Anda di halaman 1dari 5

NAMA : Leonelsie Tandung Pasa

NIM : 20150018
TUGAS : Seminar Kesmas

SOAL :
1. Menjelaskan apa yang dimaksud transisi demografi?
2. Menjelaskan agenda keamanan kesehatan global (GHSA) ?
JAWABAN :
1. Indonesia telah mengalami perubahan yang cukup drastis pada angka kelahiran dan
kematian dalam kurun 40 tahunan terakhir. Menurut data yang dihimpun BPS dan Central
Intelligence Agency angka kelahiran Indonesia pada tahun 2012 mencapai angka 2,6 dan
pada tahun 2017 telah mencapai angka rata-rata 2,11 kelahiran per wanita. Angka ini
menurun jauh dari tahun 1971 dimana pada saat itu tercatat angka kelahiran mencapai
rata-rata 5,61 kelahiran per wanita. Begitu juga dengan angka kematian Indonesia yang
terwakilkan oleh angka kematian di bawah umur lima tahun. 
Pada tahun 2012 menurut data BPS angka kematian di bawah umur lima tahun
tercatat pada angka 43 kematian per 1000 anak umur 0-4 tahun dalam satu tahun. Bahkan,
data dari Central Intelligence Agencypada tahun 2017 mencatat bahwa angka kematian
kasar Indonesia mencapai angka 6,5 kematian per 1000 penduduk dalam satu tahun.
Kedua angka ini sebenarnya sudah cukup baik karena sudah berada di bawah rata-rata
angka kelahiran dunia yaitu 2,52 kelahiran per wanita dalam satu tahun dan rata-rata
angka kematian dunia yaitu 7,73 kematian per 1000 penduduk dalam satu tahun.
Berdasarkan tren yang menurun dan besar dari kedua angka tersebut, dapat disimpulkan
bahwa Indonesia kini telah berada pada tahap ketiga dari model transisi demografi yaitu
tahap perkembangan akhir dimana angka kelahiran dan angka kematian sama-sama
menurun dengan lebih lambat dan mengakibatkan pertumbuhan penduduk yang cenderung
mulai rendah. Negara-negara yang telah berada pada tahap keempat dan kelima seperti
Jerman, Jepang, Prancis, Inggris, atau negara-negara Skandinavia, angka kelahiran
Indonesia masih berada di atasnya. Rata-rata angka kelahiran pada negara-negara tersebut
berada pada rentang 1,5-2 kelahiran per wanita dalam satu tahun. Sedangkan pada angka
kematian, Indonesia lebih rendah dari negara-negara tersebut. Maka dapat disimpulkan
bahwa angka kelahiran Indonesia lah yang masih menjadi poin pembeda.
Yang menjadi sorotan dalam pengendalian angka kelahiran yaitu; perencanaan
keluarga dan status wanita. Pemerintah melalui BKKBN (Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional) telah melakukan usaha-usaha perencanaan keluarga dengan
program-programnya. Seperti dua anak cukup dan program kependudukan, keluarga
berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK) yang berupaya untuk menurunkan laju
pertumbuhan penduduk dan kelahiran yang tidak diinginkan. Namun pada kenyataannya
masih banyak kasus-kasus kehamilan yang tidak diinginkan dan pemahaman bahwa
"banyak anak banyak rezeki" masih kerap kita jumpai. Melihat fakta-fakta yang terjadi,
memang tahap kelima atau bahkan tahap keempat transisi demografi terasa masih cukup
jauh dan sulit untuk dicapai. Namun, dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah
dan tentunya peran serta dan kesadaran dari kita sebagai masyarakat Indonesia, kestabilan
populasi sangat mungkin untuk dicapai.
Transisi Demografi adalah sebuah model yang digunakan untuk mendeskripsikan
perubahan-perubahan dalam statistik-statistik kependudukan seperti angka kelahiran,
angka kematian, dan pertumbuhan penduduk seiring dengan berjalannya waktu. Model ini
pada awalnya dibuat berdasarkan data-data statistik kependudukan negara-negara Amerika
Utara dan Eropa dari waktu ke waktu. Pada mulanya, setiap negara di dunia berada pada
sebuah fase di mana angka kematian dan kelahiran sama-sama tinggi. Selanjutnya angka
kematian turun terlebih dahulu yang lalu disusul oleh penurunan angka kelahiran. Pada
akhirnya, angka kematian dan kelahiran keduanya sama-sama rendah dan pertumbuhan
penduduk stabil. Beberapa ahli juga berpendapat setelah kelahiran dan kematian sama-
sama rendah, angka kelahiran bisa kembali naik atau juga menurun hingga menyebabkan
penurunan jumlah penduduk.
Siegel and Swanson (2004) dan beberapa ahli demografi telah menggambarkan
keterkaitan antara transisi demografi dengan perubahan piramida penduduk. Dalam
keterkaitan keduanya diterangkan bahwa transisi yang terjadi pada tahap awal (tahap 1)
akan menghasilkan bentuk piramida penduduk tipe stasioner awal. Bentuk piramidanya
akan panjang di bawah dan terus mengerucut kecil ke atas. Sedangkan pada akhir transisi
akhir (tahap 4) bentuk piramidanya akan seperti piramida konstruktif dimana proporsi
penduduk tua lebih banyak dibandingkan tahap transisi sebelumnya (tahap 1, 2 dan 3).
Oleh karena itu, piramida pada tahap akhir ini sering juga disebut sebagai tipe piramida
tua. Piramida penduduk tersebut akan menggambarkan bagaimana stuktur penduduk yang
terbentuk sebagai hasil proses fertilitas dan mortalitas di suatu daerah (Mantra, 2004).
Meskipun demikian, informasi dari piramida penduduk sangat terbatas. Informasi tersebut
antara lain adalah struktur penduduk meliputi distribusi kelompok umur dan jenis kelamin
saja.
Karakteristik demografi memiliki peranan penting untuk menyusun perencanaan
kebijakan pemerintah terutama terkait dengan kebutuhan dasar (Tukiran, 2010).
Kebutuhan dasar tersebut dapat berupa kebutuhan dalam aspek pendidikan, kesehatan,
ekonomi, pangan dan aspek strategis lainnya. Pada bidang kesehatan, karakteristik
demografi sendiri dapat dilihat dari studi mengenai transisi demografi dan transisi
epidemiologi. Studi transisi demografi akan melihat karakteristik penduduk berdasarkan
kondisi fertilitas dan mortalitas dari masa lalu dan sekarang. Transisi demografi
mendeskripsikan secara rinci tentang mekanisme perubahan dalam mortalitas dan fertilitas
di satu wilayah dimana perubahan tersebut akan mempengaruhi perkembangan demografi
di masa-masa selanjutnya (Notestein 1945; Davis 1945).
Transisi demografi yang terjadi di Indonesia sudah berdasarkan tahapan teori transisi
demografi. Hanya saja ada tahap tertentu yang mengalami perbedaan dalam proses
pertumbuhan penduduk, sehingga dapat dikatakan jika Indonesia termasuk negara yang
mengalami proses transisi demografi yang berbeda. Perbedaan tersebut dilihat dari proses
penurunan angka kelahiran sebelum akhirnya memasuki negara industrialisasi.
2. Perubahan iklim dan peningkatan resistensi anti-mikroba telah mendorong
peningkatan munculnya new-emerging diseases dan re-emerging diseases yang
berpotensi pandemik dengan karakteristik risiko kematian yang tinggi dan penyebaran
yang sangat cepat. Globalisasi yang mengakibatkan peningkatan mobilitas manusia dan
hewan lintas negara serta perubahan gaya hidup manusia juga telah berkontribusi
mempercepat proses penyebaran wabah menjadi ancaman keamanan kesehatan global.
Peningkatan ancaman keamanan kesehatan global tersebut menjadi ancaman serius
bagi sistem kesehatan nasional dan mengakibatkan kerusakan besar bagi perekonomian
dan kesejahteraan masyarakat. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa outbreak wabah
Ebola di Guinea, Liberia dan Sierra Leone pada tahun 2014 mengakibatkan pertumbuhan
negatif perekonomian ketiga negara tersebut lebih dari setengah pertumbuhan ekonomi
sebelum outbreak.
Menyikapi hal tersebut, organisasi-organisasi internasional, seperti WHO (Badan
Kesehatan Dunia), FAO (Badan Pangan Dunia), dan OIE (Organisasi Kesehatan Hewan
Dunia) telah mengembangkan sejumlah aturan, pedoman dan kerangka sebagai acuan
dalam upaya peningkatan kapasitas yang dimaksud. Sebagai respons, Global Health
Security Agenda (GHSA) muncul sebagai forum kerja sama antar negara yang bersifat
terbuka dan sukarela, dengan tujuan untuk memperkuat kapasitas nasional dalam
penanganan ancaman penyakit menular dan kesehatan global. Diluncurkan pada Februari
2014 dengan 29 negara anggota sebagai inisiatif 5 tahun. Saat ini GHSA telah
beranggotakan 65 negara dan didukung oleh badan-badan PBB seperti WHO, FAO, OIE,
Bank Dunia, serta organisasi non pemerintah dan sektor swasta.
GHSA bertujuan untuk mencegah, mendeteksi dan merespon cepat berbagai ancaman
penyakit infeksi di tingkat global, baik yang terjadi secara alamiah maupun karena adanya
unsur kesengajaan ataupun musibah. GHSA melibatkan multi-stakeholders, bersifat
multi-sektoral serta di dukung badan-badan dunia di bawah PBB, antara lain: World
Health Organisation (WHO), Food and Agriculture Organisation (FAO), dan World
Organisation for Animal Health (OIE).
Penggerak kegiatan GHSA adalah Steering Group yang beranggotakan sepuluh
negara yaitu Amerika Serikat, Chile, Finlandia, India, Indonesia, Italia, Kanada, Kenya,
Korea Selatan, dan Saudi Arabia. Keketuaan Steering Group dilaksanakan melalui
mekanisme Troika (3 negara secara bergantian). Troika pertama terdiri dari Amerika
Serikat (memimpin pada 2014), Finlandia (2015), dan Indonesia (2016).
 Area Kerja Sama GHSA
Strategi kerjasama dalam GHSA difokuskan pada upaya penguatan kapasitas nasional
setiap negara, khususnya dalam melakukan pencegahan, deteksi dan penanggulangan
penyebaran penyakit. Secara teknis, terdapat 11 paket aksi yang menjadi prioritas
yaitu:
1) Penanggulangan Anti Microbial Resistance (AMR);
2) Pengendalian penyakit Zoonotik;
3) Biosafety dan Biosecurity;
4) Imunisasi;
5) Penguatan Sistem Laboratorium Nasional;
6) Surveilans;
7) Pelaporan;
8) Penguatan SDM;
9) Penguatan pusat penanganan kegawatdaruratan;
10) kerangka hukum dan respons cepat multisektoral; dan
11) mobilisasi bantuan dan tenaga medis.
 Perkembangan dan Kontribusi GHSA
Beberapa perkembangan yang telah dicapai dan kontribusi yang diberikan GHSA
antara lain adalah, Pertama,
a. Keanggotaan
Negara anggota GHSA telah berkembang, dari 29 negara pada saat peluncuran di
tahun 2014 menjadi 65 negara saat ini.
b. Kontribusi :
• Joint External Evaluation (JEE)
Sebagaimana diketahui, penilaian IHR sampai tahun 2015 hanya
menggunakan self-assessment, yang memungkinkan adanya penilaian yang tidak
obyektif. Dalam hal ini, GHSA pada tahun 2015 menyusun Country Assessment
Tool yang merupakan penilaian terhadap kapasitas dalam 11 paket aksi, dimana
selain menggunakan internal assessor, untuk pertama kalinya, penilaian kapasitas
dalam ketahanan kesehatan juga melibatkan external assessor. Assessment tool
dimaksud kemudian diadopsi oleh WHO menjadi JEE pada tahun 2016, yang
merupakan gabungan dari 8 kapasitas inti IHR dan 11 Action Package GHSA.
• Peningkatan komitmen politis dalam penanganan global health security.
• Berbagi praktik terbaik dalam kenaggotaan Paket Aksi
• Peningkatan kolaborasi dan kerja sama lintas sektor, yaitu keterlibatan sektor lain
di luar kesehatan, serta keterlibatan sektor non-pemerintah, swasta, filantropi,
generasi muda, dan donor dalam mencapai ketahanan kesehatan global. Hal ini
menjadi penting mengingat ketahanan kesehatan tidak dapat dicapai sendiri oleh
sektor kesehatan dan oleh pemerintah saja.

Anda mungkin juga menyukai