diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh Human
Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir
dari infeksi HIV. (Djoerban Z dkk, 2006)
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat limfotropik khas yang
menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak sel darah putih
spesifik yang disebut limfosit T-helper atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4). Virus ini
diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus Lentivirus. Selama
infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan orang menjadi lebih rentan
terhadap infeksi. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan
indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS (Acquired Imunnodeficiency
Syndrome.
Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita AIDS umumnya sulit
dibedakan karena bermula dari gejala klinis umum yang didapati pada penderita penyakit
lainnya. Secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut:
Rasa lelah dan lesu
Berat badan menurun secara drastis
Demam yang sering dan berkeringat waktu malam
Mencret dan kurang nafsu makan
Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
Pembengkakan leher dan lipatan paha
Radang paru
Kanker kulit
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS umumnya meliputi 3 hal yaitu:
Manifestasi tumor
Sarkoma Kaposi
Kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Penyakit ini sangat jarang menjadi
sebab kematian primer.
Limfoma ganas
Timbul setelah terjadi Sarkoma Kaposi dan menyerang saraf serta dapat bertahan
kurang lebih 1 tahun.
Manifestasi oportunistik
Manifestasi pada Paru
Pneumoni pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru
PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam.
Cytomegalovirus (CMV)
Pada manusia 50% virus ini hidup sebagai komensal pada paru-paru tetapi dapat
menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan 30% penyebab kematian pada
AIDS.
Mycobacterium avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan.
Mycobacterium tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi milier dan cepat menyebar ke
organ lain di luar paru.
Manifestasi gastrointestinal
Tidak ada nafsu makan, diare kronis, penurunan berat badan >10% per bulan.
Manifestasi neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis yang biasanya timbul
pada fase akhir penyakit. Kelainan saraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis,
demensia, mielopati, neuropati perifer.
Epidemiologi
Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut lebih dari 25 juta
jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun 2009, jumlah odha
diperkirakan mencapai 33,3 juta orang, dengan sebangian besar penderitanya adalah usia
produktif , 15,9 juta penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak. Dengan
jumlah kas
udah mencapai 33,2 juta orang. Dari keseluruhan jumlah ini, 67% diantaranya
disumbangkan oleh odha di kawasan sub Sahara, Afrika. (WHO, 2010)
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di Indonesia. Sebagian
ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru
HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat
peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik.
(Djoerban Z dkk, 2006)
Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.
Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko
tinggi (dengan prevalensi > 5%) seperti pengguna narkotika suntik (penasun), wanita
penjaja seks (WPS), dan waria. Di beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali,
Jabar dan Jawa Timur telah tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi
terkonsentrasi (concentrated level of epidemic). Sedang tanah Papua sudah memasuki
tingkat epidemi meluas (generalized epidemic). ( Mustikawati DE dkk, 2009)
Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju peningkatan kasus baru AIDS
yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun terakhir dimana terjadi kenaikan tiga kali
lipat dibanding jumlah yang pernah dilaporkan pada 15 tahun pertama epidemi AIDS di
Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir terjadi laju peningkatan jumlah kumulatif kasus
AIDS dimana pada tahun 1999 terdapat 352 kasus dan data tahun 2008 jumlah tersebut
telah mencapai angka 16.110 kasus. (Mustikawati DE dkk, 2009 ).
Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada Desember 2008, sekitar
74,9% adalah laki-laki dan 24,6% adalah perempuan. Berdasarkan cara penularan,
dilaporkan 48% pada heteroseksual; 42,3% pada pengguna narkotika suntik; 3,8% pada
homoseksual dan 2,2% pada transmisi perinatal. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran
dari dominasi kelompok homoseksual ke kelompok heteroseksual dan penasun. Jumlah
kasus pada kelompok penasun hingga akhir tahun 2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif
kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 2029 tahun (50,82%), disusul
kelompok usia 3039 tahun. (Depkes RI, 2008)
Dari 33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat pertama jumlah kumulatif
kasus AIDS berasal dari propinsi Jawa Barat sebesar 2.888 kasus, disusul DKI Jakarta
dengan 2.781 kasus, kemudian diikuti oleh Jawa Timur, Papua, dan Bali dengan masing-
masing jumlah kasus secara berurutan sebesar 2.591 kasus, 2.382 kasus, dan 1.177 kasus
AIDS. (Depkes RI,2008)
Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000 penduduk hingga akhir Desember 2008
adalah sebesar 7,12 per 100.000 penduduk (dengan jumlah penduduk Indonesia
227.132.350 jiwa berdasarkan data BPS tahun 2005). Proporsi kasus yang dilaporkan
meninggal sebesar 20,89%. Lima infeksi oportunistik terbanyak yang dilaporkan adalah
TBC sebanyak 8.986 kasus, diare kronis 4.542 kasus, kandidiasis orofaringeal 4.479 kasus,
dermatitis generalisata 1.146 kasus, dan limfadenopati generalisata sebanyak 603 kasus.
(Depkes RI,2008)
2.8 PENATALAKSANAAN
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun data selam 8
tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pegobatan dengan
menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan
mortalitas dini akibat infeksi HIV. . (Djoerban Z dkk,2006)
Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV).
Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi
HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma,
kanker serviks.
Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan pengobatan
pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup
dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat
ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat
antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV meliputi
penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang
tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada
dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting yang
tidak boleh dilupakan ketika membuat keputusan untuk memulai terapi ARV. ( Depkes RI, 2007)
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus memulai
terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara seksama, setidaknya
setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda
klinis yang baru.Adapun terapi HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10.
(Depkes RI, 2007)
berupa infiltrat pada lobus atas, kavitas, atau efusi pleura. Pada ODHA dengan CD < 200 sel/µL,
gambaran yang lebih sering tampak adalah limfadenopati mediastinum dan infiltrat di lobus
bawah. Diagnosis definitif TB pada odha adalah dengan ditemukannya M.tuberculosis pada
kultur jaringan atau specimen sedangkan diagnosis presumtifnya berdasarkan ditemukannya
BTA pada specimen dengan gejala sesuai TB atau perbaikan gejala setelah terapi kombinasi
OAT. Yunihastuti E dkk, 2002)
Regimen pengobatan TB tidak berbeda dengan regimen pengobatan TB pada kasus non-
HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti tercantum pada tabel 16. Terapi ARV
direkomendasikan untuk semua odha yang menderita TB dengan CD4 < 200/mm 3, dan perlu
dipertimbangkan bila CD4 > 350/mm3. Bila tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka terapi ARV
direkomendasikan untuk semua odha dengan TB. Pemberian OAT sebaiknya tidak dimulai
bersama-sama dengan ARV dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan interaksi obat, dan
ketidakpatuhan minum obat. (Yunihastuti E dkk, 2002)