Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH KIMIA MEDISINAL

HUBUNGAN ANTARA ABSORPSI, DISTRIBUSI,


METABOLISME DAN EKSRESI DENGAN AKTIVITAS
BIOLOGI OBAT

Dosen pengampu:
Apt. Triyani Sumiati, M. Si

Disusun Oleh:
Mutiara Lukita Hakim (1010127)
May Ryan Gigs S. (18010124)
M. Ilyas (18010125)

Regular Khusus A

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI INDUSTRI DAN FARMASI
BOGOR
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT karena


hanya dengan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini
tanpa kendala dan tepat pada waktunya.

Pada kesempatan ini, saya juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
untuk ibu Apt. Triyani suminar, M.Si selaku dosen mata kuliah Kimia medisinal
ini. Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami menunggu kritik
dan saran yang bersifat membangun. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini
dapat memberi manfaat untuk kita semua.

Bogor, Oktober 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang

Sejak tahun 1945 ilmu kimia, fisika dan kedokteran berkembang pesat dan
hal ini untung sekali bagi penelitian sistematis obat baru. Beribu-ribu zat
sintetis telah ditentukan rata-rata 500 zat setahunnya, kebanyakan obat kuno
ditinggalkan dan diganti dengan obat-obat mutakhir, karena segera terdesak
oleh obat yang lebih baru dan lebih baik khasiatnya.

Sifat kimia fisika obat dapat mempengaruhi aktivitas biologis obat, karena
dapat mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat
dalam tubuh. Aktivitas senyawa bioaktif di sebabkan oleh interaksi antara
molekul obat dengan bagian molekul dari objek biologis, dasar dari aktivitas
obat adalah proses-proses kimia yang kompleks mulai dari saat obat diberikan
sampai teijadinya respon biologis.
Hubungan kuantitatif struktur kimia dan aktivitas biologis obat merupakan
bagian penting rancangan obat, dalam usaha mendapatkan suatu obat baru
dengan aktivitas yang lebih besar, keselektifan yang lebih tinggi, toksisitas
atau efek samping yang sekecil mungkin dan kenyamanan yang lebih besar.
Aktivitas obat berhubungan dengan sifat kimia fisika obat, dan merupakan
fungsi dari struktur molekul obat. Hubungan struktur kimia dan aktivitas
biologis yang tidak baik dapat disebabkan oleh kurang baiknya metode
penelitian yang di gunakan. Oleh karena itu, pengetahuan tentang hubungan
struktur kimia dan aktivitas biologis merupakan dasar penting dari
penggunaan rancangan obat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana mekanisme aksi obat ?
2. Apakah pengaruh pH dalam proses absorpsi obat?
3. Bagaimana proses distribusi obat didalam tubuh ?
4. Bagaimana proses tubuh memetabolisme obat ?
5. Bagaimana proses ekskresi obat didalam tubuh ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui Bagaimana mekanisme aksi obat ?

2. Mengetahui Apakah pengaruh pH dalam proses absorpsi obat ?

3. Mengetahui Bagaimana proses distribusi obat didalam tubuh ?

4. Mengetahui Bagaimana proses tubuh memetabolisme obat ?

5. Mengetahui Bagaimana proses ekskresi obat didalam tubuh ?


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Mekanisme aksi obat


Pada tahun 1897 Paul Ehrlich mengusulkan suatu teori rantai samping.
Berdasarkan hipotesisnya, sel memiliki rantai samping yang mengandung suatu
gugus spesifik yang dapat berikatan dengan gugus tertentu dari suatu racun.
Ehrlich menyebut rantai samping ini sebagai reseptor.
Secara umum reseptor merupakan suatu protein integral (seperti
makromolekul polipeptida) yang menempel pada fosfolipid bilayer pada sel
membran. Sifat dan mekanisme aksi reseptor bergantung pada ukuran fosfolipid.
Keberadaan reseptor yang sedikit dan tidak stabil mengakibatkan hanya sedikit
reseptor yang dapat dimurnikan dan sedikit informasi struktural yang diketahui.
Kemajuan dalam bidang biologi molekuler memungkinkan peneliti untuk
melakukan isolasi, kloning, dan menyusun susunan reseptor yang merupakan
pendekatan lebih jauh untuk menentukan ciri-ciri reseptor. Saat ini, terdapat dua
komponen fungsional reseptor yaitu recognition component dan amplification
component. Keduanya mungkin berada pada sisi yang sama atau berbeda pada
suatu reseptor.
Salah satu cara pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan menghitung
jumlah molekul obat (dengan bilangan avogadro) dan jumlah sel yang ada dalam
tubuh sehingga akan diperoleh jumlah molekul obat yang ada pada tiap sel
manusia. Jika suatu obat dengan bobot molekul 200 g/mol dan dosis obat yang
digunakan 1 mg, maka akan terdapat 6,02 x 1023 (10-3)/200 = 3 x 108 molekul
obat.
Tubuh manusia kira-kira tersusun atas 3 x 1013 sel, sehingga setiap sel akan
terdapat molekul obat sebanyak 3 x 108/3 x 1013 = 105 molekul. Satu sel eritrosit
mengandung 1010 molekul. Dengan asumsi semua sel eritrosit mengandung jumlah
molekul yang sama maka untuk setiap molekul obat terdapat 10 10/105 = 105
molekul sel eritrosit yang dapat berinteraksi. Setelah diketahui bagaimana rasio
obat dengan reseptor, Le Chatelier masih susah menjelaskan bagaimana obat
dapat membentuk komplek yang stabil dengan reseptor yang diinginkan.
Aktivitas biologis suatu obat berhubungan dengan afinitasnya terhadap
reseptor yang diukur dari nilai KD yang merupakan konstanta disosiasi dalam
kesetimbangan. Nilai KD yang kecil menunjukkan konsentrasi komplek obat-
reseptor yang besar dan afinitas obat yang besar terhadap reseptor, sementara nilai
KD yang kecil berarti aktivitas obat meningkat.
Ikatan-ikatan yang terlibat dalam pembentukan komplek obat-reseptor pada
dasarnya sama dengan ikatan-ikatan yang ada dalam senyawa organik yang telah
kita kenal sebelumnya. Ikatan-ikatan yang terlibat antara lain: ikatan kovalen,
interaksi ionik (elektrostatik), interaksi ion-dipol dan interaksi dipol-dipol, ikatan
hidrogen, interaksi transfer muatan, interaksi hidrofobik, serta interaksi van der
waals. Interaksi yang lemah hanya mungkin terjadi jika permukaan molekul
berada pada jarak yang dekat dan saling komplementer, oleh karena itu kekuatan
ikatan sangat tergantung pada jarak.
Secara umum ikatan yang terjadi antara obat dengan reseptor merupakan
ikatan non kovaIen yang Iemah. Akibatnya, efek yang dihasiIkan bersifat
reversibeI. OIeh karena haI tersebut, obat menjadi tidak aktif ketika
konsentrasinya daIam cairan ekstraseIuIer menurun. Sering kaIi, efek obat
diharapkan mampu berIangsung seIama jangka waktu tertentu hingga efek
farmakoIogisnya berakhir. Pada obat-obat stimuIan SSP dan depresan, durasi efek
yang diperIama bisa berakibat negatif. Kadang kaIa kita menginginkan efek obat
berIangsung Iama dan bahkan bersifat irreversibeI. Contoh obat-obat yang
diharapkan mempunyai efek tersebut antara Iain adaIah agen-agen kemoterapi.
Agen kemoterapi merupakan suatu obat yang berefek secara seIektif pada
organisme asing atau seI tumor untuk membentuk kompIek obat-reseptor yang
bersifat irreversibeI sehingga efek toksik obat bisa berIangsung Iama. Untuk
kasus ini diperIukan suatu ikatan kovaIen.
2.2 Pengaruh pH dengan Absorbsi Obat

Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingial (bawah lidah), rektal
(dubur), dan parenteral tertentu seperti, intradermal, intramuskular, subkutan, dan
intraperitorial melibatkan proses absopsi obat yang berbeda - beda. Pemberian
secara parenteral yang lain seperti, intravena, intraarteri, intraspinal, dan
intraserebral tidak melibatkan absorpsi melainkan obat langsung masuk ke
peredaran darah kemudian menuju reseptor. Cara pemberian lain adalah secara
inhalasi melalui hidung dan cara setempat melalui kulit / mata. Proses absopsi
merupakan dasar yang penting untuk menentukan farmakologis suatu obat.
Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorpsi akan mempengaruhi efek
obat dan menyababkan kegagalan suatu obat.

2.2.1 Absorbsi obat melalui saluran cerna

Pada pemberian obat secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah
dan didistribusikan ke seluruh tubuh terlebih dahulu harus mengalami proses
absorpsi pada saluran cerna. Faktor - faktor yang berpengaruh terhadap proses
absorpsi pada saluran cerna antara lain bentuk sediaan, sifat kimia, cara
pemberian, faktor biologis dan faktor lain – lain, yakni :

 Bentuk sediaan

Bentuk sediaan terutama berpengaruhi dalam percepatan absorpsi obat,


yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi percepatan respon biologis
obat. Bentuk sediaan pil, kapsul, tablet, suspensi, emulsi, serbuk, dan larutan,
membutuhkan proses absorpsi dengan waktu yang berbeda - beda dan jumlah
ketersediaan hayati kemungkinan juga berlainan.

 Ukuran partikel

Ukuran partikel bentuk sediaan juga mempengaruhi absorpsi obat. Makin


kecil ukuran partikel yang luas permukaan bersinggungan dengan pelarut
makin besar kecepatan melarut obat. Adanya bahan - bahan tambahan / bahan
pembantu seperti, bahan pengisi, pelicin, penghancur, pembasah dan
emulgator, dapat mempengaruhi waktu hancurdan melarut obat yang akhirnya
berpengaruh pada kecepatan absorpsi obat.
 Sifat Kimia Fisika Obat

Bentuk asam, basa, garam, ester, kompleks atau hidrat dari bahan obat
dengan mempengaruhi kelarutan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk
kristal atau plimorf, kelarutan dalam lemak/air dan derajat ionisasi juga
mempengaruhi proses absorpsu obat.

 Faktor Biologis

Faktor - faktor yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat antara lain
adalah variasi keasaman (pH) saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan
saluran cerna, lus permukaan saluran cerna, waktu pengosongan lambung dan
waktu transit dalam usus, serta banyaknya buluh darah pada tempat absorpsi.

 Faktor lain – lain

Faktor lain - lain yang berpengaruh terhadap proses absorpsi obat antara
lain adalah umur, diet (makanan), adanya interaksi obat dengan senyawa lain
adalah penyakit tertentu. Suatu obat yang bersifat basa lemah, seperti amin
aromatic (Ar-NH2), aminopirin, asetanilid, kafein, dan kuinin, bila diberikan
melalui oral, dalam lambung yang bersifat asam (pH 1-3, 5), sebagian besar
akan membentuk ion (Ar-NH3+), yang mempunyai kelarutan dalam lemak
sangat kecil sehingga sukar menembus membrane lambung. Bentuk ion
tersebut kemudian masuk ke usus halus yang bersifat agak basa (pH 5-8), dan
berubah menjadi bentuk tidak terionisasi (Ar-NH2). Bentuk ini mempunyai
kelarutan dalam lemak besar sehingga mudah terdifusi menembus membrane
usus.

Suatu obat yang bersifat asam lemah seperti asam salisilat, asetosal,
fenobarbital, asam benzoate, dan fenol, pada lambung yang bersifat asam akan
terdapat dalam bentuk tidak terionisasi, mudah larut dalam lemak sehingga
dengan mudah menembus membran lambung.

Senyawa yang terionisasi sempurna pada umumnya bersifat asam atau


basa kuat, mempunyai kelarutan dalam lemak sangat rendah sehingga sukar
menembus membrane saluran cerna. Contohnya asam sulfonat, turunan
ammonium kuarterner, heksametonium, dekualinium, dan benzalkonium
klorida.

Senyawa yang sangat sukar larut dalam air seperti BaSO4, MgO, dan
Al(0HP)3 juga tidak diabsorbsi oleh saluran cerna. Saluran cerna bersifat
permeable selektif terhadap bentuk tidak terdisosiasi obat yang bersifat mudah
larut dalam lemak. Kelarutan obat dalam lemak merupakan salah satu sifat
fisik yang mempengaruhi absorbsi obat ke membran biologis. Makin besar
kelarutannya dalam lemak makin tinggi pula derajad absorbs obat ke membran
biologis.

2.2.2 Absorpsi obat melalui mata

Bila suatu obat diberikan secara setempat pada mata, sebagian diabsorpsi
melalui membran konjungtiva dan sebagian melalui kornea mata. Kecepatan
penetrasi tergantung pada derajat ionisasi dan koefisien partisi obat. Bentuk yang
tidak terionisasi dan mudah larut dalam lemak cepat diabsorpsi oleh membran
mata. Penestrasi obat yang bersifat asam lemah lebih cepat dalam suasana asam
karena dalam suasana tersebut bentuk tidak terionisasi besar sehingga mudah
menembus membran mata. Untuk obat yang bersifat basa lemah penetrasi akan
teijadi lebih cepat dalam suasana basa.

2.2.3 Absorpsi obat melalui paru

Obat anestesi sistemik yang diberikan secara inhalasi akan diabsorpsi


melalui epitel paru dan membran mukosa saluran napas. Karena mempunyai luas
permukaan besar maka absorpsi melalui buluh darah paru berjalan dengan cepat.
Absorpsi obat melalui paru tergantung pada kadar obat dalam alveoli, koefisien
partisi gas/darah, kecepatan aliran darah paru, ukuran partikel obat.

2.2.4 Absorpsi obat melalui kulit

Penggunaan obat pada kulit pada umumnya ditujukan untuk memperoleh


efek setempat. Pada waktu ini sedang dikembangkan bentuk sediaan obat yang
digunakan melalui kulit dengan tujuan untuk mendapatkan efek sistemik. Absopsi
obat melalui kulit sangat tergantung pada kelarutan obat dalam lemak karena
epidermis kulit berfungsi sebagai lemak biologis.
2.3 Proses distribusi obat didalam tubuh

Distribusi obat adalah proses-proses yang berhubungan dengan transfer


senyawa obat dari satu lokasi ke lokasi lain di dalam tubuh. Setelah melalui proses
absorpsi, senyawa obat akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi
darah. Molekul obat dibawa oleh darah ke satu target (reseptor) untuk aksi obat
dan ke jaringan lain (non-reseptor), di mana dapat terjadi efek samping yang
merugikan. Cairan tubuh total berkisar antara 50-70% dari berat badan, cairan
tubuh dapat dibagi menjadi :

1) Cairan ekstraseluler, yang terdiri atas plasma darah (4,5% dari berat badan),
cairan interstisial (16%) dan limfe (1-2%).

2) Cairan intraseluler (30-40% dari berat badan), yang merupakan jumlah cairan
dalam seluruh sel-sel tubuh.

3) Cairan transeluler (2,5%), yang meliputi cairan serebrospinalis, intraokuler,


peritoneal, pleura, sinovial dan sekresi alat cerna.

Pada umumnya molekul obat berdifusi secara cepat melalui jaringan


kapiler halus ke ruang jaringan yang terisi cairan interstisial. Cairan interstisial
plus cairan plasma disebut cairan ekstraseluler (berada di luar sel). Selanjutnya
dari cairan interstinal, molekul obat berdifusi melintasi membran sel ke dalam
sitoplasma.

Membran sel tersusun atas protein dan dua lapis fosfolipid, yang bertindak
sebagai sawar lemak untuk ambilan obat. Obat yang mudah larut dalam lemak
akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang
tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusi nya
terbatas, terutama di cairan ekstra sel. Obat yang tidak larut dalam lemak tersebut
bersifat polar sehingga akan terikat pada protein plasma (albumin) dan membent
uk kompleks obat-protein yang terlalu besar untuk berdifusi melintasi membran
sel (Katzung, 2011)
Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh adalah ;

 Perfusi darah melalui jaringan

Obat dibawa ke seluruh jaringan tubuh oleh aliran darah sehingga semakin
cepat obat mencapai jaringan, semakin cepat pula obat terdistribusi ke dalam
jaringan. Kadar obat dalam jaringan akan meningkat sampai akhirnya terjadi
keadaan yang disebut keadaan mantap (steady state). Kecepatan distribusi
obat masuk ke jaringan sama dengan kecepatan distribusi obat keluar dari
jaringan tersebut. Pada keadaan ini, perbandingan kadar obat dalam jaringan
dengan kadar obat dalam darah menjadi konstan dan keadaan ini disebut
keseimbanga n distribusi. Oleh karena itu, pada jaringan tubuh yang
mendapat suplai darah relatif paling banyak dibandingkan ukurannya akan
menyebabkan terjadinya keseimbangan distribusi yang paling cepat (Staf
Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya, 2008).

 Ikatan obat pada protein plasma


Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat
bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Ikatan protein pada
obat akan mempengaruhi intensitas keija, lama keija, dan eliminasi obat.
Bahan obat yang terikat pada protein plasma tidak dapat berdifusi dan pada
umumnya tidak mengalami biotransformasi dan eliminasi. Sebenarnya hanya
zat aktif yang tidak terikat dengan protein plasma yang dapat berdifusi dan
memberika n efek farmakologis, sedangkan kompleks zat aktif dengan protein
tidak dapat melintasi membran, namun kompleks ini hanya bersifat sementara.
Apabila molekul zat aktif yang bebas telah dimetabolisme atau ditiadakan
maka, kompleks ini akan melepaskan bentuk zat bebasnya
Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat
terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat
oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi
protein. Walaupun ikatan antara zat aktif dan protein plasma tidak terlalu kuat,
namun tidak disangsikan lagi bahwa fenomena tersebut berperan pada
distribusi zat aktif dalam jaringan, karena konsentrasi zat aktif dalam cairan
ekstraselular dapat lebih rendah dari konsentrasi dalam plasma.
Albumin adalah protein plasma yang paling banyak (40 g/L). Albumin
tersebut memungkinkan teijadinya ikatan pada sebagian besar senyawa obat,
terutama dalam bentuk anion (asam asetil salisilat, sulfonamide, dan anti-
vitamin K ). Bentuk kati on juga mempunyai afinitas yang tidak dapat
diabaikan. Peran globulin tidak terlalu nyata dan hanya berpengaruh pada
senyawa tertentu seperti steroida dan tiroksin. Protein lain yang dapat
berinteraksi dengan obat yaitu al-Asam glikoprotein (orosomukoid),yaitu
suatu globulin (BM > 44.000 Da). Protein ini memiliki konsentrasi plasa yang
rendah (0.4 -1 %),dan mengiakt obat-obat basa kationik seperti propanolol,
imipramin, dan lidokain. Globilin (a-, P-, 5- globulin) bertanggungjawab
untuk transport dalam plasma dari bahan-bahan endogen seperti
kortikosteroid, globulin ini mempunyai kapasitas yang rendah tapi afinitas
tinggi terhadap bahan endogen tersebut. Eritrosit juga dapat berikatan dengan
obat (Terdiri dari kurang lebih 45% volume darah). Protein ini dapat berikatan
baik dengan senyawa endogen dan eksogen seperti Fenitroin, Fenobarbital,
dan Amobarbital. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ikatan protein
plasma dengan molekul obat adalah ;

 Interaksi dengan obat lain


Ikatan plasmatik bersifat tidak spesifik sehingga dapat berikatan
dengan beberapa molekul obat. Hal tersebut dapat menimbulkan teijadinya
persaingan antar molekul obat untuk berikatan dengan plasma. Molekul
yang mempunyai ikatan protein lebih stabil akan menyingkirkan molekul
obat lain dari sisi aktif plasma sehingga meningkatkan jumlah bentuk
bebasnya. Contohnya Kuinidin dan beberapa obat lainnya yang termasuk
antidisritmia verapamil dan amiodaron menggantikan digoksin sehingga
mengurangi ekskresi ginjal, dan akibatnya menyebabkan disritmia parah
akibat toksisitas Digoksin. Selain itu, ada juga persaingan Fenilbutazon
dengan Dikumarol, dimana afinitas plasmatik Fenilbutazon lebih tinggi
dibandingkan Dikumarol. Hal ini menyebabkan meningkatnya jumlah
bentuk bebas Dikumarol dan menyebabkan pendarahan (aktivitas
Dikumarol sebagai anti- koagulan)

 Obat
Sifat-sifat fisikokimia obat juga mempengaruhi tercapainya
keseimbangan distribusi pada jaringan tertentu. Jika suatu jaringan dapat
menampung atau mengikat lebih banyak obat, dibutuhkan waktu yang lebih
lama untuk mencapai keseimbangan distribusi. Ambilan obat oleh suatu
jaringan ditentukan oleh faktor yang disebut koefisien partisi (Kp)
 Protein

Fraksi obat terikat dapat berubah dengan adanya perubahan


konsentrasi protein plasma pasien. Apabila pasien memiliki konsentrasi
protein plasma yang rendah maka untuk setiap pemberian dosis obat,
konsentrasi obat bioaktif bebas kemungkinan lebih tinggi dari yang
diharapkan

 Permeabilitas Kapiler

Membran sel berbeda dalam karakteristik permeabilitas,


bergantung pada jaringannya. Sebagai contoh, membran kapiler dalam hati
dan ginjal lebih permeable untuk pergerakan obat transmembran dari pada
kapiler dalam otak. Kapiler sinusoid hati sangat permeable dan
memungkinka n lewatnya molekul dengan ukurang besar. Dalam otak dan
spinal cord, sel endotel kapiler dikelilingi oleh suatu lapisan sel-sel glial,
yang mempunyai hubungan interseluler yang rapat. Lapisan tambahan dari
sel sekitar membran kapiler secara efektif berindak untuk memperlambat
laju difusi obat ke dalam otak dengan bertindak sebagai suatu sawar lemak
yang leb ih tebal. Sawar lemak ini disebut sawar darah-otak (blood-brain
barrier), memperlambat difusi dan penetrasi ke dalam otak dan spinal cord
dari obat yang polar. Pada kondisi patofisiologis tertentu, permeabilitas
membrane sel dapat berubah. Sebagai contoh, luka bakar akan mengubah
permeabilitas kulit dan memungkinkan obat- obat dan molekul besar untuk
menembus masuk atau ke luar. Pada meningitis, yang melibatkan inflamasi
membran spinal cord atau otak, ambilan otak ke dalam otak akan
meningkat

Distribusi total obat dalam tubuh dapat diperkirakan dengan cara


mengaitkan jumlah obat dalam tubuh dengan jumlah obat dalam darah atau
dengan kadar obat dalam darah.Parameter yang mengaitkan jumlah obat
dalam tubuh dengan kadar obat dalam darah disebut volume distribuse
(VD). Volume distribusi adalah suatu parameter yang penting dalam
farmakokinetik. Salah satu kegunaannya adalah untuk menentukan dosis
obat yang diperlukan untuk memperoleh kadar obat dalam darah yang
dikehendaki. Obat-obat dengan nilai VDyang kecil akan menghasilkan
kadar dalam darah yang lebih tinggi, sedangkan obat dengan nilai VD yang
besar akan menghasilkan kadar dalam darah yang rendah (Staf Pengajar
Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya,
2008).

Di dalam praktiknya, terlihat bahwa obat-obat yang terdistribusi


secara meluas dalam tubuh akan mempunyai nilai VD yang besar,
sebaliknya obat-obat yang kurang terdistribusi ke seluruh tubuh akan
menunjukkan nilai nilai VD yang kecil, yang menujukkan adanya ikatan
yang sangat kuat antara obat tersebut dengan protein plasma. Nilai VD < 5
L menunjukkan bahwa obat dipertahankan dalam kompartemen vaskular.
Nilai VD < 15 L menunjukka n bahwa obat terbatas pada cairan
ekstraselular. Sementara volume distribus i yang besar (Nilai VD > 15 L)
menunjukkan distribusi di seluruh cairan tubuh total atau konsntrasi pada
jaringan tertentu. Volume distribusi dapat digunakan untuk menghitung
bersihan (clearance} obat (Staf Pengajar Departemen Farmakologi
Fakultas Kedokteran Univers itas Sriwijaya, 2008).

2.4 Proses metabolisme obat didalam tubuh

Pada dasarnya, tubuh akan merespon setiap benda asing yang masuk dengan
membentuk antibodi dan menghancurkannya. Akan tetapi, molekul-molekul yang
berukuran kecil tidak dapat memicu respon imun. Untuk senyawa-senyawa toksik
yang berukuran kecil, tubuh melindungi diri dengan mekanisme utama yaitu
mengubah senyawa toksik (nonpolar) menjadi non toksik (polar) sehingga mudah
dikeluarkan dari dalam tubuh. Pengubahan senyawa toksik menjadi non toksik
memerlukan enzim (non spesifik enzim).

Pada umumnya, obat mempunyai ukuran molekul kecil, tetapi tetap akan
dikeluarkan dari dalam tubuh. Biotransformasi enzimatis obat dikenal sebagai
metabolisme obat karena banyak obat yang mempunyai struktur yang mirip
dengan senyawa-senyawa endogen sehingga obat dapat dimetabolisme
menggunakan enzim-enzim spesifik seperti pada senyawa-senyawa endogen
padanannya (ada dalam tubuh). Hal ini dapat berlangsung dengan baik seperti
proses metabolisme yang menggunakan enzim non spesifik.

Pemahaman akan suatu obat belum lengkap tanpa memahami proses


metabolisme obat yang terjadi dalam organisme mamalia. Pengetahuan tentang
transformasi biokimia membantu untuk memahami serta memprediksi toksisitas
dan kemungkinan interaksinya dengan obat lain. Penelitian pada bidang
farmakologi sering kali berfokus pada produk hasil metabolisme dan tempat
akumulasinya karena hal itu mencakup suatu senyawa bioaktif, jalur, dan
kecepatan ekskresinya. Ahli kimia medisinal sangat tertarik dengan potensi yang
ada pada suatu obat dan untuk meningkatkan kemampuan obat, serta membuat
suatu agen terapetik baru yang didasarkan pada penelitian terdahulu mengenai
nasib senyawa asing (obat) dalam tubuh.

Tempat utama terjadinya metabolisme obat adalah di hati, tetapi ginjal,


paru-paru dan saluran pencernaan juga merupakan tempat metabolisme obat yang
penting. Ketika suatu obat digunakan secara oral, obat diabsorbsi melalui
membran mukosa usus halus atau dari lambung. Ketika obat keluar dari saluran
pencernaan biasanya dibawa melalui aliran darah menuju hati di mana akan
mengalami metabolisme pertama kali.

Metabolisme oleh enzim-enzim di hati disebut dengan presystemic atau


first-pass effect yang bisa mendeaktivasi obat. Jika sebagian fraksi obat
mengalami metabolisme maka diperlukan dosis obat yang lebih besar atau
multiple dose untuk mendapatkan efek yang diinginkan. Efek lain yang signifikan
tetapi tidak diinginkan adalah senyawa metabolit hasil metabolisme obat yang
mungkin bersifat toksik meskipun obat induk tidak bersifat toksik.

First pass effect bisa diatasi dengan mengubah rute penggunaan obat. Ada
beberapa rute pemberian obat untuk menghindari first pass effect, seperti:
sublingual (nitroglycerin); rectal (ergotamin); intravena; intramuscular;
subcutaneous; pulmonary absorption; dan topikal. Tidak semua obat dapat
digunakan melalui rute alternatif (selain peroral). Agar obat dapat diberikan
melalui rute alternatif maka diperlukan modifikasi struktur.

Meskipun first pass effect dapat dihindari, ada banyak enzim yang berada di
luar hati yang dapat mengatalisis reaksi metabolisme obat. Saat obat telah
mencapai tempat aksi dan menimbulkan respon yang diinginkan, biasanya obat
yang diinginkan untuk mengalami metabolisme dan eliminasi. Hal sebaliknya
akan terjadi jika obat masih ada atau tertinggal dalam tubuh dan menghasilkan
efek yang lebih lama dari pada yang diinginkan atau menjadi toksik terhadap sel.
Penelitian tentang metabolisme obat sangat penting untuk menentukan keamanan
penggunaan obat. Sebelum obat dapat digunakan pada manusia, metabolit yang
dihasilkan harus dapat diisolasi dan dibuktikan tidak toksik. Penelitian ini juga
bisa digunakan sebagai penuntun dalam pendekatan modifikasi obat. Setelah hasil
metabolisme diketahui sangat memungkinkan untuk dapat mendesain suatu
senyawa yang tidak aktif ketika digunakan tetapi dapat berubah menjadi aktif
setelah mengalami perubahan atau metabolisme oleh enzim- enzim metabolik.
Senyawa seperti ini biasanya disebut dengan prodrug. Biasanya hanya sejumlah
kecil obat yang diperlukan untuk menimbulkan respon yang diinginkan sehingga
akan sulit untuk dapat mendeteksi semua produk metabolitnya. Pada bagian ini
akan ditekankan pada berbagai macam reaksi yang terlibat dalam metabolisme
obat.
2.5 Proses Ekskresi Obat

Eksresi adalah proses kontes zat-zat yang tidak diperlukan lagi olehtubuh.
Zat tersebut merupakan zat kimia obat yang telah mengalami proses
metabolisme di dalam hati dan organ lain ditubuh. Ekskresi baik obat yang tidak
berubah maupun metabolit merupakan tempat-hilang yang irreversibel. Akan
tetapi perubahan metabolik mengakibatkan metabolit mempunyai aktivitas
dipertinggi, menurun atau sama sekali tak berubah.

Sebagian besar obat diekskresikan ke luat tubuh melalui paru, ginjal, empedu
atau hati dan sebagian kecil dengan kadar rendah yang diekskresikan melalui air
liur dan air susu.

2.5.1. Ekskresi obat melalui paru

Obat yang diekskresikan melalui paru terutama adalah obat yang


digunakan secara inhalasi seperti siklopropan, etilen, nitrogen oksida, halotan,
eter, kloroform, dan enfluran. Sifat fisika yang menentukan kecepatan ekskresi
obat melalui paru adalah koefisien partisi darah/udara. Obat yang mempunyai
koefisien partisi darah/udara kecil seperti siklopropan dan nitrogen oksida dapat
diekskresikan dengan cepat sedangkan obat yang mempunyai koefisien partisi
darah/udara besar seperti eter dan halotan diekskresikan lebih lambat.

2.5.2 Ekskresi obat melalui ginjal

Salah satu jalan terbesar untuk ekskresi obat adalah melalui ginjal. Ekskresi
obat melalui ginjal melibatkan tiga proses yaitu penyaringan glomerulus, absorpsi
kembali secara pasif pada tubulus ginjal dan sekresi aktif pada tubulus ginjal.

2.5.3. Penyaringan glomerulus

Ginjal menerima ± 20 - 25% cairan tubuh dari curah jantung atau 1,2 - 1,5
liter darah per menit dan ± 10% disaring melalui glomerulus. Membran
glomerulus mempunyai pori karakteristik sehingga dapat dilewati oleh molekul
obat dengan garis tengah ± 40A, berat molekul lebih kecil dari 5000 dan mudah
larut dalam cairan plasma atau obat yang bersifat hidrofil.

2.5.4. Absorpsi kembali secara pasif pada tubulus ginjal


Sebagian besar obat akan diabsorpsi kembali dalam tubulus ginjal melalui
proses difusi pasif. Absorpsi kembali molekul obat ke membran tubular
tergantung pada sifat kimia fisika, seperti ukuran molekul dan koefisien partisi
lemak/air. Obat bersifat polar sukar larut dalam lemak, tidak diabsorpsi kembali
oleh membran tubulus. Absorpsi pada tubulur ini tergantung pada pH urin. Obat
yang bersifat elektrolit lemah pada urin normal, pH 4,8 sampai 7,5 sebagian besar
akan terdapat dalam bentuk tidak terdisosiasi, mudah larut dalam lemak, sehingga
mudah diabsorpsi kembali oleh tubular.

2.5.5. Sekresi pengangkutan aktif pada tubulus ginjal

Obat dapat bergerak dari plasma darah ke kencing melalui selaput tubulus
ginjal dengan mekanisme transportasi aktif. Contoh ;

1) Bentuk terionisasi obat yang bersifat asam, seperti asam salisilat, penisilin,
probenesid, diuretika turunan tiazid, asam aminohirupat, konjugat sulfat,
konjugat asam glukuronat, indometasin, klorproramid dan furosemid,

2) Bentuk terionisasi oat yang bersifat basa, seperti morfin, kuinin,

Meperidin, prokain, histamin, tiamin, dopamin dan turunan


amoniumkuartener.Proses transportasi aktif obat di tubulus dapat memberi
penjelasan mengapa antibiotika turunan penisilin cepat diekskresikan
daritubuh.kombinasi probenesid dengan penisilin akan meningkatkan
masakerja penisilin karena probenesid dapat menghambat sekresi
transportasiaktif penisilin secara kompetitif sehingga ekskresi penisilin
menurun, kadarpenisilin dalam darah tetap tinggi dan menimbulkan aktivitas
lebih lanjut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi ekresi obat melalui ginjal :

1) Hemodinamika

Ginjal perubahan kecepatan aliran darah ginjal umumnya akan


mempengaruhi proses-proses filtrasi glomeruler, sekresi maupun
reabsorpsi tubuler, meskipun perubahan di bawah 10-20 % mungkin tidak
akan saya akibat yang nyata pengurangan konsumsinatrium mungkin dapat
menurunkan aliran darah ginjal dan kecepatanfiltrasi glomerulus, sedang
mempersembahkan infus solusi garam dan diuretikosmotik dapat
memperbesar aliran darah ginjal dan ekskresi udara tentu sajasaja hal ini
akan penting pada proses reabsorpsi obat. Beberapaobat diketahui dapat
menurunkan kecepatan aliran darah ginjal,misalnya propanolol. Dalam
gambar 1 terlihat bahwa mempersembahkan propanolol 1 selai
sebelumnya menyebabkan turunnya nilai klirenskreatinin dari 70,9
ml/menit menjadi 58,6 ml/menit. Untuk obat-obat yang ekskresinya
tergantung pada kecepatan aliran darah ginjal, seperti misalnya salisipada
dosis tinggi,penurunan kecepatan aliran darah ginjal menyebabkan
turunnya nilaiklirens ginjal obat tersebut

2) Usia

kemampuan ekskresi ginjal pada umumnya lebih rendah padabayi


dan anak-anak dan pada usia lanjut bila dibandingkan denganorang dewasa
normal. Ini disebabkan karena lebih rendahnya kemampuan filtrasi
glomeruler pada anak-anak dan usia lanjut, ditambah dengan belum
sempurnanya sistem sekresi pada bayi barulahir, meskipun hal ini seroja
dengan sama protein yang lebihrendah dan juga rendahnya kemampuan
reabsorpsi3. pH urinuntuk obat-obat yang bersifat elektrolit lemah, klirens
ginjalsangat dipengaruhi oleh pH urin. Untuk asam lemah misalnya,
lingkungan kencing yang asam akan mengakibatkan berkurang jumlahobat
yang diekskresi, karena reabsorpsi tubuli meningkat. sebaliknya,suatu basa
lemah akan mengalami kenaikan ekskresi dalam lingkunganurin yang
sama. Dibawah ini adalah contoh obat yang proses ekskresinya melalui
ginjal :

(Ampicillin) (Asetosal)
2.5.6. Ekskresi obat memalui empedu

Obat dengan berat molekul lebih kecil dari 150 dan obat yang akan
dimetabolisme menjadi senyawa yang kebih polar dapat diekskresikan dari hati
melewati empedu menuju ke usus dengan mekanisme pengangkutan aktif. Obat
tersebut biasanya dalam bentuk terkonjugasi dengan asam glukuronat, asam sulfat
atau glisin. Di usus bentuk konjugat tersebut secara langsung diekskresikan
melalui tinja, atau dapat mengalami proses hidrolisis oleh ensim atau bakteri
ususmenjadi senyawa yang bersifat nonpolar sehingga diabsorpsi kembali ke
plasma darah, kembali kehati, dimatabolisis, dikeluarkan lagi melalui empedu
menuju ke usus, demikian seterusnya sehingga merupakan suatu siklus yang
dinamakan siklus enterohepatik. Siklus ini menjadikan masa kerja obat menjadi
lebih panjang.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Mekanisme aksi obat
Secara umum reseptor merupakan suatu protein integral (seperti
makromolekul polipeptida) yang menempel pada fosfolipid bilayer pada sel
membran. Sifat dan mekanisme aksi reseptor bergantung pada ukuran
fosfolipid.
2. Pengaruh ph dalam proses absorpsi obat
Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorpsi akan
mempengaruhi efek obat dan menyababkan kegagalan suatu obat.
Berikut ini tempat absorbsi obat didalam tubuh, yakni ;
 Absorbsi obat melalui saluran cerna
- Bentuk sediaan
- Sifat Kimia Fisika Obat
- Faktor Biologis
- Faktor lain – lain
 Absorpsi obat melalui mata
 Absorpsi obat melalui paru
 Absorpsi obat melalui kulit
3. Proses distribusi obat didalam tubuh
Distribusi obat adalah proses-proses yang berhubungan dengan transfer
senyawa obat dari satu lokasi ke lokasi lain di dalam tubuh.
Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh adalah ;
 Perfusi darah melalui jaringan
 Ikatan obat pada protein plasma
 Obat
 Interaksi dengan obat lain
 Protein
 Permeabilitas kapiler

4. Proses metabolisme obat didalam tubuh


Tempat utama terjadinya metabolisme obat adalah di hati, tetapi ginjal,
paru-paru dan saluran pencernaan juga merupakan tempat metabolisme obat.
Metabolisme oleh enzim-enzim di hati disebut dengan presystemic atau first-
pass effect yang bisa mendeaktivasi obat. Jika sebagian fraksi obat mengalami
metabolisme maka diperlukan dosis obat yang lebih besar atau multiple dose
untuk mendapatkan efek yang diinginkan.

5. Proses ekskresi obat didalam tubuh


Berikut pengaruh sifat kimia fisika obat pada proses ekskresi
 Ekskresi obat melalui paru
 Ekskresi obat melalui ginjal
 Penyaringan glomerulus
 Absorpsi kembali secara pasif pada tubulus ginjal
 Sekresi pengangkutan aktif pada tubulus ginjal, contoh obat yang
diekskresikan didalam ginjal yakni Ampicillin dan asetosal
 Ekskresi obat melalui empedu
DAFTAR PUSTAKA

Siswandono dan Bambang, S.2000. Kimia Medisinal. Airlangga University Press:


Surabaya.

Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwija


ya. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Katzung, B. G. 2011. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 10. Diteijemahkan


oleh Aryandhito Widhi N, Leo Rendy, dan Linda Dwijayanthi. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

https://dokumen.tips/reader/f/-kimia-medisinal-55993600aa82f

diakses pada 12 Oktober 2021

Anda mungkin juga menyukai