Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Geologi Regional daerah Penelitian

Daerah penelitian termasuk dalam peta geologi lembar Palembang (Gafoer

dkk., 1995) terletak pada back arc basin Sumatera bagian Selatan, seperti yang

terlihat pada Gambar 2.1.

Geologi daerah penelitian disusun oleh Formasi Muaraenim yang berumur

Miosen Akhir-Pliosen Awal dan Formasi Kasai Pliosen Akhir-Plistosen. Struktur

geologi yang berkembang di daerah penelitian berupa antiklinorium yang berarah

Barat Laut-Tenggara. Berikut adalah formasi-formasi yang terdapat di daerah

penelitian dari yang berumur tua ke muda:

1. Formasi Muaraenim

Formasi Muaraenim, diendapkan secara selaras di atas Formasi Air Benakat

pada lingkungan laut dangkal, paludal, dataran delta dan non-marin. Bagian top

dan bottom dicirikan oleh munculnya lapisan batubara yang menerus secara

lateral. Litologi terdiri dari batupasir, batulanau, batulempung berfosil berwarna

kuning kelabu dengan sisipan batubara mengandung oksida besi berupa konkresi

dan lapisan tipis. Batupasir pada formasi ini dapat mengandung glaukonit dan

debris volkanik. Ketebalan Formasi Muaraenim mencapai 500-1000 meter dan

beumur Miosen Akhir-Pliosen Awal.

7
8

Batubara di formasi ini hampir seluruhnya berupa lignit low grade. Hanya

pada bagian tertentu saja lignit tersebut berubah menjadi batubara high grade.

Bagian atas lapisan batubara dapat tersilisifikasi, terutama yang mengalami

kontak dengan lapisan tuf. Di bagian bawah lapisan batubara secara insitu terdapat

sisa-sisa akar, sehingga diduga batubara ini merupakan batubara autochtonus.

2. Endapan Rawa

Endapan Rawa, diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Muaraenim,

berumur kuarter. Endapan rawa ini terdiri dari Batupasir, Batulanau, dan

Batulempung.

Gambar 2.1 Peta geologi regional daerah Palembang


(dimodifikasi dari Gafoer dkk., 1995)
9

2.1.1 Struktur Geologi Regional Sumatera Selatan

Struktur Geologi yang berada di daerah penelitian antara lain Antiklinorium

Pendopo-Limau dan Antiklinorium Muaraenim.

Antiklinorium Pendopo-Limau, terdiri dari dua antiklin paralel, yang

merupakan daerah lapangan minyak terbesar di Sumatera Selatan. Pada sisi

Baratdaya antiklin kemiringan lebih curam dan dibatasi oleh sesar, dan ada bagian

yang tertutup oleh batas half-graben. Formasi tertua yang tersingkap di puncak

adalah Formasi Gumai.

Antiklinorium Muaraenim, merupakan antiklin yang besar dengan ekspresi

permukaan kuat dan dengan singkapan batuan dasar Pra-Tersier. Di dekat daerah

Lahat menunjukkan ke arah Timur, sisi utara banyak lapisan batubara dengan

kemiringan curam dan juga lebih banyak yang tersesarkan daripada di sisi Selatan.

Kebalikannya di bagian Barat pegunungan Gumai dapat diamati kemiringan lebih

curam di sisi Selatan dan di sisi Utara dengan kemiringan relatif landai.

Sejarah tektonik Sumatera sangat dipengaruhi oleh gerakan dan tumbukan

lempeng Samudera Hindia dan Asia Tenggara. Bentuk struktural di cekungan

Sumatera Selatan adalah hasil dari aktivitas orogenic yang terjadi dalam

setidaknya tiga periode yang terpisah, orogenic pertengahan Mesozoikum, Akhir

tektonik Tersier Kapur-awal dan orogenic Plio-Pleistosen.

Keadaan struktur geologi cekungan Sumatera Selatan didominasi arah sesar

Barat Laut-Tenggara dan lipatan, patahan berarah Utara-Selatan, dan patahan

berarah Timur Laut-Barat Daya.


10

2.2 Definisi Tanah dan Batuan

Secara garis besar bahan penyusun kerak bumi dibagi menjadi dua kategori:

Batuan dan Tanah. Batuan merupakan agregat mineral yang diikat oleh gaya-gaya

kohesif yang permanen dan kuat. Tanah adalah kumpulan agregat mineral alami

yang dapat dipisahkan oleh adukan secara mekanika dalam air.

Menurut Shower & Shower (1967; dalam Zakaria, 2010) batuan dan tanah

dibedakan dalam beberapa hal, yaitu:

 Batuan merupakan material kerak bumi yang terdiri atas mineral penyusun

bertekstur, berstruktur, memiliki sifat padu (cemented), qu (unconfined

compressive strength) > 200 psi, bila terdiri dari satu butir ukuran butirnya

> boulder ( > 256 mm), memiliki berat > 40kg.

 Tanah merupakan mineral penyusun yang atau tanpa material organik sisa

tumbuhan dan fauna yang terdekomposisi (lapuk), berstruktur, bertekstur,

memiliki sifat urai, lepas (loose) , lunak (uncemented, soft), qu < 200 psi,

ukuran butirnya < 256 mm, memiliki berat < 40 kg.

2.3 Klasifikasi Tanah dan Batuan

2.3.1 Klasifikasi Tanah

Klasifikasi tanah merupakan cara dalam menentukan jenis tanah agar

diperoleh gambaran sepintas tentang sifat-sifat tanah. Beberapa cara dalam

menentukan klasifikasi tanah, diantaranya adalah cara USCS. Cara USCS

(Unified Soil Classification System) ini diusulkan oleh Casagrande.


11

Casagrande, (1948; dalam Bell, 2007) merupakan seorang ahli teknik yang

pertama kali melakukan klasifikasi tanah. Dalam sistem Casagrande, klasifikasi

tanah dibagi menjadi tiga yaitu tanah berbutir kasar, tanah berbutir halus, dan

tanah organik. Tanah berbutir kasar jika lebih dari 50% materialnya mempunyai

ukuran >200 mesh sedangkan tanah berbutir halus adalah tanah yang materialnya

> 50% lolos saringan 200 mesh.

Dalam pemerian nama tanah berdasarkan USCS, yang dituliskan pertama

adalah simbol komponen dominan kemudian diikuti oleh simbol gradasi untuk

tanah berbutir kasar, simbol plastisitas untuk tanah berbutir halus.

Tabel 2.1 Penggunaan simbol pada klasifikasi tanah berdasarkan USCS

(Bell, 2007)
12

2.3.2 Klasifikasi Mekanika Tanah dan Batuan

Hoek & Bray, (2005) membuat pengelompokkan daya tahan penetrasi

massa tanah maupun batuan berdasarkan nilai perbandingan UCS (Uniaxial

Compressive Strength) dari hasil pengeboran sebagai berikut:

1. < 0,25 kg/cm2 (< 0,025 MPa) – VERY SOFT CLAY – Mudah ditekan dan

dibentuk dengan menggunakan jari.

2. 0,25-0,5 kg/cm2 (0,025-0,05 MPa) – SOFT CLAY – dapat ditekan dan

dibentuk dengan ibu jari.

3. 0,5-1,0 kg/cm2 (0,05-0,10 MPa) – FIRM CLAY – dapat ditekan dengan

tekanan yang kuat dari ibu jari.

4. 1,0-2,5 kg/cm2 (0,10-0,25 MPa) – STIFF CLAY – tidak mudah ditekan dan

dibentuk oleh ibu jari, membutuhkan tekanan yang kuat.

5. 2,5-5,0 kg/cm2 (0,25-0,50 MPa) – VERY STIFF CLAY – mudah ditekan

dengan menggunakan kuku ibu jari.

6. 5-10 kg/cm2 (0,5-1,0 MPa) – EXTREMELY WEAK ROCK – dapat ditekan

dengan menggunakan kuku ibu jari.

7. 10-50 kg/cm2 (1,0-5,0 MPa) – VERY WEAK ROCK – dapat hancur dengan

pukulan bagian tajam dengan alat bantu palu geologi, dapat dipotong

dengan menggunakan pisau.

8. 50-250 kg/cm2 (1,0-5,0 MPa) –WEAK ROCK – dapat hancur dengan

pukulan kuat dari bagian tajam palu geologi, sulit dipotong dengan

menggunakan pisau.
13

9. 250-500 kg/cm2 (25-50 MPa) – MEDIUM STRONG ROCK – tidak dapat

dipotong maupun digores menggunakan pisau, dapat diretakkan oleh

bagian tajam palu geologi dengan pukulan yang kuat.

10. 500-1000 kg/cm2 (50-100 MPa) – STRONG ROCK – dapat dihancurkan

oleh lebih dari satu kali pukulan palu geologi.

11. 1000-2500 kg/cm2 (100-250 MPa) – VERY STRONG ROCK – dapat

dihancurkan dengan beberapa kali pukulan dari pukulan palu geologi.

12. >2500 kg/cm2 (>250 MPa) – EXTREMELY STRONG ROCK – hanya dapat

dihancurkan oleh palu Geologi.

2.4 Definisi Gerakan Tanah

Cruden, (1991; dalam Karnawati, 2005) mendefinisikan longsoran (lanslide)

sebagai pergerakan suatu massa batuan, tanah, atau bahan rombakan material

penyusun lereng (yang merupakan percampuran tanah dan batuan) menuruni

lereng. Namun sebelumnya, Varnes, (1978; dalam Karnawati, 2005) mengusulkan

terminologi gerakan lereng (slope movement) yang dianggap lebih tepat untuk

mendefinisikan longsoran, yaitu sebagai gerakan material penyusun lereng ke arah

bawah atau keluar lereng dibawah pengaruh gravitasi bumi. Sedangkan Brunsden,

(1984; dalam Karnawati, 2005) mengusulkan istilah gerakan massa (mass

movement) yang dianggap lebih tepat dipakai dalam mendefinisikan proses

gerakan massa penyusun lereng daripada istilah longsoran (landslide) yang lebih

populer dikenal masyarakat. Selby, (1993; dalam Karnawati, 2005) lebih lanjut
14

menjelaskan bahwa longsoran (landslide) hanya tepat deterapkan pada proses

pergerakan massa yang melalui suatu bidang gelincir (bidang luncur).

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gerakan massa tanah atau

batuan adalah gerakan perpindahan atau pergerakan keluar atau menuruni lereng

oleh massa tanah atau batuan penyusun lereng, ataupun bahan rombakan dari

bahan penyusun lereng, akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batuan

penyusun lereng tersebut.

Menurut Varnes (1978; dalam Karnawati 2005) Berdasarkan pergerakan

massa runtuhnya, longsoran dapat diklasifikasikan sebagai gelinciran (sliding),

runtuhan (falling), gulingan (toppling), aliran (flowing), rayapan (creeping).

Berdasarkan tipe materialnya, longsoran dapat dibedakan menjadi dua yaitu

longsoran batuan dan longsoran tanah.

1. Sliding

Gelinciran (sliding) merupakan pergerakan massa ke arah bawah dan

ke luar yang disebabkan oleh tegangan geser yang bekerja pada

permukaan runtuh melebihi tahanan geser yang dimiliki oleh material

pada permukaan runtuh. Dua tipe utama dari longsoran tipe gelinciran

yaitu rotasional dan translasional.

a. Gelinciran rotasional (rotational sliding) merupakan longsoran

dengan bidang runtuh yang cekung ke atas. Bentuk bidang

runtuh tersebut seringkali dihampiri sebagai busur lingkaran,

gabungan dari busur lingkaran dengan bidang planar, atau


15

gabungan dari beberapa garis lurus. Longsoran dengan bidang

runtuh berbentuk busur lingkaran biasanya sering terjadi pada

tanah yang homogen. Untuk tanah yang tidak homogen, bentuk

bidang runtuh yang paling mungkin terjadi adalah bidang

runtuh yang bukan busur lingkaran. Gelinciran rotasional juga

dapat terjadi pada batuan yang telah mengalami proses

pelapukan dan alterasi yang kuat ataupun pada timbunan dari

batuan-batuan yang dihasilkan oleh kegiatan penambangan.

b. Gelinciran translational (translational sliding) yaitu gelinciran

yang terjadi dengan bidang runtuh yang berupa bidang planar.

Gelinciran translasional antara lain dapat terjadi pada lapisan

tanah tipis yang berada di atas material yang sangat kokoh,

seperti lereng timbunan dari material tak berkohesi. Longsoran

translasional juga dapat terjadi pada lereng di mana terdapat

bidang lemah yang mempunyai jurus yang sejajar dengan

permukaan lereng serta sudut kemiringan yang lebih besar dari

pada sudut gesek material.

2. Falling

Runtuhan (falling) merupakan jatuhnya bongkahan batuan yang

terlepas dari lereng yang terjal. Bongkahan batuan tersebut dapat jatuh

melayang di udara, memantul beberapa kali pada permukaan bumi,

mengelinding atau kombinasi dari beberapa bentuk pergerakan


16

tersebut. Massa batuan jatuh tersebut mempunyai energi kinetik dan

kecepatan yang sangat tinggi. Keruntuhan tipe ini juga dapat didahului

oleh tipe keruntuhan lainnya seperti gelinciran dan gulingan.

3. Toppling

Gulingan (toppling) adalah tergulingnya beberapa blok-blok batuan

yang diakibatkan oleh momen guling yang bekerja pada blok-blok

batuan tersebut. Longsoran tipe ini biasanya terjadi pada lereng-lereng

terjal atau bahkan vertikal yang memiliki bidang tak menerus yang

hampir tegak lurus. Momen guling tersebut dihasilkan oleh berat blok

batuan dan juga dapat diakibatkan oleh gaya hidrostatik dari air yang

mengisi pada bidang tak menerus.

4. Flowing

Pada longsoran tipe aliran (flowing), material bergerak ke arah bawah

lereng seperti suatu cairan. Beberapa bentuk longsoran antara lain

yaitu rayapan, aliran tanah, aliran debris. Longsoran tipe gelinciran

dapat berubah secara bertahap menjadi suatu aliran apabila terjadi

perubahan kadar air dan kecepatan selama pergerakan material.

Termasuk dalam jenis gerakan aliran kering adalah sand-run (larian

pasir), aliran fragmen batu, aliran loess. Sedangkan jenis gerakan

aliran basah adalah aliran pasir-lanau, aliran tanah cepat, aliran tanah

lambat, aliran lumpur, dan aliran bahan rombakan.


17

5. Creeping

Rayapan (creeping) mempunyai kecepatan pergerakan yang sangat

lambat, biasanya merupakan pergerakan secara menerus ke bawah

lereng dari batuan lepas yang menutupi batuan dasar. Tanda-tanda

terjadinya rayapan antara lain yaitu pohon yang melengkung dan

miring, tiang listrik yang miring serta jalan atau pagar yang bergeser

dari posisi awalnya. Rayapan (creeping) dibedakan menjadi tiga jenis,

yaitu rayapan musiman yang dipengaruhi iklim, rayapan

berkesinambungan yang dipengaruhi kuat geser dari material, dan

rayapan melaju yang berhubungan dengan keruntuhan lereng atau

perpindahan massa lainnya.

2.5 Pengujian Laboratorium

Pengujian laboratorium dilakukan untuk mengetahui karakteristik tanah dan

batuan yang menyusun lapisan penutup batubara yang terdiri dari tanah,

batulempung, dan batupasir.

Pemboran geoteknik dilakukan untuk mendapatkan data litologi dan contoh

batuan dalam bentuk inti bor (core) yang akan diuji di laboratorium.

Pengujian geoteknik bertujuan untuk menentukan sifat fisik dan mekanik

batuan yang menyusun material penutup overburden, interburden, maupun batuan

dasar, yang hasilnya diperlukan untuk menentukan tinggi dan sudut lereng yang

aman dan ekonomis untuk penambangan maupun penimbunan.


18

Jenis pengujian yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Uji sifat fisik untuk mendapatkan parameter-parameter dry density (γdry),

saturated density (γsat), porositas (n), dan derajat kejenuhan (S)

2. Uji kuat tekan uniaksial, untuk mendapatkan parameter kuat tekan

uniaksial (σ dan c), modulus elastisitas (E), dan Poisson’s ratio (υ).

3. Uji kuat geser langsung (direct shear) maksimum (peak) dan sisa (residu)

untuk mendapatkan parameter kohesi maksimum dan sisa (cmax dan csisa)

dan sudut geser dalam maksimum dan sisa (φmax dan φsisa).

4. Uji triaxial untuk mendapatkan parameter kohesi (c) dan sudut geser

dalam (φ).

Kegunaan parameter yang diperoleh dari beberapa jenis pengujian di atas,

khususnya dalam rancangan tambang terbuka.

2.5.1 Aplikasi Hasil Pengujian

Bidang diskontinuitas berupa struktur bidang lemah berupa sesar, kekar

maupun bidang perlapisan sangat mempengaruhi kestabilanan lereng bila material

pembentuk lereng tersebut berupa batuan yang keras. Menurut klasifikasi Hoek &

Bray (2005) material dengan kuat tekan uniaksial < 10 MPa termasuk dalam

klasifikasi material sangat lunak. Menurut Bieniawski (1989), material dengan

kuat tekan uniaksial < 1 MPa dianggap sebagai tanah.

Hasil pengujian yang akan digunakan secara langsung dalam analisis

kestabilan lereng adalah parameter density dari uji sifat fisik serta kohesi dan

sudut geser dalam dari uji triaksial.


19

2.6 Klasifikasi Longsoran

Menurut Hoek & Bray (2005), longsoran yang terjadi di tambang terbuka

dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu:

2.6.1 Longsoran Busur (circular failure)

Longsoran busur mempunyai bentuk dasar longsoran yang berupa busur dan

umumnya terjadi pada lereng yang material pembentuknya adalah tanah, batuan

yang sangat terkekarkan (heavily jointed rock mass), atau batuan terkekarkan yang

lapuk. Pada lereng tambang longsoran jenis ini sering terjadi pada lereng bagian

atas dimana batuannya sudah berubah menjadi tanah.

Gambar 2.2 Tipe longsoran busur (Hoek & Bray, 2005)

2.6.2 Longsoran Bidang (planar failure)

Longsoran bidang dapat terjadi pada lereng dimana pembentuknya adalah

massa batuan yang orientasi bidang lemahnya sejajar dengan arah kemiringan

lereng. Jadi longsoran tersebut mengikuti arah bidang lemah yang ada.
20

Gambar 2.3 Tipe longsoran bidang (Hoek & Bray, 2005)

2.6.3 Longsoran Baji (wedging failure)

Longsoran baji adalah longsoran bidang dengan 2 atau lebih bidang lemah.

Bongkah atau baji yang meluncur bisa bertumpu pada kedua bidang lemahnya

atau hanya pada salah satu bidang saja, tergantung dari posisi/kedudukan bidang

lemah tersebut.

Gambar 2.4 Tipe longsoran baji (Hoek & Bray, 2005)


21

2.6.4 Longsoran Guling (toppling failure)

Longsoran guling umumnya terjadi pada lereng yang terjal dan pada batuan

yang keras dimana struktur bidang lemahnya berbentuk kolom. Longsoran jenis

ini terjadi apabila bidang-bidang lemah yang ada berlawanan dengan kemiringan

lereng.

Gambar 2.5 Tipe longsoran guling (Hoek & Bray, 2005)

2.7 Kestabilan Lereng

Menurut Zakaria, (2009) Lereng yang alami ataupun lereng buatan memiliki

nilai kesetabilan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu gaya penahan dan

gaya penggerak yang bekerja dalam kesetabilan lereng tersebut.

Gaya-gaya yang bekerja pada lereng secara umum dapat dikelompokkan

menjadi dua yaitu gaya-gaya yang cenderung untuk menyebabkan material pada

lereng untuk bergerak ke bawah dan gaya-gaya yang menahan material pada

lereng sehingga tidak terjadi pergerakan atau longsoran.

Ketika gaya penahan lebih besar dari gaya penggeraknya, maka lereng

tersebut akan berada dalam keadaan stabil, jika gaya penahan lebih kecil dari gaya
22

pendorong maka lereng tersebut akan longsor. Untuk menyatakan nilai (tingkat)

kestabilan suatu lereng dikenal istilah yang disebut dengan nilai faktor keamanan

(safety factor), yang merupakan hasil perbandingan antara besarnya gaya penahan

terhadap gaya penggerak longsoran, dan dinyatakan sebagai berikut:

2.7.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kestabilan Lereng

Kestabilan suatu lereng akan bervariasi sepanjang waktu. Hal ini antara lain

disebabkan adanya musim hujan dan musim kering sehingga terdapat perubahan

musiman dari permukaan air tanah atau terjadi perubahan kekuatan geser material

yang diakibatkan oleh proses pelapukan. Penurunan kestabilan lereng dapat juga

terjadi secara drastis apabila terjadi perubahan yang tiba-tiba, seperti hujan lebat

dengan intensitas yang tinggi, erosi pada kaki lereng atau pembebanan pada

permukaan lereng.

Kestabilan suatu lereng pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain:

2.7.1.1 Sifat Material

Sifat material di daerah penelitian harus diketahui, karena setiap material

memiliki sifat fisik dan mekanik yang berbeda. Sifat material yang diperlukan

dalam analisis kestabilan lereng yaitu parameter kekuatan geser dan berat satuan

material (γ). Parameter kekuatan geser terdiri dari komponen yaitu kohesi dan
23

sudut geser. Untuk analisis lereng yang telah mengalami longsoran harus

diperhatikan tentang kekuatan geser sisa.

2.7.1.2 Sifat Fisik

1. Berat Satuan Material (γ)

Berat satuan material merupakan perbandingan berat suatu material dengan

volume total material tersebut. Berat satuan material akan menimbulkan tekanan

air pori pada permukaan bidang longsor serta menimbulkan beban material yang

menyebabkan longsor.

2. Porositas

Porositas batuan merupakan perbandingan antara volume pori dalam batuan

dengan volume keseluruhan batuan. Batuan yang mempunyai porositas besar akan

menyerap banyak air, dengan demikian berat satuannya akan menjadi lebih besar,

sehingga dapat mengurangi kestabilan lereng. Terdapatnya air dalam batuan juga

akan memperbesar tekanan air pori sehingga memperkecil kuat geser batuan. Hal

tersebut akan menyebabkan lereng lebih mudah longsor.

Keterangan:

n = porositas batuan

e = volume pori
24

1+e = volume keseluruhan batuan

3. Kadar Air dalam Batuan ( )

Kadar air dalam batuan adalah hasil perbandingan antara berat air dengan

berat butiran dari batuan. Semakin besar kandungan air dalam batuan, akan

memperbesar tekanan air pori. Dengan demikian, kuat geser batuan menjadi

makin kecil, sehingga nilai faktor kesetabilan lereng berkurang.

Keterangan:

= kadar air dalam batuan

Ww = berat air

Ws = berat butiran dalam batuan

4. Derajat Kejenuhan (Sr)

Derajat kejenuhan adalah perbandingan volume air pori dengan volume isi

pori seluruhnya. Makin jenuh suatu batuan maka kadar air yang dikandung oleh

batuan tersebut semakin besar. Maka akan memperbesar tekanan air pori dan

memperkecil kuat geser material, sehingga nilai kestabilan lereng akan berkurang.
25

Keterangan:

Sr = derajat kejenuhan

Vv = volume isi pori keseluruhan

Vw = volume air pori

2.7.1.3 Sifat Mekanik

Sifat mekanik yang mempengaruhi kestabilan lereng antara lain:

1. Kuat tekan

2. Kuat geser

3. Kuat tarik

4. Kohesi batuan (c)

Kohesi merupakan gaya tarik-menarik antar partikel dalam batuan. Kohesi

memiliki pengaruh terhadap kekuatan geser batuan, makin besar kohesi

suatu batuan maka kekuatan geser-nya akan makin besar pula. Harga

kohesi diperoleh dari pengujian kuat tekan triaksial yang kemudian

diplotkan dalam sebuah grafik antara tegangan normal dan tegangan geser.

Selubung-selubung Mohr (Mohr Circle Envelope) lalu akan membentuk

sebuah garis jalur tegangan. Kemudian garis tersebut diproyeksikan

terhadap sumbu y (tegangan geser) dan nilai kohesi pun akan diperoleh.

5. Sudut geser dalam batuan ( )

Sudut geser dalam adalah sudut yang dibentuk dari hubungan antara

tegangan normal dan tegangan geser dalam suatu batuan ataupun tanah.
26

Semakin besar sudut geser dalamnya, maka material tersebut semakin

besar tahanannya terhadap tegangan luar yang diterimanya.

2.7.1.4 Geologi

Kondisi geologi daerah penelitian memiliki pengaruh terhadap kestabilan

lereng. Beberapa kondisi geologi yang dapat mempengaruhi dalam analisis

kestabilan lereng, yaitu: tipe mineral pembentuk material lereng, bidang-bidang

diskontinuitas dan perlapisan, tingkat intensitas pelapukan, kedalaman pelapukan,

sejarah dari keruntuhan sebelumnya dan keadaan tegangan di tempat

Tipe longsoran yang mungkin terjadi sangat dipengaruhi oleh kondisi

geologi dari bidang-bidang tak menerus pada daerah penelitian.

2.7.1.5 Air Tanah

Selain sebagai beban, air memiliki pengaruh terhadap berkurangnya

tegangan normal. Lereng dengan muka air tanah yang dangkal akan semakin

mudah longsor karena terjadi pembebanan oleh gaya hidrostatis yang ditimbulkan

oleh air dalam pori-pori tanah atau batuan.

Kondisi air tanah merupakan salah satu parameter terpenting dalam analisis

kestabilan lereng, karena seringkali terjadi longsoran yang diakibatkan oleh

kenaikan tegangan air pori yang berlebih. Tekanan air pori tidak diperlukan

apabila dilakukan analisis kestabilan dengan tegangan total. Gaya hidrostatik pada

permukaan lereng yang diakibatkan oleh air yang menggenangi permukaan lereng
27

juga harus dimasukkan dalam perhitungan kestabilan lereng, karena gaya ini

mempunyai efek perkuatan pada lereng.

Pada umumnya keberadaan air akan mengurangi kondisi kestabilan lereng

yang antara lain karena menurunkan kekuatan geser material sebagai akibat

naiknya tekanan air pori, bertambahnya berat satuan material, timbulnya gaya-

gaya rembesan yang ditimbulkan oleh pergerakan air.

Untuk analisis kestabilan pada lereng yang mempunyai dampak tinggi

terhadap keselamatan manusia, perancang sebaiknya mempertimbangkan kondisi

air tanah yang terburuk. Selain faktor curah hujan yang sangat tinggi, kondisi air

tanah yang berbahaya terhadap kestabilan lereng juga dapat disebabkan oleh

kebocoran saluran irigasi, tersumbatnya sistem drainase serta retakan-retakan tarik

yang terisi oleh tanah.

2.7.1.6 Geometri Lereng

Data geometri lereng yang diperlukan yaitu data mengenai sudut kemiringan

dan tinggi lereng. Geometri lereng alami dapat ditentukan dengan membuat

penampang vertikal berdasarkan peta topografi. Sedangkan untuk lereng buatan,

geometri lereng ditentukan dari desain lereng yang akan dibuat.

2.7.1.7 Relief Permukaan Bumi

Relief permukaan bumi memiliki pengaruh penting dalam kestabilan lereng,

hal ini akan mempengaruhi laju erosi yang dilanjutkan dengan proses

pengendapan, arah aliran air tanah maupun air permukaan, serta memiliki
28

pengaruh yang tidak langsung terhadap pelapukan. Semakin tinggi proses

pelapukan di suatu daerah, maka kekuatan material di tempat itu akan semakin

berkurang.

2.7.1.8 Iklim

Iklim memiliki pengaruh terhadap kestabilan lereng, karena iklim dapat

menyebabkan temperatur berubah-ubah. Perubahan temperatur yang cepat dalam

waktu yang singkat akan mempercepat proses pelapukan batuan. Lebih

intensifnya pelapukan batuan yang terjadi di daerah tropis akan menyebabkan

lereng lebih mudah longsor.

2.7.1.9 Gaya-gaya Luar

Gaya-gaya luar ini harus dimasukkan dalam perhitungan karena mempunyai

efek mengurangi kondisi kestabilan lereng. Gaya-gaya dari luar yang dapat

mempengaruhi kestabilan suatu Iereng, antara lain:

1. Pemotongan pada kaki lereng.

2. Getaran yang ditimbulkan oleh gempa bumi, peledakan, dan penggunaan

alat-alat mekanis berat di dekat tubuh lereng.

3. Beban dinamik akibat lalu lintas alat angkut yang bekerja pada lereng.

4. Beban statik akibat dari bangunan maupun timbunan yang terdapat diatas

lereng
29

Suatu lereng yang dalam keadaan tidak tergangu pada umumnya berada

dalam keadaan setimbang. Jika terjadi perubahan keseimbangan akibat

penggalian, penimbunan, pengangkatan, penurunan, erosi, dan lain-lain maka

lereng tersebut akan mengalami longsor atau gerakan tanah, hal tersebut

merupakan cara untuk mencapai kesetimbangan baru secara alami.

Pada lereng yang dalam keadaan tidak terganggu (alami) telah bekerja

tegangan-tegangan vertikal, horisontal, dan tekanan air pori pada batuan dan

tanah. Ketiga hal tersebut mempunyai arti penting dalam membentuk kestabilan

lereng. Sedangkan tanah atau batuan sendiri mempunyai sifat-sifat fisik tertentu

yang juga sangat berpengaruh dalam menentukan kekuatan tanah dan/atau batuan

dan juga mempengaruhi kestabilan lereng.

2.7.2 Faktor-Faktor yang Memperbesar Gaya Penggerak

Penambahan beban / gaya penggerak juga dapat membuat lereng yang pada

mulanya stabil menjadi tidak stabil. Penambahan ini juga dapat terjadi secara

alamiah ataupun karena aktifitas manusia.

2.7.2.1 Penambahan Air Tanah

Penambahan air tanah pada pori-pori atau celah-celah tanah dan/atau batuan

jelas akan menambah berat satuan material memperbesar beban pada lereng.

Maka akan memperbesar gaya penggerak yang dapat mengakibatkan longsor pada

lereng.
30

2.7.2.2 Aktivitas Tektonik

Terjadinya pergerakan seperti pergeseran, pengangkatan atau penurunan

muka bumi akan mengakibatkan terjadinya perubahan arah dan besar gaya-gaya

yang bekerja pada suatu titik tetentu di muka bumi. Dengan begitu geometri akan

berubah dan beban pada lereng-lereng yang baru akan lebih besar sehingga dapat

mengakibatkan ketidakstabilan pada lereng.

2.7.2.3 Vibrasi atau Getaran

Getaran atau gelombang kejut dapat menghasilkan energi besar, contohnya

peledakan (blasting), yang apabila mempunyai arah yang sama dengan permukaan

suatu lereng dapat menambah beban dan mengakibatkan terjadinya longsoran.

2.7.2.4 Penambahan Beban Akibat Penimbunan

Timbunan material di atas suatu lereng akan memberikan beban lebih

terhadap lereng, sehingga memperbesar gaya penggerak dan dapat

mengakibatkan longsoran pada lereng tersebut.

2.7.3 Metode Batas Kesetimbangan (Limit Equilibrium Method)

Menurut Duncan and Wright, (2005):

“Limit equilibrium methods use representative geometry, material

and/or joint shear strength, material unit weights, groundwater

and external loading/support conditions to determine slope safety


31

factors based on a set of simplifying mechanical assumptions that

are outlined below.” dalam Read and Stacey, (2009)

Limit Equilibrium Method atau metode batas kesetimbangan adalah metode

yang menggunakan data representaif dari geometri, material dan/atau kekuatan

geser, satuan berat material, kondisi air tanah dan kondisi pembebanan maupun

dukungan eksternal untuk menentukan faktor keamanan lereng berdasarkan

seperangkat asumsi mekanika sederhana. Duncan and Wright (2005; dalam Read

and Stacey, 2009).

Metode batas kesetimbangan merupakan metode yang telah umum

digunakan untuk menganalisis stabilitas lereng. Metode ini mengasumsikan

terdapat bidang gelincir yang potensial, dimana kondisi gaya dan/atau momen

kesetimbangan ditentukan berada pada kondisi statis.

Secara garis besar analisis ini menghasilkan output berupa faktor keamanan,

dimana rumus sederhana dalam limit equilibrium ini adalah :

Salah satu solusi yang sering digunakan dalam metode batas kesetimbangan

(limit equilibrium method) adalah metode irisan (slice method) dimana bidang

gelincir diasumsikan kedalam irisan vertikal (vertical slice). Hal ini untuk

mengakomadasi kondisi properties dari batuan atau tanah dan pore pressure

bevariasi dari tiap lokasi slope. Beberapa ahli merumuskan formula untuk
32

menemukan safety factor (FS) yang memiliki parameter-parameter yang berbeda.

Berikut adalah berbagai formula analisa metode kelongsoran menurut para ahli

yang biasa digunakan dalam metode batas kesetimbangan (limit equilibrium

method).

2.7.3.1 Metode Ordinary atau Fellenius

Metode yang paling umum digunakan dalam menganalisis kestabilan lereng

ialah metode irisan yang dicetuskan oleh Fellenius (1936). Metode ini banyak

digunakan untuk menganalisis kestabilan lereng yang tersusun oleh tanah, dan

bidang gelincirnya berbentuk busur (arc-failure).

Metode ini mengasumsikan bahwa resultan dari gaya-gaya antar segmen

untuk semua segmen diproyeksikan antara bidang dengan garis horizontal pada

sebuah sudut yang paralel terhadap dasar dari irisan. Metode ini dapat digunakan

pada lereng-lereng dengan kondisi isotropis, non isotropis dan berlapis-lapis.

Massa tanah yang bergerak diandaikan terdiri dari atas beberapa elemen

vertikal. Lebar elemen dapat diambil tidak sama dan sedemikian sehingga

lengkung busur di dasar elemen dapat dianggap garis lurus. Tubuh lereng yang

diperkirakan longsor akan dibagi menjadi beberapa bagian, mengikuti garis

bidang gelincirya. Semakin banyak segmen yang dibuat maka semakin akurat

perhitungannya. Garis bidang gelincir ini dapat berbentuk lingkaran ataupun semi-

lingkaran. Nilai faktor keamanan dari metode ini pada lereng yang tidak

dipengaruhi oleh muka air tanah dinyatakan dalam rumus :


33

( )
( )

Jika lereng terendam air atau jika muka air tanah diatas kaki lereng, maka

tekanan air pori akan bekerja pada dasar elemen yang ada dibawah air tersebut.

Dalam hal ini tahanan geser harus diperhitungkan yang efektif sedangkan gaya

penyebabnya tetap diperhitungkan secara total, sehingga nilai Faktor Keamanan

menjadi :

( )
( )

Keterangan:

c = Kohesi (Kg/m2)

= sudut gesek dalam (o)

L = Jumlah panjang bidang gelincir per sayatan (m)

= Tekanan air pori (Kg/m)

i.li = Tekanan air pori di tiap sayatan (Kg/m)

Wt = Berat total tiap segmen (Luas segmen dikali berat satuan isi

material ( ) ), (kg/m)

2.7.3.2 Metode Bishop

Metode Bishop & Morgenstern, (1960) merupakan metode sangat populer

dalam analisis kestabilan lereng dikarenakan perhitungannya yang sederhana,


34

cepat dan memberikan hasil perhitungan faktor keamanan yang cukup teliti.

Kesalahan metode ini apabila dibandingkan dengan metode lainnya yang

memenuhi semua kondisi kesetimbangan seperti metode spencer atau metode

kesetimbangan batas umum, jarang lebih besar dari 5%. Metode ini sangat cocok

digunakan untuk pencarian secara otomatis bidang runtuh kritis yang berbentuk

busur lingkaran untuk mencari faktor keamanan minimum.

Metode Bishop & Morgenstern, (1960) sendiri memperhitungkan komponen

gaya-gaya (horizontal dan vertikal) dengan memperhatikan keseimbangan momen

dari masing-masing segmen. Metode ini dapat digunakan untuk menganalisa

tegangan efektif.

[ ]
( )

Jika lereng dipengaruhi oleh tekanan air pori atau dalam keadaan jenuh air

(saturated), formula analisis kestabilan lereng menjadi:

( )
[ ]
( )

Keterangan :

FS = nilai faktor keamanan

= sudut kemiringan lereng


35

c = c’ = kohesi

= tekanan air pori

= panjang tiap segmen

= ’ = sudut geser dalam

W = berat tiap segmen

2.7.3.3 Metode Janbu

Metode analisis Janbu (1954) mengasumsikan bahwa titik gaya antar irisan

dapat didefinisikan oleh suatu garis arah (line thrust). Bidang longsor pada analisa

metode janbu ditentukan berdasarkan zona lemah yang terdapat pada massa

batuan atau tanah. Metode analisis Janbu merupakan cara analisa kekestabilanan

lereng yang dapat diterapkan untuk semua bentuk bidang longsor.

Untuk mencari nilai faktor keamanan, gaya geser antar irisan harus

dievaluasi, persamaan yang digunakan berdasarkan pada kesetimbangan gaya.

Gaya antar segmen horizontal didapatkan dengan mengintegrasi dari kiri ke kanan

melalui lereng. Keadaan keseimbangan untuk setiap elemen dan seluruh massa

yang longsor mengikuti persamaan dibawah ini :

∑ ( )

Keterangan:

fo = faktor koreksi, untuk:

X = [c + ( γdryh - γwhw) tan ] (1+tan2 ψb) x


36

Y = tan ψb tan

Z = γrh x tan ψb

Q = 1/2 γwz2

fo = 1+K(d/L - 1,4(d/L)2)

c' = 0; K = 0,31

c'>0, '>0; K=0,50

c = kohesi

γdry = bobot isi

h = tinggi tiap irisan

γw = bobot isi jenuh

hw = tinggi muka air tanah pada irisan

= sudut geser dalam

ψb = sudut kemiringan lereng

x = lebar tiap segmen

2.8 Faktor Keamanan

Menurut Bowles (1984), apabila harga FS suatu lereng > 1,25, yang berarti

gaya penahan lebih besar daripada gaya penggerak, maka lereng tersebut berada

dalam keadaan stabil. Tetapi, jika nilai kestabilan lerengnya 1,07 < FS < 1,25,

maka lereng tersebut berada dalam keadaan kritis. Namun, bila nilai FS < 1,07,

yang artinya gaya Penahan lebih kecil daripada gaya penggerak, maka lereng

tersebut berada dalam keadaan tidak stabil dan rawan terjadi longsor.
37

Gambar 2.6 Prinsip gaya-gaya pada kestabilan lereng (dalam Zakaria, 2009)

Bowles (1984) juga menyatakan bahwa kondisi 1,07 < FS < 1,25 tetap tidak

dikehendaki, karena apabila terjadi pengurangan gaya penahan atau penambahan

gaya penggerak sekecil apapun, lereng akan menjadi tidak stabil dan rawan terjadi

longsor.

Anda mungkin juga menyukai