Anda di halaman 1dari 5

Praktikum ke-3 Hari/tanggal praktikum : Selasa, 8

Maret 2011
MK Sosiologi Umum (KPM 130) Kelas : A02

STRUKTUR INTERAKSI KELOMPOK ELIT DALAM PEMBANGUNAN


(Sunyoto Usman)
Oleh: Rizqi Adha Juniardi (E24100103)
Asisten Praktikum: Dwi Agustina (I34080007)
Debbie L. Prastiwi (I34080059)

Ikhtisar I
Menurut sosiologi. kelompok elit memiliki sebuah definisi sebagai
anggota suatu kelompok masyarakat yang tergolong disegani, dihormati,
kaya raya serta berkuasa. Kelompok tersebut termasuk kedalam
minoritas superior yang posisinya berada pada puncak strata yang
dominan dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan.
Kelahiran kelompok elit dihubungkan dalam dua pendapat, yakni yang
pertama adalah percaya bahwa kelompok elit lahir dari proses alami
karena terpilih oleh Tuhan yang memang dikaruniai kepandaian,
kemampuan, dan keterampilan lebih tinggi dalam mengatasi atau
memecahkan masalah persoalan hidup. Mereka pun memiliki kapasitas
personal yang lebih potensial daripada massa. Kedua, percaya bahwa
kelompok elit lahir akibat dari kompleksitas organisasi sosial terutama
dalam menjawab tantangan heterogenitas masalah ekonomi dan politik.
Dalam studi pembangunan negara berkembang, telah
diperhatikan bahwa kelompok elit sangat potensial sebagai agen
perubahan terutama dalam menghubungkan kemauan pemerintah
dengan kepentingan anggota masyarakat. Mereka biasanya terbebani
untuk menerangkan kebijaksanaan umum dan prioritas pembangunan
kepada anggota masyarakat. Dalam hal kebijaksanaan pembangunan,
kelompok elit dapat mengambil inisiatif dalam proses pembuatan
keputusan penting dalam memperoleh hasil yang maksimal. Kelompok
elit terbagi dalam kelompok yang memiliki perbedaan kesempatan dan
kemampuan dalam mengakomodasi proyek pembangunan di desanya
sehingga peranan mereka dalam prosesnya pun bervariasi. Ada elit yang
sangat kuat pengaruhnya dan menonjol peranannya. Ada juga yang
justru menjadi sub-ordinasi elit lain. Bahkan tidak sedikit yang tergeser

1
dan terisolasi. Perbedaan pandangan elit desa membuat banyak kendala
yang dihadapi dalam usaha memelihara integrasi.
Terdapat tiga macam pendekatan yang lazim digunakan peneliti
sosial dalam mengidentifikasi kelompok elit. Pertama, positional
approach (mencari individu-individu yang menempati posisi penting
dalam lembaga-lembaga sosial). Kedua, reputational approach
(melakukan wawancara mendalam dengan informan kunci untuk
mengklasifikasikan tokoh-tokoh yang menjadi panutan masyarakat).
Ketiga, decisional approach (melihat penampilan nyata tokoh-tokoh
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan). Seorang elit dari
kategori pamong desa atau pemuka agama bisa jadi memiliki tanah yang
relatif luas di desanya dan pekerjaannya juga sebagai petani. Namun
apabila berdasarkan penelitian, mereka tetap tidak dikategorikan
sebagai elit petani kaya supaya tidak terjadi status ganda.
Beberapa informasi penting yang diperoleh dari pembacaan
perhitungan data adalah sebagai berikut:
1. Hampir semua anggota kelompok elit saling berinteraksi
membentuk jaringan sosiometris dalam suatu kegiatan berkaitan
dengan implementasi pembangunan pedesaan yang mempunyai jalur
koneksi dengan elit lain meskipun panjangnya berbeda-beda.
2. Derajat suatu integrasi elit pada jaringan interaksinya cukup
bervariasi.
3. Jumlah klik di masing-masing desa yang terpilih sebagai
lokasi penelitian pun berbeda-beda.
4. Kategori peranan elit dalam jaringan ternyata juga
bervariasi.

TOLONG BANTU PERBAIKI PERTANIAN KAMI!


(Muhammad Syaifullah)

Ikhtisar II
Ketegangan yang terjadi antara petugas lapangan dengan warga
masyarakat disebabkan akibat putusnya komunikasi antara kedua belah
pihak dalam tindakan untuk menjaga hutan serta mempertahankan
hidup warga desa dan dusun dengan cara memberikan kebebasan bagi
orang luar untuk mencari dan mendapatkan kayu. Kepala Dusun

2
Kandolo, Manap, mengungkapkan, “Kami tahu tugas bapak-bapak
menjaga hutan ini. Tapi, kami terpaksa membuka hutan untuk
mempertahankan hidup. Umumnya masyarakat disini bukan pencari
kayu untuk dijual melainkan untuk bikin kayu arang yang satu karung
dihargai Rp 5.000,-”. Hal yang sama diutarakan oleh Andi Mappotolo,
tokoh masyarakat Kandolo. Ia mengatakan kepada petugas untuk tidak
melarang warga yang memang benar-benar mencari kayu untuk
membuat kayu arang. Sebab pekerjaan inilah satu-satunya jalan untuk
bertahan hidup. Pernah suatu waktu Ade Suharso memimpin para
petugas jagawana mendatangi Kepala Desa Sangkimah untuk
meluruskan persoalan temuan kayu oleh petugas jagawana, justru
dihadang puluhan massa dan diancam akan membakar kendaraan mobil
mereka. Ade Suharso mengatakan bahwa penduduk desa tidak dapat
sepenuhnya disalahkan karena kemiskinan yang mereka alami
disebabkan pemerintah yang kurang memperhatikan mereka. Padahal
mereka sendiri tahu betapa pentingnya kawasan ini dipertahankan
namun keadaan bertahan hidup yang membuat mereka terpaksa
melakukannya.
Hal serupa diakui oleh Tonny Suhartono. Menurutnya, pengelolaan
TN Kutai selama 20 tahun terakhir tidak memperhatikan community
development terhadap pemukiman di dalam kawasan. Sementara
bantuan dari mitra TN Kutai hanya diberikan kepada masyarakat
pemukiman di sekitar pinggiran buffer zone TN Kutai. Dugaan tersebut
ternyata salah, masyarakat yang di dalamlah yang justru sulit
dikendalikan. Kompas telah menyaksikan bahwa warga yang mencari
kayu di sepanjang jalan Bontang-Sangatta dapat dihitung dengan jari,
namun yang tampak jelas adalah aktivitas perkebunan rakyat secara
besar-besaran seperti maraknya penebangan, pengangkutan kayu-kayu
ulin, pengkaplingan lahan, dan penguasaan tanah. Para pelakunya tidak
hanya rakyat kecil melainkan orang bermodal dari Sangatta, Bontang,
bahkan ada yang dari Balikpapan. Sementara beberapa oknum kepada
desa atau dusun ikut membagi-bagi lahan di daerah ini. Kondisi ini
merupakan akumulasi dari persoalan awal kawasan ini ditetapkan
sebagai kawasan konservasi. Beban terbesar yang diterima TN Kutai
sejak awal yakni tidak adanya sinkronisasi kebijakan soal hutan ini

3
antara pemerintah pusat, Pemda Kaltim, dan Pemda Kutai. Kebijakan
penetapan tiga desa definitif, yakni Teluk Pandan, Sangkimah, dan
Sangatta Selatan tidak disesuaikan dengan kebijakan pengelolaan TN
Kutai sehingga sampai saat ini tidak ada batas yang jelas antara wilayah-
wilayah desa mereka dengan kawasan TN Kutai sendiri. Hal seperti ini
membuat jagawana dengan warga setempat menjadi sering berbenturan
kepentingan.
Analisis
Bentuk
No Antar Individu Individu-Kelompok Kelompok-kelompok
Interaksi
Asosiatif
I. Tokoh masyarakat I. Seorang anggota elit I. Masyarakat pedesaan
dengan pemuka agama dengan pemerintah dengan kelompok elit
II. Kepala desa dan tokoh II. Ade Suharso sebagai dan pemerintah
Kerjasam masyarakat pemimpin petugas- dengan kelompok elit
1
a petugas jagawana II. Masyarakat kecil
dengan orang
bermodal dari Sangatta
dan Bontang
I. - I. - I. Massa pedesaan
Akomoda II. Ade Suharso dengan II. Ade Suharso dengan dengan pemerintah
2
si Kepala Desa masyarakat pemukiman II. -
Sangkimah TN Kutai
I. Elit-elit terhadap I. - I. Kelompok elit yang
budaya penduduk II. - berpengaruh dengan
daerahnya pemerintah yang
3 Asimilasi
II. Kemiskinan membuat memiliki rencana
warga beradaptasi di pembangunan
lingkungan TN Kutai II. -
Disosiatif
I. - I. - I. Kelompok-kelompok elit
Persainga II. Warga yang mencari II. Masyarakat pemukiman yang berusaha memiliki
1
n kayu untuk memenuhi dengan pendatang pengaruh terbesar
kebutuhan hidup dalam mencari kayu II. -
I. - I. I. -
II. Ketidaksetujuan warga II. Ketegangan petugas II. Penguasa bermodal
Kontrave
2 pemukiman terhadap lapangan dengan yang menghasut
nsi
larangan petugas untuk masyarakat pemukiman oknum pemimpin-
mencari kayu bakar di TN Kutai pemimpin desa
3 Konflik I. - I. - I. -
II. - II. - II. Kelompok petugas
C44100048 abudi jagawana dengan
C14100047 euis massa yang
rakhmawati menghadang mobil
G34100034 risma petugas jagawana
angeliza
F14100120 dwi
pamungkas
I24100039 Lisa adah

4
Arisna Dewi
F14100132 Danang Aria
P.B.

Anda mungkin juga menyukai