garis Sempadan Bangunan
HGB : Hak Guna Bangunan
HGU : Hak Guna Usaha
HM : Hak Milik
HMSRS : Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
HP : Hak Pakai
HPL : Hak Pengelolaan
Inpres : Instruksi Presiden
JBB : Jarak Bebas Belakang
JBS : Jarak Bebas Samping
KDB : Koefisien Dasar Bangunan
KDH : Koefisien Dasar Hijau
KKOP : Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan
KKP : Komputerisasi Kantor Pertanahan
KLB : Koefisien Lantai Bangunan
KLHK : Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
KSN : Kawasan Strategis Nasional
KSP : Kawasan Strategis Provinsi
KTB : Koefisien Tapak Basement
KWT : Koefisien Wilayah Terbangun
LAPAN : Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia
NPP : Nilai Perbandingan Proporsional
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan xv

NSPK : Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria


OPD : Organisasi Perangkat Daerah
OSS : Online Single Submission
Pemda : Pemerintah Daerah
Perda : Peraturan Daerah
Permen : Peraturan Menteri
PIPPIB : Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru
PKN : Pusat Kegiatan Nasional
PLP2B : Pengendalian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
PP : Peraturan Pemerintah
PPNS : Penyidik Pegawai Negeri Sipil
PSU : Prasarana, Sarana, dan Utilitias
PTSL : Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
PUPR : Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
PZ : Peraturan Zonasi
Raperda : Rancangan Peraturan Daerah
RDTR : Rencana Detail Tata Ruang
Renstra : Rencana Strategis
RPJM : Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RPJP : Rencana Pembangunan Jangka Panjang
RPJPD : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
RPS : Rencana Pembelajaran Semester
RTBL : Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
RTH : Ruang Terbuka Hijau
RTR : Rencana Tata Ruang
RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah
SE : Surat Edaran
SK : Surat Keputusan
SNI : Standar Nasional Indonesia
SNPT : Standar Nasional Pendidikan Tinggi
STUP : Sumbangan Tanah Untuk Pembangunan
SWK : Sub Wilayah Kota
TB : Ketinggian Bangunan
TP : Tanah untuk Pembangunan
TPZ : Teknik Pengaturan Zonasi
TUB : Tanah Usaha Bersama
UAS : Ujian Akhir Semester
UKL : Upaya Pengelolaan Lingkungan
UPL : Upaya Pemantauan Lingkungan
UTS : Ujian Tengah Semester
UU : Undang-Undang
UUPA : Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
xvi Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Agraria
Wasmatlirik: Pengawasan, pengamatan, penelitian, dan pemeriksaan
WNI : Warga Negara Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Deskripsi Mata Kuliah


Mata Kuliah Tata Ruang dan Perencanaan Wilayah merupakan
satu mata kuliah wajib pada Program Studi Diploma IV Pertanahan
pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. Mata kuliah ini diorien-
tasikan untuk memberikan bekal kepada peserta didik berkenaan
dengan pengetahuan tentang penataan ruang dan perencanaan wilayah
berikut keterampilan dalam pemanfaatan produk-produk penataan
ruang untuk kebijakan pertanahan.
Secara substansial, materi utama yang dipaparkan adalah konsepsi
tentang penataan ruang, pembangunan wilayah, produk-produk pena-
taan ruang serta pemanfaatan produk-produk penataan ruang dalam
kebijakan pertanahan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan kebijakan
pertanahan adalah berbagai kebijakan dan/atau pelayanan di bidang
pertanahan seperti pemberian hak atas tanah, perijinan pertanahan,
pertimbangan teknis pertanahan dan penetapan lokasi dalam penga-
daan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum.
Metode pembelajaran yang digunakan untuk mencapai tujuan di
atas terdiri dari 3 (tiga) metode, yakni: (1) discovery learning. Pembela-
jaran model discovery learning ini mendorong peserta didik untuk
mampu terlibat di dalam proses pembelajaran secara aktif sehingga
mampu menemukenali berbagai permasalahan serta mampu membe-
rikan alternatif pemecahan masalah; (2) contextual learning and case
based. Pembelajaran dengan model ini merupakan pembelajaran yang
memungkinkan peserta didik mampu memperkuat dan memperluas
serta menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya
dalam berbagai lingkungan, baik di dalam kelas maupun di luar kelas
dalam rangka menyelesaikan berbagai permasalahan; dan (3) collabora-
1
2 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

tive learning. Pembelajaran dengan metode collaborative learning men-


dorong peserta didik untuk mampu belajar secara berkelompok yang
melibatkan banyak pihak untuk bertukar gagasan, berbagi pengalaman
dan saling bekerja sama untuk menyelesaikan suatu permasalahan atau
suatu pekerjaan.

1.2. Prasyarat Mata Kuliah


Secara normatif mata kuliah ini tidak mempersyaratkan adanya
mata kuliah-mata kuliah prasyarat. Namun demikian, agar mampu me-
ngikuti mata kuliah ini sekaligus memperoleh capaian pembelajaran
yang ditetapkan maka untuk mengambil mata kuliah ini peserta didik
diharapkan sudah atau sedang mengambil mata kuliah manajemen
pertanahan, pendaftaran tanah, perencanaan pembangunan pertana-
han dan sistem informasi geografis.
Pengetahuan dan keterampilan pada beberapa mata kuliah di atas
menjadi bagian penting dalam mengembangkan kemampuan analisis
terhadap produk-produk penataan ruang pada berbagai aras pelak-
sanaan penataan ruang, yakni aras perencanaan, pemanfaatan dan pe-
ngendalian pemanfaatan ruang. Hasil analisis terhadap produk-produk
penataan ruang tersebut pada akhirnya dimanfaatkan untuk peng-
ambilan kebijakan pertanahan.

1.3. Rencana Pembelajaran


Rencana pembelajaran mata kuliah ini mengikuti Rencana
Pembelajaran Semester (RPS) yang sudah ditetapkan. Dalam RPS telah
disebutkan bahwa materi pokok mata kuliah ini terbagi menjadi 4
(empat). Materi I (Perencanaan Wilayah dan Penataan Ruang) dan
Materi II (Perkembangan Wilayah) disampaikan pada tengah semester
pertama, yakni pada pertemuan 1 – 7. Materi III (Produk-Produk
Penataan Ruang) dan Materi IV (Pemanfaatan Produk-Produk Pena-
taan Ruang) diajarkan pada tengah semester kedua, yakni pada perte-
muan 9 - 15.
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 3

Pertemuan pada tengah semester pertama diakhiri dengan perte-


muan ke-8 dalam bentuk ujian tengah semester (UTS) dan pada tengah
semester kedua diakhiri dengan pertemuan ke-16 dalam bentuk ujian
akhir semester (UAS). UTS dan UAS ini merupakan bagian dari eva-
luasi pembelajaran, yang melengkapi evaluasi pembelajaran yang dila-
kukan pada setiap pertemuan, baik dalam bentuk tanya jawab, diskusi,
kuis atau tugas lainnya.

1.4. Petunjuk Penggunaan Buku Ajar Bagi Mahasiswa dan Dosen


Buku ajar ini merupakan buku pegangan wajib bagi mahasiswa
yang mengambil Mata Kuliah Tata Ruang dan Perencanaan Wilayah.
Untuk mempermudah dalam mempelajari buku ajar ini, beberapa hal
penting harus dilakukan oleh mahasiswa adalah: (a) mengakses dan
mempelajari Rencana Pembelajaran Semester (RPS) yang telah ditetap-
kan; (b) mencermati Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK) Tata
Ruang dan Perencanaan Wilayah; (c) membaca dan mendalami setiap
materi secara sekuensial sebagaimana dalam RPS; (d) mengakses dan
mempelajari referensi lain untuk memperkaya referensi pada setiap
materi sebagaimana tertulis dalam RPS; (e) mengerjakan tugas sebagai-
mana telah ditetapkan dalam RPS atau yang diberikan oleh Dosen pada
setiap pertemuan; dan (f) memberikan umpan balik untuk perbaikan
materi pada buku ajar ini.
Di sisi lain, buku ajar ini merupakan salah satu pegangan bagi
Dosen Pengampu Mata Kuliah Tata Ruang dan Perencanaan Wilayah
di samping referensi lain sesuai dengan kebutuhan dan relevan dengan
materi pokok yang diajarkan. Untuk mewujudkan tujuan penulisan
buku ajar ini, maka beberapa hal penting perlu dilakukan oleh dosen
pengampu Mata Kuliah Tata Ruang dan Perencanaan Wilayah, yakni:
(a) menyampaikan materi pendahuluan pada pertemuan pertama dan
diikuti dengan penjelasan RPS mata kuliah; (b) menyampaikan materi
secara sekuensial berdasarkan buku ajar ini ditambah referensi lain
yang relevan; (c) melakukan evaluasi pada setiap pertemuan berdasar-
kan materi yang disampaikan; (d) memberikan ruang diskusi, kuis atau
4 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

tugas lain sebagai media evaluasi sekaligus untuk mendapatkan umpan


balik dari mahasiswa; dan (e) menyempurnakan materi buku ajar ini
berdasarkan evaluasi dan umpan balik dari mahasiswa sebagai peserta
didik.

1.5. Capaian Pembelajaran


Capaian pembelajaran mata kuliah ini diturunkan dari capaian
pembelajaran lulusan yang disusun berdasarkan standar kompetensi
lulusan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendi-
dikan Tinggi (SNPT). Dalam hal ini standar kompetensi lulusan
merupakan kriteria minimal tentang kualifikasi kemampuan lulusan
yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dinyatakan
dalam rumusan capaian pembelajaran lulusan.

Tabel 1. Capaian Pembelajaran Lulusan Mata Kuliah Tata Ruang dan


Perencanaan Wilayah
CPL yang dibebankan pada Mata Kuliah Tata Ruang
Kode dan
Perencanaan Wilayah (Semester IV)
SIKAP (S)
Berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta
S4 tanah air, memiliki nasionalisme serta rasa tanggung jawab
pada negara dan bangsa
Menghormati keberagaman dan menjunjung tinggi
S9
nasionalisme
PENGETAHUAN (P)
Menguasai prinsip dan teknik survey pemetaan, serta
P1
pengelolaan basis data agraria-pertanahan dan tata ruang
Menguasai prinsip-prinsip hukum dan administrasi
P2
pertanahan
KETERAMPILAN UMUM (KU)
Mampu mengambil keputusan secara tepat berdasarkan
prosedur baku, spesifikasi desain, persyaratan keselamatan
KU5
dan keamanan kerja dalam melakukan supervisi dan
evaluasi pada pekerjaannya
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 5

KETERAMPILAN KHUSUS (KK)


Terampil melakukan analisis spasial dalam bidang agraria,
KK1
penataan ruang dan pertanahan

Tabel 2. Capaian Pembelajaran Mata Kuliah Tata Ruang dan


Perencanaan Wilayah
CPMK yang dibebankan pada Mata Kuliah Tata Ruang
Kode dan
Perencanaan Wilayah (Semester IV)
Mampu menjelaskan konsep perencanaan wilayah,
CPMK1 prinsip-prinsip perencanaan wilayah dan pentingnya
penataan ruang dalam pengembangan wilayah (S4, P2)
Mampu mengidentifikasi problematika perkembangan
CPMK2
wilayah (S9, KK1)
Mampu menganalisis produk-produk penataan ruang
CPMK3 dalam rangka penyelesaian konflik (P1, KU5)
Mampu memanfaatkan produk penataan ruang dalam
CPMK4 pelayanan pertanahan dalam rangka mengantisipasi
terjadinya konflik (S9, KK1)

Sebagaimana capaian pembelajaran lulusan, capaian pembelajaran


mata kuliah ini juga disusun ke dalam 4 kriteria, yakni capaian pembe-
lajaran sikap, pengetahuan, keterampilan umum dan keterampilan
khusus (Tabel 1). Capaian pembelajaran dalam bentuk sikap dan
keterampilan umum sudah ditetapkan berdasarkan Permendikbud
Nomor 3/2020 tentang SNPT yang penerapannya disesuaikan dengan
bidang ilmu dan karakteristik mata kuliah. Sedangkan pengetahuan
dan keterampilan khusus merupakan capaian pembelajaran penciri
pada mata kuliah Tata Ruang dan Perencanaan Wilayah (Tabel 2).

1.6. Bentuk Evaluasi/Umpan Balik Aktivitas Belajar Mahasiswa


Pembelajaran merupakan suatu sistem input–proses–output yang
harus terus menerus diperbaiki, disempurnakan dan disesuaikan de-
ngan perkembangan pengetahuan dan teknologi. Begitu juga dengan
proses pembelajaran pada Mata Kuliah Tata Ruang dan Perencanaan
Wilayah yang menggunakan buku ajar ini sebagai buku pegangan
6 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

utama. Dalam hal ini evaluasi aktivitas belajar mahasiswa dapat


dimaknai sebagai proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk
mengidentifikasi dan mengumpulkan berbagai informasi terkait proses
pembelajaran dalam rangka pengambilan perbaikan proses di
kemudian hari.
Proses evaluasi aktifitas belajar mahasiswa dilakukan melalui re-
konstruksi mata kuliah, mulai dari penetapan capaian pembelajaran
sampai pada penilaian hasil belajar. Apakah hasil belajar berdasarkan
proses pembelajaran yang dilakukan sudah menghasilkan capaian
pembelajaran mata kuliah atau belum? Untuk menjawab hal tersebut
maka instrumen utama yang digunakan adalah evaluasi pembelajaran
pada setiap tahapan pembelajaran sesuai yang ditetapkan dalam RPS.
Bentuk evaluasi dan penilaian dalam proses pembelajaran mata
kuliah ini terdiri dari evaluasi setiap tatap muka dan tugas terstruktur.
Evaluasi setiap tatap muka dilakukan dalam bentuk pemberian kuis,
pekerjaan rumah dan penilaian melalui aktifitas presentasi dan diskusi.
Tugas terstruktur dalam mata kuliah ini diberikan dalam bentuk
mereview bahan ajar/referensi pembelajaran, pengamatan lapangan
terkait identifikasi permasalahan perkembangan wilayah, pengenalan
terhadap produk-produk penataan ruang dan simulasi pemanfaatan
produk-produk penataan ruang dalam kebijakan pertanahan.
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 7

BAB II
PERENCANAAN WILAYAH DAN PENATAAN RUANG

Muatan pada bab ini berisi tentang konsepsi perencanaan wilayah,


prinsip-prinsip pewilayahan serta penyelenggaraan penataan ruang.
Pengetahuan yang terdapat dalam bab ini memberikan penjelasan dan
argumentasi tentang pentingnya mengetahui konsepsi dan kondisi
perencanaan wilayah dan penyelenggaraan penataan ruang di
Indonesia. Pengetahuan dan pemahaman tersebut sangat dibutuhkan
dalam praktik pelayanan pertanahan dan menjadi referensi utama
dalam pengambilan kebijakan pertanahan.
Capaian Pembelajaran Mata Kuliah Pertama (CPMK1) yang hendak
dicapai melalui bab ini adalah peserta didik mampu menjelaskan kon-
sep perencanaan wilayah, prinsip-prinsip perencanaan wilayah dan
pentingnya penataan ruang dalam pengembangan wilayah.

2.1. Perencanaan Wilayah


Berbagai permasalahan pembangunan saat ini muncul akibat
adanya perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang bersifat sek-
toral. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan agar perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan dapat dilakukan secara terintegrasi antar
sektor maupun antar wilayah. Salah satu yang disodorkan adalah suatu
sistem kerja terintegrasi pada aras perencanaan. Sistem kerja tersebut
dikenal dengan comprehensive planning. Perencanaan yang bersifat
comprehensive ini adalah suatu sistem perencanaan yang pelaksanaan-
nya memperhatikan kebutuhan, tujuan dan kepentingan dari sektor
yang lain.
Dalam hal ini sistem perencanaan meliputi dua hal, yaitu sistem
yang berhubungan dengan organisasi perencanaan itu sendiri mapun
8 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

sistem yang menyangkut wilayah yang direncanakan. Dengan dilandasi


oleh ide sistem inilah kemudian timbul apa yang sekarang dikenal
dengan perencanaan wilayah yang bersifat comprehensive ini. Dalam
kaitannya dengan pengertian wilayah, perencanaan yang bersifat
comprehensive, ada tiga macam skala wilayah, yakni:
1. Wilayah Nasional. Wilayah Nasional adalah wilayah yang dibatasi
oleh batas-batas administrasi dan politik suatu negara tertentu,
yang di dalamnya terdapat berbagai wilayah regional atau provinsi
maupun wilayah kabupaten atau kota.
2. Wilayah Regional. Wilayah regional merupakan sub wilayah
nasional yang dibatasi oleh unit administrasi tertentu ataupun
didasarkan pada batasan-batasan fisikal yang ada pada daerah
tertentu atau gabungan dari keduanya. Wilayah ini dapat berupa
wilayah pengembangan yang terdiri dari beberapa
kabupaten/kota, maupun terbatas pada wilayah administrasi
setingkat provinsi.
3. Wilayah Lokal. Seperti halnya dengan skala wilayah sub nasional
(wilayah regional), batas wilayah lokal inipun dapat menganut
batasan-batasan unit administratif maupun unit-unit fisikal yang
ada. Oleh karena itu wilayah dalam skala ini biasanya hanya
meliputi daerah yang sempit saja, biasanya delimitasi atas dasar
unit administrasi lebih mudah dikerjakan. Wilayah lokal yang
sering digunakan adalah wilayah administratif setingkat
kabupaten/kota. Dalam konteks sekarang, telah berkembang
wilayah-wilayah perencanaan dalam skala lokal yang lebih spesifik,
seperti wilayah desa, wilayah adat ataupun wilayah-wilayah
perencanaan lainnya yang diatur dalam kebijakan penataan ruang.

Perencanaan wilayah selalu menyangkut tiga jenis aspek


kehidupan, yaitu aspek sosial budaya, aspek ekonomi dan aspek fisik.
Oleh karena itu setiap perencanaan wilayah pada skala wilayah yang
berbeda selalu terkait pula dengan ketiga aspek kehidupan tersebut.
Walaupun dalam skala yang lebih luas ketiga aspek tersebut sangat
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 9

sulit untuk dipilah-pilahkan karena pada hakekatnya ketiga hal itu


saling terkait, namun proporsi kegiatan dalam beberapa hal masih
dapat diamati mengenai titik beratnya. Hal ini inline dengan orientasi
pembangunan berkelanjutan dalam perspektif land management
sebagaimana dikemukakan oleh Enemark dkk (2005) dalam Gambar 1
berikut. Gambar 1 tersebut menunjukkan bahwa orientasi utama
paradigma land management adalah Sustainable Development (pemba-
ngunan berkelanjutan) yang menyangkut aspek ekonomi, sosial dan
lingkungan (fisik).

Gambar 1. The Land Management Paradigm


(Sumber: Enemark dkk 2005)

2.2. Prinsip-Prinsip Perencanaan Wilayah


Perencanaan merupakan satu unsur penting yang sangat
menentukan dalam sebuah proses kerja. Tanpa perencanaan yang baik,
sebuah proses kerja tidak akan memberikan hasil yang memuaskan,
kalau tidak dikatakan gagal. Inilah pentingnya sebuah perencanaan.
Menurut Terry dan Rue (1991, 9), Planning atau perencanaan dimaknai
sebagai kegiatan untuk menentukan tujuan-tujuan yang hendak
10 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

dicapai selama suatu masa yang akan datang dan apa yang harus
diperbuat agar dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut. Berdasarkan
pengertian itu tampak bahwa sebuah perencanaan adalah titik awal
sebuah kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Ini menun-
jukkan bahwa kemana sebuah organisasi bergerak, tujuan apa yang
ingin dicapai, sumber daya apa yang harus disiapkan untuk mencapai
tujuan tersebut, tergantung pada keberhasilan dalam perencanaan.
Terry dan Rue merumuskan berbagai tahapan yang merupakan kegia-
tan utama dalam perencanaan, yang meliputi:
1. self audit – menentukan keadaan organisasi sekarang, dalam
konteks sekarang lebih dikenal dengan istilah identifikasi potensi
diri, dalam hal ini cenderung menemukenali kekuatan
(strenghtness) dan kelemahan (weakness) yang dimiliki;
2. survey lingkungan, dapat dimaknai sebagai upaya lanjutan dalam
identifikasi diri, tetapi kegiatan ini lebih berorientasi pada kondisi
lingkungan sekitar, lebih jauh lagi dapat diorientasikan pada
identifikasi tentang peluang (opportunities) dan ancaman (threats)
yang ada apabila akan melakukan sebuah kerja;
3. objectives – menentukan tujuan, kegiatan ini digunakan untuk
mengarahkan kemana organisasi akan berjalan, dalam hal ini
tujuan yang ditetapkan harus didefinisikan secara jelas sehingga
dapat digunakan untuk mengetahui ukuran keberhasilan dan
kegagalan secara objektif;
4. forecast – meramalkan keadaan-keadaan yang akan datang, mera-
malkan disini dimaknai sebagai tindakan memprediksikan
keadaan dan kondisi yang akan dihadapi berdasarkan pertim-
bangan-pertimbangan rasional dan objektif di masa mendatang;
5. melakukan tindakan-tindakan untuk dapat mengerahkan berbagai
sumber daya yang dimiliki;
6. evaluate – mempertimbangkan berbagai tindakan-tindakan yang
direncanakan untuk dilakukan, sebelum diimplementasikan ke
dalam pelaksanaan kegiatan untuk mencapai tujuan;
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 11

7. revist and adjust – mengubah dan menyesuaikan rencana-rencana


dengan hasil evaluasi dan pengawasan dengan keadaan yang selalu
berubah
8. communicate – komunikasi terhadap semua komponen yang ter-
libat dalam seluruh kegiatan dan terus dilakukan selama proses
perencanaan.

Beberapa tahapan ini merupakan tahapan yang bersifat umum


untuk berbagai kegiatan perencanaan. Untuk berbagai jenis kegiatan
yang mempunyai tipologi berbeda, tahapan di atas dapat dimodifikasi
sesuai dengan karakter yang dimiliki oleh sebuah organisasi dalam
upaya mewujudkan tujuan organisasinya. Demikian pula dalam proses
penyusunan rencana tata ruang. Beberapa tahapan tersebut harus tetap
diperhatikan meskipun dengan berbagai penyesuaian. Beberapa
penyesuaian perlu dilakukan misalnya perencanaan yang konseptual,
terintegrasi, akomodatif dan berkesinambungan menjadi suatu
keharusan dalam penyusunan rencana tata ruang agar dalam imple-
mentasinya tidak terjadi perbedaan interpretasi yang dapat meng-
ganggu jalannya pembangunan.
Dalam konteks kekinian, perencanaan wilayah disusun dalam
bentuk perencanaan tata ruang, baik pada level nasional, provinsi
maupun level kabupaten kota atau perencanaan tata ruang yang
bersifat detail/rinci pada wilayah-wilayah tertentu. Agar dapat ter-
wujud perencanaan wilayah yang konseptual, terintegrasi, akomodatif
dan berkesinambungan terdapat beberapa ide pokok yang harus
diperhatikan. Beberapa ide pokok dalam kegiatan perencanaan dalam
konteks perencanaan tata ruang tersebut meliputi:
1. Konseptualisasi. Konseptualisasi dimaknai sebagai proses berpikir
untuk pembentukan konsep yang holistik terhadap sebuah
wilayah. Visi ke depan sebuah wilayah yang akan dijabarkan dalam
suatu disain tata ruang adalah satu hal penting yang harus
diperhatikan. Artinya, kebijaksanaan penataan ruang yang akan
dimanifestasikan dalam rencana tata ruang harus mendukung
12 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

tercapainya visi yang dibangun berdasarkan karakteristik wilayah


dan masa depan suatu wilayah.
2. Pemilihan Jenis Kegiatan. Proses pemilihan jenis kegiatan ini
sepenuhnya didasari oleh visi yang sudah ditetapkan oleh sebuah
wilayah. Artinya jenis kegiatan yang akan direkomendasikan
dalam rencana tata ruang secara langsung maupun tidak langsung
mampu mendukung tercapainya tujuan pembangunan di wilayah
tersebut.
3. Pertimbangan Rasionalitas. Dasar-dasar pertimbangan rasionalitas
untuk berbagai kegiatan di masa mendatang harus dimatangkan
sejak dini, agar dalam rentang waktu perjalanan pelaksanaan
rencana tata ruang tidak kehilangan orientasi. Pertimbangan
rasionalitas ini pulalah yang digunakan sebagai langkah antisipasi
dalam menghadapi berbagai kemungkinan penentangan dan
penolakan terhadap rencana tata ruang yang sudah tersusun.
4. Pengambilan Keputusan. Dasar-dasar pertimbangan rasional yang
ada sebagaimana butir ke-3 digunakan dalam proses pengambilan
keputusan saat ini tentang hal-hal yang akan dilaksanakan di masa
depan. Dalam proses ini pelibatan berbagai stake holder perlu
dilakukan agar keputusan yang diambil memiliki legitimasi dan
jastifikasi yang relatif kuat. Keputusan dalam penyusunan rencana
tata ruang wilayah berkisar pada visi dan orientasi ke depan
wilayah yang direncanakan serta rekomendasi penggunaan ruang
yang dimanifestasikan ke bentuk struktur ruang dan pola ruang,
untuk berbagai wilayah pengembangan.
5. Alokasi Ruang. Pengalokasian ruang secara sistematis dan rasional
untuk berbagai penggunaan merupakan ‘roh’ kebijaksanaan
penataan ruang. Artinya, ke-empat ide pokok terdahulu semuanya
bermuara pada perencanaan yang berkaitan dengan alokasi ruang.
Karena alokasi ruang merupakan sebuah tahapan final peren-
canaan yang dimanifestasikan dalam sebuah rekomendasi
kebijaksanaan penataan ruang suatu wilayah.
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 13

Menurut Tarigan (2004, 43) perencanaan ruang adalah peren-


canaan penggunaan/pemanfaatan ruang wilayah, yang intinya adalah
perencanaan penggunaan lahan (land use planning) dan perencanaan
pergerakan pada ruang tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa ‘roh’
dalam perencanaan ruang adalah land use planning, yang dalam
konteks kelembagaan di Indonesia (Badan Pertanahan Nasional) sering
disebut dengan rencana tata guna tanah. Meskipun perkembangan
terakhir dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah (PP 16/2004) secara implisit disebutkan bahwa
penatagunaan tanah atau pola pengelolaan tata guna tanah adalah sub
sistem dari rencana tata ruang wilayah.
Berbicara tentang land use planning, kita tidak bisa menafikan
pendapat Working Group on Integrated Land Use Planning (WGLUP)
dalam Amler dkk (1999, 16) yang menyatakan bahwa “Land Use
Planning (LUP) is an iterative process based on the dialogue amongst all
stakeholders aiming at the negotiation and decision for a sustainable
form land use in rural areas as well as initiating and monitoring its
implementation”. Artinya bahwa perencanaan penggunaan lahan
merupakan sebuah proses yang didasarkan pada dialog antar semua
stake holder yang berisikan negosiasi dan keputusan untuk mewujud-
kan keberlanjutan penggunaan tanah di wilayah pedesaan secara baik,
mulai tahapan inisiasi sampai monitoring dalam implementasi.
Ada sedikit perbedaan pengertian di atas dengan konteks tulisan
ini. Pengertian di atas hanya memfokuskan pada rural area, sementara
pada tulisan ini mencoba mengkaji berbagai penggunaan lahan/ruang.
Namun demikian ‘roh’ dalam definisi di atas adalah sama dengan
konsep perencanaan ruang yang melibatkan semua stake holder dalam
penyusunan maupun dalam pelaksanannya. Lebih lanjut, land use plan-
ning yang digagas WGLUP mensyaratkan adanya 11 (sebelas) prinsip
yang harus diperhatikan, yang meliputi (Amler dkk 1999, 22-25):
1. rencana penggunaan lahan harus berorientasi pada kondisi lokal,
baik metode maupun substansinya;
14 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

2. rencana penggunaan lahan mempertimbangkan pandangan-


pandangan budaya dan bangunan-bangunan yang didasarkan
pada kearifan lokal;
3. rencana penggunaan lahan mempertimbangkan strategi
tradisional untuk penyelesaian masalah dan konflik;
4. rencana penggunaan lahan mempunyai asumsi bahwa sebuah
konsep mengenai pembangunan perdesaan adalah sebuah proses
bottom up untuk menolong diri sendiri (mandiri) dan mencip-
takan responsibilitas diri;
5. rencana penggunaan lahan adalah sebuah proses dialog,
menciptakan prakondisi untuk keberhasilan dalam negosiasi dan
kerjasama antar stake holder;
6. rencana penggunaan lahan adalah sebuah proses menuju pada
peningkatan kapasitas partisipasi masyarakat dalam perencanaan
dan pelaksanaan;
7. rencana penggunaan lahan memerlukan transparansi, oleh karena
itu akses yang luas terhadap informasi bagi semua partisipan
merupakan suatu prasyarat yang harus dipenuhi;
8. deferensiasi stake holder dan pendekatan gender adalah prinsip
pokok dalam rencana penggunaan lahan;
9. rencana penggunaan lahan berbasis kerjasama interdisipliner;
10. rencana penggunaan lahan adalah suatu proses iteratif, fleksibel
dan terbuka, berbasis pada penemuan-penemuan dan perubahan-
perubahan baru;
11. rencana penggunaan lahan berorientasi pada implementasi.

Beberapa hal yang dikemukakan Amler di sini memfokuskan


perencanaan penggunaan lahan untuk wilayah perdesaan. Hal ini
didasari oleh pemikiran bahwa sebuah perencanaan penggunaan lahan
adalah merencanakan berbagai wilayah yang penggunaannya masih
minimalis atau dengan kata lain existing land use-nya masih sangat
terbatas. Namun demikian apa yang dikemukakan Amler ini adalah
bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan perencanaan ruang secara
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 15

umum. Artinya setiap perencanaan penggunaan lahan perlu


mempertimbangkan beberapa prinsip di atas, mengingat prinsip-
prinsip tersebut dapat diimplementasikan baik untuk perencanaan
penggunaan lahan perdesaan maupun perencanaan di wilayah lainnya.
Dalam kerangka kebijakan perencanaan wilayah di Indonesia
menggunakan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pena-
taan Ruang. Beberapa pengertian dasar dalam perencanaan wilayah
sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang adalah:
1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan
ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan
wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
2. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
3. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan
sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai
pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara
hierarkis memiliki hubungan fungsional.
4. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu
wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan
peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.
5. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
6. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi
pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan
ruang.
7. Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan
hukum bagi Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
dalam penataan ruang.
8. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan
kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat.
16 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

9. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan


penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
10. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan
penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan pera-
turan perundang-undangan.
11. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan
struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan
penetapan rencana tata ruang.
12. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur
ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui
penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
13. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujud-
kan tertib tata ruang.
14. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
15. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.
16. Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang
mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah.
17. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau
budidaya.
18. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi
utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup
sumber daya alam alam dan sumber daya buatan.
19. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi
utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi
sumber daya alam,sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.

Beberapa pengertian dasar di atas menunjukkan bahwa dalam


perencanaan wilayah di Indonesia, maka objek utama atau muatannya
adalah ruang. Dalam hal ini dapat berupa ruang darat, ruang laut
maupun ruang udara. Namun demikian, dalam konteks ini peren-
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 17

canaan wilayah difokuskan pada perencanaan ruang darat, dengan


matra utamanya adalah tanah. Sehingga bahasan-bahasan selanjutnya
berkenaan dengan perencanaan dan perkembangan wilayah, akan
sering dikemukakan beberapa peristilahan yang dapat menimbulkan
kerancuan, seperti ruang, wilayah, lahan maupun tanah.

2.3. Penyelenggaraan Penataan Ruang


Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang
dimaksud dengan penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan
yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan
penataan ruang. Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk
mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif,
dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingku-
ngan buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam
dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya
manusia; dan
c. terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak
negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Untuk mewujudkan hal-hal sebagaimana tersebut di atas,


penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan:
a. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
rentan terhadap bencana;
b. potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber
daya buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum,
pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan
dan teknologi sebagai satu kesatuan; dan
c. geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi.

Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah


provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dilakukan secara
18 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

berjenjang dan komplementer. Penataan ruang wilayah nasional


meliputi ruang wilayah yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional
yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk
ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan. Adapun penataan ruang
wilayah provinsi dan kabupaten/kota meliputi ruang darat, ruang laut,
dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam penyelenggaraan penataan ruang, Negara memberikan
kewenangan kepada Pemerintah dan pemerintah daerah guna
penyelenggaraan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Dalam penyelenggaraan penataan ruang, dilakukan dengan
tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya adalah hak atas
tanah. Kewenangan Pemerintah dan pemerintah daerah dalam penye-
lenggaraan penataan ruang didasarkan pada lingkup wilayah yang
menjadi otoritasnya.
Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penataan ruang
meliputi: (a) pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelak-
sanaan penataan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupa-
ten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; (b) pelaksanaan penataan
ruang wilayah nasional; (c) pelaksanaan penataan ruang kawasan
strategis nasional; dan (d) kerja sama penataan ruang antarnegara dan
pemfasilitasan kerja sama penataan ruang antar provinsi. Wewenang
Pemerintah dalam pelaksanaan penataan ruang nasional meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah nasional;
b. pemanfaatan ruang wilayah nasional; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional.

Wewenang Pemerintah dalam pelaksanaan penataan ruang kawa-


san strategis nasional meliputi: (a) penetapan kawasan strategis
nasional; (b) perencanaan tata ruang kawasan strategis nasional; (c)
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 19

pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional; dan (d) pengendalian


pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional.
Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang, Pemerintah
berwenang menyusun dan menetapkan pedoman bidang penataan
ruang. Dalam pelaksanaan wewenang tersebut, Pemerintah: (a) menye-
barluaskan informasi yang berkaitan dengan: (1) rencana umum dan
rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang
wilayah nasional; (2) arahan peraturan zonasi untuk sistem nasional
yang disusun dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
nasional; dan (3) pedoman bidang penataan ruang; serta (b) menetap-
kan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
Berkenaan dengan pemerintah daerah, wewenang pemerintah
provinsi dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi: (a) penga-
turan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan
ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelak-
sanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota;
(b) pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi; (c) pelaksanaan
penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan (d) kerja sama pena-
taan ruang antar provinsi dan pemfasilitasan kerja sama penataan
ruang antar kabupaten/kota.
Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam pelaksanaan
penataan ruang wilayah provinsi meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah provinsi;
b. pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi.

Dalam penataan ruang kawasan strategis provinsi pemerintah


daerah provinsi melaksanakan: (a) penetapan kawasan strategis
provinsi; (b) perencanaan tata ruang kawasan strategis provinsi; (c)
pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi; dan (d) pengendalian
pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi. Adapun pelaksanaan
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan
20 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

strategis provinsi dapat dilaksanakan pemerintah daerah kabupa-


ten/kota melalui tugas pembantuan.
Berkenaan dengan tingkat kabupaten/kota, pemerintah
kabupaten/kota mempunyai wewenang dalam: (a) pengaturan, pembi-
naan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah
kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota; (b) pelaksana-
an penataan ruang wilayah kabupaten/kota; (c) pelaksanaan penataan
ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan (d) kerja sama penataan
ruang antar kabupaten/kota. Wewenang pemerintah kabupaten/kota
dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota;
b. pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.

Berkenaan dengan pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis


kabupaten/kota melaksanakan:
a. penetapan kawasan strategis kabupaten/kota;
b. perencanaan tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota;
c. pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan
d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupa-
ten/kota.

Dalam penyelenggaraan penataan ruang, Pemerintah berkewaji-


ban melakukan pembinaan penataan ruang kepada pemerintah daerah
provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan masyarakat, yang
meliputi berbagai kegiatan berikut:
a. koordinasi penyelenggaraan penataan ruang;
b. sosialisasi peraturan perundang-undangan dan sosialisasi pedo-
man bidang penataan ruang;
c. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan
penataan ruang;
d. pendidikan dan pelatihan;
e. penelitian dan pengembangan;
f. pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang;
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 21

g. penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat; dan


h. pengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat.

Secara umum penyelenggaraan penataan ruang, baik yang menjadi


kewenangan Pemerintah maupun pemerintah daerah tergambar dalam
skema pada Gambar 2.

Gambar 2. Skema penyelenggaraan penataan ruang


(Sumber: Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian PU 2012,
25)

2.4. Tugas
Berikut ini adalah tugas yang harus dikerjakan oleh masing-
masing peserta didik untuk memperdalam pemahaman konsep dan
prinsip-prinsip perencanaan wilayah serta pentingnya penataan ruang
dalam perencanaan dan pengembangan wilayah.
A. Tujuan Tugas
Menjelaskan konsep perencanaan wilayah, prinsip-prinsip peren-
canaan wilayah dan pentingnya penataan ruang dalam perencanaan
dan pengembangan wilayah.
22 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

B. Uraian Tugas
1. Objek garapan: Konsep dan Prinsip-prinsip Perencanaan wilayah
dan Penataan Ruang
2. Metode/cara pengerjaan (acuan cara/langkah pengerjaan):
a. Mencari naskah yang relevan
b. Menuliskan dalam bentuk makalah
c. Mempresentasikan di depan kelas
3. Deskripsi luaran tugas yang dihasilkan:
Paper mengenai summary semua konsep dan prinsip-prinsip
perencanaan wilayah dan tata ruang maksimal 5 halaman A4, diketik
dengan komputer dengan font: Arial (11) atau Calibri (12) atau Times
New Roman (12), dengan spasi tunggal.

2.5. Pustaka
Amler, B., Betke, D., Eger, H., Ehrich, C., Kohler, A., Kutter, A., von
Lossau, A., Muller, U., Seidemann, S., Steurer, R., dan
Zimmermann, W. 1999, Land Use Planning: Methods, Strategies
and Tools, Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit
(GTZ), Eschborn, Germany.
Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum
2012, Mengenal Lebih Dekat Penataan Ruang Bagi Generasi Muda,
Jakarta
Enemark, S, Williamson, I, dan Wallace, J 2005, 'Building Modern Land
Administration System in Developed Economies', Journal of
Spatial Science, vol. 50, no. 2, hlm. 51-58
Tarigan, Robinson 2004, Perencanaan Pembangunan Wilayah, Bumi
Aksara, Jakarta
Terry, George R dan Rue, Leslie W 1991, Dasar-dasar Manajemen,
cetakan ketiga, Bumi Aksara, Jakarta
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 23

BAB III
PERKEMBANGAN WILAYAH

Muatan pada bab ini berisi tentang problematika perkembangan


wilayah. Pengetahuan yang terdapat dalam bab ini memberikan penje-
lasan tentang adanya keragaman problematika dalam perkembangan
suatu wilayah. Pengetahuan dan pemahaman tersebut sangat dibu-
tuhkan dalam pengambilan kebijakan pertanahan yang didasarkan
pada aspek spasial.
Capaian Pembelajaran Mata Kuliah Kedua (CPMK2) yang hendak
dicapai melalui bab ini adalah peserta didik mampu mengidentifikasi
problematika perkembangan wilayah.

3.1. Dinamika Perkembangan Wilayah


Perkembangan wilayah merupakan sebuah ‘sunatullah’, yang
harus diterima dengan segala permasalahannya. Perkembangan
peradaban dan tuntutan kebutuhan manusia yang semakin meningkat
menjadi bagian terpenting penyebab terjadinya perkembangan
wilayah. Perkembangan wilayah di sini dapat bermakna positif apabila
proses perkembangan terjadi secara alami dan bersifat akomodatif
terhadap tuntutan kebutuhan mayoritas masyarakat penghuni wilayah
tersebut. Artinya perkembangan yang terjadi memberikan manfaat
optimal bagi peningkatan aksesibilitas dan kemudahan dalam
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Misalnya terbukanya daerah-daerah
yang terisolasi dengan jaringan transportasi dan telekomunikasi,
sehingga mempermudah distribusi dan pemasaran produk-produk
pertanian yang melimpah. Hal ini dapat memacu motivasi masyarakat
di daerah tersebut untuk bergeser dari pertanian subsisten ke arah
pertanian yang berorientasi pasar yang lebih menguntungkan. Di
24 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

samping itu perkembangan wilayah juga sering berkonotasi negatif.


Perubahan fungsi lahan yang tidak terkendali, meluasnya slum area
dan meningkatnya kawasan bahaya banjir adalah contoh dampak nega-
tif yang disebabkan oleh adanya perkembangan wilayah.
Dengan demikian perkembangan wilayah tidak dapat begitu saja
dinilai secara parsial pada dampak yang ditimbulkan. Kondisi tersebut
terjadi karena perkembangan wilayah merupakan sebuah proses besar
yang menyangkut berbagai aspek kehidupan yang bekerja secara
simultan. Kajian terhadap perkembangan wilayah harus ditinjau secara
holistik antara segenap unsur sumber daya yang berpengaruh terhadap
proses dinamika wilayah.

Gambar 3. Skema proses dinamika wilayah


(Sumber: dimodifikasi dari Widyatmoko 1998)
Dinamika wilayah tidak diartikan sebagai pergerakan wilayah dari
satu lokasi ke lokasi lain, namun lebih ditekankan pada perubahan-
perubahan karakteristik suatu wilayah yang meliputi human,
institution, natural, capital dan others (HINCO) yang disebabkan oleh
agents of change baik yang bersifat alami, pengaruh manusia maupun
kombinasi keduanya (Widyatmoko 1998). Lebih khusus lagi dinamika
wilayah dibentuk oleh serangkaian perubahan yang saling kait meng-
kait antara perubahan-perubahan baik yang alami maupun bukan
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 25

alami yang meliputi iklim, bencana alam, ekonomi, demografi, politik,


budaya, teknologi, sosial, baik dalam skala makro maupun mikro
sebagaimana tampak dalam Gambar 3.
Berdasarkan diagram proses dinamika wilayah pada Gambar 3,
tampak bahwa objek kajian utama dalam dinamika wilayah adalah
‘wilayah’ itu sendiri, yang terdiri dari kawasan budidaya, kawasan
lindung, dan kawasan khusus. Terdapat tiga hal yang secara langsung
ataupun tidak langsung mempengaruhi karakteristik sebuah wilayah
yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan wilayah mengingat
dinamika wilayah merupakan sebuah konsekuensi dari eksistensi hal-
hal tersebut. Ketiga hal tersebut adalah:
1. Faktor Lokal. Hal ini berkaitan dengan potensi sumber daya yang
ada pada suatu wilayah, baik itu sumber daya alam maupun
sumber daya manusianya. Aspek kultur dan nilai historis suatu
wilayah juga menjadi suatu pertimbangan tersendiri dalam
perencanaan pengembangan wilayah, karena aspek ini merupakan
nilai-nilai lokal yang secara spesifik keberadaannya membuat
suatu wilayah menjadi berbeda dan memiliki nilai lebih di banding
wilayah lain.
2. Agen Perubahan. Aspek ini terkait dengan manusia dan alam yang
secara ekologis membentuk sebuah jaring-jaring kehidupan.
Manusia sebagai sebuah agen perubahan selalu berusaha untuk
beradaptasi dan mensiasati alam dan potensi wilayahnya untuk
mempertahankan kehidupannya. Sedangkan alam melalui dina-
mikanya dan berbagai bencana merupakan peubah dinamika
wilayah yang tidak bisa dinafikan begitu saja.
3. Pengambilan Keputusan. Aspek inilah yang sebetulnya
mempunyai kontribusi terbesar dalam proses dinamika wilayah.
Visi dan misi dari pemegang otoritas, pemilik kapital dan
masyarakat dalam memandang masa depan sebuah wilayah
menjadi entry point bagi pengembangan wilayah ke depan. Artinya
dinamika wilayah akan sangat tergantung pada proses
pengambilan keputusan dalam rangka mengembangkan sebuah
26 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

wilayah demi kepentingan sesaat atau kepentingan masa depan.


Sebagai contoh, dinamika wilayah yang terjadi pada kota-kota di
dunia sering diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) tipe pemekaran ko-
ta (urban sprawl) yang meliputi: (1) perembetan konsentris; (2)
perembetan memanjang; dan (3) perembetan meloncat (Yunus
2000, 126).

Fenomena pengambilalihan lahan non urban oleh penggunaan


lahan urban di daerah pinggiran (invasion) dan proses perembetan
kenampakan fisik kekotaan ke arah luar (urban sprawl) merupakan
sebuah konsekuensi dari dinamika wilayah. Faktor lokal, agen
perubahan dan pengambilan keputusan bekerja secara simultan mem-
pengaruhi perkembangan wilayah berikut dampak ikutannya. Contoh
perubahan penggunaan lahan akibat invansion dan urban sprawl dapat
dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Perkembangan lahan terbangun yang terjadi di wilayah


Provinsi DIY pada tahun 1990 (kiri) dan tahun 2006 (kanan)
Bertolak dari beberapa hal di atas, ternyata dinamika wilayah
menempati posisi yang sangat penting dalam kajian tata ruang dan
perencanaan wilayah. Dalam konteks ini, di setiap tingkatan peme-
rintahan yang membawahi wilayah harus memiliki desain tata ruang
yang merupakan fungsi kontrol bagi arahan dan pelaksanaan
pembangunan yang diimplementasikan dalam sebuah kegiatan pena-
taan ruang.
Upaya penataan ruang dilakukan sebagai tindakan untuk
mengarahkan kegiatan pembangunan sekaligus tindakan antisipasi
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 27

terhadap perkembangan wilayah yang tidak teratur. Secara teknis


penataan ruang terbagi menjadi penataan tata ruang kota dan
penataan ruang daerah. Kedua jenis penataan ruang ini memiliki
tipologi sendiri-sendiri sesuai dengan kebutuhan masyarakat
penghuninya. Masyarakat kota cenderung membutuhkan sarana dan
prasarana publik yang mengarah pada aktivitas perekonomian dengan
segala struktur pendukungnya seperti pusat pendidikan, perkantoran,
industri, hiburan dan fasilitas kesehatan. Sedangkan penataan ruang
daerah difokuskan pada pengembangan wilayah yang berbasis kegiatan
pertanian dengan berbagai sarana dan prasarana publik untuk kepen-
tingan masyarakat dengan tipologi pedesaan.
Dengan demikian apabila dianalogikan dengan hal di atas, maka
dinamika perkembangan wilayah secara spasial dapat diklasifikasikan
menjadi dinamika perkembangan wilayah perkotaan dan dinamika
perkembangan wilayah perdesaan. Meskipun untuk mengidentifikasi
atau menemukenali sebuah wilayah disebut urban ataupun rural
bukanlah persoalan sederhana. Mengingat perkembangan wilayah saat
ini dipengaruhi oleh kompleksitas segenap aspek kehidupan manusia.
Sebagai contoh, suatu wilayah tidak dapat begitu saja dikatakan
sebagai wilayah perdesaan meskipun fenomena pertanian tanah basah
masih dijumpai. Demikian pula juga sulit dikatakan sebagai daerah
perkotaan meskipun sarana dan prasarana publik telah menunjukkan
wujud fisik sebuah kota. Namun demikian apabila sebuah wilayah
mempunyai karakteristik perkotaan dan perdesaan lebih tepat disebut
sebagai daerah sub urban karena memiliki karakteristik yang
merupakan kombinasi antara wilayah perkotaan dan perdesaan,
termasuk di dalamnya adalah terdapatnya kultur kota maupun kultur
desa. Persoalan yang muncul kemudian adalah desain tata ruang yang
sesuai untuk wilayah sub urban adalah desain tata ruang kota atau
daerah. Artinya, untuk kepentingan ke depan aktivitas pertanian yang
dipertahankan ataukah perubahan fungsi lahan yang dibiarkan terus
berlangsung akibat perkembangan kota. Ini adalah satu contoh
sederhana, yang dampaknya bisa berakibat fatal. Meningkatnya
28 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

intensitas banjir, menurunnya muka air tanah dan berkembangnya


slum area merupakan sebuah konsekuensi logis dari perubahan peng-
gunaan lahan di suatu wilayah.
Sebagai bahan komparasi fenomena wilayah Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek); Gresik, Bangkalan,
Kertosono, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan (Gerbangkertosusilo);
Yogyakarta, Solo dan Semarang (Joglosemar) dan kota-kota besar
lainnya intensitas perubahan lahannya sangat tinggi. Perubahan
penggunaan lahan di beberapa kota pantai, misalnya kota-kota di
pantai utara Jawa mengakibatkan intrusi air asin dan intensitas banjir-
nya meningkat dari tahun ke tahun.
Hal-hal di atas perlu dikedepankan, direnungkan dan dijadikan
sebagai media refleksi agar perkembangan wilayah yang terjadi tidak
memberikan kontribusi yang bersifat negatif, tetapi mampu mendo-
rong tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat penghuninya.

3.2. Problematika Dalam Perkembangan Wilayah


Salah satu sifat disain tata ruang adalah dinamis, fleksibel dan
mampu memberikan ruang gerak yang inovatif dalam pelaksanaan
pembangunan. Namun demikian, karena kedinamisan dan kelenturan-
nya disain tata ruang yang dimanifestasikan dalam rencana tata ruang
seringkali disalahartikan. Pemahaman dan persepsi yang berbeda-beda
dalam menginterpretasikan sebuah rencana tata ruang sering
digunakan sebagai legitimasi dalam melakukan penyimpangan
terhadap tata ruang yang sudah ada demi kepentingan sempit atau
sesaat.
Sebagai pedoman dalam pengarahan lokasi investasi yang dilak-
sanakan oleh pemerintah maupun swasta, rencana tata ruang sering
dijadikan sebagai komoditas untuk bargaining antara pemilik modal
(investor) dengan pemegang otoritas di suatu wilayah, baik itu bersifat
kelembagaan maupun personal. Pemilik modal tidak akan mengives-
tasikan kapitalnya apabila lokasi yang direkomendasikan oleh
pemerintah (pusat maupun daerah) tidak sesuai dengan kriteria
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 29

perusahaannya. Pemerintahpun tidak akan begitu saja melepaskan


peluang peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau pendapatan
devisa yang sudah di depan mata. Akhirnya dengan berbagai langkah
negosiasi, baik yang prosedural maupun ‘di belakang meja’ tercapailah
sebuah kesepakatan yang pada akhirnya menjadikan sebuah disain tata
ruang tidak memiliki arti lagi.
Agar hal di atas tidak menjadikan sebuah preseden buruk bagi
perkembangan penyusunan rencana tata ruang ke depan dalam arti
tidak memberikan implikasi yang merugikan bagi masa depan sebuah
wilayah, maka perlu dilakukan langkah-langkah antisipasi dalam
penyusunan rencana tata ruang. Artinya disain tata ruang betul-betul
disusun dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang sudah,
sedang dan akan berkembang di kemudian hari, sehingga tidak
terdapat celah-celah yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
pribadi atau kelompok tertentu. Dengan demikian tujuan disusunnya
rencana tata ruang sebuah wilayah dapat diwujudkan
Sebuah konsep ideal pada bidang apapun, termasuk di dalamnya
adalah penataan ruang mempunyai permasalahan dalam implemen-
tasinya. Bahkan permasalahan tidak hanya muncul pada tahapan
implementasi tetapi juga muncul semenjak disusunnya desain rencana
tata ruang itu sendiri. Permasalahan-permasalahan tersebut merupa-
kan konsekuensi logis dari sebuah proses panjang yang melibatkan
berbagai komponen dengan latar belakang, orientasi, serta
kepentingan yang berbeda-beda. Permasalahan-permasalahan inilah
yang kemudian berkembang menjadi kendala-kendala dalam
penyusunan rencana tata ruang maupun pelaksanaannya.
Dalam konteks kekinian, dengan melihat berbagai fenomena yang
ditemui di lapangan maupun berdasarkan data, informasi maupun
kajian-kajian yang berhubungan dengan keruangan secara umum
beberapa permasalahan yang bersifat konseptual dapat disebut antara
lain (Sutaryono 2007):
1. Rencana tata ruang dan peraturan perundang-undangannya tidak
efisien dan efektif. Kurangnya informasi dan sosialisasi hal-hal
30 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

yang berkaitan dengan tata ruang menyebabkan kurang dipahami-


nya kebijaksanaan penataan ruang oleh masyarakat, dunia usaha
maupun oleh aparat pemerintah yang notabene sebagai pihak
yang memiliki kewenangan dalam kebijaksanaan penataan ruang.
2. Persepsi dan pemahaman yang berbeda-beda terhadap rencana
tata ruang, seringkali menjadi penyebab terjadinya conflict of
interest antar segenap stake holder.
3. Rencana tata ruang kurang mampu mengakomodasikan kepen-
tingan segenap stake holder yang mempunyai kompetensi terha-
dap pemanfaatan ruang. Hal ini menyebabkan disharmoni dan
konflik tata ruang tidak mendapatkan ruang sebagai media
penyelesaian masalah.
4. Kebijaksanaan dan strategi penataan ruang suatu wilayah tidak
konsisten dan terpadu. Hal ini sering terjadi ketika pengambil
kebijaksanaan tidak mempunyai visi yang jelas terhadap masa
depan wilayahnya atau juga adanya pergantian kepemimpinan
pemerintahan yang diikuti oleh berubahnya kebijaksanaan
penataan ruang. Di samping itu orientasi ekonomi yang menge-
depan seringkali dijadikan alasan pembenar dalam penyimpangan
terhadap desain tata ruang yang telah disepakati. Kurangnya
koordinasi antar instansi sebagai salah satu pelaksana
pembangunan menjadikan tumpang tindihnya kegiatan
pembangunan yang berbasiskan ruang.
5. Munculnya dualisme kepentingan antara orientasi ekonomi dan
kelestarian lingkungan dan unsur-unsur ekologis.

Di samping permasalahan-permasalahan yang bersifat konseptual


di atas, terdapat permasalahan-permasalahan teknis yang tidak dapat
dinafikan keberadaannya. Permasalahan-permasalahan teknis ini
antara lain:
1. Berbedanya penyusun rencana dengan yang melaksanakan
rencana tata ruang yang berakibat munculnya gap dalam
implementasi.
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 31

2. Pendekatannya normatif dan cenderung berorientasi pada aspek


fisik semata tanpa mempertimbangkan aspek non fisik yang
sangat berpengaruh terhadap perkembangan wilayah.
3. Belum adanya persepsi yang sama pada pelaku pembangunan dan
pengelola wilayah.
4. Terlalu berorientasi pada kepentingan pemerintah dan ada kecen-
derungan bahwa pendapat dan kebijakan pemerintah sebagai
pengelola wilayah adalah hal yang paling benar.
5. Tidak/kurang pekanya pengelola wilayah terhadap fenomena yang
terjadi di masyarakat.
6. Rendahnya partisipasi masyarakat, mengingat belum tersedianya
ruang interaksi yang cukup antara pemerintah dengan masyarakat
dalam rangka penyusunan rencana tata ruang.
7. Perencanaan tata ruang sering dianggap sebagai sebuah hambatan
pembangunan karena tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat,
sehingga keberadaannya sering tidak dijadikan pertimbangan
dalam pengambilan kebijakan pembangunan.

Selain beberapa permasalahan di atas, Budiharjo (1996, 50-55)


menyebutkan beberapa kendala dalam penataan ruang dan pengelo-
laan wilayah antara lain: (a) keterbatasan kewenangan pemerintah
daerah; (b) keterbatasan kemampuan aparat; (c) keterbatasan pen-
danaan; (d) kelemahan manajeman/pengelola; dan (e) kelemahan
mekanisme pengendalian pembangunan. Kendala terakhir disebabkan
oleh kurangnya akses pemerintah daerah terhadap kebijakan
pembangunan sektoral, ketidakberdayaan pemerintah daerah dalam
menghadapi tekanan investasi serta belum adanya sistem reward and
punishment dalam implementasi produk penataan ruang.
Permasalahan-permasalahan di atas baik yang bersifat konseptual
maupun teknis harus diantisipasi kemunculannya dan diupayakan
solusinya. Upaya ini tidak terlepas dari pendekatan yang digunakan
dalam penyusunan rencana tata ruang. Karena apabila pendekatan
yang digunakan sudah tepat dan mampu mengakomodasikan semua
32 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

potensi dan kepentingan segenap stake holder yang mempunyai


kompetensi terhadap pemanfaatan ruang maka permasalahan-
permasalahan yang muncul dalam penyusunan dan pelaksanaan tata
ruang dapat dieliminir.
Robert Park dalam Catanese dan Snyder (1988) menyatakan
bahwa berbagai perspektif dan disiplin harus digunakan untuk
memahami dan merencanakan sistem sosial yang rumit. Sistem sosial
ini kemudian dijabarkan dalam suatu hierarki yang meliputi kondisi-
kondisi fisik dan lingkungan tertentu yang membatasi dan
menentukan sumber daya lain dari sistem tersebut.
1. Tatanan Fisik. Tatanan ini terdiri dari komponen fisik dan biotik
yang merupakan determinan-determinan fisik yang nyata seperti
kondisi topografi, jenis dan kesuburan tanah, iklim, jenis tanaman
dan komunitas fauna. Tatanan fisik ini akan menentukan jenis
budidaya dan usaha yang dilakukan oleh penduduk yang
mendiami sebuah wilayah.
2. Tatanan Institusional. Jenis budidaya dan usaha yang dilakukan
oleh penduduk kemudian berkembang menjadi sebuah
kebudayaan dengan memanfaatkan teknologi dan kesepakatan-
kesepakatan internal maupun eksternal sebagai infrastruktur
pengaturnya. Tatanan ini meliputi aspek teknologi dan ekonomi
yang bekerja secara simultan untuk mendapatkan sebuah budaya
dan tradisi yang disepakati bersama. Aspek teknologi dan ekonomi
ini dimanifestasikan dalam pemanfaatan teknologi, sistem
moneter, tata niaga, dan kesepakatan-kesepakatan lainnya yang
bersifat normatif dan diatur oleh pemerintah.
3. Tatanan Sosial. Disamping tatanan institusional yang
menempatkan pemerintah sebagai institusi resmi penghasil
produk-produk peraturan serta berperan dalam pengawasan,
tatanan sosial juga dibutuhkan. Tatanan ini dibutuhkan untuk
menaikkan standar-standar formal perilaku masyarakat, sehingga
tercipta keteraturan sosial yang dibutuhkan dalam proses
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 33

pembangunan. Pada akhirnya sistem nilai akan terbentuk dan


menciptakan sebuah tatanan moral dan ideologis.

Konsep Robert Park ini apabila diimplementasikan dalam kajian


tata ruang sebagai salah satu bagian sistem sosial akan melahirkan
beberapa pendekatan yang cukup representatif untuk digunakan
dalam penyusunan rencana tata ruang.
1. Pendekatan Fisik. Kondisi fisik wilayah seperti kondisi topografi
dan kemampuan tanah menjadi dasar utama dalam pengambilan
keputusan yang bersifat teknis. Keputusan teknis ini terutama
ditujukan agar rekomendasi pemanfaatan ruang benar-benar
sesuai dengan kriteria yang sudah ditetapkan.
2. Pendekatan Institusional. Pendekatan ini lebih pada fungsi
koordinasi dan political will dari pemegang otoritas untuk
menentukan visi dan strategi pembangunan wilayah. Koordinasi
antar segenap stake holder penting dilakukan agar rencana tata
ruang yang dihasilkan dapat dilaksanakan secara holistik dan
terintegrasi sesuai dengan tujuan yang sudah ditetapkan.
3. Pendekatan Sosial. Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui
relasi-relasi sosial yang berkembang dalam masyarakat. Ruang-
ruang interaksi yang ada dalam masyarakat dijadikan sebagai
sebuah sumber informasi dan menjadi dasar dalam pengambilan
keputusan. Hal ini dilakukan agar rencana tata ruang yang disusun
sesuai dengan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Tanpa
memperhatikan relasi sosial yang ada dalam masyarakat maka
proses pembangunan tidak dapat berjalan seperti yang
diharapkan. Berbagai konflik dan disharmoni antar pelaku
pembangunan akan muncul seiring dengan gesekan kepentingan
masing-masing pihak. Disinilah pendekatan sosial menjadi hal
yang penting untuk diperhatikan dan dilaksanakan dalam
penyusunan rencana tata ruang.
34 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

3.3. Kebijakan Pertanahan Untuk Mengatasi Permasalahan


Perkembangan Wilayah
Inti permasalahan perkembangan wilayah terletak pada keter-
batasan ruang yang tidak mampu menampung kebutuhan penduduk
akan tanah sebagai tempat untuk melangsungkan berbagai aktifitas
kehidupan. Kebutuhan akan tanah tersebut terus mengalami
peningkatan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dari waktu
ke waktu. Kondisi permasalahan perkembangan wilayah ini menjadi
perhatian Pemerintah, dan oleh Kementerian ATR/BPN dituangkan
dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian ATR/BPN Tahun 2015-
2019 maupun dalam Renstra Kementerian ATR/BPN Tahun 2020-2024
(yang saat ini masih dalam proses finalisasi).
Di dalam Renstra Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN
Tahun 2015-2019 yang tertuang dalam Peraturan Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 25 Tahun 2015, terdapat sejumlah
permasalahan yang menjadi fokus yang strategis untuk ditangani
kementerian. Berikut ini adalah beberapa fokus strategis kaitannya
dengan permasalahan perkembangan wilayah dan penataan ruang:
1. Ruang wilayah NKRI menghadapi tantangan dan permasalahan
terutama: (a) terletak pada kawasan yang cepat berkembang
(pasific ocean rim dan indian ocean rim); (b) terletak pada kawasan
pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik; (c) meningkatnya intensitas
kegiatan pemanfaatan ruang terkait eksploitasi sumber daya alam;
dan (d) makin menurunnya kualitas permukiman, meningkatnya
alih fungsi tanah yang tidak terkendali, dan tingginya kesenjangan
antar dan di dalam wilayah.
2. Berkembangnya pemikiran dan kesadaran di tengah masyarakat
untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan penataan ruang
yang lebih menyentuh hal-hal yang terkait langsung dengan
permasalahan kehidupan masyarakat, terutama dengan mening-
katnya banjir dan longsor, kemacetan lalu lintas, bertambahnya
perumahan kumuh, berkurangnya ruang publik dan ruang terbuka
hijau di kawasan perkotaan, kurang memadainya kapasitas
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 35

kawasan metropolitan terhadap tekanan jumlah penduduk, serta


kurang seimbangnya pembangunan kawasan perkotaan dan
perdesaan.
3. Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia tidak diikuti dengan
penyebaran penduduk secara merata. Di masa depan penyebaran
penduduk akan mengarah ke daerah perkotaan. Bertambahnya
penduduk di daerah perkotaan menyebabkan meningkatnya
kebutuhan akan tanah perkotaan. Peningkatan kebutuhan tanah
yang tidak diimbangi dengan ketersediaan tanah berujung pada
peningkatan alih fungsi tanah, termasuk tanah pertanian yang
produktif.

Tidak berbeda jauh dengan isu strategis yang ada dalam Renstra
Tahun 2015-2019, dalam Renstra Tahun 2020-2024 terdapat 5 (lima) isu
strategis terkait dengan perkembangan wilayah dan penataang ruang,
yakni:
1. Regulasi tata ruang. Cakupan objek penataan ruang di
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
melibatkan dua aspek, yaitu tanah/lahan sebagai satuan unit
mandiri, dan tanah/lahan sebagai satuan yang saling terkait dan
melibatkan berbagai sektor yang disebut dengan ruang. Tata ruang
dalam hal ini dituntut untuk dapat mengakomodir penggunaan
tanah/lahan (Land Use) di tingkat detil di seluruh Indonesia yang
akan mendukung pembangunan tanah/lahan (Land Development).
Peraturan atau regulasi terkait tata ruang yang ada masih belum
berimbas atau memberi dampak pada proses pemanfaatan ruang,
salah satunya untuk mendukung kemudahan investasi dan
berusaha.
2. Kewenangan tata ruang yang terbagi. Selama ini kewenangan
penataan ruang tidak sepenuhnya berada di Kementerian Agraria
dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, karena dalam
pengaturannya berada di Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional, namun dalam pengimplemen-
36 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

tasiannya sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam UU No. 23


Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah berada pada
pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah
kabupaten/kota.
3. Kompleksitas sistem tata ruang. Kompleksitas tata ruang yang
tidak tertangani dengan efisien menghadirkan beberapa masalah-
masalah baru antara lain kekurangan sumberdaya, proses yang
tidak terpantau akibat adanya otorisasi kelembagaan yang
terbatas, dan komitmen rendah terhadap proses dan kualitas.
Hingga saat ini, solusi yang telah dilakukan adalah dengan
melakukan terobosan regulasi, sumber daya dan infrastruktur
teknologi (IT) yang bersifat responsif namun belum komprehensif
menurunkan waktu, biaya dan prosedur perijinan yang terkait
dengan pemanfaatan ruang. Hal ini terbukti dengan masih
rendahnya peringkat pendaftaran tanah/properti Indonesia dalam
hal Ease of Doing Business (EoDB) dibanding negara-negara di
Asia Tenggara misalnya Vietnam dan Malaysia.
4. Kualitas substansi tata ruang. Rendahnya jumlah produk tata
ruang detil (RDTR) sebesar 2,88% dari total 1878 lebih target tata
ruang detil selama kurun waktu 5 tahun, telah coba ditangani
dengan strategi pendampingan, dukungan data dan infrastruktur,
asistensi bantuan teknis kepada institusi di daerah agar
mempercepat proses penyusunan tata ruang detil. Namun
demikian selain rendahnya capaian (completeness), terdapat
permasalahan dalam hal kualitas (quality), misalnya saja kepatu-
han dalam menggabungkan informasi pola ruang terkait area
kawasan dan budidaya serta tematik (misalnya lindung,
bahaya/berbasis mitigasi risiko bencana, dan kekumuhan).
5. Pelaksanaan pengendalian pemanfaatan tata ruang berbasis data
terpadu. Pengendalian tata ruang memegang amanah yang
penting dalam era perencanaan pembangunan “by process” saat
ini. Ketegasan dalam pemberian “stick and carrot” (insentif
disinsentif) dalam pengendalian tata pemanfaatan tanah dan ruang
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 37

terhadap pola ruang sudah menjadi hal yang layak untuk


dilakukan. Kendala terbesar dalam pengendalian pemanfaatan
ruang meliputi: (a) kurangnya transparansi dan sharing
mechanism produk tata ruang, perijinan dan administrasi
pertanahan dan (b) belum terciptanya interoperabilitas data ruang
dan data pertanahan. Interoperabilitas menjadi prasyarat penting
jika lembaga ingin menerapkan standar global terkait digitalisasi
informasi, transformational governance, dan dukungan terhadap
tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development
goals).

Berbagai isu strategis perkembangan wilayah dan penataan ruang


yang tertuang dalam kedua Renstra Kementerian ATR/BPN di atas
menunjukkan bahwa pemerintah menyadari betul bahwa terdapat
berbagai permasalahan penataan ruang yang harus mendapatkan
perhatian dan alternatif penyelesaiannya.
Terhadap permasalahan perkembangan wilayah dan penataan
ruang sebagaimana di atas, Kementerian ATR/BPN telah
mengupayakan berbagai strategi dan langkah-langkah untuk meng-
atasinya. Salah satu contoh kebijakan dan kegiatan yang ada pada
Kementerian ATR/BPN untuk mengatasi permasalahan perkembangan
wilayah dan penataan ruang adalah konsolidasi tanah. Dalam hal ini
konsolidasi tanah dikedepankan, mengingat konsolidasi tanah tidak
sekedar penataan bidang-bidang tanah, tetapi juga diorientasikan
untuk penataan kawasan.
Konsolidasi tanah adalah salah satu kegiatan yang ada di dalam
program penataan agraria. Konsolidasi tanah bukanlah suatu cara baru
untuk mengatasi permasalahan perkembangan wilayah. Sejak tahun
1991, pelaksanaan konsolidasi tanah sudah diatur dalam Peraturan
Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah.
Mengingat peraturan lama tersebut belum mampu menampung
perkembangan dan kebutuhan pengaturan maka digantikan oleh
38 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 12 Tahun 2019 tentang


Konsolidasi Tanah.

Gambar 5. Peningkatan kualitas lingkungan pasca konsolidasi tanah


(Sumber: Direktorat Konsolidasi Tanah 2016)
Konsolidasi tanah adalah penataan kembali penguasaan, pemi-
likan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan ruang yang sesuai
dengan RTRW serta usaha penyediaan tanah untuk kepentingan
pembangunan dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan dan
pemeliharaan sumberdaya alam dengan melibatkan partisipasi aktif
masyarakat. Gambar 5 merupakan ilustrasi sederhana yang
menunjukkan kondisi sebelum konsolidasi tanah dan sesudah
konsolidasi tanah.

Gambar 6. Pertambahan nilai bidang tanah yang menjadi objek


konsolidasi tanah
(Sumber: Direktorat Konsolidasi Tanah 2016)
Secara jelas, dapat tergambarkan adanya peningkatan kualitas
lingkungan dari ilustrasi paada Gambar 5. Peningkatan kualitas ling-
kungan dalam pelaksanaan konsolidasi tanah tersebut dapat dirasakan
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 39

oleh peserta konsolidasi tanah tanpa melalui proses penggusuran dari


tempat tinggalnya. Dampak dari peningkatan kualitas lingkungan,
aksesibilitas ke fasos fasum, dan kepastian hukum kepemilikan tanah
adalah meningkatnya nilai tanah walaupun luas tanah yang dimiliki
menjadi berkurang (Gambar 6). Dari sisi pemerintah, kesediaan
masyarakat untuk menyumbangkan tanahnya dalam pembangunan
menjadi sebuah keuntungan apabila terdapat keterbatasan anggaran
untuk penyediaan tanah.
Tanah yang disumbangkan para pemilik tanah untuk pembangu-
nan disebut dengan Sumbangan Tanah Untuk Pembangunan (STUP).
Ilustrasi STUP dilihat pada Gambar 7. Besar kecilnya STUP dari para
peserta konsolidasi tanah sesuai dengan kesepakatan bersama. Kesepa-
katan bersama. Kesepakatan tersebut dibuat dan dihitung berdasarkan
kebutuhan tanah untuk pembangunan prasarana, sarana dan utilitas
(PSU) yang akan disediakan. Terhadap pemilik tanah yang tidak
mampu menyumbangkan tanahnya maka dapat menggantinya dengan
uang atau bentuk lain sesuai kesepakatan bersama.

Gambar 7. Penataan bidang tanah berbasiskan STUP dari para pemilik


tanah
(Sumber: Direktorat Konsolidasi Tanah 2016)
40 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Tabel 3. Wilayah-wilayah Prioritas Pelaksanaan Konsolidasi Tanah


Bekas
Pengembangan Optimalisasi
Peremajaan Kota Bencana dan
Wilayah Tanah Pertanian
Konflik
1. Wilayah permu- 1. Wilayah yang 1. Wilayah tanah Wilayah pasca
kiman yang sudah atau pertanian yang bencana alam
tumbuh dan cenderung penguasaan dan konflik
perkembangan- menjadi kumuh tanahnya tidak yang menye-
nya tidak teratur 2. Wilayah terisolir tetap (gogol- babkan lingku-
2. Wilayah karena tertutup gilir) ngan menjadi
pengembangan dan terbatas 2. Tanah-tanah porak poranda
yang direncana- akses pertanian yang dan mayoritas
kan sebagai kota 3. Wilayah permu- ditetapkan men- batas tanah
baru atau pusat kiman padat jadi lahan perta- menjadi hilang
permukiman yang lingku- nian berkelan-
3. Wilayah yang ngannya tidak jutan
memerlukan sehat
akses untuk 4. Wilayah
penghubung permukiman
antar sempadan
permukiman sungai
4. Kawasan siap
bangun yang
sudah
ditetapkan di
RTRW
5. Wilayah
pinggiran kota
yang sudah
berkembang
6. Wilayah
pengembangan
dan perluasan
perkebunan
rakyat dan
pembukaan
areal pertanian
baru
7. Wilayah perta-
nian yang belum
memiliki PSU
pendukung

Direktur Konsolidasi Tanah (2016) mengemukakan terdapat 4


(empat) kriteria sehingga suatu wilayah dapat dijadikan lokasi prioritas
pelaksanaan konsolidasi, yaitu pengembangan wilayah, peremajaan
kota, optimalisasi tanah pertanian, serta bekas bencana dan konflik
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 41

(Tabel 3). Selain 4 (empat) kriteria yang bersifat horisontal, konsolidasi


tanah dapat pula ditujukan untuk lokasi dengan hunian vertikal.
Konsolidasi tanah yang bersifat vertikal ditujukan untuk melakukan
penataan lingkungan perkotaan melalui pembangunan rumah susun.
Wilayah yang telah ditetapkan sebagai lokasi konsolidasi tanah
kemudian dilanjutkan dengan proses berikutnya, yaitu sosialisasi,
penjajakan data fisik dan yuridis, penyusunan desain konsolidasi,
pelepasan hak atas tanah, penegasan objek konsolidasi, pemindahan
desain ke lapangan atau stake out, penerbitan SK dan sertipikat, dan
diakhiri dengan tindak lanjut hasil kegiatan konsolidasi. Sepanjang
rangkaian kegiatan pelaksanaan konsolidasi tanah terdapat masalah
yang umum terjadi, baik di lingkup masyarakat, pemerintah daerah,
maupun di tataran teknis pelaksanaan. Kesulitan untuk berkumpul
dalam waktu bersamaan, kesulitan untuk mencapai kesepakatan, tidak
memahami manfaat kegiatan, dan tidak bersedia menyumbangkan
tanah adalah beberapa contoh permasalahan yang ditemui di ling-
kungan masyarakat peserta konsolidasi. Di lingkup pemerintah daerah
permasalahan yang umum dijumpai seperti terlambatnya penerbitan
SK penetapan lokasi, tidak ada koordinasi lintas Organisasi Perangkat
Daerah (OPD), tidak ada realisasi pembangunan fisik seperti desain
yang sudah disepakati, dan lamanya pengambilan keputusan. Di
tataran teknis pelaksanaan, permasalahan yang sering dijumpai antara
lain terlambatnya penandatanganan SK penetapan lokasi, tidak
jelasnya batas bidang tanah yang belum terdaftar, tidak ada surat/bukti
penguasaan bidang tanah, prasarana tidak terbangun sesuai desain
konsolidasi, dan prasarana tidak kunjung dibangun sesuai desain
konsolidasi yang sudah disepakati.
Salah satu contoh lokasi yang berhasil melakukan konsolidasi
tanah adalah di Painan Utara dan Painan Timur, Kota Pesisir Selatan,
Provinsi Sumatera Barat (Gambar 8). Konsolidasi tanah yang
dilaksanakan pada tahun anggaran 1986/1987 tersebut berada di lokasi
lahan dengan luas 56,44 Ha dan jumlah peserta sebanyak 412 KK.
Indikasi keberhasilan kegiatan dapat dilihat dari terbangunnya
42 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

sejumlah permukiman yang tertata rapi dan dilengkapi dengan sejum-


lah PSU. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari peran serta aktif
seluruh peserta konsolidasi dan OPD yang terlibat dalam kegiatan
konsolidasi.

Gambar 8. Kondisi pra dan pasca konsolidasi tanah di Painan Utara


dan Painan Timur
(Sumber: Kementerian Agraria dan Tata Ruang 2017)
Ditinjau dari tahapan peneyelenggaraan, terdapat 4 (empat)
tahapan dalam penyelenggaraan konsolidasi tanah sebagai berikut:
1. Perencanaan konsolidasi tanah
Konsolidasi tanah difokuskan pada wilayah/lokasi tertentu dan
dapat dilakukan terhadap semua jenis tanah yang didalamnya terdapat
pemilikan atau penguasaan, mulai dari tanah yang sudah terdaftar,
tanah hak yang belum terdaftar, tanah Negara yang dikuasai atau
digarap, dan tanah aset BUMN/BUMD/Badan Hukum lain yang sudah
dilepaskan dan/atau dikuasai masyarakat. Fokus pelaksanaan
konsolidasi tanah terletak di kawasan pasca bencana dan konflik,
kawasan kumuh, dan program strategis. Kawasan pasca bencana dan
konflik menjadi salah satu prioritas konsolidasi tanah karena di wilayah
tersebut mayoritas batas bidang tanahnya hilang atau bahkan tanahnya
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 43

musnah. Berikutnya kawasan kumuh dan program strategis menjadi


prioritas konsolidasi tanah sebagai akibat dari adanya penetapan dari
Pemerintah/pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas
kehidupan di wilayah tersebut.
Ditinjau dari subyek peserta kegiatan, semua WNI dan/atau Badan
Hukum yang memegang hak dan menggarap tanah Negara dapat
diikutsertakan sebagai peserta konsolidasi tanah. Konsolidasi tanah
dapat terselenggara apabila 60% peserta konsolidasi di lokasi/wilayah
yang akan dikonsolidasi menyatakan persetujuannya. Dalam hal
pemegang hak/penggarap tanah tidak bersedia menjadi peserta maka
dapat mengalihkan hak/penguasaan/garapan tanahnya kepada pihak
lain yang bersedia menjadi peserta. Dalam hal pemegang
hak/penggarap tanah tidak bersedia mengalihkan kepada pihak lain
dan tidak bersedia mengikuti konsolidasi tanah maka dilakukan
mekanisme pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Disamping subyek dan objek, terdapat beberapa hal yang menjadi
perhatian dalam proses perencanaan yaitu sebagai berikut:
a. RTRW, RDTR, atau rencana detail lain yang diatur dalam
perundang-undangan;
b. Daya dukung dan daya tampung lingkungan serta perlindungan
terhadap sumber daya alam, keanekaragaman hayati, lanskap
(pusaka saujana/heritage) dan situs budaya;
c. Usulan masyarakat di lokasi Konsolidasi Tanah;
d. Kebutuhan prasarana, sarana, dan utilitas;
e. Program pemberdayaan masyarakat; dan
f. Kebijakan pembangunan daerah.

Hasil analisis dan perencanaan kemudian dituangkan dalam


sebuah dokumen perencanaan, yang berisikan penjelasan tentang
lokasi, luas, jumlah bidang tanah, serta keterangan lain yang dianggap
perlu untuk pelaksanaan konsolidasi tanah. Dokumen perencanaan
tersebut kemudian menjadi dasar dalam penerbitan keputusan
penetapan lokasi yang disahkan oleh bupati/walikota/gubernur/men-
44 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

teri. Apabila penetapan lokasi sudah ditetapkan oleh pimpinan daerah


atau pimpinan kementerian (menteri) maka tidak diperkenankan lagi
adanya kegiatan peralihan hak dan/atau penguasaan tanah.

2. Pelaksanaan konsolidasi tanah


Konsolidasi tanah dilaksanakan oleh tim perencana/pelaksana
konsolidasi tanah, yang meliputi kegiatan sebagai berikut:
a. Pengumpulan data fisik, yuridis, dan penilaian objek konsolidasi
tanah
Dari kegiatan pengumpulan data fisik dan yuridis dihasilkan daftar
subjek-objek dan peta rincikan bidang tanah. Dalam hal bidang tanah
sudah terdaftar dan tervalidasi di sistem Komputerisasi Kantor
Pertanahan (KKP) maka tidak dilakukan pengukuran bidang tanah,
sedangkan terhadap bidang tanah yang belum terdaftar maka hasil
pengumpulan data fisik dan yuridis diumumkan selama 14 (empat
belas) hari kalender di kantor desa/kelurahan dan kantor pertanahan
setempat. Jika dalam masa pengumuman terdapat keberatan dari
peserta konsolidasi, dilakukan perubahan dan hasil perubahan
dituangkan dalam Berita Acara pengumpulan data fisik dan yuridis.
Di sisi lain, dari kegiatan penilaian objek konsolidasi tanah
dihasilkan daftar penilaian objek konsolidasi tanah. Daftar tersebut
memuat hasil penilaian terhadap tanah, bangunan, tanaman, dan
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah. Nilai yang dihasilkan
merupakan hasil penetapan nilai oleh kantor pertanahan atau tim
penilai pertanahan. Penilaian objek konsolidasi tanah dilakukan
sebagai dasar untuk (1) penetapan luas, bentuk dan letak bidang tanah
yang akan diperoleh kembali masyarakat peserta; (2) perhitungan aset
masyarakat peserta; dan (3) pemberian ganti kerugian apabila
dibutuhkan.
Dalam hal kegiatan konsolidasi tanah vertikal, pengumpulan data
fisik ditambahkan dengan pengukuran keliling bidang tanah yang
menjadi tanah bersama untuk mendapatkan data luas dan batas.
Berikutnya pada kegiatan penilaian digunakan untuk menentukan nilai
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 45

proporsional kepemilikan aset peserta pada tanah milik bersama


dan/atau penilaian ganti kerugian. Nilai proporsional kepemilikan aset
tersebut digunakan sebagai dasar dalam konversi ke unit hunian
dan/atau non-hunian dan apabila pembangunan konsolidasi tanah
vertikal dikerjasamakan dengan pelaku pembangunan maka digunakan
sebagai dasar penyertaan saham (profit sharing).
b. Penyusunan desain dan rencana aksi konsolidasi tanah
Desain konsolidasi tanah mencakup berbagai unsur, seperti (1)
tema dan arah pengembangan kawasan; (2) rencana blok peruntukan
kawasan; (3) penentuan luas, bentuk dan letak bidang tanah; dan (4)
luas dan letak tanah pengganti yang terdiri dari tanah untuk PSU, dan
tanah usaha bersama (TUB). Desain tersebut dibuat oleh tim
perencana/pelaksana dan kemudian dimusyawarahkan dengan
masyarakat peserta konsolidasi tanah. Hasil kesepakatan dengan
masyarakat peserta kemudian dituangkan dalam Berita Acara
Kesepakatan Desain.
Rencana aksi dituangkan dalam sebuah Berita Acara yang
ditandatangani oleh wakil pemangku kepentingan dan disusun untuk
memberikan panduan dalam pelaksanaan konsolidasi tanah. Rencana
aksi memuat hal-hal seperti (1) tahapan dan jadwal pelaksanaan
pembangunan; (2) rencana pembangunan PSU; (3) rencana detil ba-
ngunan/gedung; (4) kebutuhan biaya pembangunan; (5) rencana dan
sumber pembiayaan; dan (6) skema kerja sama pembangunan
konsolidasi tanah dan peran setiap pemangku kepentingan.
Dalam hal kegiatan konsolidasi tanah vertikal, desain rumah susun
(pertelaan) menggambarkan batas-batas hak perorangan (satuan
rumah susun), hak bersama (bagian bersama, benda bersama, dan
tanah bersama), dan nilai perbandingan proporsional (NPP).
Pembiayaan pembangunan pada konsolidasi tanah vertikal bersumber
pada TUB atau unit tambahan yang dikomersilkan. Desain konsolidasi
tanah vertikal dapat berupa rumah susun milik, rumah susun sewa,
kampung susun, kawasan berorientasi transit (transit oriented
development), kawasan pusat bisnis terpadu (central business
46 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

district/superblock), peremajaan kawasan terpadu (inclusive urban


renewal), dan/atau kombinasi dari beberapa desain.
c. Pelepasan hak atas tanah dan penegasan tanah objek konsolidasi
tanah
Pelepasan hak atas tanah dilakukan terhadap objek konsolidasi
tanah dan dilaksanakan di hadapan kepala kantor pertanahan.
Pelepasan dituangkan dalam Berita Acara Pelepasan Hak Atas Tanah
yang berisikan tentang pernyataan bahwa status tanah menjadi
penguasaan langsung Negara dan pemberian kembali hak atas tanah
kepada peserta dan penerima PSU dan TUB. Berita acara tersebut
dilengkapi juga dengan penyerahan asli surat bukti pemilikan atau
penguasaan tanah.
Penegasan tanah objek diusulkan oleh kepala kantor pertanahan
kepada kepala kantor wilayah untuk diterbitkan Keputusan Penegasan
Tanah Objek Konsolidasi Tanah. Keputusan penegasan memuat hal-hal
seperti (1) tanah yang dilepaskan dan akan diberikan kembali kepada
peserta; (2) TP yang dialokasikan untuk PSU dan/atau TUB; dan (3)
daftar nama peserta dan penerima bidang PSU dan/atau TUB. Dengan
adanya penegasan ini akan memberikan kewenangan kepada tim
perencana pelaksana untuk menata kembali bidang tanah sesuai
dengan desain konsolidasi tanah yang sebelumnya sudah disepakati.
Dalam hal kegiatan konsolidasi tanah vertikal, pelepasan hak atas
tanah dan penegasan tanah objek konsolidasi tanah vertikal berlaku
aturan/prosedur yang sama dengan kegiatan konsolidasi tanah
horisontal.
d. Penerapan desain konsolidasi tanah (staking out)
Desain konsolidasi tanah diterapkan atau dilakukan stake out di
lapangan pasca penerbitan keputusan penegasan tanah objek kegiatan
konsolidasi tanah. Penerapan desain di lapangan sesuai dengan peta
desain yang sudah disepakati peserta dan disahkan tim
perencana/pelaksana. Penerapan desain selanjutnya dibuatkan Berita
Acara yang disetujui para peserta dan digunakan sebagai dasar pem-
buatan peta bidang tanah untuk para peserta, PSU dan/atau TUB.
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 47

Dalam hal kegiatan konsolidasi tanah vertikal, penerapan desain


konsolidasi tanah vertikal berlaku aturan/prosedur yang sama dengan
kegiatan konsolidasi tanah horisontal.
e. Penerbitan sertipikat hak atas tanah dan penyerahan hasil
konsolidasi tanah
Keputusan kepala kantor pertanahan tentang pemberian hak atas
tanah diterbitkan berdasarkan peta bidang hasil stake out. Hak yang
diberikan dapat berupa hak individual atau hak bersama sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Terhadap tanah untuk
prasarana haknya diberikan kepada pemerintah daerah setempat,
sedangkan tanah untuk sarana dapat diberikan kepada pemerintah
daerah atau perhimpunan peserta yang berbadan hukum atau nadzir
atau badan hukum keagamaan.
Semua bidang tanah yang telah ditetapkan keputusan pemberian
haknya dan didaftarkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan maka dapat diterbitkan surat tanda bukti hak
atas tanah/sertipikat tanah. Pada kegiatan konsolidasi tanah vertikal,
sertipikat tanah bersama diterbitkan atas nama peserta dan/atau
pemangku kepentingan sedangkan sertipikat hak yang berada di atas
tanah bersama diterbitkan berdasarkan desain yang disepakati.
Sebelum menerima sertipikat tanah, para peserta konsolidasi tanah
yang tanahnya tidak berasal dari tanah hak diwajibkan untuk
melakukan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) dengan besaran nilai pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

3. Pembangunan hasil konsolidasi tanah


Pelaksanaan pembangunan hasil konsolidasi tanah dilakukan oleh
pemangku kepentingan sebagaimana yang disebutkan dalam dokumen
rencana aksi. Adapun tahapan pembangunan konsolidasi tanah
meliputi:
48 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

a. Persiapan pelaksanaan pembangunan


Persiapan pelaksanaan pembangunan dimaksudkan untuk meng-
awali perwujudan secara fisik dan tindak lanjut dari desain dan rencana
aksi, sedangkan pada kegiatan konsolidasi tanah vertikal ditambah
dengan kegiatan pengesahaan pertelaan dan NPP satuan rumah susun.
Pembangunan sendiri dapat dilakukan setelah penerapan desain
(staking out). Hal-hal yang disiapkan pra pelaksanaan pembangunan
meliputi: (1) administrasi perizinan pembangunan kawasan dan
gedung; (2) penunjukan kontraktor pembangunan oleh para peserta;
(3) dokumen kerja sama investasi antara para peserta dengan
kontraktor pembangunan; (4) relokasi sementara para peserta ke lokasi
yang sudah ditetapkan bupati/walikota/gubernur; dan (5) penyiapan
dan pembersihan lahan konsolidasi tanah.
b. Pembangunan PSU
Pembangunan PSU merupakan perwujudan dari desain
konsolidasi tanah secara fisik dan dilakukan secara bertahap sesuai
kebutuhan perkembangan kawasan. Pada kegiatan konsolidasi tanah
vertikal, selain pembangunan PSU dilakukan juga pembangunan
bangunan gedung. Pasca pembangunan terdapat hal-hal yang wajib
dilakukan kontraktor pembangunan, yaitu (1) mengajukan permo-
honan izin layak huni kepada pemerintah daerah setempat; (2)
menyerahkan gambar dan ketentuan teknis terperinci kepada para
peserta tentang tata cara penggunaan, pemeliharaan, dan perbaikan
terhadap bangunan gedung dan isinya; dan (3) membuat akta pemisa-
han, uraian, dan gambar pertelaan sesuai persetujuan para peserta
untuk disahkan oleh instansi terkait.
c. Penerbitan sertipikat hak atas tanah dan serah terima aset untuk
konsolidasi tanah vertikal
Sertipikat hak atas tanah yang diterbitkan pada kegiatan
konsolidasi tanah vertikal berupa sertipikat hak milik atas satuan
rumah susun (HMSRS). Selain sertipikat HMSRS juga diterbitkan
sertifikat kepemilikan bangunan gedung. Pemberian sertipikat HMSRS
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 49

dan sertifikat kepemilikan gedung dilakukan berdasarkan pada


perhitungan pertelaan sesuai desain konsolidasi tanah vertikal.
d. Pembentukan perhimpunan pemilik dan penghuni serta
pemberdayaaan masyarakat
Pembentukan perhimpunan pemilik dan penghuni serta kegiatan
pemberdayaan dilaksanakan untuk menjamin hak untuk mengelola
dan meningkatkan nilai tambah hasil konsolidasi tanah. Dalam hal
konsolidasi tanah vertikal maka perhimpunan pemilik dan penghuni
dibentuk dalam sebuah badan hukum. Pelaksanaan pemberdayaan
dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
e. Pengelolaan aset hasil konsolidasi tanah
Pengelolaan aset dimaksudkan untuk menjamin terpeliharanya
fungsi-fungsi bangunan dan PSU untuk mendukung keberlanjutan
kualitas lingkungan. Pengelolaan ini dilaksanakan oleh pemerintah
daerah dan/atau perhimpunan penghuni sesuai dengan kewenangan
dan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam hal konsolidasi
vertikal, aset hasil konsolidasi meliputi tanah bersama, bagian bersama,
dan benda bersama.

4. Pengawasan konsolidasi tanah


Pengawasan konsolidasi tanah dilaksanakan oleh Tim Koordinasi
Konsolidasi Tanah (Tabel 4). Tim koordinasi ini mempunyai fungsi
mengkoordinasikan penyelenggaraan dan penanganan permasalahan
dalam kegiatan konsolidasi tanah. Tim dibentuk oleh bupati/walikota
jika konsolidasi tanah skala kecil dan oleh gubernur jika konsolidasi
tanah skala besar, sedangkan untuk konsolidasi tanah di lokasi
strategis akan dibentuk oleh menteri. Di dalam susunan
keanggotaannya, tim koordinasi dapat dilengkapi dengan anggota yang
berasal dari kalangan akademisi, praktisi, kelompok masyarakat, dan
unsur pemangku kepentingan lainnya.
Pengawasan konsolidasi tanah dilaksanakan terhadap seluruh
proses penyelenggaraan konsolidasi tanah, mulai dari tahap
50 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

perencanaan, pelaksanaan, dan pembangunan. Adapun yang dilakukan


oleh Tim Koordinasi dalam pengawasan meliputi 5 (lima) hal berikut:
a. Pemantauan kesesuaian tahapan dan dokumen konsolidasi tanah,
yang bertujuan untuk menjamin konsistensi dan kualitas
penyelenggaraan konsolidasi tanah pada tahap perencanaan dan
pelaksanaan konsolidasi tanah. Hal-hal yang dipantau meliputi 3
(tiga) aspek, yaitu aspek administrasi, aspek teknis, dan aspek
kualitas kinerja. Apabila dalam proses evaluasi terdapat
ketidaksesuaian tahapan dan kelengkapan dokumen maka Tim
Koordinasi akan memberikan surat pemberitahuan kepada Tim
Perencana/Pelaksana. Tim Perencana/Pelaksana kegiatan
konsolidasi kemudian diwajibkan memberbaiki tahapan atau
melengkapi dokumen dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
diterimanya surat pemberitahuan.
b. Pemantauan progres dan implementasi desain konsolidasi tanah,
yang bertujuan untuk memastikan pelaksanaan rencana aksi dan
implementasi desain pada tahap pembangunan yang di dalamnya
diatur mengenai penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan ruang. Pemantauan
progres dan implementasi dilakukan terhadap 3 (tiga) tahapan,
yaitu pada tahapan persiapan pembangunan, tahapan
pembangunan lokasi, dan tahapan pengelolaan. Apabila dalam
proses evaluasi terdapat ketidaksesuaian terhadap rencana aksi
dan desain konsolidasi maka Tim Koordinasi akan memberikan
surat pemberitahuan kepada pemangku kepentingan yang
bertanggung jawab.
c. Pemantauan dan evaluasi dampak, yang bertujuan untuk
memastikan penyelenggaraan konsolidasi tanah membawa
peningkatan nilai tambah bagi suatu kawasan. Pemantauan dan
evaluasi dampak dilakukan oleh Kantor Wilayah atau pemerintah
daerah sesuai tanggung jawab dan kewenangan masing-masing.
Pemantauan dan evaluasi dampak meliputi 3 (tiga) hal, yaitu (1)
perubahan perilaku sosial budaya dan kondisi lalu lintas di sekitar
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 51

kokasi konsolidasi; (2) peningkatan nilai ekonomi terhadap tanah


dan bangunan; dan (3) perbaikan lingkungan termasuk potensi
bencana alam, bencana non-alam, dan bencana sosial.

Tabel 4. Susunan Tim Koordinasi Konsolidasi Tanah


Jabatan Penjabat
dalam
Tim Konsolidasi Skala Kecil Konsolidasi Skala Besar
Ketua Bupati/Walikota Gubernur
Ketua
Kepala Kantor Pertanahan Kepala Kantor Wilayah
Harian
Kepala Seksi Penataan
Sekre- Kepala Bidang Penataan Pertanahan
Pertanahan pada Kantor
taris pada Kantor Wilayah
Pertanahan
1. Kepala Bidang Penataan
Pertanahan
1. Bupati/Walikota
2. Kepala Bappeda
2. Kepala Bappeda
3. Sekda
3. Sekda
4. Kepala unit organisasi di
4. Kepala unit organisasi di bidang
bidang PUPR di lingkungan
PUPR di lingkungan Pemda
Pemda
5. Kepala unit organisasi di bidang
Anggo- 5. Kepala unit organisasi di
Pertanian di lingkungan Pemda
ta bidang Pertanian di
6. Kepala unit organisasi di bidang
lingkungan Pemda
perumahan rakyat dan kawasan
6. Kepala unit organisasi di
permukiman di lingkungan
bidang perumahan rakyat
Pemda
dan kawasan permukiman di
7. Kepala Kantor Pertanahan di
lingkungan Pemda
lokasi kegiatan konsolidasi
7. Perwakilan instansi lain yang
terkait penataan
Sumber: Permen ATR/Kepala BPN Nomor 12 Tahun 2019
d. Pemantauan dan evaluasi dampak, yang bertujuan untuk
memastikan penyelenggaraan konsolidasi tanah membawa
peningkatan nilai tambah bagi suatu kawasan. Pemantauan dan
evaluasi dampak dilakukan oleh Kantor Wilayah atau pemerintah
daerah sesuai tanggung jawab dan kewenangan masing-masing.
Pemantauan dan evaluasi dampak meliputi 3 (tiga) hal, yaitu (1)
perubahan perilaku sosial budaya dan kondisi lalu lintas di sekitar
kokasi konsolidasi; (2) peningkatan nilai ekonomi terhadap tanah
dan bangunan; dan (3) perbaikan lingkungan termasuk potensi
bencana alam, bencana non-alam, dan bencana sosial.
52 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

e. Evaluasi kinerja kawasan dan pembangunan secara berkala, yang


bertujuan untuk mengetahui perkembangan dan perubahan fisik
kawasan serta keberlanjutan fungsi kawasan sesuai dengan tujuan
penyelenggaraan konsolidasi. Evaluasi kinerja kawasan dan
pembangunan dilakukan per 5 (lima) tahun.
f. Perencanaan dan pembangunan kembali kawasan jangka panjang,
yang bertujuan untuk mengantisipasi kebutuhan peremajaan dan
revitalisasi kawasan hasil konsolidasi. Peremajaan dan revitalisasi
dilakukan agar kondisi dan fungsi kawasan dan/atau bangunan
sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah. Namun demikian,
kegiatan peremajaan dilakukan dengan tetap mempertimbangkan
kesepakatan para penghuninya. Peremajaan ini dilakukan apabila
(1) jangka waktu HGB telah habis; (2) kondisi fisik bangunan
sudah tidak layak huni akibat faktor usia atau bencana; dan (3)
perubahan kebijakan tata ruang dan/atau pembangunan daerah.

3.4. Tugas
Berikut ini adalah tugas tugas yang harus dikerjakan oleh masing-
masing peserta didik untuk memperdalam pemahaman dan
kemampuan mengidentifikasi problematika perkembangan wilayah
yang terjadi disekeliling kita.
A. Tujuan Tugas
Mengidentifikasi problematika perkembangan wilayah.
B. Uraian Tugas
1. Objek garapan: Dinamika Perkembangan Wilayah
2. Metode/cara pengerjaan (acuan cara/langkah pengerjaan):
a. Mengidentifikasi problematika perkembangan wilayah dari
naskah yang relevan
b. Menuliskan dan menganalisis secara singkat
c. Men-submit secara online pada ruang diskusi yang ada pada
www.manajemenpertanahan.blogspot.com selambat lambat-
nya 14 hari setelah tugas ini diberikan
3. Deskripsi luaran tugas yang dihasilkan:
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 53

Naskah singkat yang dituliskan secara online, spasi tunggal,


maksimal 1 halaman.

3.5. Pustaka
Archer, Ray W 1994. Urban Land Consolidation for Metropolitan Jakarta
Expansion, 1990-2010. Habitat International, vol. 18, no. 4, hlm 37-
52.
Budiharjo, Eko 1996, Tata Ruang Perkotaan, PT. Alumni, Bandung.
Catanese, Anthony J, dan Snyder, James C 1988, Perencanaan Kota,
Erlangga, Jakarta.
Direktorat Konsolidasi Tanah Direktorat Jenderal Penataan Agraria
2017, Konsolidasi Tanah, Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Jakarta
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional 2017,
Konsolidasi Tanah Sebagai Instrumen Untuk Mendukung Tata
Ruang Berkelanjutan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN,
Jakarta
Sutaryono, 2007. Dinamika Penataan Ruang dan Peluang Otonomi
Daerah, TuguJogja Grafika, Yogyakarta.
Widyatmoko, Djarot S 1998, 'Dinamika Wilayah Dalam Perspektif
Geografis', Proseding Seminar Nasional: Konsep dan Analisis
Spasiotemporal, Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta
Wijaya, G.P., Silviana A., dan Triyono 2016, 'Praktik Konsolidasi Tanah
Perkotaan Sebagai Alternatif Model Pembangunan Wilayah
Perkotaan Tanpa Pembebasan Tanah', Diponegoro Law Review,
vol. 5, no. 2
Yunus, Hadi S 2000, Struktur Tata Ruang Kota, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 25 Tahun 2015 tentang Rencana Strategis
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Tahun 2015-2019
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 12 Tahun 2019 tentang Konsolidasi Tanah.
54 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

BAB IV
PRODUK-PRODUK PENATAAN RUANG

Muatan pada bab ini berisi tentang produk-produk penataan


ruang yang digunakan dalam rangka penyelesaian konflik. Sebagai-
mana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang bahwa penataan ruang adalah suatu sistem
proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Sedangkan penyelenggaraan penataan ruang
adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksana-
an,dan pengawasan penataan ruang. Oleh karena itu, untuk dapat
memahami persoalan penataan ruang, utamanya berkenaan dengan
operasionalisasi dalam bidang pertanahan dan pembangunan wilayah
maka pengenalan terhadap produk-produk penataan ruang harus
dikedepankan.

Gambar 9. Skema pelaksanaan penataan ruang


Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 55

Capaian Pembelajaran Mata Kuliah Ketiga (CPMK3) yang hendak


dicapai melalui bab ini adalah peserta didik mampu menganalisis pro-
duk-produk penataan ruang dalam rangka pelayanan pertanahan dan
penyelesaian konflik. Produk-produk penataan ruang tersebut terbagi
dalam 3 ranah, yakni ranah perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Gambar 9 menampilkan
produk-produk penataan ruang dalam skema pelaksanaan penataan
ruang.

4.1. Perencanaan Tata Ruang


Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan
struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan
penetapan rencana tata ruang. Rencana tata ruang adalah hasil
perencanaan tata ruang. Secara umum kegiatan perencanaan tata
ruang menghasilkan 2 (dua) produk penataan ruang, yakni rencana
umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang
Secara skematis produk rencana umum tata ruang dan rencana
rinci tata ruang, baik pada level pemerintah maupun pemerintah
daerah dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Skema produk rencana tata ruang


56 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Produk rencana umum tata ruang bersifat hierarki dari pusat ke


daerah (Gambar 11), yang berlaku selama 20 tahun dan dapat ditinjau
kembali sekali dalam setahun. Adapun rencana umum dan rencana
rinci tata ruang adalah sebagai berikut:
1. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional harus harus
memperhatikan: (1) Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional; (2)
perkembangan permasalahan regional dan global, serta hasil
pengkajian implikasi penataan ruang nasional; (3) upaya pemerataan
pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi; (4) kesela-
rasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah; (5)
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; (6) rencana
pembangunan jangka panjang nasional; (7) rencana tata ruang kawasan
strategis nasional; dan (8) rencana tata ruang wilayah provinsi dan
rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat: (1) tujuan,
kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah nasional; (2) rencana
struktur ruang wilayah nasional yang meliputi sistem perkotaan
nasional yang terkait dengan kawasan perdesaan dalam wilayah
pelayanannya dan sistem jaringan prasarana utama; (3) rencana pola
ruang wilayah nasional yang meliputi kawasan lindung nasional dan
kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis nasional; (4) penetapan
kawasan strategis nasional; (5) arahan pemanfaatan ruang yang berisi
indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan (6)
arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional yang berisi
indikasi arahan peraturan zonasi sistem nasional, arahan perizinan,
arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional digunakan sebagai pedo-
man untuk:
a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di
wilayah nasional;
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 57

d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan


perkembangan antar wilayah provinsi, serta keserasian antar
sektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;
f. penataan ruang kawasan strategis nasional; dan
g. penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota.

Gambar 11. Hierarki rencana tata ruang


(Sumber: Direktorat Jenderal Tata Ruang Kementerian ATR/BPN t.t., 7)
2. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi merupakan produk
rencana tata ruang pada level provinsi dan merupakan otoritas
pemerintah provinsi. Produk ini berupa peraturan daerah yang berlaku
dalam 20 tahun. Dalam penyusunannya RTRW Provinsi mengacu pada:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. Pedoman bidang penataan ruang, yang saat ini diatur dengan
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten
dan Kota; dan
c. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD).
Hal-hal yang wajib diperhatikan dalam penyusunan RTRW Pro-
vinsi berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 adalah:
58 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

a. perkembangan permasalahan nasional dan hasil pengkajian


implikasi penataan ruang provinsi;
b. upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
provinsi;
c. keselarasan aspirasi pembangunan provinsi dan pembangunan
kabupaten/kota;
d. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
e. rencana pembangunan jangka panjang daerah;
f. rencana tata ruang wilayah provinsi yang berbatasan;
g. rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; dan
h. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
Berkenaan dengan muatannya, RTRW Provinsi memuat berbagai
hal pokok yang berhubungan dengan pembangunan wilayah di
provinsi, yakni:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi;
b. rencana struktur ruang wilayah provinsi yang meliputi sistem
perkotaan dalam wilayahnya yang berkaitan dengan kawasan
perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan
prasarana wilayah provinsi;
c. rencana pola ruang wilayah provinsi yang meliputi kawasan
lindung dan kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis pro-
vinsi;
d. penetapan kawasan strategis provinsi;
e. arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang berisi indikasi
program utama jangka menengah lima tahunan; dan
f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang
berisi indikasi arahan peraturan zonasi sistem provinsi, arahan
perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
Rencana tata ruang wilayah provinsi sebagai acuan pembangunan
di wilayah provinsi menjadi pedoman untuk:
a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang;
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 59

d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan per-


kembangan antar wilayah kabupaten/kota, serta keserasian antar
sektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;
f. penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan
g. penataan ruang wilayah kabupaten/kota.
Secara umum RTRW Provinsi terdiri dari Rencana Struktur Ruang
dan Rencana Pola Ruang Wilayah Provinsi. Gambar berikut menam-
pilkan contoh Peta Rencana Struktur Ruang (Gambar 12) dan Peta Ren-
cana Pola Ruang (Gambar 13) di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2019-2039.

Gambar 12. Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah DIY


(Sumber: Perda Provinsi DIY Nomor 5 Tahun 2019)
60 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Gambar 13. Peta Rencana Pola Ruang Wilayah DIY


(Sumber: Perda Provinsi DIY Nomor 5 Tahun 2019)
3. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Dan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota
Sebagaimana Pemerintah dan pemerintah daerah provinsi, peme-
rintah daerah kabupaten/kota juga diberikan kewenangan dalam
penyelenggaraan penataan ruang, yang meliputi:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan
penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis
kabupaten/kota;
b. pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;
c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota;
dan
d. kerja sama penataan ruang antar kabupaten/kota.
Dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah, pemerintah kabu-
paten/kota memiliki kewenangan yang meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota;
b. pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 61

Dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabu-


paten/kota, pemerintah daerah kabupaten/kota melaksanakan hal-hal
berikut:
a. penetapan kawasan strategis kabupaten/kota;
b. perencanaan tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota;
c. pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan
d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupa-
ten/kota.

Gambar 14. Peta Rencana Kawasan Strategis Wilayah DIY


(Sumber: Perda Provinsi DIY Nomor 5 Tahun 2019)
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, rencana tata ruang wilayah
provinsi, dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota mencakup
ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam
bumi. Sebagai penjabaran atas rencana umum tata ruang, maka perlu
disusun rencana tata ruang rinci. Rencana rinci tata ruang disusun
sebagai perangkat operasional rencana umum tata ruang. Rencana rinci
tata ruang disusun apabila: (1) rencana umum tata ruang belum dapat
dijadikan dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengen-
dalian pemanfaatan ruang; dan/atau (2) rencana umum tata ruang
62 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

mencakup wilayah perencanaan yang luas dan skala peta dalam ren-
cana umum tata ruang tersebut memerlukan perincian sebelum
dioperasionalkan. Adapun produk-produk yang termasuk ke dalam
rencana rinci tata ruang adalah sebagai berikut:
a. rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang
kawasan strategis nasional;
b. rencana tata ruang kawasan strategis provinsi (Gambar 14); dan
c. rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan rencana tata ruang
kawasan strategis kabupaten/kota.
Secara substansial produk-produk rencana tata ruang berisi
muatan struktur ruang dan pola ruang sebagaimana tersaji dalam
Gambar 15.

Gambar 15. Muatan rencana tata ruang berdasarkan Undang-Undang


Nomor 26 Tahun 2007
4. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)
Regulasi yang mengatur tentang perencanaan tata ruang adalah
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 63

Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Pedoman


Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten Dan
Kota. Sementara itu yang mengatur tentang RDTR adalah Peraturan
Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 Pedoman Penyusunan
Rencana Detail Tata Ruang Dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota,
yang di dalamnya berisikan muatan RDTR, muatan PZ, dan tata cara
penyusunan RDTR-PZ. Dalam hal ini, RDTR termasuk dalam
instrumen perencanaan/pengarah tata ruang tetapi Peraturan Zonasi
(PZ) merupakan instrumen pengendalian pemanfaatan ruang.
Terdapat muatan-muatan RDTR dan PZ yang diatur dalam
Permen ATR Nomor 16/2018. Di dalam RDTR terdapat 5 (lima) muatan.
Muatan RDTR tersebut adalah sebagai berikut:
a. Tujuan penataan Bagian Wilayah Perencanaan (BWP)
Tujuan penataan BWP berisikan nilai dan/atau kualitas terukur
yang akan dicapai sesuai dengan arahan pencapaian sebagaimana
ditetapkan dalam RTRW, alasan disusunnya RDTR, dan dapat
dilengkapi dengan konsep/cara pencapaiannya. Tujuan penataan ini
memiliki fungsi untuk acuan dalam penyusunan dokumen RDTR lain-
nya (rencana pola ruang, rencana struktur ruang, sub BWP yang
diprioritaskan, ketentuan pemanfaatan ruang, dan PZ) dan menjaga
keserasian dengan RTRW kabupaten/kota. Dengan kata lain, tujuan
penataan BWP merupakan tema yang terfokus pada fungsi-fungsi
untuk mendukung RTRW di atasnya.
Hal-hal yang dipertimbangkan dalam perumusan tujuan penataan
BWP adalah: (1) keseimbangan dan keserasian antarbagian dari wilayah
kabupaten/kota; (2) fungsi dan peran BWP; (3) potensi investasi; (4)
keunggulan dan daya saing BWP; (5) kondisi sosial dan lingkungan
BWP; (6) peran dan aspirasi masyarakat dalam pembangunan; dan (7)
prinsip-prinsip yang merupakan penjabaran dari tujuan tersebut.
b. Rencana Struktur Ruang
Seperti halnya struktur ruang dalam RTRW, rencana struktur
ruang pada RDTR berisikan susunan pusat-pusat pelayanan dan sistem
64 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

jaringan prasarana dalam skala BWP atau dengan kata lain merupakan
pendetailan dari struktur ruang yang telah ada dalam RTRW sesuai
dengan skala pelayanannya. Rencana struktur ini meliputi rencana
pengembangan pusat pelayanan, rencana jaringan transportasi, dan
rencana jaringan prasarana.
Perumusan struktur ruang didasarkan pada rencana struktur
ruang dalam RTRW, kebutuhan pelayanan dan pengembangan bagi
BWP, dan ketentuan peraturan perundangan terkait. Dari ketiga dasar
tersebut kemudian dibentuk 6 (enam) kriteria dalam perumusan struk-
tur ruang, yaitu: (1) keterkaitan struktur ruang antar BWP dalam satu
kabupaten/kota; (2) keterkaitan struktur ruang kabupaten/kota lain
yang berbatasan langsung dengan BWP; (3) keterpaduan pelaksanaan
pembangunan prasarana dan utilitas pada BWP; (4) kebutuhan
pelayanan prasarana dan utilitas dalam BWP; (5) kebutuhan perge-
rakan manusia dan barang; dan (6) inovasi dan/atau rekayasa tek-
nologi.

Gambar 16. Peta rencana jaringan pergerakan Kota Bandung


(Sumber: Perda Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2015)
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 65

Gambar 16 merupakan salah satu produk RDTR Kota Bandung


yang berupa rencana jaringan transportasi. Di dalam peta rencana
jaringan pergerakan tersebut tergambarkan kondisi jalan eksisting,
rencana pembangunan jalan, dan Kawasan Keselamatan Operasi
Penerbangan (KKOP). Selain rencana jaringan pergerakan, produk
RDTR Kota Bandung yang terkait dengan rencana struktur ruang
antara lain rencana jaringan kelistrikan, rencana jaringan teleko-
munikasi, rencana jaringan air minum, rencana jaringan drainase,
rencana jaringan air limbah, dan rencana jaringan persampahan.

Gambar 17. Peta rencana pola ruang Kota Bandung


(Sumber: Perda Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2015)
c. Rencana Pola Ruang
Pola ruang RDTR berisikan pendetailan rencana pola ruang yang
tercantum dalam RTRW dan disesuaikan dengan fungsi dan tujuan
penataan BWP. Rencana pola ruang ini berfungsi sebagai: (1) arahan
ruang berbagai kegiatan sosial, budaya, ekonomi, dan pelestarian
lingkungan; (2) dasar penerbitan izin pemanfaatan ruang; (3) dasar
penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL); dan (4)
dasar penyusunan rencana jaringan prasarana.
66 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Rencana pola ruang terdiri dari zona lindung dan zona budi daya.
Gambar 17 menunjukkan produk RDTR Kota Bandung yang berupa
peta rencana pola ruang. Di dalam peta tersebut tergambarkan rencana
zona lindung (terdiri dari zona perlindungan kawasan bawahannya,
zona perlindungan setempat, zona lindung alami, dan zona rawan
bencana) dan rencana zona budidaya (terdiri dari zona perumahan,
zona perdagangan dan jasa, zona campuran, zona kantor pemerin-
tahan, zona industri dan pergudangan, zona wisata, zona sarana
pelayanan umum, zona pertahanan dan keamanan, zona pertanian,
dan zona khusus).
d. Penetapan sub BWP yang diprioritaskan penanganannya
Penetapan prioritas sub BWP merupakan upaya dalam rangka
operasionalisasi rencana tata ruang yang diwujudkan dalam rencana
penanganan sub BWP yang diprioritaskan. Tujuan adanya penetapan
adalah untuk mengembangkan, melestarikan, melindungi, memper-
baiki, mengkoordinasikan keterpaduan pembangunan, dan/atau
melaksanakan revitalisasi di kawasan yang dianggap memiliki prioritas
pembangunan/fokus penanganan lebih tinggi dibandingkan sub BWP
yang lainnya. Penetapan prioritas sub BWP sendiri didasarkan pada
tujuan penataan BWP, nilai penting keberadaan sub BWP, kondisi
sosial-ekonomi-budaya-lingkungan, daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup, dan ketentuan peraturan perundangan terkait.
Penetapan prioritas sub BWP setidaknya memuat unsur lokasi dan
tema. Lokasi digambarkan dalam bentuk deliniasi kawasan sub BWP,
dengan mempertimbangkan aspek batas fisik, fungsi kawasan, wilayah
administrasi, kultur budaya tradisional, karakteristik tematik, dan jenis
kawasan. Berikutnya tema penanganan terdiri atas: (1) perbaikan
sarana, prasarana, dan blok/kawasan; (2) pengembangan kembali sara-
na, prasarana, dan blok/kawasan; (3) pembangunan baru sarana, prasa-
rana, dan blok/kawasan; dan (4) pelestarian/perlindungan blok/ka-
wasan.
Gambar 18 adalah salah satu contoh penetapan sub BWP di Kota
Bandung, yaitu Sub Wilayah Kota (SWK) Bojonegara. Wilayah
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 67

Bojonegara ditetapkan sebagai salah satu SWK karena untuk


mewujudkan perlindungan kawasan bandara dan industri strategis
(aerobiopolis). SWK Bojonegara mencakup Kecamatan Sukasari,
Kecamatan Sukajadi, Kecamatan Cicendo, dan Kecamatan Andir.
Dalam rangka mendukung percepatan penanganan SWK Bojonegara
khususnya di lokasi Bandara Husein Sastranegara dan Zona Eks
Industri Pesawat Terbang, maka di dalam Peraturan Daerah Kota
Bandung Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Rencana Detail Tata Ruang
Dan Peraturan Zonasi Kota Bandung Tahun 2015-2035 diamanatkan
pula untuk melakukan pengaturan di berbagai sektor seperti
penyusunan RTBL, perbaikan lingkungan dan infrastruktur serta
utilitas, peningkatan pelayanan bandar udara dengan perbaikan lingku-
ngan sekitar, dan penyusunan rencana induk bandara.

Gambar 18. Peta rencana pola ruang SWK Bojonegara


(Sumber: Perda Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2015)

e. Ketentuan pemanfaatan ruang


Di dalam ketentuan pemanfaatan ruang berisikan program-
program rinci pengembangan BWP dalam jangka waktu perencanaan 5
(lima) tahunan sebagai upaya untuk mewujudkan RDTR. Ketentuan
68 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

pemanfaatan ruang berfungsi sebagai: (1) dasar dalam pemrograman


investasi pengembangan BWP; (2) arahan untuk sektor dalam penyu-
sunan program; (3) dasar estimasi kebutuhan pembiayaan dalam
jangka waktu 5 (lima) tahunan dan penyusunan program tahunan
untuk jangka 5 (lima) tahun; dan (4) acuan bagi masyarakat dalam
melakukan investasi.

Gambar 19. Hal-hal yang diatur dalam ketentuan pemanfaatan ruang

Secara diagramatis, isi dari ketentuan pemanfaatan ruang dapat


dilihat pada Gambar 19. Contoh yang digunakan adalah RDTR Kota
Bandung. Di dalam ketentuan pemanfaatan ruang dari suatu SWK
terdiri dari program pemanfaatan ruang prioritas (meliputi perwujudan
rencana pola ruang, perwujudan rencana jaringan prasarana, dan
perwujudan penetapan sub SWK yang diprioritaskan penanganannya),
lokasi (meliputi wilayah yang masuk dalam suatu SWK), sumber
pendanaan (pendanaan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, peme-
rintah kota, dan sumber pendanaan lain), pelaksana kegiatan
(pelaksana kegiatan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
kota, BUMN, swasta, dan masyarakat), dan waktu pelaksanaan (pelak-
sanaan dibagi menjadi beberapa termin).

Apabila dalam RDTR terdapat 5 (lima) muatan, di dalam PZ


terdapat 2 (dua) muatan. Muatan-muatan tersebut sebagai berikut:
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 69

a. Aturan dasar
Aturan dasar merupakan muatan yang bersifat wajib karena beri-
sikan persyaratan dasar yang berlaku dalam pemanfaatan ruang.
Aturan ini meliputi:
(1) Ketentuan kegiatan dan penggunaan tanah, yang diwujudkan
dalam bentuk tabel ITBX (Gambar 20). Kegiatan dengan kriteria I
berarti kegiatannya diperbolehkan/diizinkan karena sesuai dengan
peruntukan ruang yang direncanakan. Kegiatan dengan kriteria T
berarti dapat dimanfaatkan bersyarat secara terbatas, misalnya
pembatasan dalam durasi atau jangka waktu beroperasinya
kegiatan, pembatasan luas maksimum penggunaan tanah, pemba-
tasan jumlah pemanfaatan, dan lainnya. Kegiatan dengan kriteria
B berarti dapat dimanfaatkan dengan syarat tertentu, misalnya
kegiatan yang mensyaratkan dokumen AMDAL, UKL UPL,
ANDALIN, pengadaan RTH, dan lainnya. Kegiatan dengan kriteria
X berarti tidak dapat dimanfaatkan karena tidak sesuai dengan
rencana peruntukan tanah dan berpotensi menimbulkan dampak
besar bagi lingkungan sekitar.

Gambar 20. Tabel ITBX pada RDTR Kota Bandung


(Sumber: Perda Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2015)
70 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

(2) Ketentuan intensitas pemanfaatan ruang, mengatur tentang


kepadatan zona terbangun yang dipersyaratkan di suatu zona.
Parameter yang digunakan untuk mengukur yaitu Koefisien Dasar
Bangunan (KDB) Maksimum, Koefisien Lantai Bangunan (KLB)
Minimum-Maksimum, dan Koefisien Dasar Hijau (KDH) Minimal
baik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Selain 3 (tiga)
parameter tersebut dapat ditambahkan pula Koefisien Tapak
Basement (KTB) Maksimum, Koefisien Wilayah Terbangun (KWT)
Maksimum, Kepadatan Bangunan atau Unit Maksimum, dan
Kepadatan Penduduk Maksimal.
(3) Ketentuan tata bangunan, mengatur tentang bentuk, besaran,
peletakan, dan tampilan bangunan di suatu zona dalam upaya
menjaga keselamatan dan keamanan bangunan. Parameter yang
digunakan untuk mengatur tata bangunan adalah Ketinggian
Bangunan (TB) Maksimum, Garis Sempadan Bangunan (GSB)
Minimum, jarak bebas antar bangunan, Jarak Bebas Samping (JBS),
dan Jarak Bebas Belakang (JBB). Ketentuan tata bangunan ini
dapat lebih didetailkan pada dokumen RTBL.

(a) (b)
Gambar 21. Ilustrasi (a) KDB dan (b) GSB
(Sumber: Permen ATR/Kepala BPN Nomor 16 Tahun 2018)
(4) Ketentuan prasarana dan sarana minimal, mengatur tentang jenis
parasarana dan sarana pendukung minimal yang harus ada di
setiap zona peruntukan dalam upaya menciptakan lingkungan
yang nyaman dan optimalnya fungsi suatu zona. Jenis sarana
prasarana yang disediakan mempertimbangkan sifat dan tuntutan
kegiatan utama, sedangkan volume atau kapasitas memper-
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 71

timbangkan estimasi jumlah orang yang menghuni zona tersebut.


Contoh: prasarana parkir, aksesibilitas untuk kaum difabel, jalur
pedestrian, dan lain sebagainya.
(5) Ketentuan khusus, mengatur tentang pemanfaatan zona yang
berfungsi khusus. Ketentuan khusus ini merupakan aturan
tambahan yang ditampalkan (overlay) di atas aturan dasar karena
adanya hal khusus yang belum diatur dalam aturan dasar. Contoh:
KKOP dan kawasan kebisingan pada bandar udara, tempat
evakuasi bencana pada kawasan rawan bencana, dan lain seba-
gainya.
(6) Standar teknis, mengatur tentang teknis pembangunan sarana
prasarana yang mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI).
Selain sebagai panduan dalam pelaksanaan pembangunan, standar
teknis juga digunakan sebagai instrumen pemeriksaan dan
pengawasan pengendalian pemanfaatan ruang. Contoh: standar
penyediaan air bersih, jaringan listrik, fasilitas pendidikan, dan
lain sebagainya.
(7) Ketentuan pelaksanaan, merupakan aturan yang terkait dengan
pelaksanaan penerapan RDTR dan PZ. Ketentuan ini terdiri dari
ketentuan variasi pemanfaatan ruang, ketentuan pemberian insen-
tif dan disinsentif, ketentuan penggunaan tanah, dan aturan
peralihan.

b. Teknik pengaturan zonasi (TPZ)


TPZ merupakan muatan yang bersifat opsional/pilihan karena
berisikan aturan atau ketentuan lain dari aturan dasar. TPZ dirancang
sedemikian rupa untuk memberikan fleksibilitas dalam penerapan
aturan dasar sehingga sasaran pengendalian pemanfaatan ruang dapat
dicapai lebih efektif. Contoh: zona pengalihan hak membangun
(transfer development right), zonasi bonus (bonus zoning), zona
pemanfaatan khusus (conditional uses), dan lain sebagainya sesuai
dengan kebutuhan penanganan suatu zona.
72 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Ditinjau dari tata cara penyusunan, RDTR dan PZ disusun secara


bersamaan dan bersamaan pula dengan penyusunan Kajian
Lingkungan Hidup Strategis. Penyusunan RDTR dan PZ mencakup 5
(lima) tahapan, yaitu persiapan, pengumpulan data dan informasi,
pengolahan dan analisis data, perumusan konsep RDTR dan muatan
PZ, dan diakhiri dengan penyusunan dan pembahasan Raperda
(Gambar 22). Perda RDTR dan PZ yang disetujui kemudian disajiikan
dalam bentuk naskah perda dan lampiran-lampiran. Peraturan RDTR
dan PZ memiliki jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan apabila dalam
waktu 5 (lima) tahun terjadi perubahan lingkungan strategis akibat
bencana atau perubahan batas wilayah administrasi maka dapat
dilakukan peninjauan kembali.

Gambar 22. Tata cara penyusunan RDTR


(Sumber: Permen ATR/Kepala BPN Nomor 16 Tahun 2018)

4.2. Pemanfaatan Ruang


Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur
ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui
penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program
pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya. Program pemanfaatan
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 73

ruang tersebut dapat dilaksanakan dengan pemanfaatan ruang, baik


pemanfaatan ruang secara horisontal di permukaan bumi maupun
pemanfaatan ruang secara vertikal ke dalam bumi. Program
pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya termasuk jabaran dari
indikasi program utama yang termuat di dalam rencana tata ruang
wilayah. Pemanfaatan ruang sebagaimana di atas diselenggarakan
secara bertahap sesuai dengan jangka waktu indikasi program utama
pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang.
Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan
dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan
penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan
penatagunaan sumber daya alam lain. Dalam rangka pengembangan
penatagunaan diselenggarakan kegiatan penyusunan dan penetapan
neraca penatagunaan tanah, neraca penatagunaan sumberdaya air,
neraca penatagunaan udara, dan neraca penatagunaan sumber daya
alam lain.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penatagunaan tanah,
penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber
daya alam lainnya diatur dengan peraturan pemerintah. Dalam hal ini,
ketentuan yang sudah terbit dalam bentuk peraturan pemerintah baru
pengaturan dalam penatagunaan tanah, yakni melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
Penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan untuk
pembangunan prasarana dan sarana bagi kepentingan umum
memberikan hak prioritas pertama bagi Pemerintah dan pemerintah
daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak
atas tanah. Dalam pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota dilakukan:
1. perumusan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang
wilayah dan rencana tata ruang kawasan strategis;
2. perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur
ruang dan pola ruang wilayah dan kawasan strategis; dan
74 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

3. pelaksanaan pembangunan sesuai dengan program pemanfaatan


ruang wilayah dan kawasan strategis.
Pemanfaatan ruang dalam wilayah nasional, provinsi dan
kabupaten/kota dapat dilaksanakan sesuai dengan:
a. standar pelayanan minimal bidang penataan ruang;
b. standar kualitas lingkungan; dan
c. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

4.3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan aspek yang penting
untuk mencapai tertib pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan
ruang adalah suatu proses kegiatan yang secara berkesinambungan
mengikuti, mengamati, dan menempatkan pelaksanaan rencana-
rencana pemanfaatan ruang yang disusun oleh berbagai instansi
sektoral, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat secara berdaya
guna dan berhasil guna agar dapat mewujudkan Rencana Tata Ruang
(RTR) yang telah ditetapkan. Tujuan dari pengendalian pemanfaatan
ruang antara lain untuk:
1. Menjamin pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang,
peraturan zonasi, dan standar pelayanan minimal bidang penataan
ruang;
2. Mencegah dampak negatif pemanfaatan ruang;
3. Melindungi kepentingan umum dan masyarakat luas;
4. Mengakomodasikan kebutuhan ruang yang dinamis dari berbagai
kegiatan, baik oleh pemerintah, swasta, maupun masyarakat
secara optimal dan berkelanjutan;
5. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan ruang baik antara
kawasan lindung dengan kawasan budidaya maupun antar kawa-
san budidaya yang dapat menimbulkan tumpang-tindih dan
konflik; dan
6. Pengendalian pemanfaatan ruang pada hakekatnya terdiri dari tiga
kegiatan yang satu sama lain terkait erat, yaitu kegiatan peman-
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 75

tauan, kegiatan pengawasan, dan kegiatan penertiban


pemanfaatan ruang.

Dalam pelaksanaan pembangunan, pengendalian memiliki 2 (dua)


fungsi yaitu:
1. Fungsi untuk memperbaiki suatu kegiatan yang telah berlangsung
namun keberadaanya tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang
ada; dan
2. Fungsi untuk mencegah terjadinya pembangunan yang tidak
sesuai dengan acuan yang telah disusun.
Persoalan penataan ruang pada dasarnya berakar pada bagaimana
pelaksanaan pembangunan dilakukan. Dalam pelaksanaan pemba-
ngunan suatu kawasan seringkali tidak sejalan dengan rencana tata
ruang yang telah disusun dan menjadikan keduanya sebagai suatu hal
yang bertentangan. Seringkali rencana tata ruang yang telah disusun
akan tetap menjadi suatu dokumen sedangkan pelaksanaan
pembangunan tetap berjalan berdasarkan permintaan pasar. Ketidak-
sesuaian antara rencana tata ruang yang telah disusun dengan
pelaksanaan pembangunan ini membutuhkan apa yang disebut dengan
pengendalian. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang dijelaskan bahwa pengendalian merupakan bagian
dari proses penyelenggaraan penataan ruang yang berupaya untuk
mewujudkan tertib tata ruang. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka
memastikan bahwa proses pemanfaatan ruang telah sesuai dengan
rencana tata ruang yang berlaku.
Persoalan terbesar dalam penataan ruang adalah pengendalian
pemanfaatan ruang. Sebaik apapun rencana tata ruang dan program
pemanfaatan ruang yang disusun, tanpa disertai dengan pengendalian
pemanfaatan ruang yang tegas, konsisten dan berkelanjutan, maka
tujuan penataan ruang tidak akan terwujud dengan efektif.
Penyimpangan pemanfaatan ruang sebagian besar adalah karena
lemahnya pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh sebab itu, pedoman
pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian yang amat
76 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

penting dalam penataan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang


diselenggarakan melalui kegiatan perijinan, pengawasan, dan
penertiban terhadap pemanfaatan ruang kota.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
telah mengatur adanya koordinasi pengendalian pemanfaatan ruang
yang diselenggarakan oleh suatu lembaga yang mengurusi koordinasi
penataan ruang daerah yang akan bekerjasama dengan aparat pemerin-
tah di tingkat kecamatan disertai dengan melibatkan peran serta
masyarakat.
Pedoman pengendalian pemanfaatan ruang mengacu pada
beberapa hal sebagai berikut:
1. pedoman pengendalian pemanfaatan ruang didasarkan pada
arahan-arahan yang tercantum dalam rencana struktur dan pola
pemanfaatan ruang sesuai dengan Rencana Tata Ruang (RTR)
yang telah ditetapkan;
2. pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan terhadap kawasan
lindung dan kawasan budidaya yang meliputi jenis dan intensitas
pemanfaatan ruang;
3. pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan melalui penetapan
peraturan zonasi (zoning regulations) yang menjadi acuan untuk
kegiatan perijinan, pengawasan dan penertiban terhadap
pemanfaatan ruang, termasuk terhadap pemanfaatan air
permukaan, air bawah tanah, udara serta pemanfaatan ruang
bawah tanah; dan
4. sesuai dengan arahan di dalam UU Penataan Ruang, koordinasi
pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan oleh suatu lembaga
yang ditetapkan oleh kepala daerah.
Untuk rujukan pengendalian yang lebih teknis, Rencana Tata
Ruang harus dijabarkan dalam:
1. perangkat pengendalian, seperti (a) RDTR-Peraturan Zonasi, (b)
RTBL, (c) Panduan Rancang Kota (design guidelines), dan (d)
standar teknis yang ditetapkan;
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 77

2. pedoman perubahan pemanfaatan tanah yang mengatur toleransi


terhadap tingkat gangguan dan beberapa prinsip perubahan meli-
puti adanya ketentuan tingkatan perubahan yang boleh dan tidak
boleh dilakukan;
3. perubahan tersebut dapat diberikan oleh dinas yang diberi
kewenangan menangani penataan ruang dan bangunan;
4. perubahan besar harus melalui persetujuan lembaga perencanaan,
dan dikenai denda dan biaya dampak pembangunan;
5. penataan kembali arahan zonasi harus melalui persetujuan DPRD;
6. kegiatan yang sudah ada tetapi tidak sesuai dengan rencana tata
ruang dikenakan aturan peralihan berdasarkan prinsip peman-
faatan bersyarat, yaitu dapat dilanjutkan/dipertahankan asalkan
tidak mengubah fungsi dan bentuk fisik; atau dibatasi sampai
dengan waktu tertentu (dalam tenggang waktu);
7. pemanfaatan ruang yang sesuai aturan tapi tidak berijin, harus
segera mengurus ijin (pemutihan), dengan dikenai denda;
8. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai tapi telah memiliki ijin dapat
tetap dipertahankan asal tidak ada perubahan fisik bangunan
(dikenakan prinsip pemanfaatan bersyarat);
9. perubahan fisik bangunan pada pemanfaatan ruang yang tidak
sesuai tapi telah memiliki ijin, harus mengacu pada aturan dan
ketentuan teknis yang berlaku; dan
10. pemanfaatan yang tidak sesuai aturan dan tidak mempunyai ijin
dapat ditertibkan dengan pembongkaran bangunan, perlengkapan
perijinan dengan dikenai denda dan biaya dampak pembangunan,
denda atau kurungan.

Pengendalian pelaksanaan pemanfaatan ruang perlu dilakukan


untuk kegiatan-kegiatan yang sudah berlangsung, sedang berlangsung,
maupun yang direncanakan. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan
dalam pengendalian pemanfaatan ruang adalah:
a. lokasi dan luas pemanfaatan ruang (tanah);
b. jangka waktu kegiatan (rencana);
78 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

c. cara-cara beroperasinya kegiatan pemanfaatan ruang (kaitannya


dengan pengelolaan lingkungan hidup);
d. program atau rencana pengembangan kegiatan; dan
e. kaitan atau sinkronisasi antar kegiatan

Gambar 23. Pengendalian dalam pelaksanaan penyelenggaraan


penataan ruang

Selanjutnya, pengendalian pemanfaatan ruang perlu didukung


oleh berbagai perangkat pengendalian. Pengembangan berbagai
perangkat pengendalian tersebut ditujukan untuk mengarahkan
sekaligus mendorong pembangunan. Dalam upaya mengarahkan
pembangunan, perangkat pengendalian pemanfaatan ruang diharap-
kan mampu berperan dalam upaya preventif maupun dalam upaya
kuratif. Secara lebih lengkap sifat dan perangkat pengendalian
pemanfaatan ruang dapat dilihat pada Tabel 5 dan secara digramatis
kedudukan dari masing-masing bentuk pengendalian pemanfaatan
ruang dapat dilihat pada Gambar 23.
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 79

Tabel 5. Sifat Dan Perangkat Pengendalian Pembangunan

Pada dasarnya dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan


penyimpangan-penyimpangan yang terjadi berakar dari alih fungsi
tanah yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Dalam rangka
mengontrol alih fungsi tanah perlu dilakukan dengan 3 (tiga)
pendekatan yang dilakukan secara bersamaan yaitu melalui:
1. Regulation. Melalui pendekatan ini pengambil kebijakan perlu
menetapkan sejumlah aturan dalam pemanfaatan tanah yang ada.
Berdasarkan berbagai pertimbangan teknis, ekonomis, dan sosial,
pengambil kebijakan dapat melakukan pewilayahan (zoning)
terhadap tanah yang ada serta kemungkinan bagi proses alih
fungsi. Selain itu, perlu mekanisme perizinan yang jelas dan
transparan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan
yang ada dalam proses alih fungsi tanah;
2. Acquisition and management. Melalui pendekatan ini pihak terkait
perlu menyempurnakan sistem dan aturan jual beli tanah serta
penyempurnaan pola penguasaan tanah (land tenure system) yang
ada guna mendukung upaya ke arah tertib tata ruang; dan
3. Incentive and charge. Pemberian subsidi yang dapat meningkatkan
jaminan kualitas dan ketepatan pemanfaatan ruang, serta
penerapan pajak yang tinggi untuk mempertahankan keberadaan
suatu tanah tertentu.
80 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Gambar 24. Instrumen pengendalian pemanfaatan ruang


(Sumber: UU Nomor 26 Tahun 2007)
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang dan dengan melihat pada sifat pengendalian sebagai
pengarah pembangunan (direct development) di Tabel 5, instrumen
pengendalian pemanfaatan ruang dapat dibagi menjadi 2 (macam)
yaitu yang bersifat preventif dan bersifat kuratif. Kedua macam sifat
pengendalian ini tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain karena
aturan kuratif akan diterapkan apabila tidak ada kepatuhan terhadap
serangkaian instrumen yang bersifat preventif. Tujuan akhir dari kedua
macam sifat pengendalian pemanfaatan ruang yaitu terwujudnya tertib
tata ruang atau adanya kesesuaian dalam pemanfaatan ruang (Gambar
24).

4.3.1. Pencegahan pemanfaatan ruang


Pencegahan adalah suatu tindakan preventif agar tidak terjadi
pelanggaran atau tindakan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
pelanggaran (Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban tanah
dan Ruang t.t.). Instrumen pengendalian pemanfaatan ruang yang
bersifat preventif atau pencegahan diatur dalam pasal 36-38 Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007 dan kemudian dijabarkan dalam pasal
149-181 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010. Instrumen-
instrumen tersebut adalah sebagai berikut:
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 81

1. Peraturan Zonasi
Arahan peraturan zonasi adalah seperangkat ketentuan yang
mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan
pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang
penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang. Persyaratan dan
ketentuan sebagaimana dimaksud meliputi: (1) jenis kegiatan yang
diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat, dan tidak diperbolehkan;
(2) intensitas pemanfaatan ruang; (3) prasarana dan saran minimum;
dan (4) ketentuan lain yang dibutuhkan. Peraturan zonasi digunakan
sebagai pedoman dalam implementasi instrumen pengendalian
pemanfaatan ruang yang lain. Pemberian insentif dan disinsentif,
pemberian izin, dan pengenaan sanksi tidak dapat dilepaskan dari
pertimbangan arahan zonasi.
Peraturan zonasi ditetapkan dengan: (1) peraturan pemerintah
untuk arahan peraturan zonasi sistem nasional; (2) peraturan daerah
provinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem provinsi; dan (3)
peraturan daerah kabupaten/kota untuk peraturan zonasi sistem
kabupaten/kota. Adanya arahan zonasi di setiap tingkat pemerintahan
menunjukkan bahwa arahan zonasi tidak bisa dilepaskan dari setiap
produk rencana tata ruang, baik yang bersifat umum maupun rinci. Di
tingkat nasional dan provinsi, arahan peraturan zonasi meliputi arahan
peraturan zonasi untuk struktur ruang dan pola ruang di masing-
masing tingkat yang terdiri atas sistem perkotaan, sistem jaringan
transportasi, sistem jaringan energi, sistem jaringan telekomunikasi,
sistem jaringan sumber daya air, kawasan lindung, dan kawasan budi-
daya. Arahan zonasi pada tingkat nasional dan provinsi tesebut
kemudian menjadi salah satu hal yang dipertimbangkan dalam
penyusunan zonasi kabupaten/kota, selain rencana rinci tata ruang
kabupaten/kota yaitu rencana kawasan strategis kabupaten/kota
dan/atau RDTR.
2. Perizinan
Perizinan adalah merupakan upaya untuk memperbolehkan atau
tidak memperbolehkan suatu kegiatan berlangsung pada suatu wilayah
82 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

sesuai dengan tata ruang, dengan mengeluarkan penerbitan surat izin.


Izin diberikan kepada calon pengguna ruang dengan tujuan untuk: (1)
menjamin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan tata ruang, arahan
zonasi, dan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang; (2)
mencegah dampak negatif pemanfaatan ruang; dan (3) melindungi
kepentingan umum dan masyarakat luas. Izin yang dikeluarkan
Pemerintah atau pemerintah daerah dapat berupa izin prinsip, izin
lokasi, izin penggunaan pemanfaatan tanah, izin mendirikan ba-
ngunan, dan izin lain yang sesuai dengan peraturan perundangan.
Dalam hal pemberian izin, terdapat beberapa persyaratan teknis
dan persyaratan administratif yang harus dipenuhi. Apabila dasar
pemberian izin belum ada maka izin diberikan atas dasar rencana tata
ruang yang berlaku. Terhadap izin pemanfaatan ruang yang sudah
terbit namun tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah maka
dapat dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut
kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan
dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal
demi hukum.
3. Pemberian Insentif dan Disinsentif
Insentif dan disinsentif adalah seperangkat aturan yang dibuat
untuk mengarahkan pembangunan dengan memberikan dorongan
terhadap kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang dan
menghambat terhadap kegiatan yang bertentangan dengan rencana
tata ruang. Insentif diberikan kepada para pengguna ruang apabila
dalam pemanfaatannya sesuai dengan rencana struktur ruang, rencana
pola ruang, dan indikasi arahan peraturan zonasi. Di sisi lain disinsentif
diberikan kepada para pengguna ruang apabila kegiatan pemanfaatan
ruangnya perlu untuk dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaannya.
Pemberian insentif dan disinsentif dapat dilakukan oleh
Pemerintah maupun pemerintah daerah melalui mekanisme yang
diatur sesuai dengan peraturan perundangan. Pemberian insentif dan
disinsentif dapat diterapkan dalam 2 (dua) bentuk, yaitu secara fiskal
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 83

dan non fiskal. Kebijakan secara fiskal adalah dalam hal pajak dan
retribusi. Keringanan pajak dan pengurangan retribusi untuk insentif,
sedangkan untuk disinsentif dalam bentuk pembebanan pajak dan
retribusi yang tinggi. Dalam hal non fiskal dapat diterapkan dalam
berbagai macam bentuk seperti pada Tabel 6.
Tabel 6. Pemberian Insentif dan Disinsentif Dalam Bentuk
Kebijakan Non Fiskal
Pemberi /
Jenis Bentuk non fiskal
Penerima
subsidi silang, kemudahan perizinan, penye-
Pemerintah /
diaan sarana dan prasarana, pemberian kom-
pemerintah
pensasi, penghargaan dan fasilitasi, dan/atau
daerah
publikasi atau promosi daerah
pemberian kompensasi, penyediaan sarana
pemerintah
dan prasarana pendukung, kemudahan per-
daerah /
izinan bagi investor yang berasal dari daerah
Insentif pemerintah
lain (daerah penerima manfaat), dan/atau
daerah lain
publikasi atau promosi daerah
Pemerintah
keringanan pajak, pemberian kompensasi,
dan/atau
pengurangan retribusi, imbalan, sewa ruang,
pemerintah
urun saham, penyediaan sarana dan pra-
daerah /
sarana, dan/atau kemudahan perizinan
masyarakat
Pemerintah / persyaratan khusus dalam perizinan, pemba-
pemerintah tasan penyediaan sarana dan prasarana,
daerah dan/atau pemberian status tertentu
Pemerintah pengajuan pemberian kompensasi, pemba-
daerah / tasan penyediaan sarana dan prasarana,
Pemerintah dan/atau persyaratan khusus bagi investor
Disinsentif
daerah lain yang berasal dari daerah lain
Pemerintah
kewajiban memberi kompensasi, persyaratan
dan/atau
khusus dalam perizinan, kewajiban memberi
pemerintah
imbalan, dan/atau pembatasan penyediaan
daerah /
sarana dan prasarana
Masyarakat
Sumber: PP Nomor 15 Tahun 2010

4.3.2. Penertiban pemanfaatan ruang


Penertiban adalah suatu tindakan yang diberikan kepada para
penggunan ruang setelah terjadinya pelanggaran (Direktorat Jenderal
Pengendalian dan Penertiban tanah dan Ruang t.t.). Penertiban diberi-
kan dalam bentuk pengenaan sanksi, dapat berupa sanksi administratif
84 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

maupun pidana (Tabel 7). Sanksi-sanksi tersebut dijatuhkan kepada


pengguna ruang apabila:
1. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang;
2. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan
ruang yang diberikan oleh pejabat berwenang;
3. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan persyaratan izin yang
diberikan oleh pejabat yang berwenang; dan/atau
4. menghalangi akses terhadap kawasan yang dinyatakan oleh
peraturan perundangan sebagai milik umum.
Tabel 7. Bentuk Sanksi Administratif dan Sanksi Pidana
Sanksi Administratif Sanksi Pidana
a. Peringatan tertulis a. Pidana penjara paling lama 3 tahun
b. Penghentian sementara kegiatan dan denda paling banyak Rp
c. Penghentian sementara pelayanan 500.000.000,-
umum b. Pidana penjara paling lama 8 tahun
d. Penutupan lokasi dan denda paling banyak Rp
e. Pencabutan izin 1.500.000.000,-
f. Pembatalan izin c. Pidana penjara paling lama 15 tahun
g. Pembongkaran bangunan dan denda paling banyak Rp
h. Pemulihan fungsi ruang 5.000.000.000,-
i. Denda administratif

Sumber: UU Nomor 26 Tahun 2007

Pengenaan sanksi dilakukan berdasarkan dari hasil audit tata


ruang. Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
BPN Nomor 17 Tahun 2017, audit tata ruang adalah serangkaian
kegiatan pemeriksaan dan evaluasi terhadap data dan informasi spasial
serta dokumen-dokumen pendukung untuk mengevaluasi suatu
laporan atau temuan yang diduga sebagai indikasi pelanggaran di
bidang penataan ruang. Audit tata ruang dipandang perlu dilakukan
sebagai upaya pengawasan dan pengendalian karena tingginya angka
indikasi pelanggaran pemanfaatan ruang di Indonesia (Direktur
Penertiban Pemanfaatan Ruang 2020).
Audit tata ruang dilaksanakan apabila terdapat laporan/pengadu-
an dari masyarakat, temuan langsung oleh PPNS Penataan Ruang,
dan/atau bencana alam sebagai akibat pelanggaran pemanfaatan ruang.
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 85

Apabila aduan, temuan, dan/atau bencana tersebut mengindikasikan


adanya pelanggaran di bidang penataan ruang dan memerlukan kajian
teknis secara komprehensif maka ditindaklanjuti dengan audit tata
ruang yang dilakukan oleh tim audit. Ditinjau dari cakupan
kewenangan wilayah kerja, tim audit dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu:
1. Tim audit tingkat Pusat. Tim ini melakukan audit di KSN, PKN,
dan kawasan lintas daerah provinsi. Tim audit tingkat Pusat akan
bekerja di luar wilayah kewenangan kerja apabila terjadi
pelanggaran pemanfaatan ruang yang berdampak nasional,
berpotensi menimbulkan konflik, dan adanya permintaan dari
pemerintah daerah untuk membantu audit di tingkat daerah.
2. Tim audit tingkat provinsi. Tim ini melakukan audit di KSP dan
kawasan lintas daerah kabupaten/kota. Namun demikian tim
audit provinsi dapat bekerja di luar wilayah kewenangan kerjanya
apabila terdapat permintaan dari pemerintah daerah
kabupaten/kota untuk membantu audit di wilayah
kabupaten/kota.
3. Tim audit tingkat kabupaten/kota. Tim ini akan melakukan audit
sesuai dengan wilayah administrasi kabupaten/kota bersangkutan.

Tim audit yang dibentuk selanjutnya melakukan perencanaan


audit, meliputi penetapan batas lokasi audit, jangka waktu pelaksanaan
audit, kebutuhan sarana selama audit, dan pembiayaan kegiatan audit.
Dalam hal penetapan lokasi audit, terdapat 3 (tiga) hal yang digunakan
sebagai batasan lokasi audit yaitu batas kepemilikan atau penguasaan
bidang tanah, batas administrasi wilayah (provinsi, kabupaten/kota,
kecamatan, desa/kelurahan), dan batas fungsional kawasan (KSN, KSP,
KS kabupaten/kota, peruntukan, penggunaan tanah, zonasi, rawan
bencana). Data spasial batas lokasi audit digunakan sebagai dasar
untuk analisis tumpang susun/overlay dengan data penggunaan tanah
eksisting, RTRW, RDTR, dan ketentuan kegiatan. Hasil analisis overlay
kemudian digunakan untuk verifikasi lapangan atau peninjauan
lapangan.
86 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Peninjauan lapangan yang dilakukan tim audit untuk mengaudit 4


(empat) kategori, antara lain:
1. Audit kesesuaian terhadap rencana tata ruang, yaitu pemeriksaan
terhadap (a) kesesuaian pemanfaatan ruang dengan RTRW
maupun RDTR; (b) kesesuaian dengan ketentuan pemanfaatan;
dan (c) identifikasi terhadap dampak yang ditimbulkan. Data-data
yang dikumpulkan antara lain dokumen rencana tata ruang,
materi teknis rencana tata ruang, peta rencana tata ruang, peta
penggunaan tanah eksisting, riwayat penggunaan tanah, status
kepemilikan tanah, dan keterangan pendukung lainnya. Dari data-
data yang terkumpul dilakukan analisis dengan cara pertampalan
peta, penilaian kesesuaian penggunaan tanah, dan verifikasi
lapangan. Terhadap pemanfaatan ruang yang dilakukan sebelum
penetapan tata ruang maka pengguna ruang berhak untuk
melakukan penyesuaian pemanfaatan ruang selama 3 (tiga) tahun,
sedangkan terhadap pemanfaatan ruang yang dilakukan setelah
penetapan tata ruang maka dikategorikan tidak sesuai dengan
rencana dokumen tata ruang dan selanjutnya dilakukan
identifikasi dampak yang ditimbulkan. Proses identifikasi dampak
yang ditimbulkan didasarkan pada 3 (tiga) aspek yaitu dampak
akibat perubahan fungsi suatu ruang, jumlah kerugian material
yang ditimbulkan, dan ada tidaknya kematian manusia.
2. Audit kesesuaian terhadap izin, yaitu pemeriksaan terhadap (a)
ada tidaknya kepemilikan izin; (b) waktu penerbitan dan masa
berlakunya izin; dan (c) kesesuaian antara isi dalam izin dengan
pelaksanaan di lapangan. Data-data yang dikumpulkan antara lain
peta penggunaan tanah eksisting, sketsa penggunaan tanah
eksisting, riwayat penggunaan tanah, status kepemilikan tanah,
dokumen izin pemanfaatan ruang yang disyaratkan, dokumen izin
lain yang dimiliki sesuai peraturan perundangan, dan keterangan
pendukung lainnya. Dari sejumlah data yang dikumpulkan
selanjutnya dilakukan analisis kesesuaian antara pemanfaatan
ruang dengan beberapa izin, yaitu izin prinsip atau yang setara,
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 87

izin lokasi, izin mendirikan bangunan, dan/atau perizinan sektoral


lainnya sesuai dengan peraturan perundangan. Di dalam audit
kesesuaian terhadap izin juga dapat dilakukan identifikasi
terhadap dampak yang ditimbulkan, adapun aspek-aspek yang
digunakan dalam identifikasi dampak sama dengan yang diguna-
kan pada audit kesesuaian terhadap tata ruang.

Gambar 25. Contoh produk peta hasil analisis overlay antara kondisi
eksisting dan data rencana tata ruang
(Sumber: Permen ATR/Kepala BPN Nomor 17 Tahun 2017)
3. Audit kesesuaian terhadap persyaratan izin, yaitu pemeriksaan
terhadap kondisi eksisting pemanfaatan di lapangan dengan hal-
hal yang dipersyaratkan dalam izin pemanfaatan ruang. Data-data
yang dikumpulkan antara lain peta penggunaan tanah eksisting,
sketsa penggunaan tanah eksisting, riwayat penggunaan tanah,
status kepemilikan tanah, dokumen izin pemanfaatan ruang yang
disyaratkan, dokumen izin lain yang dimiliki sesuai peraturan
perundangan, dan keterangan pendukung lainnya. Dari data-data
yang terkumpul kemudian dilakukan analisis terhadap persyaratan
yang tertuang dalam izin, misalnya batas sempadan, KLB, KDB,
KDH, perubahan sebagian atau keseluruhan fungsi bangunan dan
tanah, penyediaan fasos fasum, dan persyaratan lain yang telah
disetujui pejabat yang berwenang dalam pemberian izin.
88 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Tabel 8. Tipologi dan Unsur Pelanggaran Pemanfaatan Ruang


Tipologi Unsur pelanggaran
a. Pemanfaatan ruang tidak sesuai peruntukan
b. Pemanfaatan ruang tanpa izin, baik di lokasi yang sesuai
maupun yang tidak sesuai dengan peruntukannya
Tidak sesuai
c. Pemanfaatan ruang tidak sesuai peruntukan dan berakibat
dengan
pada perubahan fungsi
rencana tata
d. Pemanfaatan ruang tidak sesuai peruntukan dan berakibat
ruang
pada perubahan fungsi dan adanya kerugian
e. Pemanfaatan ruang tidak sesuai peruntukan dan berakibat
pada perubahan fungsi dan adanya kematian orang
a. Tidak menindaklanjuti izin yang dikeluarkan
b. Pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan fungsi ruang yang
tercantum dalam izin
c. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai izin dan berakibat pada
Tidak sesuai
perubahan fungsi
dengan izin
d. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai izin dan berakibat pada
adanya kerugian
e. Pemanfaatan ruang tidak sesuai izin dan berakibat pada
adanya kematian orang

a. Pelanggaran terhadap batas sempadan, aturan KLB, aturan


KDB, dan/atau aturan KDH
Tidak sesuai
b. Perubahan terhadap sebagian atau keseluruhan fungsi
dengan
bangunan dan/atau tanah
persyaratan
c. Tidak menyediakan fasos atau fasum sesuai persyaratan
izin
dalam izin
d. Tidak sesuai dengan ketentuan persyaratan izin lainnya

a. Penutupan akses ke pesisir pantai, sungai, danau, situ, dan


sumber daya akan serta prasarana publik
b. Penutupan akses terhadap sumber air
Tidak
c. Penutupan akses terhadap taman dan RTH
memberikan
d. Penutupan akses terhadap fasilitas pejalan kaki
akses
e. Penutupan akses terhadap lokasi dan jalur evakuasi bencana
f. Penutupan akses terhadap jalan umum tanpa izin pejabat
berwenang

4. Audit terhadap penutupan akses, yaitu pemeriksaan terhadap


adanya perubahan tingkat aksesibilitas ke sarana prasarana milik
umum akibat adanya kegiatan pemanfaatan ruang. Data-data yang
dikumpulkan antara lain dokumen dan peta rencana tata ruang,
riwayat penggunaan tanah, peta penggunaan tanah eksisting, sta-
tus kepemilikan tanah, dan keterangan pendukung lainnya. Dari
sejumlah data yang terkumpul selanjutnya dilakukan analisis ter-
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 89

hadap tingkat aksesibilitas orang atau suatu moda ke kawasan


tertentu, misalnya ke pesisir pantai, sungai, danau, sumber air,
RTH, lokasi dan jalur evakuasi bencana, dan lain sebagainya.
Hasil audit terhadap 4 (empat) kategori kemudian ditipologikan
menurut pelanggaran yang ditemukan di lapangan (Tabel 8) dan
digunakan sebagai dasar dalam penjatuhan sanksi. Terhadap pelang-
garan yang bersifat administratif maka ditindaklanjuti melalui fasilitasi
penertiban dengan penjatuhan sanksi administratif, sedangkan
terhadap pelanggaran yang terindikasi pidana maka ditindaklanjuti
dengan pengawasan, pengamatan, penelitian, atau pemeriksaan
(wasmatlirik) oleh PPNS penataan ruang. PPNS penataan ruang
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/BPN Nomor 3 Tahun 2017 adalah PNS di lingkup instansi
pemerintah yang bertugas dan bertanggung jawab untuk melakukan
penyidikan terhadap suatu kegiatan pemanfaatan ruang yang
terindikasi adanya pelanggaran pidana.
Wasmatlirik selanjutnya dijadikan dasar keputusan untuk dapat
atau tidaknya dilakukan ke tahap penyidikan. Dalam proses
wasmatlirik sampai dengan tahap penyidikan, tugas dan fungsi PPNS
berhubungan dengan lembaga atau instansi lain seperti Kepolisian
Negara Republik Indonesia, kejaksaan, pengadilan, Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan dari instansi lain kaitannya
dengan bantuan tenaga ahli, personil, data dan informasi, dan
teknologi.

4.4. Tugas
Berikut ini adalah tugas yang harus dikerjakan oleh seluruh
peserta didik untuk memperkaya dan memperdalam kemampuan
dalam menganalisis produk-produk penataan ruang.
A. Tujuan Tugas
Menganalisis produk-produk penataan ruang dalam rangka
pelayanan pertanahan dan penyelesaian konflik.
90 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

B. Uraian Tugas
1. Objek garapan: Produk-produk penataan ruang
2. Metode/cara pengerjaan (acuan cara/langkah pengerjaan):
a. Mahasiswa membentuk kelompok dengan anggota 3 – 4
orang per kelompok
b. Masing-masing kelompok mencari contoh produk-produk
penataan ruang: perencanaan, pemanfaatan maupun
pengendalian pemanfaatan ruang
c. Mencermati sekurang-kurangnya dua produk
d. Mengidentifikasi perbedaan
e. Membuat paparan dalam bentuk grafis/peta dan
mempresentasikan di depan kelas
3. Deskripsi luaran tugas yang dihasilkan:
Poster atau Peta produk penataan ruang yang memuat penjelasan
dan perbedaan antar produk.

4.5. Pustaka
Direktorat Jenderal Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/BPN t.t., Manual Membaca Rencana Tata Ruang Wilayah,
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional,
Jakarta
Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN t.t., Penertiban
Pemanfaatan Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional, Jakarta
Direktur Penertiban Pemanfaatan Ruang 2020, Audit Tata Ruang-
Sebagai salah satu instrumen penertiban pemanfaatan ruang,
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional,
Jakarta
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 91

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan


Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 2017 tentang Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Penataan Ruang
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pedoman Audit Tata
Ruang
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten dan Kota
Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 Pedoman
Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Dan Peraturan Zonasi
Kabupaten/Kota.
Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2019
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta Tahun 2019-2039
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2015 Tentang
Rencana Detail Tata Ruang Kota Dan Peraturan Zonasi Kota
Bandung Tahun 2015-2035.
92 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

BAB V
PEMANFAATAN PRODUK-PRODUK PENATAAN RUANG

Telah secara tegas disebutkan dalam Undang-undang Nomor 26


Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa pengaturan tentang pena-
taan ruang diorientasikan untuk mewujudkan ruang yang aman, nya-
man, produktif, dan berkelanjutan. Oleh karena itu mainstreaming
(pengarusutamaan) penataan ruang harus dilakukan terhadap seluruh
pemangku kepentingan. Mainstreaming tata ruang dalam pemba-
ngunan dimaksudkan agar setiap proses pengambilan kebijakan dan
implementasi kebijakan pembangunan yang mengalokasikan dan
memanfaatkan ruang harus menempatkan aspek tata ruang sebagai
pertimbangan utama.
Tata ruang harus menjadi ‘jenderal’ yang mengarahkan dan men-
drive pembangunan wilayah yang memanfaatkan ruang. Oleh karena
itu, Pemerintah dan pemerintah daerah harus segera menyempurnakan
dan melengkapi berbagai regulasi tentang penataan ruang hingga
tersedianya Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi secara
lengkap, sebagai instrumen utama pengendalian pemanfaatan ruang.
Hal ini menjadi penting mengingat terdapat hubungan yang sangat
erat dan bersifat timbal balik antara rencana pembangunan dengan
produk penataan ruang, sebagaimana terdapat dalam Gambar 11.
Agenda pembangunan, apapun bentuknya harus tersurat dalam
dokumen perencanaan pembangunan, baik dalam bentuk Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) maupun dalam Rencana Pemba-
ngunan Jangka Menengah (RPJM), baik pada level Pemerintah,
pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Alokasi
pembangunan yang mengalokasikan ruang harus dijabarkan dalam
produk rencana tata ruang.
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 93

Gambar 26. Skema hubungan produk tata ruang dengan pembangunan


Berdasarkan Gambar 26 tampak jelas bahwa setiap perencanaan
pembangunan harus terakomodasi dalam rencana tata ruang, agar tu-
juan penataan ruang dapat terwujud. Namun demikian, manfaat
produk-produk penataan ruang tidak hanya terbatas pada pembangu-
nan yang mengalokasikan ruang saja, tetapi juga berkenaan dengan
kebijakan lainnya.
Pada bab ini produk-produk penataan ruang akan dikaitkan
dengan kebijakan pertanahan. Dengan adanya layanan pertanahan
yang didasarkan pada produk penataan ruang diharapkan tidak terjadi
konflik kepentingan antar pihak, baik konflik yang terjadi antar sesama
pengguna ruang maupun konflik antara pengguna ruang dengan
pemerintah. Melalui topik bahasan ini, Capaian Pembelajaran Mata
Kuliah Keempat (CPMK4) yang hendak dicapai adalah peserta didik
mampu memanfaatkan produk penataan ruang dalam pelayanan
pertanahan dalam rangka mengantisipasi terjadinya konflik.
94 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

5.1. Pemanfaatan Produk Penataan Ruang Dalam Pemberian


Hak Atas Tanah
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Berdasarkan ketentuan tersebut, makna dikuasai
oleh negara berarti negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi dari
bangsa Indonesia untuk: (a) mengatur dan menyelenggarakan per-
untukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan
ruang angkasa; (b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; serta
(c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.

Gambar 27. Skema pemberian Hak Atas Tanah


Salah satu hal terkait dengan produk-produk penataan ruang
adalah pemberian hak atas tanah. Dalam hal ini hak atas tanah adalah
hak yang memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang
bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 95

di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung


berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas
menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang
lebih tinggi (Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960).
Adapun pemberian hak atas tanah adalah penetapan pemerintah yang
memberikan suatu hak atas tanah negara, perpanjangan jangka waktu
hak, pembaruan hak, perubahan hak, termasuk pemberian diatas Hak
Pengelolaan. Dalam hal ini, pemberian hak atas tanah harus
memperhatikan tata ruang (Gambar 27).

Gambar 28. Analisis bidang tanah terhadap RTRW yang dituangkan


dalam bentuk Peta Analisis Penatagunaan Tanah dan digunakan
sebagai syarat dalam permohonan pemberian Hak Milik
(Sumber: Produk layanan pertanahan pada Kantor Pertanahan
Kabupaten Bone Bolango T.A.2020)
96 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Per-


tanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian
Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan, baik
secara tersirat maupun tersurat dalam setiap proses pemberian hak
atas tanah seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna
Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP), dan Hak Pengelolaan (HPL) harus
memperhatikan kesesuaiannya dengan RTRW. Dalam hal pemberian
HGU, HGB, HP, dan HPL secara tegas diatur bahwa izin lokasi menjadi
salah satu persyaratan dalam permohonan empat jenis hak tersebut.
Seiring dengan peningkatan kesadaran terhadap tata ruang, dalam
pemberian HM saat ini juga didasarkan pada RTRW (Gambar 28).
Pemberian hak atas tanah yang mengacu pada RTRW menunjukkan
bahwa produk penataan ruang merupakan produk yang harus dipatuhi
dalam pemberian hak atas tanah dan mempunyai perspektif jauh ke
depan. Dalam hal ini, penataan ruang harus menghasilkan rencana tata
ruang yang mempunyai daya antisipasi tinggi terhadap perkembangan
dan tidak kalah cepat dengan kebutuhan pembangunan (Kartasasmita
1996). Di samping itu harus bersifat realistis dan benar-benar mampu
berfungsi sebagai instrumen koordinasi bagi program-program
pembangunan dari berbagai instansi dan sumber dana tanpa harus
mengorbankan kelestarian lingkungan hidup. Berkenaan dengan hal
tersebut, maka perspektif land management harus menjiwai kebijakan
dan implementasi penataan ruang.
Perspektif land management dalam penataan ruang diorientasikan
untuk mewujudkan sustainable development yang mencakup aspek
ekonomi, sosial dan lingkungan. Secara operasional pengelolaan
pertanahan tersebut dilakukan melalui fungsi-fungsi administrasi
pertanahan yang meliputi penguasaan dan pemilikan tanah (land
tenure), nilai tanah (land value), penggunaan tanah (land use), serta
pengembangan atau rekayasa tanah/pertanahan (land development)
Dalam praktik administrasi pertanahan di Indonesia, proses yang
paling krusial dan kerap kali menjadi isu di masyarakat adalah “Pendaf-
taran Tanah”. Pendaftaran tanah mempunyai arti penting dan mem-
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 97

punyai manfaat dalam berbagai aspek. Secara ekonomis pendaftaran


tanah mempunyai arti penting bagi kepastian pemilikan tanah, harga
jual tanah, dan kepastian jual beli. Secara administratif bermanfaat
dalam penertiban kepemilikan dan kepastian hukum.
Dalam konteks ini, pemanfaatan produk-produk penataan ruang
dalam pemberian hak atas tanah difokuskan pada penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, mengingat bidang-
bidang tanah merupakan objek utama penyusun wilayah dan ruang.

1. Penguasaan dan Pemilikan Tanah


Berkenaan dengan hak atas tanah, baik dipergunakan untuk privat
(hunian) maupun untuk publik (fasilitas umum dan fasilitas sosial),
berlaku kaidah-kaidah administrasi pertanahan, yang dikenal dengan
konsep Right, Restriction dan Responsibility (3R). Right dimaknai
sebagai hak, yakni hubungan hukum antara objek hak (tanah) dengan
subjeknya (pemegang hak). Restriction dimaksudkan sebagai batasan-
batasan bagi subjek hak dalam menggunakan dan memanfaatkan
tanah, sedang responsibility adalah tanggung jawab bagi subjek hak
(pemilik tanah) sehubungan dengan hak yang dimilikinya. Ketiga hal
ini saling terkait, melekat dan tidak dapat diterapkan secara terpisah.
Dengan demikian, setiap pemegang hak atas tanah, baik perorangan
maupun badan hukum, di dalam haknya mengandung pula batasan-
batasan berikut tanggung jawabnya (Sutaryono 2017).
Berbagai permasalahan penataan ruang pasca diterbitkannya
RTRW Kabupaten/Kota berkenaan dengan penguasaan dan pemilikan
tanah seperti: (a) penguasaan tanah oleh masyarakat dan pengembang
properti yang tidak dapat ditindaklanjuti dengan proses pendaftaran
tanah; (b) penguasaan tanah oleh masyarakat pada kawasan mangrove;
(c) pemilikan tanah dengan bukti hak yang berada pada Ruang Ter-
buka Hijau (RTH); (d) Pemilikan tanah (sertipikat Hak Guna
Bangunan) yang berada pada wilayah pasang surut. Salah satu contoh
permasalahan pemilikan tanah pasca terbitnya produk tata ruang
adalah di Danau Limboto Provinsi Gorontalo. Permasalahan tersebut
98 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

muncul karena pemerintah daerah memiliki misi untuk menser-


tipikatkan kawasan Danau Limboto sebagai aset pemerintah provinsi.
Pasca penerbitan Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 9 Tahun
2017 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi Danau
Limboto, keberadaan ratusan bidang tanah yang sudah bersertipikat
sebelum tahun 2017 dan terletak di dalam area yang ditetapkan sebagai
wilayah konservasi danau menjadi hal yang dipertimbangkan pemerin-
tah daerah dalam upaya legalisasi aset kawasan danau. Terbitnya
sertipikat sebelum tahun 2017 dikarenakan posisi batas terluar danau
sejak tahun 1994 berbeda dengan kondisi tahun 2017 (Gambar 29).

Gambar 29. Perbedaan batas terluar Danau Limboto antara Peta Dasar
Teknik 1994/1995 dan Peta KSP Danau Limboto sesuai Perda Provinsi
Gorontalo Nomor 9/2017
Permasalahan terkait penguasaan dan pemilikan tanah dapat
diselesaikan melalui mekanisme pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) Undang-undang Pokok
Agraria meliputi:
a. pengukuran, pemetaan dan pembukuan hak;
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 99

b. pendaftaran hak-hak tanah dan peralihan hak-hak tersebut; dan


c. pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.

Secara operasional berdasarkan PP 24/1997, pendaftaran tanah


adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara
terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik
dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-
bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian
surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada
haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu
yang membebaninya. Adapun salah satu tujuan pendaftaran tanah
adalah memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum atas
suatu bidang tanah dan hak milik satuan rumah susun dan hak-hak
lain yang terdaftar. Kepastian hukum dan perlindungan hukum yang
diberikan tersebut di atas adalah:
a. kepastian mengenai hak atas tanah bagi hak-hak yang telah ter-
daftar dalam daftar umum;
b. kepastian mengenai pemilikan tanah sebagai pemegang hak yang
telah terdaftar dalam daftar umum; dan
c. kepastian mengenai letak, batas dan luas bidang-bidang tanah
yang telah terdaftar dalam daftar umum.

Pada dasarnya penetapan RTRW tidak mempengaruhi status


hubungan hukum atas tanah yang di atas atau dibawah tanahnya
dilakukan pemanfaatan ruang (Pasal 9 PP 16/2004). Terhadap tanah
yang sudah memiliki hak setelah penetapan RTRW, penyelesaian
administrasi pertanahan dilaksanakan apabila pemegang hak atas
tanah atau kuasanya memenuhi syarat-syarat menggunakan dan
memanfaatkan tanahnya sesuai dengan RTRW. Apabila syarat-syarat
menggunakan dan memanfaatkan tanah tidak dipenuhi, akan
dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
100 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal


dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti
mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan
saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan. Dalam hal tidak atau
tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian, pembukuan
hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang
tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih
secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-
pendahulunya, dengan syarat: (a) penguasaan tersebut dilakukan
dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai
pihak yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang
yang dapat dipercaya; dan (b) penguasaan tersebut tidak dipermasa-
lahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang
bersangkutan ataupun pihak lainnya.
Berkenaan dengan penguasaan dan pemilikan tanah yang berhu-
bungan dengan pemecahan bidang (biasanya oleh pengembang),
dalam Penjelasan Pasal 48 PP 24/1997 ayat (1) dinyatakan bahwa
“pemecahan bidang tanah harus sesuai dengan rencana tata ruang yang
berlaku dan tidak boleh mengakibatkan tidak terlaksananya ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Berdasarkan hal-hal di atas maka permasalahan yang terjadi
berkenaan dengan penguasaan dan pemilikan tanah pasca terbitnya
RTRW Kabupaten/Kota adalah sebuah keniscayaan, mengingat dalam
proses penyusunan RTRW aspek-aspek berkenaan dengan land
management belum mendapatkan perhatian secara memadai.

2. Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah


Penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam kerangka penyeleng-
garaan penataan ruang, secara normatif mendasarkan pada PP 16
Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Dalam hal ini penatagunaan
tanah bertujuan untuk: (a) mengatur penguasaan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan
yang sesuai dengan RTRW; (b) mewujudkan penguasaan, penggunaan
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 101

dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan arahan fungsi kawasan


dalam RTRW; (c) mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi
penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah termasuk peme-
liharaan tanah serta pengendalian pemanfaatan tanah; dan (d)
menjamin kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan dan
memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan
hukum dengan tanah sesuai dengan RTRW yang telah ditetapkan.
Dalam konteks ini kebijakan penatagunaan tanah diselenggarakan
terhadap bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya baik yang sudah
atau belum terdaftar, tanah negara dan tanah ulayat masyarakat
hukum adat. Terhadap tanah-tanah tersebut penggunaan dan
pemanfaatan tanahnya harus sesuai dengan RTRW.
Berkenaan dengan penggunaan dan pemanfaatan tanahnya,
sebagaimana diatur dalam Pasal 13 PP 16/2004: (a) penggunaan dan
pemanfaatan tanah di kawasan lindung atau kawasan budidaya harus
sesuai dengan fungsi kawasan dalam RTRW; (b) penggunaan dan
pemanfaatan tanah di kawasan lindung tidak boleh mengganggu fungsi
alam, tidak mengubah bentang alam dan ekosistem alami; (c)
penggunaan tanah di kawasan budidaya tidak boleh diterlantarkan,
harus dipelihara dan dicegah kerusakannya; dan (d) pemanfaatan
tanah di kawasan budidaya tidak saling bertentangan, tidak saling
mengganggu, dan memberikan peningkatan nilai tambah terhadap
penggunaan tanahnya.
Berdasarkan hal-hal di atas, dalam konteks penggunaan dan
pemanfaatan tanah di seluruh wilayah kabupaten/kota harus
mengikuti arahan pola ruang sebagaimana tertuang dalam RTRW
kabupaten/kota. Berbagai permasalahan yang muncul dapat
diselesaikan dengan mengakomodasikan penggunaan dan pemanfaatan
tanah melalui arahan pola ruang pada RTRW maupun zona ruang
dalam RDTR-PZ.
Berdasarkan hal-hal di atas secara ringkas dapat disimpulkan
bahwa permasalahan pemberian hak atas tanah, termasuk hal-hal
terkait penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
102 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

yang berhubungan dengan produk-produk penataan ruang dapat


diselesaikan melalui pengelolaan pertanahan dan pendaftaran tanah
apabila: (1) subjek dan objek-nya telah clean and clear, artinya objeknya
jelas lokasi dan batas-batasnya serta subjeknya tidak terjadi sengketa
dan konflik penguasaan tanah (klaim); (2) penggunaan dan peman-
faatan tanahnya sesuai dengan RTRW; dan (3) adanya alas hak atau
bukti hak yang berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau
pernyataan yang bersangkutan dan/atau penguasaan fisik bidang tanah
yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara
berturut-turut dan pendahulu-pendahulunya, yang dilakukan dengan
itikad baik, secara terbuka serta diperkuat oleh kesaksian orang yang
dapat dipercaya.
Latihan:
Diskusikan Kasus Berikut
Dalam praktik PTSL di Kota Banjarbaru, penetapan status
tanah didasarkan pada pola ruang. Apabila letak bidang tanah
berada dalam kawasan pertanian, maka ditetapkan sebagai
tanah pertanian, tetapi jika berada di luar kawasan pertanian
ditetapkan sebagai tanah non pertanian. Penetapan status
tanah dituliskan dalam form surat ukur dengan kalimat
‘sebidang tanah pertanian/non pertanian sesuai Perda Nomor
13 Tahun 2014 tentang RTRW Kota Banjar Baru Tahun 2014 –
2034’.
Namun, kebijakan penetapan status tanah di Kota Banjarbaru
di atas berbeda dengan di Kabupaten Banjar. Penetapan status
tanah di Kabupaten Banjar berdasarkan pada kondisi eksisting
penggunaan tanahnya, tanpa memperhatikan kondisi pola
ruang dalam RTRW. Sebidang tanah dengan penggunaan
pertanian, ladang, kebun atau sejenisnya ditetapkan menjadi
tanah pertanian, sedangkan pemanfaatan berupa rumah, toko,
pabrik, dan sejenisnya, ditetapkan sebagai tanah non pertanian
atau pekarangan. Pada form surat ukur dituliskan ‘sebidang
tanah pekarang/pertanian’, tergantung kondisi eksistingnya.
(Sumber: Simanjuntak 2019)
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 103

5.2. Pemanfaatan Produk Penataan Ruang Dalam Perizinan


Pertanahan
Sampai saat ini belum ada regulasi yang menyebutkan terminologi
perizinan pertanahan. Namun dalam praktiknya perizinan di bidang
pertanahan mewujud dalam berbagai bentuk izin, seperti: (a) izin
lokasi; (b) informasi data pertanahan; (c) pertimbangan teknis pertana-
han; (d) penetapan lokasi; dan (e) perubahan penggunaan tanah.

1. Izin Lokasi
Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
BPN Nomor 17 Tahun 2019 tentang Izin Lokasi, yang dimaksud dengan
Izin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada pelaku usaha untuk
memperoleh tanah yang diperlukan untuk usaha dan/atau kegiatannya
dan berlaku pula sebagai izin pemindahan hak dan untuk
menggunakan tanah tersebut untuk keperluan usaha dan/atau
kegiatannya. Secara sederhana izin lokasi adalah izin yang diberikan
oleh Pemerintah Daerah kepada pelaku usaha untuk kegiatan
perolehan tanah dalam rangka menjalankan kegiatan usahanya. Dalam
hal ini pelaku usaha dapat perseorangan maupun non perseorangan
(PT, Perum, BLU, koperasi, dll). Izin lokasi tersebut digunakan oleh
pelaku usaha sebagai dasar untuk menindaklanjuti dengan proses
perolehan tanah untuk usaha (Gambar 30).
Objek Izin Lokasi merupakan tanah yang menurut rencana tata
ruang wilayah diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan
rencana kegiatan usaha yang akan dilaksanakan oleh Pelaku Usaha.
Rencana kegiatan usaha tersebut berdasarkan izin/persetujuan/pendaf-
taran atau yang serupa itu untuk Penanaman Modal yang diterbitkan
oleh pejabat yang berwenang. Dalam hal ini sangat jelas bahwa izin
lokasi hanya diberikan apabila izin yang diajukan lokasi tanahnya
sesuai dengan RTRW atau dalam regulasi ini harus sesuai dengan
RDTR.
104 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Gambar 30. Skema cara perolehan tanah oleh pelaku usaha swasta

2. Informasi Ketersedian Data Pertanahan


Berdasarkan Peraturan Menteria Agraria/Kepala BPN Nomor 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah disebutkan bahwa informasi tentang data
fisik dan data yuridis yang ada pada peta pendaftaran, daftar tanah,
surat ukur dan buku tanah terbuka untuk umum dan dapat diberikan
kepada pihak yang ber-kepentingan secara visual atau secara tertulis.
Informasi tertulis tentang data fisik dan data yuridis mengenai
sebidang tanah tersebut diberikan dalam bentuk Surat Keterangan
Pendaftaran Tanah. Perizinan pertanahan dalam hal ini tidak terkait
dengan produk-produk penataan ruang, kecuali berkenaan dengan
informasi status penggunaan dan pemanfaatan bidang tanah.

3. Pertimbangan Teknis Pertanahan


Pertimbangan Teknis Pertanahan sebagaimana disebutkan dalam
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 27 Tahun 2019 tentang Pertimbangan Teknis
Pertanahan adalah pertimbangan yang memuat ketentuan dan syarat
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan
memperhatikan kesesuaian tata ruang sebagai dasar dalam penerbitan
izin lokasi, penetapan lokasi, dan izin perubahan penggunaan tanah.
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 105

Oleh karena itu Pelayanan Pertimbangan Teknis Pertanahan diberikan


dalam rangka: (a) persetujuan/penolakan Izin Lokasi; (b) pemberi-
an/perpanjangan atau pembaharuan hak atas tanah; (c) penegasan
status dan rekomendasi penguasaan tanah timbul; dan (d) perubahan
penggunaan dan pemanfataan tanah. Secara khusus materi pertim-
bangan teknis pertanahan ini akan di bahas pada Sub Bab Pemanfaatan
dalam Pertimbangan Teknis Pertanahan.

4. Penetapan Lokasi
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 tentang
Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012
tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum, yang dimaksud dengan Penetapan Lokasi adalah
penetapan atas lokasi pembangunan untuk kepentingan umum yang
ditetapkan dengan keputusan gubernur, yang dipergunakan sebagai
izin untuk pengadaan tanah, perubahan penggunaan tanah, dan pera-
lihan hak atas tanah dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, dalam rangka penetapan lokasi pengadaan tanah
tidak mensyarakat adanya Pertimbangan Teknis Pertanahan terlebih
dahulu namun demikian dalam proses penetapan lokasi tetap
didasarkan pada produk penataan ruang. Kajian atau analisis terhadap
kelayakan penetapan lokasi yang mengacu pada produk penataan
ruang, baik berupa RTRW maupun dan Rencana Pembangunan
Nasional dan Daerah, diuraikan dalam bentuk dokumen perencanaan
pengadaan tanah.

5. Perubahan Penggunaan Tanah


Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah, yang dimaksud dengan penggunaan tanah
adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan
bentukan alami maupun buatan manusia. Oleh karena itu, perubahan
106 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

penggunaan tanah dapat dimaknai sebagai upaya untuk melakukan


perubahan wujud tutupan bumi yang dilakukan oleh manusia. Dalam
hal ini, izin perubahan penggunaan tanah juga harus memperhatikan
RTRW. Di samping itu, proses izin perubahan penggunaan tanah juga
harus melalui pertimbangan teknis pertanahan.

5.3. Pemanfaatan Produk Penataan Ruang Dalam Pertimbangan


Teknis Pertanahan
Sesuai dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 27 Tahun 2019 tentang Pertim-
bangan Teknis Pertanahan, yang dimaksud dengan pertimbangan
teknis pertanahan adalah pertimbangan yang memuat hasil analisis
teknis penatagunaan tanah yang meliputi ketentuan dan syarat
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan
memperhatikan kemampuan tanah, ketersediaan tanah dan kesesuaian
tata ruang. Adapun pemberian pertimbangan teknis ini mengacu pada
produk penataan ruang wilayah setempat, baik berupa RTRW atau
RDTR. Terhadap bidang tanah yang lokasinya sesuai dengan perun-
tukannya menurut RTRW atau RDTR dan/atau lokasi program
strategis pertanahan maka pertimbangan teknis pertanahan tidak
diperlukan. Jenis pertimbangan teknis pertanahan yang dikerjakan oleh
kantor pertanahan diberikan dalam rangka:
1. Persetujuan/penolakan izin lokasi
Pertimbangan teknis pertanahan dalam rangka persetujuan/peno-
lakan izin lokasi diberikan untuk pemenuhan komitmen izin lokasi
berdasarkan komitmen yang dikeluarkan oleh lembaga yang menye-
lenggarakan pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara
elektronik atau online single submission (OSS). Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan
Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik terdapat 2 (dua) macam
permohonan izin lokasi, yaitu izin lokasi tanpa komitmen dan izin
lokasi berdasarkan komitmen. Dari kedua macam izin lokasi tersebut
yang kemudian diproses di kantor pertanahan untuk mendapatkan
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 107

pertimbangan teknis pertanahan adalah izin lokasi berdasarkan komit-


men.
Izin lokasi terhadap tanah lokasi usaha diterbitkan tanpa komit-
men oleh lembaga OSS apabila:
a. sesuai dengan RDTR;
b. berada di lokasi kawasan khusus (ekonomi, industri, perdagangan,
dan pelabuhan);
c. sudah dikuasai pelaku usaha lain dan telah memiliki izin lokasi;
d. tanah berasal dari otorita atau badan penyelenggara pengemba-
ngan suatu kawasan;
e. berbatasan dengan lokasi usaha yang bersangkutan dan dalam
rangka perluasan;
f. luasan tanah kurang dari 25 Ha untuk usaha pertanian, 5 Ha
untuk pembangunan rumah masyarakat penghasilan rendah, dan 1
Ha untuk usaha non pertanian; dan
g. direncanakan sebagai lokasi proyek strategis nasional.
Izin lokasi tanpa komitmen berlaku efektif dan dapat digunakan oleh
pelaku usaha dalam perolehan tanah ketika izin tersebut diterbitkan.
Izin lokasi berdasarkan komitmen diberikan kepada pelaku usaha
yang memerlukan tanah untuk menjalankan usaha dan/atau kegiatan
tapi belum memiliki atau menguasai tanah sebagai syarat terbitnya izin
usaha berdasarkan komitmen dan lokasi usaha tidak memenuhi salah
satu kriteria dari huruf a-g di atas. Proses kajian atau analisis
permohonan izin lokasi di masing-masing instansi memiliki batasan
jangka waktu, apabila dalam kurun waktu pemrosesan berkas sebagai-
mana diatur dalam SOP tidak diselesaikan oleh instansi terkait maka
instansi tersebut dianggap menyetujui permohonan izin lokasi (Gam-
bar 31).
108 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Gambar 31. Prosedur penerbitan izin lokasi berdasarkan komitmen


(Sumber: PP Nomor 24 Tahun 2018)

2. Penegasan Status dan Rekomendasi Penguasaan Tanah Timbul


Pertimbangan teknis pertanahan dalam rangka penegasan status
dan rekomendasi penguasaan tanah timbul dilaksanakan terhadap
daratan yang terbentuk karena proses pengendapan di sungai, danau,
pantai dan atau pulau timbul, sebagai bahan pertimbangan penerbitan
rekomendasi status dan penguasaannya sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan. Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan Di Wilayah Pesisir
Dan Pulau-Pulau Kecil disebutkan bahwa rekomendasi status
penguasaan dan pemilikan tanah timbul diberikan dalam rangka
pemberian Hak Atas Tanah dan terhadap tanah timbul yang luasnya
lebih dari 100 m2. Rekomendasi yang diberikan mengacu pada arahan
peruntukan dalam RTRW provinsi/kabupaten/kota atau rencana zona-
si wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

3. Perubahan Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah


Pertimbangan teknis pertanahan dalam rangka perubahan peng-
gunaan dan pemanfaatan tanah diberikan terhadap tanah yang sudah
terdaftar atau memiliki sertipikat dan direncakan untuk kegiatan yang
mengakibatkan berubahnya kondisi fisik, penggunaan dan/atau pe-
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 109

manfaatan tanah. Perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanah


diupayakan menghindari tanah pertanian subur, beririgasi, dan memi-
liki habitat khusus untuk komoditas tertentu.
Dari ketiga jenis pertimbangan teknis pertanahan tersebut, dalam
pemberian pertimbangan teknis pertanahan memperhatikan ketentuan
penggunaan dan pemanfaatan tanah yang meliputi:
a. tidak merugikan kepentingan umum;
b. tidak mengganggu penggunaan dan pemanfaatan tanah di sekitar
lokasi;
c. memenuhi asas keadilan dan keberlanjutan;
d. memperhatikan unsur-unsur kemampuan tanah seperti lereng,
kedalaman efektif tanah, tekstur, drainase, erosi, dan faktor
pembatas lainnya; dan
e. memenuhi ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan
rencana tata ruang, serta terkait syarat penggunaan dan peman-
faatan tanah.
Dengan memperhatikan 5 (lima) ketentuan di atas maka produk
pertimbangan teknis pertanahan tersusun atas 7 (tujuh) peta, yaitu
peta petunjuk letak lokasi, peta penggunaan tanah, peta status
penguasaan tanah, peta kemampuan tanah, peta rencana tata ruang,
peta kesesuaian penggunaan tanah, dan peta ketersediaan tanah.
Ketujuh peta tersebut kemudian digunakan sebagai dasar dalam
memberikan persetujuan atau penolakan terhadap seluruh atau
sebagian tanah yang dimohonkan dan dituangkan dalam bentuk
risalah dan peta. Gambar 32 adalah contoh produk pertimbangan tek-
nis pertanahan dalam rangka izin perubahan penggunaan dan
pemanfaatan tanah di Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo.
Peta pertimbangan teknis pertanahan diterbitkan setelah dilakukan
analisis terhadap berbagai data, salah satunya adalah data RTRW.
110 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Gambar 32. Analisis terhadap RTRW menjadi salah satu komponen


pertimbangan dalam penerbitan pertimbangan teknis pertanahan
dalam rangka izin perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanah
(Sumber: Produk layanan pertanahan pada Kantor Pertanahan
Kabupaten Bone Bolango T.A. 2020)

5.4. Pemanfaatan Produk Penataan Ruang Dalam Pengadaan


Tanah Untuk Pembangunan
Pengadaan tanah adalah tahapan yang paling krusial dalam
pembangunan wilayah, mengingat kegiatan ini berhubungan dengan
pelepasan hak atas tanah bagi subjek hak yang menguasai atau memiliki
bidang-bidang tanah di lokasi pembangunan. Pengadaan tanah dimaknai
sebagai kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian
yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Kegiatan pengadaan tanah
bertujuan untuk menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masya-
rakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak.
Dalam konteks ini, terminologi pengadaan tanah sering disebut sebagai
pengadaan tanah. Pengadaan tanah yang sedang digalakkan oleh pemerintah
dalam dua tahun terakhir adalah pengadaan tanah untuk mendukung lebih
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 111

dari 245 proyek strategis nasional dan pembangunan infrastruktur untuk


kepentingan umum. Adapun capaian proyek strategis nasional saat ini
adalah 35 proyek sudah operasional, 145 proyek tahap konstruksi, 9 proyek
tahap transaksi dan 85 proyek tahap persiapan (Kementerian ATR/BPN,
2018). Namun demikian, dalam berbagai kasus pengadaan tanah untuk
pembangunan bagi kepentingan umum, permasalahan-permasalahan yang
sering muncul dalam proses pengadaan tanah antara lain: (1) lokasi tidak
sesuai dengan RTRW; (2) tidak semua masyarakat terdampak setuju; (3) hak
atas tanah tidak jelas (objek dan subjeknya); (4) ketidaksepakatan dalam
ganti rugi; (5) kurang terbukanya informasi; (6) munculnya spekulan; (7)
dokumen perencanaan yang kurang mantap; (8) proses penetapan lokasi
yang tidak clear and clean; (9) belum adanya NSPK untuk Studi Perencanaan
Pengadaan Tanah; (10) pemahaman regulasi dan implementasi yang belum
memadai; dan (11) penganggaran yang belum mengkover seluruh tahapan
(Sutaryono, 2018).
Pertanyaan yang mengedepan kemudian adalah, mengapa muncul
berbagai permasalahan dalam kegiatan pengadaan tanah sebagaimana
di atas. Jawabannya tentu tidak sederhana. Banyak faktor yang mempe-
ngaruhi keberhasilan dalam kegiatan pengadaan tanah untuk
pembangunan bagi kepentingan umum, mengingat terdapat beberapa
tahapan dalam pengadaan tanah. Pengadaan tanah untuk kepentingan
umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah. Dengan pelepasan hak atas tanah dengan
sukarela atau tanpa paksaan dapat memberikan kekuasaan pada negara
untuk kemudian mengatur dan memberikan hak atas tanahnya untuk
kepentingan umum. Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan
Umum, tahapan kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan bagi
kepentingan umum meliputi kegiatan perencanaan, persiapan, pelak-
sanaan dan penyerahan hasil (Gambar 33). Keempat tahapan tersebut
merupakan satu sekuensial yang saling terkait dan merupakan satu
kesatuan proses, meskipun lembaga/institusi yang menjalankan berbe-
da-beda.
112 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Gambar 33. Tahapan Kegiatan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan


Umum
(Sumber: Direktorat Jenderal Pengadaan Tanah 2018)
Berkenaan dengan hal di atas, maka kemunculan berbagai persoal-
an dalam pengadaan tanah akan dikurangi atau bahkan dihilangkan
apabila studi perencanaan pengadaan tanahnya dilakukan secara baik
dan taat azas. Salah satu prakondisi yang harus dipenuhi dalam
pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum adalah
kesesuaian dengan rencana tata ruang. Produk-produk yang dapat
digunakan sebagai dasar dalam pengadaan tanah untuk pembangunan
bagi kepentingan umum dapat berupa produk perencanaan yang ber-
sifat umum maupun produk perencanaan yang bersifat rinci. Adapun
yang digunakan sebagai dasar dan pertimbangan utama dalam kegiatan
perencanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah: (a)
kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, baik tingkat
Nasional, Provinsi, maupun Kabupaten/Kota; dan (b) merupakan pro-
gram Prioritas Rencana Pembangunan Nasional/Daerah yang telah di-
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 113

masukkan dalam dokumen Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana


Kerja Pemerintah/Instansi yang memerlukan tanah.

Gambar 34. Analisis lokasi pembangunan Bendung Bulango Ulu


terhadap Pola Ruang Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo
(Sumber: Analisa Data Kegiatan Pengadaan Tanah di Kantor
Pertanahan Kabupaten Bone Bolango 2019)
Gambar 34 menampilkan contoh analisis lokasi pengadaan tanah
untuk pembangunan Bendung Bulango Ulu di Kabupaten Bone
Bolango Provinsi Gorontalo terhadap pola ruang kabupaten setempat.
Jika dilihat dari aspek tata ruang, lokasi pembangunan bendungan
kurang sesuai dengan RTRW Kabupaten setempat. Namun pembangu-
nan Bendungan Bulango Ulu tetap terus berjalan karena telah
ditetapkan sebagai salah satu proyek strategis nasional melalui
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2018 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 ten-
tang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Di sisi lain
juga telah disebutkan dalam Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016
tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional bahwa ter-
hadap lokasi proyek strategis nasional yang tidak sesuai dengan RTRW
atau RDTR dan secara teknis tidak dimungkinkan untuk dipindah ke
lokasi lain maka akan dilakukan penyesuaian RTRW atau RDTR.
Studi perencanaan pengadaan tanah disusun dalam bentuk
dokumen perencanaan pengadaan tanah yang paling tidak memuat
114 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

berbagai hal terkait dengan proses pengadaan tanah, baik langsung


maupun tidak langsung. Termasuk dampak yang akan ditimbulkan
oleh pembangunan terhadap tanah yang dihasilkan dalam proses
pengadaan tanah. Muatan yang harus ada dalam dokumen
perencanaan tersebut adalah:
1. Maksud dan tujuan rencana pembangunan, berisikan uraian ten-
tang maksud dan tujuan pembangunan yang direncanakan dan
manfaat pembangunan untuk kepentingan umum;
2. Kesesuaian dengan RTRW dan Prioritas Pembangunan, berisikan
uraian tentang kesesuaian lokasi pengadaan tanah dengan RTRW
Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota dan Prioritas Pembangunan
pada RPJM, Renstra, dan Rencana Kerja Pemerintah/Instansu yang
bersangkutan;
3. Letak tanah, berisikan uraian tentang wilayah administrasi
desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi dan titik-titik
koordinat batas masing-masing bidang tanah lokasi pembangunan
yang disajikan dalam bentuk peta;
4. Luas tanah, berisikan uraian tentang perkiraan luas tanah yang
diperlukan dengan rincian luas tanah secara keseluruhan, luas ta-
nah masing-masing bidang kepemilikan, luas tanah pihak yang
berhak, dan objek pengadaan tanah dan pemanfaatan tanah;
5. Gambaran umum status tanah, berisikan uraian tentang data awal
penguasaan dan pemilikan masing-masing bidang kepemilikan
pada wilayah yang akan dibebaskan tanahnya termasuk bangunan,
tanaman, dan utilitas yang melekat pada bangunan;
6. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pengadaan tanah, berisikan
uraian tentang perkiraan waktu yang diperlukan untuk keselu-
ruhan proses pengadaan tanah (perencanaan, persiapan,
pelaksanaan, dan penyerahan hasil) termasuk estimasi waktu jika
ada keberatan atau ada kegiatan relokasi;
7. Perkiraan nilai tanah, berisikan uraian tentang perkiraan nilai
ganti kerugian setiap bidang tanah akibat terkena objek penga-
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 115

daan tanah yang meliputi kerugian fisik dan kerugian non fisik
yang dapat disetarakan dengan nilai uang;
8. Rencana anggaran biaya (RAB), berisikan uraian tentang besarnya
dana dan alokasi dana untuk kegiatan perencanaan, persiapan,
pelaksanaan, penyerahan hasil, administrasi dan pengelolaan,
serta sosialisasi dalam keseluruhan proses pengadaan tanah; dan
9. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan, berisikan
uraian tentang perkiraan waktu untuk pelaksanaan pembangunan
fisik setelah proses pengadaan tanah selesai dilakukan.

Dokumen perencanaan dengan muatan di atas harus dilengkapi


dengan hasil studi kelayakan yang mencakup berbagai aspek yang
sangat terkait dengan pelaksanaan pembebasan tanah, yakni:
1. Survei sosial ekonomi, untuk menghasilkan kajian mengenai
kondisi sosial ekonomi masyarakat yang diperkirakan terkena
dampak pengadaan tanah;
2. Kelayakan lokasi, untuk menghasilkan analisis mengenai kesesu-
aian fisik lokasi dengan rencana pembangunan dan dituangkan
dalam peta rencana lokasi pembangunan;
3. Analisis biaya dan manfaat pembangunan bagi wilayah dan
masyarakat, untuk menghasilkan analisis mengenai biaya yang
diperlukan dan manfaat pembangunan yang diperoleh bagi
wilayah dan masyarakat;
4. Perkiraan nilai tanah, untuk menghasilkan perkiraan besarnya
nilai ganti kerugian objek pengadaan tanah baik kerugian secara
fisik maupun non fisik yang dapat disetarakan dengan nilai uang;
5. Dampak lingkungan dan dampak sosial yang mungkin timbul,
untuk menghasilkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup
atau dokumen lingkungan hidup lainnya sesuai ketentuan perun-
dang-undangan; dan
6. Studi lain yang diperlukan, studi lain terhadap budaya masyarakat,
politik dan keamanan, keagamaan, atau studi bidang lainnya dibu-
116 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

tuhkan untuk mengantisipasi dampak spesifik akibat adanya


pembangunan.

5.5. Pemanfaatan Produk Penataan Ruang Dalam Penghentian


Pemberian Izin Baru
Pemanfaatan produk penataan ruang juga dapat dilakukan untuk
kepentingan perlindungan suatu kawasan melalui kebijakan yang
bersifat nasional. Misalnya perlindungan terhadap keberadaan hutan
alam primer dan lahan gambut dari ancaman alih fungsi dan
deforestasi. Ancaman deforestasi tersebut begitu nyata. Salah satu con-
toh kasus adalah deforestasi hutan di Provinsi Riau akibat alih fungsi
hutan primer menjadi perkebunan sawit. Deforestasi tersebut tampak
begitu terstruktur dan masif (Gambar 35). Kasus tersebut menjadi salah
satu pertimbangan dalam perlindungan ancaman deforestasi pada
hutan primer dan kawasan gambut melalui kebijakan penundaan
pemerian izin baru pada Kawasan yang dilindung. Dalam konteks ini
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Instruksi Presiden
(Inpres) Nomor 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru
dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan
Gambut.

Gambar 35. Deforestasi Hutan Akibat Alih Fungsi Hutan Primer


Menjadi Perkebunan Sawit
(Sumber: Soedarso 2015)
Inpres tersebut bertujuan untuk menunda pemberian izin baru
untuk penebangan dan konversi hutan dan lahan gambut selama dua
tahun sejak tanggal diundangkannya demi mengendalikan alih fungsi
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 117

hutan alam primer dan lahan gambut (Tobing 2020). Kebijakan terse-
but mengalami beberapa kali perubahan, terakhir ditetapkan melalui
Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2019 tentang Penghentian Pembe-
rian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan
Lahan Gambut pada era Presiden Joko Widodo. Melalui peraturan yang
sering disebut dengan Inpres penghentian pemberian izin baru,
pemerintah menunjukkan sikap konsisten dalam perlindungan terha-
dap Kawasan hutan primer dan lahan gambut.

Gambar 36. PIPPIB di wilayah Indragiri Hulu Provinsi Riau dan


sekitarnya
(Sumber: Lampiran SK Menteri LHK Nomor 7099/MENLHK-
PKTL/IPSDH/PLA.1/8/2019)
Terbitnya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan
Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang secara spasial
direpresentasikan dalam bentuk Peta Indikatif Penghentian Pemberian
Izin Baru (PIPPIB) sempat memunculkan polemik di beberapa daerah.
Polemik tersebut muncul karena terdapat ketidakselarasan antara pro-
duk penataan ruang di daerah dan PIPPIB yang dikeluarkan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Zonasi yang
dilakukan oleh kementerian ternyata tidak memperhatikan pola ruang
pada RTRW Provinsi atau RTRW Kabupaten/Kota setempat. Gambar
118 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

36 merupakan salah satu contoh zonasi PIPPIB yang diterbitkan oleh


Kementerian LHK.

5.5.1. Zonasi Penataan Ruag vs Zonasi PIPPIB


Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 ber-
isikan perintah Presiden kepada seluruh pejabat yang berkepentingan
dengan pemberian izin di kawasan hutan dan lahan gambut untuk
menghentikan pemberian izin baru pemanfaatan ruang yang terletak di
kawasan hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi terbatas,
hutan produksi tetap, dan hutan produksi yang dapat dikonversi, serta
area penggunaan lain yang ditunjuk dalam PIPPIB. Penghentian
pemberian izin tersebut dilakukan dalam rangka menyelamatkan
keberadaan hutan dan lahan gambut, penurunan emisi dari deforestasi
dan degradasi hutan, dan perbaikan penataan pengelolaan hutan.
Sebagai tindak lanjut atas Inpres tersebut Pemerintah melalui KLHK
kemudian mengeluarkan produk penataan ruang dan ditetapkan dalam
bentuk keputusan menteri, yaitu Surat Keputusan Nomor
7099/MENLHK-PKTL/IPSDH/PLA.1/8/2019 tentang Penetapan PIPPIB.
Gambar 36 di atas adalah salah satu contoh produk PIPPIB untuk
wilayah Indragiri Hulu di Provinsi Riau. Dalam peta tersebut ditun-
jukkan area/zona yang menjadi lokasi penghentian izin, yaitu: (1) war-
na merah untuk kawasan hutan alam primer pada hutan produksi dan
areal penggunaan lain, hutan konservasi, dan hutan lindung; dan (2)
warna hijau untuk kawasan lahan gambut. Dalam penyusunannya,
PIPPIB tidak memperhatikan produk penataan ruang daerah, yakni
RTRW Provinsi Riau yang diatur melalui Peraturan Daerah Provinsi
Riau Nomor 10 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Riau Tahun 2018-2038. Hal tersebut menunjukkan adanya
inkonsistensi kebijakan dalam pengaturan penataan ruang.
Meskipun inkonsistensi di atas dapat diatasi melalui revisi atas
produk PIPPIB, namun dalam implementasinya memberikan dampak
yang cukup significant. Misalnya, kasus yang terjadi pada 2 (dua) desa
di wilayah Kabupaten Indragiri Hilir. Desa Karotan dan Desa Teluk
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 119

Nibung yang keduanya merupakan wilayah permukiman dan meru-


pakan desa yang definitif, ternyata wilayah keseluruhan masuk dalam
zona PIPPIB (Tobing 2020). Contoh lain terjadi di Kabupaten Siak,
dimana terdapat 4 (empat) perkampungan yang masuk zona PIPPIB.
Keempat kampung tersebut adalah Kampung Bandar Pedada dan
Kampung Selat Guntung di Kecamatan Sabak Auh, serta Kampung
Kuala Gasib dan Kampung Pangkalan Pisang di Kecamatan Koto Gasib.
Kasus tersebut menunjukkan bahwa pada level pengambilan kebijakan
pun masih terdapat kekurangan dalam hal koordinasi, yang berakibat
pada sulitnya pelaksana di lapangan untuk mengimplementasikan
kebijakan tersebut. Belum lagi apabila dihadapkan pada sektor-sektor
lain yang terkait dengan kabijakan penataan ruang, utamanya di sektor
administrasi dan pelayanan pertanahan. Oleh karena itu, kebijakan
penataan ruang, utamanya berkenaan dengan PIPPIB perlu ditinjau
kembali atau dilakukan revisi.
Peluang untuk melakukan revisi zonasi PIPPIB dapat dilakukan
sesuai ketentuan yang telah diterbitkan oleh Kementerian LHK,
sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Nomor 7099/MENLHK-
PKTL/IPSDH/PLA.1/8/2019 tentang Penetapan Peta Indikatif Penghen-
tian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) Tahun 2019. Dalam keputusan
tersebut disebutkan bahwa revisi PIPPIB dapat dilakukan dengan
memperhatikan: (1) perubahan tata ruang. Dalam hal hal ini dapat
dimaknai bahwa revisi zonasi PIPPIB dapat dilakukan dengan memper-
hatikan adanya perubahan tata ruang, baik yang ada pada aras regulasi
(RTRW) maupun pada kondisi pemanfaatan ruang eksisting; (2) data
dan informasi penutupan lahan terkini. Dalam hal ini dapat dikatakan
bahwa penggunaan dan pemanfaatan tanah eksisting oleh masyarakat
ataupun badan hukum dapat menjadi sumber atau argumen perlunya
melakukan revisi zona PIPPIB. Apalagi berkenaan dengan penguasaan
dan/atau pemilikan bidang-bidang tanah yang terlanjur masuk atau
dimasukkannya ke dalam zona PIPPIB; (3) masukan dari masyarakat.
Persyaratan ini dapat digunakan oleh masyarakat ataupun subjek hak
yang lain, untuk mengajukan keberatan sekaligus mengajukan peruba-
120 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

han zonasi PIPPIB, utamanya apabila bidang-bidang tanah yang


dikuasainya berada pada zona PIPPIB; (4) pembaharuan data perizin-
an. Berkenaan dengan hal ini, data perizinan paling up date perlu dicek
kembali dan dioverlaykan dengan zonasi PIPPIB, agar pemegang izin
tidak dirugikan akibat adanya zonasi yang ditetapkan kemudian; dan
(5) hasil survei kondisi fisik lapangan. Berkenaan dengan butir (1)
sampai (5), agar diperoleh data yang akurat, valid dan up date, perlu
dilakukan survei kondisi eksisting di lapangan. Kondisi eksisting yang
benar-benar memenuhi persyaratan untuk dilakukan revisi terhadap
zonasi PIPPIB perlu menjadi prioritas dalam revisi.

Gambar 37. Peta kesesuaian antara PIPPIB dan pola ruang di Provinsi
Riau
(Sumber: Tobing 2020)
Inkonsistensi kebijakan penataan ruang tersebut salah satunya
ditunjukkan oleh Tobing (2020) sebagaimana terdapat pada Gambar
37. Gambar tersebut menunjukkan bahwa terdapat overlapping antara
pola ruang dalam RTRW Provinsi dengan Zonasi PIPPIB. Tidak
digunakannya produk penataan ruang daerah sebagai dasar dalam
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 121

penyusunan PIPPIB berakibat pada perbedaan pengaturan fungsi


peruntukan zona di suatu wilayah.
Tobing (2020) menemukan adanya perbedaan pengaturan
peruntukan di wilayah Indragiri Hilir Provinsi Riau. Gambar 37 adalah
peta hasil analisis overlay antara peta pola ruang Provinsi Riau
sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 10
Tahun 2018 dan PIPPIB tahun 2019. Dari hasil analisis overlay
ditemukan bahwa terdapat areal seluas 1.350.571,25 Ha atau 99,64%
dari total areal penunjukkan lahan gambut pada PIPPIB yang tidak
sesuai dengan RTRW dan areal seluas 1.399,84 Ha atau 0,16% dari total
areal penunjukkan hutan alam primer pada PIPPIB yang tidak sesuai
dengan RTRW.
Perbedaan peruntukan zona tersebut menunjukkan bahwa
terdapat ketidakselarasan antara produk tata ruang dan PIPPIB.
Diperlukan upaya harmonisasi peraturan sehingga tidak ada
memunculkan dualisme kebijakan dan konflik di tengah masyarakat.
Munculnya SK Menteri LHK yang baru yaitu SK.851/MENLHK-
PKTL/IPSDH/PLA.1/2/2020 dan revisi PIPPIB untuk periode berikutnya
diharapkan melahirkan produk penataan kawasan hutan dan lahan
gambut berbasiskan produk penataan ruang daerah sehingga kedua
produk penataan ruang tersebut sinergis dan selaras.

5.5.2. Dampak Penerapan PIPPIB


Salah satu agenda strategis nasional yang sedang dijalankan oleh
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
adalah percepatan pendaftaran tanah pertama kali melalui Pendaftaran
Tanah Sistematis Lengkap atau disingkat PTSL. Mengingat begitu
pentingnya agenda pendaftaran tanah ini, Presiden memperkuat
melalui Inpres Nomor 2 Tahun 2018 tentang Percepatan PTSL, yang
ditandatangani pada tanggal 13 Februari 2018 (Sutaryono 2018).
PTSL adalah kegiatan pendaftaran tanah pertama kali yang dila-
kukan secara serentak, meliputi semua objek pendaftaran tanah yang
belum didaftar dalam satu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya
122 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

yang setingkat dengan itu. PTSL dilakukan terhadap semua bidang


tanah di wilayah desa/kelurahan, baik yang sudah terdaftar ataupun
belum. Berkenaan dengan hasil, berdasarkan Inpres Nomor 2 Tahun
2018 produk PTSL terdiri dari 3 kluster, yakni: (a) Kluster 1, yakni
bidang tanah yang memenuhi syarat untuk diterbitkan sertipikat; (b)
Kluster 2, yakni bidang tanah yang hanya dicatat dalam buku tanah
karena dalam keadaan sengketa atau berperkara; (c) Kluster 3, yakni
bidang tanah yang hanya didaftarkan dalam daftar tanah karena
subyek atau objeknya tidak memenuhi syarat untuk diberikan hak.
Dalam konteks kebijakan PIPPIB melalui Inpres Nomor 5 Tahun
2019, salah satu kegiatan yang terdampak langsung adalah kebijakan
pendaftaran tanah melalui PTSL. Di dalam Inpres 5/2019 disebutkan
bahwa Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN bertugas untuk:
a. menghentikan penerbitan hak-hak atas tanah antara lain HGU
dan HP pada APL berdasarkan PIPPIB; dan
b. melakukan percepatan konsolidasi PIPPIB ke dalam revisi peta ta-
ta ruang wilayah sebagai bagian dari pembenahan tata kelola
penggunaan lahan melalui kerja sama dnegan gubernur dan
bupati/wali kota.
Sebagai tindak lanjut atas Inpres 5/2019, Kementerian ATR/BPN
melalui Sekretaris Jenderal mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor
TU.01.02.1717-100/X/2019. Pada SE tersebut disebutkan bahwa:
1. Agar seluruh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dan Kantor
Wilayah BPN Provinsi se-Indonesia mempedomani Peta Indikatif
Penghentian Pemberian Ijin Baru (PIPPIB) yang terakhir (Revisi
XV) dalam menjalankan pelayanan pertanahan;
2. Untuk produk hasil kegiatan sertifikasi, terutama PTSL yang
masuk ke dalam areal PIPPIB tersebut agar dihentikan proses
sertifikasinya sesuai amanat Instruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2019;
3. Terhadap produk-produk sebagaimana dimaksud pada angka 2 di
atas, agar dikategorikan ke dalam K3.3 dan dibuatkan daftar
rekapitulasinya untuk dilaporkan kepada kami;
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 123

4. Agar masyarakat tetap dapat menerima Sertifikat Hak Atas


Tanahnya sesuai peraturan perundangan maka selanjutnya kami
akan melakukan koordinasi ke Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehidupan untuk revisi PIPPIB tersebut;
5. Proses sertifikasi terhadap bidang-bidang tanah tersebut dapat
dilanjutkan setelah revisi PIPPIB selesai.

Di sisi lain, pada SK Menteri LHK Nomor 7099/MENLHK-


PKTL/IPSDH/PLA.1/8/2019 tentang Penetapan Peta Indikatif Penghen-
tian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) Tahun 2019 juga disebutkan
beberapa hal yang bersinggungan dengan kebijakan pertanahan. Seba-
gaimana disebutkan dalam aturan bahwa PIPPIB tidak berlaku pada:
1. lokasi yang telah mendapat perizinan atau titel hak dari pejabat
berwenang sesuai peraturan perundang-undangan pada APL atau
bukan kawasan hutan yang diterbitkan sebelum SK Menteri
Kehutanan Nomor SK.323/Menhut-II/2011; dan
2. tanah milik masyarakat perseorangan di APL sepanjang disertai
bukti hak atas tanah/tanda bukti kepemilikan lainnya yang
diterbitkan sebelum SK Menteri Kehutanan Nomor
SK.323/Menhut-II/2011 dan hasilnya dilaporkan kepada Menteri
LHK melalui Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata
Lingkungan.

Terbitnya Inpres, SK Menteri LHK, dan SE Sekjend Kementerian


ATR/BPN membawa beragam dampak, baik di lingkungan pemerin-
tahan maupun di tengah masyarakat. Tabel 9 adalah beberapa dampak
kebijakan PIPPIB ditinjau dari sudut pandang pertanahan.
Salah satu dampak nyata sebagaimana terjadi di wilayah Kabu-
paten Indragiri Hilir dan Kabupaten Siak Provinsi Riau. Di Kabupaten
Indragili Hilir terdapat 724 bidang tanah (36,2%) yang masuk ke dalam
zona penghentian pemberian izin baru. Karena tidak berhasil dijadikan
sertipikat (K1), maka Kantor Pertanahan hanya dapat mengklas-
terisasikan pada K3.3. Dalam hal ini Kluster 3.3 dalam PTSL diber-
lakukan untuk subyek yang merupakan Warga Negara Asing,
124 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

BUMN/BUMD/BHMN dan Badan Hukum Swasta, atau juga


diberlakukan untuk subyek tidak diketahui, subyek yang tidak bersedia
mengikuti kegiatan PTSL dan tanah objek transmigrasi.
Tabel 9. Dampak Terbitnya PIPPIB
Lingkup Dampak
1. kerugian material karena sudah mengeluarkan sejumlah
biaya untuk melengkapi prasyarat administrasi dalam
kegiatan PTSL
Masyarakat yang
2. tidak ada kepastian waktu terbitnya sertipikat
bidang tanahnya
3. tidak dapat menerima sertipikat tanah jika di lokasi
terindikasi masuk
bersangkutan tidak ada revisi PIPPIB
di PIPPIB
4. tidak dapat mengajukan layanan pemeliharaan data
(pemecahan, pemisahan, peralihan, perubahan hak, dan
pemasangan hak tanggungan)
1. kebingungan dalam pembuatan atau revisi PIPPIB karena
tidak ada sosialisasi
Pemerintah
2. pendataan ulang terhadap semua bidang tanah yang
daerah
terindikasi masuk PIPPIB sebagai dasar pengajuan revisi
PIPPIB
1. tidak dapat melaksanakan PTSL secara optimal karena
sejumlah bidang tanah tidak dapat diproses menjadi
Kantor sertipikat
Pertanahan 2. tidak dapat menjalankan layanan pemeliharaan data
(pemecahan, pemisahan, peralihan, perubahan hak, dan
pemasangan hak tanggungan)
Sumber: disarikan dari Tobing (2020) dan Saputra (2020)

Dalam ketentuannya, bidang tanah yang berada dalam lokasi


penghentian pemberian izin baru memang dapat diterbitkan sertipikat
hak atas tanahnya, hanya saja prosedur yang harus dilakukan memakan
waktu yang lama dan melibatkan beberapa lintas sektor sehingga
menimbulkan anggapan bahwa proses yang ada hanya menambah
kerumitan dan memperpanjang birokrasi. Banyaknya jumlah bidang
tanah yang masuk ke dalam K3.3 tentu merugikan masyarakat. Seluruh
masyarakat yang terdampak lokasi penghentian pemberian izin baru
melakukan protes kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Indragiri Hilir
saat mengetahui bidang tanahnya tidak dapat disertipikatkan (Tobing
2020).
Hal tersebut juga terjadi di wilayah Kabupaten Siak. Terdapat 634
bidang tanah objek PTSL tahun 2020 di Kabupaten Siak yang masuk
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 125

dalam area PIPPIB dan dimasukkan ke dalam kategori K3.3. Kebijakan


memasukan bidang tanah produk sertifikasi yang berada di area PIPPIB
ke dalam kategori K3.3 yang diberlakukan kepada seluruh Kantor
Pertanahan tidak sesuai dengan pengertian K3.3 itu sendiri. Dimana
tidak semua lokasi tanah objek PTSL dapat dikategorikan ke dalam
K3.3, hal ini merujuk pada pengertian K3.3 yang terdapat di dalam
Petunjuk Teknis Nomor 2/Juknis-100.3.KU.01.01/II/2019 Tentang Pelak-
sanaan Anggaran Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Tahun 2019
(Saputra 2020).

5.6. Pemanfaatan Produk Penataan Ruang Dalam Pengendalian


Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Pengendalian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan atau
disingkat dengan PLP2B diatur dalam Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2009. Undang-undang tersebut diterbitkan karena tingginya
laju alih fungsi, degradasi, atau fragmentasi lahan pertanian pangan
yang sudah terjadi sejak lama. Walaupun sudah banyak peraturan
perlindungan lahan pertanian yang terbit sejak lahirnya UUPA,
penurunan angka ketersediaan lahan pertanian pangan terus terjadi
dan hal tersebut menunjukkan bahwa sejumlah peraturan-peraturan
yang terbit berjalan tidak efektif (Irawan 2008). Apabila kondisi alih
fungsi dibiarkan terus terjadi maka Indonesia sebagai sebuah negara
agraris tidak akan mampu mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan
kedaulatan pangan.
Sebagai tindak lanjut dari UU Nomor 41 Tahun 2009, lahirlah
sejumlah peraturan perundang-undangan sebagai turunannya dari
tingkat PP sampai ke tingkat Perda. Sutaryono (2016) mengungkapkan
bahwa sejumlah upaya pengamanan lahan pertanian pangan melalui
penerbitan peraturan perundang-undangan tetap belum menampak-
kan hasil. Tingginya laju pertanian pangan tersebut telah berdampak
pada: (1) hilangnya lahan pertanian produktif; (2) peningkatan impor
dan harga pangan; (3) berkurangnya lapangan pekerjaan di sektor per-
tanian; (4) peningkatan jumlah buruh tani dan petani tanpa tanah; dan
126 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

(5) peningkatan kerentanan sosial dan pengangguran di perdesaan.


Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional dalam Widiyantoro (2017) mengungkap bahwa
ketidakefektifan sejumlah aturan pengendalian lahan pertanian pangan
disebabkan oleh belum adanya petunjuk teknis pelaksanaan PLP2B dan
beragam komitmen dalam pelaksanaan PLP2B.
Komitmen perlindungan lahan pertanian harus dilakukan secara
terintegrasi dengan kebijakan pembangunan wilayah, utamanya adalah
kebijakan perencanaan pembangunan dan kebijakan penataan ruang.
Penetapan Kawasan PLP2B harus dituangkan dalam RPJP, RPJM, dan
Rencana Tahunan baik pada level nasional, provinsi, maupun
kabupaten/kota. Penetapan Kawasan PLP2B ini merupakan bagian dari
penetapan RTRW, utamanya dalam bentuk rencana rinci tata ruang
wilayah kabupaten/kota. Dalam hal ini, penetapan lahan pertanian
pangan tersebut menjadi dasar dalam penyusunan Peraturan Zonasi
sebagai salah satu instrumen pengendalian pemanfaatan ruang.
Dengan kata lain, penetapan objek LP2B harus sesuai dengan perun-
tukan fungsi dalam RTRW supaya keduanya tidak saling bertentangan
dan dapat digunakan sebagai arahan dalam upaya pengendalian
penggunaan tanah (Muryono 2016). Hal ini sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 7 Tahun 2012 bahwa kawasan
pertanian pangan berkelanjutan, lahan pertanian pangan
berkelanjutan, dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan
disyaratkan untuk terintegrasi dengan RTRW (Tabel 10). Dalam hal
kawasan pertanian pangan berkelanjutan, lahan pertanian pangan
berkelanjutan, dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan
belum diintegrasikan dengan RTRW maka ditetapkan melalui
Peraturan Daerah.
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 127

Tabel 10. Persyaratan Penetapan Kawasan, Lahan, dan Lahan Cadangan


Pertanian Pangan Berkelanjutan
Persyaratan Kawasan Persyaratan Lahan
Persyaratan Lahan
Pertanian Pangan Pertanian Pangan
Cadangan Pertanian
Berkelanjutan Berkelanjutan
1. Berada di dalam 1. Berada di dalam atau di 1. Tidak dalam sengketa,
kawasan peruntukan luar kawasan pertanian artinya tanah yang
pertanian, antara lain: pangan berkelanjutan, berasal dari tanah
(a) berada di dalam antara lain: (a) berada terlantar dan tanah
kawasan peruntukan di dalam kawasan kawasan hutan yang
pertanian tanaman peruntukan pertanian telah dialokasikan
pangan, hortikultura, tanaman pangan, dan/atau dilepaskan
perkebunan, dan hortikultura, untuk kawasan
peternakan; (b) perkebunan, dan peruntukan pertanian
batasan kawasan peternakan; (b) yang sesuai dengan
ditetapkan atas dasar batasan kawasan peraturan
batas administrasi ditetapkan atas dasar perundangan.
daerah; dan (c) berada batas administrasi 2. Status kepemilikan
di dalam kawasan daerah; dan (c) berada dan penggunaan
peruntukan pertanian di dalam kawasan tanah yang sah,
dan dimuat dalam peruntukan pertanian artinya tanah tersebut
RTRW baik di tingkat dan dimuat dalam telah dilekati hak atas
nasional, provinsi, RTRW baik di tingkat tanah dan/atau tanah
dan/atau nasional, provinsi, ulayat.
kabupaten/kota. dan/atau 3. Dimuat dalam
2. Berada di luar kawasan kabupaten/kota. rencana perlindungan
peruntukan pertanian, 2. Dimuat dalam rencana lahan pertanian
antara lain: (a) berada perlindungan lahan pangan yang di
pada kawasan pertanian pangan dalamnya memuat
peruntukan kehutanan, berkelanjutan yang di tentang kebijakan,
perikanan, industri dalamnya memuat strategi, indikasi
yang dikonversi tentang kebijakan, program, serta
menjadi kawasan strategi, indikasi program dan rencana
peruntukan pertanian; program, serta pembiayaan
(b) berasal dari bekas program dan rencana
kawasan hutan pembiayaan.
dan/atau tanah
terlantar; dan (c)
ditetapkan sebagai
kawasan pertanian
pangan berkelanjutan
sesuai dengan
mekanisme dan tata
cara penetapan.
3. Dimuat dalam rencana
perlindungan lahan
pertanian pangan yang
di dalamnya memuat
tentang kebijakan,
128 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

strategi, indikasi
program, serta
program dan rencana
pembiayaan.

Sumber: Peraturan Menteri Pertanian Nomor


07/Permentan/OT.140/2/2012
Hingga buku ajar ini dituliskan, semangat untuk penetapan objek
LP2B sampai di tahap penetapan luas lahan baku sawah nasional tahun
2019 yang ditetapkan melalui SK Menteri ATR/Kepala BPN Nomor
686/SK-PG.03.03/XII/2019. SK ini merupakan hasil kesepakatan bersa-
ma antara Sekretariat Wakil Presiden, Kementerian Koodinator Bidang
Perekonomian, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasio-
nal/BAPPENAS, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, Kemen-
terian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat (PUPR), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
(LAPAN), Badan Informasi Geospasial (BIG), Badan Pusat Statistik
(BPS), dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Hasil
kesepakatan tersebut memutuskan untuk dilakukan pembaharuan
(updating) luasan lahan baku sawah nasional yang semula seluas
7.105.145 hektar menjadi 7.463.948 hektar dengan sebaran secara
spasial tampak pada Gambar 38. Luasan tersebut dimungkinkan untuk
terjadi perubahan tergantung pada hasil identifikasi di lapangan.
Sebaran lahan baku sawah sebagai tergambar pada Gambar 38
berikutnya digunakan oleh pemerintah daerah sebagai pertimbangan
dalam penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Jika dilihat pada peta sebaran lahan baku sawah sebagaimana
tergambar di Gambar 38, Provinsi DIY adalah salah satu provinsi yang
ditetapkan memiliki lahan baku sawah dan dari sisi yang lain juga
sudah mengintegrasikan LP2B ke dalam RTRW. Pada tahun 2009, sejak
terbitnya UU Nomor 41 Tahun 2009, Provinsi DIY telah memiliki
semangat untuk mempertahankan LP2B dan hal ini tercermin dalam
Perda Provinsi DIY Nomor 2 Tahun 2010 tentang RTRW DIY Tahun
2009-2029. Namun, dalam Perda 2 Tahun 2010 tersebut tidak disebut-
kan alokasi luasan dan letak kawasan LP2B sehingga terbitlah Perda
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 129

Nomor 10 Tahun 2011 yang secara khusus mengatur tentang PLP2B. Di


dalam Perda 10 Tahun 2011 diatur mengenai penunjukkan sejumlah
kabupaten untuk mempertahankan LP2B dengan total luasan lahan inti
yang tersebar di seluruh kabupaten adalah seluas 35.911,59 Ha dan
sebaran lahan secara spasial akan ditetapkan melalui keputusan Bupati
setempat.

Gambar 38. Peta sebaran lahan baku sawah nasional tahun 2019
(Sumber: SK Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 686/SK-
PG.03.03/XII/2019)
Sejalan dengan perubahan RTRW Provinsi DIY, sejumlah penga-
turan mengenai PLP2B secara eksplisit mulai dimasukkan dalam Perda
Provinsi DIY Nomor 5 Tahun 2019 tentang RTRW DIY Tahun 2019-
2039. Alokasi total luas kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (P2B)
yang secara spasial tersebar di seluruh kabupaten adalah seluas
104.905,76 Ha dan penetapan objek LP2B akan ditetapkan kemudian
oleh Bupati. Luasan tersebut merupakan penggabungan antara luas
LP2B seluas 72.409,79 Ha dan luas lahan cadangan P2B seluas 32.495,97
Ha. Perubahan luasan LP2B dari tahun ke tahun tersebut menunjukkan
130 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

adanya upaya Pemprov DIY untuk melindungi keberadaan LP2B (Tabel


11).
Tabel 11. Perbedaan Pengaturan Luasan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan
Perda 10 Tahun Perda 5 Tahun 2019
Perda 2 Tahun
Kabupaten 2011 LP2B dan Lahan
2010
Lahan Inti (Ha) Cadangan (Ha)
Sleman 12.377,59 17.947,54 dan 534,5
Bantul 13.000 14.407,50 dan 4.667,51
Belum ada
KulonProgo penetapan luasan 5.029 11.033,89 dan 5.002,83
Gunungkidul LP2B 5.505 29.020,86 dan 22.291,14
72.409,79 dan
Total 35.911,59
32.495,98
Sumber: Perda Provinsi DIY Nomor 2 Tahun 2010, Nomor 10 Tahun 2011
dan Nomor 5 Tahun 2019
Selain mengatur alokasi luasan, dalam Perda 2019 juga diatur
mengenai sejumlah program perwujudan LP2B yang terintegrasi dalam
program perwujudan kawasan peruntukan pertanian dan arahan
peraturan zonasi sistem provinsi. Beberapa program perwujudan LP2B
tersebut antara lain: (1) pengendalian alih fungsi lahan pertanian, (2)
peningkatan dan perbaikan sistem irigasi, (3) penetapan LP2B, dan (4)
pemberian insentif bagi pemilik LP2B. Sedangkan terkait dengan
arahan peraturan zonasi terdapat sejumlah kegiatan yang
diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat, dan yang tidak
diperbolehkan di atas kawasan pertanian pangan.
Walaupun alokasi luasan, sebaran, program, dan arahan zonasi
sudah ditetapkan melalui RTRW provinsi namun belum ada satu
kabupaten pun di DIY yang menerbitkan perda RTRW yang di
dalamnya memuat komponen LP2B. Sampai naskah ini disusun, Kabu-
paten Sleman telah menyiapkan Perda LP2B dan sudah mendapatkan
persetujuan dari DPRD Kabupaten Sleman dengan mendasarkan pada
Perda RTRW DIY 5/2019. Saat ini masih dalam proses pencatatan
(registrasi) di Pemerintah Provinsi DIY sebelum diundangkan.
Beberapa daerah lain juga mengalami hal serupa dengan di DIY
yaitu belum ada penunjukkan objek LP2B dalam perda kabupa-
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 131

ten/kota. Salah satu kabupaten yang belum melakukan penetapan


objek LP2B dan menjadi lokasi kajian skripsi adalah Kota Solok
Provinsi Sumatera Barat. Dari kajian yang dilakukan oleh Saputra
(2018) diperoleh sebaran lahan pertanian yang berpotensi untuk
ditetapkan sebagai objek LP2B di Kota Solok (Gambar 39). Syarat lahan
pertanian pangan yang dikategorikan berpotensi dijadikan objek LP2B
menurut Saputra (2018) adalah memenuhi 2 (dua) prasyarat sebagai
berikut:
1. Lahan berkategori Sangat Sesuai (S1)
Berdasarkan Permen Pertanian Nomor
79/Permentan/OT.140/8/2013, lahan komoditas tanaman pangan
dikategorikan S1 apabila faktor pembatasnya minimum dan tidak akan
mereduksi produktifitas lahan. Syarat-syarat faktor pembatas
dikatakan minimum antara lain: (a) temperatur rata-rata antara 24oC-
29oC; (b) ketersediaan saluran irigasi; (c) kelembapan pada rentang
33%-90%; (d) tekstur tanah halus atau agak halus; (e) kedalaman tanah
lebih dari 50 cm; (f) ketebalan gambut kurang dari 40 cm; (g) retensi
hara berupa KTK tanah lebih dari 16 cmol/kg; (h) retensi hara berupa
kejenuhan basa lebih dari 50%; (i) retensi hara berupa pH H 2O pada
rentang 5,5-7,0; (j) lereng kurang dari 3%; (k) singkapan batuan kurang
dari 5%; dan (l) ketinggian genangan maksimal 25 cm.
2. Lahan berkategori Mendukung (M)
Syarat suatu objek dikategorikan mendukung antara lain: (a) kon-
disi eksisting digunakan dan dimanfaatkan sebagai sawah atau perta-
nian pangan; (b) berfungsi sebagai kawasan budidaya; dan (c) jenis
peruntukannya bukan sebagai kawasan pertanian.
132 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Gambar 39. Peta sebaran potensi LP2B di Kota Solok


(Sumber: Saputra 2018)
Salah satu contoh daerah yang sudah mengatur LP2B dalam
produk tata ruangnya adalah Kota Bandung. Di dalam Perda Kota
Bandung Nomor 10 Tahun 2015 tentang RDTR Kota Bandung Tahun
2015-2035 sudah diatur mengenai alokasi luasan LP2B hingga tingkat
blok/kelurahan (Tabel 12) dan secara spasial terpetakan dalam peta
RDTR skala 1:5.000. Gambar 40 adalah salah satu contoh peta rencana
pola ruang di Kota Bandung tepatnya di SWK Ujungberung
Kelurahan/Blok Pasanggrahan dan Palasari yang di dalamnya memuat
lokasi spasial objek LP2B. Disamping itu terdapat beberapa hal yang
juga diatur terkait pertanian, antara lain: (1) program perwujudan pola
ruang di zona pertanian, yang meliputi pengadaan bibit dan
penyuluhan kepada para petani; dan (2) larangan kegiatan untuk
adanya konversi lahan sawah beririgasi teknis yang telah ditetapkan
sebagai lahan sawah berkelanjutan.
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 133

Tabel 12. Alokasi Luasan LP2B Di Kota Bandung


Luas
SWK Kecamatan Blok
(ha)

Cibeunying Cibeunying Kidul Sukapada 3,28


Arcamanik Mandalajati Pasir Impun dan Jatihandap 14,83
Pasirwangi, Pasirjati, dan
Ujungberung
Pasanggrahan
Ujungberung 50,41
Palasari, Cisurupan, dan Pasir
Cibiru
Biru
Sumber: Perda Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2015

Gambar 40. Sebaran lokasi LP2B yang tergambarkan di Peta Rencana


Pola Ruang SWK Ujungberung
(Sumber: Perda Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2015)

5.7. Tugas
Berikut ini adalah tugas yang harus dikerjakan oleh seluruh
peserta didik untuk memperdalam kemampuan dalam penerapan
produk-produk penataan ruang untuk berbagai kebijakan dan perijinan
di bidang pertanahan.
134 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

A. Tujuan Tugas
Memanfaatkan produk-produk penataan ruang dalam pelayanan
pertanahan.
B. Uraian Tugas
1. Objek garapan: Produk-produk penataan ruang
2. Metode/cara pengerjaan (acuan cara/langkah pengerjaan):
a. Mahasiswa membentuk kelompok dengan anggota 3 – 4
orang per kelompok
b. Masing-masing kelompok mencari contoh produk-produk
penataan ruang: perencanaan, pemanfaatan maupun
pengendalian pemanfaatan ruang
c. Mensimulasikan pemanfaatan produk penataan ruang untuk
pelayanan pertanahan.
d. Memaparkan hasil simulasi di kelas.
3. Deskripsi luaran tugas yang dihasilkan:
Paparan hasil simulasi pemanfaatan produk penataan ruang.

5.8. Pustaka
Direktorat Jenderal Pengadaan Tanah 2018, Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Kementerian Agraria
dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Jakarta.
Irawan, Bambang 2008, Meningkatkan Efektifitas Kebijakan Konversi
Lahan, Forum Penelitian Agro Ekonomi, vol. 26, no. 2, hlm. 116-131.
Kartasasmita, Ginandjar 1996, Pembangunan untuk Rakyat:
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, CIDES, Jakarta.
Muryono, Slamet 2016, 'Kajian upaya pengendalian penggunaan tanah
di Kabupaten Temanggung Provinsi Jawa Tengah', BHUMI:Jurnal
Agraria dan Pertanahan, vol. 2, hlm. 85-101
Saputra, Maryono D. 2020, 'Inkonsistensi Kebijakan Penghentian
Pemberian Izin Baru Dengan Kebijakan Percepatan Pendaftaran
Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) Di Kabupaten Siak Provinsi
Riau', Skripsi pada Program Diploma IV Pertanahan, Sekolah
Tinggi Pertanahan Nasional.
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 135

Saputra, Ridho 2018, 'Penentuan Lokasi Potensial Perlindungan Lahan


Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kota Solok Provinsi Sumatera
Barat', Skripsi pada Program Diploma IV Pertanahan, Sekolah
Tinggi Pertanahan Nasional.
Simanjuntak, Yosia Y 2019, 'Konsistensi Penerapan Pola Ruang Untuk
Penetapan Status Tanah Dalam Pelaksanaan Pendaftaran Tanah
Sistematis Lengkap (PTSL) Di Kota Banjarbaru dan Kabupaten
Banjar', Skripsi pada Program Diploma IV Pertanahan, Sekolah
Tinggi Pertanahan Nasional.
Soedarso, BP 2015, 'Perspektif Keadilan Lingkungan Dalam
Penyelenggaraan Tata Kelola Hutan Dan Moratorium Kehutanan',
SELISIK Jurnal Hukum dan Bisnis, vol. 1, no. 1, Juni 2015, hlm. 55-75.
Sutaryono 2016, 'Lahan Pangan Berkelanjutan', Opini Surat Kabar
Harian Kedaulatan Rakyat, 22 November 2016, hlm. 12.
Sutaryono 2017, 'Alternatif Penyelesaian Penataan Ruang Berbasis Land
Management', Jurnal Pertanahan, vol. 1.
Sutaryono 2018, 'Penyiapan Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah',
Modul Pelatihan LARAP, World Bank, UGM, dan STPN, 17-21
Desember
Sutaryono 2018, ‘Prona Jaman Now’, Analisis Surat Kabar Harian
Kedaulatan Rakyat, 7 Maret 2018 Halaman 1
Tobing, Jonathan C.L. 2020, Sinkronisasi Kebijakan Pengehentian
Pemberian Izin Baru Terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Riau dan Implikasinya Terhadap Pendaftaran Tanah
Sistematis Lengkap-Studi di Kantor Pertanahan Kabupaten
Indragiri Hilir, Skripsi, Program Studi Diploma IV Pertanahan,
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
Widiyantoro, Susilo 2017, Pengendalian Lahan Pertanian Pada Proses
Penyediaan Lahan Perumahan Skala Besar Di Kawasan Perkotaan
Yogyakarta, Tesis pada Magister Perencanaan Kota dan Daerah,
Universitas Gadjah Mada.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
136 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan


Pertanian Pangan Berkelanjutan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan
Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik
Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 tentang Perubahan
Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2018 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016
tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2016 tentang
Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang
Penghentian Pemberian Izin Baru Dan Penyempurnaan Tata
Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut
Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran tanah
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 7/Permentan/OT.140/2/2012
tentang Pedoman Teknis Kriteria dan Persyaratan Kawasan,
Lahan, Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 79/Permentan/OT.140/8/2013
tentang Pedoman Kesesuaian Lahan Pada Komoditas Tanaman
Pangan
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 137

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan


Nasional Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan Di
Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 17 Tahun 2019 tentang Izin Lokasi
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 27 Tahun 2019 tentang pertimbangan Teknis
Pertanahan
Surat Keputusan Menteri Agraria dan tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 686/SK-PG.03.03/XII/2019 tentang
Penetapan Luas Lahan Baku Sawah Nasional Tahun 2019
Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
SK.7099/MENLHK-PKTL/IPSDH/PLA.1/8/2019 tentang Penetapan
Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru Hutan Alam
Primer Dan Lahan Gambut Tahun 2019
Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
SK.851/MENLHK-PKTL/IPSDH/PLA.1/2/2020 tentang Penetapan
Peta Indikatof Penghentian Pemberian Izin Baru Hutan Alam
Primer Dan Lahan Gambut Tahun 2020 Periode I
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2
Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta Tahun 2009-2029
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 10
Tahun 2011 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2015 tentang
Rencana Detail Tata Ruang Dan Peraturan Zonasi Kota Bandung
Tahun 2015-2035
Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 9 Tahun 2017 tentang
Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi Danau Limboto
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5
Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta Tahun 2019-2039
138 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

BAB VI
PENUTUP

Pemahaman terhadap konsep perencanaan wilayah, prinsip-


prinsip perencanaan wilayah dan pentingnya penataan ruang wilayah
bagi praktisi di bidang pertanahan dan penataan ruang adalah sebuah
keharusan. Bekal ini akan sangat bermanfaat dalam berinteraksi
dengan stake holder terkait serta untuk memberikan pertimbangan-
pertimbangan dalam kebijakan pembangunan wilayah.
Kemampuan mengidentifikasi problematika perkembangan
wilayah, baik dari aspek fisik, non fisik maupun aspek kebijakan dapat
digunakan untuk merumuskan kebijakan yang mampu mengantisipasi
munculnya permasalahan-permasalahan baru. Bahkan kebijakan yang
dihasilkan mampu menyelesaikan permasalahan pembangunan
wilayah yang terkait dengan pertanahan dan penataan ruang.
Kemampuan mengenal dan menganalisis produk-produk
pertanahan menjadikan praktisi di bidang pertanahan dan tata ruang
secara jelas dapat mengetahui kebutuhan data dan informasi yang
dibutuhkan, baik oleh institusi pertanahan dan tata ruang maupun
kebutuhan pihak lain. Keterampilan memanfaatkan produk-produk
penataan ruang dalam perizinan pertanahan, pertimbangan teknis
pertanahan maupun dalam kegiatan pengadaan tanah sangat
dibutuhkan bagi pengambil kebijakan di bidang pertanahan dan tata
ruang. Ketrampilan ini juga merupakan capaian tertinggi bagi peserta
didik yang mengambil mata kuliah Tata Ruang dan Perencanaan
Wilayah.
Sebagai bagian dari penutup, berikut ini beberapa artikel penulis
yang dimuat dalam beberapa media, terkait dengan isu-isu penataan
ruang. Artikel-artikel tersebut diharapkan mampu memperkaya
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 139

pengetahuan dan daya kritis pembaca terhadap kondisi penataan ruang


kontemporer. Di samping itu, artikel tersebut dapat dijadikan bahan
diskusi kelompok, maupun diskusi kelas sesuai dengan materi atau isu
yang sedang diperbincangkan oleh masyarakat luas.

Gambar 41. Artikel di Harian Kompas tentang problematika integrasi


agraria dan tata ruang
(Sumber: dapat diakses melalui
http://manajemenpertanahan.blogspot.com/2016/09/integrasi-agraria-
tata-ruang.html)

(a) (b)
Gambar 42. Artikel di Harian Kedaulatan Rakyat tentang (a) dilema
pengaturan ruang antara Tata Ruang vs Tata Uang dan (b) tanah
sebagai sebuah ruang komersial
(Sumber: dapat diakses melalui
(a) https://www.krjogja.com/angkringan/analisis/tata-ruang-vs-tata-
uang/ dan
(b) http://manajemenpertanahan.blogspot.com/2016/03/kontestasi-
ruang-komersial.html)
140 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

(a) (b)
Gambar 43. Artikel di Harian Kedaulatan Rakyat tentang (a)
keberlanjutan lingkungan melalui tata guna tanah dan (b) tanah
sebagai sebuah ruang komersial
(Sumber: dapat diakses melalui
(a) https://www.krjogja.com/angkringan/opini/tata-guna-tanah/
dan (b) http://manajemenpertanahan.blogspot.com/2020/08/tata-
ruang.html)

(a) (b)
Gambar 44. Artikel di Harian Kedaulatan Rakyat tentang (a) urgensi
pengarusutamaan tata ruang di wilayah DIY dan (b) kebutuhan
penataan ruang berbasis bencana di wilayah DIY
(Sumber: dapat diakses melalui (a)
http://manajemenpertanahan.blogspot.com/2014/08/pengarusutamaan
-tata-ruang.html dan (b)
http://manajemenpertanahan.blogspot.com/2015/01/penataan-ruang-
berbasis-bencana_6.html)
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 141

(a) (b)
Gambar 45. Artikel di Harian Kedaulatan Rakyat tentang (a) urgensi
pengendalian pemanfaatan ruang dan (b) momentum Hari Tata Ruang
Nasional untuk percepatan penyusunan RDTR
(Sumber: dapat diakses melalui (a)
http://manajemenpertanahan.blogspot.com/2016/01/urgensi-
pengendalian-pemanfaatan-ruang_7.html
dan (b) https://www.academia.edu/41610084/Percepatan_RDTR)
142 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

INDEKS

A
Acquisition and management 79
Agents of change 24
Agraria 4-5, 34-35, 37, 42, 57, 62-63, 84, 89, 95, 98, 103-104, 106, 108, 121-122, 128, 139
Aksesibilitas 23, 38, 71, 88-89
Alih fungsi tanah 34, 35, 79
Audit tata ruang 84-85

B
Bargaining 28
Basis data 4, 36
Bottom up 14
BPHTB 47

C
Collaborative learning 1
Conflict of interest 30

D
Data pertanahan 37, 103-104
Dinamika wilayah 24-26
Disinsentif 36, 56, 58, 71, 81-83,

E
Ease of Doing Business 36

G
Garis sempadan bangunan 70

I
Incentive and charge 79
Insentif 36, 56, 58, 71, 81-83, 130
Izin lokasi 82, 87, 96, 103-108
Izin mendirikan bangunan 82, 87

K
Kawasan budidaya 16, 25, 56, 58, 74, 76, 81, 101, 131
Kawasan lindung 16, 25, 56, 58, 74, 76, 81, 101
Konflik tata ruang 30

L
Land Development 35, 96
Land use planning 13

M
Manajemen pertanahan 2
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 143

N
Non urban 26

O
Organisasi Perangkat Daerah 41

P
Penertiban pemanfaatan ruang 75, 83-84
Penetapan lokasi 1, 43-44, 57, 59, 85, 105, 111

R
RDTR 36, 43, 62-63, 65-69, 71-72, 76, 81, 85-86, 101, 103, 106-107, 113, 132, 141
Reward and punishment 31
RTRW 38, 40, 43, 57-59, 63-65, 85-86, 95-97, 99-103, 105-106, 108-111, 113-114, 117-121,
126-130

S
Sanksi 56, 58, 81, 83-84, 89, 99
Struktur ruang 12, 15-16, 55-56, 58-59, 62-65, 72-73, 81-82
Sustainable Development 9, 37, 96

T
Tata guna tanah 13, 140
Tertib tata ruang 16, 75, 79-80

U
Urban sprawl 26

Z
Zonasi 19, 56, 58, 63, 67, 71, 74, 76-77, 80-82, 85, 92, 108, 117-120, 126, 130
144 Sutaryono, Riyadi, & Widiyantoro

TENTANG PENULIS

Dr. Sutaryono, menyelesaikan Pendidikan S1 – S3


di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Setelah
memperoleh Gelar Doktor dengan Predikat
Cumlaude pada Ilmu Geografi UGM, yang
bersangkutan fokus pada kajian dan ilmu Land
Management & Spatial Planning. Saat ini tercatat
sebagai Pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan
Nasional (STPN) dan menjabat sebagai Ketua
Program Studi Diploma IV Pertanahan. Di
samping di STPN, Penulis dipercaya mengajar di
Prodi S1 Pembangunan Wilayah Fakultas
Geografi UGM, Prodi S2 Geografi dan S2
Kependudukan pada Pascasarjana UGM, serta
Prodi S2 Ilmu Pemerintahan Pascasarjana
STPMD APMD. Saat ini aktif menjadi Anggota
Dewan Riset Daerah (DRD) dan Pengurus Pusat
Ikatan Geograf Indonesia (IGI). Disamping
menjadi trainer & konsultan, ia aktif menulis
buku dan artikel ilmiah pada berbagai jurnal dan
surat kabar dengan tema manajemen pertanahan,
penataan ruang dan pembangunan wilayah, yang
dipublikasikan juga melalui
www.manajemenpertanahan.blogspot.com.
Penulis dapat dihubungi melalui email
taryo_jogja@yahoo.com dan/atau
sutaryono@stpn.ac.id.

Rakhmat Riyadi, S.Si. M.Si., menyelesaikan


pendidikannya di Akademi Pertanahan tahun
1989, jenjang S1 di Geografi UGM tahun 1996, dan
S2 di Geografi UI tahun 2001. Sejak 1980, pria
kelahiran tahun 1961 ini pernah bertugas di
Kantor Wilayah BPN Provinsi Lampung dan pada
tahun 1992 mulai mengabdikan dirinya sebagai
Dosen di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
(STPN) hingga saat ini. Mata kuliah yang sering
Tata Ruang & Perencanaan Wilayah: Implementasi Dalam Kebijakan Pertanahan 145

diampu antara lain: Tata Ruang dan


Perencanaan, Penatagunaan Tanah, Kartografi,
dan Etika Profesi. Selain sebagai dosen, Penulis
kini juga dipercaya sebagai Pembantu Ketua
Bidang Akademik.

Susilo Widiyantoro, ST. M.Eng., menyelesaikan


pendidikan S1 di Teknik Geodesi UGM tahun
2009. Seusai menamatkan jenjang S1, Penulis
diterima sebagai PNS di lingkungan Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/BPN dan ditugaskan di
Provinsi Gorontalo sampai tahun 2014. Di awal
tahun 2015 memperoleh beasiswa Scholarship
Program for Strengthening Reforming Institution
untuk kuliah jenjang S2 di Magister Perencanaan
Kota dan Daerah UGM dan diselesaikan tahun
2017 dengan predikat Cumlaude. Pasca
menamatkan kuliah S2, Penulis kembali
mengabdikan diri di Provinsi Gorontalo sampai
tahun 2020 dengan jabatan terakhir Kasi
Infrastruktur Pertanahan di Kantor Pertanahan
Kabupaten Bone Bolango. Saat ini Penulis
mengabdikan dirinya sebagai tenaga pendidik di
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN).
Berbagai pengalaman dan ilmu yang dimiliki,
terutama di dunia pertanahan dan tata ruang,
ingin dibagikan Penulis dan salah satunya
melalui buku ajar ini. Penulis dapat dihubungi
melalui email susilo@stpn.ac.id.

Anda mungkin juga menyukai