Anda di halaman 1dari 6

1.

Teori Belajar Konstruktivisme

a. Teori Konstruktivisme Piaget

Teori Piaget berdasarkan gagasan bahwa perkembangan anak bermakna membangun struktur
kognitifnya atau peta mentalnya yang diistilahkan "schema/skema (jamak = schemata/skemata)", atau
konsep jejaring untuk memahami dan menanggapi pengalaman fisik dalam lingkungan di sekelilingnya.
Konsep skema sendiri sebenarnya sudah banyak dikembangkan oleh para ahli linguistik, psikologi
kognitif dan psikolonguistik yang digunakan untuk menjelaskan dan memahami adanya interaksi antara
sejumlah faktor kunci yang berpengaruh terhadap proses pemahaman. Secara ringkas dijelaskan bahwa
menurut teori skema, seluruh pengetahuan diorganisasikan menjadi unit-unit, di dalam unit-unit
pengetahuan ini, atau skemata ini disimpanlah informasi. Sehingga skema dapat dimaknai sebagai suatu
deskripai umum atau suatu sistem konseprial untuk menentukan pengetahuan tentang bagaimana
pengetahuan itu dinyatakan atau tentang bagaimana pengetahuan itu diterapkan.

Sebagaimana sudah dikemukakan pada bab 3, menurut teori konstruktivisme pengetahuan tidak dapat
ditransfer begitu saja dari pikiran guru kepada pikiran sisw. Artinya, siswa harus aktif secara mental
membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Sehubungan
dengan itu, Tahun (1992:30) seperti yang dikutip oleh Hamzah (2008) mengemukakan tiga penekanan
dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut.

Pertama, peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna.

Kedua, pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam mengkonstruksian secara bermakna.

Ketiga, mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.

Wheatley (1991:12), pada sumber yang sama mendukung pendapat Tasker tersebut dengan
mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran sesuai konstruktivisme. Pertama, pengetahuan
tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognis
bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian skema melalui pengalaman nyata anak.

Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme,
Hanbury (1996) mengukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa
mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran
menjadi lebih bermakna sehingga siswa mengerti, (3) strategi siswa sendiri lebih bernilai, (4) siswa
mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan pengetahuan dengan
temannya.

Dampak teori konstruktivisme Piaget terhadap pembelajaran:

Kurikulum - pendidik harus merencanakan kurikulum yang berkembang sesuai dengan peningkatan
logika anak dan pertumbuhan konseptual anak.
Pengajran - guru harus lebih menekankan pentingnya peran pengalaman bagi anak, atau interaksi anak
dengan lingkungan di sekelilingnya. Misalnya guru harus mencermati peran penting konsep-konsep
fundamental, seperti kelestarian objek-objek, serta permainan-permainan yang menunjang struktur
kognitif.

b. Teori Konstruktivisme Sosial dari Vygotsky

Sebagai seseorang yang dianggap pionir dalam filosofi konstruktivisme, Vygotsky lebih suka menyatakan
teori pemebelajarannya sebagai pembelajaran kognisi sosial (social cognition). Pembelajaran kognisi
sosial meyakini bahwa kebudayaan merupakan penentu utama bagi mengembangan individu. Manusia
merupakan satu-satunya spesies di atas dunia ini yang memiliki kebudayaan hasil rekayasa sendiri, dan
setiap anak manusia berkembang dalam konteks kebudayaannya sensiri. Oleh karenanya,
perkembangan pembelajaran anak dipengaruhi banyak maupun sedikit oleh kebudayaannya, termasuk
budaya dan lingkungan keluarganya, dimana ia berkembang.

Beberapa kunci pemikiran kognisi sosial dari Vygotsky antara lain adalah:

(1) kebudayaan menciptakan dua macam konstribusi terhadap perkembangan intelektual anak.
Pertama, melalui kebudayaan anak mendapatkan sebagian besar kandungan hasil pemikirannya yaitu
pengetahuannya. Kedua, kebudayaan di sekelilingnya menyediakan bagi anak proses-proses atau
memberi makna terhadap hasil pemikirannya, hal ini oleh Vygotsky disebut sebagai perangkat-
perangkat yang diperlukan bagi adaptasi intelektual. Pendeknya, menurut teori pembelajaran model
kognisi sosial, kebudayaan mengajari siswa tentang apa berpikir itu dan bagaimana berpikir itu;

(2) perkembangan kognitif yang dihasilkan dari sebuah proses dialektika di mana seseorang siswa belajar
melalui pengalaman pemecahan masalah akan dipakainya untuk saling berbagi dengan orang lain,
biasanya dengan orang tua atau guru tetapi kadang-kadang dengan teman sebayanya atau dengan anak-
anak yang lebih kecil;

(3) pada awalnya seseorang yang berinteraksi dengan anak bernggapan bahwa dia lebih dibebani
tanggung jawab untuk mamandu anak-anak dalam menyelesaikan maslah, tetapi secara bertahap
tanggung jawab ini akan lebih dibebankan kepada anak;

(4) bahasa adalah bentuk primer dari interaksi, melalui orang dewasa membagi kekayaan pengetahuan
yang terkandung dakam kebudayaan kepada anak;

(5) sebagai hasil kemajuan belajar, anak-anak memiliki bahasanya sendiri yang dipergunakannya sebagai
perangkat primer bagi adaptasi intelektualnya. Bahkan kadang-kadang anak-anak dapat menggunakan
bahasanya sendiri untuk mengarahkan perilakunya.

(6) internalisasi mengacu kepada proses pembelajaran, dengan demikian dalam melakukan internalisasi
(internalizing) terhadap kebudayaan yang kaya akan pengetahuan serta dipergunakan sebagai alat-alat
yang dipakai untuk bagaimana berpikir yang semula ada di luar anak, berlangsung awal sekali melui
bahasa;

(7) ada perbedaan antara apa yang dapat dilakukan anak sendiri dengan apa yang dapat dilakukan oleh
siswa dengan bantuan guru ataupun orang tua. Vygotsky menyebutnya sebgai ZPD (zone of proximal
development);

(8) kerena umumnya apa-apa yang harus dipelajari siswa berasal dari kebudayaan di sekelilingnya, dan
umumnya pemecahan masalah anak dimediasi oleh bantuan orang dewasa, adalah keliru untuk
berfokus kepada siswa yang terisolisasi (tidak dalam interaksi dengan masyarakat). Fokus semacam itu
tidak mampu mengungkap proses-proses dengan cara mana siswa memperoleh keterampilan-
keterampilan baru;

(9) interaksi dengan kebudayaan di sekelilingnya dan agen-agen masyarakat, seperti orang tua dan
teman sebaya yang lebih kompeten, menyumbang secara signifikan kepada perkembangan intelektual
anak.

Berikut ini diberikan beberapa kunci dari teori konstruktivisme sosial, antara lain:

Siswa Sebagai Individu yang unik

Konstruktivisme sosial berpandangan bahwa pembelajaran merupakan individu yang unik dengan
kebutuhan dan latar belakang sebagi makhluk yang unik pula. Pembelajaran harus dilihat sebagai
makhluk yang kompleks dan multidimensi. Konstruktivisme sosial tidak hanya memperkenalkan
keunikan dan kompleksitas pembelajar tetapi juga secara nyatamendorong, memotivasi, dan memberi
penghargaan kepada siswa sebagai bagian integral dari proses pembelajaran.

Self Regulated Learner (Pembelajar yang Dapat Mengelola Diri Sendiri)

Siswa dikembangkan menjadi seseorang yang memiliki pengetahuan tentang strategi belajar yang
efektif, yang sesuai dengan gaya belajarnya, dan tahu bagaimana serta kapan menggunakan
pengetahuan itu dalam situasi pembelajaran yang berbeda. Self regulated learner termotivasi untuk
belajar oleh dirinya sendiri, bukan karena nilai yang diperolehnya sebagai hasil belajar atau karena
motivasi eksternal yang lain, misalnya dari guru atau orang tuanya.

Tanggung jawab Pembelajaran

Konstruktivesme sosial berpandangan bahwa tanggung jawab belajar bertumpu kepada siswa. Teori ini
menekankan bahwa siswa harus aktif dalam proses pembelajaran, dan berbeda pendapat dengan
pandangan pendidikan sebelumnya yang menyatakan tanggung jawab pembelajaran lebib kepada guru
atau instruktur, sedangkan siswa berperan secara pasif dan reseptif. Von Glasersfeld menekankan
mereka bukan semata-mata kaca yang merefleksikan apa yang dibacanya. Pembelajar mencari makna
dan akan mencoba mencari keteraturan dari berbagai kejadian yang ada di dunia, bahkan seandainya
informasi yang tersedia tidak lengkap.
Motivasi pembelajaran

Asumsi krusial lain yang khas konstruktivisme sosial terkait dengan sifat-sifat pembelajar, dari
berhubungan dengan derajat dan sumber-sumber motivasi pembelajaran. Menurut Von Glasersfeld
kesinambungan motivasi belajar secara kuat bergantung kepada kepercayaan siswa terhadap potensi
belajaranya sendiri. Perasaan kompeten dan kepercayaan terhadap potensi untuk memecahkan masalah
baru, diturunkan dari pengalaman langsung (first hand experience) di dalam menguasai masalah pada
masa lalu. Ini terkait dengan konsep Vygotsky tentang Zona of Proximal Development, dimana
pembelajar dalam zona terdekat, sedikit di atas dari derajat pengembangan aktualnya saat ini, ditantang
untuk menguasai masalah baru. Dengan belajar dari pengalaman dalam menyelesaikan masalah yang
menantang seperti ini, pembelajar akan memperoleh kepercayaan diri, serta motivasi untuk
menyelesaikan masalah yang lebih kompleks lagi.

Zona Perkembangan (Zone of Development, ZD)

Boleh dikatakan bahwa trade mark, ciri khusus dari konsep Vygotsky (1978) yaitu zona perkembangan,
zone of development Seperti yang disampaikan di depan terdapat perbedaan antara apa-apa yang dapat
dilakukan siswa tanpa bantuan orang lain (zona perkembangan aktual, ZAD, zone of actual
development) dengan apa-apa yang dapat dilakukan siswa dengan bantuan orang lain (perkembangan
potensial), yang sering disebut zona perkembangan terdekat (ZPD, zone of proximal development).
Siapa yang dimaksud orang lain disini adalag teman sebaya atau guru maupun orang tua. Vygotsky
meyakini bahwa anak-anak mengikuti contoh-contoh yang diberikan oleh orang dewasa dan secara
bertahap mengembangkan kecakapannya untuk melakukan tugas-tugas tertentu tanpa bantuan atau
pendampingan orang lain. Proses atau cara memberikan bantuan yang diberikan oleh orang dewasa
atau teman sebaya yang lebih berkompeten (capable peer), agar siswa beranjak dari zona aktual menuju
zona potensial ini yang disebut sebagai scaffolding. Rumusan sederhananya mungkin dapat dinyatakan
sebagai berikut:

ZAD + ZPD = ZPoD

Zona Perkembangan Aktual + Zona Perkembangan Proksimal = Zona Perkembangan Potensi

Secara formal Vygotsky mendefinisikan ZPD sebagai "jarak antara tibgkat pengembangan aktual, yang
ditentukan melalui pemecahan masalah yang dapat diselesaikan secara individu, dengan tingkat
masalah di bawah bimbingan orang dewasa, atau dengan cara berkolaborasi dengan teman-teman
sebayanya" (Vygotsky, 1978:86). Dalam kaitan dengan scaffolding ini, lebih lanjut Vygotsky berpendapat
bahwa "apa-apa yang dapat dikerjakan siswa dengan cara bekerja sama dengan orang-orang yang
berkompeten pada hari ini, tentu dapat dilajukannya sendiri besok pagi".

Peran Guru sebagai Fasilitator

Berdasarkan pendekatan konstruktivis sosial, instruktur lebih berperan sebagai fasilitator daripada
sebagai guru menurut pengertian konvensional. Jika seorang guru menyampaikan kukiah/ceramah
didaktis yang menyangkut pokok bahasan, maka fasilitator membantu siswa untuk memperoleh
pemhamannya sendiri terhadap pokok behasa/konten kurikulum. Dalam skenario lama pembelajar
berperan secara pasif, sedangkan dalam paradigma yang baru siswa memegang peran aktif dalam
pembelajaran. Perubahan dramatis ini mengakibatkan para fasilitator harus menunjukkan keterampilan
yang berbeda daripada seorang guru. Jika guru bercerita atau berceramah, maka fasilitator bertanya,
guru berceramah sejak awal, sesuai ketentuan kurikulum, fasilitator menyediakan bimbingan serta
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi siswa untuk sampai kepada simpulannya sendiri,
pembelajaran oleh guru beraifat monolog, sedangkan fasilitator mengakomodasi adanya dialog yang
kontinyu dengan siswa.

Interaksi Dinamik antara Tugas- Tugas, Instruktur dan Pembelajar

Dalam hal ini guru dan pembelajar secara setara terlihat dalam pembelajaran suatu sama lain. Ini
maknanya bahwa pengalaman belajar bersifat subjektif maupun objektif serta memerlukan pemhaman
terhadap budaya, nilai-nilai dan latar belakang dari instruktur sebagai bagian yang penting bagi
terselenggaranya interaksi antara pembelajar dengan tugas-tugas yang diberikan, yang berguna untuk
pembetukan makna. Pembelajar akan membandingkan versinya tentang kebenaran dengan gurunya,
serta dengan rekan sebayanya untuk memperoleh kebenaran baru yang telah teruji secara sosial.

Kolaborasi Antarpembelajar

Pembelajar dengan keterampilan dan latar belakang yang berbeda diakomodasi untuk melakukan
kolaborasi dalam penyelesaian tugas dan diskusi-diskusi agar mencapai pemahaman yang sama tentang
kebenaran dalam suatu wilayah bahasan yang spesifik. Di sini kerja sama atau kolaboratif lebih
bermakna dari kompetitif. Konsep ini juga terkait dengan konsep ZPD. Agar mampu meningkatkan
perkembangan aktualnya menjadi perkembangan potensial diperlukan penguatan melalui kerja sama
dengan teman sebayanya yang berkemampuan (capable peers).

Pemagangan Kognitif (Cognitive Apprenticeship)

Konsep ini diturunkan dari hakikat sosial untuk belajar dan ZPD (Gardner,1991). Istilah ini bermakna
bahwa dalam proses belajar seorang anak secara tahap demi tahap memperoleh pengetahuan dan
keahlian sebagai hasil interaksinya dengan orang dewasa (guru, pakar pendidikan) atau teman sebaya
yang telah menguasai permsalahannya (capable peers). Artinya seorang pembelajar pemula (movice
leaner) didampingi oleh orang yang sudah berpengalaman yang bertindak sebagai model. Model ini
memberikan masukan dan umpan balik kepada pembelajar pemula itu dan tahap demi tahap
meningkatkan kemampuan kognitif pembelajar pemula itu sehingga pada akhirnya ia mampu
menyelesaikan masalah semcam itu sendiri.

Proses Top-Down (Proses dari Atas ke Bawah)

Top-down berarti siswa diperkenalkan dulu dengan masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan,
dengan bantuan guru menetukan keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan untuk memecahkan
masalah seperti itu. Proses semacam ini berbeda dengan pembelajaran konvensional, yang
mengembangkan strategi bottom-up (dari bawah ke atas), yang pada prinsipnya pembelajaran dimulai
dengan pemberian dan pelatihan keterampilan-keterampilan dasar dan secara bertahap diberikan
keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks. Untuk lebih memberi motivasi siswa, biasanya masalah
yang kompleks itu muncul atas usulan atau berupa masalah yang dihadapi siswa sendiri, kemudian guru
dan rekan sebayanya yang lebih ahli (capable peers) membantunya untuk menemukan langkah-langkah
penyelesaian masalah itu.

Pembelajaran Kooperatif sebagai Implementasi Konstruktivisme

Implementasi pendekatan konstruksi dalam pengajaran pada umumnya menerapkan secara luas
pembelajaran kooperatif (cooperative learning) dengan landasan berpikir, bahwa siswa akan lebih
mudah menemukan dan memahami konsep-kosep yang sulit (top down process).

Anda mungkin juga menyukai